Wednesday, August 3, 2016

ORANG FARISI DAN PEMUNGUT CUKAI (2)

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 3 Agustus 2016 

Baca:  Lukas 18:9-14

"Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan."  Lukas 18:14b

Sekalipun orang Farisi secara kasat mata tampak taat melakukan hukum Tuhan, sesungguhnya mereka hidup dalam kepura-puraan dan kemunafikan;  ibadah dan pelayanan yang dilakukan semata-mata hanya untuk mencari popularitas dan pujian manusia.  Karena itu Tuhan Yesus mengecam mereka dengan keras!  "Sebab itu turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya."  (Matius 23:3).  Banyak orang Kristen membanggakan diri tentang ibadah dan pelayanan yang dilakukan, lalu menganggap rendah orang lain.  Bukankah hal ini mengindikasikan bahwa kita sombong?  Seharusnya ketaatan dan kesetiaan kita dalam ibadah dan pelayanan menjadikan kita lebih rendah hati.  "Demikian jugalah kamu. Apabila kamu telah melakukan segala sesuatu yang ditugaskan kepadamu, hendaklah kamu berkata: Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan."  (Lukas 17:10).

     Pemungut cukai adalah tukang pajak, bertugas menagih pajak dari rakyat untuk pemerintah Romawi, dikenal sebagai tukang peras dan suka menyelewengkan keuangan, yang di kalangan masyarakat Yahudi disamakan dengan orang najis dan pendosa.  Menurut mata manusia mereka adalah orang yang tidak layak di hadapan Tuhan, karena itu ia  "...berdiri jauh-jauh, bahkan ia tidak berani menengadah ke langit,"  (Lukas 18:13).

     Apakah yang menyebabkan pemungut cukai ini pulang dengan mendapatkan pembenaran dari Tuhan?  Tuhan membenci perbuatan dosa, tetapi Ia mengasihi orang berdosa, terlebih-lebih mereka yang mau bertobat dan meninggalkan dosa-dosanya.  Pemungut cukai ini datang merendahkan diri di hadapan Tuhan karena sadar ia pendosa.  Sambil mengakui dosanya ia memukul-mukul dirinya tanda penyesalan yang dalam.  "Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan."  (1 Yohanes 1:9).

Sikap mau merendahkan diri dan bertobat dengan sungguh-sungguh inilah yang menyebabkan Tuhan membenarkan pemungut cukai ini.

Tuesday, August 2, 2016

ORANG FARISI DAN PEMUNGUT CUKAI (1)

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 2 Agustus 2016 

Baca:  Lukas 18:9-14

"Ada dua orang pergi ke Bait Allah untuk berdoa; yang seorang adalah Farisi dan yang lain pemungut cukai."  Lukas 18:10

Dalam pembacaan firman ini kita mendapatkan pelajaran berharga dari kehidupan dua orang yang memiliki latar belakang hidup yang bertolak belakang:  1.  Orang Farisi, orang yang menganggap diri sendiri sebagai orang yang benar, suci dan saleh.  2.  Pemungut cukai, seorang yang merasa diri sebagai seorang pendosa.  Keduanya adalah sama-sama orang Yahudi dan sama-sama pergi ke bait Tuhan.  Mereka berdoa kepada Tuhan yang sama, namun mereka mendapatkan jawaban doa yang berbeda:  orang Farisi tidak beroleh pembenaran di hadapan Tuhan, sedangkan pemungut cukai pulang sebagai orang yang dibenarkan oleh Tuhan.

     Apa yang membuat Tuhan memberikan penilaian berbeda?  Orang Farisi adalah salah satu kelompok keagamaan masyarakat Yahudi yang betul-betul menegakkan dan menaati Taurat secara teliti.  Karena ketaatannya melakukan hukum Taurat ini mereka menganggap diri sebagai orang yang benar, suci dan saleh.  Itulah sebabnya ketika berdoa di bait Tuhan ia memuji dirinya sendiri di hadapan Tuhan dengan mengatakan bahwa ia telah melakukan semua hukum Tuhan, dan bahkan berani membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain:  "...aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini; aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku."  (ayat 11-12).  Orang Farisi memang orang yang terkenal sangat fanatik dalam menjalankan hukum, dan ketaatannya menjalani ibadah dan pelayanan patut diteladani.  Lalu apa yang salah dari orang Farisi ini?  Karena ia menganggap dirinya benar  (menurut penilaian sendiri)  dan memandang rendah orang lain.  Kata menganggap dirinya benar dapat diterjemahkan menjadi yakin.  Orang Farisi merasa sangat yakin terhadap dirinya sendiri karena merasa sudah menaati hukum Taurat tanpa ada yang terlewatkan.

     Keyakinan ini adalah kesalahan fatal karena yang menilai benar adalah dirinya sendiri, bukan Tuhan yang memberikan penilaian.  Padahal jika Tuhan yang menilai, semua manusia yang ada di muka bumi ini  "Tidak ada yang benar, seorangpun tidak."  (Roma 3:10).  (Bersambung).

Monday, August 1, 2016

PERKATAAN YANG TEPAT PADA WAKTUNYA

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 1 Agustus 2016 

Baca:  Amsal 17:1-28

"Orang yang berpengetahuan menahan perkataannya, orang yang berpengertian berkepala dingin."  Amsal 17:27

Ada peribahasa  'dalamnya laut dapat diduga, tetapi dalamnya hati siapa yang tahu.'  Ini menyiratkan bahwa isi hati seseorang tidak dapat ditebak.  Bisa saja orang tampak ramah dan sopan, tetapi begitu kepentingan pribadinya terusik secepat kilat ia berubah menjadi garang, lalu keluarlah perkataan pedas dan menyakitkan sehingga menimbulkan kesalahpahaman dan memicu terjadinya konflik.  Alkitab memperingatkan:  "Di dalam banyak bicara pasti ada pelanggaran, tetapi siapa yang menahan bibirnya, berakal budi."  (Amsal 10:19).  Perkataan yang tidak dikendalikan secara bijaksana dapat membuat syak dalam hati, menyinggung perasaan dan akhirnya merusak hubungan yang sudah terjalin sebelumnya.  "Janganlah kamu menimbulkan syak dalam hati orang, baik orang Yahudi atau orang Yunani, maupun Jemaat Allah."  (1 Korintus 10:32).

     Firman Tuhan menasihati agar kita selalu berhati-hati dalam berkata-kata, dan seyogianya kata-kata kita diucapkan di tempat yang tepat dan pada waktu yang tepat pula.  "Perkataan yang diucapkan tepat pada waktunya adalah seperti buah apel emas di pinggan perak."  (Amsal 25:11).  Yang menjadi permasalahan:  kita seringkali tidak bisa menahan diri berkata-kata atau berbicara tanpa berpikir terlebih dahulu, padahal kata-kata yang sudah terlanjur diucapkan tidak mungkin ditarik kembali dan pada saatnya kita harus mempertanggungjawabkannya di hadapan Tuhan.  "Setiap kata sia-sia yang diucapkan orang harus dipertanggungjawabkannya pada hari penghakiman."  (Matius 12:36).  Oleh karena itu kalau tidak perlu bicara adalah lebih bijak kita diam, daripada banyak bicara namun perkataan tersebut bukannya membangun tetapi menghancurkan kehidupan orang lain.

     Kita harus selalu ingat bahwa setiap perkataan yang keluar dari mulut kita akan diperhatikan dan dipegang oleh orang lain.  Berhati-hatilah!  Jangan sampai kita salah bicara, sebab hal itu dapat menimbulkan kekecewaan dan akar pahit dalam diri orang lain!

"...supaya dengan perkataan aku dapat memberi semangat baru kepada orang yang letih lesu."  Yesaya 50:4a

Sunday, July 31, 2016

HABEL: Memberi Dengan Motivasi Benar

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 31 Juli 2016 

Baca:  Ibrani 11:1-4

"Karena iman Habel telah mempersembahkan kepada Allah korban yang lebih baik dari pada korban Kain. Dengan jalan itu ia memperoleh kesaksian kepadanya, bahwa ia benar, karena Allah berkenan akan persembahannya itu dan karena iman ia masih berbicara, sesudah ia mati."  Ibrani 11:4

Surat Ibrani ini mencatat bahwa Habel termasuk salah satu saksi iman, yang karena imannya persembahannya diterima dan diindahkan Tuhan.  Ayat nas menyatakan bahwa persembahan Habel lebih baik dari persembahan kakaknya, Kain.  Kata Yunani yang dipakai untuk menyatakan lebih baik adalah pleion yang artinya more excellent.  Selain itu ada hal lain yang harus kita perhatikan, bahwa Alkitab menyebut Habel sebagai orang benar, artinya ia memiliki kehidupan seturut kehendak Tuhan.  Itulah sebabnya Tuhan berkenan dengan persembahan Habel, dan tidak mengindahkan persembahan Kain.

     Apa yang salah dengan persembahan Kain?  Tercatat bahwa pekerjaan Kain adalah sebagai petani, karena itu sangatlah wajar bila ia memersembahkan hasil buminya kepada Tuhan.  Sementara Habel adalah penggembala kambing domba atau peternak, sudah semestinya pula ia memersembahkan kambing domba sebagai persembahan kepada Tuhan.  Perhatikan ayat ini!  "Setelah beberapa waktu lamanya, maka Kain mempersembahkan sebagian dari hasil tanah itu kepada TUHAN sebagai korban persembahan; Habel juga mempersembahkan korban persembahan dari anak sulung kambing dombanya, yakni lemak-lemaknya; maka TUHAN mengindahkan Habel dan korban persembahannya itu,"  (Kejadian 4:3-4).  Kain memberi persembahan sebagian kepada Tuhan, sedangkan Habel memersembahkan yang sulung.  Kata kuncinya di sini adalah kata sulung yang menunjukkan suatu sikap iman dan penghormatan yang tertinggi kepada Tuhan!  Kata sulung berarti yang pertama atau yang terbaik.  Dengan kata lain Habel menempatkan Tuhan sebagai yang terutama dalam hidupnya sehingga ia memberi yang terbaik.  Ini berbicara tentang sikap hati dalam hal memberi persembahan.

     Apa pun yang hendak kita persembahkan kepada Tuhan haruslah dilandasi motivasi yang benar!

Tuhan tidak melihat kuantitas persembahan, tapi yang Ia perhatikan adalah sikap hati si pemberi korban persembahan!

Saturday, July 30, 2016

BELAJAR UNTUK SELALU BERSYUKUR

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 30 Juli 2016 

Baca:  Filipi 4:10-20

"Aku tahu apa itu kekurangan dan aku tahu apa itu kelimpahan. Dalam segala hal dan dalam segala perkara tidak ada sesuatu yang merupakan rahasia bagiku;"  Filipi 4:12

Sudah rahasia umum jika orang sering sulit mengucap syukur kepada Tuhan ketika sedang diperhadapkan pada banyak kesulitan, masalah, kesukaran atau kekurangan.  Bukan perkara mudah mengucap syukur di tengah situasi yang tidak baik!  Ini adalah kenyataan!  Kita pun menjadi orang-orang Kristen yang bersyarat:  kalau sakit sudah disembuhkan, kalau ekonomi sudah dipulihkan, kalau sudah mendapatkan jodoh, kalau keadaan berjalan dengan baik dan diberkati barulah dari mulut kita keluar ucapan syukur dan puji-pujian bagi Tuhan.  Kalau seperti itu orang-orang dunia pun bisa berlaku demikian!

     Rasul Paulus menasihati,  "Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu."  (1 Tesalonika 5:18).  Kalimat  '...dalam segala hal'  berarti di segala keadaan, baik atau tidak baik, dalam kelimpahan atau kekurangan, ada masalah atau semua berjalan dengan baik, kita harus bisa mengucap syukur, karena inilah yang dikehendaki Tuhan!  Pengalaman hidup bangsa Israel di masa lampau kiranya menjadi peringatan bagi semua orang percaya.  Meski hari lepas hari selama menempuh perjalanan di padang gurun mereka telah mengecap kebaikan Tuhan, mengalami pertolongan Tuhan secara ajaib, namun kesemuanya itu tidak membuat mereka berubah.  Yang keluar dari mulut mereka bukannya ucapan syukur melainkan omelan, gerutuan, keluh kesah dan persungutan.  Bahkan mereka selalu saja membanding-bandingkan keadaan saat masih berada di Mesir, padahal di sana mereka tak lebih hanyalah budak.  "Kita teringat kepada ikan yang kita makan di Mesir dengan tidak bayar apa-apa, kepada mentimun dan semangka, bawang prei, bawang merah dan bawang putih. Tetapi sekarang kita kurus kering, tidak ada sesuatu apapun, kecuali manna ini saja yang kita lihat."  (Bilangan 11:5-6).

     Apa yang dilakukan oleh bangsa Israel menunjukkan rasa ketidakpuasannya terhadap pemeliharaan Tuhan.  Apakah selama ini kita juga berlaku seperti bangsa Israel yang tidak pernah puas dengan berkat yang telah Tuhan berikan, sehingga hari-hari yang kita jalani pun dipenuhi persungutan?

Dalam segala keadaan belajarlah untuk selalu mengucap syukur kepada Tuhan!

Friday, July 29, 2016

KENIKMATAN DAN KEPUASAN HIDUP (2)

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 29 Juli 2016 

Baca:  Mazmur 84:1-13

"Betapa disenangi tempat kediaman-Mu, ya TUHAN semesta alam!"  Mazmur 84:2

Daud bisa berkelana ke mana saja ia mau, menjelajah tempat-tempat eksotik di mana pun karena ia punya harta kekayaan, tapi satu hal luar biasa yang patut kita teladani, ia justru lebih cinta berada di rumah Tuhan.  "TUHAN, aku cinta pada rumah kediaman-Mu dan pada tempat kemuliaan-Mu bersemayam."  (Mazmur 26:8), sebab  "...lebih baik satu hari di pelataran-Mu dari pada seribu hari di tempat lain; lebih baik berdiri di ambang pintu rumah Allahku dari pada diam di kemah-kemah orang fasik."  (Mazmur 84:11).  Rasa cintanya terhadap rumah Tuhan melebihi apa pun!  bagi Daud berlama-lama di rumah Tuhan pun tidak menjadi masalah, karena ia menikmati persekutuan yang indah dengan Tuhan.  Daud begitu merasakan kenikmatan dan kepuasan dalam ibadah karena ia mencintai dan mengasihi Tuhan.

     Banyak orang Kristen justru merasa tidak betah jika harus berlama-lama di bait Tuhan dengan berbagai alasan:  lagu-lagunya tidak menyenangkan, yang khotbah orang-orang itu saja, isi khotbahnya pun sungguh monoton dan tidak berbobot, sehingga meskipun tubuh jasmani tampak berada di dalam gedung gereja, sesungguhnya pikiran mereka sedang menjelajah ke seluruh dunia.  Bagi mereka hal yang memberikan kenikmatan dan kepuasan hidup adalah justru ketika berada di luar jam-jam peribadatan.  Inikah yang disebut mengasihi Tuhan?  Kalau  kita mengasihi Tuhan roh yang menyala-nyala pasti ada di dalam diri kita sehingga ibadah dan pelayanan bukan lagi menjadi suatu beban atau aktivitas yang membosankan, tapi menjadi suatu kenikmatan dan kepuasan yang melebihi perkara apa pun di dunia ini.

     Perhatikan!  Hari-hari ini kita sedang berada di penghujung zaman, di mana kedatangan Tuhan sudah semakin dekat.  Teruskah kita mencari dan mengejar kenikmatan dan kepuasan yang bersumber dari dunia ini?  Ataukah kita meneladani Daud yang begitu mengasihi Tuhan dan menempatkan perkara-perkara rohani sebagai yang utama dalam hidupnya?  "...carilah perkara yang di atas, di mana Kristus ada, duduk di sebelah kanan Allah. Pikirkanlah perkara yang di atas, bukan yang di bumi."  (Kolose 3:1-2).

Kepuasan dan kenikmatan hidup sejati hanya akan kita dapatkan ketika kita bersekutu dengan Tuhan dan menikmati bait-Nya!

Thursday, July 28, 2016

KENIKMATAN DAN KEPUASAN HIDUP (1)

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 28 Juli 2016 

Baca:  Mazmur 27:1-14

"Satu hal telah kuminta kepada TUHAN, itulah yang kuingini: diam di rumah TUHAN seumur hidupku, menyaksikan kemurahan TUHAN dan menikmati bait-Nya."  Mazmur 27:4

Semua orang mendambakan kenikmatan dan kepuasan dalam menjalani hidup di dunia ini.  Kebanyakan beranggapan bahwa hal itu dapat dirasakan ketika memiliki uang yang banyak atau kekayaan yang berlimpah.  Ada yang berkata bahwa hal yang membuatnya nikmat dan puas adalah apabila bisa berkeliling dunia, atau ketika ia bisa makan makanan mewah dan tidur di hotel yang berbintang.

     Semua orang berpikir bahwa dengan uang dan kekayaan mereka bisa membeli apa saja, melakukan apa pun, pergi ke mana saja sehingga semua keinginan dapat terwujud;  itulah nikmat dan puasnya hidup ini.  Benarkah demikian?  Pengkhotbah menulis:  "Siapa mencintai uang tidak akan puas dengan uang, dan siapa mencintai kekayaan tidak akan puas dengan penghasilannya. Inipun sia-sia."  (Pengkhotbah 5:9).  Banyak orang sudah memiliki segala-galanya tetapi tidak pernah merasakan kenikmatan dan kepuasan hidup, selalu saja ada yang kurang.  Berbeda dengan pemazmur, dalam hal ini Daud, yang ketika menulis mazmur ini sudah menjadi raja Israel.  Sebagai raja dari sebuah kerajaan besar Daud tentu bisa melakukan apa saja untuk mewujudkan semua keinginan hatinya dan memuaskan hasratnya, karena ia memiliki fasilitas-fasilitas:  popularitas, kekuasaan, harta kekayaan, pasukan militer.  Namun faktanya semua materi duniawi tidak serta merta memberikan kenikmatan dan kepuasan dalam diri Daud.

     Daud menemukan kenikmatan dan kepuasan hidup sejati ketika berada dalam bait Tuhan yang kudus.  Artinya tidak ada kenikmatan dan kepuasan di dunia ini yang mampu mengalahkan kenikmatan dan kepuasan Daud ketika berada di rumah Tuhan, membangun persekutuan yang karib dengan Tuhan dan mengalami perjumpaan secara pribadi dengan Tuhan.  Hal itu tersirat dari pernyataan Daud,   "...diam di rumah TUHAN seumur hidupku, menyaksikan kemurahan TUHAN dan menikmati bait-Nya."  (ayat nas).

Materi duniawi takkan memberikan kenikmatan dan kepuasan hidup!

Wednesday, July 27, 2016

DATANG DAN PERGI DENGAN TANGAN KOSONG

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 27 Juli 2016 

Baca:  1 Timotius 6:7-21

"Sebab kita tidak membawa sesuatu apa ke dalam dunia dan kitapun tidak dapat membawa apa-apa ke luar."  1 Timotius 6:7

Rasul Paulus menasihati,  "...perhatikanlah dengan saksama, bagaimana kamu hidup, janganlah seperti orang bebal, tetapi seperti orang arif,"  (Efesus 5:15).

     Mengapa kita harus memerhatikan hidup kita dengan saksama?  Karena ada banyak fakta dalam kehidupan ini yang seringkali tidak kita sadari atau mungkin sengaja kita abaikan sehingga dalam menjalani hidup ini kita tidak berlaku bijak dan arif.  Fakta itu di antaranya adalah hidup ini sangatlah singkat  (baca  Mazmur 90:3-6), hidup manusia dibatasi oleh usia  (baca  Mazmur 90:10), dan hanya sekali saja  (baca  Pengkhotbah 9:5).  Hal penting lain yang harus selalu disadari adalah kita datang ke dunia ini dengan tidak membawa suatu apa pun, begitu pula kelak ketika kita pergi meninggalkan dunia ini kita pun akan pergi dengan tangan kosong.  Ayub menyadari fakta ini:  "Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN!"  (Ayub 1:21).

     Perihal ini Paulus mengutus Timotius memeringatkan orang-orang kaya  "...agar mereka jangan tinggi hati dan jangan berharap pada sesuatu yang tak tentu seperti kekayaan, melainkan pada Allah yang dalam kekayaan-Nya memberikan kepada kita segala sesuatu untuk dinikmati. Peringatkanlah agar mereka itu berbuat baik, menjadi kaya dalam kebajikan, suka memberi dan membagi dan dengan demikian mengumpulkan suatu harta sebagai dasar yang baik bagi dirinya di waktu yang akan datang untuk mencapai hidup yang sebenarnya."  (1 Timotius 6:17-19).

     Menyadari fakta bahwa kita datang dan pergi dengan tangan kosong akan membantu kita menjalani hidup dengan bergantung sepenuhnya kepada Tuhan, bukan kepada harta kekayaan;  dan kesadaran bahwa harta kekayaan adalah fana akan membebaskan kita dari keserakahan.  Kita tidak perlu dengan serakah mencari dan mengejar harta kekayaan duniawi yang sifatnya hanya sementara saja.  Alkitab menyatakan bahwa orang yang serakah tidak akan mendapat tempat di dalam kerajaan sorga  (baca  Efesus 5:5).

Oleh karena itu kumpulkanlah harta di sorga, bukan harta di bumi!

Tuesday, July 26, 2016

PENGARUH UANG DAN KEKAYAAN BAGI MANUSIA

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 26 Juli 2016 

Baca:  Lukas 16:1-9

"Apakah yang kudengar tentang engkau? Berilah pertanggungan jawab atas urusanmu, sebab engkau tidak boleh lagi bekerja sebagai bendahara."  Lukas 16:2

Tuhan menyampaikan pelajaran berharga kepada murid-murid-Nya tentang pengaruh uang dan kekayaan dalam kehidupan manusia melalui perumpamaan tentang bendahara yang tidak jujur.  Dikisahkan ada orang kaya yang memercayakan harta kekayaannya kepada hambanya untuk dikelola, tapi kemudian didapati bahwa hambanya ini telah menyalahgunakan kepercayaan tuannya ini.  Tuan kaya ini adalah gambaran dari Tuhan, pemilik segala-galanya.  Sedangkan bendahara yang tidak jujur adalah gambaran dari kita.

     Tuhan telah memercayakan kepada kita segala sesuatu:  talenta, uang, kekayaan, dan sebagainya.  Semua berkat yang Tuhan percayakan kepada kita itu bukan bertujuan untuk dinikmati sendiri, tapi harus dikembangkan dan dipergunakan untuk kemuliaan nama Tuhan dan disalurkan untuk memberkati sesama  (diberkati untuk memberkati).  Jika kita menyalahgunakan berkat yang Tuhan percayakan kita dapat digolongkan sebagai bendahara yang tidak jujur.  Jelas sekali bahwa uang dan kekayaan dapat memengaruhi pola pikir dan juga jalan hidup seseorang.  Dengan kata lain uang dan kekayaan memiliki kekuatan untuk menjerat dan memikat hati seseorang, "Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada."  (Matius 6:21), bahkan dapat memerbudak hidup seseorang.  "Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka."  (1 Timotius 6:10b).  Uang dan kekayaan juga dapat mengubah sikap hati seseorang, dari rendah hati menjadi sombong, sehingga memandang rendah orang lain.

     Melalui perumpamaan ini Yesus hendak mengingatkan bahwa uang dan kekayaan adalah sesuatu yang sementara, tidak kekal.  Hal itu tersirat dari pernyataan-Nya,  "...jika Mamon itu tidak dapat menolong lagi,"  (ayat 9).  Banyak ayat yang mendukung hal itu:  kekayaan itu sesuatu yang tidak menentu  (baca  1 Timotius 6:17), kekayaan mudah sekali lenyap  (baca  Amsal 23:5).  Apa yang ada pada kita adalah sesuatu yang dipercayakan Tuhan, yang suatu waktu kelak harus kita pertanggungjawabkan di hadapan-Nya.

"...kepada siapa yang banyak dipercayakan, dari padanya akan lebih banyak lagi dituntut."  Lukas 12:48b

Monday, July 25, 2016

TUHAN PELINDUNG YANG AMAN (2)

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 25 Juli 2016 

Baca:  Mazmur 9:1-21

"Demikianlah TUHAN adalah tempat perlindungan bagi orang yang terinjak, tempat perlindungan pada waktu kesesakan."  Mazmur 9:10

Nama Tuhan adalah menara yang kuat, karena di dalam nama-Nya ada kuasa yang sangat dahsyat;  nama-Nya adalah nama di atas segala nama.  Dalam pemikiran orang Ibrani kuno nama seseorang adalah gambaran dari pribadi orang itu kelak.  Begitu pula dengan nama Tuhan yang adalah pewahyuan dari diri Tuhan sendiri.  Tuhan menghendaki nama-Nya dipuji dan diserukan.  Ketika kita memuji dan menyerukan nama-Nya kita akan mengalami kuasa dari nama itu.  "dan apa juga yang kamu minta dalam nama-Ku, Aku akan melakukannya,"  (Yohanes 14:13).

     Perlindungan yang aman dialami Daud ketika ia berada di kemah Tuhan"Biarlah aku menumpang di dalam kemah-Mu untuk selama-lamanya,"  (Mazmur 61:5), karena di situlah Tuhan hadir dengan segala otoritas-Nya.  Daud berkata,  "...lebih baik satu hari di pelataran-Mu dari pada seribu hari di tempat lain; lebih baik berdiri di ambang pintu rumah Allahku dari pada diam di kemah-kemah orang fasik."  (Mazmur 84:11).  Selanjutnya rasa aman dan tenteram Daud rasakan ketika ia  "...berlindung dalam naungan sayap-Mu!"  (Mazmur 61:5).  Tuhan menggambarkan diri-Nya bagai induk rajawali, sedang umat-Nya adalah anak-anak-Nya.  "Laksana rajawali menggoyangbangkitkan isi sarangnya, melayang-layang di atas anak-anaknya, mengembangkan sayapnya, menampung seekor, dan mendukungnya di atas kepaknya, demikianlah TUHAN sendiri menuntun dia, dan tidak ada allah asing menyertai dia."  (Ulangan 32:11-12).  Bagaikan anak rajawali yang berlindung di bawah sayap induknya, demikianlah Daud rindu berlindung di bawah perlindungan-Nya.  "Dengan kepak-Nya Ia akan menudungi engkau, di bawah sayap-Nya engkau akan berlindung,"  (Mazmur 91:4).

     Perjalanan hidup Daud penuh tantangan, namun ketika ia mengandalkan Tuhan hidupnya terjaga aman.  Jaminan perlindungan bukan ia dapatkan dari hal-hal fana, bukan dari dunia, melainkan dari Tuhan.

Di tengah dunia yang penuh gejolak ini  "Lebih baik berlindung pada TUHAN dari pada percaya kepada manusia. Lebih baik berlindung pada TUHAN dari pada percaya kepada para bangsawan."  Mazmur 118:8-9

Sunday, July 24, 2016

TUHAN PELINDUNG YANG AMAN (1)

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 24 Juli 2016 

Baca:  Mazmur 61:1-9

"Dari ujung bumi aku berseru kepada-Mu, karena hatiku lemah lesu; tuntunlah aku ke gunung batu yang terlalu tinggi bagiku."  Mazmur 61:3

Latar belakang mazmur ini adalah ketika Daud sedang dalam situasi yang sangat genting karena harus menghadapi pemberontakan yang dilakukan oleh anaknya sendiri, Absalom.

     Dengan berbagai cara Absalom berusaha membujuk orang-orang Israel agar mau berpihak kepadanya dengan tujuan melengserkan Daud dari jabatannya sebagai raja atas Israel  (baca  2 Samuel 15).  Sebagai pemegang kekuasaan tertinggi sesungguhnya Daud bisa melakukan apa saja untuk menumpas pemberontak karena ia memiliki tentara atau kekuatan militer yang telah teruji ketangguhannya di medan perang.  Namun hal itu tidak ia lakukan!  Yang diperbuat Daud adalah datang kepada Tuhan dengan kerendahan hati, mengadukan permasalahan kepada-Nya dan meminta perlindungan-Nya.  Ini menunjukkan bahwa dalam segala perkara Daud senantiasa mengandalkan Tuhan, bukan mengandalkan kekuatan dan kemampuan sendiri, karena ia sadar bahwa kekuatan dan kemampuan manusia ada batasnya.  Ia tahu benar kepada siapa harus meminta pertolongan, dan satu-satunya tempat perlindungan yang aman dalam Tuhan.

     Bagi Daud Tuhan adalah gunung batu  (ayat 3).  Pernyataan,  '...tuntunlah aku ke gunung batu yang terlalu tinggi bagiku.'  menunjukkan bahwa gunung batu ini bukanlah gunung batu biasa, melainkan gunung batu yang jauh lebih tinggi dari apa pun, sehingga tak mudah bagi manusia untuk menjangkaunya.  Daud menyadari bahwa dengan kekuatan dan kemampuan sendiri ia takkan mampu mendaki ke gunung itu, karena itu ia memohon agar Tuhan sendiri yang menuntunnya ke  'gunung'  itu, yang merujuk kepada pribadi Tuhan sendiri, dimana di sanalah ia menemukan tempat perlindungan yang aman.  Selain itu Daud menyebut Tuhan sebagai menara yang kuat  (ayat 4).  Menara adalah bangunan yang tinggi, bagian bangunan yang dibuat jauh lebih tinggi daripada bangunan induknya yang berfungsi untuk mengawasi daerah sekitar.  Di zaman dahulu menara dibangun sebagai benteng pertahanan kota.  Ketika musuh menyerang, penduduk serta-merta berlari menyelamatkan diri ke menara tersebut untuk berlindung.  Kota yang tidak memiliki menara mudah sekali diduduki musuh karena dari menara itulah semua strategi bertahan dan menyerang diluncurkan.  "Nama TUHAN adalah menara yang kuat, ke sanalah orang benar berlari dan ia menjadi selamat."  (Amsal 18:10).  (Bersambung)

Saturday, July 23, 2016

ORANG TULUS HATI: Dalam Perlindungan Tuhan

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 23 Juli 2016 

Baca:  Mazmur 11:1-7

"Pada TUHAN aku berlindung, bagaimana kamu berani berkata kepadaku: "Terbanglah ke gunung seperti burung!"  Mazmur 11:1

Dalam suatu peperangan satu-satunya tempat yang paling aman adalah tempat perlindungan atau benteng perlindungan.  Namun kita harus tahu secara persis seberapa kuat tempat perlindungan atau benteng perlindungan tersebut.

     Dunia adalah medan peperangan karena setiap hari kita harus berjuang melawan hawa nafsu, berjuang untuk hidup benar, berjuang menghadapi badai persoalan, terlebih-lebih berjuang melawan penghulu-penghulu di udara dan roh-roh jahat di udara  (Iblis), yang kesemuanya membutuhkan perjuangan yang tidak mudah.  Satu hal yang pasti adalah bahwa Tuhan berjanji kepada umat-Nya untuk memberikan jaminan kemenangan karena Dia adalah tempat perlindungan yang teguh.  Tetapi tidak semua orang akan beroleh perlindungan dari Tuhan, karena  "TUHAN ada di dalam bait-Nya yang kudus; TUHAN, takhta-Nya di sorga; mata-Nya mengamat-amati, sorot mata-Nya menguji anak-anak manusia."  (Mazmur 11:4).  Semua tingkah laku atau perbuatan manusia  (baik atau buruk)  tidak ada yang luput dari pengamatan Tuhan.  Seperti ada tertulis:  "Dan tidak ada suatu makhlukpun yang tersembunyi di hadapan-Nya, sebab segala sesuatu telanjang dan terbuka di depan mata Dia, yang kepada-Nya kita harus memberikan pertanggungan jawab."  (Ibrani 4:13).  Tuhan memberikan jaminan perlindungan kepada setiap orang yang berhak untuk mendapatkan.  Siapakah itu?  Yaitu orang-orang yang hidup dalam ketulusan hati,  "Sebab TUHAN adalah adil dan Ia mengasihi keadilan; orang yang tulus akan memandang wajah-Nya."  (Mazmur 11:7).

     Di zaman sekarang ini sulit menemukan orang yang punya ketulusan hati karena banyak orang cenderung mementingkan diri sendiri, mengejar keuntungan dengan menghalalkan segala cara, bahkan kalau perlu mengorbankan orang lain.  Di sisi lain hari-hari yang dihadapi orang-orang yang tulus hati sepertinya begitu berat dan seringkali diwarnai air mata, namun percayalah pada akhirnya orang yang tulus akan terpelihara hidupnya secara aman, karena Tuhan sendiri yang menjadi tempat perlindungan.

"Perisai bagiku adalah Allah, yang menyelamatkan orang-orang yang tulus hati;"  Mazmur 7:11

Friday, July 22, 2016

TUHAN SANGGUP MENGUBAH KEADAAN (2)

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 22 Juli 2016 

Baca:  Yesaya 43:8-21

"Lihat, Aku hendak membuat sesuatu yang baru, yang sekarang sudah tumbuh, belumkah kamu mengetahuinya? Ya, Aku hendak membuat jalan di padang gurun dan sungai-sungai di padang belantara."  Yesaya 43:19

Kisah kehidupan Yusuf adalah contoh berharga bagi kita.  Mengalami hal-hal buruk  (dimasukkan sumur, dijual sebagai budak, dipenjara)  bukanlah akhir perjalanan hidup Yusuf, namun merupakan bagian dari proses yang Tuhan ijinkan terjadi.

     Ketika Yusuf tetap setia menjalani proses dan tidak berontak kepada Tuhan, hal-hal luar biasa Tuhan nyatakan.  Keadaan Yusuf, yang secara manusia hopeless, Tuhan ubah menjadi hopeful, bahkan hidupnya pun menjadi berkat bagi kaum keluarga dan bangsanya.  "diutus-Nyalah seorang mendahului mereka: Yusuf, yang dijual menjadi budak. Mereka mengimpit kakinya dengan belenggu, lehernya masuk ke dalam besi, sampai saat firman-Nya sudah genap, dan janji TUHAN membenarkannya. Raja menyuruh melepaskannya, penguasa bangsa-bangsa membebaskannya. Dijadikannya dia tuan atas istananya, dan kuasa atas segala harta kepunyaannya,"  (Mazmur 105:17-21).

     Kunci agar tetap kuat di tengah penderitaan yang berat adalah jangan tawar hati,  "Jika engkau tawar hati pada masa kesesakan, kecillah kekuatanmu."  (Amsal 24:10), tetap menjaga ucapan dengan selalu memerkatakan firman Tuhan,  "demikianlah firman-Ku yang keluar dari mulut-Ku: ia tidak akan kembali kepada-Ku dengan sia-sia, tetapi ia akan melaksanakan apa yang Kukehendaki, dan akan berhasil dalam apa yang Kusuruhkan kepadanya."  (Yesaya 55:11), dan arahkan pandangan hanya kepada Tuhan Yesus sumber pertolongan, bukan kepada yang lain.

     Sekalipun keadaan sepertinya belum juga berubah, seperti berada di lembah-lembah kekelaman atau padang gurun, itu bukanlah akhir perjalanan hidup kita sebab kita masih punya pengharapan di dalam Tuhan, dan pengharapan di dalam Dia tidak pernah mengecewakan, Tuhan pasti sanggup mengubah keadaan dari yang tak mungkin menjadi mungkin, asalkan kita tetap hidup seturut kehendak-Nya.

"Bagi Dialah, yang dapat melakukan jauh lebih banyak dari pada yang kita doakan atau pikirkan, seperti yang ternyata dari kuasa yang bekerja di dalam kita,"  Efesus 3:20

Thursday, July 21, 2016

TUHAN SANGGUP MENGUBAH KEADAAN (1)

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 21 Juli 2016 

Baca:  Mazmur 107:33-38

"Dibuat-Nya padang gurun menjadi kolam air, dan tanah kering menjadi pancaran-pancaran air."  Mazmur 107:35

Ketika berada dalam situasi buruk dan seperti tidak ada jalan keluar, umumnya orang akan mudah sekali kecewa, putus asa, frustasi dan akhirnya menyerah kepada keadaan.  Mereka berkata,  "Tidak mungkin sakitku disembuhkan, tidak mungkin hidupku dipulihkan, tidak mungkin aku berhasil...memang sudah nasib!"  Ketahuilah, keberhasilan atau kegagalan bukanlah nasib, tapi merupakan dampak dari respons kita terhadap situasi atau masalah yang terjadi.  Orang yang berhasil bukanlah orang yang tidak pernah gagal atau tidak pernah mengalami masalah, melainkan orang yang mampu menangkap setiap kesulitan menjadi sebuah kesempatan untuk meraih keberhasilan.

     Seberat apa pun pergumulan yang sedang kita alami janganlah dijadikan alasan untuk menyerah, tetapi jadikanlah alasan untuk berserah sepenuhnya kepada Tuhan.  Menyerah berbeda dengan berserah.  Menyerah berarti sudah tidak mau berbuat apa-apa lagi dan berputus asa, tetapi orang yang berserah adalah orang yang mengandalkan Tuhan dan percaya penuh kepada kehendak-Nya.  "-sebab hidup kami ini adalah hidup karena percaya, bukan karena melihat-"  (2 Korintus 5:7).  Kita percaya bahwa Tuhan Mahasanggup:  menciptakan yang tidak ada menjadi ada, mengubah yang buruk menjadi baik, mengubah yang pahit menjadi manis, mengubah kegagalan menjadi keberhasilan.

     Setelah tiga hari lamanya berjalan di padang gurun dengan tidak mendapat air, sampailah umat Israel di Mara,  "...tetapi mereka tidak dapat meminum air yang di Mara itu, karena pahit rasanya."  (Keluaran 15:23).  Seketika itu juga mereka bersunggut-sungut dan mengomel, lalu berdoalah Musa kepada Tuhan, lalu  "TUHAN menunjukkan kepadanya sepotong kayu; Musa melemparkan kayu itu ke dalam air; lalu air itu menjadi manis."  (Keluaran 15:25).  Dengan kuasa-Nya Tuhan sanggup mengubah yang pahit menjadi manis, bahkan di balik keadaan yang pahit itu Tuhan sudah memersiapkan berkat luar biasa bagi mereka.  "Sesudah itu sampailah mereka di Elim; di sana ada dua belas mata air dan tujuh puluh pohon korma, lalu berkemahlah mereka di sana di tepi air itu."  (Keluaran 15:27).

Bagi orang percaya masalah bukanlah akhir segala-galanya, melainkan awal sebuah proses menuju rencana Tuhan yang indah!

Wednesday, July 20, 2016

FIRMAN TUHAN ADALAH PELITA HIDUP

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 20 Juli 2016 

Baca:  Mazmur 119:105-112

"Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku."  Mazmur 119:105

Hal utama apa yang diperlukan semua orang ketika berjalan di kegelapan yang pekat?  Bukan uang, bukan mobil, bukan apa pun yang mereka butuhkan, hanya pelita atau terang.  Pelita, satu bagian dari kaki dian dalam Tabernakel atau Kabah, umumnya dipakai orang sebagai alat penerang dalam keadaan sangat darurat.  Pelita atau terang akan membantu kita melihat atau memandang sekitar, dan menuntun kita ke jalan dan arah yang benar sehingga langkah kaki kita tidak akan terantuk batu atau terperosok ke lubang yang dalam, dan kemungkinan besar kita pun tidak akan tersesat.

     Dunia, tempat di mana kita menjalani hidup ini sedang diliputi kegelapan di segala aspek, sebab  "...Kita tahu, bahwa kita berasal dari Allah dan seluruh dunia berada di bawah kuasa si jahat."  (1 Yohanes 5:19).  Karena berada di dalam dunia yang gelap banyak orang dihantui rasa was-was dan ketakutan oleh karena arah hidupnya tidak jelas dan serba tidak pasti.  "Ada jalan yang disangka orang lurus, tetapi ujungnya menuju maut."  (Amsal 14:12).  Syukur kepada Tuhan, meski berada di tengah dunia yang gelap, sebagai orang percaya kita bukanlah orang-orang yang hidup dalam kegelapan tersebut,  "karena kamu semua adalah anak-anak terang dan anak-anak siang. Kita bukanlah orang-orang malam atau orang-orang kegelapan."  (1 Tesalonika 5:5).  Kita disebut sebagai anak-anak terang karena kita memiliki firman Tuhan sebagai pelita bagi kaki kita dan terang bagi jalan kita, sehingga meskipun kita berjalan di tengah dunia yang gelap jalan kita adalah terang seperti siang hari, sebab firman-Nya selalu menerangi dan menuntun langkah kita seperti perjalanan umat Israel yang senantiasa disertai tiang awan dan tiang api.

     Bagi setiap orang yang senantiasa berjalan di dalam firman Tuhan apa yang dikerjakan dan dilakukan akan terlihat terang, sebab  "Bila tersingkap, firman-firman-Mu memberi terang,"  (Mazmur 119:130), karena bermanfaat untuk mengajar, menyatakan kesalahan, memerbaiki kelakuan dan mendidik kita dalam kebenaran, sehingga kehidupan kita akan selalu diperbaharui dari hari ke sehari, hingga semakin berkenan kepada Tuhan.

"Karena perintah itu pelita, dan ajaran itu cahaya, dan teguran yang mendidik itu jalan kehidupan,"  Amsal 6:23

Tuesday, July 19, 2016

HIDUP BAGAIKAN BEJANA (3)

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 19 Juli 2016 

Baca:  Yesaya 64:1-12

"Tetapi sekarang, ya TUHAN, Engkaulah Bapa kami! Kamilah tanah liat dan Engkaulah yang membentuk kami, dan kami sekalian adalah buatan tangan-Mu."  Yesaya 64:8

Jika hari ini kita ada sebagaimana kita ada saat ini semua adalah anugerah Tuhan semata, Dialah yang merenda hidup kita untuk dijadikan-Nya bejana yang mempunyai kegunaan bagi kemuliaan Tuhan.

     Dalam pembentukan Tuhan ada saatnya kita menikmati berkat, pertolongan dan mujizat, tetapi ada juga masa di mana kita diperhadapkan pada situasi-situasi sulit yang seolah-olah tidak ada jalan keluarnya.  Tetapi kalau kita mau bersabar dan setia mengikuti alur Tuhan maka proses pembentukan ini akan berakhir happy ending, karena  "Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya,"  (Pengkhotbah 3:11).  Tuhan membentuk dan menjadikan kita dengan satu tujuan supaya hidup kita berharga.  Sebelum diselamatkan melalui karya Kristus di kayu salib hidup kita sungguh tidak berharga karena dosa, sebab  "...semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah, dan oleh kasih karunia telah dibenarkan dengan cuma-cuma karena penebusan dalam Kristus Yesus."  (Roma 3:23-24).  Jadi kita harus mengerjakan keselamatan yang telah diterima dengan hati yang takut dan gentar, dan mau berada di dalam proses pembentukan Tuhan,  "supaya kamu tiada beraib dan tiada bernoda, sebagai anak-anak Allah yang tidak bercela...sehingga kamu bercahaya di antara mereka seperti bintang-bintang di dunia,"  (Filipi 2:15).  Rasul Paulus mengatakan,  "Jika seorang menyucikan dirinya dari hal-hal yang jahat, ia akan menjadi perabot rumah untuk maksud yang mulia, ia dikuduskan, dipandang layak untuk dipakai tuannya dan disediakan untuk setiap pekerjaan yang mulia."  (2 Timotius 2:21).

     Selain itu Tuhan membentuk kita supaya menjadi pribadi yang tangguh.  Menjalani kehidupan kekristenan bukanlah perkara mudah, sebab kita diperhadapkan banyak tantangan dan cobaan karena kasih-Nya kepada kita;  bukan berarti Tuhan memanjakan kita tetapi justru Ia akan menghajar dan mendidik kita.  "karena Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak."  (Ibrani 12:6).  Karena itu Tuhan mengijinkan kita melewati badai hidup ini supaya kita makin hari makin kuat, seperti burung rajawali.

Melalui proses pembentukan Tuhan kita akan menjadi pribadi yang berkualitas!

Monday, July 18, 2016

HIDUP BAGAIKAN BEJANA (2)

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 18 Juli 2016 

Baca:  Mazmur 119:73-80

"Tangan-Mu telah menjadikan aku dan membentuk aku, berilah aku pengertian, supaya aku dapat belajar perintah-perintah-Mu."  Mazmur 119:73

Tuhan berkata,  "Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan."  (Yeremia 29:11).  Janji firman-Nya sudah sangat jelas menyatakan bahwa rancangan Tuhan untuk anak-anak-Nya adalah rancangan yang baik.  Janji firman-Nya ini juga sebagai penegasan bahwa Tuhan tidak pernah membiarkan kita menjalani kehidupan yang tidak jelas, Dia tidak pernah meninggalkan dan melupakan kita sedetik pun, Dia mempunyai keinginan bagi hidup kita.  "Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau."  (Ibrani 13:5b).

     Pergumulan berat apa yang sedang Saudara alami saat ini?  Sakit yang tak kunjung sembuh, jodoh, rumah tangga sedang guncang, ekonomi sedang terpuruk, kegagalan dalam studi?  Jangan sekali-kali menyalahkan Tuhan dan menganggap Dia berlaku jahat terhadap Saudara.  Jika kita terus mengomel, bersungut-sungut, memberontak dan tidak bisa mengucap syukur atas apa yang terjadi, maka keadaan kita bagaikan tanah liat yang keras yang sulit dibentuk.  Berserahlah kepada Tuhan dan ijinkan Dia berkarya secara leluasa.  "Siapakah kamu, hai manusia, maka kamu membantah Allah? Dapatkah yang dibentuk berkata kepada yang membentuknya: 'Mengapakah engkau membentuk aku demikian?' Apakah tukang periuk tidak mempunyai hak atas tanah liatnya, untuk membuat dari gumpal yang sama suatu benda untuk dipakai guna tujuan yang mulia dan suatu benda lain untuk dipakai guna tujuan yang biasa?"  (Roma 9:20-21).

     Tukang periuk mempunyai hak penuh terhadap tanah liat, apakah akan dibentuk sebagai bejana untuk tujuan yang mulia atau bejana untuk tujuan yang biasa-biasa.  Begitu pula Tuhan, Ia mempunyai rencana bagi kehidupan setiap orang percaya dan kita harus percaya bahwa Ia sanggup melakukan segala sesuatu, dan tidak ada rencana-Nya yang gagal.  (Ayub 42:1).

Berada dalam proses pembentukan memang sakit secara daging, tapi jika kita mau tunduk dan berserah kita akan menjadi bejana sesuai kehendak-Nya!

Sunday, July 17, 2016

HIDUP BAGAIKAN BEJANA (1)

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 17 Juli 2016 

Baca:  Yeremia 18:1-6

"Sungguh, seperti tanah liat di tangan tukang periuk, demikianlah kamu di tangan-Ku, hai kaum Israel!"  Yeremia 18:6b

Suatu ketika Tuhan menyuruh Yeremia pergi ke rumah tukang periuk,  "Di sana Aku akan memperdengarkan perkataan-perkataan-Ku kepadamu."  (Yeremia 18:2).  Yeremia pun taat dan pergi ke tukang periuk.

     Di tempat itu Yeremia melihat bagaimana tukang periuk mengambil tanah liat dan membentuknya sedemikian rupa sampai menghasilkan bejana yang indah, dari yang tidak berharga menjadi bernilai guna.  Tanah liat tidak secara otomatis berubah menjadi bejana yang indah, tetapi harus melewati beberapa proses sehingga dapat menjadi sebuah bejana yang berharga.  Yang perlu digarisbawahi adalah tanah liat tidak akan berbentuk seperti yang dikehendaki oleh si tukang periuk jika tanah itu tidak memiliki penyerahan diri.  Dengan kata lain tukang periuk tidak dapat berbuat sesuatu dengan tanah liat yang menolak dibentuk.  Tuhan membawa Yeremia belajar dari tukang periuk karena Tuhan hendak menunjukkan bahwa setiap manusia mengalami proses pembentukan yang mirip bejana.  Inilah yang disebut proses kehidupan!  "Apabila bejana, yang sedang dibuatnya dari tanah liat di tangannya itu, rusak, maka tukang periuk itu mengerjakannya kembali menjadi bejana lain menurut apa yang baik pada pemandangannya."  (Yeremia 18:4).  Ketika tanah liat tidak mengikuti bentukan si tukang periuk sehingga rusak, terjadilah proses pengulangan pembentukan sampai menjadi bejana seperti yang dikehendaki.

     Secara profetik apa yang disampaikan Tuhan kepada Yeremia ini adalah sebuah pesan kepada bangsa Israel yang selalu memberontak dan tidak mau menyerah kepada pembentukan Tuhan.  Mereka melawan seperti tanah liat yang mengeraskan hati dan tidak mau menyerah kepada tukang periuk.  Tuhan menyampaikan kepada Yeremia dan juga bangsa Israel bahwa kuasa untuk menjadi  'sesuatu'  itu tergantung pada diri mereka sendiri, sebab Tuhan bukanlah Tuhan yang mau memaksakan kehendak-Nya.  Jadi sesungguhnya tidak ada satu pun peristiwa dalam kehidupan orang percaya yang terjadi secara kebetulan, semua merupakan bagian dari proses kehidupan yang harus dijalani.

Milikilah penyerahan diri penuh kepada pembentukan Tuhan, sebab Dia tahu yang terbaik buat kita!

Saturday, July 16, 2016

BERBAKTI KEPADA TUHAN

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 16 Juli 2016 

Baca:  Roma 11:25-36

"Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!"  Roma 11:36

Banyak orang Kristen memiliki pengertian yang salah ketika mereka mendengar kata berbakti kepada Tuhan.  Mereka selalu menyimpulkan bahwa berbakti kepada Tuhan berarti selalu berkaitan dengan kegiatan-kegiatan rohani di rumah ibadah atau terlibat dalam pelayanan yang dilakukan di lingkungan gereja.  Padahal berbakti kepada Tuhan bukan hanya berbicara mengenai aktivitas ibadah atau pelayanan yang dilakukan secara rutin di gereja, tetapi meliputi seluruh keberadaan hidup kita, meliputi seluruh gerak hidup kita sehari-hari.  Jadi jam berbakti kepada Tuhan bukan hanya 2 jam di dalam gedung gereja, tetapi selama 24 jam waktu yang kita miliki adalah untuk berbakti kepada Tuhan.  Inilah yang dimaksud berbakti kepada Tuhan.  "Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia."  (Kolose 3:23).

     Berbakti, dengan kata dasar bakti berarti:  tunduk dan hormat, perbuatan yang menyatakan setia  (kasih, hormat, tunduk).  Berbakti kepada Tuhan adalah sebuah keputusan untuk menjadikan Tuhan sebagai pusat pengabdian hidup atau sasaran hidup,  "Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia:"  (ayat nas).  Segala sesuatu yang kita kerjakan dalam hidup ini  (dalam profesi apa pun)  hendaknya menjadi ladang memraktekkan nilai-nilai firman Tuhan atau menjadi pelaku firman Tuhan.  Jadi tempat untuk kita berbakti kepada Tuhan bukan hanya di dalam gedung gereja saja, tetapi di mana pun kita berada  (di rumah, di kantor, di toko, di sekolah, di kampus).  Tetapi sering dijumpai banyak orang Kristen yang tampak berbakti kepada Tuhan dengan sungguh-sungguh saat berada di gereja, tetapi begitu berada di luar gereja, bahkan masih di area parkiran gereja, mereka sudah tidak lagi berperilaku sebagai orang yang berbakti kepada Tuhan;  tabiat lama kembali muncul.

     Ini menunjukkan bahwa ibadah mereka kepada Tuhan tidak lebih dari ritual atau upacara agamawi semata, terbukti dari karakter hidupnya yang tidak berubah.

Berbakti kepada Tuhan bukan hanya diukur dari tata cara ibadah atau liturgi, tetapi meliputi seluruh tindakan dan perbuatan dalam keseharian kita!

Friday, July 15, 2016

RUMAH TUHAN BUKAN SARANG PENYAMUN

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 15 Juli 2016 

Baca:  Matius 21:12-17

"Lalu Yesus masuk ke Bait Allah dan mengusir semua orang yang berjual beli di halaman Bait Allah."  Matius 21:12a

Dari pembacaan ayat nas di atas kita mendapati adanya tindakan tegas yang dilakukan Tuhan Yesus terhadap orang-orang yang telah menyalahgunakan Bait Allah.  Semua orang tahu bahwa Bait Allah hanya digunakan untuk beribadah, bukan untuk hal-hal yang lain, sebab rumah Tuhan adalah kudus.

     Tuhan Yesus marah bukan karena benci terhadap orang-orang itu, tetapi Ia hendak menegaskan bahwa bait Allah adalah rumah doa, tempat di mana jemaat dapat mengalami perjumpaan dengan Tuhan dalam pengabdian, doa dan penyembahan, tetapi kini sebagai sarang penyamun.  Mengapa orang-orang menyalahgunakan bait Allah ini?  Karena mereka mendapatkan keuntungan dari apa yang dilakukan, apalagi para imam yang adalah orang-orang pilihan Tuhan yang bertugas melayani di bait-Nya yang kudus juga telah memberikan  'lampu hijau'  untuk kegiatan ini, sebab mereka pun mendapatkan fee.  Menariknya, kisah Tuhan Yesus menyucikan bait Allah ini ditulis dalam keempat Injil.

     Sungguh benar apa yang dikatakan oleh rasul Paulus bahwa  "...akar segala kejahatan ialah cinta uang."  (1 Timotius 6:10a).  Uang telah mengubah segalanya!  Karena uang mereka berani melakukan tindakan kompromi dan tidak lagi menghormati kekudusan Tuhan.  Sesungguhnya uang adalah hamba yang baik bagi kita, namun jika uang telah menjadi  'tuan'  atas hidup seseorang maka ia akan menjadi tuan yang jahat.  Hanya karena uang mental seseorang yang dulunya baik bisa menjadi rusak;  pelayanan yang semula didasari oleh motivasi yang murni kini mulai memertimbangkan untung-rugi, karena segala sesuatu diukur dengan uang.  Sedihnya kisah ini tidak hanya terjadi di zaman Tuhan Yesus, tetapi di zaman sekarang pun juga masih berlangsung dan semakin marak.  Jika kita tidak berhati-hati kita bisa terjebak dengan perilaku yang demikian yaitu melayani Tuhan dengan motivasi yang tidak benar, di mana orientasi pelayanan bukan murni untuk melayani Tuhan dan mengasihi jiwa-jiwa, tetapi semata-mata demi mendapatkan keuntungan secara finansial semata, ladang pelayanan dijadikan sebagai ladang untuk berbisnis.

"Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon."  Matius 6:24

Thursday, July 14, 2016

SEMAKIN MAJU DI DALAM TUHAN

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 14 Juli 2016 

Baca:  1 Timotius 4:1-16

"Perhatikanlah semuanya itu, hiduplah di dalamnya supaya kemajuanmu nyata kepada semua orang."  1 Timotius 4:15

Kalau pemahaman kita tentang kekristenan tak lebih dari sekedar agama yang dipenuhi daftar larangan dan perintah atau berisikan hal-hal yang boleh dilakukan dan tidak boleh, sampai kapan pun kerohanian kita tidak akan mengalami kemajuan, sebaliknya cepat atau lambat kerohanian kita akan mati sebab pemahaman seperti itu ibadahnya hanya bersifat agamawi dan penuh dengan aturan dan aktivitas, bukan didasari oleh kasih kepada Tuhan.  "Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku. Percuma mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia."  (Matius 15:8-9).

     Supaya kerohanian kita mengalami kemajuan kuncinya adalah memiliki roh yang menyala-nyala sebagaimana yang dinasihatkan oleh Rasul Paulus,  "Janganlah hendaknya kerajinanmu kendor, biarlah rohmu menyala-nyala dan layanilah Tuhan."  (Roma 12:11).  Ketika orang Kristen memiliki roh yang menyala-nyala ia akan mampu mengalahkan segala bentuk kemalasan, yang pada akhirnya akan mendorongnya melayani Tuhan dengan sungguh-sungguh tanpa disertai omelan atau persungutan.  Inilah yang disebut penyangkalan diri yaitu menyalibkan segala kenyamanan!

     Karena memiliki roh yang menyala-nyala orang punya rasa haus dan lapar akan perkara-perkara rohani, kerinduannya untuk bersekutu dengan Tuhan dan menikmati hadirat-Nya begitu besar.  "Seperti rusa yang merindukan sungai yang berair, demikianlah jiwaku merindukan Engkau, ya Allah. Jiwaku haus kepada Allah, kepada Allah yang hidup. Bilakah aku boleh datang melihat Allah?"  (Mazmur 42:2-3).  Ia tidak akan pernah merasa bosan dan jenuh untuk membaca, mendengarkan dan merenungkan firman Tuhan,  "...Taurat-Mu menjadi kesukaanku."  (Mazmur 119:174).  Orang yang memiliki roh yang menyala-nyala tak akan mampu menahan bibirnya untuk bersaksi tentang Kristus dan memberitakan kabar sukacita  (Injil)  kepada semua orang yang ditemuinya, kapan pun dan di mana pun.

Perubahan hidup adalah wujud nyata dari tiap orang yang mengalami kemajuan rohani!

Wednesday, July 13, 2016

MENGERJAKAN AMANAT AGUNG TUHAN (2)

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 13 Juli 2016 

Baca:  Efesus 4:1-16

"Dari pada-Nyalah seluruh tubuh, --yang rapih tersusun dan diikat menjadi satu oleh pelayanan semua bagiannya, sesuai dengan kadar pekerjaan tiap-tiap anggota--menerima pertumbuhannya dan membangun dirinya dalam kasih."  Efesus 4:16

Tuhan tidak ingin kita hanya sekedar menjadi orang percaya, tapi ingin agar kita melangkah menjadi murid.  Kata murid berasal dari kata disiplin.  Kedua kata itu berasal dari bahasa Latin discipulus, yang berarti murid.  Menurut American Heritage Dictionary, dua definisi utama dari disiplin adalah:  1.  Pelatihan, yang diharapkan menghasilkan suatu karakter khusus atau pola perilaku.  2.  Perilaku yang dihasilkan dari latihan pendisiplinan, pengendalian diri.  Inilah panggilan bagi gereja!  Ada banyak gereja yang terlalu disibukkan dengan berbagai kegiatan kerohanian atau agenda pelayanan, tetapi mereka malah mengabaikan Amanat Agung Tuhan yaitu membawa jemaatnya kepada proyek pemuridan.  Murid dalam kekristenan bukanlah orang yang harus terdaftar di sekolah Alkitab terlebih dahulu, tapi semua orang percaya yang mau diajar dan dilengkapi dengan berbagai perlengkapan rohani yang baik.

     Pada gereja mula-mula orang-orang percaya lebih dikenal sebagai murid-murid, oleh karena mereka telah menunjukkan kualitas hidup seperti yang Tuhan kehendaki, salah satunya adalah tetap berada di dalam firman-Nya.  "Jikalau kamu tetap dalam firman-Ku, kamu benar-benar adalah murid-Ku."  (Yohanes 8:31).  Murid harus menunjukkan konsistensinya dalam menjalankan apa yang diajarkan kepadanya, hidup tidak menyimpang dari firman Tuhan  (menaati firman-Nya).  Oleh karena itu ia harus memberi diri untuk dididik dan diajar oleh firman Tuhan.  Inilah yang dilakukan jemaat gerja mula-mula.  "Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan."  (Kisah 2:42).

     Dengan pendewasaan atas setiap individu yang telah diselamatkan, orang percaya akan semakin diteguhkan imannya sehingga mereka tidak mudah diombang-ambingkan ajaran-ajaran menyesatkan.  Jadi gereja harus mampu menjadi sekolah Alkitab dan tempat pembentukan karakter orang percaya menuju kehidupan yang serupa dengan Kristus!

Jika orang percaya sudah menjadi murid dan dewasa rohaninya, itulah saat yang tepat melangkah ke tahap selanjutnya yaitu keluar menjangkau jiwa-jiwa!

Tuesday, July 12, 2016

MENGERJAKAN AMANAT AGUNG TUHAN (1)

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 12 Juli 2016 

Baca:  Yesaya 42:1-9

"Lihat, itu hamba-Ku yang Kupegang, orang pilihan-Ku, yang kepadanya Aku berkenan. Aku telah menaruh Roh-Ku ke atasnya, supaya ia menyatakan hukum kepada bangsa-bangsa."  Yesaya 42:1

Hidup orang Kristen tidaklah semudah yang dibayangkan.  Tidak cukup kita hanya beribadah setiap Minggu di gereja tanpa berbuat sesuatu, sebab kita dipanggil untuk mengerjakan Amanat Agung Tuhan Yesus yaitu:  "...pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman."  (Matius 28:19-20).

     Pada hakekatnya panggilan Tuhan terbagi menjadi dua:  1.  Panggilan umum, yaitu panggilan Tuhan bagi semua orang percaya untuk mengerjakan pelayanan pendamaian.  "Dan semuanya ini dari Allah, yang dengan perantaraan Kristus telah mendamaikan kita dengan diri-Nya dan yang telah mempercayakan pelayanan pendamaian itu kepada kami. Sebab Allah mendamaikan dunia dengan diri-Nya oleh Kristus dengan tidak memperhitungkan pelanggaran mereka. Ia telah mempercayakan berita pendamaian itu kepada kami. Jadi kami ini adalah utusan-utusan Kristus, seakan-akan Allah menasihati kamu dengan perantaraan kami; dalam nama Kristus kami meminta kepadamu: berilah dirimu didamaikan dengan Allah."  (2 Korintus 5:18-20).  Dalam panggilan ini Tuhan menghendaki kita menjadi utusan-utusan Kristus yaitu menjadi garam dan terang bagi dunia ini, supaya melalui kesaksian hidup kita semua orang dapat diperdamaikan kembali dengan Tuhan dan mengalami kasih-Nya.

     2.  Panggilan khusus, yaitu panggilan spesifik bagi orang-orang yang dipilih Tuhan untuk pelayanan lima jawatan.  "Dan Ialah yang memberikan baik rasul-rasul maupun nabi-nabi, baik pemberita-pemberita Injil maupun gembala-gembala dan pengajar-pengajar, untuk memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan, bagi pembangunan tubuh Kristus,"  (Efesus 4:11-12).  Fungsi utama pelayanan lima jawatan ini adalah memerlengkapi anak-anak Tuhan untuk pekerjaan pelayanan:  melatih, membekali, memersiapkan dan memuridkan semua orang percaya agar mereka dapat menjalankan tugas pelayanan pendamaian dengan bekal yang mumpuni.  (Bersambung)

Monday, July 11, 2016

JANGAN MEMFITNAH SESAMA (2)

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 11 Juli 2016 

Baca:  Mazmur 109:1-20

"Biarlah semuanya itu dari pihak TUHAN menjadi upah orang yang mendakwa aku, dan upah orang-orang yang berkata-kata jahat terhadap aku."  Mazmur 109:20

Seorang pemfitnah seringkali tidak menyadari akibat dari perbuatan yang dilakukannya;  selain sangat merugikan orang lain yang difitnahnya, pada saatnya ia sendiri akan  'menikmati'  buah perbuatannya.  Orang yang hobi memfitnah juga akan sulit memiliki teman karib, maka tidaklah mengherankan bila pemfitnah hanya akan memiliki musuh di mana-mana.  "Hidup dan mati dikuasai lidah, siapa suka menggemakannya, akan memakan buahnya."  (Amsal 18:21). 

     Mungkin ada di antara pembaca yang sedang mengalami pergumulan yang berat:  reputasi hancur atau nama tercoreng karena fitnahan orang lain, sehingga terbersit niat melakukan tindakan balas dendam.  Rasul Paulus menasihati,  "Perhatikanlah, supaya jangan ada orang yang membalas jahat dengan jahat, tetapi usahakanlah senantiasa yang baik, terhadap kamu masing-masing dan terhadap semua orang."  (1 Tesalonika 5:15).  Tuhan menghendaki kita mengasihi musuh dan melepaskan pengampunan!  Ada penelitian yang menyatakan bahwa faktor yang menunjang kebahagiaan hidup adalah bukan karena berlimpahnya kekayaan, melainkan karena persahabatan dan pengampunan.  Christopher Peterson, psikolog kenamaan dari Universitas Michigan  (USA)  berkata,  "Kemampuan seseorang untuk mengampuni sesamanya adalah sifat yang terkait erat dengan kebahagiaan, karena mengampuni orang lain adalah kebajikan tertinggi dan mungkin paling sulit dicapai."  Bagi orang percaya yang telah mengalami kasih dan pengampunan dari Tuhan wajib meneruskan kasih dan pengampunan itu kepada sesama.

Bagi pemfitnah, perhatikan peringatan ini!  "Janganlah engkau pergi kian ke mari menyebarkan fitnah di antara orang-orang sebangsamu; janganlah engkau mengancam hidup sesamamu manusia; Akulah TUHAN."  Imamat 19:16

Sunday, July 10, 2016

JANGAN MEMFITNAH SESAMA (1)

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 10 Juli 2016 

Baca:  Mazmur 109:1-20

"Sebab mulut orang fasik dan mulut penipu ternganga terhadap aku, mereka berbicara terhadap aku dengan lidah dusta; dengan kata-kata kebencian mereka menyerang aku dan memerangi aku tanpa alasan."  Mazmur 109:2-3

Kita pasti sangat familiar dengan ungkapan  'fitnah lebih kejam dari pembunuhan'.  Mengapa demikian?  Memfitnah memang tidak membunuh secara fisik, tapi ketika seseorang memfitnah sesamanya berarti ia membunuh karakter orang itu, menghancurkan karirnya, masa depannya, reputasinya, merampas kebahagiaan dan ketenangan hidupnya.  Itulah sebabnya fitnah adalah sebuah tindakan yang kejam dan sangat tidak manusiawi!  Meski demikian tidak sedikit orang beranggapan bahwa memfitnah adalah perbuatan biasa atau kejahatan berskala kecil.  Mereka tidak tahu betapa tindakan tersebut berdampak buruk bagi orang yang difitnah.  Bahkan dalam dunia bisnis yang penuh persaingan ada pelaku bisnis yang menempuh cara kotor ini yaitu memitnah sebagai langkah jitu untuk menjatuhkan reputasi lawan bisnisnya, dengan harapan pamor dirinya akan terangkat.

     Perhatikan tulisan pemazmur:  "TUHAN, siapa yang boleh menumpang dalam kemah-Mu? Siapa yang boleh diam di gunung-Mu yang kudus? Yaitu dia yang berlaku tidak bercela, yang melakukan apa yang adil dan yang mengatakan kebenaran dengan segenap hatinya, yang tidak menyebarkan fitnah dengan lidahnya, yang tidak berbuat jahat terhadap temannya dan yang tidak menimpakan cela kepada tetangganya;"  (Mazmur 15:1-3).  Dengan kata lain, orang yang suka memfitnah tidak akan mendapat tempat di rumah Tuhan  (sorga)  karena tempat kediaman-Nya hanya disediakan bagi orang-orang yang berlaku tidak bercela, melakukan apa yang adil, mengatakn kebenaran, tidak menyebarkan fitnah dan tidak berlaku jahat terhadap sesamanya.

     Seorang pemfitnah pada awalnya mungkin akan tertawa lebar dan merasa puas karena keinginan untuk menghancurkan orang lain telah berhasil, tetapi mereka lupa bahwa cepat atau lambat apa yang ditabur itulah yang akan mereka tuai.  "Jangan sesat! Allah tidak membiarkan diri-Nya dipermainkan. Karena apa yang ditabur orang, itu juga yang akan dituainya. Sebab barangsiapa menabur dalam dagingnya, ia akan menuai kebinasaan dari dagingnya,"  (Galatia 6:7-8).  (Bersambung)

Saturday, July 9, 2016

MEMUJI TUHAN: Sikap Hati Benar (2)

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 9 Juli 2016 

Baca:  Mazmur 96:1-13

"Menyanyilah bagi TUHAN, pujilah nama-Nya, kabarkanlah keselamatan yang dari pada-Nya dari hari ke hari."  Mazmur 96:2

Padanan kata memuji adalah memuliakan, di mana memuliakan adalah tindakan memuji yang biasanya secara khusus ditujukan kepada Tuhan.  Orang yang memiliki pengenalan yang benar tentang Tuhan pasti tidak akan memuji Tuhan dengan sembarangan atau sesuka hati;  ia tidak akan memuji Tuhan hanya saat beribadah atau menghadiri persekutuan doa saja, atau saat mengalami hal-hal yang baik saja, tetapi puji-pujian itu akan selalu keluar dari hati di segala keadaan.  Kapan pun dan di mana pun ia takkan menahan bibirnya untuk terus memuji-muji Tuhan.  "Tujuh kali dalam sehari aku memuji-muji Engkau, karena hukum-hukum-Mu yang adil."  (Mazmur 119:164).  Daud memuji Tuhan tujuh kali dalam sehari karena ia tahu bahwa nama Tuhan adalah nama yang indah dan di dalam nama itu ada kuasa yang dahsyat dan ajaib.

     Pemazmur adalah sosok yang patut kita teladani dalam hal memuji dan memuliakan nama Tuhan, karena hampir seluruh isi kitab Mazmur berisikan puji-pujian bagi Tuhan.  Alkitab menyatakan bahwa nama Yesus bukanlah sembarang nama,  "Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama, supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku: 'Yesus Kristus adalah Tuhan,' bagi kemuliaan Allah, Bapa!"  (Filipi 2:9-11).  Kita harus memuji dan meninggikan nama Tuhan Yesus karena nama-Nya bukan sembarang nama, tetapi nama-Nya di atas segala nama, nama yang mampu membuat setiap lutut bertelut.  Kalau Daud memuji Tuhan tujuh kali sehari, bagaimana kita?  Kasih dan kebaikan Tuhan atas kita sungguh tak terhitung jumlahnya, maka kita patut memuji dan memashyurkan nama-Nya!

     Puji-pujian yang keluar dari sikap hati yang benar akan sangat menyenangkan Tuhan;  dan ketika Tuhan disenangkan, kasih-Nya pasti akan dicurahkan atas hidup kita.  Bagian kita adalah memuji dan memuliakan Tuhan, Ia pun akan bekerja dengan bagian-Nya sendiri.

"Demikianlah aku mau memuji Engkau seumur hidupku dan menaikkan tanganku demi nama-Mu."  Mazmur 63:5

Friday, July 8, 2016

MEMUJI TUHAN: Sikap Hati Benar (1)

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 8 Juli 2016 

Baca:  Mazmur 149:1-9

"Haleluya! Nyanyikanlah bagi TUHAN nyanyian baru! Pujilah Dia dalam jemaah orang-orang saleh."  Mazmur 149:1

Ada banyak orang, tak terkecuali orang Kristen, tidak mengerti bahwa sesungguhnya semua manusia yang ada di dunia ini diciptakan untuk memuji Tuhan, sebab ada tertulis:  "Biarlah segala yang bernafas memuji TUHAN! Haleluya!"  (Mazmur 150:6).  Oleh karenanya memuji dan meninggikan nama Tuhan seharusnya menjadi bagian hidup sehari-hari.

     Dalam kekristenan memuji Tuhan adalah unsur penting dalam setiap peribadatan dan mendapatkan porsi lebih, namun sering terlihat ada jemaat yang menganggap remeh arti puji-pujian bagi Tuhan.  Terbukti dari sikap dan reaksi mereka dalam memuji Tuhan saat ibadah berlangsung:  ada yang memuji Tuhan dengan asal-asalan, setengah hati, tanpa semangat, ala kadarnya, bahkan ada yang memuji Tuhan sambil cekikikan, bersenda gurau, atau sambil memainkan handphone.  Jika ditegur mereka akan berdalih,  "Menyanyi itu bukan bidangku.  Aku tidak nyaman dengan lagu yang dibawakan worship leader, sangat membosankan.  Aku tidak suka memuji Tuhan dengan suara yang keras, cukup di dalam hati saja."  Selama nafas masih berhembus tidak ada alasan tidak memuji Tuhan, sebab memuji Tuhan bukan berbicara tentang bakat, suara bagus atau jelek, suka atau tidak suka lagunya, namun berbicara tentang pengakuan seseorang kepada Tuhan dan persetujuan mengenai keberadaan-Nya sebagai Pribadi yang layak menerima pujian dari umat ciptaan-Nya.  Perlu digarisbawahi pula bahwa memuji Tuhan tidak cukup hanya di dalam hati, tapi kita perlu memiliki pujian di mulut, harus diucapkan dan disuarakan, yang keluar dari lubuk hati terdalam, bukan sebatas ucapan atau lips service.

     Inilah yang dilakukan pemazmur:  "Aku hendak memuji TUHAN pada segala waktu; puji-pujian kepada-Nya tetap di dalam mulutku."  (Mazmur 34:2).  Kata memuji berasal dari kata dasar puji yang berarti pengakuan dan penghargaan yang tulus terhadap kebaikan, keunggulan sesuatu.  Memuji berarti menyatakan kekaguman dan penghargaan kepada sesuatu/seseorang dengan kata-kata yang tentunya dianggap sangat positif, semisal memuji seseorang karena ia memiliki kemampuan, keahlian, prestasi, keunggulan atau kualitas di atas rata-rata orang pada umumnya.  (Bersambung)

Thursday, July 7, 2016

PENTINGNYA PENGUASAAN DIRI (2)

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 7 Juli 2016 

Baca:  Kolose 3:5-17

"Karena itu matikanlah dalam dirimu segala sesuatu yang duniawi,"  Kolose 3:5

Dalam hal apa orang percaya harus bisa menguasai diri?  Salah satunya adalah dalam hal kesenangan duniawi,  "Sebab semua yang ada di dalam dunia, yaitu keinginan daging dan keinginan mata serta keangkuhan hidup, bukanlah berasal dari Bapa, melainkan dari dunia. Dan dunia ini sedang lenyap dengan keinginannya, tetapi orang yang melakukan kehendak Allah tetap hidup selama-lamanya."  (1 Yohanes 2:16-17).

     Berbagai kesenangan dan kenikmatan yang memanjakan daging sedang dunia tawarkan kepada pancaindera dan tidak sedikit orang terjebak dan tenggelam di dalamnya, ditunjang perkembangan teknologi yang semakin mutakhir, dimana informasi apa saja dapat dengan mudah diakses, mulai dari yang positif sampai kepada yang negatif.  Orang juga dapat melakukan apa saja melalui media online:  berbisnis, berteman atau melakukan perbuatan yang menyimpang dari kebenaran seperti judi online, bahkan prostitusi online yang sedang marak akhir-akhir ini.  Karena terpesona indahnya dunia ini orang tidak segan-segan mengeluarkan banyak uang demi memuaskan hasratnya.  "Mengapakah kamu belanjakan uang untuk sesuatu yang bukan roti, dan upah jerih payahmu untuk sesuatu yang tidak mengenyangkan?"  (Yesaya 55:2).  Firman Tuhan memperingatkan,  "Karena itu harus lebih teliti kita memperhatikan apa yang telah kita dengar, supaya kita jangan hanyut dibawa arus."  (Ibrani 2:1).  Ingatlah, status kita bukanlah milik dunia ini melainkan milik Tuhan  (baca  Yohanes 17:9-10), karena itu kita harus berusaha menjadi pribadi yang  'berbeda'  dari dunia ini.  Jangan sampai kesenangan dunia ini semakin menjauhkan kita dari Tuhan sehingga Tuhan bukan lagi yang utama dalam hidup ini.  Namun  "Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya? Dan apakah yang dapat diberikannya sebagai ganti nyawanya?"  (Matius 16:26).

     Musa mampu menguasai diri terhadap kesenangan duniawi sehingga rela meninggalkan segala kenyamanan di Mesir dan lebih memilih untuk menderita sengsara bersama umat Tuhan di padang gurun  (baca  Ibrani 11:24-26), sebab pandangannya ia arahkan kepada upah yang kekal.

"Sebab, jika kamu hidup menurut daging, kamu akan mati; tetapi jika oleh Roh kamu mematikan perbuatan-perbuatan tubuhmu, kamu akan hidup."  Roma 8:13