Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 21 Agustus 2016
Baca: Kolose 3:22-25
"Kamu tahu, bahwa dari Tuhanlah kamu akan menerima bagian yang ditentukan bagimu sebagai upah." Kolose 3:24
Mengapa banyak orang mudah sekali mengeluh dan bersungut-sungut dalam bekerja? Karena mereka menganggap bekerja adalah kewajiban rutin yang harus dilakukan di jam-jam kerja, sehingga begitu menghadapi tugas yang banyak, deadline atau mendapatkan kesibukan dengan intensitas tinggi mereka pun langsung mengeluh, bersungut-sungut dan marah. Ketika menghadapi masalah berat mereka langsung kehilangan semangat atau gairah kerja, apalagi kalau hak-haknya sebagai pekerja tidak dipenuhi. Jika etos kerja orang percaya seperti itu apa bedanya kita dengan orang-orang di luar Tuhan?
Cara pandang kita terhadap pekerjaan akan menentukan kinerja kita. Jika kita menyadari bahwa pekerjaan adalah sebuah anugerah dari Tuhan, maka apa pun model atau jenis pekerjaan yang dipercayakan pada kita akan kita lakukan dengan penuh ucapan syukur, sebab melalui pekerjaan inilah Tuhan memelihara hidup kita. "...dari Tuhanlah kamu akan menerima bagian yang ditentukan bagimu sebagai upah." (ayat nas). Melalui gaji atau upah yang diterima kita dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Bahkan selain upah, melalui pekerjaan kita Tuhan memberikan berkat dalam bentuk lain: bonus, jabatan (kepercayaan), fasilitas dan sebagainya; dan melalui pekerjaan tersebut kita pun dapat mengembangkan atau memaksimalkan potensi atau talenta yang dimiliki. Karena itu Tuhan menghendaki supaya kita bekerja dengan sungguh-sungguh dan bertanggung jawab, seperti hamba yang memperoleh 2 dan 5 talenta.
Maka, orang Kristen yang bekerja seharusnya tidak bekerja asal-asalan atau bermalas-malasan, walaupun sering dijumpai ada yang tampak bekerja giat hanya ketika ada pemimpin...begitu pemimpin tidak berada di tempat mereka pun semburat ke mana-mana dan bekerja sekehendak hati. "Hai hamba-hamba, taatilah tuanmu yang di dunia ini dalam segala hal,
jangan hanya di hadapan mereka saja untuk menyenangkan mereka, melainkan
dengan tulus hati karena takut akan Tuhan." (Kolose 3:22).
Sebagai pekerja Kristen kita harus menunjukkan keunggulan dalam segala aspek yang dikerjakan, supaya nama Tuhan dipermuliakan melalui kehidupan kita!
Sunday, August 21, 2016
Saturday, August 20, 2016
PRINSIP KERJA ORANG PERCAYA (1)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 20 Agustus 2016
Baca: Pengkhotbah 9:1-12
"Segala sesuatu yang dijumpai tanganmu untuk dikerjakan, kerjakanlah itu sekuat tenaga, karena tak ada pekerjaan, pertimbangan, pengetahuan dan hikmat dalam dunia orang mati, ke mana engkau akan pergi." Pengkhotbah 9:10
Tahun demi tahun tingkat persaingan antarmanusia akan semakin ketat. Pertanyaan: siapakah kita menghadapi persaingan yang tampak jelas di depan mata? Terlebih-lebih dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang merupakan bentuk realisasi dari tujuan akhir integrasi ekonomi negara-negara di kawasan Asia Tenggara.
Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) ini dibentuk dengan tujuan untuk meningkatkan stabilitas perekonomian di kawasan Asia Tenggara dan membentuk kawasan ekonomi antarnegara ASEAN yang kuat. Dengan terciptanya kesatuan pasar dan basis produksi maka arus barang, jasa, investasi, modal dan juga skilled labour menjadi bebas hambatan dari satu negara ke negara lainnya di kawasan Asia Tenggara. Oleh karena itu setiap individu harus meningkatkan kapabilitas diri agar dapat bersaing...jika tidak, cepat atau lambat kita pasti akan tersingkir. Salah satu cara adalah berbenah diri dalam hal pekerjaan, artinya kita tidak bisa bekerja asal-asalan lagi, sebaliknya kita harus meningkatkan kinerja kita: bekerja lebih sungguh-sungguh agar menghasilkan karya yang berkualitas. Rasul Paulus menasihati bahwa prinsip kerja orang percaya seharusnya diarahkan untuk kemuliaan nama Tuhan. "Dan segala sesuatu yang kamu lakukan dengan perkataan atau perbuatan, lakukanlah semuanya itu dalam nama Tuhan Yesus, sambil mengucap syukur oleh Dia kepada Allah, Bapa kita." (Kolose 3:17).
Bila segala sesuatu kita arahkan untuk kemuliaan nama Tuhan, apa pun profesi dan di mana pun kita bekerja kita akan menjunjung tinggi profesionalisme kerja dalam wujud dedikasi, loyalitas dan integritas di lingkungan pekerjaan: setia, patuh dan tunduk terhadap job description yang ditentukan baginya. Bagi orang percaya, seharusnya dunia kerja menjadi salah satu arena terbaik untuk melayani Tuhan dan bersaksi kepada orang lain. Jadi tugas apa pun yang dipercayakan marilah kita lakukan dengan sepenuh hati, jangan mengeluh, bersungut-sungut atau mengomel.
"Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia." Kolose 3:23
Baca: Pengkhotbah 9:1-12
"Segala sesuatu yang dijumpai tanganmu untuk dikerjakan, kerjakanlah itu sekuat tenaga, karena tak ada pekerjaan, pertimbangan, pengetahuan dan hikmat dalam dunia orang mati, ke mana engkau akan pergi." Pengkhotbah 9:10
Tahun demi tahun tingkat persaingan antarmanusia akan semakin ketat. Pertanyaan: siapakah kita menghadapi persaingan yang tampak jelas di depan mata? Terlebih-lebih dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang merupakan bentuk realisasi dari tujuan akhir integrasi ekonomi negara-negara di kawasan Asia Tenggara.
Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) ini dibentuk dengan tujuan untuk meningkatkan stabilitas perekonomian di kawasan Asia Tenggara dan membentuk kawasan ekonomi antarnegara ASEAN yang kuat. Dengan terciptanya kesatuan pasar dan basis produksi maka arus barang, jasa, investasi, modal dan juga skilled labour menjadi bebas hambatan dari satu negara ke negara lainnya di kawasan Asia Tenggara. Oleh karena itu setiap individu harus meningkatkan kapabilitas diri agar dapat bersaing...jika tidak, cepat atau lambat kita pasti akan tersingkir. Salah satu cara adalah berbenah diri dalam hal pekerjaan, artinya kita tidak bisa bekerja asal-asalan lagi, sebaliknya kita harus meningkatkan kinerja kita: bekerja lebih sungguh-sungguh agar menghasilkan karya yang berkualitas. Rasul Paulus menasihati bahwa prinsip kerja orang percaya seharusnya diarahkan untuk kemuliaan nama Tuhan. "Dan segala sesuatu yang kamu lakukan dengan perkataan atau perbuatan, lakukanlah semuanya itu dalam nama Tuhan Yesus, sambil mengucap syukur oleh Dia kepada Allah, Bapa kita." (Kolose 3:17).
Bila segala sesuatu kita arahkan untuk kemuliaan nama Tuhan, apa pun profesi dan di mana pun kita bekerja kita akan menjunjung tinggi profesionalisme kerja dalam wujud dedikasi, loyalitas dan integritas di lingkungan pekerjaan: setia, patuh dan tunduk terhadap job description yang ditentukan baginya. Bagi orang percaya, seharusnya dunia kerja menjadi salah satu arena terbaik untuk melayani Tuhan dan bersaksi kepada orang lain. Jadi tugas apa pun yang dipercayakan marilah kita lakukan dengan sepenuh hati, jangan mengeluh, bersungut-sungut atau mengomel.
"Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia." Kolose 3:23
Friday, August 19, 2016
BEKERJALAH...JANGAN MALAS!
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 19 Agustus 2016
Baca: 2 Tesalonika 3:1-15
"Sebab kamu sendiri tahu, bagaimana kamu harus mengikuti teladan kami, karena kami tidak lalai bekerja di antara kamu, dan tidak makan roti orang dengan percuma, tetapi kami berusaha dan berjerih payah siang malam, supaya jangan menjadi beban bagi siapapun di antara kamu." 2 Tesalonika 3:7-8
Alkitab menyatakan bahwa bekerja adalah perintah Tuhan bagi manusia sejak dari semula: "TUHAN Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu." (Kejadian 2:15).
Kata mengusahakan dan memelihara merujuk kepada suatu pekerjaan yang harus dilakukan. Jadi bekerja bukan semata-mata konsekuensi atas pelanggaran manusia dan demi kelangsungan hidup (baca Kejadian 3:16-19). Pada hakekatnya pekerjaan adalah aspek fundamental yang harus dilakukan manusia karena merupakan perintah Tuhan yang harus ditaati. Tuhan Yesus mengatakan, "Bapa-Ku bekerja sampai sekarang, maka Akupun bekerja juga." (Yohanes 5:17). Penegasan Tuhan Yesus mengenai diri-Nya yang bekerja sampai sekarang membuktikan bahwa Dia adalah pekerja yang aktif. Secara implisit dapat dimaknai sebagai perintah kepada setiap orang percaya untuk bekerja, bukan hanya berpangku tangan atau bermalas-malasan.
Salomo pun menulis tentang hukum kerja, di antaranya adalah: "Dalam tiap jerih payah ada keuntungan..." (Amsal 14:23), dan "Siapa mengerjakan tanahnya, akan kenyang dengan makanan..." (Amsal 12:11). Hal ini menunjukkan bahwa Salomo memberi apresiasi tinggi bagi orang yang mau bekerja. Sebaliknya ia sangat tidak simpatik terhadap orang-orang yang malas bekerja (baca Amsal 18:9; Amsal 6:6; Amsal 13:4; Amsal 21:25 dsb). Rasul Paulus, seorang hamba Tuhan besar, pun memberikan teladan kepada semua orang dengan bekerja membuat kemah untuk menyokong kehidupannya dan pelayanan pemberitaan Injil (baca Kisah 18:3). Karena itu ia sangat mengecam keras orang yang memilih dan memutuskan untuk tidak bekerja, padahal secara fisik masih kuat, terlebih-lebih mereka yang menggantungkan hidup kepada sesamanya, alias menjadi benalu: "...jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan." (2 Tesalonika 3:10).
Selagi usia kita masih produktif dan fisik masih mampu, mari bekerja dengan giat!
Baca: 2 Tesalonika 3:1-15
"Sebab kamu sendiri tahu, bagaimana kamu harus mengikuti teladan kami, karena kami tidak lalai bekerja di antara kamu, dan tidak makan roti orang dengan percuma, tetapi kami berusaha dan berjerih payah siang malam, supaya jangan menjadi beban bagi siapapun di antara kamu." 2 Tesalonika 3:7-8
Alkitab menyatakan bahwa bekerja adalah perintah Tuhan bagi manusia sejak dari semula: "TUHAN Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu." (Kejadian 2:15).
Kata mengusahakan dan memelihara merujuk kepada suatu pekerjaan yang harus dilakukan. Jadi bekerja bukan semata-mata konsekuensi atas pelanggaran manusia dan demi kelangsungan hidup (baca Kejadian 3:16-19). Pada hakekatnya pekerjaan adalah aspek fundamental yang harus dilakukan manusia karena merupakan perintah Tuhan yang harus ditaati. Tuhan Yesus mengatakan, "Bapa-Ku bekerja sampai sekarang, maka Akupun bekerja juga." (Yohanes 5:17). Penegasan Tuhan Yesus mengenai diri-Nya yang bekerja sampai sekarang membuktikan bahwa Dia adalah pekerja yang aktif. Secara implisit dapat dimaknai sebagai perintah kepada setiap orang percaya untuk bekerja, bukan hanya berpangku tangan atau bermalas-malasan.
Salomo pun menulis tentang hukum kerja, di antaranya adalah: "Dalam tiap jerih payah ada keuntungan..." (Amsal 14:23), dan "Siapa mengerjakan tanahnya, akan kenyang dengan makanan..." (Amsal 12:11). Hal ini menunjukkan bahwa Salomo memberi apresiasi tinggi bagi orang yang mau bekerja. Sebaliknya ia sangat tidak simpatik terhadap orang-orang yang malas bekerja (baca Amsal 18:9; Amsal 6:6; Amsal 13:4; Amsal 21:25 dsb). Rasul Paulus, seorang hamba Tuhan besar, pun memberikan teladan kepada semua orang dengan bekerja membuat kemah untuk menyokong kehidupannya dan pelayanan pemberitaan Injil (baca Kisah 18:3). Karena itu ia sangat mengecam keras orang yang memilih dan memutuskan untuk tidak bekerja, padahal secara fisik masih kuat, terlebih-lebih mereka yang menggantungkan hidup kepada sesamanya, alias menjadi benalu: "...jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan." (2 Tesalonika 3:10).
Selagi usia kita masih produktif dan fisik masih mampu, mari bekerja dengan giat!
Thursday, August 18, 2016
MENGISI KEMERDEKAAN: Tanggung Jawab Bersama
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 18 Agustus 2016
Baca: 1 Petrus 2:11-17
"Hiduplah sebagai orang merdeka dan bukan seperti mereka yang menyalahgunakan kemerdekaan itu untuk menyelubungi kejahatan-kejahatan mereka, tetapi hiduplah sebagai hamba Allah." 1 Petrus 2:16
Tanggung jawab mengisi kemerdekaan ada di pundak semua masyarakat Indonesia, karena itu kita semua harus bersatu-padu, bahu-membahu dan bergotong-royong mengisi kemerdekaan demi terwujudnya cita-cita bangsa. Masyarakat yang adil dan makmur hanya akan menjadi slogan apabila para wakil rakyat yang duduk di kursi pemerintahan hanya bekerja untuk kepentingan pribadi atau golongannya sendiri, terlebih-lebih mereka yang menyalahgunakan wewenang atau kekuasaan untuk memerkaya diri sendiri dengan melakukan tindakan yang sangat memalukan dan tidak terpuji yaitu korupsi: bukti bahwa mereka telah memergunakan kemerdekaan itu sebagai kesempatan untuk kehidupan dalam dosa (baca Galatia 5:13). Karena itu ada banyak sekali PR (pekerjaan rumah) yang belum dan harus diselesaikan oleh para pemimpin di negeri ini!
Pada perayaan kemerdekaan Indonesia ke-70 tahun lalu, Presiden RI Joko Widodo telah menyanangkan gerakan 'Ayo Kerja'. Gerakan ini merupakan satu langkah besar untuk mewujudkan cita-cita Indonesia merdeka dalam arti yang sesungguhnya. Dengan adanya gerakan 'Ayo Kerja' ini maka semua warga Indonesia memiliki tanggung jawab untuk berbuat sesuatu bagi bangsa ini sesuai dengan kemampuan di bidangnya masing-masing. John Fitzgerald Kennedy, presiden Amerika Serikat yang ke-35 dalam pidatonya mengatakan: "Jangan tanyakan apa yang negara ini berikan kepadamu tapi tanyakan apa yang telah kamu berikan kepada negaramu." Quote ini terdengar sangat sederhana namun mengandung makna yang sangat mendalam. Ini berbicara tentang komitmen dan tanggung jawab seluruh warga negara untuk berkontribusi bagi bangsa!
Inilah hal terpenting yang harus kita lakukan untuk mengisi kemerdekaan. Dengan peringatan kemerdekaan RI yang ke-71 ini bukan berarti perjuangan bangsa Indonesia sudah selesai, justru tantangan baru ada di depan mata. Sebagai warga negara yang baik kita harus peka melihat keadaan negeri ini yang akhir-akhir ini mengalami keterpurukan di berbagai bidang kehidupan!
Mari kita isi kemerdekaan ini dengan tidak berhenti berkarya bagi bangsa!
Baca: 1 Petrus 2:11-17
"Hiduplah sebagai orang merdeka dan bukan seperti mereka yang menyalahgunakan kemerdekaan itu untuk menyelubungi kejahatan-kejahatan mereka, tetapi hiduplah sebagai hamba Allah." 1 Petrus 2:16
Tanggung jawab mengisi kemerdekaan ada di pundak semua masyarakat Indonesia, karena itu kita semua harus bersatu-padu, bahu-membahu dan bergotong-royong mengisi kemerdekaan demi terwujudnya cita-cita bangsa. Masyarakat yang adil dan makmur hanya akan menjadi slogan apabila para wakil rakyat yang duduk di kursi pemerintahan hanya bekerja untuk kepentingan pribadi atau golongannya sendiri, terlebih-lebih mereka yang menyalahgunakan wewenang atau kekuasaan untuk memerkaya diri sendiri dengan melakukan tindakan yang sangat memalukan dan tidak terpuji yaitu korupsi: bukti bahwa mereka telah memergunakan kemerdekaan itu sebagai kesempatan untuk kehidupan dalam dosa (baca Galatia 5:13). Karena itu ada banyak sekali PR (pekerjaan rumah) yang belum dan harus diselesaikan oleh para pemimpin di negeri ini!
Pada perayaan kemerdekaan Indonesia ke-70 tahun lalu, Presiden RI Joko Widodo telah menyanangkan gerakan 'Ayo Kerja'. Gerakan ini merupakan satu langkah besar untuk mewujudkan cita-cita Indonesia merdeka dalam arti yang sesungguhnya. Dengan adanya gerakan 'Ayo Kerja' ini maka semua warga Indonesia memiliki tanggung jawab untuk berbuat sesuatu bagi bangsa ini sesuai dengan kemampuan di bidangnya masing-masing. John Fitzgerald Kennedy, presiden Amerika Serikat yang ke-35 dalam pidatonya mengatakan: "Jangan tanyakan apa yang negara ini berikan kepadamu tapi tanyakan apa yang telah kamu berikan kepada negaramu." Quote ini terdengar sangat sederhana namun mengandung makna yang sangat mendalam. Ini berbicara tentang komitmen dan tanggung jawab seluruh warga negara untuk berkontribusi bagi bangsa!
Inilah hal terpenting yang harus kita lakukan untuk mengisi kemerdekaan. Dengan peringatan kemerdekaan RI yang ke-71 ini bukan berarti perjuangan bangsa Indonesia sudah selesai, justru tantangan baru ada di depan mata. Sebagai warga negara yang baik kita harus peka melihat keadaan negeri ini yang akhir-akhir ini mengalami keterpurukan di berbagai bidang kehidupan!
Mari kita isi kemerdekaan ini dengan tidak berhenti berkarya bagi bangsa!
Wednesday, August 17, 2016
KEMERDEKAAN: Jembatan Emas Wujudkan Cita
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 17 Agustus 2016
Baca: Mazmur 146:1-10
"yang menegakkan keadilan untuk orang-orang yang diperas, yang memberi roti kepada orang-orang yang lapar. TUHAN membebaskan orang-orang yang terkurung," Mazmur 146:7
Merdeka! Merdeka! Merdeka! Hari ini seluruh masyarakat Indonesia bersukacita merayakan hari kemerdekaan RI yang ke-71. Tak terasa sudah tujuh puluh satu tahun negeri tercinta ini terbebas dari belenggu penjajahan. Indonesia telah menjadi bangsa yang merdeka sepenuhnya. Merdeka berarti bebas dari tekanan, penjajahan, berdiri sendiri, tidak dihalang-halangi, tidak dibatasi, tidak terikat. Namun demikian kemerdekaan bukanlah akhir perjuangan bangsa Indonesia, sebaliknya merupakan titik awal perjuangan untuk membangun negeri setelah terbebas dari penjajahan bangsa lain.
Sudah menjadi tradisi tahunan jika peringatan hari kemerdekaan selalu disambut dengan penuh kemeriahan oleh seluruh warga, mulai dari Sabang sampai Merauke, dengan menggelar berbagai acara: mulai dari malam tasyakuran, upacara pengibaran bendera merah putih, dan tak ketinggalan pula aneka jenis perlombaan diadakan. Tapi sedihnya, meski setiap tahun merayakan hari kemerdekaan, tidak semua masyarakat dapat memaknai apa arti kemerdekaan dan tidak tahu apa yang harus diperbuat untuk mengisi kemerdekaan tersebut. Jika para pendahulu bangsa telah berjuang melawan kekejaman penjajah, kini kita sebagai generasi penerus harus berjuang untuk mengisi kemerdekaan dengan melakukan yang terbaik bagi bangsa ini. "Tetapi janganlah kamu mempergunakan kemerdekaan itu sebagai kesempatan untuk kehidupan dalam dosa," (Galatia 5:13).
Apalah artinya merdeka jika faktanya tidak semua warga negara menikmati kemerdekaan yang sesungguhnya! Sebab sampai hari ini masih banyak masyarakat Indonesia yang hidupnya terjajah oleh kemiskinan, banyak daerah-daerah terpencil yang belum menikmati pemerataan pembangunan, padahal di mata dunia bangsa Indonesia dikenal sebagai negeri yang gemah ripah loh jinawi, berlimpah kekayaan alamnya, di mana seharusnya seluruh rakyat dapat menikmati kehidupan yang lebih layak.
Dirgahayu RI yang ke-71 seharusnya menjadi 'jembatan emas' dalam mewujudkan cita-cita bangsa yaitu masyarakat yang adil dan makmur!
Baca: Mazmur 146:1-10
"yang menegakkan keadilan untuk orang-orang yang diperas, yang memberi roti kepada orang-orang yang lapar. TUHAN membebaskan orang-orang yang terkurung," Mazmur 146:7
Merdeka! Merdeka! Merdeka! Hari ini seluruh masyarakat Indonesia bersukacita merayakan hari kemerdekaan RI yang ke-71. Tak terasa sudah tujuh puluh satu tahun negeri tercinta ini terbebas dari belenggu penjajahan. Indonesia telah menjadi bangsa yang merdeka sepenuhnya. Merdeka berarti bebas dari tekanan, penjajahan, berdiri sendiri, tidak dihalang-halangi, tidak dibatasi, tidak terikat. Namun demikian kemerdekaan bukanlah akhir perjuangan bangsa Indonesia, sebaliknya merupakan titik awal perjuangan untuk membangun negeri setelah terbebas dari penjajahan bangsa lain.
Sudah menjadi tradisi tahunan jika peringatan hari kemerdekaan selalu disambut dengan penuh kemeriahan oleh seluruh warga, mulai dari Sabang sampai Merauke, dengan menggelar berbagai acara: mulai dari malam tasyakuran, upacara pengibaran bendera merah putih, dan tak ketinggalan pula aneka jenis perlombaan diadakan. Tapi sedihnya, meski setiap tahun merayakan hari kemerdekaan, tidak semua masyarakat dapat memaknai apa arti kemerdekaan dan tidak tahu apa yang harus diperbuat untuk mengisi kemerdekaan tersebut. Jika para pendahulu bangsa telah berjuang melawan kekejaman penjajah, kini kita sebagai generasi penerus harus berjuang untuk mengisi kemerdekaan dengan melakukan yang terbaik bagi bangsa ini. "Tetapi janganlah kamu mempergunakan kemerdekaan itu sebagai kesempatan untuk kehidupan dalam dosa," (Galatia 5:13).
Apalah artinya merdeka jika faktanya tidak semua warga negara menikmati kemerdekaan yang sesungguhnya! Sebab sampai hari ini masih banyak masyarakat Indonesia yang hidupnya terjajah oleh kemiskinan, banyak daerah-daerah terpencil yang belum menikmati pemerataan pembangunan, padahal di mata dunia bangsa Indonesia dikenal sebagai negeri yang gemah ripah loh jinawi, berlimpah kekayaan alamnya, di mana seharusnya seluruh rakyat dapat menikmati kehidupan yang lebih layak.
Dirgahayu RI yang ke-71 seharusnya menjadi 'jembatan emas' dalam mewujudkan cita-cita bangsa yaitu masyarakat yang adil dan makmur!
Tuesday, August 16, 2016
JANGAN SAMPAI MEMADAMKAN ROH
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 16 Agustus 2016
Baca: 1 Tesalonika 5:12-22
"Janganlah padamkan Roh," 1 Tesalonika 5:19
Tak bisa disangkal lagi, hari-hari ini dunia sedang menuju kepada kesudahannya; salah satu tandanya adalah kejahatan manusia yang semakin menjadi-jadi. Berita tentang kejahatan, seperti pembunuhan, perampokan, pencabulan atau pemerkosaan, adalah menu sehari-hari. Bahkan kejahatan seksual di Indonesia sudah mencapai tingkat yang mengawatirkan semua pihak. Ngeri sekali! Ini menunjukkan banyak orang lebih memilih memuaskan keinginan dagingnya (hawa nafsunya) daripada melakukan kehendak Tuhan.
Keadaan ini sudah disampaikan Tuhan: "Dan sama seperti terjadi pada zaman Nuh, demikian pulalah halnya kelak pada hari-hari Anak Manusia: mereka makan dan minum, mereka kawin dan dikawinkan, sampai kepada hari Nuh masuk ke dalam bahtera, lalu datanglah air bah dan membinasakan mereka semua. Demikian juga seperti yang terjadi di zaman Lot: mereka makan dan minum, mereka membeli dan menjual, mereka menanam dan membangun. Tetapi pada hari Lot pergi keluar dari Sodom turunlah hujan api dan hujan belerang dari langit dan membinasakan mereka semua. Demikianlah halnya kelak pada hari, di mana Anak Manusia menyatakan diri-Nya." (Lukas 17:26-30). Situasi manusia di zaman Nuh dan Lot benar-benar sama dengan situasi zaman kita sekarang ini. Bahkan ada banyak orang percaya, yang seharusnya memiliki kehidupan 'berbeda' dengan dunia, justru ikut terbawa arus. Mereka gagal hidup dalam pimpinan Roh Kudus, suara Roh Kudus terus diabaikan dan tidak lagi dianggap. Tindakan demikian itu sama artinya mendukakan Roh Kudus, padahal firman-Nya jelas memperingatkan: "Dan janganlah kamu mendukakan Roh Kudus Allah, yang telah memeteraikan kamu menjelang hari penyelamatan." (Efesus 4:30), dan "Jangan hidup lagi sama seperti orang-orang yang tidak mengenal Allah dengan pikirannya yang sia-sia" (Efesus 4:17).
Sampai kapan kita terus mendukakan Roh Kudus? Jika orang percaya tetap hidup dalam kedagingan dan selalu saja mendukakan Roh Kudus, berarti ia sudah sampai ke taraf memadamkan Roh. Perhatikan! "...jika orang tidak memiliki Roh Kristus, ia bukan milik Kristus." (Roma 8:9b).
Ketika orang terus berbuat dosa berarti ia telah memadamkan Roh Kudus yang ada di dalam dirinya!
Baca: 1 Tesalonika 5:12-22
"Janganlah padamkan Roh," 1 Tesalonika 5:19
Tak bisa disangkal lagi, hari-hari ini dunia sedang menuju kepada kesudahannya; salah satu tandanya adalah kejahatan manusia yang semakin menjadi-jadi. Berita tentang kejahatan, seperti pembunuhan, perampokan, pencabulan atau pemerkosaan, adalah menu sehari-hari. Bahkan kejahatan seksual di Indonesia sudah mencapai tingkat yang mengawatirkan semua pihak. Ngeri sekali! Ini menunjukkan banyak orang lebih memilih memuaskan keinginan dagingnya (hawa nafsunya) daripada melakukan kehendak Tuhan.
Keadaan ini sudah disampaikan Tuhan: "Dan sama seperti terjadi pada zaman Nuh, demikian pulalah halnya kelak pada hari-hari Anak Manusia: mereka makan dan minum, mereka kawin dan dikawinkan, sampai kepada hari Nuh masuk ke dalam bahtera, lalu datanglah air bah dan membinasakan mereka semua. Demikian juga seperti yang terjadi di zaman Lot: mereka makan dan minum, mereka membeli dan menjual, mereka menanam dan membangun. Tetapi pada hari Lot pergi keluar dari Sodom turunlah hujan api dan hujan belerang dari langit dan membinasakan mereka semua. Demikianlah halnya kelak pada hari, di mana Anak Manusia menyatakan diri-Nya." (Lukas 17:26-30). Situasi manusia di zaman Nuh dan Lot benar-benar sama dengan situasi zaman kita sekarang ini. Bahkan ada banyak orang percaya, yang seharusnya memiliki kehidupan 'berbeda' dengan dunia, justru ikut terbawa arus. Mereka gagal hidup dalam pimpinan Roh Kudus, suara Roh Kudus terus diabaikan dan tidak lagi dianggap. Tindakan demikian itu sama artinya mendukakan Roh Kudus, padahal firman-Nya jelas memperingatkan: "Dan janganlah kamu mendukakan Roh Kudus Allah, yang telah memeteraikan kamu menjelang hari penyelamatan." (Efesus 4:30), dan "Jangan hidup lagi sama seperti orang-orang yang tidak mengenal Allah dengan pikirannya yang sia-sia" (Efesus 4:17).
Sampai kapan kita terus mendukakan Roh Kudus? Jika orang percaya tetap hidup dalam kedagingan dan selalu saja mendukakan Roh Kudus, berarti ia sudah sampai ke taraf memadamkan Roh. Perhatikan! "...jika orang tidak memiliki Roh Kristus, ia bukan milik Kristus." (Roma 8:9b).
Ketika orang terus berbuat dosa berarti ia telah memadamkan Roh Kudus yang ada di dalam dirinya!
Monday, August 15, 2016
MEMBERI DIRI DIPIMPIN ROH KUDUS
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 15 Agustus 2016
Baca: Galatia 5:16-26
"Maksudku ialah: hiduplah oleh Roh, maka kamu tidak akan menuruti keinginan daging." Galatia 5:16
Rasul Paulus menyatakan bahwa tubuh kita adalah bait Roh Kudus (baca 1 Korintus 6:19). Mau tidak mau, suka atau tidak suka kita harus memberi diri untuk dipimpin Roh Kudus, bukan lagi dikuasai oleh kedagingan kita. Kata hiduplah dalam teks aslinya adalah peripateo, memiliki pengertian: berperilaku atau berkebiasaan, usaha membiasakan diri hidup sesuai dengan kehendak Roh Kudus, atau berjalan seirama dengan Roh Kudus. Membiasakan diri artinya melakukan suatu hal terus-menerus, membutuhkan usaha, perjuangan dan latihan dalam waktu yang panjang, bukan hanya sesekali, tergantung mood, atau musiman.
Memberi diri dipimpin Roh Kudus berarti menaklukkan kehendak pribadi kepada kehendak Roh Kudus sehingga kita dapat berjalan beriringan atau seirama dengan-Nya. Inilah yang disebut proses sinkronisasi, di mana kita belajar menyesuaikan diri terhadap kehendak Roh Kudus: apa yang Roh Kudus mau untuk kita perbuat dan mana yang Roh kudus tidak kehendaki untuk kita perbuat. Mengapa? Karena tubuh kita bukan milik kita sendiri, tetapi milik Tuhan sepenuhnya, "Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar: Karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu!" (1 Korintus 6:20). Meski tahu bahwa tubuhnya adalah bait Roh Kudus masih banyak orang Kristen yang dalam kenyataan hidup sehari-hari justru menolak pimpinan Roh Kudus, malah hidup menuruti keinginan sendiri. Hidup menurut kehendak sendiri inilah yang disebut hidup dalam daging, dan "Mereka yang hidup dalam daging, tidak mungkin berkenan kepada Allah." (Roma 8:8). Jelas sekali kalau orang tetap hidup dalam daging tidak mungkin beroleh keselamatan kekal, sebab "...barangsiapa melakukan hal-hal yang demikian, ia tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah." (Galatia 5:21).
Ingat! Percaya kepada Tuhan Yesus tidaklah cukup. Kita harus mau menanggalkan 'manusia lama' sebab Kerajaan Sorga disediakan Tuhan bagi orang-orang yang taat melakukan kehendak Tuhan, yaitu yang hidup dalam pimpinan Roh Kudus.
"Barangsiapa menjadi milik Kristus Yesus, ia telah menyalibkan daging dengan segala hawa nafsu dan keinginannya." Galatia 5:24
Baca: Galatia 5:16-26
"Maksudku ialah: hiduplah oleh Roh, maka kamu tidak akan menuruti keinginan daging." Galatia 5:16
Rasul Paulus menyatakan bahwa tubuh kita adalah bait Roh Kudus (baca 1 Korintus 6:19). Mau tidak mau, suka atau tidak suka kita harus memberi diri untuk dipimpin Roh Kudus, bukan lagi dikuasai oleh kedagingan kita. Kata hiduplah dalam teks aslinya adalah peripateo, memiliki pengertian: berperilaku atau berkebiasaan, usaha membiasakan diri hidup sesuai dengan kehendak Roh Kudus, atau berjalan seirama dengan Roh Kudus. Membiasakan diri artinya melakukan suatu hal terus-menerus, membutuhkan usaha, perjuangan dan latihan dalam waktu yang panjang, bukan hanya sesekali, tergantung mood, atau musiman.
Memberi diri dipimpin Roh Kudus berarti menaklukkan kehendak pribadi kepada kehendak Roh Kudus sehingga kita dapat berjalan beriringan atau seirama dengan-Nya. Inilah yang disebut proses sinkronisasi, di mana kita belajar menyesuaikan diri terhadap kehendak Roh Kudus: apa yang Roh Kudus mau untuk kita perbuat dan mana yang Roh kudus tidak kehendaki untuk kita perbuat. Mengapa? Karena tubuh kita bukan milik kita sendiri, tetapi milik Tuhan sepenuhnya, "Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar: Karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu!" (1 Korintus 6:20). Meski tahu bahwa tubuhnya adalah bait Roh Kudus masih banyak orang Kristen yang dalam kenyataan hidup sehari-hari justru menolak pimpinan Roh Kudus, malah hidup menuruti keinginan sendiri. Hidup menurut kehendak sendiri inilah yang disebut hidup dalam daging, dan "Mereka yang hidup dalam daging, tidak mungkin berkenan kepada Allah." (Roma 8:8). Jelas sekali kalau orang tetap hidup dalam daging tidak mungkin beroleh keselamatan kekal, sebab "...barangsiapa melakukan hal-hal yang demikian, ia tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah." (Galatia 5:21).
Ingat! Percaya kepada Tuhan Yesus tidaklah cukup. Kita harus mau menanggalkan 'manusia lama' sebab Kerajaan Sorga disediakan Tuhan bagi orang-orang yang taat melakukan kehendak Tuhan, yaitu yang hidup dalam pimpinan Roh Kudus.
"Barangsiapa menjadi milik Kristus Yesus, ia telah menyalibkan daging dengan segala hawa nafsu dan keinginannya." Galatia 5:24
Sunday, August 14, 2016
YANG MUDA YANG MEMBERI TELADAN (2)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 14 Agustus 2016
Baca: 2 Timotius 4:1-8
"Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya, nyatakanlah apa yang salah, tegorlah dan nasihatilah dengan segala kesabaran dan pengajaran." 2 Timotius 4:2
Supaya orang lain tidak meremehkan atau memandang sebelah mata pelayanan Timotius, rasul Paulus menasihatinya agar terus meng-upgrade-diri. Ada harga yang harus dibayar untuk memiliki kehidupan yang benar-benar berkualitas. "...bertekunlah dalam membaca Kitab-kitab Suci, dalam membangun dan dalam mengajar." (1 Timotius 4:13). Tekun artinya melakukan segalanya dengan setia dan konsisten dalam segala situasi dan kondisi.
Tekun membaca kitab Suci. Inilah kunci kebahagiaan dan keberhasilan hidup setiap orang percaya, terlebih-lebih bagi pelayan Tuhan, di mana firman Tuhan harus menjadi makanan 'rohani' setiap hari, "...kesukaannya ialah Taurat TUHAN, dan yang merenungkan Taurat itu siang dan malam....apa saja yang diperbuatnya berhasil." (Mazmur 1:2-3). Hal senada juga disampaikan Tuhan kepada Yosua, "Janganlah engkau lupa memperkatakan kitab Taurat ini, tetapi renungkanlah itu siang dan malam, supaya engkau bertindak hati-hati sesuai dengan segala yang tertulis di dalamnya, sebab dengan demikian perjalananmu akan berhasil dan engkau akan beruntung." (Yosua 1:8).
Bertekun membangun. Menghadapi jemaat dengan bermacam karakter tidaklah gampang, butuh kesabaran ekstra. Membangun digambarkan seperti ibu yang setia dan tak kenal lelah memberikan nasihat, dorongan, motivasi dan semangat anak-anaknya.
Tekun mengajar: membagi ilmu yang dimiliki untuk merelevansikan ajaran Alkitab dalam kehidupan sehari-hari, sehingga jemaat memiliki pemahaman yang benar tentang firman Tuhan untuk kemudian dipraktekkan. Tekun memergunakan karunia rohani. "Jangan lalai dalam mempergunakan karunia yang ada padamu..." (1 Timotius 4:14). Maksimalkan semua pottensi yang ada untuk melayani Tuhan "...selama masih siang; akan datang malam, di mana tidak ada seorangpun yang dapat bekerja." (Yohanes 9:4). Pada saatnya kita harus memertanggungjawabkannya!
"...lakukanlah pekerjaan pemberita Injil dan tunaikanlah tugas pelayananmu!" 2 Timotius 4:5
Baca: 2 Timotius 4:1-8
"Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya, nyatakanlah apa yang salah, tegorlah dan nasihatilah dengan segala kesabaran dan pengajaran." 2 Timotius 4:2
Supaya orang lain tidak meremehkan atau memandang sebelah mata pelayanan Timotius, rasul Paulus menasihatinya agar terus meng-upgrade-diri. Ada harga yang harus dibayar untuk memiliki kehidupan yang benar-benar berkualitas. "...bertekunlah dalam membaca Kitab-kitab Suci, dalam membangun dan dalam mengajar." (1 Timotius 4:13). Tekun artinya melakukan segalanya dengan setia dan konsisten dalam segala situasi dan kondisi.
Tekun membaca kitab Suci. Inilah kunci kebahagiaan dan keberhasilan hidup setiap orang percaya, terlebih-lebih bagi pelayan Tuhan, di mana firman Tuhan harus menjadi makanan 'rohani' setiap hari, "...kesukaannya ialah Taurat TUHAN, dan yang merenungkan Taurat itu siang dan malam....apa saja yang diperbuatnya berhasil." (Mazmur 1:2-3). Hal senada juga disampaikan Tuhan kepada Yosua, "Janganlah engkau lupa memperkatakan kitab Taurat ini, tetapi renungkanlah itu siang dan malam, supaya engkau bertindak hati-hati sesuai dengan segala yang tertulis di dalamnya, sebab dengan demikian perjalananmu akan berhasil dan engkau akan beruntung." (Yosua 1:8).
Bertekun membangun. Menghadapi jemaat dengan bermacam karakter tidaklah gampang, butuh kesabaran ekstra. Membangun digambarkan seperti ibu yang setia dan tak kenal lelah memberikan nasihat, dorongan, motivasi dan semangat anak-anaknya.
Tekun mengajar: membagi ilmu yang dimiliki untuk merelevansikan ajaran Alkitab dalam kehidupan sehari-hari, sehingga jemaat memiliki pemahaman yang benar tentang firman Tuhan untuk kemudian dipraktekkan. Tekun memergunakan karunia rohani. "Jangan lalai dalam mempergunakan karunia yang ada padamu..." (1 Timotius 4:14). Maksimalkan semua pottensi yang ada untuk melayani Tuhan "...selama masih siang; akan datang malam, di mana tidak ada seorangpun yang dapat bekerja." (Yohanes 9:4). Pada saatnya kita harus memertanggungjawabkannya!
"...lakukanlah pekerjaan pemberita Injil dan tunaikanlah tugas pelayananmu!" 2 Timotius 4:5
Saturday, August 13, 2016
YANG MUDA YANG MEMBERI TELADAN (1)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 13 Agustus 2016
Baca: 1 Timotius 4:12-16
"Jangan seorangpun menganggap engkau rendah karena engkau muda." 1 Timotius 4:12a
Ditinjau dari fakta-fakta yang ada semua orang pasti akan menduga bahwa Timotius tidak akan berhasil dalam menjalankan tugas pelayanannya karena beberapa alasan: usianya yang masih sangat muda atau belum sarat pengalaman, fisiknya kurang menunjang karena ia sering sakit-sakitan, dan pada waktu itu bapak rohaninya (Paulus) sedang tidak ada di tempat karena berada dalam penjara. Namun keberhasilan sebuah pelayanan bukan semata-mata ditentukan oleh faktor dari luar. Hal utama yang menentukan adalah keteladanan sang pelayan Tuhan atau pemimpin itu sendiri, yaitu faktor dari dalam.
Menjadi seorang pelayan Tuhan atau pemimpin rohani sesungguhnya bukanlah perkara yang ringan. Bukan karena seseorang memiliki pengetahuan tentang Alkitab atau sudah menyandang gelar sarjana dari sekolah teologia, bukan pula karena sudah memiliki 'jam terbang' pelayanan yang mumpuni lalu orang itu sudah secara otomatis memenuhi kriteria sebagai pelayan yang sesuai kehendak Tuhan. Kriteria utama pelayan Tuhan atau pemimpin rohani adalah memiliki keteladanan hidup! Kekuatan keteladanan melebihi kekuatan kata-kata belaka. Perkataan kita belum tentu akan dilakukan oleh orang yang mendengarnya, tetapi keteladanan hidup kerapkali akan dicontoh oleh orang yang melihatnya. Itulah sebabnya, rasul Paulus menulis surat kepada Timotius: "Jadilah teladan bagi orang-orang percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu." (ayat 12b).
Jika Timotius menunjukkan keteladanan hidup maka secara tidak langsung ia membungkam keragu-raguan jemaat di Efesus yang memandang rendah dia karena usianya yang masih muda. Dengan dasar ini maka orang muda (muda usia ataupun muda dalam hal pengalaman) berkompeten untuk melayani jemaat Tuhan atau menjadi pemimpin rohani.
Keteladanan hidup adalah buah kedewasaan rohani, sebab kedewasaan rohani dalam diri seseorang tidak bergantung pada faktor usia atau berapa lama ia menjadi orang Kristen, sebab ada banyak orang Kristen yang sudah bertahun-tahun mengikut Tuhan tetap saja belum dewasa rohaninya, alias masih kanak-kanak rohani (baca Ibrani 5:12).
Keteladanan hidup adalah hal mutlak yang harus dimiliki oleh pemimpin rohani!
Baca: 1 Timotius 4:12-16
"Jangan seorangpun menganggap engkau rendah karena engkau muda." 1 Timotius 4:12a
Ditinjau dari fakta-fakta yang ada semua orang pasti akan menduga bahwa Timotius tidak akan berhasil dalam menjalankan tugas pelayanannya karena beberapa alasan: usianya yang masih sangat muda atau belum sarat pengalaman, fisiknya kurang menunjang karena ia sering sakit-sakitan, dan pada waktu itu bapak rohaninya (Paulus) sedang tidak ada di tempat karena berada dalam penjara. Namun keberhasilan sebuah pelayanan bukan semata-mata ditentukan oleh faktor dari luar. Hal utama yang menentukan adalah keteladanan sang pelayan Tuhan atau pemimpin itu sendiri, yaitu faktor dari dalam.
Menjadi seorang pelayan Tuhan atau pemimpin rohani sesungguhnya bukanlah perkara yang ringan. Bukan karena seseorang memiliki pengetahuan tentang Alkitab atau sudah menyandang gelar sarjana dari sekolah teologia, bukan pula karena sudah memiliki 'jam terbang' pelayanan yang mumpuni lalu orang itu sudah secara otomatis memenuhi kriteria sebagai pelayan yang sesuai kehendak Tuhan. Kriteria utama pelayan Tuhan atau pemimpin rohani adalah memiliki keteladanan hidup! Kekuatan keteladanan melebihi kekuatan kata-kata belaka. Perkataan kita belum tentu akan dilakukan oleh orang yang mendengarnya, tetapi keteladanan hidup kerapkali akan dicontoh oleh orang yang melihatnya. Itulah sebabnya, rasul Paulus menulis surat kepada Timotius: "Jadilah teladan bagi orang-orang percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu." (ayat 12b).
Jika Timotius menunjukkan keteladanan hidup maka secara tidak langsung ia membungkam keragu-raguan jemaat di Efesus yang memandang rendah dia karena usianya yang masih muda. Dengan dasar ini maka orang muda (muda usia ataupun muda dalam hal pengalaman) berkompeten untuk melayani jemaat Tuhan atau menjadi pemimpin rohani.
Keteladanan hidup adalah buah kedewasaan rohani, sebab kedewasaan rohani dalam diri seseorang tidak bergantung pada faktor usia atau berapa lama ia menjadi orang Kristen, sebab ada banyak orang Kristen yang sudah bertahun-tahun mengikut Tuhan tetap saja belum dewasa rohaninya, alias masih kanak-kanak rohani (baca Ibrani 5:12).
Keteladanan hidup adalah hal mutlak yang harus dimiliki oleh pemimpin rohani!
Friday, August 12, 2016
BARTIMEUS: Mengenal Tuhan Dengan Benar (2)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 12 Agustus 2016
Baca: Lukas 18:35-43
"Lalu kata Yesus kepadanya: 'Melihatlah engkau, imanmu telah menyelamatkan engkau!'" Lukas 18:42
Bartimeus bukan hanya menyebut Yesus sebagai Anak Daud, beberapa sebutan juga dipkai olehnya untuk Tuhan Yesus: orang Nazaret dan juga Rabuni. Hal itu semakin mempertegas bahwa Bartimeus memiliki pengenalan yang benar terhadap pribadi Tuhan Yesus, yang adalah Mesias atau Sang pelepas yang kedatangan-Nya untuk menggenapi nubuatan nabi Yesaya: "Pada waktu itu mata orang-orang buta akan dicelikkan, dan telinga orang-orang tuli akan dibuka." (Yesaya 35:5). Banyak orang mengenal tentang Tuhan sebatas pengetahuan atau mendengar dari kata orang, yang Tuhan kehendaki adalah kita mengenal Dia secara pribadi, melalui pengalaman hidup berjalan bersama-Nya, "Sebab Aku menyukai kasih setia, dan bukan korban sembelihan, dan menyukai pengenalan akan Allah, lebih dari pada korban-korban bakaran." (Hosea 6:6).
2. Tidak mudah menyerah. Ketika itu banyak orang berbondong-bondong ingin mendekati Tuhan Yesus, tentunya ini menjadi hambatan besar bagi Bartimeus yang buta. Apalagi orang-orang juga berusaha menghalangi dan menegurnya supaya diam, namun Bartimeus tidak menyerah begitu saja, "...semakin keras ia berseru: 'Anak Daud, kasihanilah aku!'" (Lukas 18:39), karena ia tahu secara pasti bahwa Tuhan Yesus penuh dengan kasih, karena itu ia memohon belas kasihan-Nya. Ada elemen-elemen doa yang terkandung dalam permohonan Bartimeus sehingga Tuhan Yesus bersedia menanggapinya: a. Seruan yang terus-menerus sampai mendapatkan jawaban. "Tidakkah Allah akan membenarkan orang-orang pilihan-Nya yang siang malam berseru kepada-Nya? Dan adakah Ia mengulur-ulur waktu sebelum menolong mereka?" (Lukas 18:7). b. Permohonannya sesuai dengan kebutuhan. Tuhan senantiasa bersedia menanggapi seruan orang yang didasari oleh kebutuhan; tetapi bila seruan atau doa tersebut dilandasi oleh keinginan pribadi belum tentu Tuhan akan menjawabnya (baca Yakobus 4:3).
Setelah mengalami pertolongan Tuhan Bartimeus pun memberikan respons yang benar untuk membalas kebaikan Tuhan. Tanpa menunda-nunda waktu ia membuat keputusan mengikut Tuhan.
Mengenal pribadi Tuhan secara benar adalah kunci mengalami mujizat-Nya!
Baca: Lukas 18:35-43
"Lalu kata Yesus kepadanya: 'Melihatlah engkau, imanmu telah menyelamatkan engkau!'" Lukas 18:42
Bartimeus bukan hanya menyebut Yesus sebagai Anak Daud, beberapa sebutan juga dipkai olehnya untuk Tuhan Yesus: orang Nazaret dan juga Rabuni. Hal itu semakin mempertegas bahwa Bartimeus memiliki pengenalan yang benar terhadap pribadi Tuhan Yesus, yang adalah Mesias atau Sang pelepas yang kedatangan-Nya untuk menggenapi nubuatan nabi Yesaya: "Pada waktu itu mata orang-orang buta akan dicelikkan, dan telinga orang-orang tuli akan dibuka." (Yesaya 35:5). Banyak orang mengenal tentang Tuhan sebatas pengetahuan atau mendengar dari kata orang, yang Tuhan kehendaki adalah kita mengenal Dia secara pribadi, melalui pengalaman hidup berjalan bersama-Nya, "Sebab Aku menyukai kasih setia, dan bukan korban sembelihan, dan menyukai pengenalan akan Allah, lebih dari pada korban-korban bakaran." (Hosea 6:6).
2. Tidak mudah menyerah. Ketika itu banyak orang berbondong-bondong ingin mendekati Tuhan Yesus, tentunya ini menjadi hambatan besar bagi Bartimeus yang buta. Apalagi orang-orang juga berusaha menghalangi dan menegurnya supaya diam, namun Bartimeus tidak menyerah begitu saja, "...semakin keras ia berseru: 'Anak Daud, kasihanilah aku!'" (Lukas 18:39), karena ia tahu secara pasti bahwa Tuhan Yesus penuh dengan kasih, karena itu ia memohon belas kasihan-Nya. Ada elemen-elemen doa yang terkandung dalam permohonan Bartimeus sehingga Tuhan Yesus bersedia menanggapinya: a. Seruan yang terus-menerus sampai mendapatkan jawaban. "Tidakkah Allah akan membenarkan orang-orang pilihan-Nya yang siang malam berseru kepada-Nya? Dan adakah Ia mengulur-ulur waktu sebelum menolong mereka?" (Lukas 18:7). b. Permohonannya sesuai dengan kebutuhan. Tuhan senantiasa bersedia menanggapi seruan orang yang didasari oleh kebutuhan; tetapi bila seruan atau doa tersebut dilandasi oleh keinginan pribadi belum tentu Tuhan akan menjawabnya (baca Yakobus 4:3).
Setelah mengalami pertolongan Tuhan Bartimeus pun memberikan respons yang benar untuk membalas kebaikan Tuhan. Tanpa menunda-nunda waktu ia membuat keputusan mengikut Tuhan.
Mengenal pribadi Tuhan secara benar adalah kunci mengalami mujizat-Nya!
Thursday, August 11, 2016
BARTIMEUS: Mengenal Tuhan Dengan Benar (1)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 11 Agustus 2016
Baca: Markus 10:46-52
"Ketika didengarnya, bahwa itu adalah Yesus orang Nazaret, mulailah ia berseru: 'Yesus, Anak Daud, kasihanilah aku!'" Markus 10:47
Setiap manusia tidak pernah lepas dari masalah. Setiap hari kita harus diperhadapkan dan bergumul dengan masalah, dimana besar kecilnya masalah sangat tergantung dari cara pandang kita terhadap masalah itu sendiri. Seringkali kita menganggap bahwa masalah yang kita hadapi lebih besar daripada yang dihadapi orang lain, padahal hal itu belum tentu benar. Ada orang lain yang masalahnya jauh lebih besar dari yang kita hadapi tetapi ia masih bisa bersikap tenang, seolah-olah tidak terjadi apa-apa karena ia pintar menyembunyikan masalahnya. Sementara kita sendiri panik, stres, kuatir dan kalang kabut. Jadi yang penting di sini bukanlah besar kecilnya masalah, namun bagaimana respons atau sikap hati kita saat menghadapi setiap masalah.
Bartimeus adalah contoh orang yang menghadapi masalah sangat berat dalam hidupnya karena ia buta sejak lahir. Bukankah kebutaan adalah masalah yang tidak ringan? Tetapi Bartimeus menghadapi masalah itu dengan tenang karena ia membawa permasalahannya kepada orang yang tepat yaitu Tuhan Yesus, sumber segala pertolongan. Bartimeus berasal dari kata Bar dan Timeus yang berarti anak Timeus. Keberadaan Bartimeus di tengah lingkungan sangat tidak diperhitungkan, ia disepelekan dan diremehkan oleh karena kebutaannya dan pekerjaannya yang hanya pengemis. Tetapi Tuhan Yesus berkenan atasnya sehingga mujizat dinyatakan dalam hidupnya.
Mengapa Tuhan Yesus berkenan menyembuhkan Bartimeus? 1. Memiliki pengenalan yang benar tentang Tuhan. Ketika mendengar bahwa Tuhan Yesus sedang lewat, berserulah ia, "Yesus, Anak Daud, kasihanilah aku!" (ayat nas). Bartimeus menyebut Yesus dengan gelar mesianis yaitu Anak Daud. Seruannya sekaligus sebagai bentuk pengakuan atas kemesiasan Yesus. Yesus sendiri berkata, "Aku, Yesus, telah mengutus malaikat-Ku untuk memberi kesaksian tentang semuanya ini kepadamu bagi jemaat-jemaat. Aku adalah tunas, yaitu keturunan Daud, bintang timur yang gilang-gemilang." (Wahyu 22:16). Ini sebagai penegasan bahwa Yesus adalah Mesias itu sendiri, bukan sebagai orang yang ditunjuk menjadi Mesias. Meskipun Bartimeus buta secara lahiriah tetapi ia tidak buta rohani. (Bersambung)
Baca: Markus 10:46-52
"Ketika didengarnya, bahwa itu adalah Yesus orang Nazaret, mulailah ia berseru: 'Yesus, Anak Daud, kasihanilah aku!'" Markus 10:47
Setiap manusia tidak pernah lepas dari masalah. Setiap hari kita harus diperhadapkan dan bergumul dengan masalah, dimana besar kecilnya masalah sangat tergantung dari cara pandang kita terhadap masalah itu sendiri. Seringkali kita menganggap bahwa masalah yang kita hadapi lebih besar daripada yang dihadapi orang lain, padahal hal itu belum tentu benar. Ada orang lain yang masalahnya jauh lebih besar dari yang kita hadapi tetapi ia masih bisa bersikap tenang, seolah-olah tidak terjadi apa-apa karena ia pintar menyembunyikan masalahnya. Sementara kita sendiri panik, stres, kuatir dan kalang kabut. Jadi yang penting di sini bukanlah besar kecilnya masalah, namun bagaimana respons atau sikap hati kita saat menghadapi setiap masalah.
Bartimeus adalah contoh orang yang menghadapi masalah sangat berat dalam hidupnya karena ia buta sejak lahir. Bukankah kebutaan adalah masalah yang tidak ringan? Tetapi Bartimeus menghadapi masalah itu dengan tenang karena ia membawa permasalahannya kepada orang yang tepat yaitu Tuhan Yesus, sumber segala pertolongan. Bartimeus berasal dari kata Bar dan Timeus yang berarti anak Timeus. Keberadaan Bartimeus di tengah lingkungan sangat tidak diperhitungkan, ia disepelekan dan diremehkan oleh karena kebutaannya dan pekerjaannya yang hanya pengemis. Tetapi Tuhan Yesus berkenan atasnya sehingga mujizat dinyatakan dalam hidupnya.
Mengapa Tuhan Yesus berkenan menyembuhkan Bartimeus? 1. Memiliki pengenalan yang benar tentang Tuhan. Ketika mendengar bahwa Tuhan Yesus sedang lewat, berserulah ia, "Yesus, Anak Daud, kasihanilah aku!" (ayat nas). Bartimeus menyebut Yesus dengan gelar mesianis yaitu Anak Daud. Seruannya sekaligus sebagai bentuk pengakuan atas kemesiasan Yesus. Yesus sendiri berkata, "Aku, Yesus, telah mengutus malaikat-Ku untuk memberi kesaksian tentang semuanya ini kepadamu bagi jemaat-jemaat. Aku adalah tunas, yaitu keturunan Daud, bintang timur yang gilang-gemilang." (Wahyu 22:16). Ini sebagai penegasan bahwa Yesus adalah Mesias itu sendiri, bukan sebagai orang yang ditunjuk menjadi Mesias. Meskipun Bartimeus buta secara lahiriah tetapi ia tidak buta rohani. (Bersambung)
Wednesday, August 10, 2016
MARILAH NAIK KE GUNUNG TUHAN!
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 10 Agustus 2016
Baca: Mazmur 15:1-5
"TUHAN, siapa yang boleh menumpang dalam kemah-Mu? Siapa yang boleh diam di gunung-Mu yang kudus?" Mazmur 15:1
Sebagai orang percaya kita ini adalah orang-orang yang paling beruntung di antara umat manusia yang hidup di muka bumi ini, karena kita memiliki Tuhan yang begitu dekat dan mau bergaul karib dengan umat-Nya. Hal ini ditegaskan oleh Tuhan Yesus sendiri, "Aku tidak menyebut kamu lagi hamba, sebab hamba tidak tahu, apa yang diperbuat oleh tuannya, tetapi Aku menyebut kamu sahabat, karena Aku telah memberitahukan kepada kamu segala sesuatu yang telah Kudengar dari Bapa-Ku." (Yohanes 15:15).
Karena pengorbanan darah Kristus di atas kayu salib kita yang dahulunya 'jauh' kini menjadi 'dekat' (baca Efesus 2:13), sehingga kita pun beroleh keberanian menghampiri takhta kasih karunia-Nya untuk mendapatkan pertolongan pada waktunya (baca Ibrani 4:16). Hal ini jelas berbeda dengan kepercayaan-kepercayaan lain di dunia yang menyatakan bahwa antara Tuhan Sang Pencipta dengan ciptaan-Nya terbentang jarak yang sangat jauh karena keberadaan Tuhan yang teramat kudus dan suci, sehingga manusia tidak dapat mendekat kepada Tuhan dengan sembarangan, apalagi bergaul karib dengan-Nya. Oleh karena itu jangan pernah kita sia-siakan anugerah Tuhan ini!
Pemazmur bertanya: siapakah yang boleh menumpang di kemah Tuhan yang kudus? Adalah orang yang berlaku tidak bercela (Mazmur 15:2), hidup dalam kebenaran, atau memiliki hati yang takut akan Tuhan. Hidup tidak tercela adalah perwujudan iman seseorang, sebab iman tanpa perbuatan pada hakekatnya adalah mati, karena itu iman dan perbuatan merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan (baca Yakobus 2:17, 22). Inilah kekristenan yang normal! Jika iman kita benar maka secara otomatis akan terrefleksi dalam perbuatan yang seturut firman-Nya. Orang-orang inilah yang diperkenan Tuhan menumpang di kemah-Nya dan diam di gunung-Nya yang kudus; dan terhadap orang-orang yang hidup tidak bercela Tuhan akan menyatakan kebaikan-Nya seperti tertulis: "Sebab TUHAN Allah adalah matahari dan perisai; kasih dan kemuliaan Ia berikan; Ia tidak menahan kebaikan dari orang yang hidup tidak bercela." (Mazmur 84:12).
Asalkan kita tetap hidup tidak bercela ada jaminan perlindungan dan pemeliharaan dari Tuhan, sebab kita dilayakkan untuk tinggal di kemah-Nya!
Baca: Mazmur 15:1-5
"TUHAN, siapa yang boleh menumpang dalam kemah-Mu? Siapa yang boleh diam di gunung-Mu yang kudus?" Mazmur 15:1
Sebagai orang percaya kita ini adalah orang-orang yang paling beruntung di antara umat manusia yang hidup di muka bumi ini, karena kita memiliki Tuhan yang begitu dekat dan mau bergaul karib dengan umat-Nya. Hal ini ditegaskan oleh Tuhan Yesus sendiri, "Aku tidak menyebut kamu lagi hamba, sebab hamba tidak tahu, apa yang diperbuat oleh tuannya, tetapi Aku menyebut kamu sahabat, karena Aku telah memberitahukan kepada kamu segala sesuatu yang telah Kudengar dari Bapa-Ku." (Yohanes 15:15).
Karena pengorbanan darah Kristus di atas kayu salib kita yang dahulunya 'jauh' kini menjadi 'dekat' (baca Efesus 2:13), sehingga kita pun beroleh keberanian menghampiri takhta kasih karunia-Nya untuk mendapatkan pertolongan pada waktunya (baca Ibrani 4:16). Hal ini jelas berbeda dengan kepercayaan-kepercayaan lain di dunia yang menyatakan bahwa antara Tuhan Sang Pencipta dengan ciptaan-Nya terbentang jarak yang sangat jauh karena keberadaan Tuhan yang teramat kudus dan suci, sehingga manusia tidak dapat mendekat kepada Tuhan dengan sembarangan, apalagi bergaul karib dengan-Nya. Oleh karena itu jangan pernah kita sia-siakan anugerah Tuhan ini!
Pemazmur bertanya: siapakah yang boleh menumpang di kemah Tuhan yang kudus? Adalah orang yang berlaku tidak bercela (Mazmur 15:2), hidup dalam kebenaran, atau memiliki hati yang takut akan Tuhan. Hidup tidak tercela adalah perwujudan iman seseorang, sebab iman tanpa perbuatan pada hakekatnya adalah mati, karena itu iman dan perbuatan merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan (baca Yakobus 2:17, 22). Inilah kekristenan yang normal! Jika iman kita benar maka secara otomatis akan terrefleksi dalam perbuatan yang seturut firman-Nya. Orang-orang inilah yang diperkenan Tuhan menumpang di kemah-Nya dan diam di gunung-Nya yang kudus; dan terhadap orang-orang yang hidup tidak bercela Tuhan akan menyatakan kebaikan-Nya seperti tertulis: "Sebab TUHAN Allah adalah matahari dan perisai; kasih dan kemuliaan Ia berikan; Ia tidak menahan kebaikan dari orang yang hidup tidak bercela." (Mazmur 84:12).
Asalkan kita tetap hidup tidak bercela ada jaminan perlindungan dan pemeliharaan dari Tuhan, sebab kita dilayakkan untuk tinggal di kemah-Nya!
Tuesday, August 9, 2016
JANGAN PERNAH MELUPAKAN TUHAN (2)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 9 Agustus 2016
Baca: Ulangan 8:1-20
"Maka janganlah kaukatakan dalam hatimu: Kekuasaanku dan kekuatan tangankulah yang membuat aku memperoleh kekayaan ini." Ulangan 8:17
Ketika sedang dalam kemakmuran (kelimpahan) banyak orang tidak lagi menyandarkan hidup sepenuhnya kepada Tuhan, "Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada." (Matius 6:21). Harta kekayaan menjadi sumber pengharapan dan andalan, bukan lagi Tuhan, padahal "Pada hari kemurkaan harta tidak berguna, tetapi kebenaran melepaskan orang dari maut." (Amsal 11:4).
Kemakmuran (kelimpahan) membuat orang cenderung melupakan Tuhan dan perintah-perintah-Nya. Sudah menjadi rahasia umum jika orang memiliki harta kekayaan berlimpah cenderung berubah sikap: menjadi sombong atau tinggi hati. Pikirnya dengan harta kekayaan yang melimpah mereka bisa melakukan apa saja dan menemukan kebahagiaan hdiup. Karena itu firman-Nya memperingatkan: "...jangan engkau tinggi hati, sehingga engkau melupakan TUHAN," (Ulangan 8:14). Mereka juga berpikir bahwa harta kekayaan miliknya adalah hasil jerih payahnya sendiri. Mereka lupa bahwa semua berkat itu datangnya dari Tuhan karena Dia adalah pemilik segala sesuatu, sementara kita ini hanya dipercaya Tuhan untuk mengelola berkat tersebut. Jadi status kita ini adalah manager, bukan owner! Kekayaan, keberhasilan atau kesuksesan adalah kasih karunia Tuhan semata, karena itu kita tidak pantas berkata, "Kekuasaanku dan kekuatan tangankulah yang membuat aku memperoleh kekayaan ini." (ayat nas).
Tuhan menuntun bangsa Israel keluar dari Mesir dan memimpin mereka di padang gurun dengan maksud supaya mereka mau merendahkan diri di hadapan Tuhan, karena itu "...haruslah engkau ingat..." (Ulangan 8:18). Siapa obyek yang harus diingat? Tuhan dan perjanjian-Nya "...yang diikrarkan-Nya dengan sumpah kepada nenek moyangmu, yakni Abraham, Ishak dan Yakub." (Ulangan 9:5). Kata ingat berarti upaya yang dilakukan untuk menimbulkan kembali dalam pikiran. Musa menasihati umat Israel agar mereka selalu mengingat semua perkara yang Tuhan sudah kerjakan dalam hidup mereka: saat keluar dari Mesir, di padang gurun, sampai memasuki tanah perjanjian-Nya.
Jangan pernah melupakan Tuhan dan ingatlah selalu kebaikan-Nya, sebab tanpa campur tangan Dia kita ini bukan apa-apa!
Baca: Ulangan 8:1-20
"Maka janganlah kaukatakan dalam hatimu: Kekuasaanku dan kekuatan tangankulah yang membuat aku memperoleh kekayaan ini." Ulangan 8:17
Ketika sedang dalam kemakmuran (kelimpahan) banyak orang tidak lagi menyandarkan hidup sepenuhnya kepada Tuhan, "Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada." (Matius 6:21). Harta kekayaan menjadi sumber pengharapan dan andalan, bukan lagi Tuhan, padahal "Pada hari kemurkaan harta tidak berguna, tetapi kebenaran melepaskan orang dari maut." (Amsal 11:4).
Kemakmuran (kelimpahan) membuat orang cenderung melupakan Tuhan dan perintah-perintah-Nya. Sudah menjadi rahasia umum jika orang memiliki harta kekayaan berlimpah cenderung berubah sikap: menjadi sombong atau tinggi hati. Pikirnya dengan harta kekayaan yang melimpah mereka bisa melakukan apa saja dan menemukan kebahagiaan hdiup. Karena itu firman-Nya memperingatkan: "...jangan engkau tinggi hati, sehingga engkau melupakan TUHAN," (Ulangan 8:14). Mereka juga berpikir bahwa harta kekayaan miliknya adalah hasil jerih payahnya sendiri. Mereka lupa bahwa semua berkat itu datangnya dari Tuhan karena Dia adalah pemilik segala sesuatu, sementara kita ini hanya dipercaya Tuhan untuk mengelola berkat tersebut. Jadi status kita ini adalah manager, bukan owner! Kekayaan, keberhasilan atau kesuksesan adalah kasih karunia Tuhan semata, karena itu kita tidak pantas berkata, "Kekuasaanku dan kekuatan tangankulah yang membuat aku memperoleh kekayaan ini." (ayat nas).
Tuhan menuntun bangsa Israel keluar dari Mesir dan memimpin mereka di padang gurun dengan maksud supaya mereka mau merendahkan diri di hadapan Tuhan, karena itu "...haruslah engkau ingat..." (Ulangan 8:18). Siapa obyek yang harus diingat? Tuhan dan perjanjian-Nya "...yang diikrarkan-Nya dengan sumpah kepada nenek moyangmu, yakni Abraham, Ishak dan Yakub." (Ulangan 9:5). Kata ingat berarti upaya yang dilakukan untuk menimbulkan kembali dalam pikiran. Musa menasihati umat Israel agar mereka selalu mengingat semua perkara yang Tuhan sudah kerjakan dalam hidup mereka: saat keluar dari Mesir, di padang gurun, sampai memasuki tanah perjanjian-Nya.
Jangan pernah melupakan Tuhan dan ingatlah selalu kebaikan-Nya, sebab tanpa campur tangan Dia kita ini bukan apa-apa!
Monday, August 8, 2016
JANGAN PERNAH MELUPAKAN TUHAN (1)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 8 Agustus 2016
Baca: Ulangan 8:1-20
"Hati-hatilah, supaya jangan engkau melupakan TUHAN, Allahmu, dengan tidak berpegang pada perintah, peraturan dan ketetapan-Nya, yang kusampaikan kepadamu pada hari ini;" Ulangan 8:11
Amnesia adalah istilah dalam ilmu kedokteran, suatu kondisi ingatan atau memori seseorang yang mengalami gangguan. Penyakit ini memang tergolong ringan tetapi dapat mengakibatkan orang mengalami gangguan ingatan yang tidak normal. Amnesia terjadi ketika orang mengalami benturan yang sangat keras di kepala yang mengakibatkan pikiran dan ingatannya menjadi terganggu, tidak dapat mengingat apa pun.
Banyak sekali orang Kristen mengalami amnesia rohani. Mereka mudah sekali melupan kebaikan Tuhan, lupa jam-jam ibadah, lupa berdoa, lupa baca Alkitab. Karena hati dan pikiran hanya tertuju kepada perkara-perkara duniawi mereka pun melupakan perkara-perkara rohani. Peringatan ini bukan hanya ditujukan kepada umat Israel tapi juga bagi semua orang percaya yang hidup di zaman sekarang ini karena ada banyak hal yang berpotensi memengaruhi kita untuk melupakan Tuhan: 1. Kebutuhan hidup. "apabila engkau sudah makan dan kenyang, mendirikan rumah-rumah yang baik serta mendiaminya," (ayat 12). Kebutuhan hidup (sandang, pangan, papan) adalah faktor utama yang membuat banyak orang melupakan Tuhan dan bahkan meninggalkan-Nya. Kekuatiran terhadap pemenuhan kebutuhan hidup seringkali menghalangi seseorang untuk hidup maksimal bagi Tuhan. Firman-Nya berkata, "Janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai." (Matius 6:25). "...carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu." (Matius 6:33). Asal kita mengutamakan Tuhan dan kebenarannya tidak ada hal yang harus dikuatirkan dalam hidup ini.
2. Harta kekayaan. "...apabila lembu sapimu dan kambing dombamu bertambah banyak dan emas serta perakmu bertambah banyak, dan segala yang ada padamu bertambah banyak," (Ulangan 8:13). Banyak orang yang hatinya terikat kepada harta kekayaannya daripada kepada Tuhan sehingga mereka mudah sekali melupakan Tuhan. (Bersambung)
Baca: Ulangan 8:1-20
"Hati-hatilah, supaya jangan engkau melupakan TUHAN, Allahmu, dengan tidak berpegang pada perintah, peraturan dan ketetapan-Nya, yang kusampaikan kepadamu pada hari ini;" Ulangan 8:11
Amnesia adalah istilah dalam ilmu kedokteran, suatu kondisi ingatan atau memori seseorang yang mengalami gangguan. Penyakit ini memang tergolong ringan tetapi dapat mengakibatkan orang mengalami gangguan ingatan yang tidak normal. Amnesia terjadi ketika orang mengalami benturan yang sangat keras di kepala yang mengakibatkan pikiran dan ingatannya menjadi terganggu, tidak dapat mengingat apa pun.
Banyak sekali orang Kristen mengalami amnesia rohani. Mereka mudah sekali melupan kebaikan Tuhan, lupa jam-jam ibadah, lupa berdoa, lupa baca Alkitab. Karena hati dan pikiran hanya tertuju kepada perkara-perkara duniawi mereka pun melupakan perkara-perkara rohani. Peringatan ini bukan hanya ditujukan kepada umat Israel tapi juga bagi semua orang percaya yang hidup di zaman sekarang ini karena ada banyak hal yang berpotensi memengaruhi kita untuk melupakan Tuhan: 1. Kebutuhan hidup. "apabila engkau sudah makan dan kenyang, mendirikan rumah-rumah yang baik serta mendiaminya," (ayat 12). Kebutuhan hidup (sandang, pangan, papan) adalah faktor utama yang membuat banyak orang melupakan Tuhan dan bahkan meninggalkan-Nya. Kekuatiran terhadap pemenuhan kebutuhan hidup seringkali menghalangi seseorang untuk hidup maksimal bagi Tuhan. Firman-Nya berkata, "Janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai." (Matius 6:25). "...carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu." (Matius 6:33). Asal kita mengutamakan Tuhan dan kebenarannya tidak ada hal yang harus dikuatirkan dalam hidup ini.
2. Harta kekayaan. "...apabila lembu sapimu dan kambing dombamu bertambah banyak dan emas serta perakmu bertambah banyak, dan segala yang ada padamu bertambah banyak," (Ulangan 8:13). Banyak orang yang hatinya terikat kepada harta kekayaannya daripada kepada Tuhan sehingga mereka mudah sekali melupakan Tuhan. (Bersambung)
Sunday, August 7, 2016
KEPENUHAN HIDUP DALAM KRISTUS (2)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 7 Agustus 2016
Baca: Kolose 2:6-15
"...hendaklah kamu bertambah teguh dalam iman yang telah diajarkan kepadamu," Kolose 2:7
Banyak orang Kristen menjalani kehidupan rohaninya secara tidak konsisten. Ketika semua berjalan lancar dan baik-baik saja mereka tampak setia berdoa dan beribadah. Namun begitu diperhadapkan pada masalah atau kesulitan mereka pun langsung berubah tidak lagi setia kepada Tuhan, malas beribadah dan malas melayani Tuhan tak ubahnya termometer yang selalu dipengaruhi suhu ruangan di mana ia berada. Berada di tempat dingin ia akan menunjukkan suhu dingin, di area panas ia pun akan menjadi panas.
2. Bertumbuh dalam iman. Proses pertumbuhan iman sama seperti akar pohon: bertumbuh ke bawah, berfungsi menyerap sari makanan, sebab tanpa asupan makanan yang disalurkan oleh akar maka pohon tidak akan bertumbuh secara sempurna dan tidak akan berbuah. Ini berbicara tentang kesukaan merenungkan firman Tuhan sebagai makanan rohani, sebab "Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah." (Matius 4:4). Akar bertumbuh ke bawah juga sebagai upaya membangun fondasi atau dasar. Kalau dasarnya kuat, sekencang apa pun angin atau badai menerpa, pohon tidak akan mudah roboh. Bertumbuh ke bawah memang tidak terlihat, tetapi ketika bertumbuh ke atas secara kokoh semua akan terlihat dengan jelas, saat itulah seseorang memiliki kesaksian hidup yang dapat dilihat dan dirasakan orang lain. namun ada harga yang harus dibayar: menyediakan waktu secara pribadi dengan Tuhan dalam doa, penyembahan dan perenungan firman.
3. Selalu bersyukur. "...dan hendaklah hatimu melimpah dengan syukur." (Kolose 2:7). Satu perkara yang sesungguhnya mudah dilakukan tetapi seringkali kita abaikan dan lupakan. Padahal kita takkan pernah mampu menghitung "...betapa lebarnya dan panjangnya dan tingginya dan dalamnya kasih Kristus," (Efesus 3:18). Mengapa kita sulit bersyukur? Karena kita tidak pernah merasa cukup dengan apa yang kita miliki, kita menganggap semua yang terjadi di dalam hidup ini sebagai hal yang biasa dan tidak perlu disyukuri, dan kita selalu membanding-bandingkan diri dengan keberadaan orang lain.
Iman yang terus bertumbuh dan selalu bersyukur di segala keadaan adalah tanda kepenuhan hidup dalam Kristus.
Baca: Kolose 2:6-15
"...hendaklah kamu bertambah teguh dalam iman yang telah diajarkan kepadamu," Kolose 2:7
Banyak orang Kristen menjalani kehidupan rohaninya secara tidak konsisten. Ketika semua berjalan lancar dan baik-baik saja mereka tampak setia berdoa dan beribadah. Namun begitu diperhadapkan pada masalah atau kesulitan mereka pun langsung berubah tidak lagi setia kepada Tuhan, malas beribadah dan malas melayani Tuhan tak ubahnya termometer yang selalu dipengaruhi suhu ruangan di mana ia berada. Berada di tempat dingin ia akan menunjukkan suhu dingin, di area panas ia pun akan menjadi panas.
2. Bertumbuh dalam iman. Proses pertumbuhan iman sama seperti akar pohon: bertumbuh ke bawah, berfungsi menyerap sari makanan, sebab tanpa asupan makanan yang disalurkan oleh akar maka pohon tidak akan bertumbuh secara sempurna dan tidak akan berbuah. Ini berbicara tentang kesukaan merenungkan firman Tuhan sebagai makanan rohani, sebab "Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah." (Matius 4:4). Akar bertumbuh ke bawah juga sebagai upaya membangun fondasi atau dasar. Kalau dasarnya kuat, sekencang apa pun angin atau badai menerpa, pohon tidak akan mudah roboh. Bertumbuh ke bawah memang tidak terlihat, tetapi ketika bertumbuh ke atas secara kokoh semua akan terlihat dengan jelas, saat itulah seseorang memiliki kesaksian hidup yang dapat dilihat dan dirasakan orang lain. namun ada harga yang harus dibayar: menyediakan waktu secara pribadi dengan Tuhan dalam doa, penyembahan dan perenungan firman.
3. Selalu bersyukur. "...dan hendaklah hatimu melimpah dengan syukur." (Kolose 2:7). Satu perkara yang sesungguhnya mudah dilakukan tetapi seringkali kita abaikan dan lupakan. Padahal kita takkan pernah mampu menghitung "...betapa lebarnya dan panjangnya dan tingginya dan dalamnya kasih Kristus," (Efesus 3:18). Mengapa kita sulit bersyukur? Karena kita tidak pernah merasa cukup dengan apa yang kita miliki, kita menganggap semua yang terjadi di dalam hidup ini sebagai hal yang biasa dan tidak perlu disyukuri, dan kita selalu membanding-bandingkan diri dengan keberadaan orang lain.
Iman yang terus bertumbuh dan selalu bersyukur di segala keadaan adalah tanda kepenuhan hidup dalam Kristus.
Saturday, August 6, 2016
KEPENUHAN HIDUP DALAM KRISTUS (1)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 6 Agustus 2016
Baca: Kolose 2:6-15
"Kamu telah menerima Kristus Yesus, Tuhan kita. Karena itu hendaklah hidupmu tetap di dalam Dia." Kolose 2:6
Perikop dari pembacaan firman hari ini adalah kepenuhan hidup dalam Kristus. Kata penuh berarti seluruh wadah sudah terisi semua, tidak ada ruang atau segi yang terluang. Bila suatu wadah tidak bisa diisi secara penuh berarti ada kebocoran pada wadah itu. Demikian pula dengan kehidupan Kristen, mustahil orang mengalami kepenuhan hidup dalam Kristus bila ada yang 'bocor' dalam kehidupannya. Kebocoran inilah yang membuat kerohanian seseorang tidak pernah bertumbuh maksimal!
Setelah menjadi Kristen atau menerima Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat ada hal-hal yang harus diperjuangkan secara terus-menerus agar mengalami kepenuhan hidup di dalam Kristus. 1. Tetap di dalam Dia. "...hendaklah hidupmu tetap di dalam Dia." (ayat nas). Rasul Paulus menganalogikan orang yang tetap di dalam Tuhan ibarat pohon yang kokoh bukan karena pokoknya yang besar, melainkan karena pohon itu tertanam baik dengan akar yang menjalar di bawah permukaan tanah. Pohon seperti ini bukan tidak mengalami terpaan angin, tetapi ia tetap kokoh bertahan ketika angin datang menerpa. Tuhan Yesus menjelaskan prinsip ini ibarat ranting yang melekat pada pokok anggur, di mana pokok itu adalah diri-Nya sendiri. "Akulah pokok anggur yang benar dan Bapa-Kulah pengusahanya...Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu. Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal pada pokok anggur, demikian juga kamu tidak berbuah, jikalau kamu tidak tinggal di dalam Aku." (Yohanes 15:1, 4). Ranting yang melekat erat pada pokok akan mendapatkan getah yang membuatnya potensial berbuah lebat.
Pemazmur juga menggambarkan bahwa pohon yang ditanam di tepi aliran air potensial untuk berakar, bertumbuh dan berbuah. Ungkapan hendaklah hidupmu tetap secara gramatikal merupakan kata kerja perintah untuk hidup secara konsisten, tidak mudah berubah, tidak mudah goyah di segala keadaan. Suatu tindakan yang harus selalu diupayakan dari dalam diri sendiri di atas segala situasi atau kondisi yang tengah dialami.
Agar dapat menjadi orang Kristen yang konsisten, yang tidak dipengaruhi situasi atau keadaan yang ada, kita harus tetap hidup di dalam Kristus.
Baca: Kolose 2:6-15
"Kamu telah menerima Kristus Yesus, Tuhan kita. Karena itu hendaklah hidupmu tetap di dalam Dia." Kolose 2:6
Perikop dari pembacaan firman hari ini adalah kepenuhan hidup dalam Kristus. Kata penuh berarti seluruh wadah sudah terisi semua, tidak ada ruang atau segi yang terluang. Bila suatu wadah tidak bisa diisi secara penuh berarti ada kebocoran pada wadah itu. Demikian pula dengan kehidupan Kristen, mustahil orang mengalami kepenuhan hidup dalam Kristus bila ada yang 'bocor' dalam kehidupannya. Kebocoran inilah yang membuat kerohanian seseorang tidak pernah bertumbuh maksimal!
Setelah menjadi Kristen atau menerima Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat ada hal-hal yang harus diperjuangkan secara terus-menerus agar mengalami kepenuhan hidup di dalam Kristus. 1. Tetap di dalam Dia. "...hendaklah hidupmu tetap di dalam Dia." (ayat nas). Rasul Paulus menganalogikan orang yang tetap di dalam Tuhan ibarat pohon yang kokoh bukan karena pokoknya yang besar, melainkan karena pohon itu tertanam baik dengan akar yang menjalar di bawah permukaan tanah. Pohon seperti ini bukan tidak mengalami terpaan angin, tetapi ia tetap kokoh bertahan ketika angin datang menerpa. Tuhan Yesus menjelaskan prinsip ini ibarat ranting yang melekat pada pokok anggur, di mana pokok itu adalah diri-Nya sendiri. "Akulah pokok anggur yang benar dan Bapa-Kulah pengusahanya...Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu. Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal pada pokok anggur, demikian juga kamu tidak berbuah, jikalau kamu tidak tinggal di dalam Aku." (Yohanes 15:1, 4). Ranting yang melekat erat pada pokok akan mendapatkan getah yang membuatnya potensial berbuah lebat.
Pemazmur juga menggambarkan bahwa pohon yang ditanam di tepi aliran air potensial untuk berakar, bertumbuh dan berbuah. Ungkapan hendaklah hidupmu tetap secara gramatikal merupakan kata kerja perintah untuk hidup secara konsisten, tidak mudah berubah, tidak mudah goyah di segala keadaan. Suatu tindakan yang harus selalu diupayakan dari dalam diri sendiri di atas segala situasi atau kondisi yang tengah dialami.
Agar dapat menjadi orang Kristen yang konsisten, yang tidak dipengaruhi situasi atau keadaan yang ada, kita harus tetap hidup di dalam Kristus.
Friday, August 5, 2016
SYARAT MENDAPATKAN KESELAMATAN
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 5 Agustus 2016
Baca: Yohanes 3:14-21
"Barangsiapa percaya kepada-Nya, ia tidak akan dihukum; barangsiapa tidak percaya, ia telah berada di bawah hukuman, sebab ia tidak percaya dalam nama Anak Tunggal Allah." Yohanes 3:18
Untuk mendapatkan sesuatu berbagai upaya dilakukan manusia. Ada yang berani menempuh cara-cara tidak wajar (tidak halal), semisal: mencuri, korupsi, merampok. Ada pula yang melakukan dengan cara yang baik dan sesuai prosedur, bekerja dan mengumpulkan uang sedikit demi sedikit, dan bila uang sudah terkumpul barulah ia membeli sesuatu yang diinginkan. Tetapi ada pula orang yang mendapatkan sesuatu secara gratis atau pemberian cuma-cuma dari orang lain.
Mungkinkah kita memperoleh keselamatan dengan hanya berbuat baik? Apakah hal itu sudah sepadan dengan dosa-dosa yang telah kita perbuat atau cukup menebus dosa-dosa kita? Sampai kapan pun kita tidak akan pernah bisa melunasi hutang dosa kita. Apalagi menempuhnya dengan cara yang tidak baik, mustahil manusia mendapatkan keselamatan. Alkitab menegaskan bahwa keselamatan manusia dari dosa hanya diperoleh melalui pemberian secara cuma-cuma atau kasih karunia Tuhan. "Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri." (Efesus 2:8-9). Hal senada disampaikan rasul Paulus kepada Timotius, "Dialah yang menyelamatkan kita dan memanggil kita dengan panggilan kudus, bukan berdasarkan perbuatan kita, melainkan berdasarkan maksud dan kasih karunia-Nya sendiri, yang telah dikaruniakan kepada kita dalam Kristus Yesus sebelum permulaan zaman" (2 Timotius 1:9).
Syarat mutlak memeroleh keselamatan: percaya dan beriman kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat. "Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku." (Yohanes 14:6b). Yesus Kristus satu-satunya jalan memperoleh keselamatan, bukan salah satu jalan, sebab "...keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan." (Kisah 4:12).
Melalui penebusan Yesus Kristus di kayu salib hutang dosa manusia telah lunas dibayar!
Baca: Yohanes 3:14-21
"Barangsiapa percaya kepada-Nya, ia tidak akan dihukum; barangsiapa tidak percaya, ia telah berada di bawah hukuman, sebab ia tidak percaya dalam nama Anak Tunggal Allah." Yohanes 3:18
Untuk mendapatkan sesuatu berbagai upaya dilakukan manusia. Ada yang berani menempuh cara-cara tidak wajar (tidak halal), semisal: mencuri, korupsi, merampok. Ada pula yang melakukan dengan cara yang baik dan sesuai prosedur, bekerja dan mengumpulkan uang sedikit demi sedikit, dan bila uang sudah terkumpul barulah ia membeli sesuatu yang diinginkan. Tetapi ada pula orang yang mendapatkan sesuatu secara gratis atau pemberian cuma-cuma dari orang lain.
Mungkinkah kita memperoleh keselamatan dengan hanya berbuat baik? Apakah hal itu sudah sepadan dengan dosa-dosa yang telah kita perbuat atau cukup menebus dosa-dosa kita? Sampai kapan pun kita tidak akan pernah bisa melunasi hutang dosa kita. Apalagi menempuhnya dengan cara yang tidak baik, mustahil manusia mendapatkan keselamatan. Alkitab menegaskan bahwa keselamatan manusia dari dosa hanya diperoleh melalui pemberian secara cuma-cuma atau kasih karunia Tuhan. "Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri." (Efesus 2:8-9). Hal senada disampaikan rasul Paulus kepada Timotius, "Dialah yang menyelamatkan kita dan memanggil kita dengan panggilan kudus, bukan berdasarkan perbuatan kita, melainkan berdasarkan maksud dan kasih karunia-Nya sendiri, yang telah dikaruniakan kepada kita dalam Kristus Yesus sebelum permulaan zaman" (2 Timotius 1:9).
Syarat mutlak memeroleh keselamatan: percaya dan beriman kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat. "Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku." (Yohanes 14:6b). Yesus Kristus satu-satunya jalan memperoleh keselamatan, bukan salah satu jalan, sebab "...keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan." (Kisah 4:12).
Melalui penebusan Yesus Kristus di kayu salib hutang dosa manusia telah lunas dibayar!
Thursday, August 4, 2016
ALLAH PEMRAKARSA KESELAMATAN
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 4 Agustus 2016
Baca: Yohanes 3:14-21
"Sebab Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia." Yohanes 3:17
Keselamatan merupakan tema utama dari Alkitab Perjanjian Lama maupun Baru. Pusat keselamatan adalah Yesus Kristus. Ada dua aspek mendasar dari keselamatan: a. Segenap karya Allah dalam membawa manusia keluar dari hukuman menuju pembenaran, dari kematian kekal kepada kehidupan kekal, dari seteru Allah menjadi sekutu Allah. b. Keselamatan mencakup segala anugerah yang ada dalam Yesus Kristus, pada kehidupan kini maupun kehidupan yang akan datang.
Keselamatan adalah prakarsa Allah atau inisiatif dari Allah sendiri, sebab manusia berdosa tidak akan pernah dapat menyelamatkan dirinya sendiri dari belenggu dosa. Terbelenggu dosa mengakibatkan manusia memiliki kecenderungan melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Seperti anak panah yang meleset dari sasaran, itulah arti kata dosa. Dosa mengakibatkan manusia mengalami kehancuran dan kehilangan kemuliaan Allah. Dosa inilah yang memengaruhi hubungan manusia dengan Allah. "tetapi yang merupakan pemisah antara kamu dan Allahmu ialah segala kejahatanmu, dan yang membuat Dia menyembunyikan diri terhadap kamu, sehingga Ia tidak mendengar, ialah segala dosamu." (Yesaya 59:2). Namun apa yang menyebabkan manusia menjadi istimewa di mata Allah sehingga Ia berinisiatif menyelamatkannya? Alasan utama adalah kasih. Kasih dan keadilan Allah selalu berjalan beriringan tanpa saling berbenturan. Secara adil, Allah akan menghukum semua orang yang berbuat dosa, "Sebab upah dosa ialah maut;" (Roma 6:23). Dalam keberadaan manusia yang terbelenggu dosa mustahil manusia dapat memperoleh keselamatan kekal dengan upaya atau usaha sendiri. Hal itulah yang mendorong Allah melakukan tindakan kasih karena Ia tidak ingin manusia yang dikasihi-Nya terbelenggu dalam dosa dan mengalami kebinasaan kekal.
Allah membuktikan kasih-Nya kepada manusia, Ia mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, Yesus Kristus, datang ke dunia menebus dosa manusia (baca Yohanes 3:16).
"Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa." Roma 5:8
Baca: Yohanes 3:14-21
"Sebab Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia." Yohanes 3:17
Keselamatan merupakan tema utama dari Alkitab Perjanjian Lama maupun Baru. Pusat keselamatan adalah Yesus Kristus. Ada dua aspek mendasar dari keselamatan: a. Segenap karya Allah dalam membawa manusia keluar dari hukuman menuju pembenaran, dari kematian kekal kepada kehidupan kekal, dari seteru Allah menjadi sekutu Allah. b. Keselamatan mencakup segala anugerah yang ada dalam Yesus Kristus, pada kehidupan kini maupun kehidupan yang akan datang.
Keselamatan adalah prakarsa Allah atau inisiatif dari Allah sendiri, sebab manusia berdosa tidak akan pernah dapat menyelamatkan dirinya sendiri dari belenggu dosa. Terbelenggu dosa mengakibatkan manusia memiliki kecenderungan melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Seperti anak panah yang meleset dari sasaran, itulah arti kata dosa. Dosa mengakibatkan manusia mengalami kehancuran dan kehilangan kemuliaan Allah. Dosa inilah yang memengaruhi hubungan manusia dengan Allah. "tetapi yang merupakan pemisah antara kamu dan Allahmu ialah segala kejahatanmu, dan yang membuat Dia menyembunyikan diri terhadap kamu, sehingga Ia tidak mendengar, ialah segala dosamu." (Yesaya 59:2). Namun apa yang menyebabkan manusia menjadi istimewa di mata Allah sehingga Ia berinisiatif menyelamatkannya? Alasan utama adalah kasih. Kasih dan keadilan Allah selalu berjalan beriringan tanpa saling berbenturan. Secara adil, Allah akan menghukum semua orang yang berbuat dosa, "Sebab upah dosa ialah maut;" (Roma 6:23). Dalam keberadaan manusia yang terbelenggu dosa mustahil manusia dapat memperoleh keselamatan kekal dengan upaya atau usaha sendiri. Hal itulah yang mendorong Allah melakukan tindakan kasih karena Ia tidak ingin manusia yang dikasihi-Nya terbelenggu dalam dosa dan mengalami kebinasaan kekal.
Allah membuktikan kasih-Nya kepada manusia, Ia mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, Yesus Kristus, datang ke dunia menebus dosa manusia (baca Yohanes 3:16).
"Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa." Roma 5:8
Wednesday, August 3, 2016
ORANG FARISI DAN PEMUNGUT CUKAI (2)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 3 Agustus 2016
Baca: Lukas 18:9-14
"Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan." Lukas 18:14b
Sekalipun orang Farisi secara kasat mata tampak taat melakukan hukum Tuhan, sesungguhnya mereka hidup dalam kepura-puraan dan kemunafikan; ibadah dan pelayanan yang dilakukan semata-mata hanya untuk mencari popularitas dan pujian manusia. Karena itu Tuhan Yesus mengecam mereka dengan keras! "Sebab itu turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya." (Matius 23:3). Banyak orang Kristen membanggakan diri tentang ibadah dan pelayanan yang dilakukan, lalu menganggap rendah orang lain. Bukankah hal ini mengindikasikan bahwa kita sombong? Seharusnya ketaatan dan kesetiaan kita dalam ibadah dan pelayanan menjadikan kita lebih rendah hati. "Demikian jugalah kamu. Apabila kamu telah melakukan segala sesuatu yang ditugaskan kepadamu, hendaklah kamu berkata: Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan." (Lukas 17:10).
Pemungut cukai adalah tukang pajak, bertugas menagih pajak dari rakyat untuk pemerintah Romawi, dikenal sebagai tukang peras dan suka menyelewengkan keuangan, yang di kalangan masyarakat Yahudi disamakan dengan orang najis dan pendosa. Menurut mata manusia mereka adalah orang yang tidak layak di hadapan Tuhan, karena itu ia "...berdiri jauh-jauh, bahkan ia tidak berani menengadah ke langit," (Lukas 18:13).
Apakah yang menyebabkan pemungut cukai ini pulang dengan mendapatkan pembenaran dari Tuhan? Tuhan membenci perbuatan dosa, tetapi Ia mengasihi orang berdosa, terlebih-lebih mereka yang mau bertobat dan meninggalkan dosa-dosanya. Pemungut cukai ini datang merendahkan diri di hadapan Tuhan karena sadar ia pendosa. Sambil mengakui dosanya ia memukul-mukul dirinya tanda penyesalan yang dalam. "Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan." (1 Yohanes 1:9).
Sikap mau merendahkan diri dan bertobat dengan sungguh-sungguh inilah yang menyebabkan Tuhan membenarkan pemungut cukai ini.
Baca: Lukas 18:9-14
"Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan." Lukas 18:14b
Sekalipun orang Farisi secara kasat mata tampak taat melakukan hukum Tuhan, sesungguhnya mereka hidup dalam kepura-puraan dan kemunafikan; ibadah dan pelayanan yang dilakukan semata-mata hanya untuk mencari popularitas dan pujian manusia. Karena itu Tuhan Yesus mengecam mereka dengan keras! "Sebab itu turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya." (Matius 23:3). Banyak orang Kristen membanggakan diri tentang ibadah dan pelayanan yang dilakukan, lalu menganggap rendah orang lain. Bukankah hal ini mengindikasikan bahwa kita sombong? Seharusnya ketaatan dan kesetiaan kita dalam ibadah dan pelayanan menjadikan kita lebih rendah hati. "Demikian jugalah kamu. Apabila kamu telah melakukan segala sesuatu yang ditugaskan kepadamu, hendaklah kamu berkata: Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan." (Lukas 17:10).
Pemungut cukai adalah tukang pajak, bertugas menagih pajak dari rakyat untuk pemerintah Romawi, dikenal sebagai tukang peras dan suka menyelewengkan keuangan, yang di kalangan masyarakat Yahudi disamakan dengan orang najis dan pendosa. Menurut mata manusia mereka adalah orang yang tidak layak di hadapan Tuhan, karena itu ia "...berdiri jauh-jauh, bahkan ia tidak berani menengadah ke langit," (Lukas 18:13).
Apakah yang menyebabkan pemungut cukai ini pulang dengan mendapatkan pembenaran dari Tuhan? Tuhan membenci perbuatan dosa, tetapi Ia mengasihi orang berdosa, terlebih-lebih mereka yang mau bertobat dan meninggalkan dosa-dosanya. Pemungut cukai ini datang merendahkan diri di hadapan Tuhan karena sadar ia pendosa. Sambil mengakui dosanya ia memukul-mukul dirinya tanda penyesalan yang dalam. "Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan." (1 Yohanes 1:9).
Sikap mau merendahkan diri dan bertobat dengan sungguh-sungguh inilah yang menyebabkan Tuhan membenarkan pemungut cukai ini.
Tuesday, August 2, 2016
ORANG FARISI DAN PEMUNGUT CUKAI (1)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 2 Agustus 2016
Baca: Lukas 18:9-14
"Ada dua orang pergi ke Bait Allah untuk berdoa; yang seorang adalah Farisi dan yang lain pemungut cukai." Lukas 18:10
Dalam pembacaan firman ini kita mendapatkan pelajaran berharga dari kehidupan dua orang yang memiliki latar belakang hidup yang bertolak belakang: 1. Orang Farisi, orang yang menganggap diri sendiri sebagai orang yang benar, suci dan saleh. 2. Pemungut cukai, seorang yang merasa diri sebagai seorang pendosa. Keduanya adalah sama-sama orang Yahudi dan sama-sama pergi ke bait Tuhan. Mereka berdoa kepada Tuhan yang sama, namun mereka mendapatkan jawaban doa yang berbeda: orang Farisi tidak beroleh pembenaran di hadapan Tuhan, sedangkan pemungut cukai pulang sebagai orang yang dibenarkan oleh Tuhan.
Apa yang membuat Tuhan memberikan penilaian berbeda? Orang Farisi adalah salah satu kelompok keagamaan masyarakat Yahudi yang betul-betul menegakkan dan menaati Taurat secara teliti. Karena ketaatannya melakukan hukum Taurat ini mereka menganggap diri sebagai orang yang benar, suci dan saleh. Itulah sebabnya ketika berdoa di bait Tuhan ia memuji dirinya sendiri di hadapan Tuhan dengan mengatakan bahwa ia telah melakukan semua hukum Tuhan, dan bahkan berani membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain: "...aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini; aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku." (ayat 11-12). Orang Farisi memang orang yang terkenal sangat fanatik dalam menjalankan hukum, dan ketaatannya menjalani ibadah dan pelayanan patut diteladani. Lalu apa yang salah dari orang Farisi ini? Karena ia menganggap dirinya benar (menurut penilaian sendiri) dan memandang rendah orang lain. Kata menganggap dirinya benar dapat diterjemahkan menjadi yakin. Orang Farisi merasa sangat yakin terhadap dirinya sendiri karena merasa sudah menaati hukum Taurat tanpa ada yang terlewatkan.
Keyakinan ini adalah kesalahan fatal karena yang menilai benar adalah dirinya sendiri, bukan Tuhan yang memberikan penilaian. Padahal jika Tuhan yang menilai, semua manusia yang ada di muka bumi ini "Tidak ada yang benar, seorangpun tidak." (Roma 3:10). (Bersambung).
Baca: Lukas 18:9-14
"Ada dua orang pergi ke Bait Allah untuk berdoa; yang seorang adalah Farisi dan yang lain pemungut cukai." Lukas 18:10
Dalam pembacaan firman ini kita mendapatkan pelajaran berharga dari kehidupan dua orang yang memiliki latar belakang hidup yang bertolak belakang: 1. Orang Farisi, orang yang menganggap diri sendiri sebagai orang yang benar, suci dan saleh. 2. Pemungut cukai, seorang yang merasa diri sebagai seorang pendosa. Keduanya adalah sama-sama orang Yahudi dan sama-sama pergi ke bait Tuhan. Mereka berdoa kepada Tuhan yang sama, namun mereka mendapatkan jawaban doa yang berbeda: orang Farisi tidak beroleh pembenaran di hadapan Tuhan, sedangkan pemungut cukai pulang sebagai orang yang dibenarkan oleh Tuhan.
Apa yang membuat Tuhan memberikan penilaian berbeda? Orang Farisi adalah salah satu kelompok keagamaan masyarakat Yahudi yang betul-betul menegakkan dan menaati Taurat secara teliti. Karena ketaatannya melakukan hukum Taurat ini mereka menganggap diri sebagai orang yang benar, suci dan saleh. Itulah sebabnya ketika berdoa di bait Tuhan ia memuji dirinya sendiri di hadapan Tuhan dengan mengatakan bahwa ia telah melakukan semua hukum Tuhan, dan bahkan berani membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain: "...aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini; aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku." (ayat 11-12). Orang Farisi memang orang yang terkenal sangat fanatik dalam menjalankan hukum, dan ketaatannya menjalani ibadah dan pelayanan patut diteladani. Lalu apa yang salah dari orang Farisi ini? Karena ia menganggap dirinya benar (menurut penilaian sendiri) dan memandang rendah orang lain. Kata menganggap dirinya benar dapat diterjemahkan menjadi yakin. Orang Farisi merasa sangat yakin terhadap dirinya sendiri karena merasa sudah menaati hukum Taurat tanpa ada yang terlewatkan.
Keyakinan ini adalah kesalahan fatal karena yang menilai benar adalah dirinya sendiri, bukan Tuhan yang memberikan penilaian. Padahal jika Tuhan yang menilai, semua manusia yang ada di muka bumi ini "Tidak ada yang benar, seorangpun tidak." (Roma 3:10). (Bersambung).
Monday, August 1, 2016
PERKATAAN YANG TEPAT PADA WAKTUNYA
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 1 Agustus 2016
Baca: Amsal 17:1-28
"Orang yang berpengetahuan menahan perkataannya, orang yang berpengertian berkepala dingin." Amsal 17:27
Ada peribahasa 'dalamnya laut dapat diduga, tetapi dalamnya hati siapa yang tahu.' Ini menyiratkan bahwa isi hati seseorang tidak dapat ditebak. Bisa saja orang tampak ramah dan sopan, tetapi begitu kepentingan pribadinya terusik secepat kilat ia berubah menjadi garang, lalu keluarlah perkataan pedas dan menyakitkan sehingga menimbulkan kesalahpahaman dan memicu terjadinya konflik. Alkitab memperingatkan: "Di dalam banyak bicara pasti ada pelanggaran, tetapi siapa yang menahan bibirnya, berakal budi." (Amsal 10:19). Perkataan yang tidak dikendalikan secara bijaksana dapat membuat syak dalam hati, menyinggung perasaan dan akhirnya merusak hubungan yang sudah terjalin sebelumnya. "Janganlah kamu menimbulkan syak dalam hati orang, baik orang Yahudi atau orang Yunani, maupun Jemaat Allah." (1 Korintus 10:32).
Firman Tuhan menasihati agar kita selalu berhati-hati dalam berkata-kata, dan seyogianya kata-kata kita diucapkan di tempat yang tepat dan pada waktu yang tepat pula. "Perkataan yang diucapkan tepat pada waktunya adalah seperti buah apel emas di pinggan perak." (Amsal 25:11). Yang menjadi permasalahan: kita seringkali tidak bisa menahan diri berkata-kata atau berbicara tanpa berpikir terlebih dahulu, padahal kata-kata yang sudah terlanjur diucapkan tidak mungkin ditarik kembali dan pada saatnya kita harus mempertanggungjawabkannya di hadapan Tuhan. "Setiap kata sia-sia yang diucapkan orang harus dipertanggungjawabkannya pada hari penghakiman." (Matius 12:36). Oleh karena itu kalau tidak perlu bicara adalah lebih bijak kita diam, daripada banyak bicara namun perkataan tersebut bukannya membangun tetapi menghancurkan kehidupan orang lain.
Kita harus selalu ingat bahwa setiap perkataan yang keluar dari mulut kita akan diperhatikan dan dipegang oleh orang lain. Berhati-hatilah! Jangan sampai kita salah bicara, sebab hal itu dapat menimbulkan kekecewaan dan akar pahit dalam diri orang lain!
"...supaya dengan perkataan aku dapat memberi semangat baru kepada orang yang letih lesu." Yesaya 50:4a
Baca: Amsal 17:1-28
"Orang yang berpengetahuan menahan perkataannya, orang yang berpengertian berkepala dingin." Amsal 17:27
Ada peribahasa 'dalamnya laut dapat diduga, tetapi dalamnya hati siapa yang tahu.' Ini menyiratkan bahwa isi hati seseorang tidak dapat ditebak. Bisa saja orang tampak ramah dan sopan, tetapi begitu kepentingan pribadinya terusik secepat kilat ia berubah menjadi garang, lalu keluarlah perkataan pedas dan menyakitkan sehingga menimbulkan kesalahpahaman dan memicu terjadinya konflik. Alkitab memperingatkan: "Di dalam banyak bicara pasti ada pelanggaran, tetapi siapa yang menahan bibirnya, berakal budi." (Amsal 10:19). Perkataan yang tidak dikendalikan secara bijaksana dapat membuat syak dalam hati, menyinggung perasaan dan akhirnya merusak hubungan yang sudah terjalin sebelumnya. "Janganlah kamu menimbulkan syak dalam hati orang, baik orang Yahudi atau orang Yunani, maupun Jemaat Allah." (1 Korintus 10:32).
Firman Tuhan menasihati agar kita selalu berhati-hati dalam berkata-kata, dan seyogianya kata-kata kita diucapkan di tempat yang tepat dan pada waktu yang tepat pula. "Perkataan yang diucapkan tepat pada waktunya adalah seperti buah apel emas di pinggan perak." (Amsal 25:11). Yang menjadi permasalahan: kita seringkali tidak bisa menahan diri berkata-kata atau berbicara tanpa berpikir terlebih dahulu, padahal kata-kata yang sudah terlanjur diucapkan tidak mungkin ditarik kembali dan pada saatnya kita harus mempertanggungjawabkannya di hadapan Tuhan. "Setiap kata sia-sia yang diucapkan orang harus dipertanggungjawabkannya pada hari penghakiman." (Matius 12:36). Oleh karena itu kalau tidak perlu bicara adalah lebih bijak kita diam, daripada banyak bicara namun perkataan tersebut bukannya membangun tetapi menghancurkan kehidupan orang lain.
Kita harus selalu ingat bahwa setiap perkataan yang keluar dari mulut kita akan diperhatikan dan dipegang oleh orang lain. Berhati-hatilah! Jangan sampai kita salah bicara, sebab hal itu dapat menimbulkan kekecewaan dan akar pahit dalam diri orang lain!
"...supaya dengan perkataan aku dapat memberi semangat baru kepada orang yang letih lesu." Yesaya 50:4a
Sunday, July 31, 2016
HABEL: Memberi Dengan Motivasi Benar
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 31 Juli 2016
Baca: Ibrani 11:1-4
"Karena iman Habel telah mempersembahkan kepada Allah korban yang lebih baik dari pada korban Kain. Dengan jalan itu ia memperoleh kesaksian kepadanya, bahwa ia benar, karena Allah berkenan akan persembahannya itu dan karena iman ia masih berbicara, sesudah ia mati." Ibrani 11:4
Surat Ibrani ini mencatat bahwa Habel termasuk salah satu saksi iman, yang karena imannya persembahannya diterima dan diindahkan Tuhan. Ayat nas menyatakan bahwa persembahan Habel lebih baik dari persembahan kakaknya, Kain. Kata Yunani yang dipakai untuk menyatakan lebih baik adalah pleion yang artinya more excellent. Selain itu ada hal lain yang harus kita perhatikan, bahwa Alkitab menyebut Habel sebagai orang benar, artinya ia memiliki kehidupan seturut kehendak Tuhan. Itulah sebabnya Tuhan berkenan dengan persembahan Habel, dan tidak mengindahkan persembahan Kain.
Apa yang salah dengan persembahan Kain? Tercatat bahwa pekerjaan Kain adalah sebagai petani, karena itu sangatlah wajar bila ia memersembahkan hasil buminya kepada Tuhan. Sementara Habel adalah penggembala kambing domba atau peternak, sudah semestinya pula ia memersembahkan kambing domba sebagai persembahan kepada Tuhan. Perhatikan ayat ini! "Setelah beberapa waktu lamanya, maka Kain mempersembahkan sebagian dari hasil tanah itu kepada TUHAN sebagai korban persembahan; Habel juga mempersembahkan korban persembahan dari anak sulung kambing dombanya, yakni lemak-lemaknya; maka TUHAN mengindahkan Habel dan korban persembahannya itu," (Kejadian 4:3-4). Kain memberi persembahan sebagian kepada Tuhan, sedangkan Habel memersembahkan yang sulung. Kata kuncinya di sini adalah kata sulung yang menunjukkan suatu sikap iman dan penghormatan yang tertinggi kepada Tuhan! Kata sulung berarti yang pertama atau yang terbaik. Dengan kata lain Habel menempatkan Tuhan sebagai yang terutama dalam hidupnya sehingga ia memberi yang terbaik. Ini berbicara tentang sikap hati dalam hal memberi persembahan.
Apa pun yang hendak kita persembahkan kepada Tuhan haruslah dilandasi motivasi yang benar!
Tuhan tidak melihat kuantitas persembahan, tapi yang Ia perhatikan adalah sikap hati si pemberi korban persembahan!
Baca: Ibrani 11:1-4
"Karena iman Habel telah mempersembahkan kepada Allah korban yang lebih baik dari pada korban Kain. Dengan jalan itu ia memperoleh kesaksian kepadanya, bahwa ia benar, karena Allah berkenan akan persembahannya itu dan karena iman ia masih berbicara, sesudah ia mati." Ibrani 11:4
Surat Ibrani ini mencatat bahwa Habel termasuk salah satu saksi iman, yang karena imannya persembahannya diterima dan diindahkan Tuhan. Ayat nas menyatakan bahwa persembahan Habel lebih baik dari persembahan kakaknya, Kain. Kata Yunani yang dipakai untuk menyatakan lebih baik adalah pleion yang artinya more excellent. Selain itu ada hal lain yang harus kita perhatikan, bahwa Alkitab menyebut Habel sebagai orang benar, artinya ia memiliki kehidupan seturut kehendak Tuhan. Itulah sebabnya Tuhan berkenan dengan persembahan Habel, dan tidak mengindahkan persembahan Kain.
Apa yang salah dengan persembahan Kain? Tercatat bahwa pekerjaan Kain adalah sebagai petani, karena itu sangatlah wajar bila ia memersembahkan hasil buminya kepada Tuhan. Sementara Habel adalah penggembala kambing domba atau peternak, sudah semestinya pula ia memersembahkan kambing domba sebagai persembahan kepada Tuhan. Perhatikan ayat ini! "Setelah beberapa waktu lamanya, maka Kain mempersembahkan sebagian dari hasil tanah itu kepada TUHAN sebagai korban persembahan; Habel juga mempersembahkan korban persembahan dari anak sulung kambing dombanya, yakni lemak-lemaknya; maka TUHAN mengindahkan Habel dan korban persembahannya itu," (Kejadian 4:3-4). Kain memberi persembahan sebagian kepada Tuhan, sedangkan Habel memersembahkan yang sulung. Kata kuncinya di sini adalah kata sulung yang menunjukkan suatu sikap iman dan penghormatan yang tertinggi kepada Tuhan! Kata sulung berarti yang pertama atau yang terbaik. Dengan kata lain Habel menempatkan Tuhan sebagai yang terutama dalam hidupnya sehingga ia memberi yang terbaik. Ini berbicara tentang sikap hati dalam hal memberi persembahan.
Apa pun yang hendak kita persembahkan kepada Tuhan haruslah dilandasi motivasi yang benar!
Tuhan tidak melihat kuantitas persembahan, tapi yang Ia perhatikan adalah sikap hati si pemberi korban persembahan!
Saturday, July 30, 2016
BELAJAR UNTUK SELALU BERSYUKUR
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 30 Juli 2016
Baca: Filipi 4:10-20
"Aku tahu apa itu kekurangan dan aku tahu apa itu kelimpahan. Dalam segala hal dan dalam segala perkara tidak ada sesuatu yang merupakan rahasia bagiku;" Filipi 4:12
Sudah rahasia umum jika orang sering sulit mengucap syukur kepada Tuhan ketika sedang diperhadapkan pada banyak kesulitan, masalah, kesukaran atau kekurangan. Bukan perkara mudah mengucap syukur di tengah situasi yang tidak baik! Ini adalah kenyataan! Kita pun menjadi orang-orang Kristen yang bersyarat: kalau sakit sudah disembuhkan, kalau ekonomi sudah dipulihkan, kalau sudah mendapatkan jodoh, kalau keadaan berjalan dengan baik dan diberkati barulah dari mulut kita keluar ucapan syukur dan puji-pujian bagi Tuhan. Kalau seperti itu orang-orang dunia pun bisa berlaku demikian!
Rasul Paulus menasihati, "Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu." (1 Tesalonika 5:18). Kalimat '...dalam segala hal' berarti di segala keadaan, baik atau tidak baik, dalam kelimpahan atau kekurangan, ada masalah atau semua berjalan dengan baik, kita harus bisa mengucap syukur, karena inilah yang dikehendaki Tuhan! Pengalaman hidup bangsa Israel di masa lampau kiranya menjadi peringatan bagi semua orang percaya. Meski hari lepas hari selama menempuh perjalanan di padang gurun mereka telah mengecap kebaikan Tuhan, mengalami pertolongan Tuhan secara ajaib, namun kesemuanya itu tidak membuat mereka berubah. Yang keluar dari mulut mereka bukannya ucapan syukur melainkan omelan, gerutuan, keluh kesah dan persungutan. Bahkan mereka selalu saja membanding-bandingkan keadaan saat masih berada di Mesir, padahal di sana mereka tak lebih hanyalah budak. "Kita teringat kepada ikan yang kita makan di Mesir dengan tidak bayar apa-apa, kepada mentimun dan semangka, bawang prei, bawang merah dan bawang putih. Tetapi sekarang kita kurus kering, tidak ada sesuatu apapun, kecuali manna ini saja yang kita lihat." (Bilangan 11:5-6).
Apa yang dilakukan oleh bangsa Israel menunjukkan rasa ketidakpuasannya terhadap pemeliharaan Tuhan. Apakah selama ini kita juga berlaku seperti bangsa Israel yang tidak pernah puas dengan berkat yang telah Tuhan berikan, sehingga hari-hari yang kita jalani pun dipenuhi persungutan?
Dalam segala keadaan belajarlah untuk selalu mengucap syukur kepada Tuhan!
Baca: Filipi 4:10-20
"Aku tahu apa itu kekurangan dan aku tahu apa itu kelimpahan. Dalam segala hal dan dalam segala perkara tidak ada sesuatu yang merupakan rahasia bagiku;" Filipi 4:12
Sudah rahasia umum jika orang sering sulit mengucap syukur kepada Tuhan ketika sedang diperhadapkan pada banyak kesulitan, masalah, kesukaran atau kekurangan. Bukan perkara mudah mengucap syukur di tengah situasi yang tidak baik! Ini adalah kenyataan! Kita pun menjadi orang-orang Kristen yang bersyarat: kalau sakit sudah disembuhkan, kalau ekonomi sudah dipulihkan, kalau sudah mendapatkan jodoh, kalau keadaan berjalan dengan baik dan diberkati barulah dari mulut kita keluar ucapan syukur dan puji-pujian bagi Tuhan. Kalau seperti itu orang-orang dunia pun bisa berlaku demikian!
Rasul Paulus menasihati, "Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu." (1 Tesalonika 5:18). Kalimat '...dalam segala hal' berarti di segala keadaan, baik atau tidak baik, dalam kelimpahan atau kekurangan, ada masalah atau semua berjalan dengan baik, kita harus bisa mengucap syukur, karena inilah yang dikehendaki Tuhan! Pengalaman hidup bangsa Israel di masa lampau kiranya menjadi peringatan bagi semua orang percaya. Meski hari lepas hari selama menempuh perjalanan di padang gurun mereka telah mengecap kebaikan Tuhan, mengalami pertolongan Tuhan secara ajaib, namun kesemuanya itu tidak membuat mereka berubah. Yang keluar dari mulut mereka bukannya ucapan syukur melainkan omelan, gerutuan, keluh kesah dan persungutan. Bahkan mereka selalu saja membanding-bandingkan keadaan saat masih berada di Mesir, padahal di sana mereka tak lebih hanyalah budak. "Kita teringat kepada ikan yang kita makan di Mesir dengan tidak bayar apa-apa, kepada mentimun dan semangka, bawang prei, bawang merah dan bawang putih. Tetapi sekarang kita kurus kering, tidak ada sesuatu apapun, kecuali manna ini saja yang kita lihat." (Bilangan 11:5-6).
Apa yang dilakukan oleh bangsa Israel menunjukkan rasa ketidakpuasannya terhadap pemeliharaan Tuhan. Apakah selama ini kita juga berlaku seperti bangsa Israel yang tidak pernah puas dengan berkat yang telah Tuhan berikan, sehingga hari-hari yang kita jalani pun dipenuhi persungutan?
Dalam segala keadaan belajarlah untuk selalu mengucap syukur kepada Tuhan!
Friday, July 29, 2016
KENIKMATAN DAN KEPUASAN HIDUP (2)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 29 Juli 2016
Baca: Mazmur 84:1-13
"Betapa disenangi tempat kediaman-Mu, ya TUHAN semesta alam!" Mazmur 84:2
Daud bisa berkelana ke mana saja ia mau, menjelajah tempat-tempat eksotik di mana pun karena ia punya harta kekayaan, tapi satu hal luar biasa yang patut kita teladani, ia justru lebih cinta berada di rumah Tuhan. "TUHAN, aku cinta pada rumah kediaman-Mu dan pada tempat kemuliaan-Mu bersemayam." (Mazmur 26:8), sebab "...lebih baik satu hari di pelataran-Mu dari pada seribu hari di tempat lain; lebih baik berdiri di ambang pintu rumah Allahku dari pada diam di kemah-kemah orang fasik." (Mazmur 84:11). Rasa cintanya terhadap rumah Tuhan melebihi apa pun! bagi Daud berlama-lama di rumah Tuhan pun tidak menjadi masalah, karena ia menikmati persekutuan yang indah dengan Tuhan. Daud begitu merasakan kenikmatan dan kepuasan dalam ibadah karena ia mencintai dan mengasihi Tuhan.
Banyak orang Kristen justru merasa tidak betah jika harus berlama-lama di bait Tuhan dengan berbagai alasan: lagu-lagunya tidak menyenangkan, yang khotbah orang-orang itu saja, isi khotbahnya pun sungguh monoton dan tidak berbobot, sehingga meskipun tubuh jasmani tampak berada di dalam gedung gereja, sesungguhnya pikiran mereka sedang menjelajah ke seluruh dunia. Bagi mereka hal yang memberikan kenikmatan dan kepuasan hidup adalah justru ketika berada di luar jam-jam peribadatan. Inikah yang disebut mengasihi Tuhan? Kalau kita mengasihi Tuhan roh yang menyala-nyala pasti ada di dalam diri kita sehingga ibadah dan pelayanan bukan lagi menjadi suatu beban atau aktivitas yang membosankan, tapi menjadi suatu kenikmatan dan kepuasan yang melebihi perkara apa pun di dunia ini.
Perhatikan! Hari-hari ini kita sedang berada di penghujung zaman, di mana kedatangan Tuhan sudah semakin dekat. Teruskah kita mencari dan mengejar kenikmatan dan kepuasan yang bersumber dari dunia ini? Ataukah kita meneladani Daud yang begitu mengasihi Tuhan dan menempatkan perkara-perkara rohani sebagai yang utama dalam hidupnya? "...carilah perkara yang di atas, di mana Kristus ada, duduk di sebelah kanan Allah. Pikirkanlah perkara yang di atas, bukan yang di bumi." (Kolose 3:1-2).
Kepuasan dan kenikmatan hidup sejati hanya akan kita dapatkan ketika kita bersekutu dengan Tuhan dan menikmati bait-Nya!
Baca: Mazmur 84:1-13
"Betapa disenangi tempat kediaman-Mu, ya TUHAN semesta alam!" Mazmur 84:2
Daud bisa berkelana ke mana saja ia mau, menjelajah tempat-tempat eksotik di mana pun karena ia punya harta kekayaan, tapi satu hal luar biasa yang patut kita teladani, ia justru lebih cinta berada di rumah Tuhan. "TUHAN, aku cinta pada rumah kediaman-Mu dan pada tempat kemuliaan-Mu bersemayam." (Mazmur 26:8), sebab "...lebih baik satu hari di pelataran-Mu dari pada seribu hari di tempat lain; lebih baik berdiri di ambang pintu rumah Allahku dari pada diam di kemah-kemah orang fasik." (Mazmur 84:11). Rasa cintanya terhadap rumah Tuhan melebihi apa pun! bagi Daud berlama-lama di rumah Tuhan pun tidak menjadi masalah, karena ia menikmati persekutuan yang indah dengan Tuhan. Daud begitu merasakan kenikmatan dan kepuasan dalam ibadah karena ia mencintai dan mengasihi Tuhan.
Banyak orang Kristen justru merasa tidak betah jika harus berlama-lama di bait Tuhan dengan berbagai alasan: lagu-lagunya tidak menyenangkan, yang khotbah orang-orang itu saja, isi khotbahnya pun sungguh monoton dan tidak berbobot, sehingga meskipun tubuh jasmani tampak berada di dalam gedung gereja, sesungguhnya pikiran mereka sedang menjelajah ke seluruh dunia. Bagi mereka hal yang memberikan kenikmatan dan kepuasan hidup adalah justru ketika berada di luar jam-jam peribadatan. Inikah yang disebut mengasihi Tuhan? Kalau kita mengasihi Tuhan roh yang menyala-nyala pasti ada di dalam diri kita sehingga ibadah dan pelayanan bukan lagi menjadi suatu beban atau aktivitas yang membosankan, tapi menjadi suatu kenikmatan dan kepuasan yang melebihi perkara apa pun di dunia ini.
Perhatikan! Hari-hari ini kita sedang berada di penghujung zaman, di mana kedatangan Tuhan sudah semakin dekat. Teruskah kita mencari dan mengejar kenikmatan dan kepuasan yang bersumber dari dunia ini? Ataukah kita meneladani Daud yang begitu mengasihi Tuhan dan menempatkan perkara-perkara rohani sebagai yang utama dalam hidupnya? "...carilah perkara yang di atas, di mana Kristus ada, duduk di sebelah kanan Allah. Pikirkanlah perkara yang di atas, bukan yang di bumi." (Kolose 3:1-2).
Kepuasan dan kenikmatan hidup sejati hanya akan kita dapatkan ketika kita bersekutu dengan Tuhan dan menikmati bait-Nya!
Thursday, July 28, 2016
KENIKMATAN DAN KEPUASAN HIDUP (1)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 28 Juli 2016
Baca: Mazmur 27:1-14
"Satu hal telah kuminta kepada TUHAN, itulah yang kuingini: diam di rumah TUHAN seumur hidupku, menyaksikan kemurahan TUHAN dan menikmati bait-Nya." Mazmur 27:4
Semua orang mendambakan kenikmatan dan kepuasan dalam menjalani hidup di dunia ini. Kebanyakan beranggapan bahwa hal itu dapat dirasakan ketika memiliki uang yang banyak atau kekayaan yang berlimpah. Ada yang berkata bahwa hal yang membuatnya nikmat dan puas adalah apabila bisa berkeliling dunia, atau ketika ia bisa makan makanan mewah dan tidur di hotel yang berbintang.
Semua orang berpikir bahwa dengan uang dan kekayaan mereka bisa membeli apa saja, melakukan apa pun, pergi ke mana saja sehingga semua keinginan dapat terwujud; itulah nikmat dan puasnya hidup ini. Benarkah demikian? Pengkhotbah menulis: "Siapa mencintai uang tidak akan puas dengan uang, dan siapa mencintai kekayaan tidak akan puas dengan penghasilannya. Inipun sia-sia." (Pengkhotbah 5:9). Banyak orang sudah memiliki segala-galanya tetapi tidak pernah merasakan kenikmatan dan kepuasan hidup, selalu saja ada yang kurang. Berbeda dengan pemazmur, dalam hal ini Daud, yang ketika menulis mazmur ini sudah menjadi raja Israel. Sebagai raja dari sebuah kerajaan besar Daud tentu bisa melakukan apa saja untuk mewujudkan semua keinginan hatinya dan memuaskan hasratnya, karena ia memiliki fasilitas-fasilitas: popularitas, kekuasaan, harta kekayaan, pasukan militer. Namun faktanya semua materi duniawi tidak serta merta memberikan kenikmatan dan kepuasan dalam diri Daud.
Daud menemukan kenikmatan dan kepuasan hidup sejati ketika berada dalam bait Tuhan yang kudus. Artinya tidak ada kenikmatan dan kepuasan di dunia ini yang mampu mengalahkan kenikmatan dan kepuasan Daud ketika berada di rumah Tuhan, membangun persekutuan yang karib dengan Tuhan dan mengalami perjumpaan secara pribadi dengan Tuhan. Hal itu tersirat dari pernyataan Daud, "...diam di rumah TUHAN seumur hidupku, menyaksikan kemurahan TUHAN dan menikmati bait-Nya." (ayat nas).
Materi duniawi takkan memberikan kenikmatan dan kepuasan hidup!
Baca: Mazmur 27:1-14
"Satu hal telah kuminta kepada TUHAN, itulah yang kuingini: diam di rumah TUHAN seumur hidupku, menyaksikan kemurahan TUHAN dan menikmati bait-Nya." Mazmur 27:4
Semua orang mendambakan kenikmatan dan kepuasan dalam menjalani hidup di dunia ini. Kebanyakan beranggapan bahwa hal itu dapat dirasakan ketika memiliki uang yang banyak atau kekayaan yang berlimpah. Ada yang berkata bahwa hal yang membuatnya nikmat dan puas adalah apabila bisa berkeliling dunia, atau ketika ia bisa makan makanan mewah dan tidur di hotel yang berbintang.
Semua orang berpikir bahwa dengan uang dan kekayaan mereka bisa membeli apa saja, melakukan apa pun, pergi ke mana saja sehingga semua keinginan dapat terwujud; itulah nikmat dan puasnya hidup ini. Benarkah demikian? Pengkhotbah menulis: "Siapa mencintai uang tidak akan puas dengan uang, dan siapa mencintai kekayaan tidak akan puas dengan penghasilannya. Inipun sia-sia." (Pengkhotbah 5:9). Banyak orang sudah memiliki segala-galanya tetapi tidak pernah merasakan kenikmatan dan kepuasan hidup, selalu saja ada yang kurang. Berbeda dengan pemazmur, dalam hal ini Daud, yang ketika menulis mazmur ini sudah menjadi raja Israel. Sebagai raja dari sebuah kerajaan besar Daud tentu bisa melakukan apa saja untuk mewujudkan semua keinginan hatinya dan memuaskan hasratnya, karena ia memiliki fasilitas-fasilitas: popularitas, kekuasaan, harta kekayaan, pasukan militer. Namun faktanya semua materi duniawi tidak serta merta memberikan kenikmatan dan kepuasan dalam diri Daud.
Daud menemukan kenikmatan dan kepuasan hidup sejati ketika berada dalam bait Tuhan yang kudus. Artinya tidak ada kenikmatan dan kepuasan di dunia ini yang mampu mengalahkan kenikmatan dan kepuasan Daud ketika berada di rumah Tuhan, membangun persekutuan yang karib dengan Tuhan dan mengalami perjumpaan secara pribadi dengan Tuhan. Hal itu tersirat dari pernyataan Daud, "...diam di rumah TUHAN seumur hidupku, menyaksikan kemurahan TUHAN dan menikmati bait-Nya." (ayat nas).
Materi duniawi takkan memberikan kenikmatan dan kepuasan hidup!
Wednesday, July 27, 2016
DATANG DAN PERGI DENGAN TANGAN KOSONG
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 27 Juli 2016
Baca: 1 Timotius 6:7-21
"Sebab kita tidak membawa sesuatu apa ke dalam dunia dan kitapun tidak dapat membawa apa-apa ke luar." 1 Timotius 6:7
Rasul Paulus menasihati, "...perhatikanlah dengan saksama, bagaimana kamu hidup, janganlah seperti orang bebal, tetapi seperti orang arif," (Efesus 5:15).
Mengapa kita harus memerhatikan hidup kita dengan saksama? Karena ada banyak fakta dalam kehidupan ini yang seringkali tidak kita sadari atau mungkin sengaja kita abaikan sehingga dalam menjalani hidup ini kita tidak berlaku bijak dan arif. Fakta itu di antaranya adalah hidup ini sangatlah singkat (baca Mazmur 90:3-6), hidup manusia dibatasi oleh usia (baca Mazmur 90:10), dan hanya sekali saja (baca Pengkhotbah 9:5). Hal penting lain yang harus selalu disadari adalah kita datang ke dunia ini dengan tidak membawa suatu apa pun, begitu pula kelak ketika kita pergi meninggalkan dunia ini kita pun akan pergi dengan tangan kosong. Ayub menyadari fakta ini: "Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN!" (Ayub 1:21).
Perihal ini Paulus mengutus Timotius memeringatkan orang-orang kaya "...agar mereka jangan tinggi hati dan jangan berharap pada sesuatu yang tak tentu seperti kekayaan, melainkan pada Allah yang dalam kekayaan-Nya memberikan kepada kita segala sesuatu untuk dinikmati. Peringatkanlah agar mereka itu berbuat baik, menjadi kaya dalam kebajikan, suka memberi dan membagi dan dengan demikian mengumpulkan suatu harta sebagai dasar yang baik bagi dirinya di waktu yang akan datang untuk mencapai hidup yang sebenarnya." (1 Timotius 6:17-19).
Menyadari fakta bahwa kita datang dan pergi dengan tangan kosong akan membantu kita menjalani hidup dengan bergantung sepenuhnya kepada Tuhan, bukan kepada harta kekayaan; dan kesadaran bahwa harta kekayaan adalah fana akan membebaskan kita dari keserakahan. Kita tidak perlu dengan serakah mencari dan mengejar harta kekayaan duniawi yang sifatnya hanya sementara saja. Alkitab menyatakan bahwa orang yang serakah tidak akan mendapat tempat di dalam kerajaan sorga (baca Efesus 5:5).
Oleh karena itu kumpulkanlah harta di sorga, bukan harta di bumi!
Baca: 1 Timotius 6:7-21
"Sebab kita tidak membawa sesuatu apa ke dalam dunia dan kitapun tidak dapat membawa apa-apa ke luar." 1 Timotius 6:7
Rasul Paulus menasihati, "...perhatikanlah dengan saksama, bagaimana kamu hidup, janganlah seperti orang bebal, tetapi seperti orang arif," (Efesus 5:15).
Mengapa kita harus memerhatikan hidup kita dengan saksama? Karena ada banyak fakta dalam kehidupan ini yang seringkali tidak kita sadari atau mungkin sengaja kita abaikan sehingga dalam menjalani hidup ini kita tidak berlaku bijak dan arif. Fakta itu di antaranya adalah hidup ini sangatlah singkat (baca Mazmur 90:3-6), hidup manusia dibatasi oleh usia (baca Mazmur 90:10), dan hanya sekali saja (baca Pengkhotbah 9:5). Hal penting lain yang harus selalu disadari adalah kita datang ke dunia ini dengan tidak membawa suatu apa pun, begitu pula kelak ketika kita pergi meninggalkan dunia ini kita pun akan pergi dengan tangan kosong. Ayub menyadari fakta ini: "Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN!" (Ayub 1:21).
Perihal ini Paulus mengutus Timotius memeringatkan orang-orang kaya "...agar mereka jangan tinggi hati dan jangan berharap pada sesuatu yang tak tentu seperti kekayaan, melainkan pada Allah yang dalam kekayaan-Nya memberikan kepada kita segala sesuatu untuk dinikmati. Peringatkanlah agar mereka itu berbuat baik, menjadi kaya dalam kebajikan, suka memberi dan membagi dan dengan demikian mengumpulkan suatu harta sebagai dasar yang baik bagi dirinya di waktu yang akan datang untuk mencapai hidup yang sebenarnya." (1 Timotius 6:17-19).
Menyadari fakta bahwa kita datang dan pergi dengan tangan kosong akan membantu kita menjalani hidup dengan bergantung sepenuhnya kepada Tuhan, bukan kepada harta kekayaan; dan kesadaran bahwa harta kekayaan adalah fana akan membebaskan kita dari keserakahan. Kita tidak perlu dengan serakah mencari dan mengejar harta kekayaan duniawi yang sifatnya hanya sementara saja. Alkitab menyatakan bahwa orang yang serakah tidak akan mendapat tempat di dalam kerajaan sorga (baca Efesus 5:5).
Oleh karena itu kumpulkanlah harta di sorga, bukan harta di bumi!
Tuesday, July 26, 2016
PENGARUH UANG DAN KEKAYAAN BAGI MANUSIA
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 26 Juli 2016
Baca: Lukas 16:1-9
"Apakah yang kudengar tentang engkau? Berilah pertanggungan jawab atas urusanmu, sebab engkau tidak boleh lagi bekerja sebagai bendahara." Lukas 16:2
Tuhan menyampaikan pelajaran berharga kepada murid-murid-Nya tentang pengaruh uang dan kekayaan dalam kehidupan manusia melalui perumpamaan tentang bendahara yang tidak jujur. Dikisahkan ada orang kaya yang memercayakan harta kekayaannya kepada hambanya untuk dikelola, tapi kemudian didapati bahwa hambanya ini telah menyalahgunakan kepercayaan tuannya ini. Tuan kaya ini adalah gambaran dari Tuhan, pemilik segala-galanya. Sedangkan bendahara yang tidak jujur adalah gambaran dari kita.
Tuhan telah memercayakan kepada kita segala sesuatu: talenta, uang, kekayaan, dan sebagainya. Semua berkat yang Tuhan percayakan kepada kita itu bukan bertujuan untuk dinikmati sendiri, tapi harus dikembangkan dan dipergunakan untuk kemuliaan nama Tuhan dan disalurkan untuk memberkati sesama (diberkati untuk memberkati). Jika kita menyalahgunakan berkat yang Tuhan percayakan kita dapat digolongkan sebagai bendahara yang tidak jujur. Jelas sekali bahwa uang dan kekayaan dapat memengaruhi pola pikir dan juga jalan hidup seseorang. Dengan kata lain uang dan kekayaan memiliki kekuatan untuk menjerat dan memikat hati seseorang, "Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada." (Matius 6:21), bahkan dapat memerbudak hidup seseorang. "Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka." (1 Timotius 6:10b). Uang dan kekayaan juga dapat mengubah sikap hati seseorang, dari rendah hati menjadi sombong, sehingga memandang rendah orang lain.
Melalui perumpamaan ini Yesus hendak mengingatkan bahwa uang dan kekayaan adalah sesuatu yang sementara, tidak kekal. Hal itu tersirat dari pernyataan-Nya, "...jika Mamon itu tidak dapat menolong lagi," (ayat 9). Banyak ayat yang mendukung hal itu: kekayaan itu sesuatu yang tidak menentu (baca 1 Timotius 6:17), kekayaan mudah sekali lenyap (baca Amsal 23:5). Apa yang ada pada kita adalah sesuatu yang dipercayakan Tuhan, yang suatu waktu kelak harus kita pertanggungjawabkan di hadapan-Nya.
"...kepada siapa yang banyak dipercayakan, dari padanya akan lebih banyak lagi dituntut." Lukas 12:48b
Baca: Lukas 16:1-9
"Apakah yang kudengar tentang engkau? Berilah pertanggungan jawab atas urusanmu, sebab engkau tidak boleh lagi bekerja sebagai bendahara." Lukas 16:2
Tuhan menyampaikan pelajaran berharga kepada murid-murid-Nya tentang pengaruh uang dan kekayaan dalam kehidupan manusia melalui perumpamaan tentang bendahara yang tidak jujur. Dikisahkan ada orang kaya yang memercayakan harta kekayaannya kepada hambanya untuk dikelola, tapi kemudian didapati bahwa hambanya ini telah menyalahgunakan kepercayaan tuannya ini. Tuan kaya ini adalah gambaran dari Tuhan, pemilik segala-galanya. Sedangkan bendahara yang tidak jujur adalah gambaran dari kita.
Tuhan telah memercayakan kepada kita segala sesuatu: talenta, uang, kekayaan, dan sebagainya. Semua berkat yang Tuhan percayakan kepada kita itu bukan bertujuan untuk dinikmati sendiri, tapi harus dikembangkan dan dipergunakan untuk kemuliaan nama Tuhan dan disalurkan untuk memberkati sesama (diberkati untuk memberkati). Jika kita menyalahgunakan berkat yang Tuhan percayakan kita dapat digolongkan sebagai bendahara yang tidak jujur. Jelas sekali bahwa uang dan kekayaan dapat memengaruhi pola pikir dan juga jalan hidup seseorang. Dengan kata lain uang dan kekayaan memiliki kekuatan untuk menjerat dan memikat hati seseorang, "Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada." (Matius 6:21), bahkan dapat memerbudak hidup seseorang. "Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka." (1 Timotius 6:10b). Uang dan kekayaan juga dapat mengubah sikap hati seseorang, dari rendah hati menjadi sombong, sehingga memandang rendah orang lain.
Melalui perumpamaan ini Yesus hendak mengingatkan bahwa uang dan kekayaan adalah sesuatu yang sementara, tidak kekal. Hal itu tersirat dari pernyataan-Nya, "...jika Mamon itu tidak dapat menolong lagi," (ayat 9). Banyak ayat yang mendukung hal itu: kekayaan itu sesuatu yang tidak menentu (baca 1 Timotius 6:17), kekayaan mudah sekali lenyap (baca Amsal 23:5). Apa yang ada pada kita adalah sesuatu yang dipercayakan Tuhan, yang suatu waktu kelak harus kita pertanggungjawabkan di hadapan-Nya.
"...kepada siapa yang banyak dipercayakan, dari padanya akan lebih banyak lagi dituntut." Lukas 12:48b
Subscribe to:
Posts (Atom)