Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 18 Februari 2015
Baca: 1 Raja- Raja 17:1-6
"Pergilah dari sini, berjalanlah ke timur dan bersembunyilah di tepi sungai Kerit di sebelah timur sungai Yordan." 1 Raja-Rja 17:3
Di mata Tuhan penyembahan berhala adalah dosa besar dan merupakan suatu kekejian, sebab Tuhan sudah memperingatkan umat Israel, "...janganlah menajiskan dirimu dengan berhala-berhala mereka." (Yehezkiel 20:18). Tuhan sangat "...benci kepada orang-orang yang memuja berhala yang sia-sia," (Mazmur 31:7). Sebagai akibatnya Tuhan menghukum bangsa Israel dengan kekeringan selama 3,5 tahun. Karena menyampaikan pesan Tuhan tentang penghukuman atas Israel tersebut keberadaan Elia menjadi sangat terancam dan dimusuhi oleh raja Ahab.
Di tengah situasi yang genting ini, Tuhan menunjukkan kasih-Nya kepada Elia. Sebagaimana arti nama Elia, Tuhan adalah Allahku, maka Tuhan membuktikan diri-Nya sebagai Allah yang hidup, yang sanggup menolong, melindungi dan memelihara Elia. Sungguh benar apa kata pemazmur, "Allah itu bagi kita tempat perlindungan dan kekuatan, sebagai penolong dalam kesesakan sangat terbukti." (Mazmur 46:2). Tuhan memerintahkan Elia untuk pergi dan bersembunyi di tepi sungai Kerit. Adapun arti kata Kerit adalah diasingkan, dipisahkan, disendirikan, atau terpencil. Sungai Kerit menjadi 'sekolah' bagi Elia untuk menjalani proses pembentukan Tuhan. Di tempat yang terasing dan terpisah dari hingar bingar, iman Elia dimantapkan. Dalam kesendirian inilah Elia diajar bergantung sepenuhnya kepada Tuhan dan mengandalkan Dia saja. Elia pun tinggal selama beberapa waktu lamanya di tepi sungai Kerit sehingga ia terlindungi dari kejaran tentara Ahab.
Tuhan mengijinkan 'kekeringan' terjadi dalam hidup ini supaya kita belajar bergantung kepada Tuhan, memisahkan diri dari kesibukan dan bersekutu dengan Tuhan dan mencari hadirat-Nya. "Carilah TUHAN dan kekuatan-Nya, carilah wajah-Nya selalu!" (1 Tawarikh 16:11), sebab "...tidak Kautinggalkan orang yang mencari Engkau, ya TUHAN." (Mazmur 9:11). Dalam situasi sulit sekalipun, asal kita mau melangkah sesuai perintah Tuhan pasti ada jamainan perlindungan-Nya, seperti yang dialami Elia.
Dalam kesendirian dan terpisah Elia memperoleh pengalaman rohani yang sangat berharga bersama Tuhan!
Wednesday, February 18, 2015
Tuesday, February 17, 2015
KEKERINGAN sebagai TEGURAN TUHAN
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 17 Februari 2015
Baca: 1 Raja-Raja 17:1-6
"Demi Tuhan yang hidup, Allah Israel, yang kulayani, sesungguhnya tidak akan ada embun atau hujan pada tahun-tahun ini, kecuali kalau kukatakan." 1 Raja-Raja 17:1
Kekeringan ekonomi atau krisis ekonomi seringkali menjadi masalah utama dalam kehidupan semua orang, tanpa terkecuali. Artinya masalah tersebut tidak hanya dialami oleh orang-orang dunia saja namun orang percaya pun tak luput dari masalah ini. Namun meski harus mengalami masalah yang sama tetapi ada jaminan pemeliharaan dari Tuhan bagi setiap orang percaya. Jadi ada "...perbedaan antara orang benar dan orang fasik, antara orang yang beribadah kepada Allah dan orang yang tidak beribadah kepada-Nya." (Maleakhi 3:18). Daud juga menyatakan bahwa "Kemalangan orang benar banyak, tetapi TUHAN melepaskan dia dari semuanya itu;" (Mazmur 34:20).
Ketika Israel diperintah oleh raja Ahab terjadilah kekeringan di seluruh negeri selama 3,5 tahun. Tuhan mengijinkan kekeringan terjadi sebagai akibat dari ketidaktaatan bangsa ini kepada Tuhan. Pada waktu itu dosa dan kejahatan bangsa Israel begitu parah, Ahab selaku raja tidak memberi teladan hidup yang baik, justru "...melakukan apa yang jahat di mata TUHAN lebih dari pada semua orang yang mendahuluinya." (1 Raja-Raja 16:30). Tidak hanya itu, Ahab juga mengambil Izebel, "...anak Etbaal, raja orang Sidon, menjadi isterinya, sehingga ia pergi beribadah kepada Baal dan sujud menyembah kepadanya." (1 Raja-Raja 16:31). Karena pemimpin negerinya berlaku jahat di mata Tuhan, rakyat pun dicondongkan hatinya kepada Baal. Mereka secara terang-terangan membuat mezbah bagi Baal dan menyembah kepadanya. Baal adalah sebutan bagi dewa-dewa penduduk asli tanah Kanaan. Mereka mempercayai Baal sebagai dewa kesuburan yang memiliki kuasa atas hujan, angin, dan awan.
Tuhan mengutus Elia untuk menegur dan memperingatkan Ahab. Elia pun bernubuat di hadapan Ahab bahwa tidak akan ada embun dan hujan di seluruh negeri Israel. "Elia adalah manusia biasa sama seperti kita, dan ia telah bersungguh-sungguh berdoa, supaya hujan jangan turun, dan hujanpun tidak turun di bumi selama tiga tahun dan enam bulan." (Yakobus 5:7). Karena doa Elia maka Tuhan menahan hujan atas Israel selama tiga tahun enam bulan, kekeringan hebat melanda seluruh negeri.
Karena ketidaktaatan dan pemberontakan terjadilah kekeringan hebat di Israel!
Baca: 1 Raja-Raja 17:1-6
"Demi Tuhan yang hidup, Allah Israel, yang kulayani, sesungguhnya tidak akan ada embun atau hujan pada tahun-tahun ini, kecuali kalau kukatakan." 1 Raja-Raja 17:1
Kekeringan ekonomi atau krisis ekonomi seringkali menjadi masalah utama dalam kehidupan semua orang, tanpa terkecuali. Artinya masalah tersebut tidak hanya dialami oleh orang-orang dunia saja namun orang percaya pun tak luput dari masalah ini. Namun meski harus mengalami masalah yang sama tetapi ada jaminan pemeliharaan dari Tuhan bagi setiap orang percaya. Jadi ada "...perbedaan antara orang benar dan orang fasik, antara orang yang beribadah kepada Allah dan orang yang tidak beribadah kepada-Nya." (Maleakhi 3:18). Daud juga menyatakan bahwa "Kemalangan orang benar banyak, tetapi TUHAN melepaskan dia dari semuanya itu;" (Mazmur 34:20).
Ketika Israel diperintah oleh raja Ahab terjadilah kekeringan di seluruh negeri selama 3,5 tahun. Tuhan mengijinkan kekeringan terjadi sebagai akibat dari ketidaktaatan bangsa ini kepada Tuhan. Pada waktu itu dosa dan kejahatan bangsa Israel begitu parah, Ahab selaku raja tidak memberi teladan hidup yang baik, justru "...melakukan apa yang jahat di mata TUHAN lebih dari pada semua orang yang mendahuluinya." (1 Raja-Raja 16:30). Tidak hanya itu, Ahab juga mengambil Izebel, "...anak Etbaal, raja orang Sidon, menjadi isterinya, sehingga ia pergi beribadah kepada Baal dan sujud menyembah kepadanya." (1 Raja-Raja 16:31). Karena pemimpin negerinya berlaku jahat di mata Tuhan, rakyat pun dicondongkan hatinya kepada Baal. Mereka secara terang-terangan membuat mezbah bagi Baal dan menyembah kepadanya. Baal adalah sebutan bagi dewa-dewa penduduk asli tanah Kanaan. Mereka mempercayai Baal sebagai dewa kesuburan yang memiliki kuasa atas hujan, angin, dan awan.
Tuhan mengutus Elia untuk menegur dan memperingatkan Ahab. Elia pun bernubuat di hadapan Ahab bahwa tidak akan ada embun dan hujan di seluruh negeri Israel. "Elia adalah manusia biasa sama seperti kita, dan ia telah bersungguh-sungguh berdoa, supaya hujan jangan turun, dan hujanpun tidak turun di bumi selama tiga tahun dan enam bulan." (Yakobus 5:7). Karena doa Elia maka Tuhan menahan hujan atas Israel selama tiga tahun enam bulan, kekeringan hebat melanda seluruh negeri.
Karena ketidaktaatan dan pemberontakan terjadilah kekeringan hebat di Israel!
Monday, February 16, 2015
JALAN TUHAN: Penuh Keajaiban
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 16 Februari 2015
Baca: Mazmur 37:1-40
"Nantikanlah TUHAN dan tetap ikutilah jalan-Nya, maka Ia akan mengangkat engkau untuk mewarisi negeri, dan engkau akan melihat orang-orang fasik dilenyapkan." Mazmur 37:34
Tak dapat disangkal, ketika mengalami hal-hal sulit naluri kita cenderung mengeluh dan berputus asa. Namun bila kita selalu berada di jalan kudus-Nya kita pasti sanggup menghadapinya, sebab "...TUHAN menopang orang-orang benar." (Mazmur 37:17). Artinya kita tidak sendirian menghadapi pergumulan hidup ini, ada Tuhan yang selalu menopang dan bahkan menggendong kita. Karena "TUHAN di pihakku. Aku tidak akan takut. Apakah yang dapat dilakukan manusia terhadap aku?" (Mazmur 118:6).
Ketika bangsa Israel hendak berjalan menuju Tanah Perjanjian mereka harus melewati banyak sekali tantangan. Firaun berusaha mencegah mereka pergi, pasukan tentaranya pun diperintahkan mengejar bangsa Israel. Belum lagi kesulitan-kesulitan lain yang mereka alami saat berada di padang gurun. Namun justru di tengah kesulitan-kesulitan hebat tersebut Tuhan selalu menyatakan mujizat-Nya di hadapan bangsa Israel. Tuhan selalu punya cara menolong dan jalan-Nya penuh keajaiban, seperti lirik lagu "Ada Jalan-Nya Tuhan" yang dilantunkan Angel Pieters: "Kau slalu ajaib bagiku. Jalan-Mu tak terselami. Saat Kau yang membuka pintu, tak ada yang menutupnya. Masih ada jalan terbuka untukku. Masih ada jalan-Nya Tuhan. Masih ada jalan terbuka untukku. Kulihat kebesaran-Nya." Maka terbukti 40 tahun menempuh perjalanan di padang gurun Tuhan memelihara umat Israel, menyediakan segala keperluan, bahkan "Pakaianmu tidaklah menjadi buruk di tubuhmu dan kakimu tidaklah menjadi bengkak selama empat puluh tahun ini." (Ulangan 8:4). Tuhan juga melindungi mereka dari serangan-serangan musuh.
Kita pun akan mengalami dan merasakan karya-karya Tuhan yang ajaib bila kita hidup di jalan kudus-Nya Tuhan. Dia bukan hanya melihat kita dalam hal kebutuhan jasmani, tapi berkat-berkat rohani juga dicurahkan-Nya atas kita. Puncaknya, Tuhan membuktikan melalui pengorban-Nya di kayu salib, oleh-Nya kita beroleh keselamatan. Karena itu jangan sekalipun keluar dari jalan Tuhan, di segala keadaan tetaplah bertahan!
"TUHAN menetapkan langkah-langkah orang yang hidupnya berkenan kepada-Nya;" Mazmur 37:23
Baca: Mazmur 37:1-40
"Nantikanlah TUHAN dan tetap ikutilah jalan-Nya, maka Ia akan mengangkat engkau untuk mewarisi negeri, dan engkau akan melihat orang-orang fasik dilenyapkan." Mazmur 37:34
Tak dapat disangkal, ketika mengalami hal-hal sulit naluri kita cenderung mengeluh dan berputus asa. Namun bila kita selalu berada di jalan kudus-Nya kita pasti sanggup menghadapinya, sebab "...TUHAN menopang orang-orang benar." (Mazmur 37:17). Artinya kita tidak sendirian menghadapi pergumulan hidup ini, ada Tuhan yang selalu menopang dan bahkan menggendong kita. Karena "TUHAN di pihakku. Aku tidak akan takut. Apakah yang dapat dilakukan manusia terhadap aku?" (Mazmur 118:6).
Ketika bangsa Israel hendak berjalan menuju Tanah Perjanjian mereka harus melewati banyak sekali tantangan. Firaun berusaha mencegah mereka pergi, pasukan tentaranya pun diperintahkan mengejar bangsa Israel. Belum lagi kesulitan-kesulitan lain yang mereka alami saat berada di padang gurun. Namun justru di tengah kesulitan-kesulitan hebat tersebut Tuhan selalu menyatakan mujizat-Nya di hadapan bangsa Israel. Tuhan selalu punya cara menolong dan jalan-Nya penuh keajaiban, seperti lirik lagu "Ada Jalan-Nya Tuhan" yang dilantunkan Angel Pieters: "Kau slalu ajaib bagiku. Jalan-Mu tak terselami. Saat Kau yang membuka pintu, tak ada yang menutupnya. Masih ada jalan terbuka untukku. Masih ada jalan-Nya Tuhan. Masih ada jalan terbuka untukku. Kulihat kebesaran-Nya." Maka terbukti 40 tahun menempuh perjalanan di padang gurun Tuhan memelihara umat Israel, menyediakan segala keperluan, bahkan "Pakaianmu tidaklah menjadi buruk di tubuhmu dan kakimu tidaklah menjadi bengkak selama empat puluh tahun ini." (Ulangan 8:4). Tuhan juga melindungi mereka dari serangan-serangan musuh.
Kita pun akan mengalami dan merasakan karya-karya Tuhan yang ajaib bila kita hidup di jalan kudus-Nya Tuhan. Dia bukan hanya melihat kita dalam hal kebutuhan jasmani, tapi berkat-berkat rohani juga dicurahkan-Nya atas kita. Puncaknya, Tuhan membuktikan melalui pengorban-Nya di kayu salib, oleh-Nya kita beroleh keselamatan. Karena itu jangan sekalipun keluar dari jalan Tuhan, di segala keadaan tetaplah bertahan!
"TUHAN menetapkan langkah-langkah orang yang hidupnya berkenan kepada-Nya;" Mazmur 37:23
Sunday, February 15, 2015
JALAN TUHAN: Membawa Kemenangan
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 15 Februari 2015
Baca: Yesaya 35:1-10
"Di situ tidak akan ada singa, binatang buas tidak akan menjalaninya dan tidak akan terdapat di sana; orang-orang yang diselamatkan akan berjalan di situ," Yesaya 35:9
Banyak orang percaya seringkali mengeluh dan ragu ketika berkomitmen berjalan sepenuhnya di jalan Tuhan dan tidak lagi mengikuti arus dunia ini. Mengapa? Karena mereka terus membanding-bandingkan dengan keadaan orang yang tidak percaya atau orang fasik, yang secara kasat mata tampak mujur.
Ayub sempat mengeluh pula, "Mengapa orang fasik tetap hidup, menjadi tua, bahkan menjadi bertambah-tambah kuat? Keturunan mereka tetap bersama mereka, dan anak cucu diperhatikan mereka. Rumah-rumah mereka aman, tak ada ketakutan, pentung Allah tidak menimpa mereka." (Ayub 21:7-9). Bani Asaf pun dalam mazmurnya menyatakan hal yang sama, "Sebab aku cemburu kepada pembual-pembual, kalau aku melihat kemujuran orang-orang fasik. Sia-sia sama sekali aku mempertahankan hati yang bersih, dan membasuh tanganku, tanda tak bersalah. Namun sepanjang hari aku kena tulah, dan kena hukum setiap pagi." (Mazmur 73:3, 13, 14). Benarkah demikian? Sia-sia dan rugikah hidup di jalan Tuhan? Apakah janji Tuhan itu hanya teori dan wacana belaka? Rasul Paulus menasihati, "...berdirilah teguh, jangan goyah, dan giatlah selalu dalam pekerjaan Tuhan! Sebab kamu tahu, bahwa dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia." (1 Korintus 15:58). Jadi, "Dalam tiap jerih payah ada keuntungan," (Amsal 14:23), sebab janji-janji Tuhan disediakan bagi semua orang percaya yang tetap berada di jalan Tuhan, artinya hidup seturut kehendak-Nya, atau hidup dalam kebenaran dan kekudusan. Tidak ada seorang pun yang dapat menghalangi atau menghentikan langkah kita untuk menggapai janji Tuhan tersebut, sebab di jalan Tuhan "...tidak akan ada singa, binatang buas tidak akan menjalaninya dan tidak akan terdapat di sana; orang-orang yang diselamatkan akan berjalan di situ," (Yesaya 35:9).
Asalkan kita hidup di jalan Tuhan, tidak ada sesuatu pun yang perlu ditakutkan dan kuatirkan, sebab tangan Tuhan akan menopang kita, bahkan "TUHAN akan berperang untuk kamu, dan kamu akan diam saja." (Keluaran 14:14).
Berjalan di jalan Tuhan akan mengantarkan kita kepada kehidupan yang berkemenangan!
Baca: Yesaya 35:1-10
"Di situ tidak akan ada singa, binatang buas tidak akan menjalaninya dan tidak akan terdapat di sana; orang-orang yang diselamatkan akan berjalan di situ," Yesaya 35:9
Banyak orang percaya seringkali mengeluh dan ragu ketika berkomitmen berjalan sepenuhnya di jalan Tuhan dan tidak lagi mengikuti arus dunia ini. Mengapa? Karena mereka terus membanding-bandingkan dengan keadaan orang yang tidak percaya atau orang fasik, yang secara kasat mata tampak mujur.
Ayub sempat mengeluh pula, "Mengapa orang fasik tetap hidup, menjadi tua, bahkan menjadi bertambah-tambah kuat? Keturunan mereka tetap bersama mereka, dan anak cucu diperhatikan mereka. Rumah-rumah mereka aman, tak ada ketakutan, pentung Allah tidak menimpa mereka." (Ayub 21:7-9). Bani Asaf pun dalam mazmurnya menyatakan hal yang sama, "Sebab aku cemburu kepada pembual-pembual, kalau aku melihat kemujuran orang-orang fasik. Sia-sia sama sekali aku mempertahankan hati yang bersih, dan membasuh tanganku, tanda tak bersalah. Namun sepanjang hari aku kena tulah, dan kena hukum setiap pagi." (Mazmur 73:3, 13, 14). Benarkah demikian? Sia-sia dan rugikah hidup di jalan Tuhan? Apakah janji Tuhan itu hanya teori dan wacana belaka? Rasul Paulus menasihati, "...berdirilah teguh, jangan goyah, dan giatlah selalu dalam pekerjaan Tuhan! Sebab kamu tahu, bahwa dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia." (1 Korintus 15:58). Jadi, "Dalam tiap jerih payah ada keuntungan," (Amsal 14:23), sebab janji-janji Tuhan disediakan bagi semua orang percaya yang tetap berada di jalan Tuhan, artinya hidup seturut kehendak-Nya, atau hidup dalam kebenaran dan kekudusan. Tidak ada seorang pun yang dapat menghalangi atau menghentikan langkah kita untuk menggapai janji Tuhan tersebut, sebab di jalan Tuhan "...tidak akan ada singa, binatang buas tidak akan menjalaninya dan tidak akan terdapat di sana; orang-orang yang diselamatkan akan berjalan di situ," (Yesaya 35:9).
Asalkan kita hidup di jalan Tuhan, tidak ada sesuatu pun yang perlu ditakutkan dan kuatirkan, sebab tangan Tuhan akan menopang kita, bahkan "TUHAN akan berperang untuk kamu, dan kamu akan diam saja." (Keluaran 14:14).
Berjalan di jalan Tuhan akan mengantarkan kita kepada kehidupan yang berkemenangan!
Saturday, February 14, 2015
JALAN TUHAN: Sedikit Yang Menempuh
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 14 Februari 2015
Baca: Yesaya 35:1-10
"Di situ akan ada jalan raya, yang akan disebutkan Jalan Kudus; orang yang tidak tahir tidak akan melintasinya, dan orang-orang pandir tidak akan mengembara di atasnya." Yesaya 35:8
Jalan Tuhan disebut pula dengan jalan kudus, jalan suci atau jalan yang menuju kepada keselamatan kekal. Namun sayang tidak semua orang mau menempuh jalan itu, terlebih-lebih mereka yang disebut orang yang tidak tahir dan orang pandir. Orang yang tidak tahir artinya orang yang berdosa atau orang yang hidup dalam kecemaran, sedangkan orang pandir disebut pula orang bodoh atau bebal, orang yang hidup menurut kehendak sendiri dan sulit menerima teguran. Mereka tidak mau menempuh jalan Tuhan karena mereka berpikir bahwa jalan Tuhan itu penuh dengan aturan, tidak boleh ini tidak boleh itu, tidak bebas, menyakitkan daging, ada harga yang harus dibayar, sebagaimana Tuhan Yesus katakan: "Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku." (Matius 16:24).
Berbeda jika mereka menempuh jalan sendiri, bebas dan leluasa memuaskan hasrat dan keinginan dagingnya. Mereka lupa bahwa "...barangsiapa menabur dalam dagingnya, ia akan menuai kebinasaan dari dagingnya, tetapi barangsiapa menabur dalam Roh, ia akan menuai hidup yang kekal dari Roh itu." (Galatia 6:8). Dalam Injil Matius dengan sangat jelas digambarkan bahwa Jalan Tuhan adalah pintu yang sesak dan jalan yang sempit, "Masuklah melalui pintu yang sesak itu, karena lebarlah pintu dan luaslah jalan yang menuju kepada kebinasaan, dan banyak orang yang masuk melaluinya; karena sesaklah pintu dan sempitlah jalan yang menuju kepada kehidupan, dan sedikit orang yang mendapatinya." (Matius 7:13-14). Banyak orang lebih memilih jalan yang lebar dan luas, "...jalan yang disangka orang lurus, tetapi ujungnya menuju maut." (Amsal 14:12).
Sebagai orang percaya keberadaan kita adalah orang-orang yang sudah ditahirkan dan dikuduskan, tapi bukan karena perbuatan baik kita, melainkan semata-mata karena anugerah Tuhan melalui pengorbanan-Nya di kayu salib, "...dan darah Yesus, Anak-Nya itu, menyucikan kita dari pada segala dosa." (1 Yohanes 1:7).
Karena kita sudah ditahirkan dan disucikan oleh darah Kristus maka kita dilayakkan dan wajib untuk berjalan di jalan kudus-Nya Tuhan!
Baca: Yesaya 35:1-10
"Di situ akan ada jalan raya, yang akan disebutkan Jalan Kudus; orang yang tidak tahir tidak akan melintasinya, dan orang-orang pandir tidak akan mengembara di atasnya." Yesaya 35:8
Jalan Tuhan disebut pula dengan jalan kudus, jalan suci atau jalan yang menuju kepada keselamatan kekal. Namun sayang tidak semua orang mau menempuh jalan itu, terlebih-lebih mereka yang disebut orang yang tidak tahir dan orang pandir. Orang yang tidak tahir artinya orang yang berdosa atau orang yang hidup dalam kecemaran, sedangkan orang pandir disebut pula orang bodoh atau bebal, orang yang hidup menurut kehendak sendiri dan sulit menerima teguran. Mereka tidak mau menempuh jalan Tuhan karena mereka berpikir bahwa jalan Tuhan itu penuh dengan aturan, tidak boleh ini tidak boleh itu, tidak bebas, menyakitkan daging, ada harga yang harus dibayar, sebagaimana Tuhan Yesus katakan: "Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku." (Matius 16:24).
Berbeda jika mereka menempuh jalan sendiri, bebas dan leluasa memuaskan hasrat dan keinginan dagingnya. Mereka lupa bahwa "...barangsiapa menabur dalam dagingnya, ia akan menuai kebinasaan dari dagingnya, tetapi barangsiapa menabur dalam Roh, ia akan menuai hidup yang kekal dari Roh itu." (Galatia 6:8). Dalam Injil Matius dengan sangat jelas digambarkan bahwa Jalan Tuhan adalah pintu yang sesak dan jalan yang sempit, "Masuklah melalui pintu yang sesak itu, karena lebarlah pintu dan luaslah jalan yang menuju kepada kebinasaan, dan banyak orang yang masuk melaluinya; karena sesaklah pintu dan sempitlah jalan yang menuju kepada kehidupan, dan sedikit orang yang mendapatinya." (Matius 7:13-14). Banyak orang lebih memilih jalan yang lebar dan luas, "...jalan yang disangka orang lurus, tetapi ujungnya menuju maut." (Amsal 14:12).
Sebagai orang percaya keberadaan kita adalah orang-orang yang sudah ditahirkan dan dikuduskan, tapi bukan karena perbuatan baik kita, melainkan semata-mata karena anugerah Tuhan melalui pengorbanan-Nya di kayu salib, "...dan darah Yesus, Anak-Nya itu, menyucikan kita dari pada segala dosa." (1 Yohanes 1:7).
Karena kita sudah ditahirkan dan disucikan oleh darah Kristus maka kita dilayakkan dan wajib untuk berjalan di jalan kudus-Nya Tuhan!
Friday, February 13, 2015
HIDUP HARUS TERUS BERJALAN
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 13 Februari 2015
Baca: 1 Raja-Raja 19:9-18
"...hanya aku seorang dirilah yang masih hidup dan mereka ingin mencabut nyawaku." 1 Raja-Raja 19:10
Pada dasarnya stres tidak selalu berakibat buruk atau berdampak negatif, namun bergantung bagaimana sikap kita dalam menanggapi setiap masalah yang terjadi. Jadi ada positif dan negatifnya. Stress yang negatif atau disebut distress dapat menyebabkan seseorang menjadi lemah dan tertekan sehingga dapat menghambat kemajuannya. Namun di sisi lain stress juga memiliki sisi positifnya atau eustress, di mana stres dipandang sebagai suatu kesempatan bagi seseorang untuk segera bertindak dan mencari solusi di tengah krisis atau situasi sulit sehingga menjadikannya semakin matang dan tangguh dalam bertindak. Karena itu jangan sekali-kali lari dari masalah.
Salah satu cara mudah agar kita terhindar dari stres adalah istirahat yang cukup dan makan secara teratur. Ketika melihat Elia sedang down Tuhan mengutus malaikat-Nya untuk membangunkan Elia. "Bangunlah, makanlah! Ketika ia melihat sekitarnya, maka pada sebelah kepalanya ada roti bakar, dan sebuah kendi berisi air. Lalu ia makan dan minum, kemudian berbaring pula." (1 Raja-Raja 19:5b-6). Tuhan membiarkan Elia beristirahat sejenak untuk memulihkan kondisi fisiknya. Setelah itu barulah Tuhan memancing Elia untuk mengungkapkan hal-hal apa saja yang mengganjal hati dan menjadi bebannya selama ini. "Apakah kerjamu di sini, hai Elia?" (1 Raja-Raja 19:9). Dengan mengungkapkan unek-uneknya kepada Tuhan beban yang ada di hati akan menjadi semakin ringan alias plong. Selain itu perlu sekali bagi seseorang untuk menarik diri dari kesibukan sejenak untuk menenangkan diri agar mendapatkan ketenangan, sebab "Hati yang tenang menyegarkan tubuh," (Amsal 14:30).
Tuhan membangkitkan kepercayaan diri Elia, mengingatkan tugas dan tanggung jawab yang dipercayakan kepadanya. Tidak perlu terus-menerus larut dalam masalah, mengasihani diri sendiri, berputus asa; life must go on, hidup harus tetap berjalan. Tuhan berkata, "Pergilah, kembalilah ke jalanmu, melalui padang gurun ke Damsyik," (1 Raja-Raja 19:15). Elia diutus Tuhan mengurapi Hazael, Yehu dan juga Elisa.
"Dia memberi kekuatan kepada yang lelah dan menambah semangat kepada yang tiada berdaya." Yesaya 40:29
Baca: 1 Raja-Raja 19:9-18
"...hanya aku seorang dirilah yang masih hidup dan mereka ingin mencabut nyawaku." 1 Raja-Raja 19:10
Pada dasarnya stres tidak selalu berakibat buruk atau berdampak negatif, namun bergantung bagaimana sikap kita dalam menanggapi setiap masalah yang terjadi. Jadi ada positif dan negatifnya. Stress yang negatif atau disebut distress dapat menyebabkan seseorang menjadi lemah dan tertekan sehingga dapat menghambat kemajuannya. Namun di sisi lain stress juga memiliki sisi positifnya atau eustress, di mana stres dipandang sebagai suatu kesempatan bagi seseorang untuk segera bertindak dan mencari solusi di tengah krisis atau situasi sulit sehingga menjadikannya semakin matang dan tangguh dalam bertindak. Karena itu jangan sekali-kali lari dari masalah.
Salah satu cara mudah agar kita terhindar dari stres adalah istirahat yang cukup dan makan secara teratur. Ketika melihat Elia sedang down Tuhan mengutus malaikat-Nya untuk membangunkan Elia. "Bangunlah, makanlah! Ketika ia melihat sekitarnya, maka pada sebelah kepalanya ada roti bakar, dan sebuah kendi berisi air. Lalu ia makan dan minum, kemudian berbaring pula." (1 Raja-Raja 19:5b-6). Tuhan membiarkan Elia beristirahat sejenak untuk memulihkan kondisi fisiknya. Setelah itu barulah Tuhan memancing Elia untuk mengungkapkan hal-hal apa saja yang mengganjal hati dan menjadi bebannya selama ini. "Apakah kerjamu di sini, hai Elia?" (1 Raja-Raja 19:9). Dengan mengungkapkan unek-uneknya kepada Tuhan beban yang ada di hati akan menjadi semakin ringan alias plong. Selain itu perlu sekali bagi seseorang untuk menarik diri dari kesibukan sejenak untuk menenangkan diri agar mendapatkan ketenangan, sebab "Hati yang tenang menyegarkan tubuh," (Amsal 14:30).
Tuhan membangkitkan kepercayaan diri Elia, mengingatkan tugas dan tanggung jawab yang dipercayakan kepadanya. Tidak perlu terus-menerus larut dalam masalah, mengasihani diri sendiri, berputus asa; life must go on, hidup harus tetap berjalan. Tuhan berkata, "Pergilah, kembalilah ke jalanmu, melalui padang gurun ke Damsyik," (1 Raja-Raja 19:15). Elia diutus Tuhan mengurapi Hazael, Yehu dan juga Elisa.
"Dia memberi kekuatan kepada yang lelah dan menambah semangat kepada yang tiada berdaya." Yesaya 40:29
Thursday, February 12, 2015
STRES TINGKAT TINGGI
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 12 Februari 2015
Baca: 1 Raja-Raja 19:1-8
"Kemudian ia ingin mati, katanya: 'Cukuplah itu! Sekarang, ya TUHAN, ambillah nyawaku, sebab aku ini tidak lebih baik dari pada nenek moyangku.'" 1 Raja-Raja 19:4b
Sering kita mendengar nasihat orang, "Jangan gampang stres, nanti kamu cepat tua lho!" Memang banyak orang merasa alergi dan takut sekali mendengar kata tua. Mengapa orang tidak suka bila dibilang sudah tua? Karena tua identik dengan kulit yang kendur dan keriput. Oleh karena itu banyak orang (khususnya wanita) berlomba-lomba untuk menggunakan berbagai macam produk kecantikan, seperti krim pengencangan kulit atau wajah, mengkonsumsi vitamin A dan C supaya mereka tidak mengalami penuaan dini.
Tak bisa dipungkiri bahwa dunia saat ini dipenuhi dengan ketegangan-ketegangan di berbagai sektor kehidupan manusia. Hal ini seringkali menjadi faktor pemicu stres yang dialami orang dengan tekanan berat. Jadi, bukan hanya di bidang politik saja orang mudah sekali mengalami ketegangan seperti yang dialami oleh para wakil rakyat yang duduk di kursi DPR/MPR. Hanya karena berselisih pendapat mereka melakukan tindakan yang tidak terpuji yaitu mengjungkirbalikkan kursi dan meja saat rapat berlangsung, dan kejadian ini dilihat oleh jutaan mata di seluruh persada negeri ini. Karena stres tingkat tinggi, orang mudah sekali terpancing emosi dan meluapkan amarah. Sebagai anak-anak Tuhan tidak sepatutnya kita merespons setiap masalah yang terjadi dengan kemarahan atau emosi tinggi, sebaliknya kita harus menghadapinya dengan kepala dingin dan tenang sehingga kita terhindar dari stres.
Secara umum stres merupakan kelelahan berat yang disebabkan oleh masalah kehidupan; pengerahan daya tahan tubuh yang memungkinkan seseorang untuk menyesuaikan diri terhadap peristiwa-peristiwa yang tidak enak atau yang mengancam; reakasi tubuh yang tidak menentu terhadap suatu tuntutan yang dihadapi. Jadi stres itu berkenaan dengan ketegangan tubuh. Keadaan seperti ini juga pernah dialami oleh Elia. Karena diancam hendak dibunuh oleh Izebel jiwanya terguncang dan mengalami stres berat sampai-sampai ia berniat ingin mati saja. Elia benar-benar mengalami kelelahan jasmani dan juga rohani.
Serahkan semua persoalan kepada Tuhan, jangan dipikul sendiri beban itu supaya kita tidak stres!
Baca: 1 Raja-Raja 19:1-8
"Kemudian ia ingin mati, katanya: 'Cukuplah itu! Sekarang, ya TUHAN, ambillah nyawaku, sebab aku ini tidak lebih baik dari pada nenek moyangku.'" 1 Raja-Raja 19:4b
Sering kita mendengar nasihat orang, "Jangan gampang stres, nanti kamu cepat tua lho!" Memang banyak orang merasa alergi dan takut sekali mendengar kata tua. Mengapa orang tidak suka bila dibilang sudah tua? Karena tua identik dengan kulit yang kendur dan keriput. Oleh karena itu banyak orang (khususnya wanita) berlomba-lomba untuk menggunakan berbagai macam produk kecantikan, seperti krim pengencangan kulit atau wajah, mengkonsumsi vitamin A dan C supaya mereka tidak mengalami penuaan dini.
Tak bisa dipungkiri bahwa dunia saat ini dipenuhi dengan ketegangan-ketegangan di berbagai sektor kehidupan manusia. Hal ini seringkali menjadi faktor pemicu stres yang dialami orang dengan tekanan berat. Jadi, bukan hanya di bidang politik saja orang mudah sekali mengalami ketegangan seperti yang dialami oleh para wakil rakyat yang duduk di kursi DPR/MPR. Hanya karena berselisih pendapat mereka melakukan tindakan yang tidak terpuji yaitu mengjungkirbalikkan kursi dan meja saat rapat berlangsung, dan kejadian ini dilihat oleh jutaan mata di seluruh persada negeri ini. Karena stres tingkat tinggi, orang mudah sekali terpancing emosi dan meluapkan amarah. Sebagai anak-anak Tuhan tidak sepatutnya kita merespons setiap masalah yang terjadi dengan kemarahan atau emosi tinggi, sebaliknya kita harus menghadapinya dengan kepala dingin dan tenang sehingga kita terhindar dari stres.
Secara umum stres merupakan kelelahan berat yang disebabkan oleh masalah kehidupan; pengerahan daya tahan tubuh yang memungkinkan seseorang untuk menyesuaikan diri terhadap peristiwa-peristiwa yang tidak enak atau yang mengancam; reakasi tubuh yang tidak menentu terhadap suatu tuntutan yang dihadapi. Jadi stres itu berkenaan dengan ketegangan tubuh. Keadaan seperti ini juga pernah dialami oleh Elia. Karena diancam hendak dibunuh oleh Izebel jiwanya terguncang dan mengalami stres berat sampai-sampai ia berniat ingin mati saja. Elia benar-benar mengalami kelelahan jasmani dan juga rohani.
Serahkan semua persoalan kepada Tuhan, jangan dipikul sendiri beban itu supaya kita tidak stres!
Wednesday, February 11, 2015
BERSERU SAAT PERLU
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 11 Februari 2015
Baca: Mazmur 44:1-27
"Terjagalah! Mengapa Engkau tidur, ya Tuhan? Bangunlah! Janganlah membuang kami terus-menerus!" Mazmur 44:24
Sudah menjadi sifat alamiah manusia jika dalam marabahaya, terancam, tertekan dan menemui jalan buntu akan berteriak dan berseru-seru kepada Tuhan, bahkan disertai linangan air mata dan hati hancur. Tak jarang mereka pun langsung mengeluh, berani marah dan mempersalahkan Tuhan: "Mengapa Engkau berdiri jauh-jauh, ya TUHAN, dan menyembunyikan diri-Mu dalam waktu-waktu kesesakan?" (Mazmur 10:1).
Sama seperti yang dirasakan murid-murid ketika mereka berada di tengah amukan badai, mereka berpikir mengapa Tuhan Yesus sepertinya membiarkan hal itu sementara mereka berada dalam bahaya yang besar. Mereka pun berteriak, "Guru, Engkau tidak perduli kalau kita binasa?" (Markus 4:38b). Tuhan Yesus pun menegur mereka, "Mengapa kamu takut, kamu yang kurang percaya?" (Matius 8:26). Saat dalam masalah berat biasanya cepat sekali kita lupa dengan kebesaran dan kuasa Tuhan, yang diingat-ingat hanyalah besarnya masalah, padahal Dia adalah "...Allah semesta alam, siapakah seperti Engkau? Engkau kuat, ya TUHAN, dan kesetiaan-Mu ada di sekeliling-Mu. Engkaulah yang memerintah kecongkakan laut, pada waktu naik gelombang-gelombangnya, Engkau juga yang meredakannya." (Mazmur 89:9-10). Kita menjadi panik, sangat ketakutan dan iman percaya kita yang tampak berkobar-kobar pada waktu ibadah di hari Minggu sepertinya hilang begitu saja dilibas oleh besarnya masalah. Terkadang badai dan gelombang diijinkan Tuhan terjadi untuk menguji kualitas iman percaya kita. Akhirnya Tuhan bertindak menolong murid-murid-Nya yang ketakutan di tengah danau sebagai bukti Ia sangat mengasihi dan peduli. Pertolongan Tuhan itu tidak pernah terlambat, "Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya," (Pengkotbah 3:11).
Tidak ada alasan bagi orang percaya untuk takut dan kuatir karena kita mempunyai Tuhan yang dahsyat dan ajaib segala perbuatan-Nya. Jangan hanya saat perlu saja kita mencari Tuhan! Begitu persoalan beres kita pun bergegas meninggalkan Dia seperti yang diperbuat oleh sembilan orang yang sakit kusta (baca Lukas 17:17).
Kapan Saudara mencari Tuhan? Saat sedang membutuhkan atau karena kerinduan?
Baca: Mazmur 44:1-27
"Terjagalah! Mengapa Engkau tidur, ya Tuhan? Bangunlah! Janganlah membuang kami terus-menerus!" Mazmur 44:24
Sudah menjadi sifat alamiah manusia jika dalam marabahaya, terancam, tertekan dan menemui jalan buntu akan berteriak dan berseru-seru kepada Tuhan, bahkan disertai linangan air mata dan hati hancur. Tak jarang mereka pun langsung mengeluh, berani marah dan mempersalahkan Tuhan: "Mengapa Engkau berdiri jauh-jauh, ya TUHAN, dan menyembunyikan diri-Mu dalam waktu-waktu kesesakan?" (Mazmur 10:1).
Sama seperti yang dirasakan murid-murid ketika mereka berada di tengah amukan badai, mereka berpikir mengapa Tuhan Yesus sepertinya membiarkan hal itu sementara mereka berada dalam bahaya yang besar. Mereka pun berteriak, "Guru, Engkau tidak perduli kalau kita binasa?" (Markus 4:38b). Tuhan Yesus pun menegur mereka, "Mengapa kamu takut, kamu yang kurang percaya?" (Matius 8:26). Saat dalam masalah berat biasanya cepat sekali kita lupa dengan kebesaran dan kuasa Tuhan, yang diingat-ingat hanyalah besarnya masalah, padahal Dia adalah "...Allah semesta alam, siapakah seperti Engkau? Engkau kuat, ya TUHAN, dan kesetiaan-Mu ada di sekeliling-Mu. Engkaulah yang memerintah kecongkakan laut, pada waktu naik gelombang-gelombangnya, Engkau juga yang meredakannya." (Mazmur 89:9-10). Kita menjadi panik, sangat ketakutan dan iman percaya kita yang tampak berkobar-kobar pada waktu ibadah di hari Minggu sepertinya hilang begitu saja dilibas oleh besarnya masalah. Terkadang badai dan gelombang diijinkan Tuhan terjadi untuk menguji kualitas iman percaya kita. Akhirnya Tuhan bertindak menolong murid-murid-Nya yang ketakutan di tengah danau sebagai bukti Ia sangat mengasihi dan peduli. Pertolongan Tuhan itu tidak pernah terlambat, "Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya," (Pengkotbah 3:11).
Tidak ada alasan bagi orang percaya untuk takut dan kuatir karena kita mempunyai Tuhan yang dahsyat dan ajaib segala perbuatan-Nya. Jangan hanya saat perlu saja kita mencari Tuhan! Begitu persoalan beres kita pun bergegas meninggalkan Dia seperti yang diperbuat oleh sembilan orang yang sakit kusta (baca Lukas 17:17).
Kapan Saudara mencari Tuhan? Saat sedang membutuhkan atau karena kerinduan?
Tuesday, February 10, 2015
BADAI: Melatih Kepekaan Rohani
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 10 Februari 2015
Baca: Mazmur 29:1-11
"Suara TUHAN di atas air, Allah yang mulia mengguntur, TUHAN di atas air yang besar." Mazmur 29:3
Ketika berada di dalam badai, hal pertama yang harus kita lakukan adalah mencari tahu siapa dan apa penyebabnya. Maka dibutuhkan sebuah kepekaan rohani.
Bila badai terjadi karena kesalahan dan kelalaian sendiri, segeralah intropeksi diri. Ketika ditegur Natan perihal perselingkuhannya dengan Batsyeba, yang mengakibatkan anak yang dilahirkan mati, segeralah Daud berdoa, "Kasihanilah aku, ya Allah, menurut kasih setia-Mu, hapuskanlah pelanggaranku menurut rahmat-Mu yang besar! Bersihkanlah aku seluruhnya dari kesalahanku, dan tahirkanlah aku dari dosaku!" (Mazmur 51:3-4). Inilah yang disebut kepekaan reaktif. Tuhan merupakan sumber kasih yang tidak pernah habis. Asal kita datang kepada-Nya dengan hati hancur dan mengakui dengan jujur segala dosa dan kesalahan, Tuhan pasti mengampuni. "Korban sembelihan kepada Allah ialah jiwa yang hancur; hati yang patah dan remuk tidak akan Kaupandang hina, ya Allah." (Mazmur 51:19).
Bila badai terjadi karena serangan Iblis, seperti yang dialami Ayub, tidak ada jalan lain selain harus makin melekat kepada Tuhan dan menguatkan iman percaya kita kepada-Nya. Lawanlah Iblis dengan iman yang teguh, maka "...Allah, sumber segala kasih karunia, yang telah memanggil kamu dalam Kristus kepada kemuliaan-Nya yang kekal, akan melengkapi, meneguhkan, menguatkan dan mengokohkan kamu," (1 Petrus 5:10). Jangan sekali-kali mengandalkan kekuatan sendiri!
Sebagai mantan nelayan seharusnya beberapa murid Tuhan tahu harus berbuat apa ketika dihantam ombak karena mereka punya pengalaman. Ternyata pengalaman dan kepintaran manusia tak sanggup menolong. Betapa sering kita mengabaikan Tuhan dan memilih mengatasi masalah dengan kekuatan sendiri, atau kita bersandar kepada manusia yang kita anggap sanggup menolong kita. Hasilnya? Banyak kali kita harus menelan pil kekecewaan. "Terkutuklah orang yang mengandalkan manusia, yang mengandalkan kekuatannya sendiri, dan yang hatinya menjauh dari pada TUHAN!" (Yeremia 17:5).
Badai diijinkan terjadi supaya kita peka dan berubah sehingga tidak lagi menganggap diri sendiri hebat dan kuat!
Baca: Mazmur 29:1-11
"Suara TUHAN di atas air, Allah yang mulia mengguntur, TUHAN di atas air yang besar." Mazmur 29:3
Ketika berada di dalam badai, hal pertama yang harus kita lakukan adalah mencari tahu siapa dan apa penyebabnya. Maka dibutuhkan sebuah kepekaan rohani.
Bila badai terjadi karena kesalahan dan kelalaian sendiri, segeralah intropeksi diri. Ketika ditegur Natan perihal perselingkuhannya dengan Batsyeba, yang mengakibatkan anak yang dilahirkan mati, segeralah Daud berdoa, "Kasihanilah aku, ya Allah, menurut kasih setia-Mu, hapuskanlah pelanggaranku menurut rahmat-Mu yang besar! Bersihkanlah aku seluruhnya dari kesalahanku, dan tahirkanlah aku dari dosaku!" (Mazmur 51:3-4). Inilah yang disebut kepekaan reaktif. Tuhan merupakan sumber kasih yang tidak pernah habis. Asal kita datang kepada-Nya dengan hati hancur dan mengakui dengan jujur segala dosa dan kesalahan, Tuhan pasti mengampuni. "Korban sembelihan kepada Allah ialah jiwa yang hancur; hati yang patah dan remuk tidak akan Kaupandang hina, ya Allah." (Mazmur 51:19).
Bila badai terjadi karena serangan Iblis, seperti yang dialami Ayub, tidak ada jalan lain selain harus makin melekat kepada Tuhan dan menguatkan iman percaya kita kepada-Nya. Lawanlah Iblis dengan iman yang teguh, maka "...Allah, sumber segala kasih karunia, yang telah memanggil kamu dalam Kristus kepada kemuliaan-Nya yang kekal, akan melengkapi, meneguhkan, menguatkan dan mengokohkan kamu," (1 Petrus 5:10). Jangan sekali-kali mengandalkan kekuatan sendiri!
Sebagai mantan nelayan seharusnya beberapa murid Tuhan tahu harus berbuat apa ketika dihantam ombak karena mereka punya pengalaman. Ternyata pengalaman dan kepintaran manusia tak sanggup menolong. Betapa sering kita mengabaikan Tuhan dan memilih mengatasi masalah dengan kekuatan sendiri, atau kita bersandar kepada manusia yang kita anggap sanggup menolong kita. Hasilnya? Banyak kali kita harus menelan pil kekecewaan. "Terkutuklah orang yang mengandalkan manusia, yang mengandalkan kekuatannya sendiri, dan yang hatinya menjauh dari pada TUHAN!" (Yeremia 17:5).
Badai diijinkan terjadi supaya kita peka dan berubah sehingga tidak lagi menganggap diri sendiri hebat dan kuat!
Monday, February 9, 2015
TUHAN SANGGUP MEREDAKAN
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 9 Februari 2015
Baca: Markus 4:35-41
"Iapun bangun, menghardik angin itu dan berkata kepada danau itu: "Diam! Tenanglah!" Lalu angin itu reda dan danau itu menjadi teduh sekali." Markus 4:39
Danau Galilea adalah tipikal danau yang mudah sekali diterjang oleh angin dan badai yang kencang, yang melalui sela-sela perbukitan yang mengelilingi danau itu. Seharusnya fenomena alam ini tidak mengejutkan bagi beberapa murid Tuhan Yesus yang adalah mantan nelayan. Meski demikian mereka tetap saja dalam kepanikan. Begitu juga kita, selama kaki ini masih memijak bumi kita pun tidak akan luput dari terpaan berbagai badai kehidupan. Pertanyaan timbul: Apa bedanya kita sebagai orang percaya dan orang yang tidak percaya apabila masalah dan penderitaan itu juga datang menerpa hidup kita? Jawabnya: Jelas saja ada perbedaan yang nyata!
Orang percaya yang diterpa oleh badai persoalan tidak menghadapinya sendirian, sebab Tuhan ada bersama mereka dan selalu beserta. "Apabila orang-orang benar itu berseru-seru, maka TUHAN mendengar, dan melepaskan mereka dari segala kesesakannya." (Mazmur 34:18). Alkitab juga menegaskan: "Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya." (1 Korintus 10:13). Sebaliknya ketika orang-orang dunia mengalami amukan badai, mereka tidak beroleh jaminan pertolongan dan perlindungan dari Tuhan, sehingga cepat atau lambat mereka akan tenggelam di dalam badai tersebut. "Kemalangan akan mematikan orang fasik," (Mazmur 34:22).
Perjalanan hidup kita ini digambarkan seperti sebuah perahu yang tengah berlayar di lautan lepas, yang tidak bisa menjanjikan pelayaran mulus tanpa terpaan ombak, badai dan amukan gelombang, sebab semuanya itu bisa datang sewaktu-waktu dan menimpa siapa saja termasuk orang percaya sekalipun. Asal kita selalu mengundang Tuhan Yesus masuk ke dalam perahu kita maka tidak ada yang perlu dikuatirkan. Kita pasti sanggup melewati semuanya dan mampu berkata: "Ku 'kan berdiri di tengah badai, dengan kekuatan yang Kauberikan, sampai kapan pun ku 'kan bertahan, karena Yesus selalu menopang hidupku." (lirik lagu rohani "Engkaulah Perisaiku" karya Bobby Febian).
Tidak ada badai sebesar apa pun yang tak sanggup diredakan oleh Tuhan Yesus!
Baca: Markus 4:35-41
"Iapun bangun, menghardik angin itu dan berkata kepada danau itu: "Diam! Tenanglah!" Lalu angin itu reda dan danau itu menjadi teduh sekali." Markus 4:39
Danau Galilea adalah tipikal danau yang mudah sekali diterjang oleh angin dan badai yang kencang, yang melalui sela-sela perbukitan yang mengelilingi danau itu. Seharusnya fenomena alam ini tidak mengejutkan bagi beberapa murid Tuhan Yesus yang adalah mantan nelayan. Meski demikian mereka tetap saja dalam kepanikan. Begitu juga kita, selama kaki ini masih memijak bumi kita pun tidak akan luput dari terpaan berbagai badai kehidupan. Pertanyaan timbul: Apa bedanya kita sebagai orang percaya dan orang yang tidak percaya apabila masalah dan penderitaan itu juga datang menerpa hidup kita? Jawabnya: Jelas saja ada perbedaan yang nyata!
Orang percaya yang diterpa oleh badai persoalan tidak menghadapinya sendirian, sebab Tuhan ada bersama mereka dan selalu beserta. "Apabila orang-orang benar itu berseru-seru, maka TUHAN mendengar, dan melepaskan mereka dari segala kesesakannya." (Mazmur 34:18). Alkitab juga menegaskan: "Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya." (1 Korintus 10:13). Sebaliknya ketika orang-orang dunia mengalami amukan badai, mereka tidak beroleh jaminan pertolongan dan perlindungan dari Tuhan, sehingga cepat atau lambat mereka akan tenggelam di dalam badai tersebut. "Kemalangan akan mematikan orang fasik," (Mazmur 34:22).
Perjalanan hidup kita ini digambarkan seperti sebuah perahu yang tengah berlayar di lautan lepas, yang tidak bisa menjanjikan pelayaran mulus tanpa terpaan ombak, badai dan amukan gelombang, sebab semuanya itu bisa datang sewaktu-waktu dan menimpa siapa saja termasuk orang percaya sekalipun. Asal kita selalu mengundang Tuhan Yesus masuk ke dalam perahu kita maka tidak ada yang perlu dikuatirkan. Kita pasti sanggup melewati semuanya dan mampu berkata: "Ku 'kan berdiri di tengah badai, dengan kekuatan yang Kauberikan, sampai kapan pun ku 'kan bertahan, karena Yesus selalu menopang hidupku." (lirik lagu rohani "Engkaulah Perisaiku" karya Bobby Febian).
Tidak ada badai sebesar apa pun yang tak sanggup diredakan oleh Tuhan Yesus!
Sunday, February 8, 2015
DITERJANG BADAI KEHIDUPAN
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 8 Februari 2015
Baca: Matius 8:23-27
"Sekonyong-konyong mengamuklah angin ribut di danau itu, sehingga perahu itu ditimbus gelombang, tetapi Yesus tidur." Matius 8:24
Mungkin kita tidak pernah mengalami terpaan badai dan ganasnya gelombang di lautan dalam arti yang sesungguhnya karena kita memang tidak pernah melakukan perjalanan jauh melalui jalur laut, karena umumnya kapal laut membutuhkan waktu yang lama, bahkan bisa berhari-hari untuk bisa sampai ke tujuan. Karena itu banyak orang lebih suka menempuh perjalanan jauh melalui jalur udara demi efesiensi waktu dan kenyamanan meski harus mengeluarkan biaya mahal.
Namun tak seorang pun dapat mengelak dan menghindarkan diri dari 'badai dan gelombang' kehidupan yang sewaktu-waktu dapat terjadi dan menghantam 'perahu kehidupan' kita. Contoh nyata adalah badai perekonomian atau krisis moneter yang melanda bangsa Indonesia pada tahun 1998 lalu, krisis berkepanjangan menerjang segala sektor kehidupan yang akhirnya membawa dampak luar biasa bagi kelangsungan hidup semua orang. Ketika badai dan gelombang dahsyat menyerang, yang terlontar dari mulut kita umumnya adalah perkataan-perkataan negatif bercampur dengan takut, kuatir, kecewa. Tak jarang kita memprotes Tuhan, "Mengapa Tuhan membiarkan hal ini terjadi? Mengapa Tuhan tidak segera bertindak untuk menolong? Di manakah janji pemeliharaan Tuhan?" Pertanyaan yang sama yang bernada kecewa, kesal, menggerutu, mengomel pun terlontar dari mulut murid-murid, sebab Tuhan Yesuslah yang mengajak mereka untuk bertolak ke seberang. "Marilah kita bertolak ke seberang." (Markus 4:35).
Selain Tuhan Yesus dan murid-murid-Nya turut serta pula orang-orang yang mengikut Dia dengan perahu mereka masing-masing. Namun apa yang selanjutnya terjadi? "Sekonyong-konyong mengamuklah angin ribut di danau itu," (ayat nas). Hal itu menunjukkan bahwa keikutsertaan Tuhan Yesus di dalam perahu tidak dengan serta merta membuat perjalanan yang mereka tempuh terbebas dari terpaan badai dan gelombang. "Kemalangan orang benar banyak, tetapi TUHAN melepaskan dia dari semuanya itu;" (Mazmur 34:20).
Mengikut Tuhan bukan berarti pasti terbebas dari masalah, sebab Tuhan tidak pernah menjanjikan demikian, namun yang pasti Tuhan selalu ada untuk kita.
Baca: Matius 8:23-27
"Sekonyong-konyong mengamuklah angin ribut di danau itu, sehingga perahu itu ditimbus gelombang, tetapi Yesus tidur." Matius 8:24
Mungkin kita tidak pernah mengalami terpaan badai dan ganasnya gelombang di lautan dalam arti yang sesungguhnya karena kita memang tidak pernah melakukan perjalanan jauh melalui jalur laut, karena umumnya kapal laut membutuhkan waktu yang lama, bahkan bisa berhari-hari untuk bisa sampai ke tujuan. Karena itu banyak orang lebih suka menempuh perjalanan jauh melalui jalur udara demi efesiensi waktu dan kenyamanan meski harus mengeluarkan biaya mahal.
Namun tak seorang pun dapat mengelak dan menghindarkan diri dari 'badai dan gelombang' kehidupan yang sewaktu-waktu dapat terjadi dan menghantam 'perahu kehidupan' kita. Contoh nyata adalah badai perekonomian atau krisis moneter yang melanda bangsa Indonesia pada tahun 1998 lalu, krisis berkepanjangan menerjang segala sektor kehidupan yang akhirnya membawa dampak luar biasa bagi kelangsungan hidup semua orang. Ketika badai dan gelombang dahsyat menyerang, yang terlontar dari mulut kita umumnya adalah perkataan-perkataan negatif bercampur dengan takut, kuatir, kecewa. Tak jarang kita memprotes Tuhan, "Mengapa Tuhan membiarkan hal ini terjadi? Mengapa Tuhan tidak segera bertindak untuk menolong? Di manakah janji pemeliharaan Tuhan?" Pertanyaan yang sama yang bernada kecewa, kesal, menggerutu, mengomel pun terlontar dari mulut murid-murid, sebab Tuhan Yesuslah yang mengajak mereka untuk bertolak ke seberang. "Marilah kita bertolak ke seberang." (Markus 4:35).
Selain Tuhan Yesus dan murid-murid-Nya turut serta pula orang-orang yang mengikut Dia dengan perahu mereka masing-masing. Namun apa yang selanjutnya terjadi? "Sekonyong-konyong mengamuklah angin ribut di danau itu," (ayat nas). Hal itu menunjukkan bahwa keikutsertaan Tuhan Yesus di dalam perahu tidak dengan serta merta membuat perjalanan yang mereka tempuh terbebas dari terpaan badai dan gelombang. "Kemalangan orang benar banyak, tetapi TUHAN melepaskan dia dari semuanya itu;" (Mazmur 34:20).
Mengikut Tuhan bukan berarti pasti terbebas dari masalah, sebab Tuhan tidak pernah menjanjikan demikian, namun yang pasti Tuhan selalu ada untuk kita.
Saturday, February 7, 2015
KEKUATIRAN: Bukti Ketidakpercayaan
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 7 Februari 2015
Baca: Mazmur 112:1-10
"Ia tidak takut kepada kabar celaka, hatinya tetap, penuh kepercayaan kepada TUHAN." Mazmur 112:7
Semua orang pasti punya rasa kuatir karena kuatir adalah hal yang manusiawi, tapi jika setiap saat dan setiap waktu kita terus hidup dalam kekuatiran itu sama artinya kita tidak mempercayai Tuhan sepenuhnya; kita meragukan kuasa Tuhan dan bimbang terhadap semua janji-janji Tuhan. "...orang yang bimbang sama dengan gelombang laut, yang diombang-ambingkan kian ke mari oleh angin. Orang yang demikian janganlah mengira, bahwa ia akan menerima sesuatu dari Tuhan." (Yakobus 1:6-7). Orang yang kuatir membuktikan bahwa ia tidak menyadari kasih dan pemeliharaan Tuhan dalam hidupnya, padahal "...TUHAN itu baik, kasih setia-Nya untuk selama-lamanya, dan kesetiaan-Nya tetap turun-temurun." (Mazmur 100:5). Firman-Nya juga mengatakan, "Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan yang baik kepada mereka yang meminta kepada-Nya." (Matius 7:11).
Jika kita menyadari akan kasih dan pemeliharaan Tuhan kita dapat berkata seperti rasul Paulus katakan, "Siapakah yang akan memisahkan kita dari kasih Kristus? Penindasan atau kesesakan atau penganiayaan, atau kelaparan atau ketelanjangan, atau bahaya, atau pedang? Tetapi dalam semuanya itu kita lebih dari pada orang-orang yang menang, oleh Dia yang telah mengasihi kita." (Roma 8:35, 37).
Mulai hari ini ambil tindakan tegas untuk membuang semua kekuatiran yang selama ini terus membelenggu hidup kita. Norman Vincent Peale, motivator, menyatakan bahwa ketika seseorang kuatir sama artinya ia telah membuang-buang energi mental secara bodoh, sebab kira-kira sembilan puluh dua persen dari kekuatiran tidak pernah terjadi. Sayang bukan? Cara untuk berhenti dari rasa kuatir adalah banyak berdoa dan belajarlah untuk senantiasa bersyukur di segala keadaan. Dengan bersyukur maka arah pandangan kita tertuju kepada janji Tuhan dan kebesaran kuasa Tuhan. Tidak berarti hal itu akan mengubah situasi, melainkan respons kita terhadap masalah yang akan berubah.
Miliki keyakinan seperti rasul Paulus, "sebab hidup kami ini adalah hidup karena percaya, bukan karena melihat." 2 Korintus 5:7
Baca: Mazmur 112:1-10
"Ia tidak takut kepada kabar celaka, hatinya tetap, penuh kepercayaan kepada TUHAN." Mazmur 112:7
Semua orang pasti punya rasa kuatir karena kuatir adalah hal yang manusiawi, tapi jika setiap saat dan setiap waktu kita terus hidup dalam kekuatiran itu sama artinya kita tidak mempercayai Tuhan sepenuhnya; kita meragukan kuasa Tuhan dan bimbang terhadap semua janji-janji Tuhan. "...orang yang bimbang sama dengan gelombang laut, yang diombang-ambingkan kian ke mari oleh angin. Orang yang demikian janganlah mengira, bahwa ia akan menerima sesuatu dari Tuhan." (Yakobus 1:6-7). Orang yang kuatir membuktikan bahwa ia tidak menyadari kasih dan pemeliharaan Tuhan dalam hidupnya, padahal "...TUHAN itu baik, kasih setia-Nya untuk selama-lamanya, dan kesetiaan-Nya tetap turun-temurun." (Mazmur 100:5). Firman-Nya juga mengatakan, "Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan yang baik kepada mereka yang meminta kepada-Nya." (Matius 7:11).
Jika kita menyadari akan kasih dan pemeliharaan Tuhan kita dapat berkata seperti rasul Paulus katakan, "Siapakah yang akan memisahkan kita dari kasih Kristus? Penindasan atau kesesakan atau penganiayaan, atau kelaparan atau ketelanjangan, atau bahaya, atau pedang? Tetapi dalam semuanya itu kita lebih dari pada orang-orang yang menang, oleh Dia yang telah mengasihi kita." (Roma 8:35, 37).
Mulai hari ini ambil tindakan tegas untuk membuang semua kekuatiran yang selama ini terus membelenggu hidup kita. Norman Vincent Peale, motivator, menyatakan bahwa ketika seseorang kuatir sama artinya ia telah membuang-buang energi mental secara bodoh, sebab kira-kira sembilan puluh dua persen dari kekuatiran tidak pernah terjadi. Sayang bukan? Cara untuk berhenti dari rasa kuatir adalah banyak berdoa dan belajarlah untuk senantiasa bersyukur di segala keadaan. Dengan bersyukur maka arah pandangan kita tertuju kepada janji Tuhan dan kebesaran kuasa Tuhan. Tidak berarti hal itu akan mengubah situasi, melainkan respons kita terhadap masalah yang akan berubah.
Miliki keyakinan seperti rasul Paulus, "sebab hidup kami ini adalah hidup karena percaya, bukan karena melihat." 2 Korintus 5:7
Friday, February 6, 2015
TERBEBAS DARI RASA KUATIR
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 6 Februari 2015
Baca: Mazmur 55:1-24
"Serahkanlah kuatirmu kepada TUHAN, maka Ia akan memelihara engkau!" Mazmur 55:23a
Pada dasarnya kekuatiran bukanlah suatu keadaan, melainkan sebuah keputusan atau pilihan hidup. Ketika mengalami masalah yang ringan dan tidak terlalu rumit saja kita cenderung kuatir. Tetapi ada orang yang meskipun dihadapkan pada masalah sangat berat dan pelik memilih tidak kuatir dan tetap tenang, sebab ia tahu dalam kekuatiran seseorang "...tidak mendapat ketenangan dan ketenteraman;...tetapi kegelisahanlah yang timbul." (Ayub 3:26), sebaliknya dalam "...tinggal tenang dan percaya terletak kekuatanmu." (Yesaya 30:15) dan "Hati yang tenang menyegarkan tubuh," (Amsal 14:30).
Supaya terbebas dari rasa kuatir kita harus selalu menjaga hati dan pikiran, sebab apa yang ada di dalam hati dan pikiran menentukan sikap, perkataan dan tindakan, "Seperti air mencerminkan wajah, demikianlah hati manusia mencerminkan manusia itu." (Amsal 27:19). Maka dari itu "Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan." (Amsal 4:23). Kita pun harus menjaga 'mata' kita, karena apa yang kita lihat seringkali mempengaruhi hati dan pikiran kita. "Mata adalah pelita tubuh. Jadi jika terang yang ada padamu gelap, betapa gelapnya kegelapan itu." (Matius 6:22-23). Jika mata kita hanya tertuju pada situasi dan keadaan yang ada, kita akan menjadi lemah dan semakin kuatir, tapi bila mata kita tetap tertuju kepada Tuhan Yesus, maka Dia "...yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan," (Ibrani 12:2).
Langkah selanjutnya: menyediakan waktu membaca dan merenungkan firman Tuhan. Bila kita lakukan itu siang dan malam, hal-hal positif akan memenuhi pikiran kita, yaitu "...semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan" (Filipi 4:8), sehingga kekuatiran dan hal-hal negatif lainnya tidak akan punya tempat lagi di dalam hati dan pikiran kita.
"demikianlah firman-Ku yang keluar dari mulut-Ku: ia tidak akan kembali kepada-Ku dengan sia-sia, tetapi ia akan melaksanakan apa yang Kukehendaki, dan akan berhasil dalam apa yang Kusuruhkan kepadanya." Yesaya 55:11
Baca: Mazmur 55:1-24
"Serahkanlah kuatirmu kepada TUHAN, maka Ia akan memelihara engkau!" Mazmur 55:23a
Pada dasarnya kekuatiran bukanlah suatu keadaan, melainkan sebuah keputusan atau pilihan hidup. Ketika mengalami masalah yang ringan dan tidak terlalu rumit saja kita cenderung kuatir. Tetapi ada orang yang meskipun dihadapkan pada masalah sangat berat dan pelik memilih tidak kuatir dan tetap tenang, sebab ia tahu dalam kekuatiran seseorang "...tidak mendapat ketenangan dan ketenteraman;...tetapi kegelisahanlah yang timbul." (Ayub 3:26), sebaliknya dalam "...tinggal tenang dan percaya terletak kekuatanmu." (Yesaya 30:15) dan "Hati yang tenang menyegarkan tubuh," (Amsal 14:30).
Supaya terbebas dari rasa kuatir kita harus selalu menjaga hati dan pikiran, sebab apa yang ada di dalam hati dan pikiran menentukan sikap, perkataan dan tindakan, "Seperti air mencerminkan wajah, demikianlah hati manusia mencerminkan manusia itu." (Amsal 27:19). Maka dari itu "Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan." (Amsal 4:23). Kita pun harus menjaga 'mata' kita, karena apa yang kita lihat seringkali mempengaruhi hati dan pikiran kita. "Mata adalah pelita tubuh. Jadi jika terang yang ada padamu gelap, betapa gelapnya kegelapan itu." (Matius 6:22-23). Jika mata kita hanya tertuju pada situasi dan keadaan yang ada, kita akan menjadi lemah dan semakin kuatir, tapi bila mata kita tetap tertuju kepada Tuhan Yesus, maka Dia "...yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan," (Ibrani 12:2).
Langkah selanjutnya: menyediakan waktu membaca dan merenungkan firman Tuhan. Bila kita lakukan itu siang dan malam, hal-hal positif akan memenuhi pikiran kita, yaitu "...semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan" (Filipi 4:8), sehingga kekuatiran dan hal-hal negatif lainnya tidak akan punya tempat lagi di dalam hati dan pikiran kita.
"demikianlah firman-Ku yang keluar dari mulut-Ku: ia tidak akan kembali kepada-Ku dengan sia-sia, tetapi ia akan melaksanakan apa yang Kukehendaki, dan akan berhasil dalam apa yang Kusuruhkan kepadanya." Yesaya 55:11
Thursday, February 5, 2015
KEKUATIRAN: Tidak Mendatangkan Kebaikan
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 5 Februari 2015
Baca: Amsal 12:1-28
"Kekuatiran dalam hati membungkukkan orang, tetapi perkataan yang baik menggembirakan dia." Amsal 12:25
Dr. Edward Podolsky, seorang dosen dan penulis buku terkenal, dalam bukunya yang berjudul 'Stop Worrying and Get Well' menulis bahwa kekuatiran yang dipelihara secara terus-menerus dapat menyebabkan seseorang menderita sakit, seperti penyakit jantung, darah tinggi dan migran. Dengan kata lain, bila hati dan pikiran terus dipenuhi oleh kekuatiran, tubuh jasmani secara otomatis terkena efeknya. Ketika kita kuatir tubuh ini serasa membawa beban yang begitu berat sehingga organ-organ tubuh kita tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Di sini dapat disimpulkan bahwa kekuatiran lebih banyak berdampak negatif daripada positif karena dapat menganggu kesehatan. Karena itu jangan sekali-kali menganggap remeh kekuatiran, karena cepat atau lambat bisa menghancurkan hidup kita, memporak-porandakan semua harapan kita, serta menghentikan langkah kita untuk meraih berkat Tuhan.
Leo Buscaglia, motivator terkenal dari Amerika, juga berkata, "Kekuatiran tak akan melenyapkan kesedihan esok, tetapi akan menghilangkan kegembiraan hari ini." Pada dasarnya kekuatiran itu berkaitan erat dengan ketakutan dan kecemasan. Orang dikatakan kuatir ketika berada dalam keadaan takut, cemas, gelisah dan tidak tenang, yang ditimbulkan oleh situasi yang bermasalah, baik itu yang dibayangkan, diangan-angankan maupun yang tampak secara nyata. Kekuatiran juga bisa didefinisikan sebagai perasaan takut akan hari esok atau masa depan. Jadi, sesungguhnya kekuatiran adalah perasaan gelisah terhadap sesuatu yang belum tentu akan terjadi. Kita sebenarnya tahu bahwa kekuatiran itu tidak baik dan tidak mendatangkan keuntungan apa-apa, bahwa firman Tuhan tak pernah henti mengingatkan kita agar tidak kuatir (baca Matius 6:25-34), namun dalam prakteknya kita seringkali memilih untuk kuatir dan terus hidup dalam kekuatiran. Akibatnya pikiran kita hanya terfokus pada masalah dan kesulitan. Waktu dan energi kita pun terkuras sia-sia memikirkan masalah, sehingga masalah akan tampak besar seperti Goliat yang serasa sulit untuk dikalahkan.
"...yang kutakutkan, itulah yang menimpa aku, dan yang kucemaskan, itulah yang mendatangi aku." Ayub 3:25
Baca: Amsal 12:1-28
"Kekuatiran dalam hati membungkukkan orang, tetapi perkataan yang baik menggembirakan dia." Amsal 12:25
Dr. Edward Podolsky, seorang dosen dan penulis buku terkenal, dalam bukunya yang berjudul 'Stop Worrying and Get Well' menulis bahwa kekuatiran yang dipelihara secara terus-menerus dapat menyebabkan seseorang menderita sakit, seperti penyakit jantung, darah tinggi dan migran. Dengan kata lain, bila hati dan pikiran terus dipenuhi oleh kekuatiran, tubuh jasmani secara otomatis terkena efeknya. Ketika kita kuatir tubuh ini serasa membawa beban yang begitu berat sehingga organ-organ tubuh kita tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Di sini dapat disimpulkan bahwa kekuatiran lebih banyak berdampak negatif daripada positif karena dapat menganggu kesehatan. Karena itu jangan sekali-kali menganggap remeh kekuatiran, karena cepat atau lambat bisa menghancurkan hidup kita, memporak-porandakan semua harapan kita, serta menghentikan langkah kita untuk meraih berkat Tuhan.
Leo Buscaglia, motivator terkenal dari Amerika, juga berkata, "Kekuatiran tak akan melenyapkan kesedihan esok, tetapi akan menghilangkan kegembiraan hari ini." Pada dasarnya kekuatiran itu berkaitan erat dengan ketakutan dan kecemasan. Orang dikatakan kuatir ketika berada dalam keadaan takut, cemas, gelisah dan tidak tenang, yang ditimbulkan oleh situasi yang bermasalah, baik itu yang dibayangkan, diangan-angankan maupun yang tampak secara nyata. Kekuatiran juga bisa didefinisikan sebagai perasaan takut akan hari esok atau masa depan. Jadi, sesungguhnya kekuatiran adalah perasaan gelisah terhadap sesuatu yang belum tentu akan terjadi. Kita sebenarnya tahu bahwa kekuatiran itu tidak baik dan tidak mendatangkan keuntungan apa-apa, bahwa firman Tuhan tak pernah henti mengingatkan kita agar tidak kuatir (baca Matius 6:25-34), namun dalam prakteknya kita seringkali memilih untuk kuatir dan terus hidup dalam kekuatiran. Akibatnya pikiran kita hanya terfokus pada masalah dan kesulitan. Waktu dan energi kita pun terkuras sia-sia memikirkan masalah, sehingga masalah akan tampak besar seperti Goliat yang serasa sulit untuk dikalahkan.
"...yang kutakutkan, itulah yang menimpa aku, dan yang kucemaskan, itulah yang mendatangi aku." Ayub 3:25
Wednesday, February 4, 2015
LETIH, LESU DAN TAK BERDAYA
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 4 Februari 2015
Baca: Matius 11:25-30
"Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu." Matius 11:28
Apakah saat ini Saudara merasa letih, lesu dan tak berdaya karena beratnya beban permasalahan yang harus Saudara tanggung dalam hidup ini? Mulai dari bangun pagi sampai hendak tidur malam banyak perkara yang kita pergumulkan dan keluhkan, mulai dari masalah keuangan keluarga yang pas-pasan, usaha yang seret dan sedang berada di ujung tanduk, beban pekerjaan, dan suasana kerja yang tidak kondusif, kesehatan yang terganggu karena sakit-penyakit yang lama belum kunjung sembuh, belum lagi anak-anak di rumah yang susah diatur dan studinya yang kian terseok-seok.
Dalam hal pelayanan pun kita merasa bahwa pelayanan yang kita lakukan selama ini serasa sia-sia, tidak ada kemajuan, jalan di tempat dan kita pun berniat untuk mundur karena tidak tahan dengan tekanan dari berbagai pihak. Akhirnya kekuatiran dan kecemasan terus saja membayangi langkah kaki kita yang kian gontai. Abraham L. Feinberg, seorang rohanian Amerika, menulis tentang sepuluh kiat untuk menikmati kebahagiaan hidup. Salah satu dari sepuluh kiat itu adalah: "Berhentilah kuatir. Rasa kuatir akan membinasakan hidupmu." Alkitab juga menegaskan bahwa kekuatiran itu sama sekali tidak mendatangkan kebaikan bagi seseorang, sebab "Kekuatiran dalam hati membungkukkan orang," (Amsal 12:25), dan "Siapakah di antara kamu yang karena kekuatirannya dapat menambahkan sehasta saja pada jalan hidupnya?" (Matius 6:27).
Mengapa Saudara harus memikul beban itu sendirian? Rasul Petrus menasihati, "Serahkanlah segala kekuatiranmu kepada-Nya, sebab Ia yang memelihara kamu." (1 Petrus 5:7). Tuhan berjanji, "Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau." (Ibrani 13:5b). Karena itu kuatkan diri dan tetaplah percaya kepada Tuhan Yesus! Keadaan dunia ini boleh saja berubah, tetapi kita punya Tuhan yang tidak pernah berubah: kuasa, kasih, kemurahan dan kebaikan-Nya "...tetap sama, baik kemarin maupun hari ini dan sampai selama-lamanya." (Ibrani 13:8). Tuhan Yesus tetaplah sebagai jalan dan kebenaran dan hidup bagi orang percaya.
"Aku telah melakukannya dan mau menanggung kamu terus; Aku mau memikul kamu dan menyelamatkan kamu." Yesaya 46:4b
Baca: Matius 11:25-30
"Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu." Matius 11:28
Apakah saat ini Saudara merasa letih, lesu dan tak berdaya karena beratnya beban permasalahan yang harus Saudara tanggung dalam hidup ini? Mulai dari bangun pagi sampai hendak tidur malam banyak perkara yang kita pergumulkan dan keluhkan, mulai dari masalah keuangan keluarga yang pas-pasan, usaha yang seret dan sedang berada di ujung tanduk, beban pekerjaan, dan suasana kerja yang tidak kondusif, kesehatan yang terganggu karena sakit-penyakit yang lama belum kunjung sembuh, belum lagi anak-anak di rumah yang susah diatur dan studinya yang kian terseok-seok.
Dalam hal pelayanan pun kita merasa bahwa pelayanan yang kita lakukan selama ini serasa sia-sia, tidak ada kemajuan, jalan di tempat dan kita pun berniat untuk mundur karena tidak tahan dengan tekanan dari berbagai pihak. Akhirnya kekuatiran dan kecemasan terus saja membayangi langkah kaki kita yang kian gontai. Abraham L. Feinberg, seorang rohanian Amerika, menulis tentang sepuluh kiat untuk menikmati kebahagiaan hidup. Salah satu dari sepuluh kiat itu adalah: "Berhentilah kuatir. Rasa kuatir akan membinasakan hidupmu." Alkitab juga menegaskan bahwa kekuatiran itu sama sekali tidak mendatangkan kebaikan bagi seseorang, sebab "Kekuatiran dalam hati membungkukkan orang," (Amsal 12:25), dan "Siapakah di antara kamu yang karena kekuatirannya dapat menambahkan sehasta saja pada jalan hidupnya?" (Matius 6:27).
Mengapa Saudara harus memikul beban itu sendirian? Rasul Petrus menasihati, "Serahkanlah segala kekuatiranmu kepada-Nya, sebab Ia yang memelihara kamu." (1 Petrus 5:7). Tuhan berjanji, "Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau." (Ibrani 13:5b). Karena itu kuatkan diri dan tetaplah percaya kepada Tuhan Yesus! Keadaan dunia ini boleh saja berubah, tetapi kita punya Tuhan yang tidak pernah berubah: kuasa, kasih, kemurahan dan kebaikan-Nya "...tetap sama, baik kemarin maupun hari ini dan sampai selama-lamanya." (Ibrani 13:8). Tuhan Yesus tetaplah sebagai jalan dan kebenaran dan hidup bagi orang percaya.
"Aku telah melakukannya dan mau menanggung kamu terus; Aku mau memikul kamu dan menyelamatkan kamu." Yesaya 46:4b
Tuesday, February 3, 2015
PAULUS: Menderita Karena Injil
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 3 Februari 2015
Baca: 2 Korintus 11:23-33
"Apakah mereka pelayan Kristus? Aku berkata seperti orang gila - aku lebih lagi!" 2 Korintus 11:23
Setelah menjadi rasul, apakah hidup Paulus menjadi mudah dan bebas masalah? Tidak; justru ujian, tantangan, aniaya, ancaman dan penderitaan datang silih berganti. Kecewa, putus asa, menyerahkah ia dalam mengerjakan panggilan Tuhan? Tidak. Sebaliknya ia terus melangkah dan berlari mengerjakan panggilan Tuhan dengan penuh komitmen.
Apa itu komitmen? Secara umum berarti kerelaan melakukan apa pun dan berkorban apa saja untuk sesuatu yang diyakini; komitmen juga diartikan suatu janji terhadap diri sendiri atau orang lain yang tercermin dalam tindakan nyata; komitmen berarti pula berpegang teguh dan fokus pada keputusan yang diambil tanpa mempertanyakan apa-apa lagi, dalam keadaan atau situasi yang bagaimana pun. Komitmen inilah yang mendorong seseorang melakukan segala sesuatu dengan passion, semangat dan totalitas, sehingga Paulus dapat berkata, "...bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan. Tetapi jika aku harus hidup di dunia ini, itu berarti bagiku bekerja memberi buah." (Filipi 1:21-22). Komitmen itu mudah diucapkan tapi sukar dijalankan, namun Paulus membuktikan komitmennya dengan tindakan nyata!
Inilah kesaksian Paulus, "Aku lebih banyak berjerih lelah; lebih sering di dalam penjara; didera di luar batas; kerap kali dalam bahaya maut. Lima kali aku disesah orang Yahudi, setiap kali empat puluh kurang satu pukulan, tiga kali aku didera, satu kali aku dilempari dengan batu, tiga kali mengalami karam kapal, sehari semalam aku terkatung-katung di tengah laut. Dalam perjalananku aku sering diancam bahaya banjir dan bahaya penyamun, bahaya dari pihak orang-orang Yahudi dan dari pihak orang-orang bukan Yahudi; bahaya di kota, bahaya di padang gurun, bahaya di tengah laut, dan bahaya dari pihak saudara-saudara palsu. Aku banyak berjerih lelah dan bekerja berat; kerap kali aku tidak tidur; aku lapar dan dahaga; kerap kali aku berpuasa, kedinginan dan tanpa pakaian," (2 Korintus 11:23-27). Namun melalui pelayanannya banyak jiwa dimenangkan bagi Kristus..
Penderitaan tak mampu menghalangi Paulus mengerjakan panggilan Tuhan dengan penuh komitmen!
Baca: 2 Korintus 11:23-33
"Apakah mereka pelayan Kristus? Aku berkata seperti orang gila - aku lebih lagi!" 2 Korintus 11:23
Setelah menjadi rasul, apakah hidup Paulus menjadi mudah dan bebas masalah? Tidak; justru ujian, tantangan, aniaya, ancaman dan penderitaan datang silih berganti. Kecewa, putus asa, menyerahkah ia dalam mengerjakan panggilan Tuhan? Tidak. Sebaliknya ia terus melangkah dan berlari mengerjakan panggilan Tuhan dengan penuh komitmen.
Apa itu komitmen? Secara umum berarti kerelaan melakukan apa pun dan berkorban apa saja untuk sesuatu yang diyakini; komitmen juga diartikan suatu janji terhadap diri sendiri atau orang lain yang tercermin dalam tindakan nyata; komitmen berarti pula berpegang teguh dan fokus pada keputusan yang diambil tanpa mempertanyakan apa-apa lagi, dalam keadaan atau situasi yang bagaimana pun. Komitmen inilah yang mendorong seseorang melakukan segala sesuatu dengan passion, semangat dan totalitas, sehingga Paulus dapat berkata, "...bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan. Tetapi jika aku harus hidup di dunia ini, itu berarti bagiku bekerja memberi buah." (Filipi 1:21-22). Komitmen itu mudah diucapkan tapi sukar dijalankan, namun Paulus membuktikan komitmennya dengan tindakan nyata!
Inilah kesaksian Paulus, "Aku lebih banyak berjerih lelah; lebih sering di dalam penjara; didera di luar batas; kerap kali dalam bahaya maut. Lima kali aku disesah orang Yahudi, setiap kali empat puluh kurang satu pukulan, tiga kali aku didera, satu kali aku dilempari dengan batu, tiga kali mengalami karam kapal, sehari semalam aku terkatung-katung di tengah laut. Dalam perjalananku aku sering diancam bahaya banjir dan bahaya penyamun, bahaya dari pihak orang-orang Yahudi dan dari pihak orang-orang bukan Yahudi; bahaya di kota, bahaya di padang gurun, bahaya di tengah laut, dan bahaya dari pihak saudara-saudara palsu. Aku banyak berjerih lelah dan bekerja berat; kerap kali aku tidak tidur; aku lapar dan dahaga; kerap kali aku berpuasa, kedinginan dan tanpa pakaian," (2 Korintus 11:23-27). Namun melalui pelayanannya banyak jiwa dimenangkan bagi Kristus..
Penderitaan tak mampu menghalangi Paulus mengerjakan panggilan Tuhan dengan penuh komitmen!
Monday, February 2, 2015
Paulus: Merespons Panggilan Tuhan
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 2 Februari 2015
Baca: Kisah 22:1-22
"Sebab engkau harus menjadi saksi-Nya terhadap semua orang tentang apa yang kaulihat dan yang kaudengar." Kisah 22:15
Ketika melihat orang lain yang memiliki latar belakang hidup sangat kelam dan jahat seringkali kita langsung berpikiran negatif terhadapnya dan beranggapan bahwa orang tersebut mustahil bisa berubah menjadi orang baik. Terkadang kita pun berharap agar orang tersebut segera mendapatkan balasan yang setimpal sebagai akibat dari kejahatan yang telah dilakukan. Itu menurut penilaian dan keinginan manusia!
Dari pengalaman hidup Paulus ini kita bisa belajar satu hal, bahwa jika Tuhan memiliki rencana atas hidup seseorang tiada satu pun rencana-Nya yang gagal. Paulus, orang yang jahat, karena "...telah menganiaya pengikut-pengikut Jalan Tuhan sampai mereka mati; laki-laki dan perempuan kutangkap dan kuserahkan ke dalam penjara." (Kisah 22:4), kini telah 'ditangkap' sendiri oleh Tuhan dan hidupnya pun berubah 180 derajat. Tuhan itu "...baik dan suka mengampuni dan berlimpah kasih setia..." (Mazmur 86:5). Bahkan firman-Nya menegaskan, "Sekalipun dosamu merah seperti kirmizi, akan menjadi putih seperti salju; sekalipun berwarna merah seperti kain kesumba, akan menjadi putih seperti bulu domba." (Yesaya 1:18). Rasul Petrus pun menulis, "...sekalipun ada orang yang menganggapnya sebagai kelalaian, tetapi Ia sabar terhadap kamu, karena Ia menghendaki supaya jangan ada yang binasa, melainkan supaya semua orang berbalik dan bertobat." (2 Petrus 3:9).
Paulus pada akhirnya dapat berkata, "Tetapi apa yang dahulu merupakan keuntungan bagiku, sekarang kuanggap rugi karena Kristus. Malahan segala sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia dari pada semuanya. Oleh karena Dialah aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus," (Filipi 3:7-8). Ini adalah bukti pertobatan yang sungguh yaitu meninggalkan kehidupan lama, kemudian merespons panggilan Tuhan. Tuhan bukan hanya memanggil Paulus untuk memberitakan Injil tapi juga untuk menderita bagi Kristus. "Aku sendiri akan menunjukkan kepadanya, betapa banyak penderitaan yang harus ia tanggung oleh karena nama-Ku." (Kisah 9:16).
Ada rencana yang indah di balik panggilan Tuhan terhadap diri Paulus!
Baca: Kisah 22:1-22
"Sebab engkau harus menjadi saksi-Nya terhadap semua orang tentang apa yang kaulihat dan yang kaudengar." Kisah 22:15
Ketika melihat orang lain yang memiliki latar belakang hidup sangat kelam dan jahat seringkali kita langsung berpikiran negatif terhadapnya dan beranggapan bahwa orang tersebut mustahil bisa berubah menjadi orang baik. Terkadang kita pun berharap agar orang tersebut segera mendapatkan balasan yang setimpal sebagai akibat dari kejahatan yang telah dilakukan. Itu menurut penilaian dan keinginan manusia!
Dari pengalaman hidup Paulus ini kita bisa belajar satu hal, bahwa jika Tuhan memiliki rencana atas hidup seseorang tiada satu pun rencana-Nya yang gagal. Paulus, orang yang jahat, karena "...telah menganiaya pengikut-pengikut Jalan Tuhan sampai mereka mati; laki-laki dan perempuan kutangkap dan kuserahkan ke dalam penjara." (Kisah 22:4), kini telah 'ditangkap' sendiri oleh Tuhan dan hidupnya pun berubah 180 derajat. Tuhan itu "...baik dan suka mengampuni dan berlimpah kasih setia..." (Mazmur 86:5). Bahkan firman-Nya menegaskan, "Sekalipun dosamu merah seperti kirmizi, akan menjadi putih seperti salju; sekalipun berwarna merah seperti kain kesumba, akan menjadi putih seperti bulu domba." (Yesaya 1:18). Rasul Petrus pun menulis, "...sekalipun ada orang yang menganggapnya sebagai kelalaian, tetapi Ia sabar terhadap kamu, karena Ia menghendaki supaya jangan ada yang binasa, melainkan supaya semua orang berbalik dan bertobat." (2 Petrus 3:9).
Paulus pada akhirnya dapat berkata, "Tetapi apa yang dahulu merupakan keuntungan bagiku, sekarang kuanggap rugi karena Kristus. Malahan segala sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia dari pada semuanya. Oleh karena Dialah aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus," (Filipi 3:7-8). Ini adalah bukti pertobatan yang sungguh yaitu meninggalkan kehidupan lama, kemudian merespons panggilan Tuhan. Tuhan bukan hanya memanggil Paulus untuk memberitakan Injil tapi juga untuk menderita bagi Kristus. "Aku sendiri akan menunjukkan kepadanya, betapa banyak penderitaan yang harus ia tanggung oleh karena nama-Ku." (Kisah 9:16).
Ada rencana yang indah di balik panggilan Tuhan terhadap diri Paulus!
Sunday, February 1, 2015
PAULUS: Hidup Yang Diubahkan
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 1 Februari 2015
Baca: Kisah 9:1-9a
"Sementara itu berkobar-kobar hati Saulus untuk mengancam dan membunuh murid-murid Tuhan." Kisah 9:1
Kisah perjalanan hidup rasul Paulus adalah sangat menarik untuk kita pelajari. Rasul Paulus adalah seorang tokoh besar dalam kitab Perjanjian Baru. Dari 27 kitab dalam Perjanjian Baru Paulus menulis kurang lebih separuhnya.
Paulus, yang awalnya bernama Saulus, berasal dari Tarsus. Pada usia muda Paulus hidup sebagai seorang Farisi di bawah didikan Gamaliel, "...seorang ahli Taurat yang sangat dihormati seluruh orang banyak," (Kisah 5:34). Sebelum dipakai Tuhan untuk menjadi rasul-Nya ia adalah orang yang sangat fanatik dengan agama, bahkan "...mentaati hukum Taurat aku tidak bercacat." (Filipi 3:6). Artinya dalam hal hukum Taurat kemampuan Paulus tak disangsikan lagi. Tapi banyak orang mengenal Paulus sebagai pribadi yang bengis, jahat dan suka menganiaya jemaat. Bagaimana reaksi orang-orang yang telah dianiaya Paulus? Apakah mereka melakukn pembalasan seperti yang dilakukan oleh orang dunia pada umumnya yang berprinsip bahwa pembalasan lebih kejam dari perbuatan? Tidak sama sekali! Tuhan Yesus mengajarkan, "Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu." (Matius 5:44). Stefanus, salah satu korban kebengisan Paulus, melakukan apa yang diajarkan Tuhan Yesus ini. Sebelum mati ia pun berseru, "Tuhan, janganlah tanggungkan dosa ini kepada mereka!" (Kisah 7:60). Karena doa orang-orang yang teraniaya itulah akhirnya Paulus mengalami perjumpaan secara pribadi dengan Tuhan dalam perjalanannya ke Damsyik. Seketika itu Paulus mengalami jamahan Tuhan. Bukan hanya itu, Tuhan juga menyingkapkan perkara-perkara adikodrati kepada Paulus: "...tiba-tiba cahaya memancar dari langit mengelilingi dia." (Kisah 9:3), sehingga ia pun terjatuh dan mengalami kebutaan selama tiga hari.
Pengalaman rohani inilah yang akhirnya menjadi titik balik dalam kehidupan Paulus. Ia bertobat, memberi diri untuk dibaptis, artinya manusia lama ditanggalkan dan kini ia menjadi 'ciptaan baru' di dalam Kristus.
Tuhan berkata, "...orang ini adalah alat pilihan bagi-Ku untuk memberitakan nama-Ku kepada bangsa-bangsa lain serta raja-raja dan orang-orang Israel." Kisah 9:15
Baca: Kisah 9:1-9a
"Sementara itu berkobar-kobar hati Saulus untuk mengancam dan membunuh murid-murid Tuhan." Kisah 9:1
Kisah perjalanan hidup rasul Paulus adalah sangat menarik untuk kita pelajari. Rasul Paulus adalah seorang tokoh besar dalam kitab Perjanjian Baru. Dari 27 kitab dalam Perjanjian Baru Paulus menulis kurang lebih separuhnya.
Paulus, yang awalnya bernama Saulus, berasal dari Tarsus. Pada usia muda Paulus hidup sebagai seorang Farisi di bawah didikan Gamaliel, "...seorang ahli Taurat yang sangat dihormati seluruh orang banyak," (Kisah 5:34). Sebelum dipakai Tuhan untuk menjadi rasul-Nya ia adalah orang yang sangat fanatik dengan agama, bahkan "...mentaati hukum Taurat aku tidak bercacat." (Filipi 3:6). Artinya dalam hal hukum Taurat kemampuan Paulus tak disangsikan lagi. Tapi banyak orang mengenal Paulus sebagai pribadi yang bengis, jahat dan suka menganiaya jemaat. Bagaimana reaksi orang-orang yang telah dianiaya Paulus? Apakah mereka melakukn pembalasan seperti yang dilakukan oleh orang dunia pada umumnya yang berprinsip bahwa pembalasan lebih kejam dari perbuatan? Tidak sama sekali! Tuhan Yesus mengajarkan, "Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu." (Matius 5:44). Stefanus, salah satu korban kebengisan Paulus, melakukan apa yang diajarkan Tuhan Yesus ini. Sebelum mati ia pun berseru, "Tuhan, janganlah tanggungkan dosa ini kepada mereka!" (Kisah 7:60). Karena doa orang-orang yang teraniaya itulah akhirnya Paulus mengalami perjumpaan secara pribadi dengan Tuhan dalam perjalanannya ke Damsyik. Seketika itu Paulus mengalami jamahan Tuhan. Bukan hanya itu, Tuhan juga menyingkapkan perkara-perkara adikodrati kepada Paulus: "...tiba-tiba cahaya memancar dari langit mengelilingi dia." (Kisah 9:3), sehingga ia pun terjatuh dan mengalami kebutaan selama tiga hari.
Pengalaman rohani inilah yang akhirnya menjadi titik balik dalam kehidupan Paulus. Ia bertobat, memberi diri untuk dibaptis, artinya manusia lama ditanggalkan dan kini ia menjadi 'ciptaan baru' di dalam Kristus.
Tuhan berkata, "...orang ini adalah alat pilihan bagi-Ku untuk memberitakan nama-Ku kepada bangsa-bangsa lain serta raja-raja dan orang-orang Israel." Kisah 9:15
Saturday, January 31, 2015
UCAPAN SYUKUR SEBAGAI KORBAN
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 31 Januari 2015
Baca: Mazmur 116:1-19
"Aku akan mempersembahkan korban syukur kepada-Mu, dan akan menyerukan nama TUHAN," Mazmur 116:17
Apa yang Saudara rasakan dan alami di hari terakhir bulan Januari ini? Masih sulitkah bibir kita mengucap syukur dan memuji-muji Tuhan, oleh karena hari-hari yang kita alami terasa berat? Ketika seseorang mengalami hidup berkelimpahan, memiliki tubuh sehat, bisnis berjalan lancar, toko semakin laris, mendapat bonus, beroleh kenaikan pangkat atau promosi, tanpa harus dikomando dan didorong-dorong pun mulut dan bibir kita akan dipenuhi ucapan syukur, bahkan di sepanjang jalan saat berkendara pun kita akan terus bersenandung, memuji dan memuliakan Tuhan.
Bersyukur kepada Tuhan ketika menikmati masa-masa indah, menyenangkan dan penuh kemenangan adalah perkara yang sangat mudah. Bagaimana jika kita mengalami masa-masa sulit seperti yang dialami nabi Habakuk? "...pohon ara tidak berbunga, pohon anggur tidak berbuah, hasil pohon zaitun mengecewakan,...ladang-ladang tidak menghasilkan bahan makanan, kambing domba terhalau dari kurungan, dan tidak ada lembu sapi dalam kandang," (Habakuk 3:17). Keadaan kontradiktif pun akan terlihat: "Aku kelu, aku diam, aku membisu, aku jauh dari hal yang baik; Hatiku bergejolak dalam diriku, menyala seperti api, ketika aku berkeluh kesah;" (Mazmur 39:3-4). Mulut terasa terkunci dan sulit untuk mengucap syukur kepada Tuhan. Berbeda dengan Habakuk, dalam keadaan yang tidak mendukung sekalipun ia tetap "...bersorak-sorak di dalam TUHAN, beria-ria di dalam Allah..." (Habakuk 3:18). Inilah yang disebut korban syukur!
Kata 'korban' selalu identik dengan penderitaan. Prinsip korban selalu berarti mengalami suatu kerugian atau kehilangan sesuatu. Mempersembahkan korban syukuran kepada Tuhan berarti dengan sukarela mempersembahkan puji-pujian dan memuliakan nama Tuhan meski berada di situasi yang tidak mendukung: kehilangan, tertekan, menderita, dirundung malang, bersukacita, sakit, krisis atau berkekurangan, yang secara manusia menjadikan alasan kuat untuk bersedih dan merintih; jadi dengan kata lain kita memaksa hati dan bibir kita untuk memuji Tuhan meski sambil mencucurkan air mata.
Korban syukur inilah yang menggerakkan hati Tuhan untuk bertindak!
Baca: Mazmur 116:1-19
"Aku akan mempersembahkan korban syukur kepada-Mu, dan akan menyerukan nama TUHAN," Mazmur 116:17
Apa yang Saudara rasakan dan alami di hari terakhir bulan Januari ini? Masih sulitkah bibir kita mengucap syukur dan memuji-muji Tuhan, oleh karena hari-hari yang kita alami terasa berat? Ketika seseorang mengalami hidup berkelimpahan, memiliki tubuh sehat, bisnis berjalan lancar, toko semakin laris, mendapat bonus, beroleh kenaikan pangkat atau promosi, tanpa harus dikomando dan didorong-dorong pun mulut dan bibir kita akan dipenuhi ucapan syukur, bahkan di sepanjang jalan saat berkendara pun kita akan terus bersenandung, memuji dan memuliakan Tuhan.
Bersyukur kepada Tuhan ketika menikmati masa-masa indah, menyenangkan dan penuh kemenangan adalah perkara yang sangat mudah. Bagaimana jika kita mengalami masa-masa sulit seperti yang dialami nabi Habakuk? "...pohon ara tidak berbunga, pohon anggur tidak berbuah, hasil pohon zaitun mengecewakan,...ladang-ladang tidak menghasilkan bahan makanan, kambing domba terhalau dari kurungan, dan tidak ada lembu sapi dalam kandang," (Habakuk 3:17). Keadaan kontradiktif pun akan terlihat: "Aku kelu, aku diam, aku membisu, aku jauh dari hal yang baik; Hatiku bergejolak dalam diriku, menyala seperti api, ketika aku berkeluh kesah;" (Mazmur 39:3-4). Mulut terasa terkunci dan sulit untuk mengucap syukur kepada Tuhan. Berbeda dengan Habakuk, dalam keadaan yang tidak mendukung sekalipun ia tetap "...bersorak-sorak di dalam TUHAN, beria-ria di dalam Allah..." (Habakuk 3:18). Inilah yang disebut korban syukur!
Kata 'korban' selalu identik dengan penderitaan. Prinsip korban selalu berarti mengalami suatu kerugian atau kehilangan sesuatu. Mempersembahkan korban syukuran kepada Tuhan berarti dengan sukarela mempersembahkan puji-pujian dan memuliakan nama Tuhan meski berada di situasi yang tidak mendukung: kehilangan, tertekan, menderita, dirundung malang, bersukacita, sakit, krisis atau berkekurangan, yang secara manusia menjadikan alasan kuat untuk bersedih dan merintih; jadi dengan kata lain kita memaksa hati dan bibir kita untuk memuji Tuhan meski sambil mencucurkan air mata.
Korban syukur inilah yang menggerakkan hati Tuhan untuk bertindak!
Friday, January 30, 2015
RELA DIBENCI DUNIA
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 30 Januari 2015
Baca: Yohanes 15:18-27
"Jikalau dunia membenci kamu, ingatlah bahwa ia telah lebih dahulu membenci Aku dari pada kamu." Yohanes 15:18
Menderita bagi Kristus berarti harus siap dan rela bila dunia membenci dan menolak kita. Ini adalah kenyataan yang tidak bisa dihindari, sebab dunia telah lebih dahulu membenci Kristus dari pada kita. Oleh karena itu janganlah merasa heran jika selama hidup di dunia ini banyak orang Kristen yang harus mengalami tekanan dan perlakuan yang tidak adil, baik itu di tempat kerja maupun di lingkungan masyarakat. Orang dunia membenci kita oleh karena nama Yesus dan tidak mengenal Bapa yang telah mengutus Dia (ayat 21).
Di akhir zaman ini banyak orang menyangka bahwa menganiaya pengikut Kristus adalah wujud dari ibadah, seperti tertulis: "Kamu akan dikucilkan, bahkan akan datang saatnya bahwa setiap orang yang membunuh kamu akan menyangka bahwa ia berbuat bakti bagi Allah." (Yohanes 16:2). Di tengah tantangan yang berat ini haruskah kita takut, tawar hati dan terbersit niat meninggalkan Kristus? Tuhan Yesus berkata, "Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga." (Matius 5:10). Rasul Petrus juga menguatkan, "Sebab adalah kasih karunia, jika seorang karena sadar akan kehendak Allah menanggung penderitaan yang tidak harus ia tanggung. Tetapi jika kamu berbuat baik dan karena itu kamu harus menderita, maka itu adalah kasih karunia pada Allah." (1 Petrus 2:19, 20b). Apapun keadaannya, kita harus tetap setia mengiring Kristus sampai akhir hayat kita, sebab kita tidak berjuang di dunia ini sendirian. "...semua saudaramu di seluruh dunia menanggung penderitaan yang sama. Dan Allah, sumber segala kasih karunia, yang telah memanggil kamu dalam Kristus kepada kemuliaan-Nya yang kekal, akan melengkapi, meneguhkan, menguatkan dan mengokohkan kamu, sesudah kamu menderita seketika lamanya." (1 Petrus 9-10).
Tuhan Yesus juga telah memberikan Roh Kudus, Dialah yang akan menyertai dan menolong kita dalam mengemban tugas sebagai pemberita Injil dan saksi-saksi-Nya di tengah dunia. Mari belajar dari kisah hidup Paulus yang setia melayani Tuhan sampai garis akhir hidupnya!
"Dan kamu akan dibenci semua orang oleh karena nama-Ku; tetapi orang yang bertahan sampai pada kesudahannya akan selamat." Matius 10:22
Baca: Yohanes 15:18-27
"Jikalau dunia membenci kamu, ingatlah bahwa ia telah lebih dahulu membenci Aku dari pada kamu." Yohanes 15:18
Menderita bagi Kristus berarti harus siap dan rela bila dunia membenci dan menolak kita. Ini adalah kenyataan yang tidak bisa dihindari, sebab dunia telah lebih dahulu membenci Kristus dari pada kita. Oleh karena itu janganlah merasa heran jika selama hidup di dunia ini banyak orang Kristen yang harus mengalami tekanan dan perlakuan yang tidak adil, baik itu di tempat kerja maupun di lingkungan masyarakat. Orang dunia membenci kita oleh karena nama Yesus dan tidak mengenal Bapa yang telah mengutus Dia (ayat 21).
Di akhir zaman ini banyak orang menyangka bahwa menganiaya pengikut Kristus adalah wujud dari ibadah, seperti tertulis: "Kamu akan dikucilkan, bahkan akan datang saatnya bahwa setiap orang yang membunuh kamu akan menyangka bahwa ia berbuat bakti bagi Allah." (Yohanes 16:2). Di tengah tantangan yang berat ini haruskah kita takut, tawar hati dan terbersit niat meninggalkan Kristus? Tuhan Yesus berkata, "Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga." (Matius 5:10). Rasul Petrus juga menguatkan, "Sebab adalah kasih karunia, jika seorang karena sadar akan kehendak Allah menanggung penderitaan yang tidak harus ia tanggung. Tetapi jika kamu berbuat baik dan karena itu kamu harus menderita, maka itu adalah kasih karunia pada Allah." (1 Petrus 2:19, 20b). Apapun keadaannya, kita harus tetap setia mengiring Kristus sampai akhir hayat kita, sebab kita tidak berjuang di dunia ini sendirian. "...semua saudaramu di seluruh dunia menanggung penderitaan yang sama. Dan Allah, sumber segala kasih karunia, yang telah memanggil kamu dalam Kristus kepada kemuliaan-Nya yang kekal, akan melengkapi, meneguhkan, menguatkan dan mengokohkan kamu, sesudah kamu menderita seketika lamanya." (1 Petrus 9-10).
Tuhan Yesus juga telah memberikan Roh Kudus, Dialah yang akan menyertai dan menolong kita dalam mengemban tugas sebagai pemberita Injil dan saksi-saksi-Nya di tengah dunia. Mari belajar dari kisah hidup Paulus yang setia melayani Tuhan sampai garis akhir hidupnya!
"Dan kamu akan dibenci semua orang oleh karena nama-Ku; tetapi orang yang bertahan sampai pada kesudahannya akan selamat." Matius 10:22
Thursday, January 29, 2015
MENGIKUTI JEJAK KRISTUS: Menderita Bagi Kristus
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 29 Januari 2015
Baca: Filipi 1:27-30
"Sebab kepada kamu dikaruniakan bukan saja untuk percaya kepada Kristus, melainkan juga untuk menderita untuk Dia," Filipi 1:29
Mengikuti jejak Kristus berarti harus mau menderita bagi Dia. Yesus berkata, "Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku." (Matius 16:24). Menyangkal diri berarti pada saat dihadapkan pada dosa, dengan kesadaran penuh memutuskan tidak berbuat dosa dan lebih memilih melakukan kehendak Tuhan. Kita berani berkata tidak terhadap kenyamanan dan keinginan daging yang seringkali menjadi penghalang untuk hidup menurut kehendak Tuhan.
Orang yang menyadari akan statusnya sebagai 'ciptaan baru' di dalam Kristus akan bertekad untuk menanggalkan manusia lamanya dan terus mengenakan manusia baru, supaya tubuh dosa hilang kuasanya. "Jadi, karena Kristus telah menderita penderitaan badani, kamupun harus juga mempersenjatai dirimu dengan pikiran yang demikian, --karena barangsiapa telah menderita penderitaan badani, ia telah berhenti berbuat dosa--," (1 Petrus 4:1). Namun banyak orang Kristen yang berusaha menghindari firman yang menyinggung tentang penyangkalan diri, ketaatan, pikul salib, ujian dan bayar harga. Yang mereka cari dan kejar-kejar adalah khotbah-khotbah hamba Tuhan yang hanya berbicara tentang kekayaan, kelimpahan, berkat dan mujizat. Akibatnya ketika menghadapi masalah, penderitaan dan teguran firman yang keras mereka langsung kecewa, lemah, putus asa, dan bahkan berani menyalahkan Tuhan.
Sebagai pengikut Kristus kita tidak dapat menghindarkan diri dari penderitaan, sebab selain kita dikaruniai percaya, juga dikaruniai menderita bagi Kristus (ayat nas). Mengapa penderitaan diijinkan Tuhan? Penderitaan adalah salah satu cara yang dipakai Tuhan untuk menegur dan menyadarkan kita agar berhenti berbuat dosa. Tuhan yesus meninggalkan teladan mengenai penderitaan secara badani. "Dan sekalipun Ia adalah Anak, Ia telah belajar menjadi taat dari apa yang telah diderita-Nya," (Ibrani 5:8), tapi Yesus tidak pernah berbuat dosa. Setiap penderitaan akan menghasilkan ketaatan dan menarik seseorang mendekat kepada Tuhan.
"Bahwa aku tertindas itu baik bagiku, supaya aku belajar ketetapan-ketetapan-Mu." Mazmur 119:71
Baca: Filipi 1:27-30
"Sebab kepada kamu dikaruniakan bukan saja untuk percaya kepada Kristus, melainkan juga untuk menderita untuk Dia," Filipi 1:29
Mengikuti jejak Kristus berarti harus mau menderita bagi Dia. Yesus berkata, "Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku." (Matius 16:24). Menyangkal diri berarti pada saat dihadapkan pada dosa, dengan kesadaran penuh memutuskan tidak berbuat dosa dan lebih memilih melakukan kehendak Tuhan. Kita berani berkata tidak terhadap kenyamanan dan keinginan daging yang seringkali menjadi penghalang untuk hidup menurut kehendak Tuhan.
Orang yang menyadari akan statusnya sebagai 'ciptaan baru' di dalam Kristus akan bertekad untuk menanggalkan manusia lamanya dan terus mengenakan manusia baru, supaya tubuh dosa hilang kuasanya. "Jadi, karena Kristus telah menderita penderitaan badani, kamupun harus juga mempersenjatai dirimu dengan pikiran yang demikian, --karena barangsiapa telah menderita penderitaan badani, ia telah berhenti berbuat dosa--," (1 Petrus 4:1). Namun banyak orang Kristen yang berusaha menghindari firman yang menyinggung tentang penyangkalan diri, ketaatan, pikul salib, ujian dan bayar harga. Yang mereka cari dan kejar-kejar adalah khotbah-khotbah hamba Tuhan yang hanya berbicara tentang kekayaan, kelimpahan, berkat dan mujizat. Akibatnya ketika menghadapi masalah, penderitaan dan teguran firman yang keras mereka langsung kecewa, lemah, putus asa, dan bahkan berani menyalahkan Tuhan.
Sebagai pengikut Kristus kita tidak dapat menghindarkan diri dari penderitaan, sebab selain kita dikaruniai percaya, juga dikaruniai menderita bagi Kristus (ayat nas). Mengapa penderitaan diijinkan Tuhan? Penderitaan adalah salah satu cara yang dipakai Tuhan untuk menegur dan menyadarkan kita agar berhenti berbuat dosa. Tuhan yesus meninggalkan teladan mengenai penderitaan secara badani. "Dan sekalipun Ia adalah Anak, Ia telah belajar menjadi taat dari apa yang telah diderita-Nya," (Ibrani 5:8), tapi Yesus tidak pernah berbuat dosa. Setiap penderitaan akan menghasilkan ketaatan dan menarik seseorang mendekat kepada Tuhan.
"Bahwa aku tertindas itu baik bagiku, supaya aku belajar ketetapan-ketetapan-Mu." Mazmur 119:71
Wednesday, January 28, 2015
HIDUP DALAM KASIH: Melayani Sesama
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 28 Januari 2015
Baca: Ayub 2:11-13
"Mereka bersepakat untuk mengucapkan belasungkawa kepadanya dan menghibur dia." Ayub 2:11b
Kita dikatakan hidup dalam kasih apabila memiliki kerelaan melayani orang lain. Tuhan Yesus berkata, "Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang." (Markus 10:45). Sebagai pengikut-Nya kita wajib mengikuti dan meneladani Tuhan Yesus. janganlah kita melayani orang lain karena ada sesuatu yang menguntungkan bagi kita, namun ketika sudah tidak ada lagi peluang memperoleh keuntungan secepat itu pula kasih kita berakhir, atau istilahnya populernya 'habis manis sepah dibuang'. Kita tidak boleh menerapkan kasih model demikian, sebab kasih harus dilakukan dengan tulus dan tanpa pamrih seperti kasih seorang sahabat yang "...menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran." (Amsal 17:17).
Melayani sesama berarti memiliki kepedulian yang besar kepada orang lain. Setidaknya meliputi tiga hal: peduli pada penderitaan, peduli pada kebutuhan dan juga peduli pada keselamatan orang lain. Peduli pada penderitaan sesama disebut empati. Empati artinya memiliki perasaan yang sama seperti yang dialami orang lain, khususnya mereka yang sedang tertimpa musibah, kemalangan dan juga permasalahan hidup. Alkitab menasihatkan, "...menangislah dengan orang yang menangis!" (Roma 12:15).
Peduli pada kebutuhan sesama menyangkut persoalan ekonomi, kesembuhan jasmani dan rohani. Tuhan Yesus sangat peduli terhadap kebutuhan jenis ini: kita melihat orang banyak kelaparan, hati-Nya pun tergerak oleh belas kasihan, lalu diberi-Nya mereka makan hingga kenyang; ketika bertemu dengan orang yang menderita sakit-penyakit hati Tuhan pun tersentuh, tangan-Nya yang penuh kuasa menjamah dan menyembuhkan mereka. Tuhan Yesus juga memperingatkan semua orang, "Bertobatlah, sebab Kerajaan Sorga sudah dekat!" (Matius 4:17), bahkan Ia rela mengorbankan nyawa-Nya demi menebus dosa manusia, supaya barangsiapa yang percaya kepada-Nya beroleh pengampunan dosa dan diselamatkan. Ini bukti kepedulian-Nya terhadap keselamatan orang lain.
Milikilah hati yang senantiasa peduli terhadap orang lain seperti Yesus!
Baca: Ayub 2:11-13
"Mereka bersepakat untuk mengucapkan belasungkawa kepadanya dan menghibur dia." Ayub 2:11b
Kita dikatakan hidup dalam kasih apabila memiliki kerelaan melayani orang lain. Tuhan Yesus berkata, "Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang." (Markus 10:45). Sebagai pengikut-Nya kita wajib mengikuti dan meneladani Tuhan Yesus. janganlah kita melayani orang lain karena ada sesuatu yang menguntungkan bagi kita, namun ketika sudah tidak ada lagi peluang memperoleh keuntungan secepat itu pula kasih kita berakhir, atau istilahnya populernya 'habis manis sepah dibuang'. Kita tidak boleh menerapkan kasih model demikian, sebab kasih harus dilakukan dengan tulus dan tanpa pamrih seperti kasih seorang sahabat yang "...menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran." (Amsal 17:17).
Melayani sesama berarti memiliki kepedulian yang besar kepada orang lain. Setidaknya meliputi tiga hal: peduli pada penderitaan, peduli pada kebutuhan dan juga peduli pada keselamatan orang lain. Peduli pada penderitaan sesama disebut empati. Empati artinya memiliki perasaan yang sama seperti yang dialami orang lain, khususnya mereka yang sedang tertimpa musibah, kemalangan dan juga permasalahan hidup. Alkitab menasihatkan, "...menangislah dengan orang yang menangis!" (Roma 12:15).
Peduli pada kebutuhan sesama menyangkut persoalan ekonomi, kesembuhan jasmani dan rohani. Tuhan Yesus sangat peduli terhadap kebutuhan jenis ini: kita melihat orang banyak kelaparan, hati-Nya pun tergerak oleh belas kasihan, lalu diberi-Nya mereka makan hingga kenyang; ketika bertemu dengan orang yang menderita sakit-penyakit hati Tuhan pun tersentuh, tangan-Nya yang penuh kuasa menjamah dan menyembuhkan mereka. Tuhan Yesus juga memperingatkan semua orang, "Bertobatlah, sebab Kerajaan Sorga sudah dekat!" (Matius 4:17), bahkan Ia rela mengorbankan nyawa-Nya demi menebus dosa manusia, supaya barangsiapa yang percaya kepada-Nya beroleh pengampunan dosa dan diselamatkan. Ini bukti kepedulian-Nya terhadap keselamatan orang lain.
Milikilah hati yang senantiasa peduli terhadap orang lain seperti Yesus!
Tuesday, January 27, 2015
MENGIKUTI JEJAK KRISTUS: Hidup Dalam Kasih
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 27 Januari 2015
Baca: Yohanes 13:31-35
"Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi." Yohanes 13:35
Bagi orang percaya kasih bukan sekedar suatu ajaran yang harus dipahami dan dimengerti, melainkan lebih daripada itu, kasih adalah inti kekristenan yang harus dipraktekkan dan dilakukan secara nyata dalam kehidupan sehari-hari. Tuhan yesus berkata, "Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi." (Yohanes 13:34). Dalam hal kasih ini Tuhan Yesus bukan sekedar mengajarkan dan memerintahkan para pengikut-Nya untuk saling mengasihi, tetapi diri-Nya sendiri telah menjadi model bagaimana seharusnya kita mengasihi dengan benar.
Mengasihi orang lain selalu identik dengan tindakan memberi atau berkorban. Tuhan Yesus telah membuktikan betapa Ia mengasihi kita dengan mengorbankan nyawa-Nya di kayu salib. "Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya." (Yohanes 15:13). Karena kita telah mengalami kasih Kristus, maka sudah selayaknya kita membagikan kasih itu kepada orang lain. Mengasihi yang diajarkan oleh Tuhan Yesus bukan sebuah kasih yang kita berikan karena orang lain mengasihi kita, tetapi kita juga harus mampu mengasihi orang yang membenci kita sekalipun. "Dan jikalau kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah jasamu? Karena orang-orang berdosapun mengasihi juga orang-orang yang mengasihi mereka. Sebab jikalau kamu berbuat baik kepada orang yang berbuat baik kepada kamu, apakah jasamu? Orang-orang berdosapun berbuat demikian." (Lukas 6:32-33).
Kita menyadari bahwa mengasihi musuh adalah perkara yang tidak mudah, namun jika kita mampu melakukannya kita akan menjadi orang yang 'berbeda' dari dunia sebagaimana yang Tuhan inginkan, "Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna." (Roma 12:2). Mengasihi bukanlah perbuatan alternatif atau manasuka yang ditawarkan oleh Tuhan, tapi suatu perintah yang harus ditaati oleh setiap pengikut Kristus!
Mengasihi sesama adalah perwujudan kasih kita kepada Tuhan juga!
Baca: Yohanes 13:31-35
"Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi." Yohanes 13:35
Bagi orang percaya kasih bukan sekedar suatu ajaran yang harus dipahami dan dimengerti, melainkan lebih daripada itu, kasih adalah inti kekristenan yang harus dipraktekkan dan dilakukan secara nyata dalam kehidupan sehari-hari. Tuhan yesus berkata, "Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi." (Yohanes 13:34). Dalam hal kasih ini Tuhan Yesus bukan sekedar mengajarkan dan memerintahkan para pengikut-Nya untuk saling mengasihi, tetapi diri-Nya sendiri telah menjadi model bagaimana seharusnya kita mengasihi dengan benar.
Mengasihi orang lain selalu identik dengan tindakan memberi atau berkorban. Tuhan Yesus telah membuktikan betapa Ia mengasihi kita dengan mengorbankan nyawa-Nya di kayu salib. "Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya." (Yohanes 15:13). Karena kita telah mengalami kasih Kristus, maka sudah selayaknya kita membagikan kasih itu kepada orang lain. Mengasihi yang diajarkan oleh Tuhan Yesus bukan sebuah kasih yang kita berikan karena orang lain mengasihi kita, tetapi kita juga harus mampu mengasihi orang yang membenci kita sekalipun. "Dan jikalau kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah jasamu? Karena orang-orang berdosapun mengasihi juga orang-orang yang mengasihi mereka. Sebab jikalau kamu berbuat baik kepada orang yang berbuat baik kepada kamu, apakah jasamu? Orang-orang berdosapun berbuat demikian." (Lukas 6:32-33).
Kita menyadari bahwa mengasihi musuh adalah perkara yang tidak mudah, namun jika kita mampu melakukannya kita akan menjadi orang yang 'berbeda' dari dunia sebagaimana yang Tuhan inginkan, "Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna." (Roma 12:2). Mengasihi bukanlah perbuatan alternatif atau manasuka yang ditawarkan oleh Tuhan, tapi suatu perintah yang harus ditaati oleh setiap pengikut Kristus!
Mengasihi sesama adalah perwujudan kasih kita kepada Tuhan juga!
Monday, January 26, 2015
KETAATAN ADALAH SEBUAH PILIHAN
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 26 Januari 2015
Baca: Ulangan 30:11-20
"Tetapi firman ini sangat dekat kepadamu, yakni di dalam mulutmu dan di dalam hatimu, untuk dilakukan." Ulangan 30:14
Setiap pagi ketika kita beranjak dari tempat tidur kita selalu dihadapkan pada pilihan dan keputusan. Akankah kita menyambut hari baru dengan lemah lunglai karena terus dibayangi oleh masalah yang kita pikirkan semalam-malaman? Ataukah kita menyambut hari baru dengan penuh semangat karena kita telah menyerahkan semua beban dan pergumulan yang ada kepada Tuhan? Karena kita tahu bahwa "Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku." (Filipi 4:13). Akankah kita bertekad untuk menjalani hari baru dengan sikap hati yang benar, yaitu memilih taat kepada Tuhan, atau tetap saja hidup menuruti kehendak diri sendiri? Pilihan ada di tangan kita masing-masing.
Musa pun menawarkan suatu pilihan kepada bangsa Israel: ketaatan atau ketidaktaatan. Manakah yang akan mereka pilih? Kehidupan, kemenangan, keberhasilan, keberuntungan dan berkat akan menjadi bagian mereka yang mau taat dan "...mengasihi TUHAN, Allahmu, dengan hidup menurut jalan yang ditunjukkan-Nya dan berpegang pada perintah, ketetapan dan peraturan-Nya," (Ulangan 30:16); sebaliknya pintu-pintu berkat dan keberhasilan akan semakin tertutup sehingga kegagalan demi kegagalan yang akan dituai, apabila hati mereka berpaling dari Tuhan, memberontak kepada-Nya dan memilih untuk sujud menyembah dan beribadah kepada allah lain. Jelas sekali bahwa setiap pilihan (taat atau tidak taat) selalu mengandung konsekuensi.
Seringkali kita lebih memilih berjalan menurut kehendak diri sendiri dan menyenangkan daging kita daripada tunduk kepada pimpinan Roh Kudus, padahal kita tahu persis bahwa setiap ketaatan selalu mendatangkan upah dari Tuhan. Rasul Yohanes menulis: "Perintah-perintah-Nya itu tidak berat, sebab semua yang lahir dari Allah, mengalahkan dunia." (1 Yohanes 5:3b-4), artinya tidak ada alasan bagi kita untuk tidak taat karena Tuhan telah memberikan iman kepada kita. Karena imanlah kita beroleh kekuatan untuk melakukan setiap perintah Tuhan. Tanpa iman dan kasih kepada Tuhan sulit rasanya orang hidup dalam ketaatan.
Taat atau tidak? Pilihan kita hari ini menentukan masa depan kita!
Baca: Ulangan 30:11-20
"Tetapi firman ini sangat dekat kepadamu, yakni di dalam mulutmu dan di dalam hatimu, untuk dilakukan." Ulangan 30:14
Setiap pagi ketika kita beranjak dari tempat tidur kita selalu dihadapkan pada pilihan dan keputusan. Akankah kita menyambut hari baru dengan lemah lunglai karena terus dibayangi oleh masalah yang kita pikirkan semalam-malaman? Ataukah kita menyambut hari baru dengan penuh semangat karena kita telah menyerahkan semua beban dan pergumulan yang ada kepada Tuhan? Karena kita tahu bahwa "Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku." (Filipi 4:13). Akankah kita bertekad untuk menjalani hari baru dengan sikap hati yang benar, yaitu memilih taat kepada Tuhan, atau tetap saja hidup menuruti kehendak diri sendiri? Pilihan ada di tangan kita masing-masing.
Musa pun menawarkan suatu pilihan kepada bangsa Israel: ketaatan atau ketidaktaatan. Manakah yang akan mereka pilih? Kehidupan, kemenangan, keberhasilan, keberuntungan dan berkat akan menjadi bagian mereka yang mau taat dan "...mengasihi TUHAN, Allahmu, dengan hidup menurut jalan yang ditunjukkan-Nya dan berpegang pada perintah, ketetapan dan peraturan-Nya," (Ulangan 30:16); sebaliknya pintu-pintu berkat dan keberhasilan akan semakin tertutup sehingga kegagalan demi kegagalan yang akan dituai, apabila hati mereka berpaling dari Tuhan, memberontak kepada-Nya dan memilih untuk sujud menyembah dan beribadah kepada allah lain. Jelas sekali bahwa setiap pilihan (taat atau tidak taat) selalu mengandung konsekuensi.
Seringkali kita lebih memilih berjalan menurut kehendak diri sendiri dan menyenangkan daging kita daripada tunduk kepada pimpinan Roh Kudus, padahal kita tahu persis bahwa setiap ketaatan selalu mendatangkan upah dari Tuhan. Rasul Yohanes menulis: "Perintah-perintah-Nya itu tidak berat, sebab semua yang lahir dari Allah, mengalahkan dunia." (1 Yohanes 5:3b-4), artinya tidak ada alasan bagi kita untuk tidak taat karena Tuhan telah memberikan iman kepada kita. Karena imanlah kita beroleh kekuatan untuk melakukan setiap perintah Tuhan. Tanpa iman dan kasih kepada Tuhan sulit rasanya orang hidup dalam ketaatan.
Taat atau tidak? Pilihan kita hari ini menentukan masa depan kita!
Sunday, January 25, 2015
MENGIKUTI JEJAK KRISTUS: Pelaku Firman
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 25 Januari 2015
Baca: Lukas 6:46-49
"Mengapa kamu berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, padahal kamu tidak melakukan apa yang Aku katakan?" Lukas 6:46
Hati Tuhan akan disenangkan apabila kita mengasihi Dia lebih dari segala-galanya. Bukti bahwa kita mengasihi Tuhan adalah ketika kita mentaati firman-Nya dengan sepenuh hati. Tertulis: "Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintah-Ku." (Yohanes 14:15). Ketika kita tidak taat berarti kita belum sepenuhnya mengasihi Tuhan. Ketaatan berarti bersedia dan rela mengosongkan diri, mengesempingkan keinginan pribadi dan lebih mengutamakan apa yang menjadi kehendak Tuhan dalam hidup kita, seperti yang Tuhan Yesus katakan, "...janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki." (Matius 26:39). Inilah yang disebut penyangkalan diri.
Menjadi pengikut Kristus berarti siap untuk melakukan firman Tuhan. Mengapa ketaatan itu penting? Karena ketaatan adalah fondasi yang kuat bagi kehidupan orang percaya. Ketika kita tidak hidup dalam ketaatan, kita akan mudah sekali lemah, goyah dn bahkan roboh ketika diterjang oleh badai kehidupan karena kita membangun hidup kita di atas tanah tanpa fondasi yang kokoh. "...setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan tidak melakukannya, ia sama dengan orang yang bodoh, yang mendirikan rumahnya di atas pasir. Kemudian turunlah hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu, sehingga rubuhlah rumah itu dan hebatlah kerusakannya." (Matius 7:26-27). Tetapi ketika kita hidup dalam ketaatan, "ia sama dengan seorang yang mendirikan rumah: Orang itu menggali dalam-dalam dan meletakkan dasarnya di atas batu. Ketika datang air bah dan banjir melanda rumah itu, rumah itu tidak dapat digoyahkan, karena rumah itu kokoh dibangun." (Lukas 6:48).
Ketaatan adalah kunci memiliki kehidupan Kristen yang berdampak bagi dunia. Sebaliknya ketika kita tidak taat melakukan kehendak Tuhan, dengan kata lain tidak menjadi pelaku firman, kita pun akan kehilangan pengaruhnya, sama seperti garam yang kehilangan rasa asinnya. Oleh karena itu kita harus terus melatih diri dalam hal ketaatan ini, sebab ketaatan tidak terjadi secara instan tapi melalui proses demi proses.
Jadilah pelaku firman, bukan hanya sebagai pendengar; inilah kehendak Tuhan!
Baca: Lukas 6:46-49
"Mengapa kamu berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, padahal kamu tidak melakukan apa yang Aku katakan?" Lukas 6:46
Hati Tuhan akan disenangkan apabila kita mengasihi Dia lebih dari segala-galanya. Bukti bahwa kita mengasihi Tuhan adalah ketika kita mentaati firman-Nya dengan sepenuh hati. Tertulis: "Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintah-Ku." (Yohanes 14:15). Ketika kita tidak taat berarti kita belum sepenuhnya mengasihi Tuhan. Ketaatan berarti bersedia dan rela mengosongkan diri, mengesempingkan keinginan pribadi dan lebih mengutamakan apa yang menjadi kehendak Tuhan dalam hidup kita, seperti yang Tuhan Yesus katakan, "...janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki." (Matius 26:39). Inilah yang disebut penyangkalan diri.
Menjadi pengikut Kristus berarti siap untuk melakukan firman Tuhan. Mengapa ketaatan itu penting? Karena ketaatan adalah fondasi yang kuat bagi kehidupan orang percaya. Ketika kita tidak hidup dalam ketaatan, kita akan mudah sekali lemah, goyah dn bahkan roboh ketika diterjang oleh badai kehidupan karena kita membangun hidup kita di atas tanah tanpa fondasi yang kokoh. "...setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan tidak melakukannya, ia sama dengan orang yang bodoh, yang mendirikan rumahnya di atas pasir. Kemudian turunlah hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu, sehingga rubuhlah rumah itu dan hebatlah kerusakannya." (Matius 7:26-27). Tetapi ketika kita hidup dalam ketaatan, "ia sama dengan seorang yang mendirikan rumah: Orang itu menggali dalam-dalam dan meletakkan dasarnya di atas batu. Ketika datang air bah dan banjir melanda rumah itu, rumah itu tidak dapat digoyahkan, karena rumah itu kokoh dibangun." (Lukas 6:48).
Ketaatan adalah kunci memiliki kehidupan Kristen yang berdampak bagi dunia. Sebaliknya ketika kita tidak taat melakukan kehendak Tuhan, dengan kata lain tidak menjadi pelaku firman, kita pun akan kehilangan pengaruhnya, sama seperti garam yang kehilangan rasa asinnya. Oleh karena itu kita harus terus melatih diri dalam hal ketaatan ini, sebab ketaatan tidak terjadi secara instan tapi melalui proses demi proses.
Jadilah pelaku firman, bukan hanya sebagai pendengar; inilah kehendak Tuhan!
Saturday, January 24, 2015
MENGIKUTI JEJAK KRISTUS: Taat Seperti Kristus
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 24 Januari 2015
Baca: Filipi 2:1-11
"Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib." Filipi 2:8
Mengikuti jejak Kristus berarti meneladani ketaatanNya melakukan kehendak Bapa. Yesus teladan utama dalam hal ketaatan. Dia berkata, "Makanan-Ku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya." (Yohanes 4:34).
Ketika dihadapkan pada cawan penderitaan Yesus berkata, "Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki." (Matius 26:39). Bagi Yesus melakukan kehendak Bapa adalah yang terutama dan melebihi segala-galanya. Itulah sebabnya rasul Paulus menasihati kita, "Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia." (Filipi 2:5-7). Karena ketaatan-Nya maka "...Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama," (Filipi 2:9).
Tuhan menghendaki kita menjadi orang-orang yang taat, bukan taat yang setengah-setengah atau taat secara musiman, melainkan taat secara total di segala keadaan. Seringkali kita baru mau taat ketika kita sedang baik dan tidak ada masalah: diberkati, disembuhkan, usaha lancar atau saat sedang mood saja. Begitu ada masalah: penderitaan, krisis, sakit, susah dan mengalami situasi-situasi yang tidak mengenakkan secepat kilat kita pun berubah sikap, tidak lagi mau taat kepada Tuhan: ogah-ogahan berdoa, malas baca Alkitab, malas melayani dan malah menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah karena kita merasa kecewa kepada Tuhan.
Ketaatan berkaitan dengan hati hamba. Tugas utama hamba adalah taat melakukan semua kehendak tuannya. Jadi mari kita berkata, "Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan." (Lukas 17:10).
Tuhan Yesus rela menjadi hamba dan taat kepada Bapa supaya kita pun meneladani Dia!
Baca: Filipi 2:1-11
"Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib." Filipi 2:8
Mengikuti jejak Kristus berarti meneladani ketaatanNya melakukan kehendak Bapa. Yesus teladan utama dalam hal ketaatan. Dia berkata, "Makanan-Ku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya." (Yohanes 4:34).
Ketika dihadapkan pada cawan penderitaan Yesus berkata, "Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki." (Matius 26:39). Bagi Yesus melakukan kehendak Bapa adalah yang terutama dan melebihi segala-galanya. Itulah sebabnya rasul Paulus menasihati kita, "Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia." (Filipi 2:5-7). Karena ketaatan-Nya maka "...Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama," (Filipi 2:9).
Tuhan menghendaki kita menjadi orang-orang yang taat, bukan taat yang setengah-setengah atau taat secara musiman, melainkan taat secara total di segala keadaan. Seringkali kita baru mau taat ketika kita sedang baik dan tidak ada masalah: diberkati, disembuhkan, usaha lancar atau saat sedang mood saja. Begitu ada masalah: penderitaan, krisis, sakit, susah dan mengalami situasi-situasi yang tidak mengenakkan secepat kilat kita pun berubah sikap, tidak lagi mau taat kepada Tuhan: ogah-ogahan berdoa, malas baca Alkitab, malas melayani dan malah menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah karena kita merasa kecewa kepada Tuhan.
Ketaatan berkaitan dengan hati hamba. Tugas utama hamba adalah taat melakukan semua kehendak tuannya. Jadi mari kita berkata, "Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan." (Lukas 17:10).
Tuhan Yesus rela menjadi hamba dan taat kepada Bapa supaya kita pun meneladani Dia!
Friday, January 23, 2015
MENGIKUTI JEJAK KRISTUS: Karib Dengan Bapa
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 23 Januari 2015
Baca: 1 Petrus 2:18-25
"Sebab untuk itulah kamu dipanggil, karena Kristuspun telah menderita untuk kamu dan telah meninggalkan teladan bagimu, supaya kamu mengikuti jejak-Nya." 1 Petrus 2:21
Kamus Webster mendefinisikan orang Kristen sebagai orang yang percaya kepada Yesus sebagai Kristus, seorang yang percaya kepada agama yang berdasarkan pengajaran Yesus, atau bisa diartikan sebagai pengikut Kristus. Sedangkan kata Kristen itu sendiri muncul sebanyak tiga kali dalam Alkitab. Kita bisa membacanya dalam Kisah 11:26, Kisah 26:28 dan 1 Petrus 4:16. Adapun bukti nyata bahwa seseorang disebut sebagai pengikut Kristus bukanlah KTP yang bertuliskan Kristen atau orang yang tampak sibuk ke luar masuk gedung gereja, tapi seorang yang mengikuti jejak Kristus dengan meneladani bagaimana Kristus telah hidup. "Barangsiapa mengatakan, bahwa ia ada di dalam Dia, ia wajib hidup sama seperti Kristus telah hidup." (1 Yohanes 2:6).
Mengikuti jejak Kristus berarti harus hidup dalam persekutuan yang karib denganNya. Mengapa? Karena Ia pun memiliki persekutuan karib dengan Bapa di sorga. Semasa pelayanan-Nya di bumi Kristus senantiasa menyediakan waktu untuk bersekutu dengan Bapa. Jadi, doa adalah nafas hidup orang percaya! Alkitab mencatat: "Pagi-pagi benar, waktu hari masih gelap, Ia bangun dan pergi ke luar. Ia pergi ke tempat yang sunyi dan berdoa di sana." (Markus 1:35). Doa adalah tanda ketergantungan kita kepada Tuhan, bukan sekedar aktivitas rohani atau pengisi waktu senggang. Sebagaimana ranting tidak dapat berbuah jika tidak melekat kepada pokok anggur, begitu pula kita tidak bisa berbuat apa-apa jika kita tidak melekat kepada Tuhan Yesus, yang adalah pokok anggur kita. Hidup kita ini sangat bergantung sepenuhnya kepada Tuhan! Jika Kristus saja memiliki kedisiplinan dalam berdoa, sebagai bukti bahwa Dia sangat bergantung kepada Bapa dan karib dengan-Nya, siapakah kita ini sehingga kita mengabaikan jam-jam doa?
Sesibuk apa pun, baik dalam pelayanan, pekerjaan atau aktivitas sehari-hari, jangan sampai kita melupakan jam-jam doa atau bersaat teduh secara pribadi dengan Tuhan, karena doa adalah nafas hidup kita. "Berjaga-jagalah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan:" (Matius 26:41).
Jangan sekalipun melewatkan hari tanpa berdoa, karena doa adalah kunci kekuatan orang percaya!
Baca: 1 Petrus 2:18-25
"Sebab untuk itulah kamu dipanggil, karena Kristuspun telah menderita untuk kamu dan telah meninggalkan teladan bagimu, supaya kamu mengikuti jejak-Nya." 1 Petrus 2:21
Kamus Webster mendefinisikan orang Kristen sebagai orang yang percaya kepada Yesus sebagai Kristus, seorang yang percaya kepada agama yang berdasarkan pengajaran Yesus, atau bisa diartikan sebagai pengikut Kristus. Sedangkan kata Kristen itu sendiri muncul sebanyak tiga kali dalam Alkitab. Kita bisa membacanya dalam Kisah 11:26, Kisah 26:28 dan 1 Petrus 4:16. Adapun bukti nyata bahwa seseorang disebut sebagai pengikut Kristus bukanlah KTP yang bertuliskan Kristen atau orang yang tampak sibuk ke luar masuk gedung gereja, tapi seorang yang mengikuti jejak Kristus dengan meneladani bagaimana Kristus telah hidup. "Barangsiapa mengatakan, bahwa ia ada di dalam Dia, ia wajib hidup sama seperti Kristus telah hidup." (1 Yohanes 2:6).
Mengikuti jejak Kristus berarti harus hidup dalam persekutuan yang karib denganNya. Mengapa? Karena Ia pun memiliki persekutuan karib dengan Bapa di sorga. Semasa pelayanan-Nya di bumi Kristus senantiasa menyediakan waktu untuk bersekutu dengan Bapa. Jadi, doa adalah nafas hidup orang percaya! Alkitab mencatat: "Pagi-pagi benar, waktu hari masih gelap, Ia bangun dan pergi ke luar. Ia pergi ke tempat yang sunyi dan berdoa di sana." (Markus 1:35). Doa adalah tanda ketergantungan kita kepada Tuhan, bukan sekedar aktivitas rohani atau pengisi waktu senggang. Sebagaimana ranting tidak dapat berbuah jika tidak melekat kepada pokok anggur, begitu pula kita tidak bisa berbuat apa-apa jika kita tidak melekat kepada Tuhan Yesus, yang adalah pokok anggur kita. Hidup kita ini sangat bergantung sepenuhnya kepada Tuhan! Jika Kristus saja memiliki kedisiplinan dalam berdoa, sebagai bukti bahwa Dia sangat bergantung kepada Bapa dan karib dengan-Nya, siapakah kita ini sehingga kita mengabaikan jam-jam doa?
Sesibuk apa pun, baik dalam pelayanan, pekerjaan atau aktivitas sehari-hari, jangan sampai kita melupakan jam-jam doa atau bersaat teduh secara pribadi dengan Tuhan, karena doa adalah nafas hidup kita. "Berjaga-jagalah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan:" (Matius 26:41).
Jangan sekalipun melewatkan hari tanpa berdoa, karena doa adalah kunci kekuatan orang percaya!
Thursday, January 22, 2015
SURAT KRISTUS: Mempermuliakan Kristus
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 22 Januari 2015
Baca: Galatia 1:11-24
"berkenan menyatakan Anak-Nya di dalam aku, supaya aku memberitakan Dia di antara bangsa-bangsa bukan Yahudi," Galatia 1:16
Tuhan Yesus berkata kepada murid-murid-Nya, "...kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi." (Kisah 1:8). Kuasa yang dimaksudkan oleh Yesus adalah kuasa yang erat hubungannya dengan tugas setiap orang percaya sebagai saksi-saksi-Nya, yaitu menjadi saksi di Yerusalem, Yudea, Samaria dan sampai ke ujung bumi. Janji itu sudah digenapi-Nya, Roh Kudus dicurahkan di hari Pentakosta. Bahkan Alkitab menyatakan bahwa Roh Kudus itu tinggal di dalam orang percaya. "...tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah," (1 Korintus 6:19).
Roh Kudus-lah yang memampukan orang percaya untuk menjadi 'surat Kristus' di tengah-tengah dunia ini, "Sebab Allah memberikan kepada kita bukan roh ketakutan, melainkan roh yang membangkitkan kekuatan, kasih dan ketertiban." (2 Timotius 1:7). Jadi tidak ada alasan bagi kita untuk takut, malu dan merasa tidak mampu menjalankan tugas yang dipercayakan Tuhan ini. Rasul Paulus menasihati, "...janganlah malu bersaksi tentang Tuhan kita" (1 Timotius 1:8). Memang kesaksian itu mengandung resiko, karena ada orang yang suka dengan kesaksian kita, tapi juga tidak sedikit orang yang mencela, terlebih-lebih bila kehidupan kita secara nyata tidak menjadi teladan baik bagi orang lain.
Menjadi 'surat Kristus' berarti meneladani bagaimana Kristus telah hidup dan mengimpartasikan karakter-Nya secara nyata sehingga keberadaan kita benar-benar menjadi berkat. Menjadi berkat bukan hanya ketika kita mampu memberi orang lain secara materi semata, namun yang lebih utama adalah melalui sikap dan tindakan kita.
"Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku," (Yohanes 13:35). Perlu ditegaskan bahwa menjadi 'surat Kristus' berarti fokus kita adalah mempermuliakan Kristus, bukan mencari hormat dan pujian untuk diri sendiri. Nama Tuhan Yesus dan karya-karya-Nya yang harus dikedepankan dan diberitakan!
Biarlah hati dan perbuatan kita selalu selaras dengan firman Tuhan, sehingga kapan pun dan di mana pun berada kita menjadi 'surat Kristus'.
Baca: Galatia 1:11-24
"berkenan menyatakan Anak-Nya di dalam aku, supaya aku memberitakan Dia di antara bangsa-bangsa bukan Yahudi," Galatia 1:16
Tuhan Yesus berkata kepada murid-murid-Nya, "...kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi." (Kisah 1:8). Kuasa yang dimaksudkan oleh Yesus adalah kuasa yang erat hubungannya dengan tugas setiap orang percaya sebagai saksi-saksi-Nya, yaitu menjadi saksi di Yerusalem, Yudea, Samaria dan sampai ke ujung bumi. Janji itu sudah digenapi-Nya, Roh Kudus dicurahkan di hari Pentakosta. Bahkan Alkitab menyatakan bahwa Roh Kudus itu tinggal di dalam orang percaya. "...tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah," (1 Korintus 6:19).
Roh Kudus-lah yang memampukan orang percaya untuk menjadi 'surat Kristus' di tengah-tengah dunia ini, "Sebab Allah memberikan kepada kita bukan roh ketakutan, melainkan roh yang membangkitkan kekuatan, kasih dan ketertiban." (2 Timotius 1:7). Jadi tidak ada alasan bagi kita untuk takut, malu dan merasa tidak mampu menjalankan tugas yang dipercayakan Tuhan ini. Rasul Paulus menasihati, "...janganlah malu bersaksi tentang Tuhan kita" (1 Timotius 1:8). Memang kesaksian itu mengandung resiko, karena ada orang yang suka dengan kesaksian kita, tapi juga tidak sedikit orang yang mencela, terlebih-lebih bila kehidupan kita secara nyata tidak menjadi teladan baik bagi orang lain.
Menjadi 'surat Kristus' berarti meneladani bagaimana Kristus telah hidup dan mengimpartasikan karakter-Nya secara nyata sehingga keberadaan kita benar-benar menjadi berkat. Menjadi berkat bukan hanya ketika kita mampu memberi orang lain secara materi semata, namun yang lebih utama adalah melalui sikap dan tindakan kita.
"Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku," (Yohanes 13:35). Perlu ditegaskan bahwa menjadi 'surat Kristus' berarti fokus kita adalah mempermuliakan Kristus, bukan mencari hormat dan pujian untuk diri sendiri. Nama Tuhan Yesus dan karya-karya-Nya yang harus dikedepankan dan diberitakan!
Biarlah hati dan perbuatan kita selalu selaras dengan firman Tuhan, sehingga kapan pun dan di mana pun berada kita menjadi 'surat Kristus'.
Wednesday, January 21, 2015
SURAT KRISTUS: Tidak Menjadi Batu Sandungan
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 21 Januari 2015
Baca: 2 Korintus 6:1-10
"Dalam hal apapun kami tidak memberi sebab orang tersandung, supaya pelayanan kami jangan sampai dicela." 2 Korintus 6:3
Menjadi 'surat Kristus' berarti kita sedang menyampaikan kesaksian dan menjadi saksi bagi Kristus, dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Sebagai pengikut Kristus, kita adalah saksi Kristus, dan sebagai saksi-Nya kita memiliki tugas dan tanggung jawab untuk menyampaikan kesaksian, baik itu melalui perkataan dan terlebih penting lagi melalui perbuatan nyata. Inilah yang sedang dilihat dan dibaca oleh orang lain!
Ada banyak orang Kristen yang tidak menyadari atau berlagak tidak tahu bahwa dirinya adalah 'surat Kristus' yang dibaca oleh semua orang, terbukti jelas dari tingkah lakunya yang tidak bisa menjadi teladan bagi orang lain. Orang-orang dunia pun akhirnya merasa alergi dan antipati ketika mendengar kata 'Kristen' karena mereka melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana kehidupan orang yang berlabel 'Kristen' sangat mengecewakan dan sama sekali tidak mencerminkan karakter Kristus. Akhirnya hal ini menjadi penghalang bagi orang dunia untuk mengenal lebih dalam tentang Kristus, apalagi percaya kepada-Nya. Mahatma Gandhi, seorang pejuang hak-hak asasi manusia terkenal dunia, sebagai penganut Hindu yang taat juga sangat mengagumi Yesus Kristus dan ajaran-Nya (Injil). Di dalam otobiografinya ia bersaksi bahwa sewaktu muda sesungguhnya ia berkeinginan menjadi seorang Kristen karena melihat keteladanan Yesus Kristus. Ia pun datang menghadiri ibadah di sebuah gereja terdekat dan hendak mengutarakan niatnya untuk dibaptis. Betapa kecewanya ia karena jemaat di gereja itu memperlakukan dia secara tidak adil. Tidak seorang pun dari jemaat memberinya tempat duduk, bahkan mereka menyuruh Gandhi untuk pergi ke gereja orang-orang negro saja. Seketika itu juga Gandi meninggalkan gereja dengan sedih hati dan niatnya untuk menjadi Kristen pun langsung luntur.
Keinginan Gandi 'bertemu' Kristus secara pribadi justru di halangi orang Kristen sendiri. Bukankah masih banyak jemaat Tuhan, bahkan pelayan Tuhan memperlakukan saudara seiman dengan membeda-bedakan status dan memandang muka?
Inikah 'surat Kristus'? Tindakan yang demikian justru menjadi batu sandungan dan mencoreng nama Tuhan!
Baca: 2 Korintus 6:1-10
"Dalam hal apapun kami tidak memberi sebab orang tersandung, supaya pelayanan kami jangan sampai dicela." 2 Korintus 6:3
Menjadi 'surat Kristus' berarti kita sedang menyampaikan kesaksian dan menjadi saksi bagi Kristus, dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Sebagai pengikut Kristus, kita adalah saksi Kristus, dan sebagai saksi-Nya kita memiliki tugas dan tanggung jawab untuk menyampaikan kesaksian, baik itu melalui perkataan dan terlebih penting lagi melalui perbuatan nyata. Inilah yang sedang dilihat dan dibaca oleh orang lain!
Ada banyak orang Kristen yang tidak menyadari atau berlagak tidak tahu bahwa dirinya adalah 'surat Kristus' yang dibaca oleh semua orang, terbukti jelas dari tingkah lakunya yang tidak bisa menjadi teladan bagi orang lain. Orang-orang dunia pun akhirnya merasa alergi dan antipati ketika mendengar kata 'Kristen' karena mereka melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana kehidupan orang yang berlabel 'Kristen' sangat mengecewakan dan sama sekali tidak mencerminkan karakter Kristus. Akhirnya hal ini menjadi penghalang bagi orang dunia untuk mengenal lebih dalam tentang Kristus, apalagi percaya kepada-Nya. Mahatma Gandhi, seorang pejuang hak-hak asasi manusia terkenal dunia, sebagai penganut Hindu yang taat juga sangat mengagumi Yesus Kristus dan ajaran-Nya (Injil). Di dalam otobiografinya ia bersaksi bahwa sewaktu muda sesungguhnya ia berkeinginan menjadi seorang Kristen karena melihat keteladanan Yesus Kristus. Ia pun datang menghadiri ibadah di sebuah gereja terdekat dan hendak mengutarakan niatnya untuk dibaptis. Betapa kecewanya ia karena jemaat di gereja itu memperlakukan dia secara tidak adil. Tidak seorang pun dari jemaat memberinya tempat duduk, bahkan mereka menyuruh Gandhi untuk pergi ke gereja orang-orang negro saja. Seketika itu juga Gandi meninggalkan gereja dengan sedih hati dan niatnya untuk menjadi Kristen pun langsung luntur.
Keinginan Gandi 'bertemu' Kristus secara pribadi justru di halangi orang Kristen sendiri. Bukankah masih banyak jemaat Tuhan, bahkan pelayan Tuhan memperlakukan saudara seiman dengan membeda-bedakan status dan memandang muka?
Inikah 'surat Kristus'? Tindakan yang demikian justru menjadi batu sandungan dan mencoreng nama Tuhan!
Tuesday, January 20, 2015
ORANG KRISTEN adalah SURAT KRISTUS
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 20 Januari 2015
Baca: 2 Korintus 3:1-18
"...kamu adalah surat Kristus, yang ditulis oleh pelayanan kami, ditulis bukan dengan tinta, tetapi dengan Roh dari Allah yang hidup," 2 Korintus 3:3
Selain sebagai garam dunia, terang dunia dan anak terang, keberadaan orang percaya di tengah dunia adalah sebagai surat Kristus. Apa maksudnya? Sebagai pengikut Kristus keberadaan kita seperti surat yang terbuka, yang dapat dibaca dan dikenal oleh semua orang. Melalui kehidupan kita orang lain akan melihat apakah Kristus ada di dalam kita. Oleh karena itu kita tidak boleh sembarangan atau sembrono dalam menjalani kehidupan kekristenan kita, karena di mana pun kita berada, ke mana pun kita pergi dan kapan pun waktunya, kita sedang mempertaruhkan nama Kristus di mata dunia. Sikap, tutur kata dan perilaku kita sehari-hari akan terlihat jelas seperti coretan di lembaran kertas kehidupan; inilah surat terbuka kita, di mana orang lain dapat melihat dan membacanya secara langsung.
Rasul Paulus menegaskan bahwa tulisan-tulisan yang dapat dibaca oleh orang lain itu bukan ditulis dengan tinta biasa, melainkan dengan Roh dari Allah yang hidup. Di zaman bangsa Israel Tuhan menuliskan hukum-hukum-Nya pada loh batu di gunung Sinai (baca Keluaran 31:18), tapi kini Tuhan memberikan firman-Nya pada loh hati orang percaya, "Aku akan menaruh Taurat-Ku dalam batin mereka dan menuliskannya dalam hati mereka;" (Yeremia 31:33). Tuhan menambahkan, "Aku akan memberikan mereka hati yang lain dan roh yang baru di dalam batin mereka; juga Aku akan menjauhkan dari tubuh mereka hati yang keras dan memberikan mereka hati yang taat, supaya mereka hidup menurut segala ketetapan-Ku dan peraturan-peraturan-Ku dengan setia;" (Yehezkiel 11:19-20). Artinya, Firman Tuhan "...dekat kepadamu, yakni di dalam mulutmu dan di dalam hatimu." (Roma 10:8).
'Menjadi surat Kristus' berbicara tentang sikap hati kita terhadap firman Tuhan. "Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan." (Amsal 4:23). Bagaimana menjaga hati kita? Dengan menjaganya sesuai dengan firman Tuhan (ketaatan). Ketaatan adalah sebuah pilihan hidup, bukan masalah bakat atau talenta, dan Tuhan sudah memberikan kepada kita Penolong yaitu Roh Kudus, yang menuntun, membimbing dan memberi kesanggupan kepada kita untuk melakukan firman Tuhan!
Ketaatan terhadap firman adalah langkah awal menjadi surat Kristus!
Baca: 2 Korintus 3:1-18
"...kamu adalah surat Kristus, yang ditulis oleh pelayanan kami, ditulis bukan dengan tinta, tetapi dengan Roh dari Allah yang hidup," 2 Korintus 3:3
Selain sebagai garam dunia, terang dunia dan anak terang, keberadaan orang percaya di tengah dunia adalah sebagai surat Kristus. Apa maksudnya? Sebagai pengikut Kristus keberadaan kita seperti surat yang terbuka, yang dapat dibaca dan dikenal oleh semua orang. Melalui kehidupan kita orang lain akan melihat apakah Kristus ada di dalam kita. Oleh karena itu kita tidak boleh sembarangan atau sembrono dalam menjalani kehidupan kekristenan kita, karena di mana pun kita berada, ke mana pun kita pergi dan kapan pun waktunya, kita sedang mempertaruhkan nama Kristus di mata dunia. Sikap, tutur kata dan perilaku kita sehari-hari akan terlihat jelas seperti coretan di lembaran kertas kehidupan; inilah surat terbuka kita, di mana orang lain dapat melihat dan membacanya secara langsung.
Rasul Paulus menegaskan bahwa tulisan-tulisan yang dapat dibaca oleh orang lain itu bukan ditulis dengan tinta biasa, melainkan dengan Roh dari Allah yang hidup. Di zaman bangsa Israel Tuhan menuliskan hukum-hukum-Nya pada loh batu di gunung Sinai (baca Keluaran 31:18), tapi kini Tuhan memberikan firman-Nya pada loh hati orang percaya, "Aku akan menaruh Taurat-Ku dalam batin mereka dan menuliskannya dalam hati mereka;" (Yeremia 31:33). Tuhan menambahkan, "Aku akan memberikan mereka hati yang lain dan roh yang baru di dalam batin mereka; juga Aku akan menjauhkan dari tubuh mereka hati yang keras dan memberikan mereka hati yang taat, supaya mereka hidup menurut segala ketetapan-Ku dan peraturan-peraturan-Ku dengan setia;" (Yehezkiel 11:19-20). Artinya, Firman Tuhan "...dekat kepadamu, yakni di dalam mulutmu dan di dalam hatimu." (Roma 10:8).
'Menjadi surat Kristus' berbicara tentang sikap hati kita terhadap firman Tuhan. "Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan." (Amsal 4:23). Bagaimana menjaga hati kita? Dengan menjaganya sesuai dengan firman Tuhan (ketaatan). Ketaatan adalah sebuah pilihan hidup, bukan masalah bakat atau talenta, dan Tuhan sudah memberikan kepada kita Penolong yaitu Roh Kudus, yang menuntun, membimbing dan memberi kesanggupan kepada kita untuk melakukan firman Tuhan!
Ketaatan terhadap firman adalah langkah awal menjadi surat Kristus!
Monday, January 19, 2015
PELITA YANG BERCAHAYA (2)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 19 Januari 2015
Baca: Markus 4:21-25
"Orang membawa pelita bukan supaya ditempatkan di bawah gantang atau di bawah tempat tidur, melainkan supaya ditaruh di atas kaki dian." Markus 4:21
Kita tahu bahwa fungsi utama dari sebuah pelita adalah memberi penerangan di kegelapan. Dunia tempat kita berpijak ini adalah dunia yang dipenuhi dan dikuasai oleh kegelapan, karena itu banyak orang yang tersesat dan "...lebih menyukai kegelapan dari pada terang," (Yohanes 3:19). Namun kita yang telah menerima terang Kristus "...jangan tinggal di dalam kegelapan." (Yohanes 12:46), jalankan fungsi sebagai pelita yang memancarkan cahaya.
Selain berguna sebagai penerangan, orang membawa pelita di tengah kegelapan malam dengan tujuan supaya tidak mengalami kedinginan. Dalam hal ini pelita juga berfungsi untuk menghangatkan tubuh. Begitulah seharusnya keberadaan orang percaya di tengah dunia ini yaitu mampu menghadirkan kehangatan dan keteduhan bagi orang-orang di sekitarnya, sebab dunia saat ini telah menjadi dingin, maka kasih kebanyakan orang pun akan menjadi dingin. "Manusia akan mencintai dirinya sendiri...tidak tahu berterima kasih...tidak tahu mengasihi, tidak mau berdamai..." (baca 2 Timotius 3:2-4). Mampukah kita tampil sebagai pribadi yang berbeda, yang menghasilkan buah Roh: "...kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri." (Galatia 5:22-23). Di samping itu, biasanya orang menggunakan pelita ketika sedang mencari sesuatu yang hilang atau tersembunyi. Orang-orang dunia saat ini telah kehilangan banyak hal: kasih yang tulus, kebaikan, perhatian, damai sejahtera dan sukacita. Adakah kehadiran kita mampu mengisi sisi yang hilang yang selama ini tidak mereka dapatkan dari dunia ini?
Namun ternyata banyak orang Kristen yang tidak bisa menjalankan fungsinya sebagai pelita karena terhalang oleh kesaksian hidupnya sendiri yang tidak bisa menjadi berkat bagi orang lain, di mana perkataan tidak sesuai perbuatan. Karena itu perlu sekali kita mengoreksi diri, sebab "...iman bekerjasama dengan perbuatan-perbuatan dan oleh perbuatan-perbuatan itu iman menjadi sempurna." (Yakobus 2:22).
"...hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga." Matius 5:16
Baca: Markus 4:21-25
"Orang membawa pelita bukan supaya ditempatkan di bawah gantang atau di bawah tempat tidur, melainkan supaya ditaruh di atas kaki dian." Markus 4:21
Kita tahu bahwa fungsi utama dari sebuah pelita adalah memberi penerangan di kegelapan. Dunia tempat kita berpijak ini adalah dunia yang dipenuhi dan dikuasai oleh kegelapan, karena itu banyak orang yang tersesat dan "...lebih menyukai kegelapan dari pada terang," (Yohanes 3:19). Namun kita yang telah menerima terang Kristus "...jangan tinggal di dalam kegelapan." (Yohanes 12:46), jalankan fungsi sebagai pelita yang memancarkan cahaya.
Selain berguna sebagai penerangan, orang membawa pelita di tengah kegelapan malam dengan tujuan supaya tidak mengalami kedinginan. Dalam hal ini pelita juga berfungsi untuk menghangatkan tubuh. Begitulah seharusnya keberadaan orang percaya di tengah dunia ini yaitu mampu menghadirkan kehangatan dan keteduhan bagi orang-orang di sekitarnya, sebab dunia saat ini telah menjadi dingin, maka kasih kebanyakan orang pun akan menjadi dingin. "Manusia akan mencintai dirinya sendiri...tidak tahu berterima kasih...tidak tahu mengasihi, tidak mau berdamai..." (baca 2 Timotius 3:2-4). Mampukah kita tampil sebagai pribadi yang berbeda, yang menghasilkan buah Roh: "...kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri." (Galatia 5:22-23). Di samping itu, biasanya orang menggunakan pelita ketika sedang mencari sesuatu yang hilang atau tersembunyi. Orang-orang dunia saat ini telah kehilangan banyak hal: kasih yang tulus, kebaikan, perhatian, damai sejahtera dan sukacita. Adakah kehadiran kita mampu mengisi sisi yang hilang yang selama ini tidak mereka dapatkan dari dunia ini?
Namun ternyata banyak orang Kristen yang tidak bisa menjalankan fungsinya sebagai pelita karena terhalang oleh kesaksian hidupnya sendiri yang tidak bisa menjadi berkat bagi orang lain, di mana perkataan tidak sesuai perbuatan. Karena itu perlu sekali kita mengoreksi diri, sebab "...iman bekerjasama dengan perbuatan-perbuatan dan oleh perbuatan-perbuatan itu iman menjadi sempurna." (Yakobus 2:22).
"...hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga." Matius 5:16
Subscribe to:
Posts (Atom)