Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 11 Desember 2015
Baca: Mazmur 78:70-72
"Ia menggembalakan mereka dengan ketulusan hatinya, dan menuntun mereka dengan kecakapan tangannya." Mazmur 78:72
Sebelum menjadi pemimpin suatu bangsa yang besar Daud harus melewati proses ujian kesetiaan dalam perkara-perkara kecil trlebih dahulu. Misal ia harus menggembalakan kawanan domba milik ayahnya yang jumlahnya hanya 2-3 ekor banyaknya. Meski demikian Daud dengan setia dan penuh ketulusan mengerjakan tugas itu tanpa ada persungutan, omelan ataupun keluh kesah, sampai akhirnya Tuhan membuat segala sesuatu indah pada waktunya seperti yang ditulis oleh Asaf: "dipilih-Nya Daud, hamba-Nya, diambil-Nya dia dari antara kandang-kandang kambing domba; dari tempat domba-domba yang menyusui didatangkan-Nya dia, untuk menggembalakan Yakub, umat-Nya, dan Israel, milik-Nya sendiri." (Mazmur 78:70-71). Tuhan memilih Daud karena integritasnya sudah teruji sebagai gembala sehingga akhirnya ia layak memimpin umat Israel. Tuhan mencari orang-orang yang setia dan tulus hati, yang bersedia untuk menggembalakan kawanan domba yang dipercayakan kepadanya.
Selain menggembalakan keluarga, Tuhan juga mengutus kita menggembalakan orang-orang terdekat: kerabat, saudara seiman, sahabat, teman sekolah, teman kerja dan juga tetangga di lingkungan kita. Karena itu, di mana pun dan kapan pun waktunya, kita harus bisa menjadi berkat atau menjadi 'garam dan terang' bagi dunia ini. Jika ada saudara kita yang terjatuh, kita yang kuat harus siap menopangnya. "Sebab itu kuatkanlah tangan yang lemah dan lutut yang goyah;" (Ibrani 12:12).
Di masa-masa seperti sekarang ini ujian dan tantangan semakin besar, bisa berupa masalah, penderitaan, kesesakan, termasuk juga pengaruh tipu daya dunia ini (keinginan daging, keinginan mata serta keangkuhan hidup), sehingga banyak anak Tuhan mengalami kejatuhan yang tadinya setia beribadah dan bersemangat melayani Tuhan sekarang kecewa, marah, mengalami kepahitan dan sebagainya karena mengalami masalah; mereka menjadi suam-suam kuku dan akhirnya terbawa oleh arus dunia ini. Apakah kita akan diam saja dan tidak berbuat sesuatu untuk menolong mereka?
Tuhan menghendaki kita memiliki hati gembala: memperhatikan dan menuntun mereka supaya kembali ke jalan Tuhan, sehingga tidak tersesat dan terhilang.
Friday, December 11, 2015
Thursday, December 10, 2015
SIAPA YANG HARUS DIGEMBALAKAN? (1)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 10 Desember 2015
Baca: 1 Petrus 5:1-11
"Gembalakanlah kawanan domba Allah yang ada padamu, jangan dengan paksa, tetapi dengan sukarela sesuai dengan kehendak Allah, dan jangan karena mau mencari keuntungan, tetapi dengan pengabdian diri." 1 Petrus 5:2
Domba-domba yang tidak digembalakan kemungkinan besar tersesat dan hilang seperti bangsa Israel di zaman nabi Yeremia. "Umat-Ku tadinya seperti domba-domba yang hilang; mereka dibiarkan sesat oleh gembala-gembalanya, dibiarkan mengembara di gunung-gunung, mereka berjalan dari gunung ke bukit sehingga lupa akan tempat pembaringannya." (Yeremia 50:6). Daud juga mengalami hal serupa: "Aku sesat seperti domba yang hilang, carilah hamba-Mu ini, sebab perintah-perintah-Mu tidak kulupakan." (Mazmur 119:176).
Seperti domba yang tersesat dan tidak mempunyai gembala adalah gambaran kehidupan kita sebelum percaya kepada Kristus dan diselamatkan. Kita hidup jauh dari kasih Kristus, berjalan menurut kehendak sendiri dan menyimpang dari kebenaran. "...dahulu kamu sesat seperti domba, tetapi sekarang kamu telah kembali kepada gembala dan pemelihara jiwamu." (1 Petrus 2:25). Mengingat domba yang tersesat rentan ancaman dan bahaya, maka mereka sangat membutuhkan kehadiran gembala. Sebagaimana rasul Petrus mendapatkan mandat dari Tuhan untuk menggembalakan domba-domba, maka tugas ini pun menjadi tanggung jawab semua orang percaya tanpa terkecuali. Pertanyaannya: siapa saja kawanan domba yang harus digembalakan? Pertama adalah gereja inti yaitu keluarga kita. Suami, selaku kepala rumah tangga, bertanggung jawab penuh menggembalakan seluruh anggota keluarga (isteri dan anak-anak). Keluarga adalah domba-domba yang Tuhan percayakan kepada kita. Karena itu suami harus mengasihi isteri dan anak-anaknya, mampu membimbing, menuntun serta membawa seluruh keluarganya untuk lebih mengasihi Tuhan dan bertumbuh di dalam iman melalui teladan hidup yang ia tunjukkan sehari-hari. Menggembalakan berarti bertanggung jawab memelihara, memenuhi kebutuhan termasuk juga mendisiplinkan mereka.
Yang seringkali terjadi ada di antara kita yang tampak sibuk melayani domba-domba yang ada di luar sementara anggota keluarga sendiri diabaikan dan diterlantarkan. (Bersambung)
Baca: 1 Petrus 5:1-11
"Gembalakanlah kawanan domba Allah yang ada padamu, jangan dengan paksa, tetapi dengan sukarela sesuai dengan kehendak Allah, dan jangan karena mau mencari keuntungan, tetapi dengan pengabdian diri." 1 Petrus 5:2
Domba-domba yang tidak digembalakan kemungkinan besar tersesat dan hilang seperti bangsa Israel di zaman nabi Yeremia. "Umat-Ku tadinya seperti domba-domba yang hilang; mereka dibiarkan sesat oleh gembala-gembalanya, dibiarkan mengembara di gunung-gunung, mereka berjalan dari gunung ke bukit sehingga lupa akan tempat pembaringannya." (Yeremia 50:6). Daud juga mengalami hal serupa: "Aku sesat seperti domba yang hilang, carilah hamba-Mu ini, sebab perintah-perintah-Mu tidak kulupakan." (Mazmur 119:176).
Seperti domba yang tersesat dan tidak mempunyai gembala adalah gambaran kehidupan kita sebelum percaya kepada Kristus dan diselamatkan. Kita hidup jauh dari kasih Kristus, berjalan menurut kehendak sendiri dan menyimpang dari kebenaran. "...dahulu kamu sesat seperti domba, tetapi sekarang kamu telah kembali kepada gembala dan pemelihara jiwamu." (1 Petrus 2:25). Mengingat domba yang tersesat rentan ancaman dan bahaya, maka mereka sangat membutuhkan kehadiran gembala. Sebagaimana rasul Petrus mendapatkan mandat dari Tuhan untuk menggembalakan domba-domba, maka tugas ini pun menjadi tanggung jawab semua orang percaya tanpa terkecuali. Pertanyaannya: siapa saja kawanan domba yang harus digembalakan? Pertama adalah gereja inti yaitu keluarga kita. Suami, selaku kepala rumah tangga, bertanggung jawab penuh menggembalakan seluruh anggota keluarga (isteri dan anak-anak). Keluarga adalah domba-domba yang Tuhan percayakan kepada kita. Karena itu suami harus mengasihi isteri dan anak-anaknya, mampu membimbing, menuntun serta membawa seluruh keluarganya untuk lebih mengasihi Tuhan dan bertumbuh di dalam iman melalui teladan hidup yang ia tunjukkan sehari-hari. Menggembalakan berarti bertanggung jawab memelihara, memenuhi kebutuhan termasuk juga mendisiplinkan mereka.
Yang seringkali terjadi ada di antara kita yang tampak sibuk melayani domba-domba yang ada di luar sementara anggota keluarga sendiri diabaikan dan diterlantarkan. (Bersambung)
Wednesday, December 9, 2015
DOMBA YANG TERSESAT
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 9 Desember 2015
Baca: Matius 18:12-14
"Demikian juga Bapamu yang di sorga tidak menghendaki supaya seorangpun dari anak-anak ini hilang." Matius 18:14
Perubahan terbesar dalam diri Petrus terjadi setelah ia mengalami jamahan Roh Kudus di hari Pentakosta. Dengan kata lain, kurang dari dua bulan setelah menyangkal Tuhan Yesus, Petrus mampu bangkit kembali. Karena Roh Kudus yang bekerja di dalam dirinya Petrus beroleh keberanian untuk berdiri dan berkhotbah dengan penuh kuasa, serta tanpa kompromi di hadapan ribuan orang. Ia juga menantang orang banyak untuk percaya dan mengakui Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat. Akhirnya ada sekitar tiga ribu orang dibaptis dan diselamatkan! Hal ini menunjukkan bahwa Petrus merespons panggilan Tuhan untuk 'menggembalakan domba-domba'.
Menggembalakan domba (jiwa-jiwa) itu bukan semata-mata tugas dan tanggung jawab seorang pendeta atau gembala sidang suatu gereja, melainkan semua orang percaya harus turut mengambil peranan di dalamnya. Mengapa domba-domba harus digembalakan? Karena domba-domba termasuk jenis hewan ternak yang mudah tersesat. Mereka selalu merumput dengan posisi kepala menunduduk. Dengan kebiasaan sering menunduk tersebut domba-domba kecenderung untuk mudah terpisah dari kawanannya. Tatkala ia mengangkat kepalanya itulah ia baru menyadari telah terpisah jauh dari kawanannya. Mudah terpisah dari kawanannya adalah kelemahan terbesar setiap domba, karena akan mendatangkan pelbagai jenis bahaya yang mengancam keselamatan jiwanya. Sekali domba tersesat biasanya ia akan semakin terhilang. Tindakan aktif dari sang gembala yang berusaha menemukan kembali domba-dombanya yang tersesat itulah yang dapat mengembalikan mereka pulang ke kandang.
Perilaku domba-domba yang mudah tersesat ini menggambarkan kehidupan umat manusia. Nabi Yesaya menyatakan: "Kita sekalian sesat seperti domba, masing-masing kita mengambil jalannya sendiri," (Yesaya 53:6). Tuhan tidak menghendaki umat kesayangan-Nya mengalami ketersesatan. Itulah sebabnya dengan kasih-Nya Tuhan berkenan mencari domba-dombanya yang tersesat.
Tatkala Gembala yang baik menemukan 'domba' yang tersesat itu ia akan digendong, dibalut luka-lukanya dan hidupnya pun dipulihkan!
Baca: Matius 18:12-14
"Demikian juga Bapamu yang di sorga tidak menghendaki supaya seorangpun dari anak-anak ini hilang." Matius 18:14
Perubahan terbesar dalam diri Petrus terjadi setelah ia mengalami jamahan Roh Kudus di hari Pentakosta. Dengan kata lain, kurang dari dua bulan setelah menyangkal Tuhan Yesus, Petrus mampu bangkit kembali. Karena Roh Kudus yang bekerja di dalam dirinya Petrus beroleh keberanian untuk berdiri dan berkhotbah dengan penuh kuasa, serta tanpa kompromi di hadapan ribuan orang. Ia juga menantang orang banyak untuk percaya dan mengakui Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat. Akhirnya ada sekitar tiga ribu orang dibaptis dan diselamatkan! Hal ini menunjukkan bahwa Petrus merespons panggilan Tuhan untuk 'menggembalakan domba-domba'.
Menggembalakan domba (jiwa-jiwa) itu bukan semata-mata tugas dan tanggung jawab seorang pendeta atau gembala sidang suatu gereja, melainkan semua orang percaya harus turut mengambil peranan di dalamnya. Mengapa domba-domba harus digembalakan? Karena domba-domba termasuk jenis hewan ternak yang mudah tersesat. Mereka selalu merumput dengan posisi kepala menunduduk. Dengan kebiasaan sering menunduk tersebut domba-domba kecenderung untuk mudah terpisah dari kawanannya. Tatkala ia mengangkat kepalanya itulah ia baru menyadari telah terpisah jauh dari kawanannya. Mudah terpisah dari kawanannya adalah kelemahan terbesar setiap domba, karena akan mendatangkan pelbagai jenis bahaya yang mengancam keselamatan jiwanya. Sekali domba tersesat biasanya ia akan semakin terhilang. Tindakan aktif dari sang gembala yang berusaha menemukan kembali domba-dombanya yang tersesat itulah yang dapat mengembalikan mereka pulang ke kandang.
Perilaku domba-domba yang mudah tersesat ini menggambarkan kehidupan umat manusia. Nabi Yesaya menyatakan: "Kita sekalian sesat seperti domba, masing-masing kita mengambil jalannya sendiri," (Yesaya 53:6). Tuhan tidak menghendaki umat kesayangan-Nya mengalami ketersesatan. Itulah sebabnya dengan kasih-Nya Tuhan berkenan mencari domba-dombanya yang tersesat.
Tatkala Gembala yang baik menemukan 'domba' yang tersesat itu ia akan digendong, dibalut luka-lukanya dan hidupnya pun dipulihkan!
Tuesday, December 8, 2015
MENGGEMBALAKAN DOMBA-DOMBA
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 8 Desember 2015
Baca: Yohanes 21:15-19
"Kata Yesus kepadanya: 'Gembalakanlah domba-domba-Ku.'" Yohanes 21:15
Petrus, dikenal sebagai murid yang sangat dekat dan dikasihi Tuhan Yesus, tapi pernah gagal dalam pengiringannya kepada Tuhan karena telah menyangkal Tuhan sebanyak 3x. Bahkan, peristiwa Petrus menyangkal Tuhan Yesus tercatat dalam ke-4 kitab Injil: Matius, Markus, Lukas dan Yohanes. Penyangkalan yang dilakukan Petrus ini bisa disamakan dengan pengkhianatan yang dilakukan oleh Yudas Iskariot. Yang membedakan: Petrus segera menyadari kesalahannya dan bertobat, sementara Yudas Iskariot tidak, sampai akhirnya ia harus mengakhiri hidupnya dengan cara yang tragis yaitu bunuh diri.
Setelah sadar akan kesalahannya karena telah menyangkal-Nya sebanyak tiga kali, Tuhan Yesus pun menguji kesungguhan kasih Petrus. Di tempat yang sama yaitu di tepi Danau Galilea, tempat Tuhan Yesus memanggil Petrus untuk menjadi murid-Nya saat sedang menebarkan jalanya, "Mari, ikutlah Aku, dan kamu akan Kujadikan penjala manusia." (Matius 4:19), di situlah Tuhan Yesus kembali mengingatkan dan mempertanyakan seberapa besar kasih dan komitmen Petrus, sampai-sampai Tuhan mengulang pertanyaannya sebanyak tiga kali: "Tuhan, Engkau tahu segala sesuatu, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau." Setelah mendengar jawaban Petrus, untuk ketiga kalinya pula Tuhan berkata kepada Petrus, "Gembalakanlah domba-domba-Ku." Hal itu menunjukkan bahwa Tuhan sudah mengampuni dan tidak lagi mengingat-ingat kesalahan Petrus di masa lalu. Seperti kata pemazmur, "sejauh timur dari barat, demikian dijauhkan-Nya dari pada kita pelanggaran kita." (Mazmur 103:12).
Suatu anugerah yang luar biasa jika Petrus beroleh kesempatan untuk memperbaiki kesalahan-kesalahannya di masa lalu, dan kembali beroleh kepercayaan untuk melayani dan mengabdikan hidupnya bagi pekerjaan Tuhan. Karena itu "...Akupun berkata kepadamu: Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya." (Matius 16:18).
Setiap orang percaya yang mengaku diri mengasihi Tuhan memiliki tugas dan tanggung jawab menggembalakan kawanan domba.
Baca: Yohanes 21:15-19
"Kata Yesus kepadanya: 'Gembalakanlah domba-domba-Ku.'" Yohanes 21:15
Petrus, dikenal sebagai murid yang sangat dekat dan dikasihi Tuhan Yesus, tapi pernah gagal dalam pengiringannya kepada Tuhan karena telah menyangkal Tuhan sebanyak 3x. Bahkan, peristiwa Petrus menyangkal Tuhan Yesus tercatat dalam ke-4 kitab Injil: Matius, Markus, Lukas dan Yohanes. Penyangkalan yang dilakukan Petrus ini bisa disamakan dengan pengkhianatan yang dilakukan oleh Yudas Iskariot. Yang membedakan: Petrus segera menyadari kesalahannya dan bertobat, sementara Yudas Iskariot tidak, sampai akhirnya ia harus mengakhiri hidupnya dengan cara yang tragis yaitu bunuh diri.
Setelah sadar akan kesalahannya karena telah menyangkal-Nya sebanyak tiga kali, Tuhan Yesus pun menguji kesungguhan kasih Petrus. Di tempat yang sama yaitu di tepi Danau Galilea, tempat Tuhan Yesus memanggil Petrus untuk menjadi murid-Nya saat sedang menebarkan jalanya, "Mari, ikutlah Aku, dan kamu akan Kujadikan penjala manusia." (Matius 4:19), di situlah Tuhan Yesus kembali mengingatkan dan mempertanyakan seberapa besar kasih dan komitmen Petrus, sampai-sampai Tuhan mengulang pertanyaannya sebanyak tiga kali: "Tuhan, Engkau tahu segala sesuatu, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau." Setelah mendengar jawaban Petrus, untuk ketiga kalinya pula Tuhan berkata kepada Petrus, "Gembalakanlah domba-domba-Ku." Hal itu menunjukkan bahwa Tuhan sudah mengampuni dan tidak lagi mengingat-ingat kesalahan Petrus di masa lalu. Seperti kata pemazmur, "sejauh timur dari barat, demikian dijauhkan-Nya dari pada kita pelanggaran kita." (Mazmur 103:12).
Suatu anugerah yang luar biasa jika Petrus beroleh kesempatan untuk memperbaiki kesalahan-kesalahannya di masa lalu, dan kembali beroleh kepercayaan untuk melayani dan mengabdikan hidupnya bagi pekerjaan Tuhan. Karena itu "...Akupun berkata kepadamu: Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya." (Matius 16:18).
Setiap orang percaya yang mengaku diri mengasihi Tuhan memiliki tugas dan tanggung jawab menggembalakan kawanan domba.
Monday, December 7, 2015
ORANG PERCAYA: Kawanan Domba-Nya (2)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 7 Desember 2015
Baca: Yesaya 40:1-11
"Seperti seorang gembala Ia menggembalakan kawanan ternak-Nya dan menghimpunkannya dengan tangan-Nya; anak-anak domba dipangku-Nya, induk-induk domba dituntun-Nya dengan hati-hati." Yesaya 40:11
Salah satu ciri domba adalah tidak suka berada di tempat gelap. Sebagai domba-domba Tuhan kita telah dipanggil keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib (baca 1 Petrus 2:9). Karena itu kita harus hidup sebagai "...anak-anak terang, karena terang hanya berbuahkan kebaikan dan keadilan dan kebenaran,...Janganlah turut mengambil bagian dalam perbuatan-perbuatan kegelapan yang tidak berbuahkan apa-apa, tetapi sebaliknya telanjangilah perbuatan-perbuatan itu." (Efesus 5:8b, 11).
Berbeda dengan kambing yang memiliki tanduk, domba tidak memiliki tanduk. Tanduk adalah cula dua yang tumbuh di kepala (pada lembu, kerbau, kambing dan sebagainya). Ini berbicara tentang karakter. Tidak bertanduk menggambarkan karakter yang lemah lembut dan tidak mudah terpancing emosi. Dalam menyelesaikan masalah kita harus berkepala dingin dan 'tanduk' kita tidak mudah keluar. Domba juga hidup berkelompok. Sebagai makhluk sosial kita pun tidak dapat hidup sendiri. Kita membutuhkan orang lain. Oleh karena itu "Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus." (Galatia 6:2), "...dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri; dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga." (Filipi 2:3-4).
Salah satu tanda utama bahwa kita kawanan domba Tuhan adalah kita mengenal dan mendengarkan suara-Nya. "...Aku mengenal domba-domba-Ku dan domba-domba-Ku mengenal Aku" (Yohanes 10:14). Tuhan berkata, "Sebab Aku menyukai kasih setia, dan bukan korban sembelihan, dan menyukai pengenalan akan Allah, lebih dari pada korban-korban bakaran." (Hosea 6:6).
Jika kita rindu dituntun oleh Tuhan Yesus, Gembala yang baik, kita harus memiliki pengenalan yang benar akan Dia melalui persekutuan yang karib. "Sebab itu umat-Ku akan mengenal nama-Ku..." Yesaya 52:6
Baca: Yesaya 40:1-11
"Seperti seorang gembala Ia menggembalakan kawanan ternak-Nya dan menghimpunkannya dengan tangan-Nya; anak-anak domba dipangku-Nya, induk-induk domba dituntun-Nya dengan hati-hati." Yesaya 40:11
Salah satu ciri domba adalah tidak suka berada di tempat gelap. Sebagai domba-domba Tuhan kita telah dipanggil keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib (baca 1 Petrus 2:9). Karena itu kita harus hidup sebagai "...anak-anak terang, karena terang hanya berbuahkan kebaikan dan keadilan dan kebenaran,...Janganlah turut mengambil bagian dalam perbuatan-perbuatan kegelapan yang tidak berbuahkan apa-apa, tetapi sebaliknya telanjangilah perbuatan-perbuatan itu." (Efesus 5:8b, 11).
Berbeda dengan kambing yang memiliki tanduk, domba tidak memiliki tanduk. Tanduk adalah cula dua yang tumbuh di kepala (pada lembu, kerbau, kambing dan sebagainya). Ini berbicara tentang karakter. Tidak bertanduk menggambarkan karakter yang lemah lembut dan tidak mudah terpancing emosi. Dalam menyelesaikan masalah kita harus berkepala dingin dan 'tanduk' kita tidak mudah keluar. Domba juga hidup berkelompok. Sebagai makhluk sosial kita pun tidak dapat hidup sendiri. Kita membutuhkan orang lain. Oleh karena itu "Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus." (Galatia 6:2), "...dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri; dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga." (Filipi 2:3-4).
Salah satu tanda utama bahwa kita kawanan domba Tuhan adalah kita mengenal dan mendengarkan suara-Nya. "...Aku mengenal domba-domba-Ku dan domba-domba-Ku mengenal Aku" (Yohanes 10:14). Tuhan berkata, "Sebab Aku menyukai kasih setia, dan bukan korban sembelihan, dan menyukai pengenalan akan Allah, lebih dari pada korban-korban bakaran." (Hosea 6:6).
Jika kita rindu dituntun oleh Tuhan Yesus, Gembala yang baik, kita harus memiliki pengenalan yang benar akan Dia melalui persekutuan yang karib. "Sebab itu umat-Ku akan mengenal nama-Ku..." Yesaya 52:6
Sunday, December 6, 2015
ORANG PERCAYA: Kawanan Domba-Nya (1)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 6 Desember 2015
Baca: Yehezkiel 34:1-31
"Kamu adalah domba-domba-Ku, domba gembalaan-Ku, dan Aku adalah Allahmu, demikianlah firman Tuhan ALLAH." Yehezkiel 34:31
Domba adalah jenis mamalia yang pertama kali dijinakkan dan dijadikan sebagai hewan ternak atau peliharaan oleh manusia. Karena sudah diternakkan domba tidak lagi hidup di alam liar, sehingga kelangsungan hidupnya sangat tergantung sepenuhnya kepada manusia. Beberapa ciri domba: memiliki pandangan yang baik, pendengaran yang baik, indera penciuman yjuga baik, peka terhadap kebisingan, tidak suka berada di daerah yang gelap, memiliki naluri kuat untuk hidup berkelompok, tidak bertanduk. Berbeda sekali dengan kebiasaan hidup kambing yang suka sekali jalan sendiri-sendiri (individualistis), dan memiliki tanduk.
Di zaman sekarang ini dunia dipenuhi orang-orang yang maunya hanya didengar alias suka bicara (tidak mau menjadi pendengar yang baik), sulit sekali menerima pendapat, nasihat, apalagi teguran dari orang lain. Bahkan ketika mendengar firman yang keras dari hamba Tuhan mereka mudah sekali tersinggung, kecewa dan marah. Oleh karena itu Yakobus memperingatkan, "Hai saudara-saudara yang kukasihi, ingatlah hal ini: setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah;" (Yakobus 1:19).
Sebagai domba-domba-Nya kita dituntut memiliki pandangan yang baik, sebab "Mata adalah pelita tubuh. Jika matamu baik, teranglah seluruh tubuhmu; jika matamu jahat, gelaplah seluruh tubuhmu. Jadi jika terang yang ada padamu gelap, betapa gelapnya kegelapan itu." (Matius 6:22-23). Mengapa kita harus memungsikan 'mata' kita dengan baik? Karena apa yang kita pandang dan lihat memiliki pengaruh besar terhadap pikiran, perkataan dan perbuatan kita. Begitu juga kita harus memiliki pendengaran yang baik, yaitu peka terhadap suara gembala kita. "...mereka akan mendengarkan suara-Ku dan mereka akan menjadi satu kawanan dengan satu gembala." (Yohanes 10:16). Bagaimana caranya? Dengan menyediakan banyak waktu bersekutu dengan Tuhan dan mendengar suara-Nya. "Setiap pagi Ia mempertajam pendengaranku untuk mendengar seperti seorang murid." (Yesaya 50:4b). Semakin kita banyak mendengar firman Tuhan langkah hidup kita pun akan semakin terarah dan berkenan pada Tuhan. (Bersambung)
Baca: Yehezkiel 34:1-31
"Kamu adalah domba-domba-Ku, domba gembalaan-Ku, dan Aku adalah Allahmu, demikianlah firman Tuhan ALLAH." Yehezkiel 34:31
Domba adalah jenis mamalia yang pertama kali dijinakkan dan dijadikan sebagai hewan ternak atau peliharaan oleh manusia. Karena sudah diternakkan domba tidak lagi hidup di alam liar, sehingga kelangsungan hidupnya sangat tergantung sepenuhnya kepada manusia. Beberapa ciri domba: memiliki pandangan yang baik, pendengaran yang baik, indera penciuman yjuga baik, peka terhadap kebisingan, tidak suka berada di daerah yang gelap, memiliki naluri kuat untuk hidup berkelompok, tidak bertanduk. Berbeda sekali dengan kebiasaan hidup kambing yang suka sekali jalan sendiri-sendiri (individualistis), dan memiliki tanduk.
Di zaman sekarang ini dunia dipenuhi orang-orang yang maunya hanya didengar alias suka bicara (tidak mau menjadi pendengar yang baik), sulit sekali menerima pendapat, nasihat, apalagi teguran dari orang lain. Bahkan ketika mendengar firman yang keras dari hamba Tuhan mereka mudah sekali tersinggung, kecewa dan marah. Oleh karena itu Yakobus memperingatkan, "Hai saudara-saudara yang kukasihi, ingatlah hal ini: setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah;" (Yakobus 1:19).
Sebagai domba-domba-Nya kita dituntut memiliki pandangan yang baik, sebab "Mata adalah pelita tubuh. Jika matamu baik, teranglah seluruh tubuhmu; jika matamu jahat, gelaplah seluruh tubuhmu. Jadi jika terang yang ada padamu gelap, betapa gelapnya kegelapan itu." (Matius 6:22-23). Mengapa kita harus memungsikan 'mata' kita dengan baik? Karena apa yang kita pandang dan lihat memiliki pengaruh besar terhadap pikiran, perkataan dan perbuatan kita. Begitu juga kita harus memiliki pendengaran yang baik, yaitu peka terhadap suara gembala kita. "...mereka akan mendengarkan suara-Ku dan mereka akan menjadi satu kawanan dengan satu gembala." (Yohanes 10:16). Bagaimana caranya? Dengan menyediakan banyak waktu bersekutu dengan Tuhan dan mendengar suara-Nya. "Setiap pagi Ia mempertajam pendengaranku untuk mendengar seperti seorang murid." (Yesaya 50:4b). Semakin kita banyak mendengar firman Tuhan langkah hidup kita pun akan semakin terarah dan berkenan pada Tuhan. (Bersambung)
Saturday, December 5, 2015
TUHAN YESUS: Gembala Yang Baik (2)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 5 Desember 2015
Baca: Mazmur 23:1-6
"TUHAN adalah gembalaku, takkan kekurangan aku." Mazmur 23:1
Tuhan Yesus adalah Gembala yang baik karena Ia mengenal dengan baik domba-domba-Nya satu-persatu: "Lihat, Aku telah melukiskan engkau di telapak tangan-Ku;" (Yesaya 49:16). Dengan tangan-Nya yang penuh kasih "...Ia menggembalakan kawanan ternak-Nya dan menghimpunkannya dengan tangan-Nya; anak-anak domba dipangku-Nya, induk-induk domba dituntun-Nya dengan hati-hati." (Yesaya 40:11).
Kepada kita diberitahukan-Nya jalan yang benar dan hal-hal yang harus dihindari supaya kita tidak tersesat. Tuhan berkata, "Yang hilang akan Kucari, yang tersesat akan Kubawa pulang, yang luka akan Kubalut, yang sakit akan Kukuatkan, serta yang gemuk dan yang kuat akan Kulindungi; Aku akan menggembalakan mereka sebagaimana seharusnya." (Yehezkiel 34:16). Injil Matius mengatakan jika ada seekor domba saja yang tersesat, Tuhan akan mencarinya sampai ditemukan, padahal Ia masih mempunyai 99 domba yang lain (Matius 18:13). Sebagai Gembala yang baik Tuhan juga memberikan jaminan pemeliharaan yang sempurna. Ia akan memenuhi segala kebutuhan kita asal kita senantiasa tinggal di dekat-Nya dan mau berjalan bersama-Nya, "Ia membaringkan aku di padang yang berumput hijau, Ia membimbing aku ke air yang tenang; Ia menyegarkan jiwaku. Ia menuntun aku di jalan yang benar oleh karena nama-Nya. Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku; gada-Mu dan tongkat-Mu, itulah yang menghibur aku." (Mazmur 23:2-4).
Selain itu Tuhan Yesus bertanggung jawab penuh terhadap keselamatan domba-domba-Nya. Dengan gada dan tongkat Gembala siap melindungi jika ada binatang buas menyerang. "...sedangkan seorang upahan yang bukan gembala...ketika melihat serigala datang, meninggalkan domba-domba itu lalu lari, sehingga serigala itu menerkam dan mencerai-beraikan domba-domba itu. Ia lari karena ia seorang upahan dan tidak memperhatikan domba-domba itu. Akulah gembala yang baik dan Aku mengenal domba-domba-Ku..." (Yohanes 10:12-14).
Tuhan Yesus telah memberikan teladan hidup sebagai Gembala yang baik bagi domba-domba-Nya: berkorban, mengasihi, memerhatikan, menuntun, dan bertanggung jawab penuh bagi kehidupan setiap domba-Nya.
Baca: Mazmur 23:1-6
"TUHAN adalah gembalaku, takkan kekurangan aku." Mazmur 23:1
Tuhan Yesus adalah Gembala yang baik karena Ia mengenal dengan baik domba-domba-Nya satu-persatu: "Lihat, Aku telah melukiskan engkau di telapak tangan-Ku;" (Yesaya 49:16). Dengan tangan-Nya yang penuh kasih "...Ia menggembalakan kawanan ternak-Nya dan menghimpunkannya dengan tangan-Nya; anak-anak domba dipangku-Nya, induk-induk domba dituntun-Nya dengan hati-hati." (Yesaya 40:11).
Kepada kita diberitahukan-Nya jalan yang benar dan hal-hal yang harus dihindari supaya kita tidak tersesat. Tuhan berkata, "Yang hilang akan Kucari, yang tersesat akan Kubawa pulang, yang luka akan Kubalut, yang sakit akan Kukuatkan, serta yang gemuk dan yang kuat akan Kulindungi; Aku akan menggembalakan mereka sebagaimana seharusnya." (Yehezkiel 34:16). Injil Matius mengatakan jika ada seekor domba saja yang tersesat, Tuhan akan mencarinya sampai ditemukan, padahal Ia masih mempunyai 99 domba yang lain (Matius 18:13). Sebagai Gembala yang baik Tuhan juga memberikan jaminan pemeliharaan yang sempurna. Ia akan memenuhi segala kebutuhan kita asal kita senantiasa tinggal di dekat-Nya dan mau berjalan bersama-Nya, "Ia membaringkan aku di padang yang berumput hijau, Ia membimbing aku ke air yang tenang; Ia menyegarkan jiwaku. Ia menuntun aku di jalan yang benar oleh karena nama-Nya. Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku; gada-Mu dan tongkat-Mu, itulah yang menghibur aku." (Mazmur 23:2-4).
Selain itu Tuhan Yesus bertanggung jawab penuh terhadap keselamatan domba-domba-Nya. Dengan gada dan tongkat Gembala siap melindungi jika ada binatang buas menyerang. "...sedangkan seorang upahan yang bukan gembala...ketika melihat serigala datang, meninggalkan domba-domba itu lalu lari, sehingga serigala itu menerkam dan mencerai-beraikan domba-domba itu. Ia lari karena ia seorang upahan dan tidak memperhatikan domba-domba itu. Akulah gembala yang baik dan Aku mengenal domba-domba-Ku..." (Yohanes 10:12-14).
Tuhan Yesus telah memberikan teladan hidup sebagai Gembala yang baik bagi domba-domba-Nya: berkorban, mengasihi, memerhatikan, menuntun, dan bertanggung jawab penuh bagi kehidupan setiap domba-Nya.
Friday, December 4, 2015
TUHAN YESUS: Gembala Yang Baik (1)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 4 Desember 2015
Baca: Yohanes 10:11-18
"Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya;" Yohanes 10:11
Alkitab menggambarkan suatu hubungan yang unik dan istimewa antara Tuhan dengan umat-Nya, di mana Yesus menyatakan diri-Nya sebagai Gembala, sedangkan umat-Nya sebagai domba. Mengapa kita digambarkan sebagai domba, bukan binatang lain yang mungkin lebih kuat seperti kuda, gajah, singa, harimau dan sebagainya? Ini menegaskan keberadaan kita yang penuh kelemahan, ketidakberdayaan, mudah tersesat dan selalu berada dalam marabahaya.
Karena kita seperti domba yang penuh kelemahan secara otomatis kita sangat membutuhkan gembala yang dapat membimbing dan menuntun kita ke jalan yang benar. Puji Tuhan kita mempunyai Tuhan Yesus yang menyatakan diri sebagai Gembala yang baik. Ketika menyatakan diri sebagai Gembala yang baik Tuhan Yesus mengontraskan diri dengan keberadaan pencuri, perampok dan gembala upahan. "Pencuri datang hanya untuk mencuri dan membunuh dan membinasakan; Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan." (Yohanes 10:10). "...siapa yang masuk ke dalam kandang domba dengan tidak melalui pintu, tetapi dengan memanjat tembok, ia adalah seorang pencuri dan seorang perampok;" (Yohanes 10:1). Begitu juga dengan gembala upahan, yang "...ketika melihat serigala datang, meninggalkan domba-domba itu lalu lari, sehingga serigala itu menerkam dan mencerai-beraikan domba-domba itu." (Yohanes 10:12). Dalam keadaan terjepit karena menghadapi serangan orang jahat atau binatang buas gembala upahan lebih memilih menyelamatkan dirinya sendiri dan meninggalkan domba-dombanya daripada menolong, karena orientasinya hanya kepada upah. Gembala yang baik justru rela mengorbankan nyawa-Nya bagi domba-dombanya.
Adalah tidak lazim gembala rela mati bagi domba-dombanya, namun Tuhan Yesus mau melakukan hal tidak lazim itu untuk kita. Inilah yang disebut anugerah: kita yang sesungguhnya tidak layak karena dosa dan pelanggaran, tapi Dia rela datang dan mati untuk kita. Kasih yang demikian sampai kapan pun tidak akan pernah kita dapatkan dari manusia mana pun, apalagi dari gembala upahan, pencuri atau perampok. (Bersambung)
Baca: Yohanes 10:11-18
"Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya;" Yohanes 10:11
Alkitab menggambarkan suatu hubungan yang unik dan istimewa antara Tuhan dengan umat-Nya, di mana Yesus menyatakan diri-Nya sebagai Gembala, sedangkan umat-Nya sebagai domba. Mengapa kita digambarkan sebagai domba, bukan binatang lain yang mungkin lebih kuat seperti kuda, gajah, singa, harimau dan sebagainya? Ini menegaskan keberadaan kita yang penuh kelemahan, ketidakberdayaan, mudah tersesat dan selalu berada dalam marabahaya.
Karena kita seperti domba yang penuh kelemahan secara otomatis kita sangat membutuhkan gembala yang dapat membimbing dan menuntun kita ke jalan yang benar. Puji Tuhan kita mempunyai Tuhan Yesus yang menyatakan diri sebagai Gembala yang baik. Ketika menyatakan diri sebagai Gembala yang baik Tuhan Yesus mengontraskan diri dengan keberadaan pencuri, perampok dan gembala upahan. "Pencuri datang hanya untuk mencuri dan membunuh dan membinasakan; Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan." (Yohanes 10:10). "...siapa yang masuk ke dalam kandang domba dengan tidak melalui pintu, tetapi dengan memanjat tembok, ia adalah seorang pencuri dan seorang perampok;" (Yohanes 10:1). Begitu juga dengan gembala upahan, yang "...ketika melihat serigala datang, meninggalkan domba-domba itu lalu lari, sehingga serigala itu menerkam dan mencerai-beraikan domba-domba itu." (Yohanes 10:12). Dalam keadaan terjepit karena menghadapi serangan orang jahat atau binatang buas gembala upahan lebih memilih menyelamatkan dirinya sendiri dan meninggalkan domba-dombanya daripada menolong, karena orientasinya hanya kepada upah. Gembala yang baik justru rela mengorbankan nyawa-Nya bagi domba-dombanya.
Adalah tidak lazim gembala rela mati bagi domba-dombanya, namun Tuhan Yesus mau melakukan hal tidak lazim itu untuk kita. Inilah yang disebut anugerah: kita yang sesungguhnya tidak layak karena dosa dan pelanggaran, tapi Dia rela datang dan mati untuk kita. Kasih yang demikian sampai kapan pun tidak akan pernah kita dapatkan dari manusia mana pun, apalagi dari gembala upahan, pencuri atau perampok. (Bersambung)
Thursday, December 3, 2015
TANGGUNG JAWAB GEMBALA
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 3 Desember 2015
Baca: Yohanes 10:1-10
"Jika semua dombanya telah dibawanya ke luar, ia berjalan di depan mereka dan domba-domba itu mengikuti dia, karena mereka mengenal suaranya." Yohanes 10:4
Di kalangan kaum Yahudi menggembalakan domba adalah pekerjaan yang sangat familiar. Pekerjaan ini tidak hanya dilakukan oleh pria, tapi wanita juga, termasuk anak-anak laki-laki maupun perempuan. Definisi umum kata gembala adalah orang yang membimbing, memelihara dan bertanggung jawab penuh atas kawanan domba atau kambing, termasuk melindunginya dari bahaya. Kawanan domba dibawanya ke padang rumput di pagi hari, dan pada malam harinya digiring kembali ke kandangnya. Dalam Alkitab gembala terbagi menjadi dua kelompok yaitu orang yang menggembalakan ternak dan orang yang mengasuh dan membina jiwa-jiwa.
Berbicara tentang gembala berarti berbicara tentang sebuah tanggung jawab. Adapun tanggung jawab gembala adalah menyediakan makanan bagi kawanan dombanya. Di zaman dahulu tugas memenuhi kebutuhan kawanan domba bukanlah perkara mudah. Gembala terkadang harus menempuh perjalanan berkilo-kilo meter jauhnya untuk menuntun dan membawa domba-dombanya keluar dari kandang demi mendapatkan padang rumput. Gembala tidak mempedulikan teriknya panas matahari atau udara dingin yang menyengat di malam hari.
Selain memelihara domba-domba yang digembalakan gembala juga berperan sebagai penjaga dan pelindung dari segala ancaman dan marabahaya yang datang dari binatang buas atau orang-orang yang berniat jahat, seperti yang dilakukan Daud: "Apabila datang singa atau beruang, yang menerkam seekor domba dari kawanannya, maka aku mengejarnya, menghajarnya dan melepaskan domba itu dari mulutnya. Kemudian apabila ia berdiri menyerang aku, maka aku menangkap janggutnya lalu menghajarnya dan membunuhnya. Baik singa maupun beruang telah dihajar oleh hambamu ini." (1 Samuel 17:34b-36a). Di sepanjang perjalanan bisa saja terjadi hal-hal yang tak terduga: anak domba kakinya terkilir atau sakit karena tertusuk duri, maka gembala harus dengan sabar merawat, mengobati dan jika perlu menggendongnya.
"Sampai masa tuamu Aku tetap Dia dan sampai masa putih rambutmu Aku menggendong kamu." Yesaya 46:4a
Baca: Yohanes 10:1-10
"Jika semua dombanya telah dibawanya ke luar, ia berjalan di depan mereka dan domba-domba itu mengikuti dia, karena mereka mengenal suaranya." Yohanes 10:4
Di kalangan kaum Yahudi menggembalakan domba adalah pekerjaan yang sangat familiar. Pekerjaan ini tidak hanya dilakukan oleh pria, tapi wanita juga, termasuk anak-anak laki-laki maupun perempuan. Definisi umum kata gembala adalah orang yang membimbing, memelihara dan bertanggung jawab penuh atas kawanan domba atau kambing, termasuk melindunginya dari bahaya. Kawanan domba dibawanya ke padang rumput di pagi hari, dan pada malam harinya digiring kembali ke kandangnya. Dalam Alkitab gembala terbagi menjadi dua kelompok yaitu orang yang menggembalakan ternak dan orang yang mengasuh dan membina jiwa-jiwa.
Berbicara tentang gembala berarti berbicara tentang sebuah tanggung jawab. Adapun tanggung jawab gembala adalah menyediakan makanan bagi kawanan dombanya. Di zaman dahulu tugas memenuhi kebutuhan kawanan domba bukanlah perkara mudah. Gembala terkadang harus menempuh perjalanan berkilo-kilo meter jauhnya untuk menuntun dan membawa domba-dombanya keluar dari kandang demi mendapatkan padang rumput. Gembala tidak mempedulikan teriknya panas matahari atau udara dingin yang menyengat di malam hari.
Selain memelihara domba-domba yang digembalakan gembala juga berperan sebagai penjaga dan pelindung dari segala ancaman dan marabahaya yang datang dari binatang buas atau orang-orang yang berniat jahat, seperti yang dilakukan Daud: "Apabila datang singa atau beruang, yang menerkam seekor domba dari kawanannya, maka aku mengejarnya, menghajarnya dan melepaskan domba itu dari mulutnya. Kemudian apabila ia berdiri menyerang aku, maka aku menangkap janggutnya lalu menghajarnya dan membunuhnya. Baik singa maupun beruang telah dihajar oleh hambamu ini." (1 Samuel 17:34b-36a). Di sepanjang perjalanan bisa saja terjadi hal-hal yang tak terduga: anak domba kakinya terkilir atau sakit karena tertusuk duri, maka gembala harus dengan sabar merawat, mengobati dan jika perlu menggendongnya.
"Sampai masa tuamu Aku tetap Dia dan sampai masa putih rambutmu Aku menggendong kamu." Yesaya 46:4a
Wednesday, December 2, 2015
HIDUP DALAM KETIDAKPUASAN (2)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 2 Desember 2015
Baca: Bilangan 11:4-23
"Orang-orang bajingan yang ada di antara mereka kemasukan nafsu rakus; dan orang Israelpun menangislah pula serta berkata: 'Siapakah yang akan memberi kita makan daging?'" Bilangan 11:4
Meski sudah dipelihara Tuhan dengan manna, roti dari sorga, orang-orang Israel tetap saja bersungut-sungut dan malah menangis secara bersamaan di depan pintu kemah Musa meminta daging. "Siapakah yang akan memberi kita makan daging?" (ayat nas). Mereka membanding-bandingkan saat hidup di Mesir: "Kita teringat kepada ikan yang kita makan di Mesir dengan tidak bayar apa-apa, kepada mentimun dan semangka, bawang prei, bawang merah dan bawang putih. Tetapi sekarang kita kurus kering, tidak ada sesuatu apapun, kecuali manna ini saja yang kita lihat." (ayat 5-6). Yang dipikirkan orang-orang Israel hanyalah urusan perut saja, sehingga mereka lebih suka menjadi budak di Mesir daripada menjadi orang yang merdeka.
Situasi semakin diperparah dengan kehadiran orang-orang bajingan di antara mereka yang rakus, sehingga keberadaannya semakin memberi dampak buruk bagi orang Israel. Musa tidak habis pikir dengan apa yang diperbuat oleh orang-orang Israel sehingga hal itu nyaris membuatnya frustasi, lalu ia memohon belas kasihan kepada Tuhan, "Dari manakah aku mengambil daging untuk diberikan kepada seluruh bangsa ini? Sebab mereka menangis kepadaku dengan berkata: Berilah kami daging untuk dimakan. Aku seorang diri tidak dapat memikul tanggung jawab atas seluruh bangsa ini, sebab terlalu berat bagiku. Jika Engkau berlaku demikian kepadaku, sebaiknya Engkau membunuh aku saja, jika aku mendapat kasih karunia di mata-Mu, supaya aku tidak harus melihat celakaku." (ayat 13-15). Tuhan pun menunjukkan belas kasihan-Nya dan berjanji akan memberikan daging, "Bukan hanya satu hari kamu akan memakannya, bukan dua hari, bukan lima hari, bukan sepuluh hari, bukan dua puluh hari, tetapi genap sebulan lamanya, sampai keluar dari dalam hidungmu dan sampai kamu muak--" (ayat 19-20), dan janji itu digenapi-Nya (ayat 11:35).
Bersungut-sungut seringkali diperbuat oleh banyak orang Kristen ketika menghadapi masalah.
Sungut-sungut adalah tanda ketidakpercayaan dan pemberontakan kepada Tuhan!
Baca: Bilangan 11:4-23
"Orang-orang bajingan yang ada di antara mereka kemasukan nafsu rakus; dan orang Israelpun menangislah pula serta berkata: 'Siapakah yang akan memberi kita makan daging?'" Bilangan 11:4
Meski sudah dipelihara Tuhan dengan manna, roti dari sorga, orang-orang Israel tetap saja bersungut-sungut dan malah menangis secara bersamaan di depan pintu kemah Musa meminta daging. "Siapakah yang akan memberi kita makan daging?" (ayat nas). Mereka membanding-bandingkan saat hidup di Mesir: "Kita teringat kepada ikan yang kita makan di Mesir dengan tidak bayar apa-apa, kepada mentimun dan semangka, bawang prei, bawang merah dan bawang putih. Tetapi sekarang kita kurus kering, tidak ada sesuatu apapun, kecuali manna ini saja yang kita lihat." (ayat 5-6). Yang dipikirkan orang-orang Israel hanyalah urusan perut saja, sehingga mereka lebih suka menjadi budak di Mesir daripada menjadi orang yang merdeka.
Situasi semakin diperparah dengan kehadiran orang-orang bajingan di antara mereka yang rakus, sehingga keberadaannya semakin memberi dampak buruk bagi orang Israel. Musa tidak habis pikir dengan apa yang diperbuat oleh orang-orang Israel sehingga hal itu nyaris membuatnya frustasi, lalu ia memohon belas kasihan kepada Tuhan, "Dari manakah aku mengambil daging untuk diberikan kepada seluruh bangsa ini? Sebab mereka menangis kepadaku dengan berkata: Berilah kami daging untuk dimakan. Aku seorang diri tidak dapat memikul tanggung jawab atas seluruh bangsa ini, sebab terlalu berat bagiku. Jika Engkau berlaku demikian kepadaku, sebaiknya Engkau membunuh aku saja, jika aku mendapat kasih karunia di mata-Mu, supaya aku tidak harus melihat celakaku." (ayat 13-15). Tuhan pun menunjukkan belas kasihan-Nya dan berjanji akan memberikan daging, "Bukan hanya satu hari kamu akan memakannya, bukan dua hari, bukan lima hari, bukan sepuluh hari, bukan dua puluh hari, tetapi genap sebulan lamanya, sampai keluar dari dalam hidungmu dan sampai kamu muak--" (ayat 19-20), dan janji itu digenapi-Nya (ayat 11:35).
Bersungut-sungut seringkali diperbuat oleh banyak orang Kristen ketika menghadapi masalah.
Sungut-sungut adalah tanda ketidakpercayaan dan pemberontakan kepada Tuhan!
Tuesday, December 1, 2015
HIDUP DALAM KETIDAKPUASAN (1)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 1 Desember 2015
Baca: Bilangan 11:1-3
"Sebab itu orang menamai tempat itu Tabera, karena telah menyala api TUHAN di antara mereka." Bilangan 11:3
Umumnya manusia memiliki sifat tidak pernah merasa puas, selalu merasa kurang dan selalu menginginkan lebih dan lebih. "Siapa mencintai uang tidak akan puas dengan uang, dan siapa mencintai kekayaan tidak akan puas dengan penghasilannya. Inipun sia-sia. Dengan bertambahnya harta, bertambah pula orang-orang yang menghabiskannya. Dan apakah keuntungan pemiliknya selain dari pada melihatnya?" (Pengkotbah 5:9-10). Hidup dalam ketidakpuasan juga dirasakan oleh bangsa Israel.
Mengeluh dan bersungut-sungut adalah tanda orang tidak puas dengan hidup yang dijalaninya. Saat menempuh perjalanan di padang gurun, setelah terbebas dari perbudakan di Mesir, banyak sekali mujizat yang Tuhan nyatakan. "TUHAN berjalan di depan mereka, pada siang hari dalam tiang awan untuk menuntun mereka di jalan, dan pada waktu malam dalam tiang api untuk menerangi mereka, sehingga mereka dapat berjalan siang dan malam. Dengan tidak beralih tiang awan itu tetap ada pada siang hari dan tiang api pada waktu malam di depan bangsa itu." (Keluaran 13:21-22). Tiang awan dan tiang api merupakan tanda pemeliharaan, perlindungan dan penyertaan Tuhan bagi umat Israel di padang gurun. Dengan tiang awan mereka tidak merasa kepanasan di siang hari, sedangkan tiang api menjadi penghangat di tengah dinginnya malam. Bukan hanya itu, mereka juga mendapatkan kiriman makanan langsung dari sorga yaitu manna.
Suatu kehidupan yang luar biasa karena Tuhan sendiri menyertai, menuntun, memelihara dan membela mereka. Meski demikian orang-orang Israel tidak pernah merasa puas dan selalu mengeluhkan nasib mereka, serta membanding-bandingkan dengan kehidupan kala berada di Mesir, padahal di sana mereka hanya budak. Karena terus bersungut-sungut "...bangkitlah murka-Nya, kemudian menyalalah api TUHAN di antara mereka..." (Bilangan 11:1), sehingga membakar perkemahan mereka. Ini peringatan keras bagi orang yang suka bersungut-sungut. Lalu Musa berdoa kepada Tuhan memohon pengampunan atas sikap buruk umat Israel dan memohon belas kasihan-Nya, "...maka padamlah api itu." (Bilangan 11:2).
Belajarlah bersyukur, jangan terus mengeluh!
Baca: Bilangan 11:1-3
"Sebab itu orang menamai tempat itu Tabera, karena telah menyala api TUHAN di antara mereka." Bilangan 11:3
Umumnya manusia memiliki sifat tidak pernah merasa puas, selalu merasa kurang dan selalu menginginkan lebih dan lebih. "Siapa mencintai uang tidak akan puas dengan uang, dan siapa mencintai kekayaan tidak akan puas dengan penghasilannya. Inipun sia-sia. Dengan bertambahnya harta, bertambah pula orang-orang yang menghabiskannya. Dan apakah keuntungan pemiliknya selain dari pada melihatnya?" (Pengkotbah 5:9-10). Hidup dalam ketidakpuasan juga dirasakan oleh bangsa Israel.
Mengeluh dan bersungut-sungut adalah tanda orang tidak puas dengan hidup yang dijalaninya. Saat menempuh perjalanan di padang gurun, setelah terbebas dari perbudakan di Mesir, banyak sekali mujizat yang Tuhan nyatakan. "TUHAN berjalan di depan mereka, pada siang hari dalam tiang awan untuk menuntun mereka di jalan, dan pada waktu malam dalam tiang api untuk menerangi mereka, sehingga mereka dapat berjalan siang dan malam. Dengan tidak beralih tiang awan itu tetap ada pada siang hari dan tiang api pada waktu malam di depan bangsa itu." (Keluaran 13:21-22). Tiang awan dan tiang api merupakan tanda pemeliharaan, perlindungan dan penyertaan Tuhan bagi umat Israel di padang gurun. Dengan tiang awan mereka tidak merasa kepanasan di siang hari, sedangkan tiang api menjadi penghangat di tengah dinginnya malam. Bukan hanya itu, mereka juga mendapatkan kiriman makanan langsung dari sorga yaitu manna.
Suatu kehidupan yang luar biasa karena Tuhan sendiri menyertai, menuntun, memelihara dan membela mereka. Meski demikian orang-orang Israel tidak pernah merasa puas dan selalu mengeluhkan nasib mereka, serta membanding-bandingkan dengan kehidupan kala berada di Mesir, padahal di sana mereka hanya budak. Karena terus bersungut-sungut "...bangkitlah murka-Nya, kemudian menyalalah api TUHAN di antara mereka..." (Bilangan 11:1), sehingga membakar perkemahan mereka. Ini peringatan keras bagi orang yang suka bersungut-sungut. Lalu Musa berdoa kepada Tuhan memohon pengampunan atas sikap buruk umat Israel dan memohon belas kasihan-Nya, "...maka padamlah api itu." (Bilangan 11:2).
Belajarlah bersyukur, jangan terus mengeluh!
Monday, November 30, 2015
YOHANES MARKUS: Bangkit Dari Kegagalan
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 30 November 2015
Baca: 2 Timotius 4:9-18
"Jemputlah Markus dan bawalah ia ke mari, karena pelayanannya penting bagiku." 2 Timotius 4:11b
Meski sempat mundur dari pelayanan dan dinilai sebagai orang yang gagal dalam ujian kesetiaan, dan bahkan menjadi penyebab terjadinya perselisihan Paulus dan Barnabas, Yohanes Markus mampu bangkit dari kegagalannya. Dari mana kita mengetahui Yohanes Markus sudah tidak seperti dulu lagi? Dari pernyataan Paulus melalui suratnya kepada Timotius: "Jemputlah Markus dan bawalah ia ke mari, karena pelayanannya penting bagiku." (ayat nas). Ini menunjukkan bahwa Yohanes Markus telah berubah dan berada di jalur yang benar yaitu melayani Tuhan dengan sungguh dan berani membayar harga! Jadi kisah perjalanan hidup Yohanes Markus tidak berakhir pada kegagalan dan kesalahan.
Siapa yang berperan penting dalam kebangkitan iman Yohanes Markus? Keluarganyalah yang sungguh berperan amat penting bagi pertumbuhan imannya. Beruntung sekali Yohanes Markus tumbuh dan berkembang di lingkungan keluarga yang takut akan Tuhan. Apa buktinya? Rumahnya sering dijadikan tempat persekutuan doa sehingga banyak orang percaya berkumpul dan berdoa. "...pergilah ia (Petrus - Red.) ke rumah Maria, ibu Yohanes yang disebut juga Markus. Di situ banyak orang berkumpul dan berdoa." (Kisah 12:12). Atmosfer sorgawi memenuhi rumah keluarganya, dan hal itu berdampak besar bagi pertumbuhan rohaninya. Tekadnya melayani Tuhan pun semakin berkobar-kobar, ketika mendengar kesaksian Petrus yang dibebaskan Tuhan dari penjara melalui pertolongan malaikat yang diutus langsung oleh Tuhan. Apa yang dialami oleh Petrus itu semakin meneguhkan iman Markus. Bahkan di dalam suratnya, secara khusus Petrus memanggil Markus sebagai anak rohaninya (baca 1 Petrus 5:13).
Selain itu Barnabas dan Paulus adalah dua pribadi yang punya andil besar dalam hidup Markus, sehingga ia mengalami titik balik dalam hidupnya. Dari merekalah Markus belajar bagaimana menjadi pelayan Tuhan yang penuh integritas; dan karena kasih karunia Tuhan semata Markus kembali beroleh kesempatan mengerjakan panggilan Tuhan.
"Dan mereka yang dipanggil-Nya, mereka itu juga dibenarkan-Nya. Dan mereka yang dibenarkan-Nya, mereka itu juga dimuliakan-Nya." Roma 8:30
Baca: 2 Timotius 4:9-18
"Jemputlah Markus dan bawalah ia ke mari, karena pelayanannya penting bagiku." 2 Timotius 4:11b
Meski sempat mundur dari pelayanan dan dinilai sebagai orang yang gagal dalam ujian kesetiaan, dan bahkan menjadi penyebab terjadinya perselisihan Paulus dan Barnabas, Yohanes Markus mampu bangkit dari kegagalannya. Dari mana kita mengetahui Yohanes Markus sudah tidak seperti dulu lagi? Dari pernyataan Paulus melalui suratnya kepada Timotius: "Jemputlah Markus dan bawalah ia ke mari, karena pelayanannya penting bagiku." (ayat nas). Ini menunjukkan bahwa Yohanes Markus telah berubah dan berada di jalur yang benar yaitu melayani Tuhan dengan sungguh dan berani membayar harga! Jadi kisah perjalanan hidup Yohanes Markus tidak berakhir pada kegagalan dan kesalahan.
Siapa yang berperan penting dalam kebangkitan iman Yohanes Markus? Keluarganyalah yang sungguh berperan amat penting bagi pertumbuhan imannya. Beruntung sekali Yohanes Markus tumbuh dan berkembang di lingkungan keluarga yang takut akan Tuhan. Apa buktinya? Rumahnya sering dijadikan tempat persekutuan doa sehingga banyak orang percaya berkumpul dan berdoa. "...pergilah ia (Petrus - Red.) ke rumah Maria, ibu Yohanes yang disebut juga Markus. Di situ banyak orang berkumpul dan berdoa." (Kisah 12:12). Atmosfer sorgawi memenuhi rumah keluarganya, dan hal itu berdampak besar bagi pertumbuhan rohaninya. Tekadnya melayani Tuhan pun semakin berkobar-kobar, ketika mendengar kesaksian Petrus yang dibebaskan Tuhan dari penjara melalui pertolongan malaikat yang diutus langsung oleh Tuhan. Apa yang dialami oleh Petrus itu semakin meneguhkan iman Markus. Bahkan di dalam suratnya, secara khusus Petrus memanggil Markus sebagai anak rohaninya (baca 1 Petrus 5:13).
Selain itu Barnabas dan Paulus adalah dua pribadi yang punya andil besar dalam hidup Markus, sehingga ia mengalami titik balik dalam hidupnya. Dari merekalah Markus belajar bagaimana menjadi pelayan Tuhan yang penuh integritas; dan karena kasih karunia Tuhan semata Markus kembali beroleh kesempatan mengerjakan panggilan Tuhan.
"Dan mereka yang dipanggil-Nya, mereka itu juga dibenarkan-Nya. Dan mereka yang dibenarkan-Nya, mereka itu juga dimuliakan-Nya." Roma 8:30
Sunday, November 29, 2015
YOHANES MARKUS: Tidak Siap Mental
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 29 November 2015
Baca: Kisah Para Rasul 15:35-41
"tetapi Paulus dengan tegas berkata, bahwa tidak baik membawa serta orang yang telah meninggalkan mereka di Pamfilia dan tidak mau turut bekerja bersama-sama dengan mereka." Kisah 15:38
Nama Yohanes Markus yang disebutkan dalam kisah ini tak lain dan tak bukan adalah Yohanes Markus sang penulis Injil Markus, artinya ia bukanlah orang Kristen yang biasa-biasa saja, tapi seorang pemberita Injil yang dipakai Tuhan secara luar biasa. Walau demikian bukan berarti Yohanes Markus ini tidak pernah gagal dalam hidupnya. Ia sempat mengalami keputusasaan dan mengambil langkah yang salah yaitu mengundurkan diri dari team misi penginjilannya bersama Paulus dan Barnabas, dan memutuskan diri untuk pulang ke kampung halamannya di Yerusalem. "Lalu Paulus dan kawan-kawannya meninggalkan Pafos dan berlayar ke Perga di Pamfilia; tetapi Yohanes meninggalkan mereka lalu kembali ke Yerusalem." (Kisah 13:13).
Mengapa Yohanes Markus mundur dari pelayanan? Alkitab tidak mencatat secara jelas, tetapi kemungkinan besar alasan yang masuk akal adalah ketidaksiapan secara mental untuk menghadapi resiko. Menempuh perjalanan penginjilan ke tempat yang sangat jauh dan mengarungi lautan lepas bukanlah perjalanan mudah: sewaktu-waktu harus menghadapi badai dan gelombang dahsyat, kemungkinan kapal karam, bahaya ikan buas, bahaya penyamun/perompak/bajak laut. Belum lagi ancaman pihak-pihak yang anti kekristenan, yang menghalalkan secara cara untuk menghalangi Injil diberitakan yang berujung kepada tindakan penganiayaan dan pembunuhan terhadap pemberita Injil/misionaris. Sebagai orang yang masih muda dan 'belum banyak makan asam garam kehidupan' wajar bila Markus mengalami keragu-raguan dan menjadi ciut nyalinya.
Tindakan mundur dari pelayanan perdana ini memicu perselisihan Paulus dan Barnabas. Paulus keberatan jika Markus kembali turut serta, sementara Barnabas ingin melibatkan kembali si Markus yang tak lain adalah keponakannya sendiri. Akhirnya Paulus dan Barnabas memutuskan berpisah. Barnabas membawa Markus melakukan misi penginjilan ke Sirpus, sedangkan Paulus memilih Silas untuk pergi ke Siria dan Kilikia.
Tidak siap membayar harga menjadi alasan Yohanes Markus memilih mundur dari misi penginjilan perdananya.
Baca: Kisah Para Rasul 15:35-41
"tetapi Paulus dengan tegas berkata, bahwa tidak baik membawa serta orang yang telah meninggalkan mereka di Pamfilia dan tidak mau turut bekerja bersama-sama dengan mereka." Kisah 15:38
Nama Yohanes Markus yang disebutkan dalam kisah ini tak lain dan tak bukan adalah Yohanes Markus sang penulis Injil Markus, artinya ia bukanlah orang Kristen yang biasa-biasa saja, tapi seorang pemberita Injil yang dipakai Tuhan secara luar biasa. Walau demikian bukan berarti Yohanes Markus ini tidak pernah gagal dalam hidupnya. Ia sempat mengalami keputusasaan dan mengambil langkah yang salah yaitu mengundurkan diri dari team misi penginjilannya bersama Paulus dan Barnabas, dan memutuskan diri untuk pulang ke kampung halamannya di Yerusalem. "Lalu Paulus dan kawan-kawannya meninggalkan Pafos dan berlayar ke Perga di Pamfilia; tetapi Yohanes meninggalkan mereka lalu kembali ke Yerusalem." (Kisah 13:13).
Mengapa Yohanes Markus mundur dari pelayanan? Alkitab tidak mencatat secara jelas, tetapi kemungkinan besar alasan yang masuk akal adalah ketidaksiapan secara mental untuk menghadapi resiko. Menempuh perjalanan penginjilan ke tempat yang sangat jauh dan mengarungi lautan lepas bukanlah perjalanan mudah: sewaktu-waktu harus menghadapi badai dan gelombang dahsyat, kemungkinan kapal karam, bahaya ikan buas, bahaya penyamun/perompak/bajak laut. Belum lagi ancaman pihak-pihak yang anti kekristenan, yang menghalalkan secara cara untuk menghalangi Injil diberitakan yang berujung kepada tindakan penganiayaan dan pembunuhan terhadap pemberita Injil/misionaris. Sebagai orang yang masih muda dan 'belum banyak makan asam garam kehidupan' wajar bila Markus mengalami keragu-raguan dan menjadi ciut nyalinya.
Tindakan mundur dari pelayanan perdana ini memicu perselisihan Paulus dan Barnabas. Paulus keberatan jika Markus kembali turut serta, sementara Barnabas ingin melibatkan kembali si Markus yang tak lain adalah keponakannya sendiri. Akhirnya Paulus dan Barnabas memutuskan berpisah. Barnabas membawa Markus melakukan misi penginjilan ke Sirpus, sedangkan Paulus memilih Silas untuk pergi ke Siria dan Kilikia.
Tidak siap membayar harga menjadi alasan Yohanes Markus memilih mundur dari misi penginjilan perdananya.
Saturday, November 28, 2015
BERUBAH LEBIH BAIK (2)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 28 November 2015
Baca: 2 Korintus 3:1-18
"Dan karena kemuliaan itu datangnya dari Tuhan yang adalah Roh, maka kita diubah menjadi serupa dengan gambar-Nya, dalam kemuliaan yang semakin besar." 1 Korintus 3:18b
Menjadi serupa dengan Kristus adalah sasaran utama kehidupan orang percaya. Bagaimana kita mencapai sasaran tersebut bila grafik kualitas hidup kita tidak menunjukkan suatu peningkatan? Untuk mencapai tingkat serupa dengan Kristus kita harus mau berubah yaitu ke arah yang positif.
Apa yang harus kita lakukan supaya hidup kita semakin hari semakin berubah ke arah yang lebih baik? Hal pertama adalah mengevaluasi diri. Salah satu unsur utama evaluasi diri adalah kejujuran. Kendala terbesar penghambat evaluasi atau koreksi adalah keakuan yang besar, kesombongan, gengsi, kenyamanan dan keengganan mengalami perubahan itu sendiri. Karena itu diperlukan kerendahan hati dan juga kerelaan membayar harga.
Kalau di waktu-waktu lalu kita gagal karena mengandalkan kekuatan sendiri, maka hari ini dan esok kita harus belajar mengandalkan Tuhan dan melibatkan Dia dalam segala perkara. kalau kemarin kita bermalas-malasan beribadah dan melayani Tuhan, sekarang "Janganlah hendaknya kerajinanmu kendor, biarlah rohmu menyala-nyala dan layanilah Tuhan." (Roma 12:11); kalau dulu fokus hidup kita semata-mata untuk kepentingan diri sendiri, sekarang kita harus bertekad supaya bisa menjadi berkat bagi orang lain sehingga kita semakin disukai Tuhan dan juga manusia, seperti Samuel; kalau dulu dalam melakukan segala sesuatu selalu terbersit motivasi tidak benar yaitu mencari pujian dan hormat bagi diri sendiri, segeralah minta ampun kepada Tuhan, dan mulai sekarang kita harus punya tekad seperti Yohanes Pembaptis: "Ia (Yesus) harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil." (Yohanes 3:30); jika kemarin kita tak mampu mengekang lidah untuk tidak mengomel dan bersungut-sungut, mulai hari ini kita bertekad memungsikan lidah sesuai firman Tuhan yaitu penuh ucapan syukur, bersaksi dan memberitakan Injil. Perihal berubah tentulah dari pihak kita ada kemauan untuk terus dipimpin Roh Kudus setiap hari.
"Bangkitlah, menjadi teranglah, sebab terangmu datang, dan kemuliaan TUHAN terbit atasmu." Yesaya 60:1
Baca: 2 Korintus 3:1-18
"Dan karena kemuliaan itu datangnya dari Tuhan yang adalah Roh, maka kita diubah menjadi serupa dengan gambar-Nya, dalam kemuliaan yang semakin besar." 1 Korintus 3:18b
Menjadi serupa dengan Kristus adalah sasaran utama kehidupan orang percaya. Bagaimana kita mencapai sasaran tersebut bila grafik kualitas hidup kita tidak menunjukkan suatu peningkatan? Untuk mencapai tingkat serupa dengan Kristus kita harus mau berubah yaitu ke arah yang positif.
Apa yang harus kita lakukan supaya hidup kita semakin hari semakin berubah ke arah yang lebih baik? Hal pertama adalah mengevaluasi diri. Salah satu unsur utama evaluasi diri adalah kejujuran. Kendala terbesar penghambat evaluasi atau koreksi adalah keakuan yang besar, kesombongan, gengsi, kenyamanan dan keengganan mengalami perubahan itu sendiri. Karena itu diperlukan kerendahan hati dan juga kerelaan membayar harga.
Kalau di waktu-waktu lalu kita gagal karena mengandalkan kekuatan sendiri, maka hari ini dan esok kita harus belajar mengandalkan Tuhan dan melibatkan Dia dalam segala perkara. kalau kemarin kita bermalas-malasan beribadah dan melayani Tuhan, sekarang "Janganlah hendaknya kerajinanmu kendor, biarlah rohmu menyala-nyala dan layanilah Tuhan." (Roma 12:11); kalau dulu fokus hidup kita semata-mata untuk kepentingan diri sendiri, sekarang kita harus bertekad supaya bisa menjadi berkat bagi orang lain sehingga kita semakin disukai Tuhan dan juga manusia, seperti Samuel; kalau dulu dalam melakukan segala sesuatu selalu terbersit motivasi tidak benar yaitu mencari pujian dan hormat bagi diri sendiri, segeralah minta ampun kepada Tuhan, dan mulai sekarang kita harus punya tekad seperti Yohanes Pembaptis: "Ia (Yesus) harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil." (Yohanes 3:30); jika kemarin kita tak mampu mengekang lidah untuk tidak mengomel dan bersungut-sungut, mulai hari ini kita bertekad memungsikan lidah sesuai firman Tuhan yaitu penuh ucapan syukur, bersaksi dan memberitakan Injil. Perihal berubah tentulah dari pihak kita ada kemauan untuk terus dipimpin Roh Kudus setiap hari.
"Bangkitlah, menjadi teranglah, sebab terangmu datang, dan kemuliaan TUHAN terbit atasmu." Yesaya 60:1
Friday, November 27, 2015
BERUBAH LEBIH BAIK (1)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 27 November 2015
Baca: 1 Samuel 2:18-26
"Tetapi Samuel yang muda itu, semakin besar dan semakin disukai, baik di hadapan TUHAN maupun di hadapan manusia." 1 Samuel 2:26
Semua orang tahu bahwa hidup di dunia ini hanyalah satu kali saja. Sekali dan singkat, itulah masa hidup manusia di dunia. Musa berkata, "Masa hidup kami tujuh puluh tahun dan jika kami kuat, delapan puluh tahun,...Engkau menghanyutkan manusia; mereka seperti mimpi, seperti rumput yang bertumbuh, di waktu pagi berkembang dan bertumbuh, di waktu petang lisut dan layu." (Mazmur 90:10, 5). Jika menyadari bahwa hidup ini hanya sekali dan teramat singkat seharusnya kita termotivasi mengisi hari-hari kita yang waktunya sangat terbatas ini dengan hal-hal yang positif dan berguna.
Ada pepatah: "Gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama." Alkitab pun menyatakan: "Nama baik lebih berharga dari pada kekayaan besar," (Amsal 22:1). Karena itu selagi kita masih beroleh kesempatan menghirup udara baru marilah melakukan segala tugas dan tanggung jawab yang dipercayakan dengan kualitas terbaik, karena tidak selamanya pintu kesempatan itu terbuka untuk kita. "Segala sesuatu yang dijumpai tanganmu untuk dikerjakan, kerjakanlah itu sekuat tenaga, karena tak ada pekerjaan, pertimbangan, pengetahuan dan hikmat dalam dunia orang mati, ke mana engkau akan pergi." (Pengkotbah 9:10). Mengapa? Karena "Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya." (Pengkotbah 3:1). Tidak selamanya kita memiliki tubuh bugar dan kuat, ada masanya di mana manusia lahiriah kita mengalami kemerosotan. Selagi sehat dan segala sesuatunya berjalan dengan baik kita harus memaksimalkan potensi yang ada. Daud pernah berkata, "Dahulu aku muda, sekarang telah menjadi tua," (Mazmur 37:25), artinya hidup ini pasti mengalami perubahan: bayi, kanak-kanak, remaja, pemuda, dewasa dan akhirnya menjadi tua. Karena hidup ini diwarnai perubahan maka kita pun juga harus siap dan mau untuk berubah.
Perhatikan hidup Samuel. "...Samuel yang muda itu, semakin besar dan semakin disukai, baik di hadapan TUHAN maupun di hadapan manusia." (ayat nas), artinya Samuel tidak hanya mengalami pertumbuhan secara fisik saja, tetapi karakter dan kerohaniannya pun semakin bertumbuh sehingga hidupnya berkenan kepada Tuhan dan menjadi kesaksian yang baik bagi sesama. (Bersambung)
Baca: 1 Samuel 2:18-26
"Tetapi Samuel yang muda itu, semakin besar dan semakin disukai, baik di hadapan TUHAN maupun di hadapan manusia." 1 Samuel 2:26
Semua orang tahu bahwa hidup di dunia ini hanyalah satu kali saja. Sekali dan singkat, itulah masa hidup manusia di dunia. Musa berkata, "Masa hidup kami tujuh puluh tahun dan jika kami kuat, delapan puluh tahun,...Engkau menghanyutkan manusia; mereka seperti mimpi, seperti rumput yang bertumbuh, di waktu pagi berkembang dan bertumbuh, di waktu petang lisut dan layu." (Mazmur 90:10, 5). Jika menyadari bahwa hidup ini hanya sekali dan teramat singkat seharusnya kita termotivasi mengisi hari-hari kita yang waktunya sangat terbatas ini dengan hal-hal yang positif dan berguna.
Ada pepatah: "Gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama." Alkitab pun menyatakan: "Nama baik lebih berharga dari pada kekayaan besar," (Amsal 22:1). Karena itu selagi kita masih beroleh kesempatan menghirup udara baru marilah melakukan segala tugas dan tanggung jawab yang dipercayakan dengan kualitas terbaik, karena tidak selamanya pintu kesempatan itu terbuka untuk kita. "Segala sesuatu yang dijumpai tanganmu untuk dikerjakan, kerjakanlah itu sekuat tenaga, karena tak ada pekerjaan, pertimbangan, pengetahuan dan hikmat dalam dunia orang mati, ke mana engkau akan pergi." (Pengkotbah 9:10). Mengapa? Karena "Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya." (Pengkotbah 3:1). Tidak selamanya kita memiliki tubuh bugar dan kuat, ada masanya di mana manusia lahiriah kita mengalami kemerosotan. Selagi sehat dan segala sesuatunya berjalan dengan baik kita harus memaksimalkan potensi yang ada. Daud pernah berkata, "Dahulu aku muda, sekarang telah menjadi tua," (Mazmur 37:25), artinya hidup ini pasti mengalami perubahan: bayi, kanak-kanak, remaja, pemuda, dewasa dan akhirnya menjadi tua. Karena hidup ini diwarnai perubahan maka kita pun juga harus siap dan mau untuk berubah.
Perhatikan hidup Samuel. "...Samuel yang muda itu, semakin besar dan semakin disukai, baik di hadapan TUHAN maupun di hadapan manusia." (ayat nas), artinya Samuel tidak hanya mengalami pertumbuhan secara fisik saja, tetapi karakter dan kerohaniannya pun semakin bertumbuh sehingga hidupnya berkenan kepada Tuhan dan menjadi kesaksian yang baik bagi sesama. (Bersambung)
Thursday, November 26, 2015
MENANG DI SETIAP PERTEMPURAN
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 26 November 2015
Baca: Efesus 6:10-20
"karena perjuangan kita bukanlah melawan darah dan daging, tetapi melawan pemerintah-pemerintah, melawan penguasa-penguasa, melawan penghulu-penghulu dunia yang gelap ini, melawan roh-roh jahat di udara." Efesus 6:12
Kepada jemaat di Efesus rasul Paulus menggambarkan bahwa perjalanan hidup orang percaya seperti berada di medan peperangan. Memang faktanya demikian. Setiap hari kita harus berjuang melawan gempuran musuh yang tidak pernah berhenti menghancurkan pertahanan iman orang percaya. Musuh yang kita hadapi bukanlah sembarangan. Ayat nas menyatakan bahwa musuh kita adalah penguasa-penguasa di udara yaitu Iblis. Oleh karena itu firman Tuhan memperingatkan, "Sadarlah dan berjaga-jagalah! Lawanmu, si Iblis, berjalan keliling sama seperti singa yang mengaum-aum dan mencari orang yang dapat ditelannya. Lawanlah dia dengan iman yang teguh, sebab kamu tahu, bahwa semua saudaramu di seluruh dunia menanggung penderitaan yang sama." (1 Petrus 5:8-9).
Pertempuran yang harus dihadapi orang percaya adalah pertempuran yang bersifat rohani, bukan pertempuran jasmaniah, di mana musuh kita tidak kelihatan secara nyata karena berbentuk roh. Pertempuran rohani adalah medan yang paling sulit, karena lengah sedikit saja berarti peluang terbuka untuk Iblis menyerang. Pertempuran rohani juga tidak mengenal waktu dan musim, berlangsung kapan saja dan sewaktu-waktu selama 24 jam sehari. Berbahayanya, kita tidak tahu secara persis kapan musuh itu datang dan menyerang. Dengan kekuatan jasmaniah tak akan kita mampu menang melawan Iblis, tetapi bersama Tuhan melalui Roh-Nya kita akan sanggup mengalahkan si jahat, "...sebab Roh yang ada di dalam kamu, lebih besar dari pada roh yang ada di dalam dunia." (1 Yohanes 4:4). Karena itu "...hendaklah kamu kuat di dalam Tuhan, di dalam kekuatan kuasa-Nya." (Efesus 6:10).
Kuat di dalam Tuhan artinya bergantung sepenuhnya kepada Tuhan, mengandalkan Dia dan mengenakan senjata yang diberikan-Nya, yaitu senjata untuk bertahan, ialah iman yang berfungsi sebagai perisai kokoh untuk melindungi diri dari panah api si Iblis, dan senjata untuk menyerang musuh yaitu firman Tuhan.
Di segala keadaan kita harus dalam keadaan siap berperang, karena Iblis selalu mencari kelengahan kita.
Baca: Efesus 6:10-20
"karena perjuangan kita bukanlah melawan darah dan daging, tetapi melawan pemerintah-pemerintah, melawan penguasa-penguasa, melawan penghulu-penghulu dunia yang gelap ini, melawan roh-roh jahat di udara." Efesus 6:12
Kepada jemaat di Efesus rasul Paulus menggambarkan bahwa perjalanan hidup orang percaya seperti berada di medan peperangan. Memang faktanya demikian. Setiap hari kita harus berjuang melawan gempuran musuh yang tidak pernah berhenti menghancurkan pertahanan iman orang percaya. Musuh yang kita hadapi bukanlah sembarangan. Ayat nas menyatakan bahwa musuh kita adalah penguasa-penguasa di udara yaitu Iblis. Oleh karena itu firman Tuhan memperingatkan, "Sadarlah dan berjaga-jagalah! Lawanmu, si Iblis, berjalan keliling sama seperti singa yang mengaum-aum dan mencari orang yang dapat ditelannya. Lawanlah dia dengan iman yang teguh, sebab kamu tahu, bahwa semua saudaramu di seluruh dunia menanggung penderitaan yang sama." (1 Petrus 5:8-9).
Pertempuran yang harus dihadapi orang percaya adalah pertempuran yang bersifat rohani, bukan pertempuran jasmaniah, di mana musuh kita tidak kelihatan secara nyata karena berbentuk roh. Pertempuran rohani adalah medan yang paling sulit, karena lengah sedikit saja berarti peluang terbuka untuk Iblis menyerang. Pertempuran rohani juga tidak mengenal waktu dan musim, berlangsung kapan saja dan sewaktu-waktu selama 24 jam sehari. Berbahayanya, kita tidak tahu secara persis kapan musuh itu datang dan menyerang. Dengan kekuatan jasmaniah tak akan kita mampu menang melawan Iblis, tetapi bersama Tuhan melalui Roh-Nya kita akan sanggup mengalahkan si jahat, "...sebab Roh yang ada di dalam kamu, lebih besar dari pada roh yang ada di dalam dunia." (1 Yohanes 4:4). Karena itu "...hendaklah kamu kuat di dalam Tuhan, di dalam kekuatan kuasa-Nya." (Efesus 6:10).
Kuat di dalam Tuhan artinya bergantung sepenuhnya kepada Tuhan, mengandalkan Dia dan mengenakan senjata yang diberikan-Nya, yaitu senjata untuk bertahan, ialah iman yang berfungsi sebagai perisai kokoh untuk melindungi diri dari panah api si Iblis, dan senjata untuk menyerang musuh yaitu firman Tuhan.
Di segala keadaan kita harus dalam keadaan siap berperang, karena Iblis selalu mencari kelengahan kita.
Wednesday, November 25, 2015
JALAN BUNTU (2)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 25 November 2015
Baca: Yesaya 51:1-23
"Bukankah Engkau yang mengeringkan laut, air samudera raya yang hebat? yang membuat laut yang dalam menjadi jalan, supaya orang-orang yang diselamatkan dapat menyeberang?" Yesaya 51:10
Ketika mengikuti jalan-jalan Tuhan dan taat melakukan kehendak-Nya bukan berarti perjalanan hidup kita terus mulus dan lancar. Terkadang kita harus menghadapi lorong-lorong gelap, bahkan lembah kekelaman. Doa-doa kita serasa tak mampu menembus langit-langit kamar. Sepertinya semakin kita setia kepada Tuhan semakin kita dihadapkan pada masalah demi masalah yang tidak ada jalan keluarnya. Dalam kondisi seperti ini mari kuatkan iman kepada Tuhan, jangan marah, kecewa dan menyalahkan Tuhan. Berkatalah Musa kepada umat Israel, "Janganlah takut, berdirilah tetap dan lihatlah keselamatan dari TUHAN, yang akan diberikan-Nya hari ini kepadamu; sebab orang Mesir yang kamu lihat hari ini, tidak akan kamu lihat lagi untuk selama-lamanya." (Keluaran 14:13).
Meski secara kasat mata umat Israel sedang diperhadapkan pada jalan buntu, Tuhan memerintahkan mereka untuk terus bergerak maju karena Tuhan tidak berkompromi dengan ketakutan. Kalimat berdirilah tetap artinya sesulit apa pun keadaan kita tetaplah berada di pihak Tuhan, tetap mengerjakan bagian kita yaitu percaya dan taat kepada Tuhan. Kata tetap berarti terus-menerus, tidak berubah. Tuhan tidak menghendaki kita menyerah di tengah jalan. Memang bukan perkara mudah, dibutuhkan iman untuk melakukan apa yang diinstruksikan Tuhan karena perintah Tuhan itu seringkali tidak masuk di akal. Tetapi jika kita mau taat dan melangkah dengan iman, kita akan melihat pembelaan Tuhan. Kita akan melihat kemuliaan, keselamatan dan kemenangan yang Tuhan sediakan bagi kita.
Inilah buktinya: ketika umat Israel taat, Tuhan pun bertindak. Dengan tangan-Nya yang penuh kuasa Tuhan menunggangbalikkan pasukan Firaun dengan kereka dan kudanya ke tengah-tengah laut. "Dan orang Israel melihat orang Mesir mati terhantar di pantai laut." (Keluaran 14:30b).
Jangan menyerah pada keadaan, percayalah kepada Tuhan karena Dia adalah jalan dan kebenaran dan hidup (baca Yohanes 14:6); di dalam Dia selalu ada jalan keluar, dan jalan-Nya selalu penuh keajaiban.
Baca: Yesaya 51:1-23
"Bukankah Engkau yang mengeringkan laut, air samudera raya yang hebat? yang membuat laut yang dalam menjadi jalan, supaya orang-orang yang diselamatkan dapat menyeberang?" Yesaya 51:10
Ketika mengikuti jalan-jalan Tuhan dan taat melakukan kehendak-Nya bukan berarti perjalanan hidup kita terus mulus dan lancar. Terkadang kita harus menghadapi lorong-lorong gelap, bahkan lembah kekelaman. Doa-doa kita serasa tak mampu menembus langit-langit kamar. Sepertinya semakin kita setia kepada Tuhan semakin kita dihadapkan pada masalah demi masalah yang tidak ada jalan keluarnya. Dalam kondisi seperti ini mari kuatkan iman kepada Tuhan, jangan marah, kecewa dan menyalahkan Tuhan. Berkatalah Musa kepada umat Israel, "Janganlah takut, berdirilah tetap dan lihatlah keselamatan dari TUHAN, yang akan diberikan-Nya hari ini kepadamu; sebab orang Mesir yang kamu lihat hari ini, tidak akan kamu lihat lagi untuk selama-lamanya." (Keluaran 14:13).
Meski secara kasat mata umat Israel sedang diperhadapkan pada jalan buntu, Tuhan memerintahkan mereka untuk terus bergerak maju karena Tuhan tidak berkompromi dengan ketakutan. Kalimat berdirilah tetap artinya sesulit apa pun keadaan kita tetaplah berada di pihak Tuhan, tetap mengerjakan bagian kita yaitu percaya dan taat kepada Tuhan. Kata tetap berarti terus-menerus, tidak berubah. Tuhan tidak menghendaki kita menyerah di tengah jalan. Memang bukan perkara mudah, dibutuhkan iman untuk melakukan apa yang diinstruksikan Tuhan karena perintah Tuhan itu seringkali tidak masuk di akal. Tetapi jika kita mau taat dan melangkah dengan iman, kita akan melihat pembelaan Tuhan. Kita akan melihat kemuliaan, keselamatan dan kemenangan yang Tuhan sediakan bagi kita.
Inilah buktinya: ketika umat Israel taat, Tuhan pun bertindak. Dengan tangan-Nya yang penuh kuasa Tuhan menunggangbalikkan pasukan Firaun dengan kereka dan kudanya ke tengah-tengah laut. "Dan orang Israel melihat orang Mesir mati terhantar di pantai laut." (Keluaran 14:30b).
Jangan menyerah pada keadaan, percayalah kepada Tuhan karena Dia adalah jalan dan kebenaran dan hidup (baca Yohanes 14:6); di dalam Dia selalu ada jalan keluar, dan jalan-Nya selalu penuh keajaiban.
Tuesday, November 24, 2015
JALAN BUNTU (1)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 24 November 2015
Baca: Yesaya 51:1-23
"Ia membuat padang gurunnya seperti taman Eden dan padang belantaranya seperti taman TUHAN." Yesaya 51:3b
Bagaimana reaksi Anda ketika sedang menempuh perjalanan jauh, di tengah terik matahari yang sangat menyengat dan melelahkan, tiba-tiba menemui jalan buntu, dalam arti yang sesungguhnya? Perasaan Anda pasti akan campur aduk: kecewa, marah, frustasi, kesal membaur jadi satu. Akhirnya tanpa sadar keluarlah dari mulut kita perkataan yang negatif sebagai reaksinya. Dengan perasaan dongkol pun kita akan memutar balik langkah kita dan berusaha mencari jalan alternatif.
Bagaimana jika jalan buntu atau dead lock itu mengacu kepada tidak adanya jalan keluar untuk masalah yang sedang kita hadapi? Ketika menemui jalan buntu sebagian besar orang akan menyerah pada keadaan dan putus asa. Menghadapi jalan buntu juga pernah dialami oleh bangsa Israel ketika mereka dikejar-kejar oleh pasukan Firaun. "Adapun orang Mesir, segala kuda dan kereta Firaun, orang-orang berkuda dan pasukannya, mengejar mereka..." (Keluaran 14:9), sementara di depan mata mereka terbentang laut Teberau. Secara manusia mustahil mereka akan terluput dari kejaran orang-orang Mesir ini. Ketika menghadapi jalan buntu umat Israel mengalami keputusasaan dan ketakutan luar bisa, lalu berseru-serulah mereka kepada Tuhan dan berkata kepada Musa, "Apakah karena tidak ada kuburan di Mesir, maka engkau membawa kami untuk mati di padang gurun ini? Apakah yang kauperbuat ini terhadap kami dengan membawa kami keluar dari Mesir?" (Keluaran 14:11). Ketakutan adalah musuh dari iman! Semakin kita takut semakin lemahlah keadaan kita sehingga kita pun semakin tak punya kekuatan untuk melakukan sesuatu. Ketakutan adalah roh yang harus dilawan dan dikalahkan, "Sebab Allah memberikan kepada kita bukan roh ketakutan, melainkan roh yang membangkitkan kekuatan, kasih dan ketertiban." (2 Timotius 1:7).
Karena dihantui oleh rasa takut yang berlebihan akhirnya yang terbayang dan timbul didalam pikiran umat Israel adalah hal-hal negatif, bahkan kematian. Adakalanya Tuhan mengijinkan kita mengalami situasi-situasi sulit dan menghadapi jalan buntu, "...supaya kami jangan menaruh kepercayaan pada diri kami sendiri, tetapi hanya kepada Allah yang membangkitkan orang-orang mati." (2 Korintus 1:9). (Bersambung)
Baca: Yesaya 51:1-23
"Ia membuat padang gurunnya seperti taman Eden dan padang belantaranya seperti taman TUHAN." Yesaya 51:3b
Bagaimana reaksi Anda ketika sedang menempuh perjalanan jauh, di tengah terik matahari yang sangat menyengat dan melelahkan, tiba-tiba menemui jalan buntu, dalam arti yang sesungguhnya? Perasaan Anda pasti akan campur aduk: kecewa, marah, frustasi, kesal membaur jadi satu. Akhirnya tanpa sadar keluarlah dari mulut kita perkataan yang negatif sebagai reaksinya. Dengan perasaan dongkol pun kita akan memutar balik langkah kita dan berusaha mencari jalan alternatif.
Bagaimana jika jalan buntu atau dead lock itu mengacu kepada tidak adanya jalan keluar untuk masalah yang sedang kita hadapi? Ketika menemui jalan buntu sebagian besar orang akan menyerah pada keadaan dan putus asa. Menghadapi jalan buntu juga pernah dialami oleh bangsa Israel ketika mereka dikejar-kejar oleh pasukan Firaun. "Adapun orang Mesir, segala kuda dan kereta Firaun, orang-orang berkuda dan pasukannya, mengejar mereka..." (Keluaran 14:9), sementara di depan mata mereka terbentang laut Teberau. Secara manusia mustahil mereka akan terluput dari kejaran orang-orang Mesir ini. Ketika menghadapi jalan buntu umat Israel mengalami keputusasaan dan ketakutan luar bisa, lalu berseru-serulah mereka kepada Tuhan dan berkata kepada Musa, "Apakah karena tidak ada kuburan di Mesir, maka engkau membawa kami untuk mati di padang gurun ini? Apakah yang kauperbuat ini terhadap kami dengan membawa kami keluar dari Mesir?" (Keluaran 14:11). Ketakutan adalah musuh dari iman! Semakin kita takut semakin lemahlah keadaan kita sehingga kita pun semakin tak punya kekuatan untuk melakukan sesuatu. Ketakutan adalah roh yang harus dilawan dan dikalahkan, "Sebab Allah memberikan kepada kita bukan roh ketakutan, melainkan roh yang membangkitkan kekuatan, kasih dan ketertiban." (2 Timotius 1:7).
Karena dihantui oleh rasa takut yang berlebihan akhirnya yang terbayang dan timbul didalam pikiran umat Israel adalah hal-hal negatif, bahkan kematian. Adakalanya Tuhan mengijinkan kita mengalami situasi-situasi sulit dan menghadapi jalan buntu, "...supaya kami jangan menaruh kepercayaan pada diri kami sendiri, tetapi hanya kepada Allah yang membangkitkan orang-orang mati." (2 Korintus 1:9). (Bersambung)
Monday, November 23, 2015
DIHAJAR UNTUK DIPULIHKAN
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 23 November 2015
Baca: Yesaya 60:1-22
"sebab dalam murka-Ku Aku telah menghajar engkau, namun Aku telah berkenan untuk mengasihani engkau." Yesaya 60:10
Mendengar kata hajaran pasti terbayang di benak kita suatu pukulan bertubi-tubi untuk melampiaskan amarah yang sedang memuncak, yang menimbulkan rasa sakit mendalam. Tindakan menghajar ini biasanya dilakukan oleh seseorang yang menaruh dendam atau kebencian terhadap orang lain.
Dalam kekristenan tidaklah demikian. Hajaran yang dilakukan Tuhan terhadap anak-anak-Nya bukanlah karena Ia tidak mengasihi kita, justru sebaliknya ini adalah bagian dari kasih-Nya. "karena Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak." (Ibrani 12:6). Tuhan menghajar kita bukanlah untuk melampiaskan amarah dan kebencian-Nya kepada kita, tetapi dengan maksud dan tujuan supaya kita memiliki kehidupan yang berkualitas dan bermanfaat. Tuhan mengasihi kita apa adanya, namun Ia tidak akan membiarkan kita tetap dalam keadaan yang 'apa adanya'; karena itu Ia akan memroses dan membentuk kita sampai kita menghasilkan buah-buah terbaik.
Emas murni selalu dihasilkan dari pemurnian dalam api yang memakan waktu cukup lama sampai semua kotoran dan ketidakmurnian yang terkandung di dalam logam itu terbakar habis. Bagaimana perajin emas tahu bahwa kotoran di dalam emas habis terbakar? Ialah ketika ia bisa melihat bayangan dirinya sendiri pada emas yang sedang dileburnya itu... Hajaran Tuhan terhadap anak-anak-Nya hanyalah untuk memurnikan kita "...sampai rupa Kristus menjadi nyata di dalam kamu." (Galatia 4:19).
Berapa lama Tuhan menghajar kita? Sampai maksud dan tujuan-Nya tercapai, serta tergantung kerelaan hati kita untuk dibentuk Tuhan. Semakin memberontak semakin lama proses yang harus kita jalani, seperti bangsa Israel yang harus mengalami hajaran Tuhan 40 tahun di padang gurun karena tegar tengkuk. "Berbahagialah orang yang Kauhajar, ya TUHAN, dan yang Kauajari dari Taurat-Mu," (Mazmur 94:12). Tuhan menghajar kita dengan tujuan untuk pemulihan, seperti "Ketika TUHAN memulihkan keadaan Sion, keadaan kita seperti orang-orang yang bermimpi." (Mazmur 126:1).
Hajaran Tuhan selalu mendatangkan kebaikan bagi kita!
Baca: Yesaya 60:1-22
"sebab dalam murka-Ku Aku telah menghajar engkau, namun Aku telah berkenan untuk mengasihani engkau." Yesaya 60:10
Mendengar kata hajaran pasti terbayang di benak kita suatu pukulan bertubi-tubi untuk melampiaskan amarah yang sedang memuncak, yang menimbulkan rasa sakit mendalam. Tindakan menghajar ini biasanya dilakukan oleh seseorang yang menaruh dendam atau kebencian terhadap orang lain.
Dalam kekristenan tidaklah demikian. Hajaran yang dilakukan Tuhan terhadap anak-anak-Nya bukanlah karena Ia tidak mengasihi kita, justru sebaliknya ini adalah bagian dari kasih-Nya. "karena Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak." (Ibrani 12:6). Tuhan menghajar kita bukanlah untuk melampiaskan amarah dan kebencian-Nya kepada kita, tetapi dengan maksud dan tujuan supaya kita memiliki kehidupan yang berkualitas dan bermanfaat. Tuhan mengasihi kita apa adanya, namun Ia tidak akan membiarkan kita tetap dalam keadaan yang 'apa adanya'; karena itu Ia akan memroses dan membentuk kita sampai kita menghasilkan buah-buah terbaik.
Emas murni selalu dihasilkan dari pemurnian dalam api yang memakan waktu cukup lama sampai semua kotoran dan ketidakmurnian yang terkandung di dalam logam itu terbakar habis. Bagaimana perajin emas tahu bahwa kotoran di dalam emas habis terbakar? Ialah ketika ia bisa melihat bayangan dirinya sendiri pada emas yang sedang dileburnya itu... Hajaran Tuhan terhadap anak-anak-Nya hanyalah untuk memurnikan kita "...sampai rupa Kristus menjadi nyata di dalam kamu." (Galatia 4:19).
Berapa lama Tuhan menghajar kita? Sampai maksud dan tujuan-Nya tercapai, serta tergantung kerelaan hati kita untuk dibentuk Tuhan. Semakin memberontak semakin lama proses yang harus kita jalani, seperti bangsa Israel yang harus mengalami hajaran Tuhan 40 tahun di padang gurun karena tegar tengkuk. "Berbahagialah orang yang Kauhajar, ya TUHAN, dan yang Kauajari dari Taurat-Mu," (Mazmur 94:12). Tuhan menghajar kita dengan tujuan untuk pemulihan, seperti "Ketika TUHAN memulihkan keadaan Sion, keadaan kita seperti orang-orang yang bermimpi." (Mazmur 126:1).
Hajaran Tuhan selalu mendatangkan kebaikan bagi kita!
Sunday, November 22, 2015
MASA PENANTIAN YANG TAK MUDAH
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 22 November 2015
Baca: Habakuk 2:1-5
"Sebab penglihatan itu masih menanti saatnya, tetapi ia bersegera menuju kesudahannya dengan tidak menipu; apabila berlambat-lambat, nantikanlah itu, sebab itu sungguh-sungguh akan datang dan tidak akan bertangguh." Habakuk 2:3
Siapa pun orangnya jika disuruh untuk menanti sesuatu pasti merasa bosan, jenuh dan tidak lagi sabar. Dalam segala hal kita maunya serba instan, GPL (gak pake lama), lalu muncullah istilah makanan cepat saji. Kita tidak mau menanti, apalagi dalam kurun waktu yang lama, sedangkan mengantri yang cuma membutuhkan waktu beberapa menit saja kita tidak mau. Bahkan budaya antri belum terbentuk di negeri kita ini. Perhatikan dalam kehidupan sehari-hari: ketika jalanan padat merayap atau macet banyak sekali pengemudi yang tidak mau sabar atau antri, mereka saling serobot, berani melanggar marka jalan dan membunyikan klakson tanpa henti. Di lampu merah sekali pun mereka tidak sabar menanti meski cuma beberapa menit. Tak jauh beda ketika mengantri di kasir atau loket pembayaran, tanpa rasa bersalah ada saja orang-orang yang menyerobot antrian.
Rasa tidak sabar menanti dan menginginkan sesuatu secara cepat juga terjadi pada Abraham. Ketika berumur tujuh puluh lima tahun Tuhan berjanji kepada Abraham bahwa ia akan menjadi bangsa yang besar. "Coba lihat ke langit, hitunglah bintang-bintang, jika engkau dapat menghitungnya...Demikianlah banyaknya nanti keturunanmu." (Kejadian 15:5). Namun setelah menunggu waktu 10 tahun lamanya Sara (isterinya) belum juga mengandung Abraham pun menjadi tidak sabar, akhirnya ia pun mengikuti saran isterinya untuk menghampiri hambanya, Hagar (baca Kejadian 16:2), yang akhirnya melahirkan seorang anak yaitu Ismael, tetapi Ismael bukanlah anak perjanjian. Karena kurang sabar menanti janji Tuhan Abraham nekad mengambil jalan pintas walaupun akhirnya Tuhan menepati janji-Nya: Sara mengandung dan melahirkan Ishak baginya sebagai anak perjanjian. Abraham harus menunggu selama dua puluh lima tahun!
Tuhan mengijinkan Abraham menunggu dalam waktu yang cukup lama karena Ia sedang membentuk dan menguji imannya, sampai akhirnya ia layak dan pantas untuk disebut bapa dari semua orang beriman.
"...Engkau sanggup melakukan segala sesuatu, dan tidak ada rencana-Mu yang gagal." Ayub 42:2
Baca: Habakuk 2:1-5
"Sebab penglihatan itu masih menanti saatnya, tetapi ia bersegera menuju kesudahannya dengan tidak menipu; apabila berlambat-lambat, nantikanlah itu, sebab itu sungguh-sungguh akan datang dan tidak akan bertangguh." Habakuk 2:3
Siapa pun orangnya jika disuruh untuk menanti sesuatu pasti merasa bosan, jenuh dan tidak lagi sabar. Dalam segala hal kita maunya serba instan, GPL (gak pake lama), lalu muncullah istilah makanan cepat saji. Kita tidak mau menanti, apalagi dalam kurun waktu yang lama, sedangkan mengantri yang cuma membutuhkan waktu beberapa menit saja kita tidak mau. Bahkan budaya antri belum terbentuk di negeri kita ini. Perhatikan dalam kehidupan sehari-hari: ketika jalanan padat merayap atau macet banyak sekali pengemudi yang tidak mau sabar atau antri, mereka saling serobot, berani melanggar marka jalan dan membunyikan klakson tanpa henti. Di lampu merah sekali pun mereka tidak sabar menanti meski cuma beberapa menit. Tak jauh beda ketika mengantri di kasir atau loket pembayaran, tanpa rasa bersalah ada saja orang-orang yang menyerobot antrian.
Rasa tidak sabar menanti dan menginginkan sesuatu secara cepat juga terjadi pada Abraham. Ketika berumur tujuh puluh lima tahun Tuhan berjanji kepada Abraham bahwa ia akan menjadi bangsa yang besar. "Coba lihat ke langit, hitunglah bintang-bintang, jika engkau dapat menghitungnya...Demikianlah banyaknya nanti keturunanmu." (Kejadian 15:5). Namun setelah menunggu waktu 10 tahun lamanya Sara (isterinya) belum juga mengandung Abraham pun menjadi tidak sabar, akhirnya ia pun mengikuti saran isterinya untuk menghampiri hambanya, Hagar (baca Kejadian 16:2), yang akhirnya melahirkan seorang anak yaitu Ismael, tetapi Ismael bukanlah anak perjanjian. Karena kurang sabar menanti janji Tuhan Abraham nekad mengambil jalan pintas walaupun akhirnya Tuhan menepati janji-Nya: Sara mengandung dan melahirkan Ishak baginya sebagai anak perjanjian. Abraham harus menunggu selama dua puluh lima tahun!
Tuhan mengijinkan Abraham menunggu dalam waktu yang cukup lama karena Ia sedang membentuk dan menguji imannya, sampai akhirnya ia layak dan pantas untuk disebut bapa dari semua orang beriman.
"...Engkau sanggup melakukan segala sesuatu, dan tidak ada rencana-Mu yang gagal." Ayub 42:2
Saturday, November 21, 2015
PERHATIKAN ORANG MISKIN, BUKAN MENINDAS (2)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 21 November 2015
Baca: Yesaya 25:1-5
"Sebab Engkau menjadi tempat pengungsian bagi orang lemah, tempat pengungsian bagi orang miskin dalam kesesakannya," Yesaya 25:4
Bukan hal yang mengejutkan lagi jika di zaman sekarang ini banyak orang yang kurang memiliki kepedulian terhadap sesamanya, karena Alkitab sudah mencatat "...bahwa pada hari-hari terakhir akan datang masa yang sukar. Manusia akan mencintai dirinya sendiri dan menjadi hamba uang...tidak tahu mengasihi..." (2 Timotius 3:1-4). Ada yang berpikiran membantu orang miskin adalah pemborosan. Seringkali terjadi orang kaya menindas dan berlaku semena-mena terhadap orang miskin. Berhati-hatilah, sebab ada tertulis: "Siapa mengolok-olok orang miskin menghina Penciptanya;" (Amsal 17:5). Keberadaan orang-orang miskin di hadapan Tuhan sangat berharga. Terhadap mereka Tuhan memposisikan diri-Nya sebagai tempat pengungsian, perlindungan, penolong, pelepas dan pemelihara.
Ketika melayani di bumi sebagian besar pelayanan Yesus Ia tujukan kepada orang-orang miskin, yang di dalam masyarakat Yahudi keberadaannya kurang dianggap dan dipandang sebelah mata. Ingat, di dalam kehidupan ini berlaku hukum tabur tuai. Kalau kita memberi kepada orang kaya mereka pasti bisa langsung membalas pemberian kita. Itulah hukum dunia! Tetapi kalau kita memberi kepada orang miskin tentunya sulit bagi mereka membalas pemberian kita. Dalam hal ini Tuhanlah yang akan membalas perbuatan baik yang kita lakukan tanpa pamrih itu. Terhadap orang yang suka menolong dan memperhatikan orang miskin Tuhan akan mendengar dan menolong ketika ia berseru-seru pada waktu kesesakan,. Tetapi "Siapa menutup telinganya bagi jeritan orang lemah, tidak akan menerima jawaban, kalau ia sendiri berseru-seru." (Amsal 21:13).
Sebagai orang percaya marilah kita mempraktekkan kasih dengan perbuatan nyata, dan prioritas utama dalam pemeliharaan terhadap orang yang miskin dan lemah adalah saudara-saudara kita seiman terlebih dahulu. Ketika kita memperhatikan dan menolong mereka sama artinya kita melakukan itu untuk Tuhan.
"Barangsiapa mempunyai harta duniawi dan melihat saudaranya menderita kekurangan tetapi menutup pintu hatinya terhadap saudaranya itu, bagaimanakah kasih Allah dapat tetap di dalam dirinya?" 1 Yohanes 3:17
Baca: Yesaya 25:1-5
"Sebab Engkau menjadi tempat pengungsian bagi orang lemah, tempat pengungsian bagi orang miskin dalam kesesakannya," Yesaya 25:4
Bukan hal yang mengejutkan lagi jika di zaman sekarang ini banyak orang yang kurang memiliki kepedulian terhadap sesamanya, karena Alkitab sudah mencatat "...bahwa pada hari-hari terakhir akan datang masa yang sukar. Manusia akan mencintai dirinya sendiri dan menjadi hamba uang...tidak tahu mengasihi..." (2 Timotius 3:1-4). Ada yang berpikiran membantu orang miskin adalah pemborosan. Seringkali terjadi orang kaya menindas dan berlaku semena-mena terhadap orang miskin. Berhati-hatilah, sebab ada tertulis: "Siapa mengolok-olok orang miskin menghina Penciptanya;" (Amsal 17:5). Keberadaan orang-orang miskin di hadapan Tuhan sangat berharga. Terhadap mereka Tuhan memposisikan diri-Nya sebagai tempat pengungsian, perlindungan, penolong, pelepas dan pemelihara.
Ketika melayani di bumi sebagian besar pelayanan Yesus Ia tujukan kepada orang-orang miskin, yang di dalam masyarakat Yahudi keberadaannya kurang dianggap dan dipandang sebelah mata. Ingat, di dalam kehidupan ini berlaku hukum tabur tuai. Kalau kita memberi kepada orang kaya mereka pasti bisa langsung membalas pemberian kita. Itulah hukum dunia! Tetapi kalau kita memberi kepada orang miskin tentunya sulit bagi mereka membalas pemberian kita. Dalam hal ini Tuhanlah yang akan membalas perbuatan baik yang kita lakukan tanpa pamrih itu. Terhadap orang yang suka menolong dan memperhatikan orang miskin Tuhan akan mendengar dan menolong ketika ia berseru-seru pada waktu kesesakan,. Tetapi "Siapa menutup telinganya bagi jeritan orang lemah, tidak akan menerima jawaban, kalau ia sendiri berseru-seru." (Amsal 21:13).
Sebagai orang percaya marilah kita mempraktekkan kasih dengan perbuatan nyata, dan prioritas utama dalam pemeliharaan terhadap orang yang miskin dan lemah adalah saudara-saudara kita seiman terlebih dahulu. Ketika kita memperhatikan dan menolong mereka sama artinya kita melakukan itu untuk Tuhan.
"Barangsiapa mempunyai harta duniawi dan melihat saudaranya menderita kekurangan tetapi menutup pintu hatinya terhadap saudaranya itu, bagaimanakah kasih Allah dapat tetap di dalam dirinya?" 1 Yohanes 3:17
Friday, November 20, 2015
PERHATIKAN ORANG MISKIN, BUKAN MENINDAS (1)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 20 November 2015
Baca: Ulangan 15:1-11
"Sebab orang-orang miskin tidak hentinya akan ada di dalam negeri itu; itulah sebabnya aku memberi perintah kepadamu, demikian: Haruslah engkau membuka tangan lebar-lebar bagi saudaramu, yang tertindas dan yang miskin di negerimu." Ulangan 15:11
Siapa itu orang miskin? Secara umum orang miskin berarti tidak berharta, serba kekurangan dan berpenghasilan sangat rendah. Hampir di setiap negara pasti ada penduduk miskin atau berekonomi lemah, tak terkecuali di Indonesia. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penduduk miskin di Indonesia sampai dengan periode September 2014 telah mencapai 27,73 juta orang atau 10,96 persen dari jumlah seluruh penduduk Indonesia. Sungguh berita menyedihkan! Di satu sisi banyak sekali petinggi negara bergelimang harta di bawah garis kemiskinan. Akibatnya terjadi kesenjangan sosial yang sangat mencolok, di mana jurang pemisah antara si kaya dan si miskin pun semakin dalam.
Jika kita melihat orang lain yang hidupnya dalam kekurangan, menderita dan miskin, apa yang kita perbuat? Banyak orang yang berkecukupan materi bersikap cuek dan masa bodoh, bahkan sering kita jumpai orang kaya bukannya menolong dan membantu orang miskin tetapi malah menindas dan bersikap semena-mena. Perhatikan! Salah satu faktor yang menghalangi doa-doa kita dijawab Tuhan adalah kita menutup mata dan telinga terhadap jeritan orang-orang miskin. Jangan pernah menyalahkan Tuhan apabila saat kita sendiri dalam kesesakan bersertu kepada Tuhan Ia tidak menjawab dan mengabaikan. Sebaliknya, "Berbahagialah orang yang memperhatikan orang lemah! TUHAN akan meluputkan dia pada waktu celaka." (Mazmur 41:2). Tuhan menghendaki kita punya kepedulian terhadap mereka yang miskin, sebab "Siapa memberi kepada orang miskin tak akan berkekurangan, tetapi orang yang menutup matanya akan sangat dikutuki." (Amsal 28:27).
Sesungguhnya bermurah hati kepada orang miskin sama artinya "...berbuat baik kepada diri sendiri," (Amsal 11:17), asalkan hal itu dilakukan dengan hati yang tulus, sukacita, penuh kasih dan motivasi benar, bukan karena terpaksa, karena desakan dari pihak lain, apalagi disertai motivasi terselubung mencari pujian dan hormat manusia. (Bersambung)
Baca: Ulangan 15:1-11
"Sebab orang-orang miskin tidak hentinya akan ada di dalam negeri itu; itulah sebabnya aku memberi perintah kepadamu, demikian: Haruslah engkau membuka tangan lebar-lebar bagi saudaramu, yang tertindas dan yang miskin di negerimu." Ulangan 15:11
Siapa itu orang miskin? Secara umum orang miskin berarti tidak berharta, serba kekurangan dan berpenghasilan sangat rendah. Hampir di setiap negara pasti ada penduduk miskin atau berekonomi lemah, tak terkecuali di Indonesia. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penduduk miskin di Indonesia sampai dengan periode September 2014 telah mencapai 27,73 juta orang atau 10,96 persen dari jumlah seluruh penduduk Indonesia. Sungguh berita menyedihkan! Di satu sisi banyak sekali petinggi negara bergelimang harta di bawah garis kemiskinan. Akibatnya terjadi kesenjangan sosial yang sangat mencolok, di mana jurang pemisah antara si kaya dan si miskin pun semakin dalam.
Jika kita melihat orang lain yang hidupnya dalam kekurangan, menderita dan miskin, apa yang kita perbuat? Banyak orang yang berkecukupan materi bersikap cuek dan masa bodoh, bahkan sering kita jumpai orang kaya bukannya menolong dan membantu orang miskin tetapi malah menindas dan bersikap semena-mena. Perhatikan! Salah satu faktor yang menghalangi doa-doa kita dijawab Tuhan adalah kita menutup mata dan telinga terhadap jeritan orang-orang miskin. Jangan pernah menyalahkan Tuhan apabila saat kita sendiri dalam kesesakan bersertu kepada Tuhan Ia tidak menjawab dan mengabaikan. Sebaliknya, "Berbahagialah orang yang memperhatikan orang lemah! TUHAN akan meluputkan dia pada waktu celaka." (Mazmur 41:2). Tuhan menghendaki kita punya kepedulian terhadap mereka yang miskin, sebab "Siapa memberi kepada orang miskin tak akan berkekurangan, tetapi orang yang menutup matanya akan sangat dikutuki." (Amsal 28:27).
Sesungguhnya bermurah hati kepada orang miskin sama artinya "...berbuat baik kepada diri sendiri," (Amsal 11:17), asalkan hal itu dilakukan dengan hati yang tulus, sukacita, penuh kasih dan motivasi benar, bukan karena terpaksa, karena desakan dari pihak lain, apalagi disertai motivasi terselubung mencari pujian dan hormat manusia. (Bersambung)
Thursday, November 19, 2015
BERKAT TUHAN SECARA MATERI
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 19 November 2015
Baca: Mazmur 67:1-8
"Kiranya Allah mengasihani kita dan memberkati kita, kiranya Ia menyinari kita dengan wajah-Nya," Mazmur 67:2
Jika diajukan satu pertanyaan kepada orang percaya: "Apa tema khotbah yang paling disukai dan ditunggu-tunggu?" Hampir semua orang akan menjawab: berkat, kesuksesan atau keberhasilan. Ketika hal inilah yang selalu menjadi topik utama dalam setiap perbincangan di antara orang percaya. Adakah di antara kita yang menolak berkat dari Tuhan dengan berkata, "Stop Tuhan...Jangan memberkati aku terus-menerus, ini sudah lebih dari cukup."? Namun yang sering kita katakan, "Berkat Tuhan kok cuma segini doang?" Kita protes dan komplain kepada Tuhan karena merasa belum diberkati jika keadaan kita tetap saja tidak ada peningkatan. Kita berkata demikian karena kita menilai dan mengukur berkat Tuhan semata-mata berdasarkan besarnya materi atau kekayaan.
Sesungguhnya berkat utama dan terbesar bagi orang percaya adalah pengampunan dosa dan keselamatan, sementara berkat materi atau kekayaan hanyalah 'bonus' yang diberikan Tuhan bagi orang percaya, sehingga "...engkau akan tercengang dan akan berbesar hati, sebab kelimpahan dari seberang laut akan beralih kepadamu, dan kekayaan bangsa-bangsa akan datang kepadamu." (Yesaya 60:5). Tuhan memberkati umat-Nya dengan kelimpahan materi bukan tanpa maksud. Ini adalah bagian dari cara Tuhan memulihkan keadaan umat-Nya supaya dapat hidup selayaknya sebagai anak-anak Raja dan menjadi kesaksian bagi dunia; artinya berkat tersebut bukan hanya untuk diri sendiri, tapi harus menjadi saluran berkat bagi jiwa-jiwa. "Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar, dan memberkati engkau serta membuat namamu masyhur; dan engkau akan menjadi berkat." (Kejadian 12:2), dan juga untuk mendukung pekerjaan Tuhan di muka bumi ini, sebab untuk memberitakan Injil ke seluruh dunia sangat membutuhkan dana yang tidak sedikit.
Belajarlah dari jemaat Makedonia. Meski keadaan mereka tidak berlebih tapi hati mereka terbeban untuk mendukung pelayanan penginjilan, bahkan "Mereka memberikan lebih banyak dari pada yang kami harapkan." (2 Korintus 8:5a).
"supaya jalan-Mu dikenal di bumi, dan keselamatan-Mu di antara segala bangsa." Mazmur 67:3
Baca: Mazmur 67:1-8
"Kiranya Allah mengasihani kita dan memberkati kita, kiranya Ia menyinari kita dengan wajah-Nya," Mazmur 67:2
Jika diajukan satu pertanyaan kepada orang percaya: "Apa tema khotbah yang paling disukai dan ditunggu-tunggu?" Hampir semua orang akan menjawab: berkat, kesuksesan atau keberhasilan. Ketika hal inilah yang selalu menjadi topik utama dalam setiap perbincangan di antara orang percaya. Adakah di antara kita yang menolak berkat dari Tuhan dengan berkata, "Stop Tuhan...Jangan memberkati aku terus-menerus, ini sudah lebih dari cukup."? Namun yang sering kita katakan, "Berkat Tuhan kok cuma segini doang?" Kita protes dan komplain kepada Tuhan karena merasa belum diberkati jika keadaan kita tetap saja tidak ada peningkatan. Kita berkata demikian karena kita menilai dan mengukur berkat Tuhan semata-mata berdasarkan besarnya materi atau kekayaan.
Sesungguhnya berkat utama dan terbesar bagi orang percaya adalah pengampunan dosa dan keselamatan, sementara berkat materi atau kekayaan hanyalah 'bonus' yang diberikan Tuhan bagi orang percaya, sehingga "...engkau akan tercengang dan akan berbesar hati, sebab kelimpahan dari seberang laut akan beralih kepadamu, dan kekayaan bangsa-bangsa akan datang kepadamu." (Yesaya 60:5). Tuhan memberkati umat-Nya dengan kelimpahan materi bukan tanpa maksud. Ini adalah bagian dari cara Tuhan memulihkan keadaan umat-Nya supaya dapat hidup selayaknya sebagai anak-anak Raja dan menjadi kesaksian bagi dunia; artinya berkat tersebut bukan hanya untuk diri sendiri, tapi harus menjadi saluran berkat bagi jiwa-jiwa. "Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar, dan memberkati engkau serta membuat namamu masyhur; dan engkau akan menjadi berkat." (Kejadian 12:2), dan juga untuk mendukung pekerjaan Tuhan di muka bumi ini, sebab untuk memberitakan Injil ke seluruh dunia sangat membutuhkan dana yang tidak sedikit.
Belajarlah dari jemaat Makedonia. Meski keadaan mereka tidak berlebih tapi hati mereka terbeban untuk mendukung pelayanan penginjilan, bahkan "Mereka memberikan lebih banyak dari pada yang kami harapkan." (2 Korintus 8:5a).
"supaya jalan-Mu dikenal di bumi, dan keselamatan-Mu di antara segala bangsa." Mazmur 67:3
Wednesday, November 18, 2015
HIDUP BERUBAH: Melupakan Masa Lalu
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 18 November 2015
Baca: Filipi 3:1b-16
"Oleh karena Dialah aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus," Filipi 3:8b
Rasul Paulus menegaskan, "...siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang." (2 Korintus 5:17), artinya kita harus menanggalkan manusia lama dan hidup sebagai manusia yang baru. Salah satu upaya menanggalkan manusia lama adalah melupakan masa lalu seperti yang dilakukan rasul Paulus ini, "...aku melupakan apa yang telah di belakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku," (Filipi 3:13). Masa lalu sudah berlalu dan tak mungkin terulang kembali karena waktu terus berjalan maju. Ada sebagian orang yang membangga-banggakan masa lalu karena diwarnai prestasi dan kejayaan. Tetapi ada pula yang sulit sekali melupakan masa lalu karena penuh kegagalan atau hal-hal yang menyayat hati sehingga menimbulkan trauma yang berkepanjangan. Jika kita terus dibayang-bayangi oleh masa lalu sampai kapan pun kita tidak akan pernah move on.
Sejak berjumpa Kristus Paulus mengalami perubahan hidup sehingga bisa berkata bahwa masa lalu atau segala sesuatu yang telah ia raih di luar Kristus tak lebih dari sampah yang tidak berguna, "...apa yang dahulu merupakan keuntungan bagiku, sekarang kuanggap rugi karena Kristus. Malahan segala sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia dari pada semuanya." (Filipi 3:7-8a). Hidup kita pun akan berubah jika kita punya penyerahan diri penuh kepada Tuhan dan mengalami jamahan tangan Tuhan, sebab jamahan-Nya selalu membawa perubahan, pemulihan, kesembuhan dan mujizat. Paulus, yang dulunya adalah penganiaya jemaat, kini mengabdikan seluruh hidupnya bagi Kristus dan rela mati bagi Dia.
Supaya dapat mengalami perubahan hidup yang sesungguhnya kita harus turut disalibkan bersama Kristus, memiliki penyerahan diri kepada Tuhan, punya tekad kuat untuk meninggalkan masa lalu atau kehidupan lama. Jika kita sudah meninggalkan kehidupan lama jangan menoleh ke belakang lagi seperti isteri Lot, yang akhirnya menjadi tiang garam (baca Kejadian 19:26).
"...aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku." Galatia 2:20a. Inilah arti perubahan hidup.
Baca: Filipi 3:1b-16
"Oleh karena Dialah aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus," Filipi 3:8b
Rasul Paulus menegaskan, "...siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang." (2 Korintus 5:17), artinya kita harus menanggalkan manusia lama dan hidup sebagai manusia yang baru. Salah satu upaya menanggalkan manusia lama adalah melupakan masa lalu seperti yang dilakukan rasul Paulus ini, "...aku melupakan apa yang telah di belakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku," (Filipi 3:13). Masa lalu sudah berlalu dan tak mungkin terulang kembali karena waktu terus berjalan maju. Ada sebagian orang yang membangga-banggakan masa lalu karena diwarnai prestasi dan kejayaan. Tetapi ada pula yang sulit sekali melupakan masa lalu karena penuh kegagalan atau hal-hal yang menyayat hati sehingga menimbulkan trauma yang berkepanjangan. Jika kita terus dibayang-bayangi oleh masa lalu sampai kapan pun kita tidak akan pernah move on.
Sejak berjumpa Kristus Paulus mengalami perubahan hidup sehingga bisa berkata bahwa masa lalu atau segala sesuatu yang telah ia raih di luar Kristus tak lebih dari sampah yang tidak berguna, "...apa yang dahulu merupakan keuntungan bagiku, sekarang kuanggap rugi karena Kristus. Malahan segala sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia dari pada semuanya." (Filipi 3:7-8a). Hidup kita pun akan berubah jika kita punya penyerahan diri penuh kepada Tuhan dan mengalami jamahan tangan Tuhan, sebab jamahan-Nya selalu membawa perubahan, pemulihan, kesembuhan dan mujizat. Paulus, yang dulunya adalah penganiaya jemaat, kini mengabdikan seluruh hidupnya bagi Kristus dan rela mati bagi Dia.
Supaya dapat mengalami perubahan hidup yang sesungguhnya kita harus turut disalibkan bersama Kristus, memiliki penyerahan diri kepada Tuhan, punya tekad kuat untuk meninggalkan masa lalu atau kehidupan lama. Jika kita sudah meninggalkan kehidupan lama jangan menoleh ke belakang lagi seperti isteri Lot, yang akhirnya menjadi tiang garam (baca Kejadian 19:26).
"...aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku." Galatia 2:20a. Inilah arti perubahan hidup.
Tuesday, November 17, 2015
TINDAKAN IMAN MENGHASILKAN MUJIZAT
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 17 November 2015
Baca: Keluaran 15:22-27
"Musa melemparkan kayu itu ke dalam air; lalu air itu menjadi manis." Keluaran 15:25
Hal pertama yang dilakukan umat Israel ketika mereka mendapati air di Mara pahit rasanya dan tidak dapat diminum adalah mengeluh, mengomel dan bersungut-sungut. Begitu pula yang diperbuat banyak orang Kristen ketika merasakan hal-hal pahit dalam hidupnya (kehancuran rumah tangga, kegagalan studi, bisnis yang pailit dan sebagainya) langsung mengeluh, menggerutu, mengomel, bersungut-sungut, marah dan mencari kambing hitam. Langkah mereka terus dibayang-bayangi kegagalan dan kehancuran karena terus membesar-besarkan masalah yang ada, sehingga mereka tidak bisa melihat sisi positif setiap peristiwa yang terjadi.
Berbeda yang dilakukan Musa. Ketika menghadapi masalah ia tahu apa yang harus diperbuatanya: "Musa berseru-seru kepada TUHAN," (ayat 25). Dalam Mazmur 50:15 dikatakan, "Berserulah kepada-Ku pada waktu kesesakan, Aku akan meluputkan engkau, dan engkau akan memuliakan Aku." Tuhan pun menjawab seruan Musa dengan memberikan jalan keluar untuk masalahnya dengan menunjukkan kepadanya sepotong kayu. Tanpa menunggu lama, Musa "...melemparkan kayu itu ke dalam air; lalu air itu menjadi manis." Untuk melihat dan mengalami perkara-perkara ajaib dari Tuhan perlu sekali kita berdoa dengan iman dan mempraktekkan iman tersebut dengan perbuatan yang nyata, sebab "Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati." (Yakobus 2:17). Jadi iman selalu bekerjasama dengan perbuatan!
Dalam menghadapi masalah apa pun berhentilah bersungut-sungut! Berdoalah kepada Tuhan dan bertindaklah dengan iman. Adalah sia-sia kita berkata memiliki iman jika perbuatan kita sendiri tidak menunjukkan iman. Tindakan melemparkan kayu ke dalam air adalah perwujudan iman. Kalau tidak punya iman mana mungkin Musa mau melakukannya, bukankah yang dilempar itu hanya kayu biasa? Tapi karena Tuhan yang menyediakan, Musa pun peka apa yang menjadi maksud Tuhan. Ini berbicara tentang ketaatan. Setiap ketaatan selalu mendatangkan berkat dan mujizat! Air yang pahit berubah menjadi manis. Kayu itu tidak berkuasa mengubah air yang pahit menjadi manis, tetapi tindakan iman Musa dan campur tangan Tuhan itulah yang menghasilkan mujizat.
Iman adalah pintu gerbang menuju karya adikodrati. Ilahi dinyatakan.
Baca: Keluaran 15:22-27
"Musa melemparkan kayu itu ke dalam air; lalu air itu menjadi manis." Keluaran 15:25
Hal pertama yang dilakukan umat Israel ketika mereka mendapati air di Mara pahit rasanya dan tidak dapat diminum adalah mengeluh, mengomel dan bersungut-sungut. Begitu pula yang diperbuat banyak orang Kristen ketika merasakan hal-hal pahit dalam hidupnya (kehancuran rumah tangga, kegagalan studi, bisnis yang pailit dan sebagainya) langsung mengeluh, menggerutu, mengomel, bersungut-sungut, marah dan mencari kambing hitam. Langkah mereka terus dibayang-bayangi kegagalan dan kehancuran karena terus membesar-besarkan masalah yang ada, sehingga mereka tidak bisa melihat sisi positif setiap peristiwa yang terjadi.
Berbeda yang dilakukan Musa. Ketika menghadapi masalah ia tahu apa yang harus diperbuatanya: "Musa berseru-seru kepada TUHAN," (ayat 25). Dalam Mazmur 50:15 dikatakan, "Berserulah kepada-Ku pada waktu kesesakan, Aku akan meluputkan engkau, dan engkau akan memuliakan Aku." Tuhan pun menjawab seruan Musa dengan memberikan jalan keluar untuk masalahnya dengan menunjukkan kepadanya sepotong kayu. Tanpa menunggu lama, Musa "...melemparkan kayu itu ke dalam air; lalu air itu menjadi manis." Untuk melihat dan mengalami perkara-perkara ajaib dari Tuhan perlu sekali kita berdoa dengan iman dan mempraktekkan iman tersebut dengan perbuatan yang nyata, sebab "Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati." (Yakobus 2:17). Jadi iman selalu bekerjasama dengan perbuatan!
Dalam menghadapi masalah apa pun berhentilah bersungut-sungut! Berdoalah kepada Tuhan dan bertindaklah dengan iman. Adalah sia-sia kita berkata memiliki iman jika perbuatan kita sendiri tidak menunjukkan iman. Tindakan melemparkan kayu ke dalam air adalah perwujudan iman. Kalau tidak punya iman mana mungkin Musa mau melakukannya, bukankah yang dilempar itu hanya kayu biasa? Tapi karena Tuhan yang menyediakan, Musa pun peka apa yang menjadi maksud Tuhan. Ini berbicara tentang ketaatan. Setiap ketaatan selalu mendatangkan berkat dan mujizat! Air yang pahit berubah menjadi manis. Kayu itu tidak berkuasa mengubah air yang pahit menjadi manis, tetapi tindakan iman Musa dan campur tangan Tuhan itulah yang menghasilkan mujizat.
Iman adalah pintu gerbang menuju karya adikodrati. Ilahi dinyatakan.
Monday, November 16, 2015
CEPAT BERUBAH SIKAP
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 16 November 2015
Baca: Keluaran 15:1-21
"Siapakah yang seperti Engkau, di antara para allah, ya TUHAN; siapakah seperti Engkau, mulia karena kekudusan-Mu, menakutkan karena perbuatan-Mu yang masyhur," Keluaran 15:11
Banyak orang Kristen beranggapan bahwa setelah mengikut Tuhan semua masalah, penderitaan, kesusahan, pencobaan, kesukaran, tantangan dan sebagainya pasti berlalu dan tidak ada lagi, sehingga ketika kembali dihadapkan pada situasi-situasi yang sulit mereka pun tidak siap; dampaknya bisa langsung ditebak: bersungut-sungut, mengomel, menyalahkan Tuhan dan akhirnya memberontak kepada Tuhan. Rasul Paulus mengingatkan, "Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya." (1 Korintus 10:13).
Bangsa Israel mengalami hal yang serupa: mengalami mujizat dan pertolongan Tuhan yang ajaib. "Kereta Firaun dan pasukannya dibuang-Nya ke dalam laut; para perwiranya yang pilihan dibenamkan ke dalam Laut Teberau. Samudera raya menutupi mereka; ke air yang dalam mereka tenggelam seperti batu." (Keluaran 15:4-5). Karena memperoleh kemenangan yang gilang-gemilang mereka pun bersorak-sorai penuh sukacita memuliakan Tuhan. "TUHAN itu kekuatanku dan mazmurku, Ia telah menjadi keselamatanku. Ia Allahku, kupuji Dia, Ia Allah bapaku, kuluhurkan Dia. TUHAN itu pahlawan perang; TUHAN, itulah nama-Nya." (Keluaran 15:2-3). Mereka berpikir sisa perjalanan menuju Kanaan mulus tanpa aral. Namun setelah menempuh perjalanan ke padang gurun Syur tiga hari lamanya mereka tidak mendapatkan air sehingga kehausan, bahkan sampai di Mara mereka mendapati air yang rasanya pahit.
Bagaimana sikap bangsa Israel? Apakah tetap bisa memuji-muji Tuhan? Tidak! Dengan secepat kilat sikap mereka berubah! Mereka kembali bersungut-sungut, mengeluh dan kecewa. Mereka tidak bisa menerima keadaan itu.
Ketika masalah kembali terjadi kita seringkali begitu mudah melupakan kebesaran kuasa Tuhan!
Baca: Keluaran 15:1-21
"Siapakah yang seperti Engkau, di antara para allah, ya TUHAN; siapakah seperti Engkau, mulia karena kekudusan-Mu, menakutkan karena perbuatan-Mu yang masyhur," Keluaran 15:11
Banyak orang Kristen beranggapan bahwa setelah mengikut Tuhan semua masalah, penderitaan, kesusahan, pencobaan, kesukaran, tantangan dan sebagainya pasti berlalu dan tidak ada lagi, sehingga ketika kembali dihadapkan pada situasi-situasi yang sulit mereka pun tidak siap; dampaknya bisa langsung ditebak: bersungut-sungut, mengomel, menyalahkan Tuhan dan akhirnya memberontak kepada Tuhan. Rasul Paulus mengingatkan, "Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya." (1 Korintus 10:13).
Bangsa Israel mengalami hal yang serupa: mengalami mujizat dan pertolongan Tuhan yang ajaib. "Kereta Firaun dan pasukannya dibuang-Nya ke dalam laut; para perwiranya yang pilihan dibenamkan ke dalam Laut Teberau. Samudera raya menutupi mereka; ke air yang dalam mereka tenggelam seperti batu." (Keluaran 15:4-5). Karena memperoleh kemenangan yang gilang-gemilang mereka pun bersorak-sorai penuh sukacita memuliakan Tuhan. "TUHAN itu kekuatanku dan mazmurku, Ia telah menjadi keselamatanku. Ia Allahku, kupuji Dia, Ia Allah bapaku, kuluhurkan Dia. TUHAN itu pahlawan perang; TUHAN, itulah nama-Nya." (Keluaran 15:2-3). Mereka berpikir sisa perjalanan menuju Kanaan mulus tanpa aral. Namun setelah menempuh perjalanan ke padang gurun Syur tiga hari lamanya mereka tidak mendapatkan air sehingga kehausan, bahkan sampai di Mara mereka mendapati air yang rasanya pahit.
Bagaimana sikap bangsa Israel? Apakah tetap bisa memuji-muji Tuhan? Tidak! Dengan secepat kilat sikap mereka berubah! Mereka kembali bersungut-sungut, mengeluh dan kecewa. Mereka tidak bisa menerima keadaan itu.
Ketika masalah kembali terjadi kita seringkali begitu mudah melupakan kebesaran kuasa Tuhan!
Sunday, November 15, 2015
JANGAN REMEHKAN
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 15 November 2015
Baca: Markus 6:1-6a
"Bukankah Ia ini tukang kayu, anak Maria, saudara Yakobus, Yoses, Yudas dan Simon?...Lalu mereka kecewa dan menolak Dia." Markus 6:3
Adalah sifat manusia selalu memandang dan menilai segala sesuatu dari sisi luarnya saja, karena itu mereka menghormati dan menghargai sesamanya berdasarkan status sosial. Sementara orang yang tampak biasa cenderung diremehkan dan disepelekan.
Hal ini juga dialami Yesus, Putera Allah yang datang dari sorga ke dunia dalam wujud sebagai manusia biasa dan menjadi saudara dari orang biasa, Ia pun dipandang rendah. Yesus dinilai tak lebih dari anak tukang kayu, suatu profesi yang tidak terpandang di mata manusia. Janganlah sekali-kali kita meremehkan atau memandang rendah orang lain yang secara kasat mata tampak sederhana dan tak punya keistimewaan apa-apa seperti yang diperbuat orang-orang Nazaret yang menghina Yesus, "Dari mana diperoleh-Nya semuanya itu? Hikmat apa pulakah yang diberikan kepada-Nya? Dan mujizat-mujizat yang demikian bagaimanakah dapat diadakan oleh tangan-Nya?" (ayat 2). Bukankah banyak orang Kristen berlaku demikian? Memilih-milih pembicara saat datang beribadah. Bila yang berkotbah hamba Tuhan terkenal dan tampak perlente kita begitu menghormati, mengagumi dan mengidolakannya. Tetapi ketika yang berkotbah hamba Tuhan sederhana, kurang terkenal, biasa dan tidak ada istimewanya menurut pemandangan kita, kita pun kurang menghargai dan menyepelekan dia. Bila yang kita cari dan kagumi adalah manusia suatu saat kita pasti kecewa, karena manusia bisa bisa saja menipu dan mengenakan 'topeng'. Manusia yang dari luar tampak hebat dan luar biasa belum tentu hidupnya dikenan oleh Tuhan.
Samuel pun memiliki penilaian yang salah ketika diutus Tuhan untuk memilih salah satu anak Isai untuk diurapi menjadi raja. Begitu melihat Eliab, yang fisiknya gagah perkasa, ia pun berpikir, "Sungguh, di hadapan TUHAN sekarang berdiri yang diurapi-Nya." (1 Samuel 16:6). Namun justru Daudlah, anak bungsu Isai yang pekerjaannya sebagai penggembala domba dan sangat sederhana, yang dipilih Tuhan menjadi raja, karena Daud memiliki kehidupan yang berkenan di hati Tuhan.
"Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati." 1 Samuel 16:7b
Baca: Markus 6:1-6a
"Bukankah Ia ini tukang kayu, anak Maria, saudara Yakobus, Yoses, Yudas dan Simon?...Lalu mereka kecewa dan menolak Dia." Markus 6:3
Adalah sifat manusia selalu memandang dan menilai segala sesuatu dari sisi luarnya saja, karena itu mereka menghormati dan menghargai sesamanya berdasarkan status sosial. Sementara orang yang tampak biasa cenderung diremehkan dan disepelekan.
Hal ini juga dialami Yesus, Putera Allah yang datang dari sorga ke dunia dalam wujud sebagai manusia biasa dan menjadi saudara dari orang biasa, Ia pun dipandang rendah. Yesus dinilai tak lebih dari anak tukang kayu, suatu profesi yang tidak terpandang di mata manusia. Janganlah sekali-kali kita meremehkan atau memandang rendah orang lain yang secara kasat mata tampak sederhana dan tak punya keistimewaan apa-apa seperti yang diperbuat orang-orang Nazaret yang menghina Yesus, "Dari mana diperoleh-Nya semuanya itu? Hikmat apa pulakah yang diberikan kepada-Nya? Dan mujizat-mujizat yang demikian bagaimanakah dapat diadakan oleh tangan-Nya?" (ayat 2). Bukankah banyak orang Kristen berlaku demikian? Memilih-milih pembicara saat datang beribadah. Bila yang berkotbah hamba Tuhan terkenal dan tampak perlente kita begitu menghormati, mengagumi dan mengidolakannya. Tetapi ketika yang berkotbah hamba Tuhan sederhana, kurang terkenal, biasa dan tidak ada istimewanya menurut pemandangan kita, kita pun kurang menghargai dan menyepelekan dia. Bila yang kita cari dan kagumi adalah manusia suatu saat kita pasti kecewa, karena manusia bisa bisa saja menipu dan mengenakan 'topeng'. Manusia yang dari luar tampak hebat dan luar biasa belum tentu hidupnya dikenan oleh Tuhan.
Samuel pun memiliki penilaian yang salah ketika diutus Tuhan untuk memilih salah satu anak Isai untuk diurapi menjadi raja. Begitu melihat Eliab, yang fisiknya gagah perkasa, ia pun berpikir, "Sungguh, di hadapan TUHAN sekarang berdiri yang diurapi-Nya." (1 Samuel 16:6). Namun justru Daudlah, anak bungsu Isai yang pekerjaannya sebagai penggembala domba dan sangat sederhana, yang dipilih Tuhan menjadi raja, karena Daud memiliki kehidupan yang berkenan di hati Tuhan.
"Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati." 1 Samuel 16:7b
Saturday, November 14, 2015
BERPALING DARI INJIL YANG SEJATI (2)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 14 November 2015
Baca: Galatia 1:11-24
"Di hadapan Allah kutegaskan: apa yang kutuliskan kepadamu ini benar, aku tidak berdusta." Galatia 1:20
Injil lain yang diajarkan guru-guru palsu telah terkontaminasi dengan tradisi, yang menyatakan bahwa jalan menuju keselamatan adalah iman, melakukan hukum Taurat dan tradisi. Mereka menyatakan bahwa anugerah keselamatan Tuhan Yesus harus ditambah dengan sesuatu yang lain lagi. Tradisi dalam konteks jemaat di Galatia adalah perihal sunat. Inilah yang membuat Paulus terheran-heran, mengapa jemaat Galatia begitu mudahnya percaya dan berpaling kepada Injil lain yang diajarkan guru-guru palsu. Padahal jemaat Galatia telah mendapatkan hak istimewa diajar langsung oleh guru terbesar gereja mula-mula yaitu rasul Paulus, yang telah mengajarkan Injil Kristus dengan setia dan tanpa pamrih.
Kondisi seperti inilah yang mungkin sedang terjadi dan masih dilakukan banyak orang Kristen sampai hari ini. Ada bentuk-bentuk tradisi yang masih saja mengikat hidup mereka dan enggan sekali dilepaskan. Kamus Besar Bahasa Indonesia menulis bahwa tradisi adalah adat kebiasaan turun-temurun dari nenek moyang yang masih dijalankan dalam kehidupan masyarakat. Sering dijumpai ketika hendak pindahan rumah mereka masih mencari hari 'baik' dengan bertanya kepada dukun atau orang pintar; ketika mau menikahkan anaknya para orangtua masih mencocokkan 'weton', melihat peruntungan ke suhu-suhu, percaya kepada primbon-primbon, hongsui/feng shui, ramalan bintang dan sebagainya, sementara mereka masih juga menjalankan ibadah sebagaimana biasanya.
Apa yang dilakukan ini sama artinya masih enggan meninggalkan 'Mesir', lambang dari cara hidup dunia, dan tetap saja 'menjamah apa yang najis'. Menjamah yang najis bukan semata-mata berbicara tentang dosa perzinahan secara fisik tapi juga perzinahan secara rohani, atau tidak sepenuhnya percaya kepada kuasa Tuhan dan memberhalakan sesuatu. Ini berbahaya sekali! Apa pun alsannya, tindakan kompromi terhadap cara hidup dunia adalah bertentangan dengan kebenaran Injil.
Kita telah ditebus oleh darah Kristus, berarti telah menerima kasih karunia Allah; karena itu Tuhan menuntut adanya pemisahan dari perkara-perkara duniawi supaya kita tidak terkontaminasi.
Baca: Galatia 1:11-24
"Di hadapan Allah kutegaskan: apa yang kutuliskan kepadamu ini benar, aku tidak berdusta." Galatia 1:20
Injil lain yang diajarkan guru-guru palsu telah terkontaminasi dengan tradisi, yang menyatakan bahwa jalan menuju keselamatan adalah iman, melakukan hukum Taurat dan tradisi. Mereka menyatakan bahwa anugerah keselamatan Tuhan Yesus harus ditambah dengan sesuatu yang lain lagi. Tradisi dalam konteks jemaat di Galatia adalah perihal sunat. Inilah yang membuat Paulus terheran-heran, mengapa jemaat Galatia begitu mudahnya percaya dan berpaling kepada Injil lain yang diajarkan guru-guru palsu. Padahal jemaat Galatia telah mendapatkan hak istimewa diajar langsung oleh guru terbesar gereja mula-mula yaitu rasul Paulus, yang telah mengajarkan Injil Kristus dengan setia dan tanpa pamrih.
Kondisi seperti inilah yang mungkin sedang terjadi dan masih dilakukan banyak orang Kristen sampai hari ini. Ada bentuk-bentuk tradisi yang masih saja mengikat hidup mereka dan enggan sekali dilepaskan. Kamus Besar Bahasa Indonesia menulis bahwa tradisi adalah adat kebiasaan turun-temurun dari nenek moyang yang masih dijalankan dalam kehidupan masyarakat. Sering dijumpai ketika hendak pindahan rumah mereka masih mencari hari 'baik' dengan bertanya kepada dukun atau orang pintar; ketika mau menikahkan anaknya para orangtua masih mencocokkan 'weton', melihat peruntungan ke suhu-suhu, percaya kepada primbon-primbon, hongsui/feng shui, ramalan bintang dan sebagainya, sementara mereka masih juga menjalankan ibadah sebagaimana biasanya.
Apa yang dilakukan ini sama artinya masih enggan meninggalkan 'Mesir', lambang dari cara hidup dunia, dan tetap saja 'menjamah apa yang najis'. Menjamah yang najis bukan semata-mata berbicara tentang dosa perzinahan secara fisik tapi juga perzinahan secara rohani, atau tidak sepenuhnya percaya kepada kuasa Tuhan dan memberhalakan sesuatu. Ini berbahaya sekali! Apa pun alsannya, tindakan kompromi terhadap cara hidup dunia adalah bertentangan dengan kebenaran Injil.
Kita telah ditebus oleh darah Kristus, berarti telah menerima kasih karunia Allah; karena itu Tuhan menuntut adanya pemisahan dari perkara-perkara duniawi supaya kita tidak terkontaminasi.
Friday, November 13, 2015
BERPALING DARI INJIL YANG SEJATI (1)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 13 November 2015
Baca: Galatia 1:6-10
"Aku heran, bahwa kamu begitu lekas berbalik dari pada Dia, yang oleh kasih karunia Kristus telah memanggil kamu, dan mengikuti suatu injil lain, yang sebenarnya bukan Injil." Galatia 1:6-7
Rasul Paulus menulis surat kepada jemaat di Galatia karena ia mendengar ada guru-guru palsu yang menanamkan ajaran sesat atau 'injil lain' ke tengah-tengah jemaat. Mereka dengan sengaja menghasut jemaat agar menolak ajaran kebenaran yang disampaikan Paulus dan melawan dia dengan mempertanyakan status kerasulannya. Itulah sebabnya di awal suratnya rasul Paulus menegaskan bahwa dirinya adalah "...seorang rasul, bukan karena manusia, juga bukan oleh seorang manusia, melainkan oleh Yesus Kristus dan Allah, Bapa, yang telah membangkitkan Dia dari antara orang mati," (ayat 1).
Disebut 'injil lain' karena ajaran yang disampaikan guru-guru palsu tersebut telah menyimpang dari esensi Injil sejati yang menegaskan bahwa manusia dibenarkan melalui iman kepada Yesus Kristus. "Kamu tahu, bahwa tidak seorangpun yang dibenarkan oleh karena melakukan hukum Taurat, tetapi hanya oleh karena iman dalam Kristus Yesus." (Galatia 2:16). Sementara guru-guru palsu mengajarkan bahwa keselamatan dapat diperoleh bukan hanya melalui iman kepada Kristus saja, tapi perlu ditambahi dengan menaati hukum taurat, melakukan tradisi Yahudi dan juga merayakan hari-hari raya. Semua ajaran atau gagasan yang bersumber dari pikiran manusia, agama dan juga tradisi tidak bisa dicampuradukkan dengan isi Injil yang sejati. Jika hal itu dikompromikan sama artinya memutarbalikkan Injil Kristus. "Tetapi sekalipun kami atau seorang malaikat dari sorga yang memberitakan kepada kamu suatu injil yang berbeda dengan Injil yang telah kami beritakan kepadamu, terkutuklah dia. Seperti yang telah kami katakan dahulu, sekarang kukatakan sekali lagi: jikalau ada orang yang memberitakan kepadamu suatu injil, yang berbeda dengan apa yang telah kamu terima, terkutuklah dia." (Galatia 1:8-9).
Terkutuk berarti berada di bawah hukuman Allah atau akan dimurkai Allah. Karena hasutan guru-guru palsu, keyakinan jemaat di Galatia terhadap Injil Kristus menjadi goyah dan mereka pun melakukan tindakan kompromi.
"Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu:" Efesus 2:8-9
Baca: Galatia 1:6-10
"Aku heran, bahwa kamu begitu lekas berbalik dari pada Dia, yang oleh kasih karunia Kristus telah memanggil kamu, dan mengikuti suatu injil lain, yang sebenarnya bukan Injil." Galatia 1:6-7
Rasul Paulus menulis surat kepada jemaat di Galatia karena ia mendengar ada guru-guru palsu yang menanamkan ajaran sesat atau 'injil lain' ke tengah-tengah jemaat. Mereka dengan sengaja menghasut jemaat agar menolak ajaran kebenaran yang disampaikan Paulus dan melawan dia dengan mempertanyakan status kerasulannya. Itulah sebabnya di awal suratnya rasul Paulus menegaskan bahwa dirinya adalah "...seorang rasul, bukan karena manusia, juga bukan oleh seorang manusia, melainkan oleh Yesus Kristus dan Allah, Bapa, yang telah membangkitkan Dia dari antara orang mati," (ayat 1).
Disebut 'injil lain' karena ajaran yang disampaikan guru-guru palsu tersebut telah menyimpang dari esensi Injil sejati yang menegaskan bahwa manusia dibenarkan melalui iman kepada Yesus Kristus. "Kamu tahu, bahwa tidak seorangpun yang dibenarkan oleh karena melakukan hukum Taurat, tetapi hanya oleh karena iman dalam Kristus Yesus." (Galatia 2:16). Sementara guru-guru palsu mengajarkan bahwa keselamatan dapat diperoleh bukan hanya melalui iman kepada Kristus saja, tapi perlu ditambahi dengan menaati hukum taurat, melakukan tradisi Yahudi dan juga merayakan hari-hari raya. Semua ajaran atau gagasan yang bersumber dari pikiran manusia, agama dan juga tradisi tidak bisa dicampuradukkan dengan isi Injil yang sejati. Jika hal itu dikompromikan sama artinya memutarbalikkan Injil Kristus. "Tetapi sekalipun kami atau seorang malaikat dari sorga yang memberitakan kepada kamu suatu injil yang berbeda dengan Injil yang telah kami beritakan kepadamu, terkutuklah dia. Seperti yang telah kami katakan dahulu, sekarang kukatakan sekali lagi: jikalau ada orang yang memberitakan kepadamu suatu injil, yang berbeda dengan apa yang telah kamu terima, terkutuklah dia." (Galatia 1:8-9).
Terkutuk berarti berada di bawah hukuman Allah atau akan dimurkai Allah. Karena hasutan guru-guru palsu, keyakinan jemaat di Galatia terhadap Injil Kristus menjadi goyah dan mereka pun melakukan tindakan kompromi.
"Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu:" Efesus 2:8-9
Thursday, November 12, 2015
MENJAUHLAH...BERSIKAPLAH TEGAS!
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 12 November 2015
Baca: Yesaya 52:1-12
"Menjauhlah, menjauhlah! Keluarlah dari sana! Janganlah engkau kena kepada yang najis! Keluarlah dari tengah-tengahnya, sucikanlah dirimu, hai orang-orang yang mengangkat perkakas rumah TUHAN!" Yesaya 52:11
Secara umum kata menjauh memiliki arti pergi atau berjalan ke arah yang lebih jauh, atau menghindar jauh. Melalui nabi Yesaya Tuhan memberi peringatan kepada orang-orang Yahudi yang berada di negeri pembuangan di Babel supaya mereka menjauhkan diri dan tidak berkompromi dengan kehidupan orang-orang Babel, yang adalah penyembah berhala. Tuhan menuntut umat-Nya untuk tetap hidup dalam ketaatan, setia melayani Dia dan tidak menyimpang dari jalan-jalan-Nya di mana pun dan kapan pun.
Tuhan tidak menghendaki kita memiliki kehidupan yang setali tiga uang dengan orang-orang dunia. "Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini," (Roma 12:2). Dalam hal ini dibutuhkan sikap yang tegas; jika tidak, kita akan terbawa arus dunia ini, sebab dosa adalah sesuatu yang mudah sekali menjalar atau menular. Bila kita dengan sengaja bergaul dengan orang-orang yang tidak saleh berarti kita sedang membuka celah kepada mereka untuk mempengaruhi hidup kita. "Siapa bergaul dengan orang bijak menjadi bijak, tetapi siapa berteman dengan orang bebal menjadi malang." (Amsal 13:20). Pergaulan dan persahabatan dengan dunia adalah hal yang tidak menyenangkan hati Tuhan. Walaupun kita telah ditebus oleh darah Kristus tapi bila kita sendiri tidak mau melangkah keluar dan bertindak tegas maka sulitlah bagi kita untuk menyucikan diri. Cepat atau lambat kita akan tersesat di dalamnya.
Oleh karena itu Tuhan memperingatkan kita dengan sangat keras, "Keluarlah kamu dari antara mereka, dan pisahkanlah dirimu dari mereka, firman Tuhan, dan janganlah menjamah apa yang najis, maka Aku akan menerima kamu. Dan Aku akan menjadi Bapamu," (2 Korintus 6:17-18a), artinya Tuhan tidak begitu saja memerintahkan kita untuk keluar dan memisahkan diri dari dunia, tapi Ia juga akan memberikan suatu jaminan bagi kita: Dia akan menjadi Bapa kita. "...jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan yang baik kepada mereka yang meminta kepada-Nya." (Matius 7:11).
Jangan lagi berkompromi dengan dosa supaya Tuhan tidak membuang kita!
Baca: Yesaya 52:1-12
"Menjauhlah, menjauhlah! Keluarlah dari sana! Janganlah engkau kena kepada yang najis! Keluarlah dari tengah-tengahnya, sucikanlah dirimu, hai orang-orang yang mengangkat perkakas rumah TUHAN!" Yesaya 52:11
Secara umum kata menjauh memiliki arti pergi atau berjalan ke arah yang lebih jauh, atau menghindar jauh. Melalui nabi Yesaya Tuhan memberi peringatan kepada orang-orang Yahudi yang berada di negeri pembuangan di Babel supaya mereka menjauhkan diri dan tidak berkompromi dengan kehidupan orang-orang Babel, yang adalah penyembah berhala. Tuhan menuntut umat-Nya untuk tetap hidup dalam ketaatan, setia melayani Dia dan tidak menyimpang dari jalan-jalan-Nya di mana pun dan kapan pun.
Tuhan tidak menghendaki kita memiliki kehidupan yang setali tiga uang dengan orang-orang dunia. "Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini," (Roma 12:2). Dalam hal ini dibutuhkan sikap yang tegas; jika tidak, kita akan terbawa arus dunia ini, sebab dosa adalah sesuatu yang mudah sekali menjalar atau menular. Bila kita dengan sengaja bergaul dengan orang-orang yang tidak saleh berarti kita sedang membuka celah kepada mereka untuk mempengaruhi hidup kita. "Siapa bergaul dengan orang bijak menjadi bijak, tetapi siapa berteman dengan orang bebal menjadi malang." (Amsal 13:20). Pergaulan dan persahabatan dengan dunia adalah hal yang tidak menyenangkan hati Tuhan. Walaupun kita telah ditebus oleh darah Kristus tapi bila kita sendiri tidak mau melangkah keluar dan bertindak tegas maka sulitlah bagi kita untuk menyucikan diri. Cepat atau lambat kita akan tersesat di dalamnya.
Oleh karena itu Tuhan memperingatkan kita dengan sangat keras, "Keluarlah kamu dari antara mereka, dan pisahkanlah dirimu dari mereka, firman Tuhan, dan janganlah menjamah apa yang najis, maka Aku akan menerima kamu. Dan Aku akan menjadi Bapamu," (2 Korintus 6:17-18a), artinya Tuhan tidak begitu saja memerintahkan kita untuk keluar dan memisahkan diri dari dunia, tapi Ia juga akan memberikan suatu jaminan bagi kita: Dia akan menjadi Bapa kita. "...jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan yang baik kepada mereka yang meminta kepada-Nya." (Matius 7:11).
Jangan lagi berkompromi dengan dosa supaya Tuhan tidak membuang kita!
Wednesday, November 11, 2015
SUCIKAN DIRI DARI KECEMARAN
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 11 November 2015
Baca: 2 Timotius 2:14-26
"Jika seorang menyucikan dirinya dari hal-hal yang jahat, ia akan menjadi perabot rumah untuk maksud yang mulia, ia dikuduskan, dipandang layak untuk dipakai tuannya dan disediakan untuk setiap pekerjaan yang mulia." 2 Timotius 2:21
Semua orang pasti memiliki perabot di rumahnya, yang dikenal dengan sebutan perabot rumah tangga, suatu istilah yang digunakan untuk barang-barang yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan, tempat duduk, tempat tidur, tempat mengerjakan sesuatu dalam bentuk meja atau tempat menaruh barang di permukaannya; aneka macam furnitur sebagai tempat penyimpanan yang biasanya dilengkapi dengan pintu, laci dan rak; lemari pakaian, lemari buku dan sebagainya. Perabot rumah tangga biasanya terbuat dari kayu, bambu, logam, besi, plastik yang masing-masing akan ditempatkan sesuai fungsinya. Perabot-perabot yang menurut kita sangat penting, menarik dan berkualitas pasti tidak akan kita taruh di tempat sembarangan, tapi di tempat strategis supaya bisa dilihat banyak orang.
Begitu pula dengan kehidupan orang percaya, jika kita mau menyucikan diri dari hal-hal jahat, tidak terlibat dalam perkara-perkara yang cemar sebagaimana yang rasul Paulus katakan, maka kita akan menjadi perabot Tuhan untuk maksud dan tujuan yang mulia. Kita akan dipilih, dikhususkan dan dipandang layak untuk dipakai Tuhan, serta disediakan untuk setiap pekerjaan yang mulia. "Oleh karena engkau berharga di mata-Ku dan mulia, dan Aku ini mengasihi engkau,...semua orang yang disebutkan dengan nama-Ku yang Kuciptakan untuk kemuliaan-Ku, yang Kubentuk dan yang juga Kujadikan!" (Yesaya 43:4, 7). Nasihat rasul Paulus ini bukan semata-mata ditujukan kepada Timotius, anak rohani sekaligus rekan kerja sepelayanannya, yang menjadi penilik atau penatua jemaat di Efesus, tetapi juga ditujukan untuk semua orang percaya yang terpanggil untuk melayani Tuhan dengan tugas yang berbeda-beda.
Arti kata menyucikan diri (ayat nas) berarti membersihkan secara menyeluruh, komplet, lengkap. Tidak ada istilah kompromi atau suam-suam kuku, karena itu "...barangsiapa yang benar, biarlah ia terus berbuat kebenaran; barangsiapa yang kudus, biarlah ia terus menguduskan dirinya!" (Wahyu 22:11).
"Allah memanggil kita bukan untuk melakukan apa yang cemar, melainkan apa yang kudus." 1 Tesalonika 4:7
Baca: 2 Timotius 2:14-26
"Jika seorang menyucikan dirinya dari hal-hal yang jahat, ia akan menjadi perabot rumah untuk maksud yang mulia, ia dikuduskan, dipandang layak untuk dipakai tuannya dan disediakan untuk setiap pekerjaan yang mulia." 2 Timotius 2:21
Semua orang pasti memiliki perabot di rumahnya, yang dikenal dengan sebutan perabot rumah tangga, suatu istilah yang digunakan untuk barang-barang yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan, tempat duduk, tempat tidur, tempat mengerjakan sesuatu dalam bentuk meja atau tempat menaruh barang di permukaannya; aneka macam furnitur sebagai tempat penyimpanan yang biasanya dilengkapi dengan pintu, laci dan rak; lemari pakaian, lemari buku dan sebagainya. Perabot rumah tangga biasanya terbuat dari kayu, bambu, logam, besi, plastik yang masing-masing akan ditempatkan sesuai fungsinya. Perabot-perabot yang menurut kita sangat penting, menarik dan berkualitas pasti tidak akan kita taruh di tempat sembarangan, tapi di tempat strategis supaya bisa dilihat banyak orang.
Begitu pula dengan kehidupan orang percaya, jika kita mau menyucikan diri dari hal-hal jahat, tidak terlibat dalam perkara-perkara yang cemar sebagaimana yang rasul Paulus katakan, maka kita akan menjadi perabot Tuhan untuk maksud dan tujuan yang mulia. Kita akan dipilih, dikhususkan dan dipandang layak untuk dipakai Tuhan, serta disediakan untuk setiap pekerjaan yang mulia. "Oleh karena engkau berharga di mata-Ku dan mulia, dan Aku ini mengasihi engkau,...semua orang yang disebutkan dengan nama-Ku yang Kuciptakan untuk kemuliaan-Ku, yang Kubentuk dan yang juga Kujadikan!" (Yesaya 43:4, 7). Nasihat rasul Paulus ini bukan semata-mata ditujukan kepada Timotius, anak rohani sekaligus rekan kerja sepelayanannya, yang menjadi penilik atau penatua jemaat di Efesus, tetapi juga ditujukan untuk semua orang percaya yang terpanggil untuk melayani Tuhan dengan tugas yang berbeda-beda.
Arti kata menyucikan diri (ayat nas) berarti membersihkan secara menyeluruh, komplet, lengkap. Tidak ada istilah kompromi atau suam-suam kuku, karena itu "...barangsiapa yang benar, biarlah ia terus berbuat kebenaran; barangsiapa yang kudus, biarlah ia terus menguduskan dirinya!" (Wahyu 22:11).
"Allah memanggil kita bukan untuk melakukan apa yang cemar, melainkan apa yang kudus." 1 Tesalonika 4:7
Subscribe to:
Posts (Atom)