Friday, October 31, 2014

HIDUP PENUH KEJUTAN

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 31 Oktober 2014

Baca:  Ayub 14:1-22

"Seperti bunga ia berkembang, lalu layu, seperti bayang-bayang ia hilang lenyap dan tidak dapat bertahan."  (Ayub 14:2).

Suatu kenyataan hidup yang tak dapat dipungkiri bahwa perjalanan hidup manusia di dunia ini selalu diwarnai dengan kejutan-kejutan:  kadang ada tawa, sekejap kemudian berganti dengan tangis;  ada keberhasilan, tapi tidak sedikit pula yang harus menelan pahitnya kegagalan.  Kejutan demi kejutan kadangkala seperti sebuah hantaman palu yang datang secara bertubi-tubi.  Kejutan ini bisa menghampiri siapa saja, baik itu orang Kristen awam atau bahkan seorang hamba Tuhan sekalipun.

     Kejutan juga menghampiri orang yang paling dekat dengan Tuhan Yesus sekalipun yaitu sebuah keluarga di kota Betania yang sangat mengasihi dan dikasihi Tuhan, yaitu keluarga Marta, Maria dan Lazarus  (baca  Yohanes 11:44).  Kejutan yang amat menyakitkan sengaja diijinkan Tuhan terjadi dan menimpa keluarga ini karena keterlambatan Tuhan Yesus tiba di rumah mereka.  Kematian menimpa salah seorang anggota keluarga ini yaitu Lazarus.  Kita tahu bahwa kematian seseorang selalu membawa kepedihan hati dan duka yang mendalam bagi keluarga yang ditinggalkan.  Memang, kejutan yang berupa masalah atau pun penderitaan itu bisa menimpa setiap orang, tak terkecuali orang percaya.  Namun satu hal yang menguatkan kita adalah Tuhan tidak pernah merancangkan kecelakaan, melainkan rancangan damai sejahtera untuk memberikan hari depan yang penuh harapan  (baca  Yeremia 29:11).  Di tengah kejutan-kejutan yang terjadi dalam kehidupan ini kita harus percaya  "...bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah."  (Roma 8:28).

     Jika Tuhan turut bekerja dalam segala sesuatunya tidak ada perkara yang mustahil bagi orang percaya.  Lazarus, yang walaupun sudah empat hari mati dan dikuburkan, Tuhan sanggup membangkitkannya.  Sungguh, Tuhan Yesus adalah kebangkitan dan hidup  (baca  Yohanes 11:25).  Rasul Paulus menyatakan bahwa Tuhan turut bekerja dalam  'segala sesuatu'.  Kata  'segala sesuatu'  artinya di semua aspek kehidupan kita tanpa terkecuali.

Tuhan memakai setiap  'kejutan'  yang ada untuk menyatakan kuasa-Nya!

Thursday, October 30, 2014

HANYA MENJADI PENONTON

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 30 Oktober 2014

Baca:  Yohanes 6:1-15

"Orang banyak berbondong-bondong mengikuti Dia, karena mereka melihat mujizat-mujizat
penyembuhan, yang diadakan-Nya terhadap orang-orang sakit."
  Yohanes 6:2

Gemuruh dan gegap gempita kejuaraan sepakbola piala dunia 2014 di Brasil telah usai pada bulan Juli lalu.  Hasilnya tim sepakbola Jerman telah membuktikan diri sebagai yang terbaik dan berhasil mencetak sejarah sebagai wakil Eropa pertama yang bisa menjadi juara dunia di benua Amerika.  Selama kejuaraan berlangsung emosi para penggemar sepakbola di seluruh penjuru dunia benar-benar terkuras.  Ada yang bersukacita ketika tim jagoannya menang;  ada pula yang kecewa, sedih, menangis, bakan sampai meluapkan kemarahan saat melihat tim yang mereka bangga-banggakan tersingkir secara dramatis di babak-babak awal.  Itulah ekspresi dari pada penonton pertandingan sepakbola.

     Mereka sepertinya terlihat aktif dengan apa yang ditontonnya, namun sesungguhnya mereka tidak memberikan sumbangsih apa pun.  Bagi yang melihat langsung di stadion, kontribusi mereka hanya sebatas selembar tiket yang telah dibeli.  Sementara mereka yang melihat di dalam setiap pertandingan sehingga dengan mudahnya berkomentar, melontarkan kritikan pedas, bahkan ada yang sampai memaki-maki pemain, padahal mereka hanya menonton dan tidak turut ambil bagian dalam pertandingan.

     Begitu pula ketika Tuhan Yesus berangkat ke Galilea ada banyak orang berbondong-bondong mengikuti Dia, oleh karena mereka melihat mujizat, tapi mereka tidak mengalami dan merasakan mujizat itu, alias menonton saja.  Bukankah ada banyak orang Kristen yang demikian?  Hanya puas sebagai penonton, sekedar melihat dan mendengar orang lain mengalami mujizat dan dipakai Tuhan secara luar biasa, tapi dirinya sendiri tidak punya kerinduan mendalam kepada Tuhan.  Jangankan turut terlibat dalam pelayanan, keberadaannya di gereja saja hanya sebatas simpatisan.  Mereka tetap saja menjadi jemaat yang pasif dan tidak memiliki rasa haus dan lapar terhadap perkara-perkara rohani.  Namun ketika mereka berada dalam masalah dan mengalami hal-hal yang tidak mengenakkan, secepat kilat langsung melontarkan komentar, menghakimi orang lain, melontarkan kritikan kepada saudara seiman atau bahkan kepada hamba Tuhan.

Jangan jadi orang Kristen yang bermental penonton!

Wednesday, October 29, 2014

KETAATAN: Jalan Tepat Menuju Berkat

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 29 Oktober 2014

Baca:  Imamat 26:1-13

"Jikalau kamu hidup menurut ketetapan-Ku dan tetap berpegang pada perintah-Ku serta melakukannya, maka Aku akan memberi kamu hujan pada masanya, sehingga tanah itu memberi hasilnya dan pohon-pohonan di ladangmu akan memberi buahnya."  Imamat 26:3-4

Banyak orang Kristen yang merasa mengikut Tuhan itu tidak enak, banyak tantangannya, tidak boleh ini itu, pokoknya tidak bebas.  Benarkah?  Justru Tuhan memberikan aturan-aturan semata-mata untuk kebaikan kita.  Jadi ketaatan adalah jalan aman yang meluputkan kita dari hal-hal buruk sebagai akibat dari sebuah pelanggaran, sebab  "...Allah tidak membiarkan diri-Nya dipermainkan. Karena apa yang ditabur orang, itu juga yang akan dituainya."  (Galatia 6:7).  Dalam Ayub 9:4 dikatakan:  "Allah itu bijak dan kuat, siapakah dapat berkeras melawan Dia, dan tetap selamat?"

     Selain itu ketaatan juga akan membawa kita kepada kehidupan yang diberkati, sebaliknya, ketidaktaatan mengantarkan kita kepada hukuman atau kutuk.  "...setiap pelanggaran dan ketidaktaatan mendapat balasan yang setimpal,"  (Ibrani 2:2).  Tuhan mengaruniakan berkat-berkat-Nya kepada siapa saja yang mau berjalan bersama Dia dalam ketaatan penuh, meski kadangkala harus melewatinya dengan dengan deraian air mata.  Orang yang menabur ketaatan suatu saat pasti akan menuai berkat.  "Orang-orang yang menabur dengan mencucurkan air mata, akan menuai dengan bersorak-sorai. Orang yang berjalan maju dengan menangis sambil menabur benih, pasti pulang dengan sorak-sorai sambil membawa berkas-berkasnya."  (Mazmur 126:5-6).

     Sangat disesalkan banyak yang memilih menempuh jalan sendiri.  Kita tidak mau mengikuti jalan Tuhan.  Kita berpikir jalan yang telah kita pilih pasti terbaik bagi kita, padahal  "Ada jalan yang disangka orang lurus, tetapi ujungnya menuju maut."  (Amsal 14:12).  Namun tatkala kita mau berserah sepenuhnya kepada Tuhan Dia akan memberikan jauh lebih banyak daripada yang kita pikirkan.  Penyerahan diri kepada Tuhan akan menuntun kita untuk meraih apa yang Tuhan sediakan bagi kita dan pastinya berkat Tuhan itu  "...jauh lebih banyak dari pada yang kita doakan atau pikirkan,"  (Efesus 3:20).

"Siapa meremehkan firman, ia akan menanggung akibatnya, tetapi siapa taat kepada perintah, akan menerima balasan."  Amsal 13:13

Tuesday, October 28, 2014

TUHAN YESUS: Teladan Utama Ketaatan

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 28 Oktober 2014

Baca:  Lukas 22:39-46

"Ya Bapa-Ku, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini dari pada-Ku; tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi."  Lukas 22:42

Rasul Yohanes dalam suratnya menulis;  "Barangsiapa mengatakan, bahwa ia ada di dalam Dia, ia wajib hidup sama seperti Kristus telah hidup."  (1 Yohanes 2:6).  Dengan kata lain setiap orang percaya wajib hidup dalam ketaatan dan menempatkan Tuhan Yesus sebagai teladan utama.  Tuhan Yesus berkata,  "Makanan-Ku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya."  (Yohanes 4:34), bahkan  "...dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib."  (Filipi 2:8).

     Hidup meneladani Kristus berarti:  memiliki hati seperti hati-Nya yang dipenuhi belas kasihan; berpikir seperti Kristus berpikir, sebagaimana rasul Paulus berkata,  "Tetapi kami memiliki pikiran Kristus."  (1 Korintus 2:16);  mengasihi sama seperti Kristus mengasihi,  "Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi."  (Yohanes 13:35);  melayani seperti Kristus melayani jiwa-jiwa;  taat kepada kehendak-Nya sebagaimana Kristus taat kepada kehendak Bapa dengan berkata,  "...bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi."

     Dalam mengarungi bahtera kehidupan ini setiap detik, setiap menit, setiap jam kita selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan.  Tak bisa dipungkiri, dalam kondisi ini kita pasti menghadapi dilema apakah kita memilih untuk hidup menurut kehendak sendiri atau menuruti kehendak Tuhan.  Namun sebagai anak-anak Tuhan ketaatan adalah jalan yang sangat tepat untuk kita pilih:  seperti seorang anak yang harus taat kepada kehendak orangtuanya, seperti karyawan yang sepatutnya taat kepada pimpinan, dan juga seperti prajurit yang sepenuhnya taat kepada perintah komandannya.  Terlebih lagi kita sebagai anak-anak Tuhan kita harus memiliki ketaatan penuh kepada kehendak Tuhan.  Hal terbaik dan terbesar dalam kehidupan orang percaya adalah ketika ia mampu berkata,  "Aku telah disalibkan dengan Kristus; namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku."  (Galatia 2:19b-20).

Hidup dalam ketaatan berarti menaklukkan kehendak sendiri kepada kehendak Tuhan.

Monday, October 27, 2014

WARGA SORGA: Gaya Hidup Sorgawi (2)

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 27 Oktober 2014

Baca:  Ibrani 12:1-14

"Marilah kita melakukannya dengan mata yang tertuju kepada Yesus, yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan,"  Ibrani 12:2

Bagaimana supaya kita benar-benar memiliki kehidupan yang mencerminkan warga Kerajaan Sorga?  Kita harus melakukannya dengan mata yang tertuju kepada Tuhan Yesus  (ayat nas).  Bila mata kita tertuju kepada Tuhan Yesus maka kita akan mencari dan memikirkan perkara yang di atas, di mana Kristus ada  (baca  Kolose 3:1-2).  Dengan kata lain kita harus mengutamakan perkara-perkara rohani, mendahulukan kerajaan Allah dan kebenarannya dengan tunduk dan taat kepada undang-undang yang berlaku di sorga yaitu firman Tuhan.  "Hai anakku, janganlah anggap enteng didikan Tuhan, dan janganlah putus asa apabila engkau diperingatkan-Nya; karena Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak."  (Ibrani 12:5-6).  Segala tindakan dan perbuatan kita harus sesuai dengan firman Tuhan.

     Kita memperoleh status istimewa sebagai warga sorga ini bukan karena usaha dan hasil dari perbuatan baik kita, tapi semata-mata karena anugerah Tuhan.  Bila menyadari hal ini maka kita tidak akan menjadi warga yang hidup dengan sembarangan, sebaliknya kita akan menghargainya begitu rupa dan bertekad untuk meresponsnya dengan tindakan nyata.  Memang hal ini tidak mudah, karena di satu sisi kita dituntut untuk hidup seturut kehendak Tuhan demi mempertahankan status kita sebagai warga sorgawi, tetapi di pihak lain kita dihadapkan pada ujian dan tantangan dari dunia ini.  "Sebab semua yang ada di dalam dunia, yaitu keinginan daging dan keinginan mata serta keangkuhan hidup, bukanlah berasal dari Bapa, melainkan dari dunia."  (1 Yohanes 2:16).

     Dan inilah kehendak Tuhan atas orang percaya,  "Janganlah kamu mengasihi dunia dan apa yang ada di dalamnya. Jikalau orang mengasihi dunia, maka kasih akan Bapa tidak ada di dalam orang itu."  (1 Yohanes 2:15).  Sebagai warga sorgawi kita dituntut Tuhan untuk tidak terbawa oleh arus dunia ini  (baca  Ibrani 2:1), melainkan harus mampu menjalankan peran kita sebagai utusan-utusan-Nya.  Karena itu di segala keadaan, bahkan di tengah badai sekalipun, kita harus tetap tegak berdiri.

Karena kewargaan kita adalah warga sorga, maka sudah seharusnya kita menghadirkan  'atmosfir'  sorgawi di tengah-tengah dunia ini.

Sunday, October 26, 2014

WARGA SORGA: Gaya Hidup Sorgawi (1)

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 26 Oktober 2014

Baca:  Filipi 3:17-21

"Karena kewargaan kita adalah di dalam sorga, dan dari situ juga kita menantikan Tuhan Yesus Kristus sebagai Juruselamat,"  Filipi 3:20

Setiap orang yang tinggal di seluruh wilayah Indonesia mulai dari Sabang sampai Merauke dan memiliki KTP  (Kartu Tanda Penduduk)  setempat adalah warga negara Indonesia, artinya memiliki kewargaan Indonesia.  Sebagai warga negara Indonesia, setiap kita memiliki hak dan kewajiban yang kesemuanya diatur dalam undang-undang.  Kalau kita teliti pasal demi pasal dalam Undang-Undang Dasar 1945, di situ dijelaskan secara terinci tentang hak dan kewajiban bagi setiap warga negara Indonesia.  Contoh:  Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya  (pasal 27 ayat 1);  Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (pasal 27 ayat 2);  Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara  (pasal 27 ayat 3).  Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan (pasal 31 ayat 1).  Selain hak, kita juga tidak boleh melupakan kewajiban kita selaku warga negara Indonesia, seperti membayar pajak, patuh dan taat kepada hukum yang berlaku.

     Selain kewargaan di dunia yang sifatnya hanya sementara ini, setiap orang percaya sesungguhnya memiliki kewargaan lain sebagaimana ditegaskan oleh rasul Paulus bahwa kewargaan kita adalah di dalam sorga.  Apakah dengan demikian kita bisa bersikap semau gue, dengan hidup tidak tertib dan mengabaikan tanggung jawab kita selaku warga negara Indonesia, tempat di mana kita tinggal?  Alkitab menyatakan,  "Tiap-tiap orang harus takluk kepada pemerintah yang di atasnya, sebab tidak ada pemerintah, yang tidak berasal dari Allah; dan pemerintah-pemerintah yang ada, ditetapkan oleh Allah. Sebab itu barangsiapa melawan pemerintah, ia melawan ketetapan Allah dan siapa yang melakukannya, akan mendatangkan hukuman atas dirinya."  (Roma 13:1-2).  Justru sebagai warga negara Indonesia yang baik kita dipanggil untuk tunduk dan bertanggung jawab kepada pemerintah sebab setiap pemerintahan di dunia ini ditetapkan oleh Allah.

Oleh karena kewargaan kita adalah sorga, maka adalah suatu keharusan kita memiliki gaya hidup yang benar-benar mencerminkan warga sorga.

Saturday, October 25, 2014

ORANG PERCAYA: Keluarga Surgawi

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 25 Oktober 2014

Baca:  Efesus 2:11-22

"Demikianlah kamu bukan lagi orang asing dan pendatang, melainkan kawan sewarga dari orang-orang kudus dan anggota-anggota keluarga Allah,"  Efesus 2:19

Ketika seorang bayi dilahirkan, secara otomatis ia akan menjadi anggota baru dalam sebuah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan mungkin ada kakak.  Begitu juga ketika seseorang bertobat dan percaya kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat ia dilahirkan kembali dan diubahkan hidupnya.  Inilah yang disebut dengan kelahiran baru atau dilahirkan kembali secara roh.  Dengan demikian ia punya kehidupan yang baru.  "Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang."  (2 Korintus 5:17).  Sejak saat itu ia menjadi anggota baru dalam keluarga yang baru yaitu keluarga Kerajaan Allah.

     Sebagai anggota keluarga sorgawi sudah seharusnya kita memiliki kehidupan yang berbeda dari orang-orang dunia.  "Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna."  (Roma 12:2).  Dengan menyandang status anggota keluarga sorgawi terjadilah suatu perubahan besar.  Perubahan apa?  Kita yang dahulu jauh dari Allah kini menjadi dekat dengan-Nya.  "Tetapi sekarang di dalam Kristus Yesus kamu, yang dahulu 'jauh', sudah menjadi 'dekat' oleh darah Kristus."  (Efesus 2:13).  Kita yang dahulu hidup dalam perseteruan dengan Allah sekarang telah diperdamaikan dengan-Nya.  "Dan semuanya ini dari Allah, yang dengan perantaraan Kristus telah mendamaikan kita dengan diri-Nya..."  (2 Korintus 5:18).  Kita yang dahulu hidup dalam kegelapan kini di panggil-Nya  "...keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib:"  (1 Petrus 2:9).  Kita yang dahulu terbuang oleh karena dosa dan pelanggaran kita sekarang menjadi orang-orang pilihan dan sangat berharga di mata Tuhan.  Kita yang tadinya warga dunia sekarang menjadi warga Sorga.

     Memang secara jasmani kita masih hidup di dunia ini, tapi kita bukan lagi orang-orang duniawi yang hidup menurut keinginan daging kita, melainkan hidup menurut pimpinan Roh Kudus.

Sebagai anggota keluarga sorgawi kita mengemban misi menjadi berkat dan kesaksian yang baik bagi dunia ini!

Friday, October 24, 2014

ANANIAS DAN SAFIRA: Tidak Tulus Iklas

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 24 Oktober 2014

Baca:  Kisah Rasul Paulus 5:1-11

"Dengan setahu isterinya ia menahan sebagian dari hasil penjualan itu dan sebagian lain dibawa dan diletakkannya di depan kaki rasul-rasul."  Kisah 5:2

Sekilas Ananias dan Safira adalah sosok orang yang tampak sangat rohani, karena mereka memiliki kepedulian terhadap pekerjaan Tuhan.  Buktinya?  Setelah menjual sebidang tanahnya mereka tidak melupakan Tuhan begitu saja, tapi mereka memberikan persembahan kepada Tuhan.  "Muliakanlah TUHAN dengan hartamu dan dengan hasil pertama dari segala penghasilanmu,"  (Amsal 3:9).  Namun mengapa Tuhan tidak berkenan dengan persembahan ini?  Bahkan menjadi bumerang bagi mereka yaitu keduanya harus menanggung akibat yang sangat fatal yang berujung kepada kematian.

     Alkitab menyatakan bahwa mereka telah mendustai Tuhan dengan menahan sebagian dari hasil penjualan tanahnya.  Apa yang dilakukan Ananias dan Safira adalah bukti bahwa keduanya tidak menghormati Tuhan.  Pada waktu itu jemaat mula-mula memiliki kehidupan yang patut diacungi jempol, karena mereka memiliki gaya hidup suka memberi.  Bagi mereka  "Adalah lebih berbahagia memberi dari pada menerima."  (Kisah 20:35b).  Jemaat Tuhan  "...sehati dan sejiwa, dan tidak seorangpun yang berkata, bahwa sesuatu dari kepunyaannya adalah miliknya sendiri, tetapi segala sesuatu adalah kepunyaan mereka bersama. Ia menjual ladang, miliknya, lalu membawa uangnya itu dan meletakkannya di depan kaki rasul-rasul."  (Kisah 4:32, 37).  Jika orang lain memberi dengan penuh kerelaan dan sukacita, lain halnya dengan Ananias dan Safira yang memberi persembahan kepada Tuhan dengan terpaksa, tidak tulus alias setengah hati, yaitu dengan menahan sebagian dari hasil penjualan tanahnya.  Mereka memberi persembahan semata-mata demi gengsi atau sekedar ikut-ikutan supaya dilihat dan dipuji oleh orang lain yang melihatnya.  Mereka lupa bahwa  "...TUHAN menyelidiki segala hati dan mengerti segala niat dan cita-cita."  (1 Tawarikh 28:9).

     Ananias dan Safira lebih memilih takut kepada manusia daripada kepada Tuhan;  mereka lebih memilih untuk hidup menurut kehendak sendiri sehingga mengabaikan pimpinan Roh Kudus dan tidak lagi menghargai Dia.

Tanpa didasari ketulusan, kerelaan hati dan kasih, persembahan kita tidak akan berkenan kepada Tuhan!

Thursday, October 23, 2014

MUNAFIK

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 23 Oktober 2014

Baca:  Mazmur 28:1-9

"...yang ramah dengan teman-temannya, tetapi yang hatinya penuh kejahatan."  Mazmur 28:3

Apa itu munafik?  Munafik memiliki arti:  bermuka dua, orang yang perkataannya berbeda dengan isi hatinya, penuh dengan kepura-puraan, apa yang diucapkan tidak sesuai dengan perbuatannya.  Dalam Perjanjian Baru  (PB)  kata munafik diterjemahkan dari kata Yunani, hupokrithes, yang diartikan:  seorang pemain drama atau sandiwara.  Peran/karakter yang mereka lakoni di atas panggung sangat bertolak belakang dengan kenyataan sehari-hari.

     Kemunafikan adalah hidup yang sedang in dalam kehidupan masyarakat di zaman sekarang ini, yang akhirnya menghasilkan budaya berpura-pura.  Munafik berarti penuh kepalsuan atau kepura-puraan.  Inilah yang dilakukan oleh ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi.  Mereka sangat expert dalam hal Alkitab atau Taurat, tapi sayang hal ini tidak selaras dengan perbuatan.  Itulah sebabnya Tuhan Yesus sangat mengecam mereka dan menyebutnya sebagai orang-orang yang munafik, karena hanya bisa mengajar orang lain tapi ia sendiri tidak melakukan apa yang mereka ajarkan, bahkan perbuatan mereka sangat bertolak belakang.  Pelayanan hanya mereka jadikan topeng belaka.  Tuhan Yesus berkata,  "Sebab itu turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya."  (Matius 23:3).  Hidup dalam kemunafikan adalah tanda bahwa seseorang tidak sungguh-sungguh bertobat dan tidak memiliki hati yang takut akan Tuhan.  Karena tidak ingin kehilangan pamor atau reputasi, dengan segala upaya mereka berusaha menutupi segala kebobrokannya dengan menampilkan hidup yang seolah-olah rohani  (suci)  melalui aktivitas-aktivitas keagamaan dengan tujuan supaya dipuji, dihormati dan dihargai oleh orang lain.  "...di sebelah luar kamu tampaknya benar di mata orang, tetapi di sebelah dalam kamu penuh kemunafikan dan kedurjanaan."  (Matius 23:28).

     Apakah selama ini kita menjalani kehidupan kekristenan kita dengan penuh kepura-puraan?  Ibadah dan pelayanan yang kita lakukan jangan sampai hanya sebatas aktivitas jasmaniah, sementara hati dan perbuatan kita sangat jauh dari kebenaran.

Buanglah segala kemunafikan, sebab Tuhan sangat benci orang yang demikian!

Wednesday, October 22, 2014

IBADAH SETENGAH HATI

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 22 Oktober 2014

Baca:  2 Tawarikh 25:1-28

"Ia melakukan apa yang benar di mata TUHAN, hanya tidak dengan segenap hati."  2 Tawarikh 25:2

Tuhan sangat tidak senang dengan orang-orang yang melakukan segala sesuatu setengah hati, terlebih-lebih dalam hal ibadah dan pelayanan.  Mungkin secara kasat mata tampak berapi-api melayani Tuhan, tapi jika hati kita mendua dan tidak melakukannya dengan segenap hati, maka tidak berkenan di hati Tuhan.  Inilah juga yang dilakukan raja Amazia.

     Perhatikan ayat 14 ini:  "Ketika Amazia kembali, setelah mengalahkan orang-orang Edom itu, ia mendirikan para allah bani Seir, yang dibawanya pulang, sebagai allahnya. Ia sujud menyembah kepada allah-allah itu dan membakar korban untuk mereka."  Ternyata selain beribadah kepada Tuhan yang hidup Amazia juga menyembah berhala, bahkan ia mempersembahkan korban kepada mereka.  Zaman sekarang ini pun banyak orang Kristen yang secara lahiriah beribadah kepada Tuhan, sibuk melayani pekerjaan Tuhan, ternyata di sisi lain tetap menjalin persahabatan dengan dunia dan enggan memisahkan diri darinya.  Sikap demikian menyedihkan hati Tuhan!  Yakobus memperingatkan,  "Hai kamu, orang-orang yang tidak setia! Tidakkah kamu tahu, bahwa persahabatan dengan dunia adalah permusuhan dengan Allah? Jadi barangsiapa hendak menjadi sahabat dunia ini, ia menjadikan dirinya musuh Allah."  (Yakobus 4:4).

     Sebagai anak-anak Tuhan kita tidak hanya dituntut untuk mengasihi Tuhan dengan segenap hati, tetapi juga dipanggil untuk beribadah dan melayani Dia dengan sepenuh hati.  Jangan sampai kita terbawa oleh arus dunia ini dan silau dengan tawaran-tawaran dunia yang begitu menggiurkan dan menjanjikan kenikmatan.  Kilauan dunia inilah yang acapkali menawan hati kita dan mengalihkan perhatian kita dari kehidupan ibadah yang benar.  Akhirnya ibadah dan pelayanan yang kita lakukan hanya sebatas formalitas dan rutinitas belaka.  Jika demikian,  "...Benarlah nubuat Yesaya tentang kamu: Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku. Percuma mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia."  (Matius 15:8-9).

"Sebab janganlah engkau sujud menyembah kepada allah lain, karena TUHAN, yang nama-Nya Cemburuan, adalah Allah yang cemburu."  Keluaran 34:14

Tuesday, October 21, 2014

KELUARGA TAKUT AKAN TUHAN: Banyak Berkatnya (2)

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 21 Oktober 2014

Baca:  Mazmur 127:1-5

"sebab Ia memberikannya kepada yang dicintai-Nya pada waktu tidur."  Mazmur 127:2b

Meski sebagai sel terkecil dari masyarakat, keberadaan keluarga justru memiliki peranan yang sangat vital.  Jika sebuah keluarga dalam keadaan baik, harmonis dan diberkati, hal ini akan berdampak positif kepada masyarakat secara luas.  Sebaliknya bila dari sel terkecil ini  (keluarga)  sudah punya banyak sekali masalah, hal itu juga akan berdampak buruk bagi masyarakat luar.  Contoh:  ada banyak kasus kenakalan remaja berawal dari keadaan keluarga yang broken home.  Karena itu kita harus mendasari keluarga kita dengan iman yang kuat dengan menanamkan hati yang takut akan Tuhan.

     Takut akan Tuhan itu keputusan dan pilihan hidup karena kita memiliki kehendak bebas  (free will).  Bila kita rindu keluarga kita diberkati dan dipelihara Tuhan, tidak ada pilihan lain selain harus takut akan Tuhan.  Inilah berkat keluarga yang takut akan Tuhan:  "Isterimu akan menjadi seperti pohon anggur yang subur di dalam rumahmu;"  (Mazmur 128:3a).  Pohon anggur adalah tanaman yang banyak ditanam di Israel karena air buah anggur merupakan minuman yang sangat menyegarkan.  Bila isteri seperti pohon anggur yang subur berarti tidak hanya berdaun lebat, tapi juga menghasilkan buah yang dapat dinikmati oleh seisi keluarga;  inilah isteri yang cakap, yang  "...adalah mahkota suaminya,"  (Amsal 12:4) dan  "...Ia lebih berharga dari pada permata."  (Amsal 31:10).  Keberadaan isteri yang demikian tentunya sebagai dampak dari suami yang mampu menjadi imam bagi keluarganya.  Berkat berikutnya adalah  "anak-anakmu seperti tunas pohon zaitun sekeliling mejamu!"  (Mazmur 128:3b).  Pohon zaitun adalah pohon yang sangat kuat dan tidak mudah roboh.  Dari pohon itu juga dihasilkan minyak yang sangat harum.  Melalui keteladanan yang ditunjukkan oleh orangtua yang takut akan Tuhan, anak-anak pun akan tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang mengasihi Tuhan dan memiliki iman yang kuat sehingga mereka tidak mudah terbawa oleh arus dunia ini.

     Ibarat peribahasa  "buah jatuh tidak jauh dari pohonnya", maka  "Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanyapun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu."  (Amsal 22:6).

Kita akan menjadi keluarga yang diberkati Tuhan dan berbahagia bila seisi rumah  (suami, isteri dan anak-anak)  memiliki hati yang takut akan Tuhan!

Catatan:  
"Hai isteri-isteri, tunduklah kepada suamimu, sebagaimana seharusnya di dalam Tuhan. Hai suami-suami, kasihilah isterimu dan janganlah berlaku kasar terhadap dia. Hai anak-anak, taatilah orang tuamu dalam segala hal, karena itulah yang indah di dalam Tuhan. Hai bapa-bapa, janganlah sakiti hati anakmu, supaya jangan tawar hatinya."  Kolose 3:18-21

Monday, October 20, 2014

KELUARGA TAKUT AKAN TUHAN: Banyak Berkatnya (1)

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 20 Oktober 2014

Baca:  Mazmur 127:1-5

"Jikalau bukan TUHAN yang membangun rumah, sia-sialah usaha orang yang membangunnya;"  Mazmur 127:1

Orang dunia berprinsip bahwa sebuah keluarga akan berbahagia bila mereka memiliki uang dan harta kekayaan yang berlimpah.  Benarkah?  Sesungguhnya, apalah artinya berlimpah materi jika kita sendiri tidak menikmatinya.  Bukankah ada banyak orang kaya di dunia ini yang hidupnya justru tidak bahagia?  Hari-hari mereka dipenuhi kekuatiran, kecemasan, was-was, sakit-sakitan, konflik dan sebagainya.  Namun keluarga yang senantiasa mengandalkan Tuhan dan punya rasa takut akan Tuhan selain akan mengalami berkat-berkat Tuhan secara jasmani, juga akan menikmati berkat-berkat rohani yaitu kebahagiaan, ketenteraman, ketenangan, sukacita, perlindungan, dan damai sejahtera.

     Tempatkan Tuhan Yesus sebagai yang terutama dalam keluarga, maka Dia akan memimpin dan memberkati apa saja yang kita kerjakan.  Berkat-berkat yang disediakan Tuhan bagi keluarga yang takut akan Tuhan di antaranya:  "Apabila engkau memakan hasil jerih payah tanganmu, berbahagialah engkau dan baiklah keadaanmu!"  (Mazmur 128:2).  Kita akan menikmati hasil dari setiap jerih payah kita.  Jerih payah tangan berbicara tentang pekerjaan, studi, usaha, bisnis dan sebagainya.  Banyak orang membanting tulang siang malam tanpa kenal lelah tidak dapat menikmati hasil jerih payahnya karena tidak melibatkan Tuhan.  "Sia-sialah kamu bangun pagi-pagi dan duduk-duduk sampai jauh malam, dan makan roti yang diperoleh dengan susah payah--sebab Ia memberikannya kepada yang dicintai-Nya pada waktu tidur."  (Mazmur 127:2).

     Orang yang takut akan Tuhan tidak hidup bergantung dari apa yang diberikan dunia, namun dari apa yang disediakan Tuhan, sebab  "Berkat Tuhanlah yang menjadikan kaya, susah payah tidak akan menambahinya."  (Amsal 10:22).  Orang yang takut akan Tuhan pasti mengerjakan segala sesuatu dengan segenap hati seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia, dari situlah Tuhan akan menyediakan berkat-Nya sebagai upah  (baca  Kolose 3:23).

"Apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, dan tidak pernah didengar oleh telinga, dan yang tidak pernah timbul di dalam hati manusia: semua yang disediakan Allah untuk mereka yang mengasihi Dia."  1 Korintus 2:9

Sunday, October 19, 2014

TAKUT AKAN TUHAN: Dasar Keluarga Kristen

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 19 Oktober 2014

Baca:  Mazmur 128:1-6

"Kiranya TUHAN memberkati engkau dari Sion, supaya engkau melihat kebahagiaan Yerusalem seumur hidupmu,"  Mazmur 128:5

Dalam membangun mahligai perkawinan setiap pasangan pasti memiliki impian-impian yang hendak diwujudkan bersama pasangannya.  Impian itu adalah sebuah keluarga yang harmonis, diberkati dan dipenuhi oleh kebahagiaan.  Memang untuk mewujudkan impian tersebut tidak semudah membalikkan telapak tangan, namun hal itu juga bukanlah perkara yang mustahil asalkan kita mau menapaki hari-hari bersama dengan Tuhan.

     Dalam Mazmur 128 ini pemazmur memberikan dasar utama untuk memiliki keluarga yang diberkati dan berbahagia.  Dasar itu adalah takut akan Tuhan dan hidup menurut jalan yang ditunjukkan-Nya  (ayat 1), sebab  "Dalam takut akan TUHAN ada ketenteraman yang besar, bahkan ada perlindungan bagi anak-anak-Nya."  (Amsal 14:26).  Takut akan Tuhan merupakan unsur penting dalam kehidupan orang percaya.  Tanpa rasa takut akan Tuhan seseorang akan cenderung berpikir, berbicara dan berbuat menurut kehendak diri sendiri.  Alkitab memperingatkan,  "Janganlah engkau menganggap dirimu sendiri bijak, takutlah akan TUHAN dan jauhilah kejahatan;"  (Amsal 3:7).  Rasa takut akan Tuhan itu tumbuh ketika seseorang menyadari akan kekudusan, keadilan, dan kebenaran Tuhan, sehingga ia akan memandang Tuhan dengan penuh rasa hormat dan kagum.  Dari situ akhirnya seseorang memiliki ketetapan hati untuk tidak mengecewakan Tuhan melalui pikiran, perkataan dan perbuatannya;  dan dengan kerelaan hatinya sendiri, bukan karena terpaksa atau takut mengalami hukuman, serta berkomitmen untuk hidup menurut kehendak Tuhan dan menjauhi segala kejahatan.

     Rasa takut akan Tuhan ini harus menjadi landasan utama bagi setiap keluarga Kristen.  Dengan demikian suami dan isteri akan mampu menjalankan perannya sesuai dengan firman Tuhan, saling mendukung dan menguatkan sehingga mampu membawa anak-anak semakin mengasihi Tuhan melalui teladan hidup yang ditunjukkannya.  Dengan kata lain, keluarga yang takut akan Tuhan adalah keluarga yang senantiasa menerapkan prinsip-prinsip firman Tuhan dalam kehidupan sehari-hari.

Rindu keluarga Saudara diberkati Tuhan dan berbahagia?  Milikilah hati yang takut akan Tuhan!

Saturday, October 18, 2014

TAKUT AKAN TUHAN: Memiliki Penguasaan Diri

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 18 Oktober 2014

Baca:  2 Korintus 5:11-21

"Sebab jika kami tidak menguasai diri, hal itu adalah dalam pelayanan Allah, dan jika kami menguasai diri, hal itu adalah untuk kepentingan kamu."  2 Korintus 5:13

Perwujudan lain dari orang yang takut akan Tuhan adalah memiliki penguasaan diri.  Sebuah kapal besar yang berada di laut lepas pasti dikendalikan oleh kemudi.  Kemudi adalah bagian yang kecil dari sebuah kapal, namun bila kemudi tersebut dikendalikan dengan semestinya maka kemudi dapat mengarahkan kapal kepada suatu tujuan dengan selamat.  Demikian juga penguasaan diri sangat penting dalam perjalanan iman orang percaya.  Penguasaan diri bisa diartikan kemampuan untuk menahan dan menguasai diri sendiri dari segala keinginan yang berlawanan dengan kehendak Tuhan.

     Sebagai manusia kita memiliki kecenderungan lost control.  Lalu bagaimana kita bisa menguasai diri kita?  Kita bisa menguasai diri jika mau tunduk kepada pimpinan Roh Kudus.  Kita bisa menguasai diri jika ada Roh Kudus di dalam hati kita karena penguasaan diri adalah salah satu dari sembilan buah roh  (baca  Galatia 5:22-23).  Roh Kudus akan memberi kita kekuatan dan kemampuan untuk bisa menguasai diri:  menguasai emosi, mengendalikan pikiran, perasaan dan tindakan kita.  Dalam 1 Petrus 4:7b dikatakan,  "Karena itu kuasailah dirimu dan jadilah tenang, supaya kamu dapat berdoa."  Artinya kalau kita tidak bisa menguasai diri, kita takkan bisa tenang dan kalau tidak bisa tenang, kita pun tidak akan bisa berdoa.  Hanya orang yang bisa menguasai dirilah yang dapat bersikap tegas untuk tidak berkompromi dengan dosa dan terus mengenakan  'manusia baru'.

     Seseorang yang lain memiliki penguasaan diri tidak akan mudah menilai orang lain dengan kacamata manusia.  "Sebab kasih Kristus yang menguasai kami,"  (2 Korintus 5:14), sehingga kita pun tidak akan mudah menghakimi dan mencari-cari kesalahan orang lain.  Karena itu  "Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi."  (Matius 7:1), dan mulai dari sekarang  "Baiklah tiap-tiap orang menguji pekerjaannya sendiri; maka ia boleh bermegah melihat keadaannya sendiri dan bukan melihat keadaan orang lain."  (Galatia 6:4).  Maka dari itu kuasailah dirimu di segala keadaan!

"Orang yang sabar melebihi seorang pahlawan, orang yang menguasai dirinya, melebihi orang yang merebut kota."  Amsal 16:32

Friday, October 17, 2014

TAKUT AKAN TUHAN: Selalu Menjaga Hati

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 17 Oktober 2014

Baca:  2 Korintus 5:11-21

"Kami tahu apa artinya takut akan Tuhan, karena itu kami berusaha meyakinkan orang."  2 Korintus 5:11

Hingga sekarang masih banyak orang Kristen kurang memahami arti 'takut akan Tuhan'.  Mereka seringkali menyamakan seperti ekspresi ketakutan ketika melihat film horor atau hal-hal yang menakutkan lainnya.  Benarkah demikian?

     Takut akan Tuhan adalah sikap respek kita kepada Tuhan, sehingga kita memandang Dia dengan penuh kekaguman, penghormatan dan menghormati-Nya sebagai Tuhan karena kekudusan, keagungan, kemuliaan dan kuasa-Nya yang besar.  Takut akan Tuhan berarti kalau kita membuat pelanggaran kita akan segera minta ampun kepada Tuhan, karena Dia adalah Tuhan yang tidak berkompromi dengan dosa.  Takut akan Tuhan adalah jalan yang mengantarkan kita melihat kemuliaan Tuhan, sebab  "Sesungguhnya, mata TUHAN tertuju kepada mereka yang takut akan Dia,"  (Mazmur 33:18).

     Wujud nyata dari orang yang takut akan Tuhan adalah selalu menjaga hati.  "Bagi Allah hati kami nyata dengan terang dan aku harap hati kami nyata juga demikian bagi pertimbangan kamu."  (2 Korintus 5:11b).  Tuhan sama sekali tidak tertarik dengan kecantikan atau ketampanan seseorang;  Dia tidak butuh kemampuan dan kecakapan kita;  Dia tidak berminat dengan seberapa fasih lidah kita berbicara tentang isi Alkitab;  kita boleh saja tampak sibuk dengan pelayanan atau banyak memberi sumbangan untuk gereja dan hamba Tuhan, tapi hal itu tidak secara otomatis membuat-Nya tertarik dan berminat pada kita.  Yang Tuhan hendak lihat dan perhatikan adalah apakah kita memiliki hati yang bersih dan murni, karena segala perbuatan jahat yang terjadi di muka bumi ini dimulai dan bersumber dari hati  (baca  Matius 15:18-19).  Bahkan Yeremia pun mengakuinya,  "Betapa liciknya hati, lebih licik dari pada segala sesuatu,"  (Yeremia 17:9).  Bukankah ada banyak orang Kristen yang melayani Tuhan atau melakukan perbuatan-perbuatan baiknya bukan bertujuan untuk menyenangkan hati Tuhan, tapi hanya sekedar ingin dipuji dan dihormati manusia?

"Aku, TUHAN, yang menyelidiki hati, yang menguji batin, untuk memberi balasan kepada setiap orang setimpal dengan tingkah langkahnya, setimpal dengan hasil perbuatannya."  Yeremia 17:10

Thursday, October 16, 2014

PELAKU FIRMAN: Ada Berkat dan Kebahagiaan (2)

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 16 Oktober 2014

Baca:  Yesaya 48:12-22

"Akulah TUHAN, Allahmu, yang mengajar engkau tentang apa yang memberi faedah, yang menuntun engkau di jalan yang harus kautempuh."  Yesaya 48:17

Alkitab menegaskan bahwa berkat dan kebahagiaan hanya bisa didapatkan apabila orang mau melakukan firman Tuhan.  "Sekiranya engkau memperhatikan perintah-perintah-Ku, maka damai sejahteramu akan seperti sungai yang tidak pernah kering, dan kebahagiaanmu akan terus berlimpah seperti gelombang-gelombang laut yang tidak pernah berhenti,"  (Yesaya 48:18).  Siap menerima berkat yang Tuhan sediakan?  Jadilah pelaku firman, itu saja yang Tuhan inginkan.

     Untuk menjadi pelaku firman dibutuhkan kerendahan hati:  hati yang mau dididik, ditegur dan diajar.  "Hai anakku, janganlah engkau menolak didikan TUHAN, dan janganlah engkau bosan akan peringatan-Nya."  (Amsal 3:11), sebab  "...perintah itu pelita, dan ajaran itu cahaya, dan teguran yang mendidik itu jalan kehidupan,"  (Amsal 6:23).  Ketaatan kepada Tuhan inilah yang mendatangkan berkat dan kebahagiaan, baik untuk hidup hari ini maupun untuk hari-hari yang akan datang.  Ketaatan adalah standar yang dipakai Tuhan untuk mengukur kehidupan rohani orang percaya.  Ukuran Tuhan bukan apa yang terlihat secara kasat mata karena itu takkan menyentuh hati Tuhan.  Yang menyentuh hati-Nya sehingga Ia tidak akan tahan untuk tidak mencurahkan berkat-Nya adalah ketaatan kita dalam melakukan firman-Nya.  Jadi, suka atau tidak suka, kita harus bersedia dan mau mempraktekkan firman Tuhan,  "...jika tidak demikian kamu menipu diri sendiri. Sebab jika seorang hanya mendengar firman saja dan tidak melakukannya, ia adalah seumpama seorang yang sedang mengamat-amati mukanya yang sebenarnya di depan cermin. Baru saja ia memandang dirinya, ia sudah pergi atau ia segera lupa bagaimana rupanya."  (Yakobus 1:22-24).

     Melakukan firman Tuhan adalah akses utama menuju berkat Tuhan dan menikmati berkat itu.  Kita pasti sanggup asal kita mau dan selalu mengandalkan Roh Kudus, Dialah yang memberi kemampuan dan kekuatan ekstra menuju kepada ketaatan yang sempurna.  Berkat dan kebahagiaan adalah dampak dari sebuah ketaatan.  Ingatlah itu!

"Engkau memberitahukan kepadaku jalan kehidupan; di hadapan-Mu ada sukacita berlimpah-limpah, di tangan kanan-Mu ada nikmat senantiasa."  Mazmur 16:11

Wednesday, October 15, 2014

PELAKU FIRMAN: Ada Berkat dan Kebahagiaan (1)

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 15 Oktober 2014

Baca:  Yakobus 1:19-27

"Tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku firman dan bukan hanya pendengar saja;"  Yakobus 1:22

Renungan hari ini menasihati dan mengingatkan kita supaya menjadi anak-anak Tuhan yang taat.  Taat artinya menjadi pelaku firman.  Mengapa?  Karena ketaatan adalah syarat untuk mengalami berkat Tuhan.  Semua orang percaya pasti tahu kebenaran ini, tapi dalam prakteknya kita sulit sekali melakukan apa yang diminta Tuhan.  Di sisi lain kita menuntut Tuhan untuk memberkati hidup kita.  Pemazmur menyatakan,  "Sebab Engkaulah yang memberkati orang benar, ya TUHAN; Engkau memagari dia dengan anugerah-Mu seperti perisai."  (Mazmur 5:13).  Salomo pun turut menulis,  "Berkat ada di atas kepala orang benar,"  (Amsal 10:6).  Orang benar adalah orang yang hidup tidak bercela, yang melakukan firman Tuhan dalam hidupnya.

     Untuk menjadi pelaku firman diperlukan tindakan iman yang nyata dalam kehidupan kita, sebab berkat itu sudah disediakan Tuhan, sedangkan bagian kita adalah mengambil berkat tersebut.  Maukah kita melangkah untuk mengambil berkat itu atau tidak?  Selama kita diam saja dan tidak mau melangkah, sampai kapan pun kita tidak akan mendapatkan berkat yang sudah tersedia di depan mata itu.  Melangkah berarti mau melakukan apa yang diperintahkan Tuhan.  Contoh:  Alkitab menasihati kita untuk tidak menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah  (baca  Ibrani 10:25), maka kita pun harus setia beribadah kepada Tuhan dengan sungguh-sungguh, menghargai waktu dan kesempatan yang diberikan Tuhan, sehingga kita pun dapat berkata,  "Sebab lebih baik satu hari di pelataran-Mu dari pada seribu hari di tempat lain; lebih baik berdiri di ambang pintu rumah Allahku dari pada diam di kemah-kemah orang fasik."  (Mazmur 84:11).  Firman Tuhan memerintahkan kita untuk mengembalikan persepuluhan  (baca  Maleakhi 3:10), sudahkah kita setia mengembalikan persepuluhan?

     Ketika kita melakukan firman Tuhan, selain kita akan diberkati Tuhan, juga akan disebut sebagai orang yang berbahagia alias menikmati kebahagiaan hidup.  "Tetapi barangsiapa meneliti hukum yang sempurna, yaitu hukum yang memerdekakan orang, dan ia bertekun di dalamnya, jadi bukan hanya mendengar untuk melupakannya, tetapi sungguh-sungguh melakukannya, ia akan berbahagia oleh perbuatannya."  (Yakobus 1:25).  (Bersambung)

Tuesday, October 14, 2014

HIKMAT: Lebih Berharga dari Harta dan Pangkat

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 14 Oktober 2014

Baca:  Amsal 4:1-27

"Aku mengajarkan jalan hikmat kepadamu, aku memimpin engkau di jalan yang lurus."  Amsal 4:11

Karena hikmat yang dimiliki plus berkat kekayaan sebagai bonus dari Tuhan, Salomo menjadi raja yang sangat terkenal.  Alkitab mengatakan,  "Raja Salomo melebihi semua raja di bumi dalam hal kekayaan dan hikmat."  (1 Raja-Raja 10:23).  Berita tentang kehebatan Salomo ini sampai juga ke telinga Ratu Syeba.  Tidak puas hanya sekedar mendengar, Ratu Syeba pun datang ke Yerusalem dengan rombongan besar dan membawa banyak persembahan  (baca  1 Raja-Raja 10:1-2).  Bahkan Ratu Syeba pun berkesempatan untuk menguji dan membuktikan kebenaran berita itu.

     Memiliki kekayaan bagi seorang raja adalah hal yang lumrah, tapi memiliki hikmat yang luar biasa, tidak semua raja memilikinya.  Kedatangan Ratu Syeba adalah bukti betapa ia pun sangat merindukan hikmat seperti yang dimiliki oleh Raja Salomo.  Dengan kata lain, Ratu Syeba sudah memiliki segalanya  (kecantikan, kekayaan, kedudukan)  masih merasa kurang karena ia tidak memiliki hikmat seperti yang dimiliki oleh Salomo.  Hal itu membuktikan bahwa hikmat jauh lebih berharga dan bernilai dari apa pun juga.  "Berbahagialah orang yang mendapat hikmat, orang yang memperoleh kepandaian, karena keuntungannya melebihi keuntungan perak, dan hasilnya melebihi emas. Ia lebih berharga dari pada permata; apapun yang kauinginkan, tidak dapat menyamainya."  (Amsal 3:13-15).  Dari manakah datangnya hikmat?  "Karena Tuhanlah yang memberikan hikmat, dari mulut-Nya datang pengetahuan dan kepandaian."  (Amsal 2:6).  Tertulis pula, "Permulaan hikmat adalah takut akan TUHAN, dan mengenal Yang Mahakudus adalah pengertian."  (Amsal 9-10).

     Kita diperintahkan mencari dan mengejar hikmat itu.  Mencari dan mengejar adalah kata kerja aktif, artinya dibutuhkan kesungguhan dan tindakan nyata memperolehnya.  Hikmat adalah anugerah Tuhan, tapi harus ada usaha kita.  Tanpa upaya kita tidak mungkin mendapatkannya.  Jika menyadari ini kita akan berusaha sedemikian rupa mengejarnya lebih dari mengejar harta duniawi.

"Karena hikmat lebih berharga dari pada permata, apapun yang diinginkan orang, tidak dapat menyamainya."  Amsal 8:11

Monday, October 13, 2014

HIKMAT BAGI PEMIMPIN

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 13 Oktober 2014

Baca:  1 Raja-Raja 3:1-15

"Maka sekarang, ya TUHAN, Allahku, Engkaulah yang mengangkat hamba-Mu ini menjadi raja menggantikan Daud, ayahku, sekalipun aku masih sangat muda dan belum berpengalaman."  1 Raja-Raja 3:7

Pada waktu menjabat sebagai raja atas Israel usia Salomo masih sangatlah muda dan bisa dikatakan belum banyak makan asam garam kehidupan, alias belum punya banyak pengalaman.  Usia muda adalah usia yang penuh gejolak, di mana hati dan pikiran dipenuhi oleh banyak keinginan.  Misal ada orang yang menjanjikan akan memberikan apa saja permintaan dan keinginan seorang anak muda, tanpa berpikir panjang ia akan mengajukan sederet permintaan demi memuaskan hasrat dan keinginannya:  minta pacar yang cantik atau ganteng, minta uang yang banyak, minta mobil, minta rumah atau harta kekayaan lainnya.  Itu adalah hal yang sangat wajar, maklum anak muda!

     Suatu ketika Tuhan menampakkan diri kepada Salomo dalam mimpi ketika ia mempersembahkan korban di Gibeon, firmanNya,  "Mintalah apa yang hendak Kuberikan kepadamu."  (1 Raja-Raja 3:5).  Ternyata Salomo tidak meminta hal yang dipikirkan anak-anak muda kebanyakan:  uang, emas, perak, harta, melainkan hikmat.  Apa itu hikmat?  dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia hikmat diartikan kebijakan, kearifan, dan bisa pula diartikan dengan kepandaian, kebijaksanaan, pengertian dan pengetahuan.  Hikmat adalah hal penting yang sangat dibutuhkan pemimpin atau raja untuk memimpin suatu bangsa.  Dengan hikmat Tuhan inilah Salomo beroleh kesanggupan  "...menimbang perkara untuk menghakimi umat-Mu dengan dapat membedakan antara yang baik dan yang jahat, sebab siapakah yang sanggup menghakimi umat-Mu yang sangat besar ini? Lalu adalah baik di mata Tuhan bahwa Salomo meminta hal yang demikian."  (1 Raja-Raja 3:9-10).

     Tuhan memberikan apa yang diinginkan Salomo, bahkan hal berikut ini:  "apa yang tidak kauminta Aku berikan kepadamu, baik kekayaan maupun kemuliaan, sehingga sepanjang umurmu takkan ada seorangpun seperti engkau di antara raja-raja."  (1 Raja-Raja 3:13).  Karena berhikmat Salomo dapat menjalankan tugas pemerintahan dan memimpin bangsanya dengan adil dan benar.

"...hikmat dari pada Allah ada dalam hatinya untuk melakukan keadilan."  1 Raja-Raja 3:28

Sunday, October 12, 2014

JALAN ORANG FASIK

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 12 Oktober 2014

Baca:  Amsal 4:11-27

"Jalan orang fasik itu seperti kegelapan; mereka tidak tahu apa yang menyebabkan mereka tersandung."  Amsal 4:19

Berkat dan kebahagiaan adalah dua hal yang dirindukan dan diimpikan oleh semua orang.  Siapakah di antara kita yang tidak mau diberkati dan bahagia?  Tak seorang pun.  Itulah sebabnya banyak orang menempuh jalan yang salah guna mewujudkan keinginannya itu.

     Bagi orang-orang dunia berkat dan kebahagiaan selalu mereka identikan dengan banyaknya uang, harta yang melimpah, rumah megah, mobil mewah, pangkat dan kedudukan yang tinggi.  Akhirnya berbagai cara ditempuh untuk mendapatkan semuanya itu.  Sayang, banyak dari mereka yang menempuh jalan yang salah dan sesat.  Contoh yang marak dilakukan dan sepertinya sudah menjadi tradisi bagi para pejabat pemerintahan negeri ini yaitu menyalahgunakan jabatan dengan melakukan tindakan korupsi;  ada pula yang melakukan bisnis kotor dengan menipu sana-sini;  tidak sedikit pula orang yang berduyun-duyun pergi ke dukun, kuburan, gunung Kawi minta pesugihan dan penglaris supaya usaha dan tokonya menjadi laris.  Dari tindakan-tindakan ini, benarkah mereka menikmati berkat dan merasakan kebahagiaan yang mereka impikan?  "Ada jalan yang disangka orang lurus, tetapi ujungnya menuju maut."  (Amsal 14:12).  Tidak.  Faktanya para koruptor tidak bisa menikmati kekayaannya, bahkan pada akhirnya mereka harus menghabiskan sisa hidupnya di balik jeruji besi.  Sedangkan mereka yang menempuh jalan sesat dengan melibatkan kuasa-kuasa gelap, Iblis pasti tidak akan tinggal diam dan berperkara karena semua yang diberikannya itu tidak gratis, melainkan ada harga yang harus dibayar.  Jelas dikatakan bahwa Iblis datang  "...untuk mencuri dan membunuh dan membinasakan;"  (Yohanes 10:10a).  Tak bisa dibayangkan betapa ngerinya seseorang yang berada dalam belenggu Iblis!

     Tidak seharusnya orang percaya mengikuti jalan yang ditempuh oleh orang dunia ini karena kita punya Tuhan yang hidup dan berkuasa, yang adalah sumber berkat dan kebahagiaan itu.  Melalui kebenaran firman-Nya Tuhan sudah menunjukkan jalan yang harus kita tempuh untuk mendapatkan semuanya itu.

"Janganlah menempuh jalan orang fasik, dan janganlah mengikuti jalan orang jahat."  Amsal 4:14

Saturday, October 11, 2014

MENGERJAKAN PANGGILAN: Kasih dan Pelayanan

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 11 Oktober 2014

Baca:  Efesus 4:1-16

"tetapi dengan teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih kita bertumbuh di dalam segala hal ke arah Dia, Kristus, yang adalah Kepala."  Efesus 4:15

Kalau hati kita sudah beres kita pasti akan mengerjakan segala sesuatu dengan motivasi yang benar dan tanpa ada keterpaksaan.  Hati yang beres adalah hati yang sudah dijamah oleh Roh Kudus.

     Jika Roh Kudus sudah menjamah hatimu,  "Kamu akan Kuberikan hati yang baru, dan roh yang baru di dalam batinmu dan Aku akan menjauhkan dari tubuhmu hati yang keras dan Kuberikan kepadamu hati yang taat. Roh-Ku akan Kuberikan diam di dalam batinmu dan Aku akan membuat kamu hidup menurut segala ketetapan-Ku dan tetap berpegang pada peraturan-peraturan-Ku dan melakukannya."  (Yehezkiel 36:26-27).  Sebelum dijamah Roh Kudus hatimu tentu dipenuhi keinginan dan ambisi pribadi, semua terfokus pada diri sendiri.  Setelah mengalami jamahan-Nya hatimu dipenuhi belas kasihan dan empati, dan sesuai perintah Tuhan,  "Tunjukkanlah kasihmu dalam hal saling membantu."  (Efesus 4:2b), serta  "...marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran."  (1 Yohanes 3:18).

     Ketika kita menyadari akan panggilan Tuhan kita pasti akan bersemangat dan sangat antusias untuk mengerjakan perkara-perkara rohani.  "Janganlah hendaknya kerajinanmu kendor, biarlah rohmu menyala-nyala dan layanilah Tuhan."  (Roma 12:11).  Karena sadar bahwa kita ada sebagaimana kita ada sekarang ini semata-mata karena anugerah dan campur tangan Tuhan, maka kita pun tidak serta-merta hanya puas menerima anugerah Tuhan, melainkan kita rindu untuk melangkah ke tingkat kehidupan yang dikehendaki Tuhan yaitu hidup dan menjadi berkat dan kesaksian bagi orang lain, karena itu kita berkomitmen untuk mempersembahkan hidup kita untuk melayani Tuhan.  "Dan Ialah yang memberikan baik rasul-rasul maupun nabi-nabi, baik pemberita-pemberita Injil maupun gembala-gembala dan pengajar-pengajar, untuk memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan, bagi pembangunan tubuh Kristus,"  (Efesus 4:11-12).

Tindakan kasih dan memberi diri untuk dipakai Tuhan dalam pelayanan adalah bukti nyata seseorang mengerjakan panggilan Tuhan dalam hidupnya.

Friday, October 10, 2014

MENGERJAKAN PANGGILAN: Menjaga Sikap Hati

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 10 Oktober 2014

Baca:  Efesus 4:1-16

"Sebab itu aku menasihatkan kamu, aku, orang yang dipenjarakan karena Tuhan, supaya hidupmu sebagai orang-orang yang telah dipanggil berpadanan dengan panggilan itu."  Efesus 4:1

Tuhan memanggil kita untuk menjadi berbeda dari dunia ini, sebab  "...kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib:"  (1 Petrus 2:9).  Apakah kita memiliki kehidupan yang berpadanan dengan panggilan Tuhan ini?

Setelah kita dipanggil, keberadaan kita bukan lagi seperti orang biasa lagi melainkan menjadi orang-orang pilihan Tuhan.  Karena kita adalah orang-orang pilihan, secara otomatis kita memiliki tugas dan tanggung jawab yang besar yaitu memberitakan perbuatan-perbuatan besar dari Tuhan, yaitu menjadi saksi Kristus di tengah-tengah dunia ini;  dan mengerjakan panggilan Tuhan harus diwujudkan dalam tindakan nyata, bukan sekedar berteori atau berkata-kata muluk seperti biasa dilakukan orang-orang yang sedang berkampanye.  Itulah yang disampaikan Rasul Paulus kepada jemaat di Efesus ini.  Bukti kalau seseorang memiliki kehidupan yang berpadanan dengan panggilan Tuhan adalah  "...rendah hati, lemah lembut, dan sabar."  (Efesus 4:2a).  Tanpa sikap hati yang benar sulit hidup berpadanan dengan panggilan Tuhan.  Semua itu dimulai dari hati.  Mengapa?  "Seperti air mencerminkan wajah, demikianlah hati manusia mencerminkan manusia itu."  (Amsal 27:19), sebab  "...apa yang keluar dari mulut berasal dari hati...Karena dari hati timbul segala pikiran jahat,"  (Matius 15:18-19).  Maka dari itu  "Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan."  (Amsal 4:23).

     Jadi, dalam mengerjalan panggilan Tuhan penting sekali kita menjaga hati kita agar tetap  "humble", lemah lembut dan sabar,  "Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati."  (1 Samuel 16:7b).  Apabila hati kita sudah teruji, kita akan mengerjakan panggilan Tuhan itu tanpa persungutan, keluh kesah, tidak mudah kecewa dan tetap kuat meski berada di situasi-situasi sulit.

Jaga sikap hati dalam mengerjakan panggilan Tuhan!

Thursday, October 9, 2014

FOKUS MENGERJAKAN PANGGILAN

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 9 Oktober 2014

Baca:  2 Petrus 1:3-15

"Karena itu, saudara-saudaraku, berusahalah sungguh-sungguh, supaya panggilan dan pilihanmu makin teguh. Sebab jikalau kamu melakukannya, kamu tidak akan pernah tersandung."  2 Petrus 1:10

Dalam perlombaan iman, ada banyak sekali tantangan yang siap menghadang, menghalangi, melemahkan serta menghentikan langkah kita.  Rasul Petrus pun turut mengingatkan agar kita berusaha dengan sungguh supaya panggilan kita makin teguh.  Supaya makin teguh perlu sebuah perjuangan.  Mengapa kita harus berjuang?  Karena ada musuh yang selalu mengintai dan siap menghancurkan jika kita lengah.

     Iblis adalah musuh utama orang percaya.  Iblis tahu benar bahwa di dalam diri orang percaya ada kuasa Roh Kudus,  "...lebih besar dari pada roh yang ada di dalam dunia."  (1 Yohanes 4:4).  Hal itu mendorongnya untuk mencari celah sekecil apapun kelemahan kita.  Karena itu di segala keadaan kita harus tetap berjuang dan senantiasa berjaga-jaga agar tidak lengah.  "...aku melatih tubuhku dan menguasainya seluruhnya,"  (1 Korintus 9:27).  Musuh terbesar lainnya adalah kedagingan kita sendiri.  "roh memang penurut, tetapi daging lemah."  (Matius 26:41).  Daging tak pernah berhenti menguji kita, bahkan terus berusaha mengikat kita supaya kita takluk kepadanya dan menuruti segala keinginannya.  Bukankah ada banyak orang Kristen, baik itu jemaat awam dan tak terkecuali mereka yang sudah terlibat dalam pelayanan, tetap saja memiliki cara hidup yang sangat duniawi sebagai bukti ketidakmampuan mereka menaklukkan keinginan daging.

     Adalah sangat mudah bagi Tuhan untuk menyingkirkan semua tantangan yang ada, tapi justru Tuhan hendak memakai tantangan sebagai alat penguji ketekunan kita agar kita mau berjuang.  Berjuang bukan dengan kekuatan sendiri melainkan di dalam penyertaan Roh Kudus.  Anugerah kemenangan dan keberhasilan sudah dirancangkan Tuhan bagi kita, adapun bagian kita adalah berjuang melawan tipu muslihat Iblis dan kedagingan kita.

Kerelaan kita untuk dibentuk Tuhan melalui tantangan yang ada dan semakin memperteguh panggilan Tuhan dalam hidup kita.

Wednesday, October 8, 2014

DALAM PERLOMBAAN IMAN

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 8 Oktober 2014

Baca:  1 Korintus 9:24-27

"Tidak tahukah kamu, bahwa dalam gelanggang pertandingan semua peserta turut berlari, tetapi bahwa hanya satu orang saja yang mendapat hadiah? Karena itu larilah begitu rupa, sehingga kamu memperolehnya!"  1 Korintus 9:24

Rasul Paulus mengumpamakan perjalanan kehidupan rohani orang percaya itu seperti olahragawan  (pelari dan petinju)  yang sedang bertanding di arena pertandingan.  Apa maksudnya?  Melalui perumpamaan ini Paulus hendak mengingatkan dan mendorong semua orang percaya agar mau berjuang sedemikian rupa dalam perlombaan iman demi meraih tujuan akhir yaitu mendapatkan mahkota kehidupan, sebagaimana seorang olahragawan yang tampil habis-habisan demi mewujudkan keinginannya menjadi juara dalam setiap pertandingan yang diikutinya.

     Tidak pernah ada di kamus mana pun yang menyatakan bahwa seorang olahragawan yang tidak pernah berlatih keras, tidak punya kedisiplinan dan gampang putus asa akan merasakan indahnya berada di atas podium juara.  Pula, tak seorang pun olahragawan yang berkeinginan menjadi pecundang, semuanya pasti ingin meraih prestasi setinggi langit dan menjadi yang terbaik!  Yang harus selalu kita ingat adalah bahwa dalam setiap pertandingan olahraga  (cabang apa pun)  hanya akan menghasilkan satu orang pemenang saja, dialah yang berhak atas mahkota juara atau medali emas.  Meski mahkota yang diperolehnya hanya bersifat fana, semua olahragawan bertanding dengan semangat tinggi dan antusias, bahkan berjuang sampai titik darah penghabisan.

     Terlebih-lebih dalam hal pertandingan iman, di mana pemenanganya akan mendapatkan mahkota yang abadi yaitu kehidupan kekal, maka sudah selayaknya kita berjuang lebih keras lagi.  Karena itu  "Janganlah hendaknya kerajinanmu kendor, biarlah rohmu menyala-nyala dan layanilah Tuhan. Bersukacitalah dalam pengharapan, sabarlah dalam kesesakan, dan bertekunlah dalam doa!"  (Roma 12:11), sebab tidak ada kemajuan atau kedewasaan rohani terjadi secara instan atau datang tiba-tiba seperti durian runtuh dari langit.  Kesemuanya harus melalui proses panjang:  ada latihan keras, ada disiplin diri dan pantang menyerah.  Inilah harga yang harus kita bayar!

"Hendaklah engkau setia sampai mati, dan Aku akan mengaruniakan kepadamu mahkota kehidupan."  Wahyu 2:10b

Tuesday, October 7, 2014

KEPUTUSAN MUSA: Menolak Kesenangan Dunia

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 7 Oktober 2014

Baca:  Ibrani 11:23-29

"karena ia lebih suka menderita sengsara dengan umat Allah dari pada untuk sementara menikmati kesenangan dari dosa."  Ibrani 11:25

Orang-orang dunia acapkali menilai  'harga'  seseorang dari harta, gelar, popularitas, pangkat atau kedudukan.  Wajarlah jika kita menilai bahwa tindakan Musa melepas kehormatan di Mesir adalah tindakan bodoh?  Benarkah?  Secara duniawi, ya...tapi dari sudut pandang rohani justru Musa telah mengorbankan perkara-perkara duniawi  (fana)  demi mendapatkan berkat yang sifatnya kekal.

     Keputusan Musa ini tak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Paulus, yang rela melepaskan semuanya demi Kristus,  "...yang dahulu merupakan keuntungan bagiku, sekarang kuanggap rugi karena Kristus. Malahan segala sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia dari pada semuanya. Oleh karena Dialah aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus,"  (Filipi 3:7-8).

     Adalah mudah bagi seseorang yang tidak memiliki harta atau segala sesuatu yang berharga di dunia ini untuk membuat keputusan mengikut Tuhan dan mengerjakan panggilan-Nya.  Sebaliknya teramat sulit bagi orang seperti Musa yang memiliki segala-galanya, apalagi dalam usia 40 tahun tentunya sudah banyak menikmati kenyamanan.  Demi merespons panggilan Tuhan Musa memutuskan meninggalkan segala kesenangan duniawi.  "Janganlah kamu mengasihi dunia dan apa yang ada di dalamnya. Jikalau orang mengasihi dunia, maka kasih akan Bapa tidak ada di dalam orang itu. Sebab semua yang ada di dalam dunia, yaitu keinginan daging dan keinginan mata serta keangkuhan hidup, bukanlah berasal dari Bapa, melainkan dari dunia."  (1 Yohanes 2:15-16).

     Dari semula kesenangan duniawi memikat hati dan menyilaukan mata manusia.  Karena itu banyak orang memilih bersahabat dengan dunia ini dan menjadi musuh Allah.  Mereka lupa bahwa dampak dosa sangat mengerikan,  "Sebab upah dosa ialah maut;"  (Roma 6:23).  Kehidupan orang fasik itu akan berujung kepada maut, tapi  "...orang yang melakukan kehendak Allah tetap hidup selama-lamanya."  (1 Yohanes 2:17).

Mana yang kita pilih?  Memilih kesenangan dunia tapi berujung maut atau kita bertekad untuk meninggalkan dosa seperti Musa?

Monday, October 6, 2014

KEPUTUSAN MUSA: Melepas Kehormatan Dunia

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 6 Oktober 2014

Baca:  Ibrani 11:23-29

"Karena iman maka ia telah meninggalkan Mesir dengan tidak takut akan murka raja. Ia bertahan sama seperti ia melihat apa yang tidak kelihatan."  Ibrani 11:27

Setiap saat dalam hidup ini kita selalu dihadapkan pada banyak hal di mana kita harus membuat pilihan atau keputusan:  mulai dari keputusan-keputusan kecil yang tampaknya sepele, sampai kepada keputusan-keputusan besar yang sifatnya sangat penting yang berdampak besar dalam kehidupan kita di kemudian hari.  Semisal saat dihadapkan pada kesempatan, entah kesempatan berdoa, membaca Alkitab atau melayani Tuhan, akankah kita gunakan kesempatan itu sebaik mungkin, ataukah kita membuang kesempatan tersebut?  Kita lebih memilih nonton televisi daripada berdoa dan baca Alkitab;  kita lebih suka hang out dan menyalurkan hobi daripada mendedikasikan waktu dan tenaga untuk terlibat pelayanan di gereja.  Semua sangat bergantung pada keputusan kita.  "Sebab seperti orang yang membuat perhitungan dalam dirinya sendiri demikianlah ia."  (Amsal 23:7a).

     Mari belajar dari kehidupan Musa.  Kita tahu sejarah Musa hingga ia bisa sampai ke Mesir.  "Ketika anak itu telah besar, dibawanyalah kepada puteri Firaun, yang mengangkatnya menjadi anaknya,"  (Keluaran 2:10).  Alkitab pun mencatat,  "Musa dididik dalam segala hikmat orang Mesir, dan ia berkuasa dalam perkataan dan perbuatannya."  (Kisah 7:22).  Selama 40 tahun Musa hidup di istana Mesir, suatu negeri yang kaya dan maju.  Karena itu tidaklah mengherankan bila Musa mendapatkan pendidikan tinggi dan juga keahlian.  Musa benar-benar menjadi orang yang sangat beruntung.  Namun kesemuanya itu tidak membuatnya lupa terhadap bangsa Israel, justru panggilan Tuhan terhadap dirinya terus berkobar-kobar.

     Usia 40 tahun menjadi titik balik dalam hidup Musa di mana ia membuat sebuah keputusan yang sangat penting yang sangat menentukan masa depannya dan juga bangsanya.  "Karena iman maka Musa, setelah dewasa, menolak disebut anak puteri Firaun,"  (Ibrani 11:24).  Menolak disebut anak puteri Firaun berarti Musa harus siap menanggung resiko yaitu kehilangan harta, kehormatan dan kedudukan.  Secara manusia keputusan yang diambil Musa dengan mengorbankan semuanya adalah sebuah kerugian besar.

Musa rela melepas kehormatan, kekuasaan dan statusnya sebagi anak puteri Firaun demi merespons panggilan Tuhan!

Sunday, October 5, 2014

MENJADI SAHABAT TUHAN: Berdoa dan Merenungkan Firman-Nya

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 5 Oktober 2014

Baca:  Mazmur 119:145-152

"Aku berseru dengan segenap hati; jawablah aku, ya TUHAN! Ketetapan-ketetapan-Mu hendak kupegang."  Mazmur 119:145

Setelah tahu bahwa Tuhan Yesus tidak lagi menyebut kita sebagai hamba, melainkan menjadikan kita sahabat-Nya, maka kita pun harus berusaha supaya kita benar-benar layak disebut sebagai sahabat Tuhan.  Langkah awal adalah membangun persekutuan yang karib dengan Tuhan.  Dapatkah kita dikatakan bersahabat dengan seseorang bila kita tidak pernah menghabiskan waktu bersama orang tersebut?  Untuk menjadi sahabat Tuhan Yesus kita pun harus memiliki banyak waktu bersama-Nya.  Tekun dalam doa adalah cara untuk kita karib dengan Tuhan dan mengenal pribadi-Nya.  Jika kita bersekutu dengan Tuhan hanya sekali dalam seminggu saat ibadah saja, inikah yang disebut karib?

     Persahabatan dengan Tuhan harus dibangun setiap waktu.  Belajarlah seperti Daniel:  "Dalam kamar atasnya ada tingkap-tingkap yang terbuka ke arah Yerusalem; tiga kali sehari ia berlutut, berdoa serta memuji Allahnya, seperti yang biasa dilakukannya."  (Daniel 6:11b).  Berdoa yang dimaksudkan bukan sekedar berdoa saat makan, setelah bangun tidur dan saat mau tidur, tapi kita menyediakan waktu secara khusus dan konsisten untuk Tuhan:  bercakap-cakap dengan Dia, mencurahkan isi hati kita, memuji, menyembah dan juga mendengar suara-Nya.  Sebagai sahabat, Tuhan rindu kita senantiasa melibatkan Dia di segala aspek kehidupan kita, karena itu Ia pun menghendaki kita berdoa dengan tiada berkeputusan dan tidak jemu-jemu.  Jadi,  "Tetaplah berdoa."  (1 Tesalonika 5:17), artinya tiada waktu yang terlewatkan tanpa kita berkomunikasi dengan Tuhan.  Selanjutnya adalah merenungkan firman Tuhan siang dan malam.  Mustahil seseorang menjadi sahabat Tuhan tanpa mengetahui kehendak dan rencana-Nya yang tertulis dalam Alkitab.

     Mari kita belajar dan meneladani hidup Daud yang sangat menghormati dan menghargai firman Tuhan sehingga ia berkata,  "Betapa kucintai Taurat-Mu! Aku merenungkannya sepanjang hari. Peringatan-peringatan-Mu ajaib, itulah sebabnya jiwaku memegangnya."  (Mazmur 119:97, 129).

Saturday, October 4, 2014

TUHAN YESUS: Sahabat Sejati Kita (2)

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 4 Oktober 2014

Baca:  Yohanes 15:9-17

"Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya."  Yohanes 15:13

Amsal 17:17:  "Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran."  Yesus telah membuktikan kasih-Nya yang besar bagi kita melalui kematian-Nya di kayu salib.  Dia rela mengorbankan nyawa-Nya menebus dosa-dosa kita.  Kalau nyawa-Nya saja rela Dia serahkan, kita pun percaya apapun yang kita butuhkan dan perlukan pasti Tuhan sediakan bagi kita.  "Allahku akan memenuhi segala keperluanmu menurut kekayaan dan kemuliaan-Nya dalam Kristus Yesus."  (Filii 4:19).

     Karena Yesus telah menunjukkan kasih-Nya sedemikian rupa, kita pun harus mengasihi Dia dengan sepenuh hati.  Apabila kita mengasihi Tuhan selayaknya kasih seorang sahabat, maka kita akan berusaha untuk menjaga perasaan sahabat kita, serta berpikir seribu kali bila hendak menyakiti atau melukai perasaan-Nya.  Namun justru kita sering menyakiti hati Tuhan dan mengecewakan Dia melalui tindakan dan perbuatan kita.  Jangankan taat melakukan perintah-Nya, menyediakan waktu untuk bersekutu dan mendekat kepada-Nya saja jarang sekali kita lakukan.  Kita berkutat dengan kesibukan diri sendiri dan mengabaikan kehadiran-Nya.  Jika demikian layakkah kita disebut sahabat Tuhan?  Padahal Tuhan sudah mengulurkan tangan-Nya untuk menjalin persahabatan dengan kita.  Yakobus menasihati,  "Mendekatlah kepada Allah, dan Ia akan mendekat kepadamu."  (Yakobus 4:8a).

     Tuhan Yesus adalah sahabat sejati orang percaya.  Sahabat yang sejati rela berkorban, dan Yesus sudah membuktikannya dengan memberikan nyawa-Nya untuk kita.  Bukan hanya itu, Dia juga berjanji tidak akan meninggalkan kita dan akan terus menyertai kita sampai kesudahan zaman.  Bahkan, di setiap perjalanan hidup yang kita tempuh Tuhan berjanji,  "Sampai masa tuamu Aku tetap Dia dan sampai masa putih rambutmu Aku menggendong kamu. Aku telah melakukannya dan mau menanggung kamu terus; Aku mau memikul kamu dan menyelamatkan kamu."  (Yesaya 46:4).

Tuhan Yesus adalah sahabat sejati kita:  Dia rela mati untuk kita, menyertai, mengasihi dan menyediakan pertolongan tepat pada waktu-Nya!

Friday, October 3, 2014

TUHAN YESUS: Sahabat Sejati Kita (1)

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 3 Oktober 2014

Baca:  Yohanes 15:9-17

"Aku tidak menyebut kamu lagi hamba, sebab hamba tidak tahu, apa yang diperbuat oleh tuannya, tetapi Aku menyebut kamu sahabat, karena Aku telah memberitahukan kepada kamu segala sesuatu yang telah Kudengar dari Bapa-Ku."  Yohanes 15:15

Suatu anugerah luar biasa yang diperoleh setiap orang percaya karena Yesus tidak lagi menyebut kita sebagai hamba, tapi  "...menyebut kamu sahabat,"  (ayat nas).  Sahabat bukanlah sekedar hubungan biasa, melainkan terjalin sangat intim  (karib)  serta dilandasi oleh sebuah kepercayaan.  Untuk menjadi orang yang bisa dipercaya oleh orang lain bukanlah hal yang mudah, terlebih-lebih yang memberi kepercayaan itu adalah Tuhan.

     Bukti kepercayaan Tuhan adalah diberitahukan-Nya segala sesuatu yang didengar-Nya dari Bapa.  Pemazmur juga menegaskan,  "TUHAN bergaul karib dengan orang yang takut akan Dia, dan perjanjian-Nya diberitahukan-Nya kepada mereka."  (Mazmur 25:14).  Secara manusia sulit untuk dipahami bahwa Tuhan mau dan menginginkan kita menjadi sahabat-Nya.  Namun hal itu menunjukkan bahwa Tuhan sangat menginginkan kita makin mengenal-Nya lebih dekat.  Inilah hak istimewa dan terbesar bagi setiap orang percaya:  dikenal, dikasihi dan dijadikan sahabat oleh Tuhan.  Memiliki seorang sahabat berarti kita dapat berjalan seiring sejalan, saling menguatkan dan saling berbagi kasih yang tulus;  dan hanya sahabat sejatilah yang mau tetap ada untuk kita di segala keadaan.  Alangkah indahnya saat kita mengetahui bahwa Tuhan Yesus sudah menyatakan diri-Nya sendiri sebagai sahabat sejati bagi orang percaya.  Artinya segala hal yang baik dan istimewa yang tidak bisa kita dapatkan dari seorang sahabat di dunia ini bisa kita dapatkan jauh lebih dari apapun melalui kasih yang dinyatakan oleh Tuhan Yesus.

     Bagaimana kita bisa layak disebut sebagai sahabat Tuhan Yesus?  Kata-Nya,  "Kamu adalah sahabat-Ku, jikalau kamu berbuat apa yang Kuperintahkan kepadamu."  (Yohanes 15:14).  Melakukan perintah Tuhan adalah syarat utama untuk beroleh kepercayaan sebagai sahabat Tuhan Yesus.  "Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu."  (Yohanes 15:!2).

Apabila kita taat melakukan apa yang diperintahkan Tuhan yaitu saling mengasihi, maka kita memperoleh hak yang sangat istimewa yaitu menjadi sahabat Tuhan Yesus.

Thursday, October 2, 2014

PERSAHABATAN DENGAN ALLAH

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 2 Oktober 2014

Baca:  1 Yohanes 4:7-21

"Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita."  1 Yohanes 4:10

Mungkin saat ini Saudara merasa sendiri karena tidak ada orang lain yang mempedulikan dan memperhatikan.  Saat berada di situasi sulit justru teman-teman dekat mundur teratur dan beranjak menjauh.  Hari-hari Saudara pun terasa hampa dan sepi.  Jangan terus larut dalam kepedihan dan merasa sendiri.  Tidak!  Kita tidak pernah sendiri, ada Yesus yang akan selalu menyertai, menemani dan memeluk kita.  "Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau."  (Ibrani 13:5b).

     Mari kita flashback sejenak.  Di awal penciptaan manusia kita melihat suatu hubungan yang sangat karib terjalin antara Allah dengan manusia di taman Eden.  Adam dan Hawa menikmati persahabatan begitu mesra dengan Allah.  Tidak ada ritual agama, tidak ada upacara, yang ada hanyalah hubungan kasih yang begitu intim antara Allah dengan manusia yang diciptakan-Nya.  Tidak ada jarak antara Allah dan manusia!  Tetapi setelah manusia jatuh dalam dosa, hubungan yang karib itu lenyap dan terputus.  "...yang merupakan pemisah antara kamu dan Allahmu ialah segala kejahatanmu, dan yang membuat Dia menyembunyikan diri terhadap kamu, sehingga Ia tidak mendengar, ialah segala dosamu."  (Yesaya 59:2).  Namun Yesus mengubah segala sesuatunya ketika Dia membayar dosa-dosa kita di Kalvari.  "...tabir Bait Suci terbelah dua dari atas sampai ke bawah dan terjadilah gempa bumi, dan bukit-bukit batu terbelah,"  (Matius 27:51).

     Tabir Bait Suci yang melambangkan pemisahan dari Allah telah robek dari atas ke bawah, artinya jalan masuk kepada Allah kembali tersedia.  Kini setiap orang percaya bisa mendekati Allah dengan penuh keberanian.  "Di dalam Dia kita beroleh keberanian dan jalan masuk kepada Allah dengan penuh kepercayaan oleh iman kita kepada-Nya."  (Efesus 3:12).  Persahabatan dengan Allah dimungkinkan hanya karena kasih karunia yang dinyatakan melalui Yesus Kristus.  "Dan semuanya ini dari Allah, yang dengan perantaraan Kristus telah mendamaikan kita dengan diri-Nya..."  (2 Korintus 5:18).

Inisiatif pemulihan hubungan itu datangnya dari Allah sendiri melalui pengorbanan Yesus, yang oleh-Nya kita beroleh persekutuan karib seperti sediakala.

Wednesday, October 1, 2014

PERSAHABATAN SEJATI: Daud dan Yonatan

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 1 Oktober 2014

Baca:  1 Samuel 18:1-5

"Yonatan mengikat perjanjian dengan Daud, karena ia mengasihi dia seperti dirinya sendiri."  1 Samuel 18:3

Di dalam Alkitab kita akan menemukan seorang persahabatan sejati yaitu persahabatan antara Daud dan Yonatan.  Alkitab menyatakan,  "Ketika Daud habis berbicara dengan Saul, berpadulah jiwa Yonatan dengan jiwa Daud; dan Yonatan mengasihi dia seperti jiwanya sendiri."  (1 Samuel 18:1).  Kata berpadulah artinya terjalin begitu erat dan kuat, tak terpisahkan.  Kasih yang terjalin di antara keduanya melebihi kasih saudara kandung.  Inilah kasih seorang sahabat sejati yang  "...menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran."  (Amsal 17:17).  Atas dasar kasih inilah Yonatan dan Daud mengikat perjanjian dan saling berkomitmen.  Perjanjian adalah bukti adanya kesatuan dalam hati dan jiwa.

     Kasih seorang sahabat tidak melihat rupa, tingkat pendidikan, status atau pun pangkat.  Yonatan, yang adalah putera raja Saul, tidak pernah merasa malu telah menjadikan Daud sebagai sahabatnya meski profesi Daud hanyalah seorang gembala.  Perbedaan status bak langit dan bumi bukan jadi penghalang bagi keduanya untuk membangun sebuah persahabatan.  Ketika Daud hendak terjun ke medan peperangan, Yonatan pun rela  "...menanggalkan jubah yang dipakainya, dan memberikannya kepada Daud, juga baju perangnya, sampai pedangnya, panahnya dan ikat pinggangnya."  (1 Samuel 18:4), padahal jubah dan perlengkapan perang adalah lambang kehormatan dan kedudukan.  Namun inilah bukti kasih dan kerendahan hati Yonatan.  Bukan hanya itu, Yonatan juga rela mempertaruhkan nyawanya demi Daud  (baca 1 Samuel 20:30-34).  Sahabat sejati pasti mau dan rela berkorban demi sahabatnya.

     Setelah menduduki tahta Israel Daud tidak begitu saja melupakan janji dan komitmennya dengan Yonatan.  Meski Yonatan telah tiada kasih Daud tidak berubah, terbukti dari tindakan Daud yang bersedia merawat anak Yonatan yaitu Mefiboset.  Kata Daud,  "Janganlah takut, sebab aku pasti akan menunjukkan kasihku kepadamu oleh karena Yonatan, ayahmu; aku akan mengembalikan kepadamu segala ladang Saul, nenekmu, dan engkau akan tetap makan sehidangan dengan aku."  (2 Samuel 9:7).

Persahabatan sejati:  ada kasih, kesetiaan dan komitmen.