Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 10 April 2017
Baca: 1 Samuel 23:1-13
"Bersiaplah, pergilah ke Kehila, sebab Aku akan menyerahkan orang Filistin itu ke dalam tanganmu." 1 Samuel 23:4
Perjalanan hidup setiap orang tak pernah luput dari masalah, entah itu berupa sakit-penyakit, krisis keuangan, musibah atau bahkan musuh-musuh yang sewaktu-waktu bisa datang tanpa bisa diprediksi. Untuk menghadapi semuanya itu kita tidak mungkin mengandalkan kekuatan diri sendiri, mutlak kita memerlukan Tuhan. Karena itu penting sekali kita membangun persekutuan yang karib dengan Tuhan agar beroleh petunjuk dan tuntunan-Nya, sebab ada tertulis: "TUHAN bergaul karib dengan orang yang takut akan Dia, dan perjanjian-Nya diberitahukan-Nya kepada mereka." (Mazmur 25:14).
Bergaul karib dengan Tuhan berarti menjadikan doa dan perenungan firman Tuhan sebagai gaya hidup. Doa merupakan persekutuan secara roh dengan Roh Kudus dan Bapa, sedangkan firman Tuhan adalah makanan rohani yang mutlak dibutuhkan untuk menguatkan iman kita. Daud mampu mengalahkan musuh-musuhnya karena ia karib dengan Tuhan. Terbukti ia selalu meminta petunjuk dan penyertaan Tuhan sebelum melangkah atau melakukan segala sesuatu. Ketika diberitahukan bahwa "...orang Filistin berperang melawan kota Kehila dan menjarah tempat-tempat pengirikan." (1 Samuel 23:1), bertanyalah Daud kepada Tuhan: "'Apakah aku akan pergi mengalahkan orang Filistin itu?' Jawab TUHAN
kepada Daud: 'Pergilah, kalahkanlah orang Filistin itu dan selamatkanlah
Kehila.'" (1 Samuel 23:2). Daud pun maju berperang, dan karena campur tangan Tuhan ia berhasil mengalahkan orang Filistin dan menyelamatkan penduduk Kehila.
Penduduk Kehila bukanlah sanak saudara Daud, tetapi karena solidaritasnya terhadap bangsa itu ia rela berperang melawan orang Filistin. Apa itu solidaritas? Adalah rasa kebersamaan, rasa kesatuan kepentingan, rasa simpati, rasa setia kawan. Bagaimana respons orang-orang Kehila setelah dibantu Daud? Alih-alih mengungkapkan rasa terima kasih, mereka justru berpihak kepada Saul untuk menyingkirkan Daud. Dalam situasi ini Saul yang seharusnya membela Daud malah menyimpan niat jahat terhadap Daud, karena terbakar rasa iri hati dan dengki. Benar-benar di luar dugaan!
Tak perlu takut menghadapi musuh! Jika Tuhan di pihak kita, siapakah lawan kita?
Monday, April 10, 2017
Sunday, April 9, 2017
BERHARAP KEPADA TUHAN: Tak Beroleh Malu
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 9 April 2017
Baca: 2 Samuel 24:18-25
"...sebab aku tidak mau mempersembahkan kepada TUHAN, Allahku, korban bakaran dengan tidak membayar apa-apa." 2 Samuel 24:24
Atas nasihat Gad yang diutus oleh malaikat Tuhan Daud berniat untuk mendirikan mezbah bagi Tuhan di atas tanah pengirikan Arauna, orang Yebus. Segeralah Daud menemui Arauna bermaksud ingin membeli tempat itu, namun Arauna justru ingin mempersembahkan tanah itu kepada Daud secara cuma-cuma. Daud menolaknya dengan tegas, sebab ia tidak mau mempersembahkan sesuatu kepada Tuhan tanpa membayar apa-apa. Ia ingin memberi yang terbaik bagi Tuhan dengan cara berkorban, memberi dari apa yang dimiliki, karena sadar bahwa semua yang dimilikinya itu berasal dari Tuhan.
Ada banyak orang Kristen memiliki keinginan dan kerinduan untuk mendukung pekerjaan Tuhan, tetapi hati mereka masih belum sepenuhnya rela untuk berkorban, karena pikiran mereka masih dipenuhi oleh perhitungan matematika dan bisnis: bahwa memberikan persembahan atau berkorban bagi Tuhan berarti uangnya akan berkurang dan ini sebuah kerugian besar. Hal itu menunjukkan bahwa roh cinta akan uang masih belum dapat dipatahkan. "...akar segala kejahatan ialah cinta uang." (1 Timotius 6:10). Jadi daripada tidak rela lebih baik tidak usah berkorban! Karena dasar dari semua korban bagi Tuhan adalah kerelaan hati atau sukarela, tergerak dan terdorong dalam hati untuk membawa sesuatu persembahan kepada Tuhan. "Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita." (2 Korintus 9:7).
Bagi hamba-hamba Tuhan (gembala atau penginjil) yang sedang mengalami pergumulan dalam hal keuangan, jangan pernah menggantungkan harapan kepada manusia, berharaplah hanya kepada Tuhan. "Mungkinkah tangan-Ku terlalu pendek untuk membebaskan atau tidak adakah kekuatan pada-Ku untuk melepaskan? Sesungguhnya, dengan hardik-Ku Aku mengeringkan laut, Aku membuat sungai-sungai menjadi padang gurun;..." (Yesaya 50:2b). Kalau Tuhan sanggup mengeringkan air laut dan membuat sungai menjadi padang gurun, tidak sanggupkah Ia melepaskan kita dari krisis? Tidak sanggupkah Ia menyediakan dana untuk pekerjaan-Nya di bumi?
"...siapa yang percaya kepada-Nya, tidak akan dipermalukan." 1 Petrus 2:6
Baca: 2 Samuel 24:18-25
"...sebab aku tidak mau mempersembahkan kepada TUHAN, Allahku, korban bakaran dengan tidak membayar apa-apa." 2 Samuel 24:24
Atas nasihat Gad yang diutus oleh malaikat Tuhan Daud berniat untuk mendirikan mezbah bagi Tuhan di atas tanah pengirikan Arauna, orang Yebus. Segeralah Daud menemui Arauna bermaksud ingin membeli tempat itu, namun Arauna justru ingin mempersembahkan tanah itu kepada Daud secara cuma-cuma. Daud menolaknya dengan tegas, sebab ia tidak mau mempersembahkan sesuatu kepada Tuhan tanpa membayar apa-apa. Ia ingin memberi yang terbaik bagi Tuhan dengan cara berkorban, memberi dari apa yang dimiliki, karena sadar bahwa semua yang dimilikinya itu berasal dari Tuhan.
Ada banyak orang Kristen memiliki keinginan dan kerinduan untuk mendukung pekerjaan Tuhan, tetapi hati mereka masih belum sepenuhnya rela untuk berkorban, karena pikiran mereka masih dipenuhi oleh perhitungan matematika dan bisnis: bahwa memberikan persembahan atau berkorban bagi Tuhan berarti uangnya akan berkurang dan ini sebuah kerugian besar. Hal itu menunjukkan bahwa roh cinta akan uang masih belum dapat dipatahkan. "...akar segala kejahatan ialah cinta uang." (1 Timotius 6:10). Jadi daripada tidak rela lebih baik tidak usah berkorban! Karena dasar dari semua korban bagi Tuhan adalah kerelaan hati atau sukarela, tergerak dan terdorong dalam hati untuk membawa sesuatu persembahan kepada Tuhan. "Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita." (2 Korintus 9:7).
Bagi hamba-hamba Tuhan (gembala atau penginjil) yang sedang mengalami pergumulan dalam hal keuangan, jangan pernah menggantungkan harapan kepada manusia, berharaplah hanya kepada Tuhan. "Mungkinkah tangan-Ku terlalu pendek untuk membebaskan atau tidak adakah kekuatan pada-Ku untuk melepaskan? Sesungguhnya, dengan hardik-Ku Aku mengeringkan laut, Aku membuat sungai-sungai menjadi padang gurun;..." (Yesaya 50:2b). Kalau Tuhan sanggup mengeringkan air laut dan membuat sungai menjadi padang gurun, tidak sanggupkah Ia melepaskan kita dari krisis? Tidak sanggupkah Ia menyediakan dana untuk pekerjaan-Nya di bumi?
"...siapa yang percaya kepada-Nya, tidak akan dipermalukan." 1 Petrus 2:6
Saturday, April 8, 2017
KARENA KEBAIKAN TUHAN SEMATA
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 8 April 2017
Baca: 2 Samuel 22:31-51
"Juga Kauberikan kepadaku perisai keselamatan-Mu, dan kebaikan-Mu telah membuat aku besar." 2 Samuel 22:36b
Ketika memilih seorang pemimpin hal pertama yang biasa orang perhatikan adalah faktor penampilan luar atau serentetan prestasi yang telah diraih. Tak terkecuali nabi Samuel yang juga terkecoh dengan penampilan dan kelebihan-kelebihan yang terlihat mata jasmani, sehingga ketika dipanggil Tuhan untuk mengurapi orang yang dipersiapkan sebagai pengganti raja Saul ia hampir yakin bahwa anak tertua Isai lah yang sangat pantas untuk menggantikan: "Ketika mereka itu masuk dan Samuel melihat Eliab, lalu pikirnya: 'Sungguh, di hadapan TUHAN sekarang berdiri yang diurapi-Nya.' Tetapi berfirmanlah TUHAN kepada Samuel: 'Janganlah pandang parasnya atau perawakan yang tinggi, sebab Aku telah menolaknya. Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati.'" (1 Samuel 16-6-7).
Berbeda sekali dengan manusia yang selalu memperhatikan bagian luarnya, Tuhan selalu melihat hati manusia! Itulah sebabnya Eliab, Abinadab, Syama dan saudara-saudaranya yang lain tak terpilih oleh Tuhan. Bertanyalah Samuel kepada Isai, "'Inikah anakmu semuanya?' Jawabnya: 'Masih tinggal yang bungsu, tetapi sedang menggembalakan kambing domba.'" (1 Samuel 16:11). Tersirat dalam benak Isai bahwa mustahil anak bungsunya (Daud) yang kerjanya hanya menggembalakan kambing domba akan dipilih menjadi raja, sementara kakak-kakaknya yang secara manusia memenuhi kriteria saja ditolak oleh Tuhan. Itulah jalan pikiran manusia, tapi Tuhan berfirman pada Samuel, "Bangkitlah, urapilah dia, sebab inilah dia." (1 Samuel 16:12b). Justru Daud, -orang yang kurang diperhitungkan, bahkan dipandang remeh oleh ayahnya sendiri,- yang Tuhan pilih dan diurapi-Nya... bukan karena keelokan parasnya seperti yang dikisahkan: "Ia kemerah-merahan, matanya indah dan parasnya elok." (1 Samuel 16:12a).
Daud punya sesuatu yang tak dimiliki oleh saudara-saudaranya yaitu hati yang bergantung sepenuhnya kepada Tuhan dan selalu terbuka untuk diselidiki dan dikoreksi, sebagai tanda kerendahan hati. Karena itu Daud mengakui bahwa hanya karena kebaikan Tuhan saja jika dia menjadi besar dan bisa melangkah sampai sejauh itu!
"Ia tidak menahan kebaikan dari orang yang hidup tidak bercela." Mazmur 84:12
Baca: 2 Samuel 22:31-51
"Juga Kauberikan kepadaku perisai keselamatan-Mu, dan kebaikan-Mu telah membuat aku besar." 2 Samuel 22:36b
Ketika memilih seorang pemimpin hal pertama yang biasa orang perhatikan adalah faktor penampilan luar atau serentetan prestasi yang telah diraih. Tak terkecuali nabi Samuel yang juga terkecoh dengan penampilan dan kelebihan-kelebihan yang terlihat mata jasmani, sehingga ketika dipanggil Tuhan untuk mengurapi orang yang dipersiapkan sebagai pengganti raja Saul ia hampir yakin bahwa anak tertua Isai lah yang sangat pantas untuk menggantikan: "Ketika mereka itu masuk dan Samuel melihat Eliab, lalu pikirnya: 'Sungguh, di hadapan TUHAN sekarang berdiri yang diurapi-Nya.' Tetapi berfirmanlah TUHAN kepada Samuel: 'Janganlah pandang parasnya atau perawakan yang tinggi, sebab Aku telah menolaknya. Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati.'" (1 Samuel 16-6-7).
Berbeda sekali dengan manusia yang selalu memperhatikan bagian luarnya, Tuhan selalu melihat hati manusia! Itulah sebabnya Eliab, Abinadab, Syama dan saudara-saudaranya yang lain tak terpilih oleh Tuhan. Bertanyalah Samuel kepada Isai, "'Inikah anakmu semuanya?' Jawabnya: 'Masih tinggal yang bungsu, tetapi sedang menggembalakan kambing domba.'" (1 Samuel 16:11). Tersirat dalam benak Isai bahwa mustahil anak bungsunya (Daud) yang kerjanya hanya menggembalakan kambing domba akan dipilih menjadi raja, sementara kakak-kakaknya yang secara manusia memenuhi kriteria saja ditolak oleh Tuhan. Itulah jalan pikiran manusia, tapi Tuhan berfirman pada Samuel, "Bangkitlah, urapilah dia, sebab inilah dia." (1 Samuel 16:12b). Justru Daud, -orang yang kurang diperhitungkan, bahkan dipandang remeh oleh ayahnya sendiri,- yang Tuhan pilih dan diurapi-Nya... bukan karena keelokan parasnya seperti yang dikisahkan: "Ia kemerah-merahan, matanya indah dan parasnya elok." (1 Samuel 16:12a).
Daud punya sesuatu yang tak dimiliki oleh saudara-saudaranya yaitu hati yang bergantung sepenuhnya kepada Tuhan dan selalu terbuka untuk diselidiki dan dikoreksi, sebagai tanda kerendahan hati. Karena itu Daud mengakui bahwa hanya karena kebaikan Tuhan saja jika dia menjadi besar dan bisa melangkah sampai sejauh itu!
"Ia tidak menahan kebaikan dari orang yang hidup tidak bercela." Mazmur 84:12
Friday, April 7, 2017
BERTAHAN DI TENGAH TANTANGAN HIDUP
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 7 April 2017
Baca: Ibrani 10:19-39
"Tetapi orang-Ku yang benar akan hidup oleh iman, dan apabila ia mengundurkan diri, maka Aku tidak berkenan kepadanya." Ibrani 10:38
Setiap orang pasti merindukan hari esok yang lebih cerah, suatu keadaan yang semakin hari semakin bertambah baik, bukan sebaliknya: mengalami kemerosotan atau kemunduran. Namun seiring berjalannya waktu, semakin kaki melangkah semakin berat tantangan yang harus dihadapi. Bagi mereka yang tak mempunyai iman yang kuat, keadaan atau situasi berat yang ada semakin mempengaruhi hati dan pikiran mereka, sehingga tidak sedikit dari mereka yang tergoncang dan menjadi tawar hati. Ada tertulis: "Jika engkau tawar hati pada masa kesesakan, kecillah kekuatanmu." (Amsal 24:10).
Dalam situasi yang demikian perlu sekali kita semakin mengaktifkan iman dan hidup di dalam iman kepada Tuhan Yesus. Inilah kunci untuk dapat bertahan di tengah tantangan yaitu datang kepada Bapa dalam nama Tuhan Yesus untuk berdoa dan memohon segala janji yang telah diberikan-Nya bagi kita. "Karena itu marilah kita menghadap Allah dengan hati yang tulus ikhlas dan keyakinan iman yang teguh, oleh karena hati kita telah dibersihkan dari hati nurani yang jahat dan tubuh kita telah dibasuh dengan air yang murni." (Ibrani 10:22). Tanpa iman tak seorang pun dapat bertahan hidup dengan benar, sebab selama di dunia ini kita takkan bisa menghindarkan diri dari berbagai pencobaan, tekanan, himpitan, masalah, sakit-penyakit dan sebagainya. Seorang yang tak benar tak dapat hidup oleh iman, karena ia telah mengundurkan diri dari kasih karunia Tuhan, dan hidup menurut kehendaknya sendiri, sehingga dengan akal dan kekuatan sendiri berusaha untuk menyelesaikan segala persoalan yang dihadapinya.
Iman bukanlah tindakan nekat atau gambling! "Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat." (Ibrani 11:1). Meski berada di tengah tantangan yang berat sekali pun, orang yang memiliki iman takkan pernah menyerah kepada tantangan atau keadaan yang ada, apalagi sampai putus pengharapan, sebab ia berkeyakinan bahwa "Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku." (Filipi 4:13).
"Marilah kita teguh berpegang pada pengakuan tentang pengharapan kita, sebab Ia, yang menjanjikannya, setia." Ibrani 10:23
Baca: Ibrani 10:19-39
"Tetapi orang-Ku yang benar akan hidup oleh iman, dan apabila ia mengundurkan diri, maka Aku tidak berkenan kepadanya." Ibrani 10:38
Setiap orang pasti merindukan hari esok yang lebih cerah, suatu keadaan yang semakin hari semakin bertambah baik, bukan sebaliknya: mengalami kemerosotan atau kemunduran. Namun seiring berjalannya waktu, semakin kaki melangkah semakin berat tantangan yang harus dihadapi. Bagi mereka yang tak mempunyai iman yang kuat, keadaan atau situasi berat yang ada semakin mempengaruhi hati dan pikiran mereka, sehingga tidak sedikit dari mereka yang tergoncang dan menjadi tawar hati. Ada tertulis: "Jika engkau tawar hati pada masa kesesakan, kecillah kekuatanmu." (Amsal 24:10).
Dalam situasi yang demikian perlu sekali kita semakin mengaktifkan iman dan hidup di dalam iman kepada Tuhan Yesus. Inilah kunci untuk dapat bertahan di tengah tantangan yaitu datang kepada Bapa dalam nama Tuhan Yesus untuk berdoa dan memohon segala janji yang telah diberikan-Nya bagi kita. "Karena itu marilah kita menghadap Allah dengan hati yang tulus ikhlas dan keyakinan iman yang teguh, oleh karena hati kita telah dibersihkan dari hati nurani yang jahat dan tubuh kita telah dibasuh dengan air yang murni." (Ibrani 10:22). Tanpa iman tak seorang pun dapat bertahan hidup dengan benar, sebab selama di dunia ini kita takkan bisa menghindarkan diri dari berbagai pencobaan, tekanan, himpitan, masalah, sakit-penyakit dan sebagainya. Seorang yang tak benar tak dapat hidup oleh iman, karena ia telah mengundurkan diri dari kasih karunia Tuhan, dan hidup menurut kehendaknya sendiri, sehingga dengan akal dan kekuatan sendiri berusaha untuk menyelesaikan segala persoalan yang dihadapinya.
Iman bukanlah tindakan nekat atau gambling! "Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat." (Ibrani 11:1). Meski berada di tengah tantangan yang berat sekali pun, orang yang memiliki iman takkan pernah menyerah kepada tantangan atau keadaan yang ada, apalagi sampai putus pengharapan, sebab ia berkeyakinan bahwa "Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku." (Filipi 4:13).
"Marilah kita teguh berpegang pada pengakuan tentang pengharapan kita, sebab Ia, yang menjanjikannya, setia." Ibrani 10:23
Thursday, April 6, 2017
JANGAN SAMPAI SALAH JALAN!
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 6 April 2017
Baca: Amsal 16:25-33
"Ada jalan yang disangka lurus, tetapi ujungnya menuju maut." Amsal 16:25
Tak bisa disangkal bahwa di dunia ini ada banyak jalan yang orang pikir adalah jalan yang benar dan baik menurut pandangan mereka, tetapi belum tentu jalan yang baik itu dapat membawa kepada kehidupan kekal, ujung-ujungnya malah menyesatkan. Karena itu kita perlu berhati-hati supaya tidak mudah untuk disesatkan.
Sebagai orang percaya sepatutnya kita bersyukur karena Tuhan Yesus telah memberitahukan kepada kita jalan yang harus ditempuh yaitu jalan yang benar dan menuju kepada kehidupan, dan jalan itu adalah diri-Nya sendiri, "Akulah jalan dan kebenaran dan hidup." (Yohanes 14:6a). Kata kebenaran (Yunani: aletheia) adalah kata yang sangat spesifik, bukan kebenaran biasa, tetapi kebenaran yang hakiki. Pernyataan Tuhan Yesus "Akulah hidup" sebagai penegasan bahwa Dia adalah sumber kehidupan. "Engkau memberitahukan kepadaku jalan kehidupan; di hadapan-Mu ada sukacita berlimpah-limpah, di tangan kanan-Mu ada nikmat senantiasa." (Mamur 16:11). Di tengah dunia yang jahat ini kita takkan luput dari romantika kehidupan yang diwarnai dengan persoalan dan pergumulan berat, namun bila kita mau datang kepada Tuhan Yesus, kita pasti akan mendapatkan jalan keluar yang terbaik.
Di tengah dunia yang semakin diliputi oleh kegelapan, dikarenakan "...seluruh dunia berada di bawah kuasa si jahat." (1 Yohanes 5:19), banyak orang mencari jalan kebenaran dan hidup dengan cara mereka sendiri. Mereka seperti meraba-raba di tempat yang gelap pekat, dan karena tiada cahaya yang meneranginya mereka tidak dapat menemukan jalan itu. Ada kabar baik hari ini, karena Tuhan Yesus berkata, "Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku." (Yohanes 14:6b). Jelas sekali bahwa Tuhan Yesus adalah satu-satunya jalan untuk kita sampai kepada Bapa, sebab "Dalam Dia ada hidup dan hidup itu adalah terang manusia." (Yohanes 1:4), dan "Sebab sama seperti Bapa mempunyai hidup dalam diri-Nya sendiri, demikian juga diberikan-Nya Anak mempunyai hidup dalam diri-Nya sendiri." (Yohanes 5:26). Tuhan Yesus, bukan hanya memberi nasihat dan arahan, tapi Dia juga akan menuntun dan memimpin kepada kebenaran dan kehidupan, sebab Dia adalah Jalan itu sendiri.
Hanya Tuhan Yesus satu-satunya jalan menuju kepada kehidupan kekal!
Baca: Amsal 16:25-33
"Ada jalan yang disangka lurus, tetapi ujungnya menuju maut." Amsal 16:25
Tak bisa disangkal bahwa di dunia ini ada banyak jalan yang orang pikir adalah jalan yang benar dan baik menurut pandangan mereka, tetapi belum tentu jalan yang baik itu dapat membawa kepada kehidupan kekal, ujung-ujungnya malah menyesatkan. Karena itu kita perlu berhati-hati supaya tidak mudah untuk disesatkan.
Sebagai orang percaya sepatutnya kita bersyukur karena Tuhan Yesus telah memberitahukan kepada kita jalan yang harus ditempuh yaitu jalan yang benar dan menuju kepada kehidupan, dan jalan itu adalah diri-Nya sendiri, "Akulah jalan dan kebenaran dan hidup." (Yohanes 14:6a). Kata kebenaran (Yunani: aletheia) adalah kata yang sangat spesifik, bukan kebenaran biasa, tetapi kebenaran yang hakiki. Pernyataan Tuhan Yesus "Akulah hidup" sebagai penegasan bahwa Dia adalah sumber kehidupan. "Engkau memberitahukan kepadaku jalan kehidupan; di hadapan-Mu ada sukacita berlimpah-limpah, di tangan kanan-Mu ada nikmat senantiasa." (Mamur 16:11). Di tengah dunia yang jahat ini kita takkan luput dari romantika kehidupan yang diwarnai dengan persoalan dan pergumulan berat, namun bila kita mau datang kepada Tuhan Yesus, kita pasti akan mendapatkan jalan keluar yang terbaik.
Di tengah dunia yang semakin diliputi oleh kegelapan, dikarenakan "...seluruh dunia berada di bawah kuasa si jahat." (1 Yohanes 5:19), banyak orang mencari jalan kebenaran dan hidup dengan cara mereka sendiri. Mereka seperti meraba-raba di tempat yang gelap pekat, dan karena tiada cahaya yang meneranginya mereka tidak dapat menemukan jalan itu. Ada kabar baik hari ini, karena Tuhan Yesus berkata, "Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku." (Yohanes 14:6b). Jelas sekali bahwa Tuhan Yesus adalah satu-satunya jalan untuk kita sampai kepada Bapa, sebab "Dalam Dia ada hidup dan hidup itu adalah terang manusia." (Yohanes 1:4), dan "Sebab sama seperti Bapa mempunyai hidup dalam diri-Nya sendiri, demikian juga diberikan-Nya Anak mempunyai hidup dalam diri-Nya sendiri." (Yohanes 5:26). Tuhan Yesus, bukan hanya memberi nasihat dan arahan, tapi Dia juga akan menuntun dan memimpin kepada kebenaran dan kehidupan, sebab Dia adalah Jalan itu sendiri.
Hanya Tuhan Yesus satu-satunya jalan menuju kepada kehidupan kekal!
Wednesday, April 5, 2017
DUNIA: Bukanlah Tempat Berlindung
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 5 April 2017
Baca: Mazmur 16:1-11
"Jagalah aku, ya Allah, sebab pada-Mu aku berlindung." Mazmur 16:1
Adakah tempat yang paling aman di dunia ini sehingga kita dapat berlindung dari segala bahaya? Di belahan bumi mana pun tak ada tempat yang benar-benar aman, di mana-mana selalu ada bahaya yang mengincar. Karena dunia ini bukanlah tempat yang aman, maka semua orang memerlukan perlindungan atau penjagaan selama 24 jam penuh. Para pemimpin negara, raja-raja, selebritis terkenal atau para jutawan, di mana pun berada dan ke mana pun pergi selalu ditemani oleh pengawal atau bodyguard yang bertugas untuk menjaga dan melindungi, meski penjagaan dan perlindungan mereka sangat terbatas.
Sebagai raja atas Israel tentunya Daud memiliki banyak pengawal yang berjaga-jaga, namun ia tak menggantungkan keselamatan jiwanya pada penjagaan manusia. Daud hanya ingin dijaga oleh Tuhan dan berlindung kepada-Nya, sebab kekayaan, pangkat atau kekuasaan, kehebatan dan kegagahan manusia tak dapat menyelamatkannya. Daud berkata, "Orang ini memegahkan kereta dan orang itu memegahkan kuda, tetapi kita bermegah dalam nama TUHAN, Allah kita. Mereka rebah dan jatuh, tetapi kita bangun berdiri dan tetap tegak." (Mazmur 20:8-9). Tuhan adalah satu-satunya tempat perlindungan yang aman, "Sesungguhnya tidak terlelap dan tidak tertidur Penjaga Israel." (Mazmur 121:4). Daud sangat percaya bahwa tak sedetik pun Tuhan lengah menjaga dirinya, bahkan Tuhan menjaga dia bagaikan biji mata-Nya sendiri. Inilah doa Daud, "Tunjukkanlah kasih setia-Mu yang ajaib, ya Engkau, yang menyelamatkan orang-orang yang berlindung pada tangan kanan-Mu terhadap pemberontak. Peliharalah aku seperti biji mata, sembunyikanlah aku dalam naungan sayap-Mu" (Mazmur 17:7-8).
Melihat dan mendengar berita-berita yang mengejutkan setiap hari sangatlah wajar jika semua orang menjadi was-was dan takut! Tapi sebagai orang percaya kita tak perlu gentar, sebab kita berada dalam perlindungan yang aman di dalam Tuhan Yesus. Oleh sebab itu jangan ragu-ragu untuk menyerahkan seluruh keberadaan hidup kita kepada-Nya. Jangan sekali-kali berharap kepada siapa pun dan kepada apa pun, karena hanya Tuhanlah tempat perlindungan yang aman dan terbaik, dan itu sudah cukup bagi kita. "Engkaulah Tuhanku, tidak ada yang baik bagiku selain Engkau!" (ayat 2).
Tuhan Yesus adalah perlindungan bagi orang percaya, tidak ada yang lain!
Baca: Mazmur 16:1-11
"Jagalah aku, ya Allah, sebab pada-Mu aku berlindung." Mazmur 16:1
Adakah tempat yang paling aman di dunia ini sehingga kita dapat berlindung dari segala bahaya? Di belahan bumi mana pun tak ada tempat yang benar-benar aman, di mana-mana selalu ada bahaya yang mengincar. Karena dunia ini bukanlah tempat yang aman, maka semua orang memerlukan perlindungan atau penjagaan selama 24 jam penuh. Para pemimpin negara, raja-raja, selebritis terkenal atau para jutawan, di mana pun berada dan ke mana pun pergi selalu ditemani oleh pengawal atau bodyguard yang bertugas untuk menjaga dan melindungi, meski penjagaan dan perlindungan mereka sangat terbatas.
Sebagai raja atas Israel tentunya Daud memiliki banyak pengawal yang berjaga-jaga, namun ia tak menggantungkan keselamatan jiwanya pada penjagaan manusia. Daud hanya ingin dijaga oleh Tuhan dan berlindung kepada-Nya, sebab kekayaan, pangkat atau kekuasaan, kehebatan dan kegagahan manusia tak dapat menyelamatkannya. Daud berkata, "Orang ini memegahkan kereta dan orang itu memegahkan kuda, tetapi kita bermegah dalam nama TUHAN, Allah kita. Mereka rebah dan jatuh, tetapi kita bangun berdiri dan tetap tegak." (Mazmur 20:8-9). Tuhan adalah satu-satunya tempat perlindungan yang aman, "Sesungguhnya tidak terlelap dan tidak tertidur Penjaga Israel." (Mazmur 121:4). Daud sangat percaya bahwa tak sedetik pun Tuhan lengah menjaga dirinya, bahkan Tuhan menjaga dia bagaikan biji mata-Nya sendiri. Inilah doa Daud, "Tunjukkanlah kasih setia-Mu yang ajaib, ya Engkau, yang menyelamatkan orang-orang yang berlindung pada tangan kanan-Mu terhadap pemberontak. Peliharalah aku seperti biji mata, sembunyikanlah aku dalam naungan sayap-Mu" (Mazmur 17:7-8).
Melihat dan mendengar berita-berita yang mengejutkan setiap hari sangatlah wajar jika semua orang menjadi was-was dan takut! Tapi sebagai orang percaya kita tak perlu gentar, sebab kita berada dalam perlindungan yang aman di dalam Tuhan Yesus. Oleh sebab itu jangan ragu-ragu untuk menyerahkan seluruh keberadaan hidup kita kepada-Nya. Jangan sekali-kali berharap kepada siapa pun dan kepada apa pun, karena hanya Tuhanlah tempat perlindungan yang aman dan terbaik, dan itu sudah cukup bagi kita. "Engkaulah Tuhanku, tidak ada yang baik bagiku selain Engkau!" (ayat 2).
Tuhan Yesus adalah perlindungan bagi orang percaya, tidak ada yang lain!
Tuesday, April 4, 2017
MANUSIA DICIPTA BUKAN UNTUK BERMALASAN!
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 4 April 2017
Baca: Pengkhotbah 10:1-20
"Oleh karena kemalasan runtuhlah atap, dan oleh karena kelambanan tangan bocorlah rumah." Pengkhotbah 10:18
Ada banyak ayat di Alkitab yang menggambarkan tentang perilaku dan karakteristik pemalas, di antaranya: "Hati si pemalas penuh keinginan, tetapi sia-sia," (Amsal 13:4), "Seperti pintu berputar pada engselnya, demikianlah si pemalas di tempat tidurnya." (Amsal 26:14). Karena mereka tidak melakukan apa pun maka hasilnya pun menjadi nihil atau nol. Inilah suatu kehidupan yang tanpa produktivitas. Sangat menyedihkan!
Tuhan menentang segala bentuk kemalasan, sebab Ia menciptakan manusia secara khusus dengan membekali kecerdasan, talenta dan pelbagai kemampuan yang melebihi ciptaan-Nya yang lain, dengan tujuan supaya manusia dapat mengembangkan kehidupannya secara optimal untuk kemuliaan nama-Nya. Manusia dapat memuliakan nama Tuhan hanya jika mereka mau bertekun, setia dan bekerja keras. Oleh karena itu "Segala sesuatu yang dijumpai tanganmu untuk dikerjakan, kerjakanlah itu sekuat tenaga, karena tak ada pekerjaan, pertimbangan, pengetahuan dan hikmat dalam dunia orang mati, ke mana engkau akan pergi." (Pengkhotbah 9:10). Jadi tidak ada alasan untuk kita bermalas-malasan! Kemalasan harus dilawan dan diperangi, sebab ada tertulis: "Orang yang bermalas-malas dalam pekerjaannya sudah menjadi saudara dari si perusak." (Amsal 18:9), perusak rencana Tuhan dan perusak masa depannya sendiri! Masa depan suatu bangsa dipertaruhkan dan terancam akan hancur jika masyarakatnya malas. Intinya, tidak ada sisi positif sedikit pun dari kemalasan, selalu mendatangkan kerugian dan bencana, serta "...mengakibatkan kerja paksa." (Amsal 12:24).
Sekali lagi, marilah kita belajar dan mengambil sisi positif dari kehidupan semut yang memiliki mobilitas dan produktivitas tinggi sehingga kelangsungan hidup koloninya menjadi sangat terjamin. Dengan memperhatikan kebiasaan hidup semut ini seharusnya kita semakin dirangsang untuk membuang rasa malas, mau bekerja dengan keras, bertanggung jawab dan memelihara integritas hidup kita.
"Bapa-Ku bekerja sampai sekarang, maka Akupun bekerja juga." Yohanes 5:17
Baca: Pengkhotbah 10:1-20
"Oleh karena kemalasan runtuhlah atap, dan oleh karena kelambanan tangan bocorlah rumah." Pengkhotbah 10:18
Ada banyak ayat di Alkitab yang menggambarkan tentang perilaku dan karakteristik pemalas, di antaranya: "Hati si pemalas penuh keinginan, tetapi sia-sia," (Amsal 13:4), "Seperti pintu berputar pada engselnya, demikianlah si pemalas di tempat tidurnya." (Amsal 26:14). Karena mereka tidak melakukan apa pun maka hasilnya pun menjadi nihil atau nol. Inilah suatu kehidupan yang tanpa produktivitas. Sangat menyedihkan!
Tuhan menentang segala bentuk kemalasan, sebab Ia menciptakan manusia secara khusus dengan membekali kecerdasan, talenta dan pelbagai kemampuan yang melebihi ciptaan-Nya yang lain, dengan tujuan supaya manusia dapat mengembangkan kehidupannya secara optimal untuk kemuliaan nama-Nya. Manusia dapat memuliakan nama Tuhan hanya jika mereka mau bertekun, setia dan bekerja keras. Oleh karena itu "Segala sesuatu yang dijumpai tanganmu untuk dikerjakan, kerjakanlah itu sekuat tenaga, karena tak ada pekerjaan, pertimbangan, pengetahuan dan hikmat dalam dunia orang mati, ke mana engkau akan pergi." (Pengkhotbah 9:10). Jadi tidak ada alasan untuk kita bermalas-malasan! Kemalasan harus dilawan dan diperangi, sebab ada tertulis: "Orang yang bermalas-malas dalam pekerjaannya sudah menjadi saudara dari si perusak." (Amsal 18:9), perusak rencana Tuhan dan perusak masa depannya sendiri! Masa depan suatu bangsa dipertaruhkan dan terancam akan hancur jika masyarakatnya malas. Intinya, tidak ada sisi positif sedikit pun dari kemalasan, selalu mendatangkan kerugian dan bencana, serta "...mengakibatkan kerja paksa." (Amsal 12:24).
Sekali lagi, marilah kita belajar dan mengambil sisi positif dari kehidupan semut yang memiliki mobilitas dan produktivitas tinggi sehingga kelangsungan hidup koloninya menjadi sangat terjamin. Dengan memperhatikan kebiasaan hidup semut ini seharusnya kita semakin dirangsang untuk membuang rasa malas, mau bekerja dengan keras, bertanggung jawab dan memelihara integritas hidup kita.
"Bapa-Ku bekerja sampai sekarang, maka Akupun bekerja juga." Yohanes 5:17
Monday, April 3, 2017
JANGAN MALU BELAJAR KEPADA SEMUT (2)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 3 April 2017
Baca: Amsal 6:6-11
"Hai pemalas, pergilah kepada semut, perhatikanlah lakunya dan jadilah bijak:" Amsal 6:6
Serangga sekecil semut yang lemah itu ternyata memiliki keuletan dan kemampuan untuk bertahan hidup. Bangsa semut layak untuk dijadikan panutan, karena mereka secara naluriah bertindak mengabdi untuk kepentingan koloninya. Seekor semut rela melepaskan hak pribadinya, dan seluruh karya hidupnya didedikasikan untuk kepentingan koloninya, sehingga di mana pun kita akan menyaksikan iring-iringan semut bekerja keras nyaris sepanjang waktu, siang hingga malam tanpa mengenal lelah. Mereka tidak pernah menabur benih, namun lumbung-lumbung mereka senantiasa penuh makanan. Dengan bekerja sama mereka memastikan cadangan makanan telah tersedia pada musim paceklik.
Semut tidak pernah terlihat bermalas-malasan atau tidak melakukan apa pun, kecuali jika ia benar-benar sakit, cedera berat atau sudah sekarat, sehingga di mana pun berada sering terlihat kawanan kecil itu begitu sibuk mencari makanan. Yang lebih mengagumkan lagi, seekor semut mampu mengangkut beban yang berukuran hingga 10X berat tubuhnya sendiri. Mereka akti hilir mudik, bergerak ke sana ke mari, fokus, perhatian utamanya adalah bekerja dan bekerja. Mereka bekerja dengan sangat mementingkan prinsip bertolong-tolongan. Solidaritas dan kerjasama tim adalah paket kunci keberhasilan hidup semut. Selagi ada kesempatan mereka terus bekerja mengumpulkan makanan, sebab jika musim hujan tiba aktivitas dan ruang gerak mereka menjadi terbatas, tapi mereka tak perlu kuatir, sebab ada stok makanan.
Jika dalam prinsip kerja semut tidak ada istilah malas, bekerja ala kadarnya dan mementingkan diri sendiri, coba bandingkan dengan kehidupan manusia... Gaya hidup bermalas-malasan, bekerja dengan kualitas rendah, hidup berpusat pada diri sendiri justru sudah membudaya di mana-mana. Sebagai orang percaya tidak selayaknya kita berlaku demikian! Rasul Paulus menasihati, "Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia." (Kolose 3:23), dan "Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu!" (Galatia 6:2a).
Masakan kita tidak malu kepada semut yang mampu berlaku bijak dan memiliki etos kerja yang luar biasa!
Baca: Amsal 6:6-11
"Hai pemalas, pergilah kepada semut, perhatikanlah lakunya dan jadilah bijak:" Amsal 6:6
Serangga sekecil semut yang lemah itu ternyata memiliki keuletan dan kemampuan untuk bertahan hidup. Bangsa semut layak untuk dijadikan panutan, karena mereka secara naluriah bertindak mengabdi untuk kepentingan koloninya. Seekor semut rela melepaskan hak pribadinya, dan seluruh karya hidupnya didedikasikan untuk kepentingan koloninya, sehingga di mana pun kita akan menyaksikan iring-iringan semut bekerja keras nyaris sepanjang waktu, siang hingga malam tanpa mengenal lelah. Mereka tidak pernah menabur benih, namun lumbung-lumbung mereka senantiasa penuh makanan. Dengan bekerja sama mereka memastikan cadangan makanan telah tersedia pada musim paceklik.
Semut tidak pernah terlihat bermalas-malasan atau tidak melakukan apa pun, kecuali jika ia benar-benar sakit, cedera berat atau sudah sekarat, sehingga di mana pun berada sering terlihat kawanan kecil itu begitu sibuk mencari makanan. Yang lebih mengagumkan lagi, seekor semut mampu mengangkut beban yang berukuran hingga 10X berat tubuhnya sendiri. Mereka akti hilir mudik, bergerak ke sana ke mari, fokus, perhatian utamanya adalah bekerja dan bekerja. Mereka bekerja dengan sangat mementingkan prinsip bertolong-tolongan. Solidaritas dan kerjasama tim adalah paket kunci keberhasilan hidup semut. Selagi ada kesempatan mereka terus bekerja mengumpulkan makanan, sebab jika musim hujan tiba aktivitas dan ruang gerak mereka menjadi terbatas, tapi mereka tak perlu kuatir, sebab ada stok makanan.
Jika dalam prinsip kerja semut tidak ada istilah malas, bekerja ala kadarnya dan mementingkan diri sendiri, coba bandingkan dengan kehidupan manusia... Gaya hidup bermalas-malasan, bekerja dengan kualitas rendah, hidup berpusat pada diri sendiri justru sudah membudaya di mana-mana. Sebagai orang percaya tidak selayaknya kita berlaku demikian! Rasul Paulus menasihati, "Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia." (Kolose 3:23), dan "Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu!" (Galatia 6:2a).
Masakan kita tidak malu kepada semut yang mampu berlaku bijak dan memiliki etos kerja yang luar biasa!
Sunday, April 2, 2017
JANGAN MALU BELAJAR KEPADA SEMUT (1)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 2 April 2017
Baca: Amsal 30:24-28
"semut, bangsa yang tidak kuat, tetapi yang menyediakan makanannya di musim panas," Amsal 30:25
Dalam amsalnya Agur bin Yake menasihati kita agar mau belajar dari kehidupan empat binatang yang paling kecil dan lemah di bumi yaitu semut, kancil, belalang dan cicak. Umumnya orang akan diminta belajar atau menimba ilmu dari mereka-mereka yang besar, lebih hebat dan berpengalaman lebih, tetapi firman Tuhan hari ini justru mengajak kita untuk belajar bukan dari mereka yang tampak hebat dan besar, melainkan dari empat binatang yang paling kecil; dan kita tak perlu merasa malu!
Mengapa kita juga harus belajar dari hal-hal yang kecil? Sebab manusia seringkali hanya memikirkan perkara-perkara yang besar dan heboh, tetapi mereka melewatkan dan mengabaikan hal-hal kecil. Padahal semua perkara besar selalu berawal atau dimulai dari perkara-perkara kecil terlebih dahulu. Begitu pula untuk dapat dipercaya mengerjakan perkara-perkara besar kita harus terlebih dahulu menunjukkan kesetiaan dalam mengerjakan perkara kecil. "Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar. Dan barangsiapa tidak benar dalam perkara-perkara kecil, ia tidak benar juga dalam perkara-perkara besar." (Lukas 16:10). Pada kesempatan ini kita akan belajar dari semut, binatang kecil yang mempunyai sifat rajin. Untuk mencari makan saja mereka harus menempuh perjalanan yang cukup jauh. Ketika telah menemukan makanan ia tidak bersikap serakah, melainkan melapor kepada teman-temannya dan mengajak mereka untuk beramai-ramai mengangkat makanan itu. Inilah sifat-sifat semut yang patut kita teladani. Semut dikenal sebagai binatang yang rajin bekerja alias tidak malas! Mereka keluar mencari makanan pada waktu musim panas, sehingga pada waktu musim hujan tiba mereka sudah mempunyai persediaan makanan.
Banyak orang memiliki keinginan yang tinggi tapi malas untuk bekerja dan berusaha! Tak salah jika keinginan itu akhirnya hanya sekedar angan-angan. Mereka gagal bukan karena tidak mampu, melainkan karena mereka tidak mau berusaha alias malas! Sedikit saja menemui kesulitan dan tantangan, pemalas pasti akan berhenti berusaha dan menyerah. Padahal setiap kali kesulitan atau tantangan datang Tuhan selalu memberikan jalan keluar bagi kita (baca 1 Korintus 10:13b). (Bersambung)
Baca: Amsal 30:24-28
"semut, bangsa yang tidak kuat, tetapi yang menyediakan makanannya di musim panas," Amsal 30:25
Dalam amsalnya Agur bin Yake menasihati kita agar mau belajar dari kehidupan empat binatang yang paling kecil dan lemah di bumi yaitu semut, kancil, belalang dan cicak. Umumnya orang akan diminta belajar atau menimba ilmu dari mereka-mereka yang besar, lebih hebat dan berpengalaman lebih, tetapi firman Tuhan hari ini justru mengajak kita untuk belajar bukan dari mereka yang tampak hebat dan besar, melainkan dari empat binatang yang paling kecil; dan kita tak perlu merasa malu!
Mengapa kita juga harus belajar dari hal-hal yang kecil? Sebab manusia seringkali hanya memikirkan perkara-perkara yang besar dan heboh, tetapi mereka melewatkan dan mengabaikan hal-hal kecil. Padahal semua perkara besar selalu berawal atau dimulai dari perkara-perkara kecil terlebih dahulu. Begitu pula untuk dapat dipercaya mengerjakan perkara-perkara besar kita harus terlebih dahulu menunjukkan kesetiaan dalam mengerjakan perkara kecil. "Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar. Dan barangsiapa tidak benar dalam perkara-perkara kecil, ia tidak benar juga dalam perkara-perkara besar." (Lukas 16:10). Pada kesempatan ini kita akan belajar dari semut, binatang kecil yang mempunyai sifat rajin. Untuk mencari makan saja mereka harus menempuh perjalanan yang cukup jauh. Ketika telah menemukan makanan ia tidak bersikap serakah, melainkan melapor kepada teman-temannya dan mengajak mereka untuk beramai-ramai mengangkat makanan itu. Inilah sifat-sifat semut yang patut kita teladani. Semut dikenal sebagai binatang yang rajin bekerja alias tidak malas! Mereka keluar mencari makanan pada waktu musim panas, sehingga pada waktu musim hujan tiba mereka sudah mempunyai persediaan makanan.
Banyak orang memiliki keinginan yang tinggi tapi malas untuk bekerja dan berusaha! Tak salah jika keinginan itu akhirnya hanya sekedar angan-angan. Mereka gagal bukan karena tidak mampu, melainkan karena mereka tidak mau berusaha alias malas! Sedikit saja menemui kesulitan dan tantangan, pemalas pasti akan berhenti berusaha dan menyerah. Padahal setiap kali kesulitan atau tantangan datang Tuhan selalu memberikan jalan keluar bagi kita (baca 1 Korintus 10:13b). (Bersambung)
Saturday, April 1, 2017
IMAN PERCAYA: Kunci Kesembuhan Ilahi
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 1 April 2017
Baca: Mazmur 103:1-22
"Dia yang mengampuni segala kesalahanmu, yang menyembuhkan segala penyakitmu," Mazmur 103:3
Tujuan dokter atau tabib memberikan obat kepada pasiennya adalah supaya si pasien mengalami kesembuhan dari sakit-penyakit yang dideritanya, karena "Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit." (Matius 9:12). Untuk membeli obat diperlukan uang atau biaya, namun untuk mendapatkan kesembuhan ilahi (mujizat) dari Tuhan kita tidak perlu mengeluarkan uang dari dompet, tidak diperlukan uang satu sen pun, yang diperlukan adalah iman atau percaya.
Tuhan sama sekali tidak membutuhkan uang kita karena Dia adalah si empunya segala-galanya. Yang Ia cari dalam diri kita adalah iman kita. "Akan tetapi, jika Anak Manusia itu datang, adakah Ia mendapati iman di bumi?" (Lukas 18:8). Jadi syarat mendasar untuk menerima kesembuhan Ilahi adalah beriman 100% kepada Tuhan Yesus, sebagaimana yang Ia katakan, "Jadilah kepadamu menurut imanmu." (Matius 9:29). Sakit-penyakit apa pun tidak menjadi persoalan bagi Tuhan karena Dia adalah Dokter di atas segala dokter, Tabib yang ajaib. Tuhan bukan saja mampu menyembuhkan segala jenis penyakit yang diderita oleh manusia, bahkan orang yang sudah mati sekali pun sanggup dibangkitkan-Nya. Contoh adalah ketika Tuhan Yesus membangkitkan Lazarus, orang yang sudah empat hari mati (baca Yohanes 11:43-44). Kita harus percaya bahwa kuasa Tuhan Yesus tidak pernah berubah, "...tetap sama, baik kemarin maupun hari ini dan sampai selama-lamanya." (Ibrani 13:8). Mujizat Tuhan pasti dinyatakan asal kita percaya dengan tidak bimbang, "...sebab orang yang bimbang sama dengan gelombang laut, yang diombang-ambingkan kian ke mari oleh angin. Orang yang demikian janganlah mengira, bahwa ia akan menerima sesuatu dari Tuhan." (Yakobus 1:6-7).
Apa yang mustahil bagi manusia tidak mustahil bagi Tuhan! Tanpa iman percaya kesembuhan Ilahi tidak akan pernah kita alami. Kesembuhan Ilahi itulah yang disebut mujizat! Alkitab menyatakan, "Dialah yang memikul kelemahan kita dan menanggung penyakit kita." (Matius 8:17). Jangan pernah berhenti percaya dan tetap nanti-nantikan Tuhan sampai Ia bekerja di dalam kita!
"Oleh bilur-bilur-Nya kamu telah sembuh." 1 Petrus 2:24b
Baca: Mazmur 103:1-22
"Dia yang mengampuni segala kesalahanmu, yang menyembuhkan segala penyakitmu," Mazmur 103:3
Tujuan dokter atau tabib memberikan obat kepada pasiennya adalah supaya si pasien mengalami kesembuhan dari sakit-penyakit yang dideritanya, karena "Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit." (Matius 9:12). Untuk membeli obat diperlukan uang atau biaya, namun untuk mendapatkan kesembuhan ilahi (mujizat) dari Tuhan kita tidak perlu mengeluarkan uang dari dompet, tidak diperlukan uang satu sen pun, yang diperlukan adalah iman atau percaya.
Tuhan sama sekali tidak membutuhkan uang kita karena Dia adalah si empunya segala-galanya. Yang Ia cari dalam diri kita adalah iman kita. "Akan tetapi, jika Anak Manusia itu datang, adakah Ia mendapati iman di bumi?" (Lukas 18:8). Jadi syarat mendasar untuk menerima kesembuhan Ilahi adalah beriman 100% kepada Tuhan Yesus, sebagaimana yang Ia katakan, "Jadilah kepadamu menurut imanmu." (Matius 9:29). Sakit-penyakit apa pun tidak menjadi persoalan bagi Tuhan karena Dia adalah Dokter di atas segala dokter, Tabib yang ajaib. Tuhan bukan saja mampu menyembuhkan segala jenis penyakit yang diderita oleh manusia, bahkan orang yang sudah mati sekali pun sanggup dibangkitkan-Nya. Contoh adalah ketika Tuhan Yesus membangkitkan Lazarus, orang yang sudah empat hari mati (baca Yohanes 11:43-44). Kita harus percaya bahwa kuasa Tuhan Yesus tidak pernah berubah, "...tetap sama, baik kemarin maupun hari ini dan sampai selama-lamanya." (Ibrani 13:8). Mujizat Tuhan pasti dinyatakan asal kita percaya dengan tidak bimbang, "...sebab orang yang bimbang sama dengan gelombang laut, yang diombang-ambingkan kian ke mari oleh angin. Orang yang demikian janganlah mengira, bahwa ia akan menerima sesuatu dari Tuhan." (Yakobus 1:6-7).
Apa yang mustahil bagi manusia tidak mustahil bagi Tuhan! Tanpa iman percaya kesembuhan Ilahi tidak akan pernah kita alami. Kesembuhan Ilahi itulah yang disebut mujizat! Alkitab menyatakan, "Dialah yang memikul kelemahan kita dan menanggung penyakit kita." (Matius 8:17). Jangan pernah berhenti percaya dan tetap nanti-nantikan Tuhan sampai Ia bekerja di dalam kita!
"Oleh bilur-bilur-Nya kamu telah sembuh." 1 Petrus 2:24b
Friday, March 31, 2017
TUHAN ADALAH SUMBER KESELAMATAN KITA
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 31 Maret 2017
Baca: Mazmur 62:1-13
"Hanya Dialah gunung batuku dan keselamatanku, kota bentengku, aku tidak akan goyah." Mazmur 62:3
Sebagai manusia kita tak terlepas dari peristiwa-peristiwa yang terkadang membuat hati letih lesu. Dan apabila tak terkendalikan, perasaan itu akan berubah menjadi suatu tekanan yang menghimpit dan mengakibatkan orang menjadi depresi. Depresi adalah suasana hati yang buruk dan berlangsung selama kurun waktu tertentu. Hal itu bisa mengakibatkan seseorang merasa sedih berkepanjangan, putus harapan, tidak punya motivasi untuk melakukan sesuatu dan cenderung menyalahkan diri sendiri.
Ketika menghadapi situasi-situasi sulit, saat itulah kematangan iman orang percaya dapat diukur dan dinilai kadarnya. Jadi yang menjadi ukuran bukan seberapa tinggi tingkat pendidikan atau harta kekayaan yang dimiliki. Orang yang karib dengan Tuhan pasti tidak akan gelisah dan takkan goyah imannya, sebab ia tahu persis bahwa Tuhan adalah gunung batu, keselamatan dan kota benteng hidupnya. Daud pun pernah mengalami hal yang sama, namun ia terus menguatkan diri: "Mengapa engkau tertekan, hai jiwaku, dan gelisah di dalam diriku? Berharaplah kepada Allah!" (Mazmur 42:6). Dalam keletihan batinnya ia segera mendekat kepada Tuhan dan berseru kepada-Nya, sebab "Hanya dekat Allah saja aku tenang, dari pada-Nyalah keselamatanku." (Mazmur 62:2). Tepatlah bila Daud segera mengambil langkah mencari Tuhan, sebab ketika dalam tekanan berat acapkali manusia kehilangan akal sehatnya.
Bukankah saat-saat ini goncangan terjadi di mana-mana dan sangat meresahkan hati? Banyak dijumpai orang-orang Kristen mengalami degradasi iman sehingga mereka pun tidak segan-segan melepaskan kepercayaannya kepada Kristus demi mendapatkan jaminan keamanan dari manusia. Mereka lebih rela menempuh jalan yang berlawanan dengan kehendak Tuhan daripada harus menderita atau kehilangan kesempatan untuk meraih kedudukan dalam dunia ini. Hal itu seharusnya tidak boleh terjadi! Karena bagi orang percaya telah tersedia tempat pengungsian yang aman, yaitu di bawah naungan sayap-Nya di mana kita pasti terjaga aman!
Tuhan itu bagi kita tempat perlindungan dan kekuatan, dan sebagai penolong dalam kesesakan, sungguh benar-benar terbukti! (baca Mazmur 46:2)
Baca: Mazmur 62:1-13
"Hanya Dialah gunung batuku dan keselamatanku, kota bentengku, aku tidak akan goyah." Mazmur 62:3
Sebagai manusia kita tak terlepas dari peristiwa-peristiwa yang terkadang membuat hati letih lesu. Dan apabila tak terkendalikan, perasaan itu akan berubah menjadi suatu tekanan yang menghimpit dan mengakibatkan orang menjadi depresi. Depresi adalah suasana hati yang buruk dan berlangsung selama kurun waktu tertentu. Hal itu bisa mengakibatkan seseorang merasa sedih berkepanjangan, putus harapan, tidak punya motivasi untuk melakukan sesuatu dan cenderung menyalahkan diri sendiri.
Ketika menghadapi situasi-situasi sulit, saat itulah kematangan iman orang percaya dapat diukur dan dinilai kadarnya. Jadi yang menjadi ukuran bukan seberapa tinggi tingkat pendidikan atau harta kekayaan yang dimiliki. Orang yang karib dengan Tuhan pasti tidak akan gelisah dan takkan goyah imannya, sebab ia tahu persis bahwa Tuhan adalah gunung batu, keselamatan dan kota benteng hidupnya. Daud pun pernah mengalami hal yang sama, namun ia terus menguatkan diri: "Mengapa engkau tertekan, hai jiwaku, dan gelisah di dalam diriku? Berharaplah kepada Allah!" (Mazmur 42:6). Dalam keletihan batinnya ia segera mendekat kepada Tuhan dan berseru kepada-Nya, sebab "Hanya dekat Allah saja aku tenang, dari pada-Nyalah keselamatanku." (Mazmur 62:2). Tepatlah bila Daud segera mengambil langkah mencari Tuhan, sebab ketika dalam tekanan berat acapkali manusia kehilangan akal sehatnya.
Bukankah saat-saat ini goncangan terjadi di mana-mana dan sangat meresahkan hati? Banyak dijumpai orang-orang Kristen mengalami degradasi iman sehingga mereka pun tidak segan-segan melepaskan kepercayaannya kepada Kristus demi mendapatkan jaminan keamanan dari manusia. Mereka lebih rela menempuh jalan yang berlawanan dengan kehendak Tuhan daripada harus menderita atau kehilangan kesempatan untuk meraih kedudukan dalam dunia ini. Hal itu seharusnya tidak boleh terjadi! Karena bagi orang percaya telah tersedia tempat pengungsian yang aman, yaitu di bawah naungan sayap-Nya di mana kita pasti terjaga aman!
Tuhan itu bagi kita tempat perlindungan dan kekuatan, dan sebagai penolong dalam kesesakan, sungguh benar-benar terbukti! (baca Mazmur 46:2)
Thursday, March 30, 2017
PERTOLONGAN TERHADAP LAWAN
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 30 Maret 2017
Baca: Mazmur 108:1-14
"Berikanlah kepada kami pertolongan terhadap lawan, sebab sia-sia penyelamatan dari manusia." Mazmur 108:13
Perjalanan hidup yang kita tempuh selama hidup di dunia ini tidaklah selalu berupa jalan yang mulus, ada kalanya kita menghadapi ujian dan rintangan. Terkadang langkah kaki kita tersandung dan terkadang pula ada jegalan-jegalan dari lawan yang berusaha untuk menjatuhkan. Kita tidak perlu terkejut akan hal ini, karena hampir semua orang pasti pernah mengalaminya.
Yang disebut lawan di dalam Alkitab ada dua macam, satu pihak adalah Iblis yang merupakan lawan utama, sedangkan yang lain adalah manusia, yang memusuhi dan berusaha untuk menjatuhkan serta menghancurkan. Mereka memposisikan sebagai oposisi dan berusaha untuk merintangi lingkup gerak kita. Tak terkecuali raja Daud yang juga harus menghadapi lawan-lawan di sepanjang hidupnya. Manusia-manusia yang menjadi lawan Daud adalah manusia-manusia yang hatinya dipengaruhi oleh Iblis. Bagaimana sikap orang percaya ketika berada di situasi sulit seperti ini? Kita tak perlu panik dan berusaha menyingkirkan lawan dengan kekuatan sendiri. Serahkanlah semua itu kepada Tuhan melalui doa, karena Dia adalah Hakim yang adil. Kita dapat berdoa memohon kemenangan dan pembelaan dari Tuhan seperti Daud berdoa (ayat nas).
Jangan sekali-kali kita menaruh harap atau mencari pertolongan kepada manusia! "Celakalah orang-orang yang pergi ke Mesir minta pertolongan, yang mengandalkan kuda-kuda, yang percaya kepada keretanya yang begitu banyak, dan kepada pasukan berkuda yang begitu besar jumlahnya, tetapi tidak memandang kepada Yang Mahakudus, Allah Israel, dan tidak mencari TUHAN." (Yesaya 31:1). Selama kita masih mencari pertolongan kepada manusia kita meremehkan kuasa Tuhan dan menempatkan Dia hanya sebagai alternatif. Berbeda dengan Daud yang dengan sepenuh hati bersandar dan berharap hanya kepada Tuhan. "Dengan Allah akan kita lakukan perbuatan-perbuatan gagah perkasa, sebab Ia sendiri akan menginjak-injak para lawan kita." (Mazmur 108:14).
Saat takut, percayalah hanya kepada Tuhan, karena pada saat yang tepat Tuhan pasti akan menegakkan keadilannya di bumi!
Baca: Mazmur 108:1-14
"Berikanlah kepada kami pertolongan terhadap lawan, sebab sia-sia penyelamatan dari manusia." Mazmur 108:13
Perjalanan hidup yang kita tempuh selama hidup di dunia ini tidaklah selalu berupa jalan yang mulus, ada kalanya kita menghadapi ujian dan rintangan. Terkadang langkah kaki kita tersandung dan terkadang pula ada jegalan-jegalan dari lawan yang berusaha untuk menjatuhkan. Kita tidak perlu terkejut akan hal ini, karena hampir semua orang pasti pernah mengalaminya.
Yang disebut lawan di dalam Alkitab ada dua macam, satu pihak adalah Iblis yang merupakan lawan utama, sedangkan yang lain adalah manusia, yang memusuhi dan berusaha untuk menjatuhkan serta menghancurkan. Mereka memposisikan sebagai oposisi dan berusaha untuk merintangi lingkup gerak kita. Tak terkecuali raja Daud yang juga harus menghadapi lawan-lawan di sepanjang hidupnya. Manusia-manusia yang menjadi lawan Daud adalah manusia-manusia yang hatinya dipengaruhi oleh Iblis. Bagaimana sikap orang percaya ketika berada di situasi sulit seperti ini? Kita tak perlu panik dan berusaha menyingkirkan lawan dengan kekuatan sendiri. Serahkanlah semua itu kepada Tuhan melalui doa, karena Dia adalah Hakim yang adil. Kita dapat berdoa memohon kemenangan dan pembelaan dari Tuhan seperti Daud berdoa (ayat nas).
Jangan sekali-kali kita menaruh harap atau mencari pertolongan kepada manusia! "Celakalah orang-orang yang pergi ke Mesir minta pertolongan, yang mengandalkan kuda-kuda, yang percaya kepada keretanya yang begitu banyak, dan kepada pasukan berkuda yang begitu besar jumlahnya, tetapi tidak memandang kepada Yang Mahakudus, Allah Israel, dan tidak mencari TUHAN." (Yesaya 31:1). Selama kita masih mencari pertolongan kepada manusia kita meremehkan kuasa Tuhan dan menempatkan Dia hanya sebagai alternatif. Berbeda dengan Daud yang dengan sepenuh hati bersandar dan berharap hanya kepada Tuhan. "Dengan Allah akan kita lakukan perbuatan-perbuatan gagah perkasa, sebab Ia sendiri akan menginjak-injak para lawan kita." (Mazmur 108:14).
Saat takut, percayalah hanya kepada Tuhan, karena pada saat yang tepat Tuhan pasti akan menegakkan keadilannya di bumi!
Wednesday, March 29, 2017
MENGASIHI, MELAYANI DAN MENOPANG
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 29 Maret 2017
Baca: Markus 2:1-12
"ada orang-orang datang membawa kepada-Nya seorang lumpuh, digotong oleh empat orang." Markus 2:3
Saling mengasihi, saling melayani, saling menopang adalah sikap yang diperlukan untuk memperkuat sebuah komunitas, persekutuan, pelayanan atau gereja. Sebuah komunitas, persekutuan, pelayanan dan bahkan gereja, sekalipun memiliki program kerja yang bagus, tapi jika para anggotanya tidak punya kesatuan hati, tidak hidup rukun, berjalan sendiri-sendiri, tidak ada kerjasama, bersikap egois, tidak punya kepedulian satu sama lain, niscaya goal-nya tidak akan pernah tercapai, sebab ada tertulis: "Setiap kerajaan yang terpecah-pecah pasti binasa dan setiap kota atau rumah tangga yang terpecah-pecah tidak dapat bertahan." (Matius 12:25).
Ketika mendengar Tuhan Yesus datang ke Kapernaum banyak orang berdatangan ingin bertemu Dia dengan berbagai tujuan: ingin mendengarkan ajaran-Nya, ingin melihat dan mengalami mujizat dan sebagainya. Tak terkecuali empat orang yang menggotong orang yang menderita lumpuh. Karena tempat itu penuh sesak, "...sehingga tidak ada lagi tempat, bahkan di muka pintupun tidak." (Markus 2:2), mereka tidak bisa membawa si lumpuh itu secara langsung kepada Tuhan Yesus. Namun mereka tidak kehilangan akal dan tidak menyerah begitu saja, "...mereka membuka atap yang di atas-Nya; sesudah terbuka mereka menurunkan tilam, tempat orang lumpuh itu terbaring." (Markus 2:4). Tuhan Yesus melihat kegigihan dan iman mereka, itulah yang menggerakkan hati-Nya untuk bertindak. Dan akhirnya mujizat dinyatakan! Orang lumpuh itu pun berjalanlah!
Dari kisah ini kita bisa belajar tentang apa arti sebuah pelayanan yang sesungguhnya. Yang mendasari keempat orang rela melakukan sesuatu yang baik bagi si lumpuh adalah kasih. Sesungguhnya tidaklah terlalu sulit bagi mereka untuk menggotong, namun dibutuhkan kerjasama dan kekompakkan untuk menurunkan si lumpuh dari atap ke ruangan di mana Tuhan Yesus berada. Jika tidak kompak dan berhati-hati, resikonya sangatlah besar! Lebih penting lagi mereka melakukannya dengan ikhlas, tanpa tendensi apa-apa, terlihat di sepanjang kisah ini nama keempat orang itu tidak sekali pun disebutkan.
"Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus." Galatia 6:2
Baca: Markus 2:1-12
"ada orang-orang datang membawa kepada-Nya seorang lumpuh, digotong oleh empat orang." Markus 2:3
Saling mengasihi, saling melayani, saling menopang adalah sikap yang diperlukan untuk memperkuat sebuah komunitas, persekutuan, pelayanan atau gereja. Sebuah komunitas, persekutuan, pelayanan dan bahkan gereja, sekalipun memiliki program kerja yang bagus, tapi jika para anggotanya tidak punya kesatuan hati, tidak hidup rukun, berjalan sendiri-sendiri, tidak ada kerjasama, bersikap egois, tidak punya kepedulian satu sama lain, niscaya goal-nya tidak akan pernah tercapai, sebab ada tertulis: "Setiap kerajaan yang terpecah-pecah pasti binasa dan setiap kota atau rumah tangga yang terpecah-pecah tidak dapat bertahan." (Matius 12:25).
Ketika mendengar Tuhan Yesus datang ke Kapernaum banyak orang berdatangan ingin bertemu Dia dengan berbagai tujuan: ingin mendengarkan ajaran-Nya, ingin melihat dan mengalami mujizat dan sebagainya. Tak terkecuali empat orang yang menggotong orang yang menderita lumpuh. Karena tempat itu penuh sesak, "...sehingga tidak ada lagi tempat, bahkan di muka pintupun tidak." (Markus 2:2), mereka tidak bisa membawa si lumpuh itu secara langsung kepada Tuhan Yesus. Namun mereka tidak kehilangan akal dan tidak menyerah begitu saja, "...mereka membuka atap yang di atas-Nya; sesudah terbuka mereka menurunkan tilam, tempat orang lumpuh itu terbaring." (Markus 2:4). Tuhan Yesus melihat kegigihan dan iman mereka, itulah yang menggerakkan hati-Nya untuk bertindak. Dan akhirnya mujizat dinyatakan! Orang lumpuh itu pun berjalanlah!
Dari kisah ini kita bisa belajar tentang apa arti sebuah pelayanan yang sesungguhnya. Yang mendasari keempat orang rela melakukan sesuatu yang baik bagi si lumpuh adalah kasih. Sesungguhnya tidaklah terlalu sulit bagi mereka untuk menggotong, namun dibutuhkan kerjasama dan kekompakkan untuk menurunkan si lumpuh dari atap ke ruangan di mana Tuhan Yesus berada. Jika tidak kompak dan berhati-hati, resikonya sangatlah besar! Lebih penting lagi mereka melakukannya dengan ikhlas, tanpa tendensi apa-apa, terlihat di sepanjang kisah ini nama keempat orang itu tidak sekali pun disebutkan.
"Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus." Galatia 6:2
Tuesday, March 28, 2017
JANGAN BANYAK BICARA: Banyaklah Mendengar
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 28 Maret 2017
Baca: Mazmur 34:12-15
"Jagalah lidahmu terhadap yang jahat dan bibirmu terhadap ucapan-ucapan yang menipu;" Mazmur 34:14
Salah satu permasalahan yang sedang terjadi di dunia akhir-akhir ini adalah banyak orang cenderung lebih suka berbicara daripada mendengar: sedikit-sedikit melakukan protes, sedikit-sedikit berkomentar, sedikit-sedikit berdebat, sedikit-sedikit mengkritik, sedikit-sedikit mencela, memaki atau berkata kasar tanpa memperdulikan perasaan orang lain. Intinya, orang lebih senang berbicara tanpa mau belajar untuk mendengar orang lain. Ada tertulis: "Hidup dan mati dikuasai lidah, siapa suka menggemakannya, akan memakan buahnya." (Amsal 18:21). Berhati-hatilah! Lidah menentukan banyak dalam hidup manusia, dan sebagian besar persoalan dalam kehidupan rumah tangga/keluarga, masyarakat, gereja dan bahkan suatu bangsa seringkali dimulai dari lidah.
Dari awal Tuhan menciptakan manusia dengan satu mulut dan dua telinga dengan tujuan supaya manusia lebih banyak mendengar dari pada berbicara, bukan sebaliknya. Maka penting sekali menjaga lidah atau perkataan kita. Orang yang takut akan Tuhan bukan hanya akan mampu menjaga hati dan pikiran, tetapi juga lidahnya. Kalau berbicara, perkataannya pasti mendatangkan berkat, damai sejahtera, menguatkan, memberi semangat dan memberkati orang yang mendengarnya. Sebaliknya orang yang tidak bisa menjaga lidahnya dan suka menggemakannya, di mana pun pasti tidak disukai orang dan memiliki banyak musuh, karena lidahnya "...seperti pisau cukur yang diasah," (Mazmur 52:4), sehingga banyak orang terluka karenanya, bahkan bisa menjadi senjata makan tuan.
Tuhan menghendaki kita untuk banyak mendengar! "Hai anakku, perhatikanlah hikmatku, arahkanlah telingamu kepada kepandaian yang kuajarkan, supaya engkau berpegang pada kebijaksanaan dan bibirmu memelihara pengetahuan." (Amsal 5:1-2). Dengan mengarahkan telinga kepada nasihat, ajaran, saran atau hal-hal positif dan terutama sekali mendengar firman Tuhan, maka bukan hanya pengetahuan, kebijaksanaan dan kepandaian yang semakin ditambahkan, tapi juga berkat-berkat Tuhan semakin dinyatakan dalam hidup kita.
Mencintai hidup dan mau melihat hari-hari baik? Jagalah lidahmu! (baca 1 Petrus 3:10-11).
Baca: Mazmur 34:12-15
"Jagalah lidahmu terhadap yang jahat dan bibirmu terhadap ucapan-ucapan yang menipu;" Mazmur 34:14
Salah satu permasalahan yang sedang terjadi di dunia akhir-akhir ini adalah banyak orang cenderung lebih suka berbicara daripada mendengar: sedikit-sedikit melakukan protes, sedikit-sedikit berkomentar, sedikit-sedikit berdebat, sedikit-sedikit mengkritik, sedikit-sedikit mencela, memaki atau berkata kasar tanpa memperdulikan perasaan orang lain. Intinya, orang lebih senang berbicara tanpa mau belajar untuk mendengar orang lain. Ada tertulis: "Hidup dan mati dikuasai lidah, siapa suka menggemakannya, akan memakan buahnya." (Amsal 18:21). Berhati-hatilah! Lidah menentukan banyak dalam hidup manusia, dan sebagian besar persoalan dalam kehidupan rumah tangga/keluarga, masyarakat, gereja dan bahkan suatu bangsa seringkali dimulai dari lidah.
Dari awal Tuhan menciptakan manusia dengan satu mulut dan dua telinga dengan tujuan supaya manusia lebih banyak mendengar dari pada berbicara, bukan sebaliknya. Maka penting sekali menjaga lidah atau perkataan kita. Orang yang takut akan Tuhan bukan hanya akan mampu menjaga hati dan pikiran, tetapi juga lidahnya. Kalau berbicara, perkataannya pasti mendatangkan berkat, damai sejahtera, menguatkan, memberi semangat dan memberkati orang yang mendengarnya. Sebaliknya orang yang tidak bisa menjaga lidahnya dan suka menggemakannya, di mana pun pasti tidak disukai orang dan memiliki banyak musuh, karena lidahnya "...seperti pisau cukur yang diasah," (Mazmur 52:4), sehingga banyak orang terluka karenanya, bahkan bisa menjadi senjata makan tuan.
Tuhan menghendaki kita untuk banyak mendengar! "Hai anakku, perhatikanlah hikmatku, arahkanlah telingamu kepada kepandaian yang kuajarkan, supaya engkau berpegang pada kebijaksanaan dan bibirmu memelihara pengetahuan." (Amsal 5:1-2). Dengan mengarahkan telinga kepada nasihat, ajaran, saran atau hal-hal positif dan terutama sekali mendengar firman Tuhan, maka bukan hanya pengetahuan, kebijaksanaan dan kepandaian yang semakin ditambahkan, tapi juga berkat-berkat Tuhan semakin dinyatakan dalam hidup kita.
Mencintai hidup dan mau melihat hari-hari baik? Jagalah lidahmu! (baca 1 Petrus 3:10-11).
Monday, March 27, 2017
MENGIKUT TUHAN JANGAN SAMPAI KENDUR
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 27 Maret 2017
Baca: Ibrani 10:19-39
"Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita, seperti dibiasakan oleh beberapa orang, tetapi marilah kita saling menasihati, dan semakin giat melakukannya menjelang hari Tuhan yang mendekat." Ibrani 10:25
Hidup orang percaya adalah hidup yang berbahagia, karena melalui iman percaya kepada Kristus kita beroleh kepastian keselamatan; dan karena telah beroleh anugerah keselamatan secara cuma-cuma karena penebusan dalam Kristus Yesus, banyak dari kita yang akhirnya menganggap remeh keselamatan yang telah kita terima. Kita bersikap pasif, tidak berbuat sesuatu apa pun untuk meningkatkan kualitas hidup rohani kita.
Rasul Paulus menasihati, "...tetaplah kerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar, bukan saja seperti waktu aku masih hadir, tetapi terlebih pula sekarang waktu aku tidak hadir, karena Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya. Lakukanlah segala sesuatu dengan tidak bersungut-sungut dan berbantah-bantahan," (Filipi 2:12-14). Melalui darah Kristus orang percaya beroleh keberanian untuk masuk ke tempat kudus, bertemu dengan Bapa di sorga. Hal itu bisa terjadi karena Kristus selaku Imam Besar telah membukakan jalan bagi kita. Namun akhir-akhir ini ada orang-orang Kristen yang justru ketekunan dan kesetiaannya dalam mengikut Tuhan menjadi kendur tatkala dihadapan pada masalah, tekanan atau penderitaan. Tapi jangan sampai hanya karena masalah atau kesesakan kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah, apalagi sampai mundur dari iman. "Sebab itu janganlah kamu melepaskan kepercayaanmu, karena besar upah yang menantinya." (Ibrani 10:35). Seorang yang setia mengikuti Tuhan pasti akan ditandai dengan kesetiaannya dalam beribadah dan giat melayani pekerjaan Tuhan, apa pun kondisinya.
Nasihat rasul Paulus kepada Timotius: "Latihlah dirimu beribadah. Latihan badani terbatas gunanya, tetapi ibadah itu berguna dalam segala hal, karena mengandung janji, baik untuk hidup ini maupun untuk hidup yang akan datang. Jangan lalai dalam mempergunakan karunia yang ada padamu," (1 Timotius 4:7b, 8, 14). Kita harus ingat bahwa "...penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita." (Roma 8:18).
Jangan sampai kita melepaskan iman, karena upah besar telah menanti!
Baca: Ibrani 10:19-39
"Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita, seperti dibiasakan oleh beberapa orang, tetapi marilah kita saling menasihati, dan semakin giat melakukannya menjelang hari Tuhan yang mendekat." Ibrani 10:25
Hidup orang percaya adalah hidup yang berbahagia, karena melalui iman percaya kepada Kristus kita beroleh kepastian keselamatan; dan karena telah beroleh anugerah keselamatan secara cuma-cuma karena penebusan dalam Kristus Yesus, banyak dari kita yang akhirnya menganggap remeh keselamatan yang telah kita terima. Kita bersikap pasif, tidak berbuat sesuatu apa pun untuk meningkatkan kualitas hidup rohani kita.
Rasul Paulus menasihati, "...tetaplah kerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar, bukan saja seperti waktu aku masih hadir, tetapi terlebih pula sekarang waktu aku tidak hadir, karena Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya. Lakukanlah segala sesuatu dengan tidak bersungut-sungut dan berbantah-bantahan," (Filipi 2:12-14). Melalui darah Kristus orang percaya beroleh keberanian untuk masuk ke tempat kudus, bertemu dengan Bapa di sorga. Hal itu bisa terjadi karena Kristus selaku Imam Besar telah membukakan jalan bagi kita. Namun akhir-akhir ini ada orang-orang Kristen yang justru ketekunan dan kesetiaannya dalam mengikut Tuhan menjadi kendur tatkala dihadapan pada masalah, tekanan atau penderitaan. Tapi jangan sampai hanya karena masalah atau kesesakan kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah, apalagi sampai mundur dari iman. "Sebab itu janganlah kamu melepaskan kepercayaanmu, karena besar upah yang menantinya." (Ibrani 10:35). Seorang yang setia mengikuti Tuhan pasti akan ditandai dengan kesetiaannya dalam beribadah dan giat melayani pekerjaan Tuhan, apa pun kondisinya.
Nasihat rasul Paulus kepada Timotius: "Latihlah dirimu beribadah. Latihan badani terbatas gunanya, tetapi ibadah itu berguna dalam segala hal, karena mengandung janji, baik untuk hidup ini maupun untuk hidup yang akan datang. Jangan lalai dalam mempergunakan karunia yang ada padamu," (1 Timotius 4:7b, 8, 14). Kita harus ingat bahwa "...penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita." (Roma 8:18).
Jangan sampai kita melepaskan iman, karena upah besar telah menanti!
Sunday, March 26, 2017
PERBUATAN BAIK SEBAGAI BUAH KESELAMATAN
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 26 Maret 2017
Baca: Titus 3:1-14
"...Dia telah menyelamatkan kita, bukan karena perbuatan baik yang telah kita lakukan, tetapi karena rahmat-Nya oleh permandian kelahiran kembali dan oleh pembaharuan yang dikerjakan oleh Roh Kudus," Titus 3:5
Dunia mengajarkan sebuah prinsip bahwa kunci untuk mendapatkan keselamatan kekal adalah banyak melakukan amal kebaikan. Karena itu kita harus sering-sering menolong orang lain, memberi sedekah kepada fakir miskin dan sebagainya, di mana semua itu adalah investasi yang sifatnya kekal. Namun Alkitab menyatakan bahwa kebajikan atau perbuatan baik yang dilakukan oleh orang berdosa adalah seperti kain kotor. "Demikianlah kami sekalian seperti seorang najis dan segala kesalehan kami seperti kain kotor; kami sekalian menjadi layu seperti daun dan kami lenyap oleh kejahatan kami seperti daun dilenyapkan oleh angin." (Yesaya 64:6).
Sebanyak apa pun amal dan kebaikan yang dilakukan takkan pernah mengubah status berdosa di pemandangan Allah, kecuali jika orang berdosa mau datang kepada Kristus, mengakui segala dosa-dosanya, "Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan." (1 Yohanes 1:9), menerima Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat, serta percaya bahwa kematian Kristus di kayu salib adalah untuk menebus dosa-dosanya, sehingga ia memiliki status baru yaitu bukan lagi sebagai seteru Allah, melainkan diangkat sebagai anak-anak Allah. Inilah yang menjadi titik tolak seseorang untuk menerima keselamatan, sebab "...siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang." (2 Korintus 5:17). Setelah diselamatkan dan hidup sebagai manusia baru, arah dan tujuan hidup manusia pun menjadi baru yaitu tertuju kepada Kristus dan tidak lagi berpusat pada diri sendiri. "Barangsiapa mengatakan, bahwa ia ada di dalam Dia, ia wajib hidup sama seperti Kristus telah hidup." (1 Yohanes 2:6).
Bagaimana Kristus hidup? Kehidupan Kristus senantiasa berlimpah dengan kasih dan kebajikan. Orang yang telah diselamatkan wajib untuk berbuat baik.
Perbuatan baik bukanlah sarana utama untuk mendapatkan keselamatan kekal, tapi merupakan buah dari keselamatan.
Baca: Titus 3:1-14
"...Dia telah menyelamatkan kita, bukan karena perbuatan baik yang telah kita lakukan, tetapi karena rahmat-Nya oleh permandian kelahiran kembali dan oleh pembaharuan yang dikerjakan oleh Roh Kudus," Titus 3:5
Dunia mengajarkan sebuah prinsip bahwa kunci untuk mendapatkan keselamatan kekal adalah banyak melakukan amal kebaikan. Karena itu kita harus sering-sering menolong orang lain, memberi sedekah kepada fakir miskin dan sebagainya, di mana semua itu adalah investasi yang sifatnya kekal. Namun Alkitab menyatakan bahwa kebajikan atau perbuatan baik yang dilakukan oleh orang berdosa adalah seperti kain kotor. "Demikianlah kami sekalian seperti seorang najis dan segala kesalehan kami seperti kain kotor; kami sekalian menjadi layu seperti daun dan kami lenyap oleh kejahatan kami seperti daun dilenyapkan oleh angin." (Yesaya 64:6).
Sebanyak apa pun amal dan kebaikan yang dilakukan takkan pernah mengubah status berdosa di pemandangan Allah, kecuali jika orang berdosa mau datang kepada Kristus, mengakui segala dosa-dosanya, "Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan." (1 Yohanes 1:9), menerima Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat, serta percaya bahwa kematian Kristus di kayu salib adalah untuk menebus dosa-dosanya, sehingga ia memiliki status baru yaitu bukan lagi sebagai seteru Allah, melainkan diangkat sebagai anak-anak Allah. Inilah yang menjadi titik tolak seseorang untuk menerima keselamatan, sebab "...siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang." (2 Korintus 5:17). Setelah diselamatkan dan hidup sebagai manusia baru, arah dan tujuan hidup manusia pun menjadi baru yaitu tertuju kepada Kristus dan tidak lagi berpusat pada diri sendiri. "Barangsiapa mengatakan, bahwa ia ada di dalam Dia, ia wajib hidup sama seperti Kristus telah hidup." (1 Yohanes 2:6).
Bagaimana Kristus hidup? Kehidupan Kristus senantiasa berlimpah dengan kasih dan kebajikan. Orang yang telah diselamatkan wajib untuk berbuat baik.
Perbuatan baik bukanlah sarana utama untuk mendapatkan keselamatan kekal, tapi merupakan buah dari keselamatan.
Saturday, March 25, 2017
JANGAN BERLAKU SEPERTI ORANG BEBAL
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 25 Maret 2017
Baca: Mazmur 53:1-7
"Orang bebal berkata dalam hatinya: 'Tidak ada Allah!' Busuk dan jijik kecurangan mereka, tidak ada yang berbuat baik." Mazmur 53:2
Semua orang pasti akan merasa tersinggung dan marah besar jika mereka dikata-katai oleh orang lain dengan sebutan orang bodoh, apalagi disebut orang bebal. Dalam teks aslinya kata bebal diartikan sebagai orang yang bodoh, jahat dan tidak menghormati Tuhan. Orang bebal dapat diartikan pula orang yang sukar sekali untuk mengerti, tidak cepat tanggap, tidak mau berubah, karena ia menolak pengertian dan pengajaran.
Kita secara terang-terangan tidak mau disebut bebal, namun dalam praktik kehidupan sehari-hari, sadar atau tidak, kita seringkali berlaku seperti orang yang bebal. Penulis Amsal secara gamblang menggambarkan keberadaan orang bebal sebagai orang yang emosinya sangat labil, emosinya tak bisa dikendalikan sehingga amarahnya mudah sekali meledak-ledak; orang yang hanya ingin didengar oleh orang lain karena merasa diri paling benar; orang yang suka sekali mencela, menghina, menghakimi, mencemooh orang lain; orang yang selalu berbantah-bantahan, artinya suka sekali mencari keributan hanya karena ingin menunjukkan kehebatan atau kemampuannya; orang yang suka sekali memfitnah atau mencari-cari kesalahan orang lain (baca Amsal 18:1-8).
Jelas sekali menunjukkan bahwa orang bebal adalah orang yang tidak takut akan Tuhan, tak menganggap Tuhan itu ada. Beruntungkah orang yang berlaku demikian? Firman Tuhan memastikan bahwa hidup mereka tak luput dari hukuman dan yang lebih mengerikan lagi adalah mereka mengalami penolakan dari Tuhan. "Orang bebal dibinasakan oleh mulutnya, bibirnya adalah jerat bagi nyawanya." (Amsal 18:7). Menjalani hidup di masa seperti ini tidaklah mudah, karena itu rasul Paulus menasihati: "...perhatikanlah dengan saksama, bagaimana kamu hidup, janganlah seperti orang bebal, tetapi seperti orang arif, dan pergunakanlah waktu yang ada, karena hari-hari ini adalah jahat." (Efesus 5:15-16). Mungkin kita sedang mengalami pergumulan hidup yang berat karena perlakuan yang tidak adil atau kejahatan yang diperbuat orang-orang di sekitar yang tidak mengenal Tuhan. Jangan takut dan putus asa, karena ada waktunya di mana Tuhan akan menegakkan keadilan-Nya!
Jangan sekali-kali berlaku bebal, karena orang bebal tidak luput dari hukuman!
Baca: Mazmur 53:1-7
"Orang bebal berkata dalam hatinya: 'Tidak ada Allah!' Busuk dan jijik kecurangan mereka, tidak ada yang berbuat baik." Mazmur 53:2
Semua orang pasti akan merasa tersinggung dan marah besar jika mereka dikata-katai oleh orang lain dengan sebutan orang bodoh, apalagi disebut orang bebal. Dalam teks aslinya kata bebal diartikan sebagai orang yang bodoh, jahat dan tidak menghormati Tuhan. Orang bebal dapat diartikan pula orang yang sukar sekali untuk mengerti, tidak cepat tanggap, tidak mau berubah, karena ia menolak pengertian dan pengajaran.
Kita secara terang-terangan tidak mau disebut bebal, namun dalam praktik kehidupan sehari-hari, sadar atau tidak, kita seringkali berlaku seperti orang yang bebal. Penulis Amsal secara gamblang menggambarkan keberadaan orang bebal sebagai orang yang emosinya sangat labil, emosinya tak bisa dikendalikan sehingga amarahnya mudah sekali meledak-ledak; orang yang hanya ingin didengar oleh orang lain karena merasa diri paling benar; orang yang suka sekali mencela, menghina, menghakimi, mencemooh orang lain; orang yang selalu berbantah-bantahan, artinya suka sekali mencari keributan hanya karena ingin menunjukkan kehebatan atau kemampuannya; orang yang suka sekali memfitnah atau mencari-cari kesalahan orang lain (baca Amsal 18:1-8).
Jelas sekali menunjukkan bahwa orang bebal adalah orang yang tidak takut akan Tuhan, tak menganggap Tuhan itu ada. Beruntungkah orang yang berlaku demikian? Firman Tuhan memastikan bahwa hidup mereka tak luput dari hukuman dan yang lebih mengerikan lagi adalah mereka mengalami penolakan dari Tuhan. "Orang bebal dibinasakan oleh mulutnya, bibirnya adalah jerat bagi nyawanya." (Amsal 18:7). Menjalani hidup di masa seperti ini tidaklah mudah, karena itu rasul Paulus menasihati: "...perhatikanlah dengan saksama, bagaimana kamu hidup, janganlah seperti orang bebal, tetapi seperti orang arif, dan pergunakanlah waktu yang ada, karena hari-hari ini adalah jahat." (Efesus 5:15-16). Mungkin kita sedang mengalami pergumulan hidup yang berat karena perlakuan yang tidak adil atau kejahatan yang diperbuat orang-orang di sekitar yang tidak mengenal Tuhan. Jangan takut dan putus asa, karena ada waktunya di mana Tuhan akan menegakkan keadilan-Nya!
Jangan sekali-kali berlaku bebal, karena orang bebal tidak luput dari hukuman!
Friday, March 24, 2017
TAHU PERBUATAN BAIK, TAPI TAK MELAKUKAN
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 24 Maret 2017
Baca: Matius 23:1-36
"Sebab itu turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya." Matius 23:3
Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi adalah contoh orang yang tahu banyak tentang firman Tuhan, bahkan bisa dibilang sangat expert dalam hal Taurat Musa. Bahkan mereka juga mengajarkan apa yang diketahuinya kepada orang-orang Yahudi. Hebat? Ya, di hadapan manusia mungkin tampak hebat, tapi sesungguhnya mereka tidak melakukan apa yang dipelajari dan ajarkan. Itulah sebabnya Tuhan Yesus mengecam keras orang-orang yang demikian dan menyebut mereka sebagai orang-orang munafik.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata munafik memiliki arti: berpura-pura percaya atau setia dan sebagainya kepada agama dan sebagainya, tetapi sebenarnya dalam hatinya tidak; suka (selalu) mengatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan perbuatannya; atau bermuka dua. Mereka mengenal kebenaran dengan baik tapi mereka sendiri tidak hidup dalam kebenaran. Berkenaan dalam hal ini yakobus menulis: "Jadi jika seorang tahu bagaimana ia harus berbuat baik, tetapi ia tidak melakukannya, ia berdosa." (Yakobus 4:17). Yang dimaksud tahu di sini (Yunani: eidon) adalah melihat, merasa, mengunjungi. Ini berkaitan dengan apa yang bisa ditangkap oleh pancaindera; artinya orang telah melihat dan tahu bagaimana cara untuk berbuat baik (melakukan kebenaran). Jadi ia seharusnya dapat melakukan hal itu dengan mudah, namun dengan sengaja tidak mau melakukannya. Jangan pernah membanggakan diri karena kita tahu banyak tentang Alkitab atau menjadi aktivis gereja jika hal itu hanya sekedar tahu secara teori atau mungkin sangat ahli, tetapi tidak melakukan firman Tuhan.
Alkitab menyatakan: "Sebab dari buahnya pohon itu dikenal." (Matius 12:33b). Contoh sederhana melakukan perbuatan baik: mengunjungi janda-janda dan yatim piatu dalam kesusahan mereka atau menolong orang yang lemah; tapi yang dilakukan oleh ahli Taurat dan Farisi: "...kamu menelan rumah janda-janda sedang kamu mengelabui mata orang dengan doa yang panjang-panjang." (Matius 23:14).
Jika kita tahu bahwa hal itu adalah kehendak Tuhan, tapi kita tidak mau melakukannya, betapa berdosanya kita.
Baca: Matius 23:1-36
"Sebab itu turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya." Matius 23:3
Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi adalah contoh orang yang tahu banyak tentang firman Tuhan, bahkan bisa dibilang sangat expert dalam hal Taurat Musa. Bahkan mereka juga mengajarkan apa yang diketahuinya kepada orang-orang Yahudi. Hebat? Ya, di hadapan manusia mungkin tampak hebat, tapi sesungguhnya mereka tidak melakukan apa yang dipelajari dan ajarkan. Itulah sebabnya Tuhan Yesus mengecam keras orang-orang yang demikian dan menyebut mereka sebagai orang-orang munafik.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata munafik memiliki arti: berpura-pura percaya atau setia dan sebagainya kepada agama dan sebagainya, tetapi sebenarnya dalam hatinya tidak; suka (selalu) mengatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan perbuatannya; atau bermuka dua. Mereka mengenal kebenaran dengan baik tapi mereka sendiri tidak hidup dalam kebenaran. Berkenaan dalam hal ini yakobus menulis: "Jadi jika seorang tahu bagaimana ia harus berbuat baik, tetapi ia tidak melakukannya, ia berdosa." (Yakobus 4:17). Yang dimaksud tahu di sini (Yunani: eidon) adalah melihat, merasa, mengunjungi. Ini berkaitan dengan apa yang bisa ditangkap oleh pancaindera; artinya orang telah melihat dan tahu bagaimana cara untuk berbuat baik (melakukan kebenaran). Jadi ia seharusnya dapat melakukan hal itu dengan mudah, namun dengan sengaja tidak mau melakukannya. Jangan pernah membanggakan diri karena kita tahu banyak tentang Alkitab atau menjadi aktivis gereja jika hal itu hanya sekedar tahu secara teori atau mungkin sangat ahli, tetapi tidak melakukan firman Tuhan.
Alkitab menyatakan: "Sebab dari buahnya pohon itu dikenal." (Matius 12:33b). Contoh sederhana melakukan perbuatan baik: mengunjungi janda-janda dan yatim piatu dalam kesusahan mereka atau menolong orang yang lemah; tapi yang dilakukan oleh ahli Taurat dan Farisi: "...kamu menelan rumah janda-janda sedang kamu mengelabui mata orang dengan doa yang panjang-panjang." (Matius 23:14).
Jika kita tahu bahwa hal itu adalah kehendak Tuhan, tapi kita tidak mau melakukannya, betapa berdosanya kita.
Thursday, March 23, 2017
SEBERAT APA PUN, JANGAN PERNAH KECEWA
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 23 Maret 2017
Baca: Yohanes 16:1-4a
"Semuanya ini Kukatakan kepadamu, supaya kamu jangan kecewa dan menolak Aku." Yohanes 16:1
Kecewa terhadap sesama manusia adalah hal yang biasa terjadi karena manusia mudah sekali berubah. Ketika kenyataan tidak sesuai harapan, kita kecewa; ketika orang lain ingkar janji, kita kecewa. Banyak hal seringkali membuat kita kecewa. Itulah manusia, mudah sekali kecewa dan mengecewakan! Yang tidak sepatutnya adalah kecewa kepada Tuhan! Namun kecewa kepada Tuhan seringkali dilakukan oleh banyak orang percaya.
Pernahkah Tuhan mengecewakan kita? Tak sekalipun Tuhan mengecewakan kita: kasih-Nya, kuasa-Nya, cinta-Nya dan perkataan-Nya tak pernah berubah. Sebaliknya, coba hitung berapa kali kita mengecewakan Tuhan? Sungguh, tiada terhitung banyaknya kita mengecewakan Tuhan. Ketika doa-doa kita belum dijawab, ketika dihadapkan pada masalah atau situasi yang berat kita pun langsung kecewa kepada Tuhan. Ketika diperintahkan Tuhan Yesus untuk menjual seluruh hartanya dan membagi-bagikannya kepada orang miskin, seorang muda yang kaya "...menjadi kecewa, lalu pergi dengan sedih, sebab banyak hartanya." (Markus 10:22). Begitu pula ketika Tuhan Yesus pulang ke kampung halaman-Nya di Nazaret bukannya disambut dengan antusias, tetapi "...mereka kecewa dan menolak Dia." (Markus 6:3).
Ketika berada di penjara dan dalam tekanan berat rasa kecewa sempat timbul dalam hati Yohanes Pembaptis. Apa sebabnya? Mungkin karena Tuhan Yesus tidak secara terus terang menyatakan diri bahwa Ia adalah Mesias yang sedang dinanti-nantikan oleh umat, sehingga Yohanes pun menyuruh murid-muridnya untuk bertanya langsung: "Engkaukah yang akan datang itu atau haruskah kami menantikan orang lain?" (Matius 11:3). Kata kecewa dalam bahasa Yunani skandalisthe (bentuk pasif dari skandalizo) yang artinya tersinggung, terlukai perasaannya, tersandung oleh seseorang atau sesuatu. Namun dalam perkembangannya Yohanes Pembaptis menyadari dan memahami siapa sesungguhnya Tuhan Yesus.
Dalam keadaan apa pun jangan pernah kecewa kepada Tuhan Yesus, "Yesus Kristus tetap sama, baik kemarin maupun hari ini dan sampai selama-lamanya." Ibrani 13:8
Baca: Yohanes 16:1-4a
"Semuanya ini Kukatakan kepadamu, supaya kamu jangan kecewa dan menolak Aku." Yohanes 16:1
Kecewa terhadap sesama manusia adalah hal yang biasa terjadi karena manusia mudah sekali berubah. Ketika kenyataan tidak sesuai harapan, kita kecewa; ketika orang lain ingkar janji, kita kecewa. Banyak hal seringkali membuat kita kecewa. Itulah manusia, mudah sekali kecewa dan mengecewakan! Yang tidak sepatutnya adalah kecewa kepada Tuhan! Namun kecewa kepada Tuhan seringkali dilakukan oleh banyak orang percaya.
Pernahkah Tuhan mengecewakan kita? Tak sekalipun Tuhan mengecewakan kita: kasih-Nya, kuasa-Nya, cinta-Nya dan perkataan-Nya tak pernah berubah. Sebaliknya, coba hitung berapa kali kita mengecewakan Tuhan? Sungguh, tiada terhitung banyaknya kita mengecewakan Tuhan. Ketika doa-doa kita belum dijawab, ketika dihadapkan pada masalah atau situasi yang berat kita pun langsung kecewa kepada Tuhan. Ketika diperintahkan Tuhan Yesus untuk menjual seluruh hartanya dan membagi-bagikannya kepada orang miskin, seorang muda yang kaya "...menjadi kecewa, lalu pergi dengan sedih, sebab banyak hartanya." (Markus 10:22). Begitu pula ketika Tuhan Yesus pulang ke kampung halaman-Nya di Nazaret bukannya disambut dengan antusias, tetapi "...mereka kecewa dan menolak Dia." (Markus 6:3).
Ketika berada di penjara dan dalam tekanan berat rasa kecewa sempat timbul dalam hati Yohanes Pembaptis. Apa sebabnya? Mungkin karena Tuhan Yesus tidak secara terus terang menyatakan diri bahwa Ia adalah Mesias yang sedang dinanti-nantikan oleh umat, sehingga Yohanes pun menyuruh murid-muridnya untuk bertanya langsung: "Engkaukah yang akan datang itu atau haruskah kami menantikan orang lain?" (Matius 11:3). Kata kecewa dalam bahasa Yunani skandalisthe (bentuk pasif dari skandalizo) yang artinya tersinggung, terlukai perasaannya, tersandung oleh seseorang atau sesuatu. Namun dalam perkembangannya Yohanes Pembaptis menyadari dan memahami siapa sesungguhnya Tuhan Yesus.
Dalam keadaan apa pun jangan pernah kecewa kepada Tuhan Yesus, "Yesus Kristus tetap sama, baik kemarin maupun hari ini dan sampai selama-lamanya." Ibrani 13:8
Wednesday, March 22, 2017
ADA BERKAT DI BALIK UCAPAN SYUKUR
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 22 Maret 2017
Baca: Mazmur 111:1-10
"Aku mau bersyukur kepada TUHAN dengan segenap hati, dalam lingkungan orang-orang benar dan dalam jemaah." Mazmur 111:1
Jika kita merenungkan kebenaran firman Tuhan dan semua yang telah Tuhan kerjakan dalam hidup ini seharusnya bibir kita takkan pernah berhenti berkata: "Sebab TUHAN itu baik, kasih setia-Nya untuk selama-lamanya, dan kesetiaan-Nya tetap turun-temurun." (Mazmur 100:5), dan "Bagaimana akan kubalas kepada TUHAN segala kebajikan-Nya kepadaku?" (Mazmur 116:12). Tiada kata lain selain bibir yang senantiasa memuliakan nama Tuhan (ucapan syukur). Tapi banyak orang Kristen yang lupa mengucap syukur, kecuali dalam keadaan baik (terberkati); padahal di balik ucapan syukur terkandung berkat yang luar biasa pula.
Tuhan Yesus memberi makan 5000 orang laki-laki, tidak termasuk wanita dan anak-anaknya, hanya dengan 5 ketul roti dan 2 ikan, semuanya kenyang, dan bahkan masih tersisa 12 bakul. Berawal dari ucapan syukur, mujizat pun terjadi! "Lalu Yesus mengambil roti itu, mengucap syukur dan membagi-bagikannya kepada mereka yang duduk di situ, demikian juga dibuat-Nya dengan ikan-ikan itu, sebanyak yang mereka kehendaki." (Yohanes 6:11). Secara naluriah kita terdorong untuk mengucap syukur bila memiliki sesuatu yang berlebih, menerima dalam jumlah besar atau sedang surplus. Ditinjau dari sudut mana pun 5 roti dan 2 ikan tidak akan pernah cukup untuk memberi makan 5000 orang! Sangat tidak masuk akal! Kita pasti akan berkata seperti Filipus, "Roti seharga dua ratus dinar tidak akan cukup untuk mereka ini, sekalipun masing-masing mendapat sepotong kecil saja." (Yohanes 6:7). Bukankah kita cenderung merasa kuatir, lalu bersungut-sungut, mengomel ketika memiliki atau menerima sedikit?
Dari sepuluh orang yang menderita kusta hanya satu orang Samaria saja yang tidak lupa mengucap syukur kepada Tuhan atas kesembuhan yang dialaminya, sedangkan sembilan orang lainnya pergi begitu saja setelah sembuh. Karena ucapan syukur inilah ia tidak saja disembuhkan dari penyakitnya, tetapi juga beroleh berkat rohani yaitu anugerah keselamatan oleh karena imannya (baca Lukas 17:19).
Di segala keadaan jangan pernah lupa mengucap syukur kepada Tuhan, karena ucapan syukur adalah pintu gerbang menuju berkat!
Baca: Mazmur 111:1-10
"Aku mau bersyukur kepada TUHAN dengan segenap hati, dalam lingkungan orang-orang benar dan dalam jemaah." Mazmur 111:1
Jika kita merenungkan kebenaran firman Tuhan dan semua yang telah Tuhan kerjakan dalam hidup ini seharusnya bibir kita takkan pernah berhenti berkata: "Sebab TUHAN itu baik, kasih setia-Nya untuk selama-lamanya, dan kesetiaan-Nya tetap turun-temurun." (Mazmur 100:5), dan "Bagaimana akan kubalas kepada TUHAN segala kebajikan-Nya kepadaku?" (Mazmur 116:12). Tiada kata lain selain bibir yang senantiasa memuliakan nama Tuhan (ucapan syukur). Tapi banyak orang Kristen yang lupa mengucap syukur, kecuali dalam keadaan baik (terberkati); padahal di balik ucapan syukur terkandung berkat yang luar biasa pula.
Tuhan Yesus memberi makan 5000 orang laki-laki, tidak termasuk wanita dan anak-anaknya, hanya dengan 5 ketul roti dan 2 ikan, semuanya kenyang, dan bahkan masih tersisa 12 bakul. Berawal dari ucapan syukur, mujizat pun terjadi! "Lalu Yesus mengambil roti itu, mengucap syukur dan membagi-bagikannya kepada mereka yang duduk di situ, demikian juga dibuat-Nya dengan ikan-ikan itu, sebanyak yang mereka kehendaki." (Yohanes 6:11). Secara naluriah kita terdorong untuk mengucap syukur bila memiliki sesuatu yang berlebih, menerima dalam jumlah besar atau sedang surplus. Ditinjau dari sudut mana pun 5 roti dan 2 ikan tidak akan pernah cukup untuk memberi makan 5000 orang! Sangat tidak masuk akal! Kita pasti akan berkata seperti Filipus, "Roti seharga dua ratus dinar tidak akan cukup untuk mereka ini, sekalipun masing-masing mendapat sepotong kecil saja." (Yohanes 6:7). Bukankah kita cenderung merasa kuatir, lalu bersungut-sungut, mengomel ketika memiliki atau menerima sedikit?
Dari sepuluh orang yang menderita kusta hanya satu orang Samaria saja yang tidak lupa mengucap syukur kepada Tuhan atas kesembuhan yang dialaminya, sedangkan sembilan orang lainnya pergi begitu saja setelah sembuh. Karena ucapan syukur inilah ia tidak saja disembuhkan dari penyakitnya, tetapi juga beroleh berkat rohani yaitu anugerah keselamatan oleh karena imannya (baca Lukas 17:19).
Di segala keadaan jangan pernah lupa mengucap syukur kepada Tuhan, karena ucapan syukur adalah pintu gerbang menuju berkat!
Tuesday, March 21, 2017
PEMIMPIN BERHATI GEMBALA
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 21 Maret 2017
Baca: 1 Petrus 5:1-11
"Janganlah kamu berbuat seolah-olah kamu mau memerintah atas mereka yang dipercayakan kepadamu, tetapi hendaklah kamu menjadi teladan bagi kawanan domba itu." 1 Petrus 5:3
Jika mendengar kata pemimpin yang acapkali muncul di bayangan adalah orang yang punya kuasa untuk mengatur, memerintah dan memegang kendali. Karena punya otoritas atau kuasa, seorang pemimpin seringkali bertindak semena-mena, mau menang sendiri, tidak mau disalahkan, tidak mau menerima kritikan, apa yang diperintahkan harus dituruti seperti tertulis: "Kamu tahu, bahwa pemerintah-pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi dan pembesar-pembesar menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka." (Matius 20:25).
Berbicara tentang kepemimpinan, entah itu kepemimpinan suatu bangsa, sebuah perusahaan atau instansi, gereja, sekolah dan juga keluarga, kita berbicara tentang sebuah keteladanan hidup. "Pemimpin itu memimpin dengan contoh, bukan dengan paksaan." (Sun Tzu). Bagaimana kita bisa menjadi teladan bagi banyak orang, atau menjadi panutan dalam hal melakukan kehendak Tuhan, itulah inti sebuah kepemimpinan. Rasul Petrus memperingatkan bahwa seorang pemimpin sejati haruslah memiliki hati gembala seperti yang Tuhan Yesus teladankan. Ketika memimpin umat, Tuhan Yesus memposisikan diri-Nya bukan seperti orang yang memerintah atau memimpin dengan tangan besi, melainkan sebagai Gembala yang sedang menggembalakan kawanan domba-Nya. "Akulah gembala yang baik dan Aku mengenal domba-domba-Ku dan domba-domba-Ku mengenal Aku" (Yohanes 10:14). Seorang pemimpin sejati mengenal kawanan dombanya dengan baik, alias memiliki kepekaan. "Telinga seorang pemimpin harus peka dengan suara orang lain." (Woodrow Wilson).
Seorang pemimpin harus menyadari bahwa orang-orang yang dipimpinnya itu bukanlah orang yang bisa diperlakukan seenaknya, melainkan kawanan domba yang dipercayakan Tuhan untuk dibimbing, dituntun dan diarahkan ke jalan yang benar. Karena itu kita harus mampu menjadi teladan atau berkat bagi yang dipimpinnya, bukan hanya sekedar memerintah. Inilah yang akan menimbulkan respek dari pengikutnya!
Jadilah pemimpin yang mampu memberikan teladan hidup bagi orang lain!
Baca: 1 Petrus 5:1-11
"Janganlah kamu berbuat seolah-olah kamu mau memerintah atas mereka yang dipercayakan kepadamu, tetapi hendaklah kamu menjadi teladan bagi kawanan domba itu." 1 Petrus 5:3
Jika mendengar kata pemimpin yang acapkali muncul di bayangan adalah orang yang punya kuasa untuk mengatur, memerintah dan memegang kendali. Karena punya otoritas atau kuasa, seorang pemimpin seringkali bertindak semena-mena, mau menang sendiri, tidak mau disalahkan, tidak mau menerima kritikan, apa yang diperintahkan harus dituruti seperti tertulis: "Kamu tahu, bahwa pemerintah-pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi dan pembesar-pembesar menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka." (Matius 20:25).
Berbicara tentang kepemimpinan, entah itu kepemimpinan suatu bangsa, sebuah perusahaan atau instansi, gereja, sekolah dan juga keluarga, kita berbicara tentang sebuah keteladanan hidup. "Pemimpin itu memimpin dengan contoh, bukan dengan paksaan." (Sun Tzu). Bagaimana kita bisa menjadi teladan bagi banyak orang, atau menjadi panutan dalam hal melakukan kehendak Tuhan, itulah inti sebuah kepemimpinan. Rasul Petrus memperingatkan bahwa seorang pemimpin sejati haruslah memiliki hati gembala seperti yang Tuhan Yesus teladankan. Ketika memimpin umat, Tuhan Yesus memposisikan diri-Nya bukan seperti orang yang memerintah atau memimpin dengan tangan besi, melainkan sebagai Gembala yang sedang menggembalakan kawanan domba-Nya. "Akulah gembala yang baik dan Aku mengenal domba-domba-Ku dan domba-domba-Ku mengenal Aku" (Yohanes 10:14). Seorang pemimpin sejati mengenal kawanan dombanya dengan baik, alias memiliki kepekaan. "Telinga seorang pemimpin harus peka dengan suara orang lain." (Woodrow Wilson).
Seorang pemimpin harus menyadari bahwa orang-orang yang dipimpinnya itu bukanlah orang yang bisa diperlakukan seenaknya, melainkan kawanan domba yang dipercayakan Tuhan untuk dibimbing, dituntun dan diarahkan ke jalan yang benar. Karena itu kita harus mampu menjadi teladan atau berkat bagi yang dipimpinnya, bukan hanya sekedar memerintah. Inilah yang akan menimbulkan respek dari pengikutnya!
Jadilah pemimpin yang mampu memberikan teladan hidup bagi orang lain!
Subscribe to:
Posts (Atom)