Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 6 Februari 2015
Baca: Mazmur 55:1-24
"Serahkanlah kuatirmu kepada TUHAN, maka Ia akan memelihara engkau!" Mazmur 55:23a
Pada dasarnya kekuatiran bukanlah suatu keadaan, melainkan sebuah keputusan atau pilihan hidup. Ketika mengalami masalah yang ringan dan tidak terlalu rumit saja kita cenderung kuatir. Tetapi ada orang yang meskipun dihadapkan pada masalah sangat berat dan pelik memilih tidak kuatir dan tetap tenang, sebab ia tahu dalam kekuatiran seseorang "...tidak mendapat ketenangan dan ketenteraman;...tetapi kegelisahanlah yang timbul." (Ayub 3:26), sebaliknya dalam "...tinggal tenang dan percaya terletak kekuatanmu." (Yesaya 30:15) dan "Hati yang tenang menyegarkan tubuh," (Amsal 14:30).
Supaya terbebas dari rasa kuatir kita harus selalu menjaga hati dan pikiran, sebab apa yang ada di dalam hati dan pikiran menentukan sikap, perkataan dan tindakan, "Seperti air mencerminkan wajah, demikianlah hati manusia mencerminkan manusia itu." (Amsal 27:19). Maka dari itu "Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan." (Amsal 4:23). Kita pun harus menjaga 'mata' kita, karena apa yang kita lihat seringkali mempengaruhi hati dan pikiran kita. "Mata adalah pelita tubuh. Jadi jika terang yang ada padamu gelap, betapa gelapnya kegelapan itu." (Matius 6:22-23). Jika mata kita hanya tertuju pada situasi dan keadaan yang ada, kita akan menjadi lemah dan semakin kuatir, tapi bila mata kita tetap tertuju kepada Tuhan Yesus, maka Dia "...yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan," (Ibrani 12:2).
Langkah selanjutnya: menyediakan waktu membaca dan merenungkan firman Tuhan. Bila kita lakukan itu siang dan malam, hal-hal positif akan memenuhi pikiran kita, yaitu "...semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci,
semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut
kebajikan" (Filipi 4:8), sehingga kekuatiran dan hal-hal negatif lainnya tidak akan punya tempat lagi di dalam hati dan pikiran kita.
"demikianlah firman-Ku yang keluar dari mulut-Ku: ia tidak akan kembali
kepada-Ku dengan sia-sia, tetapi ia akan melaksanakan apa yang
Kukehendaki, dan akan berhasil dalam apa yang Kusuruhkan kepadanya." Yesaya 55:11
Friday, February 6, 2015
Thursday, February 5, 2015
KEKUATIRAN: Tidak Mendatangkan Kebaikan
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 5 Februari 2015
Baca: Amsal 12:1-28
"Kekuatiran dalam hati membungkukkan orang, tetapi perkataan yang baik menggembirakan dia." Amsal 12:25
Dr. Edward Podolsky, seorang dosen dan penulis buku terkenal, dalam bukunya yang berjudul 'Stop Worrying and Get Well' menulis bahwa kekuatiran yang dipelihara secara terus-menerus dapat menyebabkan seseorang menderita sakit, seperti penyakit jantung, darah tinggi dan migran. Dengan kata lain, bila hati dan pikiran terus dipenuhi oleh kekuatiran, tubuh jasmani secara otomatis terkena efeknya. Ketika kita kuatir tubuh ini serasa membawa beban yang begitu berat sehingga organ-organ tubuh kita tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Di sini dapat disimpulkan bahwa kekuatiran lebih banyak berdampak negatif daripada positif karena dapat menganggu kesehatan. Karena itu jangan sekali-kali menganggap remeh kekuatiran, karena cepat atau lambat bisa menghancurkan hidup kita, memporak-porandakan semua harapan kita, serta menghentikan langkah kita untuk meraih berkat Tuhan.
Leo Buscaglia, motivator terkenal dari Amerika, juga berkata, "Kekuatiran tak akan melenyapkan kesedihan esok, tetapi akan menghilangkan kegembiraan hari ini." Pada dasarnya kekuatiran itu berkaitan erat dengan ketakutan dan kecemasan. Orang dikatakan kuatir ketika berada dalam keadaan takut, cemas, gelisah dan tidak tenang, yang ditimbulkan oleh situasi yang bermasalah, baik itu yang dibayangkan, diangan-angankan maupun yang tampak secara nyata. Kekuatiran juga bisa didefinisikan sebagai perasaan takut akan hari esok atau masa depan. Jadi, sesungguhnya kekuatiran adalah perasaan gelisah terhadap sesuatu yang belum tentu akan terjadi. Kita sebenarnya tahu bahwa kekuatiran itu tidak baik dan tidak mendatangkan keuntungan apa-apa, bahwa firman Tuhan tak pernah henti mengingatkan kita agar tidak kuatir (baca Matius 6:25-34), namun dalam prakteknya kita seringkali memilih untuk kuatir dan terus hidup dalam kekuatiran. Akibatnya pikiran kita hanya terfokus pada masalah dan kesulitan. Waktu dan energi kita pun terkuras sia-sia memikirkan masalah, sehingga masalah akan tampak besar seperti Goliat yang serasa sulit untuk dikalahkan.
"...yang kutakutkan, itulah yang menimpa aku, dan yang kucemaskan, itulah yang mendatangi aku." Ayub 3:25
Baca: Amsal 12:1-28
"Kekuatiran dalam hati membungkukkan orang, tetapi perkataan yang baik menggembirakan dia." Amsal 12:25
Dr. Edward Podolsky, seorang dosen dan penulis buku terkenal, dalam bukunya yang berjudul 'Stop Worrying and Get Well' menulis bahwa kekuatiran yang dipelihara secara terus-menerus dapat menyebabkan seseorang menderita sakit, seperti penyakit jantung, darah tinggi dan migran. Dengan kata lain, bila hati dan pikiran terus dipenuhi oleh kekuatiran, tubuh jasmani secara otomatis terkena efeknya. Ketika kita kuatir tubuh ini serasa membawa beban yang begitu berat sehingga organ-organ tubuh kita tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Di sini dapat disimpulkan bahwa kekuatiran lebih banyak berdampak negatif daripada positif karena dapat menganggu kesehatan. Karena itu jangan sekali-kali menganggap remeh kekuatiran, karena cepat atau lambat bisa menghancurkan hidup kita, memporak-porandakan semua harapan kita, serta menghentikan langkah kita untuk meraih berkat Tuhan.
Leo Buscaglia, motivator terkenal dari Amerika, juga berkata, "Kekuatiran tak akan melenyapkan kesedihan esok, tetapi akan menghilangkan kegembiraan hari ini." Pada dasarnya kekuatiran itu berkaitan erat dengan ketakutan dan kecemasan. Orang dikatakan kuatir ketika berada dalam keadaan takut, cemas, gelisah dan tidak tenang, yang ditimbulkan oleh situasi yang bermasalah, baik itu yang dibayangkan, diangan-angankan maupun yang tampak secara nyata. Kekuatiran juga bisa didefinisikan sebagai perasaan takut akan hari esok atau masa depan. Jadi, sesungguhnya kekuatiran adalah perasaan gelisah terhadap sesuatu yang belum tentu akan terjadi. Kita sebenarnya tahu bahwa kekuatiran itu tidak baik dan tidak mendatangkan keuntungan apa-apa, bahwa firman Tuhan tak pernah henti mengingatkan kita agar tidak kuatir (baca Matius 6:25-34), namun dalam prakteknya kita seringkali memilih untuk kuatir dan terus hidup dalam kekuatiran. Akibatnya pikiran kita hanya terfokus pada masalah dan kesulitan. Waktu dan energi kita pun terkuras sia-sia memikirkan masalah, sehingga masalah akan tampak besar seperti Goliat yang serasa sulit untuk dikalahkan.
"...yang kutakutkan, itulah yang menimpa aku, dan yang kucemaskan, itulah yang mendatangi aku." Ayub 3:25
Wednesday, February 4, 2015
LETIH, LESU DAN TAK BERDAYA
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 4 Februari 2015
Baca: Matius 11:25-30
"Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu." Matius 11:28
Apakah saat ini Saudara merasa letih, lesu dan tak berdaya karena beratnya beban permasalahan yang harus Saudara tanggung dalam hidup ini? Mulai dari bangun pagi sampai hendak tidur malam banyak perkara yang kita pergumulkan dan keluhkan, mulai dari masalah keuangan keluarga yang pas-pasan, usaha yang seret dan sedang berada di ujung tanduk, beban pekerjaan, dan suasana kerja yang tidak kondusif, kesehatan yang terganggu karena sakit-penyakit yang lama belum kunjung sembuh, belum lagi anak-anak di rumah yang susah diatur dan studinya yang kian terseok-seok.
Dalam hal pelayanan pun kita merasa bahwa pelayanan yang kita lakukan selama ini serasa sia-sia, tidak ada kemajuan, jalan di tempat dan kita pun berniat untuk mundur karena tidak tahan dengan tekanan dari berbagai pihak. Akhirnya kekuatiran dan kecemasan terus saja membayangi langkah kaki kita yang kian gontai. Abraham L. Feinberg, seorang rohanian Amerika, menulis tentang sepuluh kiat untuk menikmati kebahagiaan hidup. Salah satu dari sepuluh kiat itu adalah: "Berhentilah kuatir. Rasa kuatir akan membinasakan hidupmu." Alkitab juga menegaskan bahwa kekuatiran itu sama sekali tidak mendatangkan kebaikan bagi seseorang, sebab "Kekuatiran dalam hati membungkukkan orang," (Amsal 12:25), dan "Siapakah di antara kamu yang karena kekuatirannya dapat menambahkan sehasta saja pada jalan hidupnya?" (Matius 6:27).
Mengapa Saudara harus memikul beban itu sendirian? Rasul Petrus menasihati, "Serahkanlah segala kekuatiranmu kepada-Nya, sebab Ia yang memelihara kamu." (1 Petrus 5:7). Tuhan berjanji, "Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau." (Ibrani 13:5b). Karena itu kuatkan diri dan tetaplah percaya kepada Tuhan Yesus! Keadaan dunia ini boleh saja berubah, tetapi kita punya Tuhan yang tidak pernah berubah: kuasa, kasih, kemurahan dan kebaikan-Nya "...tetap sama, baik kemarin maupun hari ini dan sampai selama-lamanya." (Ibrani 13:8). Tuhan Yesus tetaplah sebagai jalan dan kebenaran dan hidup bagi orang percaya.
"Aku telah melakukannya dan mau menanggung kamu terus; Aku mau memikul kamu dan menyelamatkan kamu." Yesaya 46:4b
Baca: Matius 11:25-30
"Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu." Matius 11:28
Apakah saat ini Saudara merasa letih, lesu dan tak berdaya karena beratnya beban permasalahan yang harus Saudara tanggung dalam hidup ini? Mulai dari bangun pagi sampai hendak tidur malam banyak perkara yang kita pergumulkan dan keluhkan, mulai dari masalah keuangan keluarga yang pas-pasan, usaha yang seret dan sedang berada di ujung tanduk, beban pekerjaan, dan suasana kerja yang tidak kondusif, kesehatan yang terganggu karena sakit-penyakit yang lama belum kunjung sembuh, belum lagi anak-anak di rumah yang susah diatur dan studinya yang kian terseok-seok.
Dalam hal pelayanan pun kita merasa bahwa pelayanan yang kita lakukan selama ini serasa sia-sia, tidak ada kemajuan, jalan di tempat dan kita pun berniat untuk mundur karena tidak tahan dengan tekanan dari berbagai pihak. Akhirnya kekuatiran dan kecemasan terus saja membayangi langkah kaki kita yang kian gontai. Abraham L. Feinberg, seorang rohanian Amerika, menulis tentang sepuluh kiat untuk menikmati kebahagiaan hidup. Salah satu dari sepuluh kiat itu adalah: "Berhentilah kuatir. Rasa kuatir akan membinasakan hidupmu." Alkitab juga menegaskan bahwa kekuatiran itu sama sekali tidak mendatangkan kebaikan bagi seseorang, sebab "Kekuatiran dalam hati membungkukkan orang," (Amsal 12:25), dan "Siapakah di antara kamu yang karena kekuatirannya dapat menambahkan sehasta saja pada jalan hidupnya?" (Matius 6:27).
Mengapa Saudara harus memikul beban itu sendirian? Rasul Petrus menasihati, "Serahkanlah segala kekuatiranmu kepada-Nya, sebab Ia yang memelihara kamu." (1 Petrus 5:7). Tuhan berjanji, "Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau." (Ibrani 13:5b). Karena itu kuatkan diri dan tetaplah percaya kepada Tuhan Yesus! Keadaan dunia ini boleh saja berubah, tetapi kita punya Tuhan yang tidak pernah berubah: kuasa, kasih, kemurahan dan kebaikan-Nya "...tetap sama, baik kemarin maupun hari ini dan sampai selama-lamanya." (Ibrani 13:8). Tuhan Yesus tetaplah sebagai jalan dan kebenaran dan hidup bagi orang percaya.
"Aku telah melakukannya dan mau menanggung kamu terus; Aku mau memikul kamu dan menyelamatkan kamu." Yesaya 46:4b
Tuesday, February 3, 2015
PAULUS: Menderita Karena Injil
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 3 Februari 2015
Baca: 2 Korintus 11:23-33
"Apakah mereka pelayan Kristus? Aku berkata seperti orang gila - aku lebih lagi!" 2 Korintus 11:23
Setelah menjadi rasul, apakah hidup Paulus menjadi mudah dan bebas masalah? Tidak; justru ujian, tantangan, aniaya, ancaman dan penderitaan datang silih berganti. Kecewa, putus asa, menyerahkah ia dalam mengerjakan panggilan Tuhan? Tidak. Sebaliknya ia terus melangkah dan berlari mengerjakan panggilan Tuhan dengan penuh komitmen.
Apa itu komitmen? Secara umum berarti kerelaan melakukan apa pun dan berkorban apa saja untuk sesuatu yang diyakini; komitmen juga diartikan suatu janji terhadap diri sendiri atau orang lain yang tercermin dalam tindakan nyata; komitmen berarti pula berpegang teguh dan fokus pada keputusan yang diambil tanpa mempertanyakan apa-apa lagi, dalam keadaan atau situasi yang bagaimana pun. Komitmen inilah yang mendorong seseorang melakukan segala sesuatu dengan passion, semangat dan totalitas, sehingga Paulus dapat berkata, "...bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan. Tetapi jika aku harus hidup di dunia ini, itu berarti bagiku bekerja memberi buah." (Filipi 1:21-22). Komitmen itu mudah diucapkan tapi sukar dijalankan, namun Paulus membuktikan komitmennya dengan tindakan nyata!
Inilah kesaksian Paulus, "Aku lebih banyak berjerih lelah; lebih sering di dalam penjara; didera di luar batas; kerap kali dalam bahaya maut. Lima kali aku disesah orang Yahudi, setiap kali empat puluh kurang satu pukulan, tiga kali aku didera, satu kali aku dilempari dengan batu, tiga kali mengalami karam kapal, sehari semalam aku terkatung-katung di tengah laut. Dalam perjalananku aku sering diancam bahaya banjir dan bahaya penyamun, bahaya dari pihak orang-orang Yahudi dan dari pihak orang-orang bukan Yahudi; bahaya di kota, bahaya di padang gurun, bahaya di tengah laut, dan bahaya dari pihak saudara-saudara palsu. Aku banyak berjerih lelah dan bekerja berat; kerap kali aku tidak tidur; aku lapar dan dahaga; kerap kali aku berpuasa, kedinginan dan tanpa pakaian," (2 Korintus 11:23-27). Namun melalui pelayanannya banyak jiwa dimenangkan bagi Kristus..
Penderitaan tak mampu menghalangi Paulus mengerjakan panggilan Tuhan dengan penuh komitmen!
Baca: 2 Korintus 11:23-33
"Apakah mereka pelayan Kristus? Aku berkata seperti orang gila - aku lebih lagi!" 2 Korintus 11:23
Setelah menjadi rasul, apakah hidup Paulus menjadi mudah dan bebas masalah? Tidak; justru ujian, tantangan, aniaya, ancaman dan penderitaan datang silih berganti. Kecewa, putus asa, menyerahkah ia dalam mengerjakan panggilan Tuhan? Tidak. Sebaliknya ia terus melangkah dan berlari mengerjakan panggilan Tuhan dengan penuh komitmen.
Apa itu komitmen? Secara umum berarti kerelaan melakukan apa pun dan berkorban apa saja untuk sesuatu yang diyakini; komitmen juga diartikan suatu janji terhadap diri sendiri atau orang lain yang tercermin dalam tindakan nyata; komitmen berarti pula berpegang teguh dan fokus pada keputusan yang diambil tanpa mempertanyakan apa-apa lagi, dalam keadaan atau situasi yang bagaimana pun. Komitmen inilah yang mendorong seseorang melakukan segala sesuatu dengan passion, semangat dan totalitas, sehingga Paulus dapat berkata, "...bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan. Tetapi jika aku harus hidup di dunia ini, itu berarti bagiku bekerja memberi buah." (Filipi 1:21-22). Komitmen itu mudah diucapkan tapi sukar dijalankan, namun Paulus membuktikan komitmennya dengan tindakan nyata!
Inilah kesaksian Paulus, "Aku lebih banyak berjerih lelah; lebih sering di dalam penjara; didera di luar batas; kerap kali dalam bahaya maut. Lima kali aku disesah orang Yahudi, setiap kali empat puluh kurang satu pukulan, tiga kali aku didera, satu kali aku dilempari dengan batu, tiga kali mengalami karam kapal, sehari semalam aku terkatung-katung di tengah laut. Dalam perjalananku aku sering diancam bahaya banjir dan bahaya penyamun, bahaya dari pihak orang-orang Yahudi dan dari pihak orang-orang bukan Yahudi; bahaya di kota, bahaya di padang gurun, bahaya di tengah laut, dan bahaya dari pihak saudara-saudara palsu. Aku banyak berjerih lelah dan bekerja berat; kerap kali aku tidak tidur; aku lapar dan dahaga; kerap kali aku berpuasa, kedinginan dan tanpa pakaian," (2 Korintus 11:23-27). Namun melalui pelayanannya banyak jiwa dimenangkan bagi Kristus..
Penderitaan tak mampu menghalangi Paulus mengerjakan panggilan Tuhan dengan penuh komitmen!
Monday, February 2, 2015
Paulus: Merespons Panggilan Tuhan
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 2 Februari 2015
Baca: Kisah 22:1-22
"Sebab engkau harus menjadi saksi-Nya terhadap semua orang tentang apa yang kaulihat dan yang kaudengar." Kisah 22:15
Ketika melihat orang lain yang memiliki latar belakang hidup sangat kelam dan jahat seringkali kita langsung berpikiran negatif terhadapnya dan beranggapan bahwa orang tersebut mustahil bisa berubah menjadi orang baik. Terkadang kita pun berharap agar orang tersebut segera mendapatkan balasan yang setimpal sebagai akibat dari kejahatan yang telah dilakukan. Itu menurut penilaian dan keinginan manusia!
Dari pengalaman hidup Paulus ini kita bisa belajar satu hal, bahwa jika Tuhan memiliki rencana atas hidup seseorang tiada satu pun rencana-Nya yang gagal. Paulus, orang yang jahat, karena "...telah menganiaya pengikut-pengikut Jalan Tuhan sampai mereka mati; laki-laki dan perempuan kutangkap dan kuserahkan ke dalam penjara." (Kisah 22:4), kini telah 'ditangkap' sendiri oleh Tuhan dan hidupnya pun berubah 180 derajat. Tuhan itu "...baik dan suka mengampuni dan berlimpah kasih setia..." (Mazmur 86:5). Bahkan firman-Nya menegaskan, "Sekalipun dosamu merah seperti kirmizi, akan menjadi putih seperti salju; sekalipun berwarna merah seperti kain kesumba, akan menjadi putih seperti bulu domba." (Yesaya 1:18). Rasul Petrus pun menulis, "...sekalipun ada orang yang menganggapnya sebagai kelalaian, tetapi Ia sabar terhadap kamu, karena Ia menghendaki supaya jangan ada yang binasa, melainkan supaya semua orang berbalik dan bertobat." (2 Petrus 3:9).
Paulus pada akhirnya dapat berkata, "Tetapi apa yang dahulu merupakan keuntungan bagiku, sekarang kuanggap rugi karena Kristus. Malahan segala sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia dari pada semuanya. Oleh karena Dialah aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus," (Filipi 3:7-8). Ini adalah bukti pertobatan yang sungguh yaitu meninggalkan kehidupan lama, kemudian merespons panggilan Tuhan. Tuhan bukan hanya memanggil Paulus untuk memberitakan Injil tapi juga untuk menderita bagi Kristus. "Aku sendiri akan menunjukkan kepadanya, betapa banyak penderitaan yang harus ia tanggung oleh karena nama-Ku." (Kisah 9:16).
Ada rencana yang indah di balik panggilan Tuhan terhadap diri Paulus!
Baca: Kisah 22:1-22
"Sebab engkau harus menjadi saksi-Nya terhadap semua orang tentang apa yang kaulihat dan yang kaudengar." Kisah 22:15
Ketika melihat orang lain yang memiliki latar belakang hidup sangat kelam dan jahat seringkali kita langsung berpikiran negatif terhadapnya dan beranggapan bahwa orang tersebut mustahil bisa berubah menjadi orang baik. Terkadang kita pun berharap agar orang tersebut segera mendapatkan balasan yang setimpal sebagai akibat dari kejahatan yang telah dilakukan. Itu menurut penilaian dan keinginan manusia!
Dari pengalaman hidup Paulus ini kita bisa belajar satu hal, bahwa jika Tuhan memiliki rencana atas hidup seseorang tiada satu pun rencana-Nya yang gagal. Paulus, orang yang jahat, karena "...telah menganiaya pengikut-pengikut Jalan Tuhan sampai mereka mati; laki-laki dan perempuan kutangkap dan kuserahkan ke dalam penjara." (Kisah 22:4), kini telah 'ditangkap' sendiri oleh Tuhan dan hidupnya pun berubah 180 derajat. Tuhan itu "...baik dan suka mengampuni dan berlimpah kasih setia..." (Mazmur 86:5). Bahkan firman-Nya menegaskan, "Sekalipun dosamu merah seperti kirmizi, akan menjadi putih seperti salju; sekalipun berwarna merah seperti kain kesumba, akan menjadi putih seperti bulu domba." (Yesaya 1:18). Rasul Petrus pun menulis, "...sekalipun ada orang yang menganggapnya sebagai kelalaian, tetapi Ia sabar terhadap kamu, karena Ia menghendaki supaya jangan ada yang binasa, melainkan supaya semua orang berbalik dan bertobat." (2 Petrus 3:9).
Paulus pada akhirnya dapat berkata, "Tetapi apa yang dahulu merupakan keuntungan bagiku, sekarang kuanggap rugi karena Kristus. Malahan segala sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia dari pada semuanya. Oleh karena Dialah aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus," (Filipi 3:7-8). Ini adalah bukti pertobatan yang sungguh yaitu meninggalkan kehidupan lama, kemudian merespons panggilan Tuhan. Tuhan bukan hanya memanggil Paulus untuk memberitakan Injil tapi juga untuk menderita bagi Kristus. "Aku sendiri akan menunjukkan kepadanya, betapa banyak penderitaan yang harus ia tanggung oleh karena nama-Ku." (Kisah 9:16).
Ada rencana yang indah di balik panggilan Tuhan terhadap diri Paulus!
Sunday, February 1, 2015
PAULUS: Hidup Yang Diubahkan
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 1 Februari 2015
Baca: Kisah 9:1-9a
"Sementara itu berkobar-kobar hati Saulus untuk mengancam dan membunuh murid-murid Tuhan." Kisah 9:1
Kisah perjalanan hidup rasul Paulus adalah sangat menarik untuk kita pelajari. Rasul Paulus adalah seorang tokoh besar dalam kitab Perjanjian Baru. Dari 27 kitab dalam Perjanjian Baru Paulus menulis kurang lebih separuhnya.
Paulus, yang awalnya bernama Saulus, berasal dari Tarsus. Pada usia muda Paulus hidup sebagai seorang Farisi di bawah didikan Gamaliel, "...seorang ahli Taurat yang sangat dihormati seluruh orang banyak," (Kisah 5:34). Sebelum dipakai Tuhan untuk menjadi rasul-Nya ia adalah orang yang sangat fanatik dengan agama, bahkan "...mentaati hukum Taurat aku tidak bercacat." (Filipi 3:6). Artinya dalam hal hukum Taurat kemampuan Paulus tak disangsikan lagi. Tapi banyak orang mengenal Paulus sebagai pribadi yang bengis, jahat dan suka menganiaya jemaat. Bagaimana reaksi orang-orang yang telah dianiaya Paulus? Apakah mereka melakukn pembalasan seperti yang dilakukan oleh orang dunia pada umumnya yang berprinsip bahwa pembalasan lebih kejam dari perbuatan? Tidak sama sekali! Tuhan Yesus mengajarkan, "Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu." (Matius 5:44). Stefanus, salah satu korban kebengisan Paulus, melakukan apa yang diajarkan Tuhan Yesus ini. Sebelum mati ia pun berseru, "Tuhan, janganlah tanggungkan dosa ini kepada mereka!" (Kisah 7:60). Karena doa orang-orang yang teraniaya itulah akhirnya Paulus mengalami perjumpaan secara pribadi dengan Tuhan dalam perjalanannya ke Damsyik. Seketika itu Paulus mengalami jamahan Tuhan. Bukan hanya itu, Tuhan juga menyingkapkan perkara-perkara adikodrati kepada Paulus: "...tiba-tiba cahaya memancar dari langit mengelilingi dia." (Kisah 9:3), sehingga ia pun terjatuh dan mengalami kebutaan selama tiga hari.
Pengalaman rohani inilah yang akhirnya menjadi titik balik dalam kehidupan Paulus. Ia bertobat, memberi diri untuk dibaptis, artinya manusia lama ditanggalkan dan kini ia menjadi 'ciptaan baru' di dalam Kristus.
Tuhan berkata, "...orang ini adalah alat pilihan bagi-Ku untuk memberitakan nama-Ku kepada bangsa-bangsa lain serta raja-raja dan orang-orang Israel." Kisah 9:15
Baca: Kisah 9:1-9a
"Sementara itu berkobar-kobar hati Saulus untuk mengancam dan membunuh murid-murid Tuhan." Kisah 9:1
Kisah perjalanan hidup rasul Paulus adalah sangat menarik untuk kita pelajari. Rasul Paulus adalah seorang tokoh besar dalam kitab Perjanjian Baru. Dari 27 kitab dalam Perjanjian Baru Paulus menulis kurang lebih separuhnya.
Paulus, yang awalnya bernama Saulus, berasal dari Tarsus. Pada usia muda Paulus hidup sebagai seorang Farisi di bawah didikan Gamaliel, "...seorang ahli Taurat yang sangat dihormati seluruh orang banyak," (Kisah 5:34). Sebelum dipakai Tuhan untuk menjadi rasul-Nya ia adalah orang yang sangat fanatik dengan agama, bahkan "...mentaati hukum Taurat aku tidak bercacat." (Filipi 3:6). Artinya dalam hal hukum Taurat kemampuan Paulus tak disangsikan lagi. Tapi banyak orang mengenal Paulus sebagai pribadi yang bengis, jahat dan suka menganiaya jemaat. Bagaimana reaksi orang-orang yang telah dianiaya Paulus? Apakah mereka melakukn pembalasan seperti yang dilakukan oleh orang dunia pada umumnya yang berprinsip bahwa pembalasan lebih kejam dari perbuatan? Tidak sama sekali! Tuhan Yesus mengajarkan, "Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu." (Matius 5:44). Stefanus, salah satu korban kebengisan Paulus, melakukan apa yang diajarkan Tuhan Yesus ini. Sebelum mati ia pun berseru, "Tuhan, janganlah tanggungkan dosa ini kepada mereka!" (Kisah 7:60). Karena doa orang-orang yang teraniaya itulah akhirnya Paulus mengalami perjumpaan secara pribadi dengan Tuhan dalam perjalanannya ke Damsyik. Seketika itu Paulus mengalami jamahan Tuhan. Bukan hanya itu, Tuhan juga menyingkapkan perkara-perkara adikodrati kepada Paulus: "...tiba-tiba cahaya memancar dari langit mengelilingi dia." (Kisah 9:3), sehingga ia pun terjatuh dan mengalami kebutaan selama tiga hari.
Pengalaman rohani inilah yang akhirnya menjadi titik balik dalam kehidupan Paulus. Ia bertobat, memberi diri untuk dibaptis, artinya manusia lama ditanggalkan dan kini ia menjadi 'ciptaan baru' di dalam Kristus.
Tuhan berkata, "...orang ini adalah alat pilihan bagi-Ku untuk memberitakan nama-Ku kepada bangsa-bangsa lain serta raja-raja dan orang-orang Israel." Kisah 9:15
Saturday, January 31, 2015
UCAPAN SYUKUR SEBAGAI KORBAN
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 31 Januari 2015
Baca: Mazmur 116:1-19
"Aku akan mempersembahkan korban syukur kepada-Mu, dan akan menyerukan nama TUHAN," Mazmur 116:17
Apa yang Saudara rasakan dan alami di hari terakhir bulan Januari ini? Masih sulitkah bibir kita mengucap syukur dan memuji-muji Tuhan, oleh karena hari-hari yang kita alami terasa berat? Ketika seseorang mengalami hidup berkelimpahan, memiliki tubuh sehat, bisnis berjalan lancar, toko semakin laris, mendapat bonus, beroleh kenaikan pangkat atau promosi, tanpa harus dikomando dan didorong-dorong pun mulut dan bibir kita akan dipenuhi ucapan syukur, bahkan di sepanjang jalan saat berkendara pun kita akan terus bersenandung, memuji dan memuliakan Tuhan.
Bersyukur kepada Tuhan ketika menikmati masa-masa indah, menyenangkan dan penuh kemenangan adalah perkara yang sangat mudah. Bagaimana jika kita mengalami masa-masa sulit seperti yang dialami nabi Habakuk? "...pohon ara tidak berbunga, pohon anggur tidak berbuah, hasil pohon zaitun mengecewakan,...ladang-ladang tidak menghasilkan bahan makanan, kambing domba terhalau dari kurungan, dan tidak ada lembu sapi dalam kandang," (Habakuk 3:17). Keadaan kontradiktif pun akan terlihat: "Aku kelu, aku diam, aku membisu, aku jauh dari hal yang baik; Hatiku bergejolak dalam diriku, menyala seperti api, ketika aku berkeluh kesah;" (Mazmur 39:3-4). Mulut terasa terkunci dan sulit untuk mengucap syukur kepada Tuhan. Berbeda dengan Habakuk, dalam keadaan yang tidak mendukung sekalipun ia tetap "...bersorak-sorak di dalam TUHAN, beria-ria di dalam Allah..." (Habakuk 3:18). Inilah yang disebut korban syukur!
Kata 'korban' selalu identik dengan penderitaan. Prinsip korban selalu berarti mengalami suatu kerugian atau kehilangan sesuatu. Mempersembahkan korban syukuran kepada Tuhan berarti dengan sukarela mempersembahkan puji-pujian dan memuliakan nama Tuhan meski berada di situasi yang tidak mendukung: kehilangan, tertekan, menderita, dirundung malang, bersukacita, sakit, krisis atau berkekurangan, yang secara manusia menjadikan alasan kuat untuk bersedih dan merintih; jadi dengan kata lain kita memaksa hati dan bibir kita untuk memuji Tuhan meski sambil mencucurkan air mata.
Korban syukur inilah yang menggerakkan hati Tuhan untuk bertindak!
Baca: Mazmur 116:1-19
"Aku akan mempersembahkan korban syukur kepada-Mu, dan akan menyerukan nama TUHAN," Mazmur 116:17
Apa yang Saudara rasakan dan alami di hari terakhir bulan Januari ini? Masih sulitkah bibir kita mengucap syukur dan memuji-muji Tuhan, oleh karena hari-hari yang kita alami terasa berat? Ketika seseorang mengalami hidup berkelimpahan, memiliki tubuh sehat, bisnis berjalan lancar, toko semakin laris, mendapat bonus, beroleh kenaikan pangkat atau promosi, tanpa harus dikomando dan didorong-dorong pun mulut dan bibir kita akan dipenuhi ucapan syukur, bahkan di sepanjang jalan saat berkendara pun kita akan terus bersenandung, memuji dan memuliakan Tuhan.
Bersyukur kepada Tuhan ketika menikmati masa-masa indah, menyenangkan dan penuh kemenangan adalah perkara yang sangat mudah. Bagaimana jika kita mengalami masa-masa sulit seperti yang dialami nabi Habakuk? "...pohon ara tidak berbunga, pohon anggur tidak berbuah, hasil pohon zaitun mengecewakan,...ladang-ladang tidak menghasilkan bahan makanan, kambing domba terhalau dari kurungan, dan tidak ada lembu sapi dalam kandang," (Habakuk 3:17). Keadaan kontradiktif pun akan terlihat: "Aku kelu, aku diam, aku membisu, aku jauh dari hal yang baik; Hatiku bergejolak dalam diriku, menyala seperti api, ketika aku berkeluh kesah;" (Mazmur 39:3-4). Mulut terasa terkunci dan sulit untuk mengucap syukur kepada Tuhan. Berbeda dengan Habakuk, dalam keadaan yang tidak mendukung sekalipun ia tetap "...bersorak-sorak di dalam TUHAN, beria-ria di dalam Allah..." (Habakuk 3:18). Inilah yang disebut korban syukur!
Kata 'korban' selalu identik dengan penderitaan. Prinsip korban selalu berarti mengalami suatu kerugian atau kehilangan sesuatu. Mempersembahkan korban syukuran kepada Tuhan berarti dengan sukarela mempersembahkan puji-pujian dan memuliakan nama Tuhan meski berada di situasi yang tidak mendukung: kehilangan, tertekan, menderita, dirundung malang, bersukacita, sakit, krisis atau berkekurangan, yang secara manusia menjadikan alasan kuat untuk bersedih dan merintih; jadi dengan kata lain kita memaksa hati dan bibir kita untuk memuji Tuhan meski sambil mencucurkan air mata.
Korban syukur inilah yang menggerakkan hati Tuhan untuk bertindak!
Friday, January 30, 2015
RELA DIBENCI DUNIA
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 30 Januari 2015
Baca: Yohanes 15:18-27
"Jikalau dunia membenci kamu, ingatlah bahwa ia telah lebih dahulu membenci Aku dari pada kamu." Yohanes 15:18
Menderita bagi Kristus berarti harus siap dan rela bila dunia membenci dan menolak kita. Ini adalah kenyataan yang tidak bisa dihindari, sebab dunia telah lebih dahulu membenci Kristus dari pada kita. Oleh karena itu janganlah merasa heran jika selama hidup di dunia ini banyak orang Kristen yang harus mengalami tekanan dan perlakuan yang tidak adil, baik itu di tempat kerja maupun di lingkungan masyarakat. Orang dunia membenci kita oleh karena nama Yesus dan tidak mengenal Bapa yang telah mengutus Dia (ayat 21).
Di akhir zaman ini banyak orang menyangka bahwa menganiaya pengikut Kristus adalah wujud dari ibadah, seperti tertulis: "Kamu akan dikucilkan, bahkan akan datang saatnya bahwa setiap orang yang membunuh kamu akan menyangka bahwa ia berbuat bakti bagi Allah." (Yohanes 16:2). Di tengah tantangan yang berat ini haruskah kita takut, tawar hati dan terbersit niat meninggalkan Kristus? Tuhan Yesus berkata, "Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga." (Matius 5:10). Rasul Petrus juga menguatkan, "Sebab adalah kasih karunia, jika seorang karena sadar akan kehendak Allah menanggung penderitaan yang tidak harus ia tanggung. Tetapi jika kamu berbuat baik dan karena itu kamu harus menderita, maka itu adalah kasih karunia pada Allah." (1 Petrus 2:19, 20b). Apapun keadaannya, kita harus tetap setia mengiring Kristus sampai akhir hayat kita, sebab kita tidak berjuang di dunia ini sendirian. "...semua saudaramu di seluruh dunia menanggung penderitaan yang sama. Dan Allah, sumber segala kasih karunia, yang telah memanggil kamu dalam Kristus kepada kemuliaan-Nya yang kekal, akan melengkapi, meneguhkan, menguatkan dan mengokohkan kamu, sesudah kamu menderita seketika lamanya." (1 Petrus 9-10).
Tuhan Yesus juga telah memberikan Roh Kudus, Dialah yang akan menyertai dan menolong kita dalam mengemban tugas sebagai pemberita Injil dan saksi-saksi-Nya di tengah dunia. Mari belajar dari kisah hidup Paulus yang setia melayani Tuhan sampai garis akhir hidupnya!
"Dan kamu akan dibenci semua orang oleh karena nama-Ku; tetapi orang yang bertahan sampai pada kesudahannya akan selamat." Matius 10:22
Baca: Yohanes 15:18-27
"Jikalau dunia membenci kamu, ingatlah bahwa ia telah lebih dahulu membenci Aku dari pada kamu." Yohanes 15:18
Menderita bagi Kristus berarti harus siap dan rela bila dunia membenci dan menolak kita. Ini adalah kenyataan yang tidak bisa dihindari, sebab dunia telah lebih dahulu membenci Kristus dari pada kita. Oleh karena itu janganlah merasa heran jika selama hidup di dunia ini banyak orang Kristen yang harus mengalami tekanan dan perlakuan yang tidak adil, baik itu di tempat kerja maupun di lingkungan masyarakat. Orang dunia membenci kita oleh karena nama Yesus dan tidak mengenal Bapa yang telah mengutus Dia (ayat 21).
Di akhir zaman ini banyak orang menyangka bahwa menganiaya pengikut Kristus adalah wujud dari ibadah, seperti tertulis: "Kamu akan dikucilkan, bahkan akan datang saatnya bahwa setiap orang yang membunuh kamu akan menyangka bahwa ia berbuat bakti bagi Allah." (Yohanes 16:2). Di tengah tantangan yang berat ini haruskah kita takut, tawar hati dan terbersit niat meninggalkan Kristus? Tuhan Yesus berkata, "Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga." (Matius 5:10). Rasul Petrus juga menguatkan, "Sebab adalah kasih karunia, jika seorang karena sadar akan kehendak Allah menanggung penderitaan yang tidak harus ia tanggung. Tetapi jika kamu berbuat baik dan karena itu kamu harus menderita, maka itu adalah kasih karunia pada Allah." (1 Petrus 2:19, 20b). Apapun keadaannya, kita harus tetap setia mengiring Kristus sampai akhir hayat kita, sebab kita tidak berjuang di dunia ini sendirian. "...semua saudaramu di seluruh dunia menanggung penderitaan yang sama. Dan Allah, sumber segala kasih karunia, yang telah memanggil kamu dalam Kristus kepada kemuliaan-Nya yang kekal, akan melengkapi, meneguhkan, menguatkan dan mengokohkan kamu, sesudah kamu menderita seketika lamanya." (1 Petrus 9-10).
Tuhan Yesus juga telah memberikan Roh Kudus, Dialah yang akan menyertai dan menolong kita dalam mengemban tugas sebagai pemberita Injil dan saksi-saksi-Nya di tengah dunia. Mari belajar dari kisah hidup Paulus yang setia melayani Tuhan sampai garis akhir hidupnya!
"Dan kamu akan dibenci semua orang oleh karena nama-Ku; tetapi orang yang bertahan sampai pada kesudahannya akan selamat." Matius 10:22
Thursday, January 29, 2015
MENGIKUTI JEJAK KRISTUS: Menderita Bagi Kristus
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 29 Januari 2015
Baca: Filipi 1:27-30
"Sebab kepada kamu dikaruniakan bukan saja untuk percaya kepada Kristus, melainkan juga untuk menderita untuk Dia," Filipi 1:29
Mengikuti jejak Kristus berarti harus mau menderita bagi Dia. Yesus berkata, "Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku." (Matius 16:24). Menyangkal diri berarti pada saat dihadapkan pada dosa, dengan kesadaran penuh memutuskan tidak berbuat dosa dan lebih memilih melakukan kehendak Tuhan. Kita berani berkata tidak terhadap kenyamanan dan keinginan daging yang seringkali menjadi penghalang untuk hidup menurut kehendak Tuhan.
Orang yang menyadari akan statusnya sebagai 'ciptaan baru' di dalam Kristus akan bertekad untuk menanggalkan manusia lamanya dan terus mengenakan manusia baru, supaya tubuh dosa hilang kuasanya. "Jadi, karena Kristus telah menderita penderitaan badani, kamupun harus juga mempersenjatai dirimu dengan pikiran yang demikian, --karena barangsiapa telah menderita penderitaan badani, ia telah berhenti berbuat dosa--," (1 Petrus 4:1). Namun banyak orang Kristen yang berusaha menghindari firman yang menyinggung tentang penyangkalan diri, ketaatan, pikul salib, ujian dan bayar harga. Yang mereka cari dan kejar-kejar adalah khotbah-khotbah hamba Tuhan yang hanya berbicara tentang kekayaan, kelimpahan, berkat dan mujizat. Akibatnya ketika menghadapi masalah, penderitaan dan teguran firman yang keras mereka langsung kecewa, lemah, putus asa, dan bahkan berani menyalahkan Tuhan.
Sebagai pengikut Kristus kita tidak dapat menghindarkan diri dari penderitaan, sebab selain kita dikaruniai percaya, juga dikaruniai menderita bagi Kristus (ayat nas). Mengapa penderitaan diijinkan Tuhan? Penderitaan adalah salah satu cara yang dipakai Tuhan untuk menegur dan menyadarkan kita agar berhenti berbuat dosa. Tuhan yesus meninggalkan teladan mengenai penderitaan secara badani. "Dan sekalipun Ia adalah Anak, Ia telah belajar menjadi taat dari apa yang telah diderita-Nya," (Ibrani 5:8), tapi Yesus tidak pernah berbuat dosa. Setiap penderitaan akan menghasilkan ketaatan dan menarik seseorang mendekat kepada Tuhan.
"Bahwa aku tertindas itu baik bagiku, supaya aku belajar ketetapan-ketetapan-Mu." Mazmur 119:71
Baca: Filipi 1:27-30
"Sebab kepada kamu dikaruniakan bukan saja untuk percaya kepada Kristus, melainkan juga untuk menderita untuk Dia," Filipi 1:29
Mengikuti jejak Kristus berarti harus mau menderita bagi Dia. Yesus berkata, "Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku." (Matius 16:24). Menyangkal diri berarti pada saat dihadapkan pada dosa, dengan kesadaran penuh memutuskan tidak berbuat dosa dan lebih memilih melakukan kehendak Tuhan. Kita berani berkata tidak terhadap kenyamanan dan keinginan daging yang seringkali menjadi penghalang untuk hidup menurut kehendak Tuhan.
Orang yang menyadari akan statusnya sebagai 'ciptaan baru' di dalam Kristus akan bertekad untuk menanggalkan manusia lamanya dan terus mengenakan manusia baru, supaya tubuh dosa hilang kuasanya. "Jadi, karena Kristus telah menderita penderitaan badani, kamupun harus juga mempersenjatai dirimu dengan pikiran yang demikian, --karena barangsiapa telah menderita penderitaan badani, ia telah berhenti berbuat dosa--," (1 Petrus 4:1). Namun banyak orang Kristen yang berusaha menghindari firman yang menyinggung tentang penyangkalan diri, ketaatan, pikul salib, ujian dan bayar harga. Yang mereka cari dan kejar-kejar adalah khotbah-khotbah hamba Tuhan yang hanya berbicara tentang kekayaan, kelimpahan, berkat dan mujizat. Akibatnya ketika menghadapi masalah, penderitaan dan teguran firman yang keras mereka langsung kecewa, lemah, putus asa, dan bahkan berani menyalahkan Tuhan.
Sebagai pengikut Kristus kita tidak dapat menghindarkan diri dari penderitaan, sebab selain kita dikaruniai percaya, juga dikaruniai menderita bagi Kristus (ayat nas). Mengapa penderitaan diijinkan Tuhan? Penderitaan adalah salah satu cara yang dipakai Tuhan untuk menegur dan menyadarkan kita agar berhenti berbuat dosa. Tuhan yesus meninggalkan teladan mengenai penderitaan secara badani. "Dan sekalipun Ia adalah Anak, Ia telah belajar menjadi taat dari apa yang telah diderita-Nya," (Ibrani 5:8), tapi Yesus tidak pernah berbuat dosa. Setiap penderitaan akan menghasilkan ketaatan dan menarik seseorang mendekat kepada Tuhan.
"Bahwa aku tertindas itu baik bagiku, supaya aku belajar ketetapan-ketetapan-Mu." Mazmur 119:71
Wednesday, January 28, 2015
HIDUP DALAM KASIH: Melayani Sesama
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 28 Januari 2015
Baca: Ayub 2:11-13
"Mereka bersepakat untuk mengucapkan belasungkawa kepadanya dan menghibur dia." Ayub 2:11b
Kita dikatakan hidup dalam kasih apabila memiliki kerelaan melayani orang lain. Tuhan Yesus berkata, "Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang." (Markus 10:45). Sebagai pengikut-Nya kita wajib mengikuti dan meneladani Tuhan Yesus. janganlah kita melayani orang lain karena ada sesuatu yang menguntungkan bagi kita, namun ketika sudah tidak ada lagi peluang memperoleh keuntungan secepat itu pula kasih kita berakhir, atau istilahnya populernya 'habis manis sepah dibuang'. Kita tidak boleh menerapkan kasih model demikian, sebab kasih harus dilakukan dengan tulus dan tanpa pamrih seperti kasih seorang sahabat yang "...menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran." (Amsal 17:17).
Melayani sesama berarti memiliki kepedulian yang besar kepada orang lain. Setidaknya meliputi tiga hal: peduli pada penderitaan, peduli pada kebutuhan dan juga peduli pada keselamatan orang lain. Peduli pada penderitaan sesama disebut empati. Empati artinya memiliki perasaan yang sama seperti yang dialami orang lain, khususnya mereka yang sedang tertimpa musibah, kemalangan dan juga permasalahan hidup. Alkitab menasihatkan, "...menangislah dengan orang yang menangis!" (Roma 12:15).
Peduli pada kebutuhan sesama menyangkut persoalan ekonomi, kesembuhan jasmani dan rohani. Tuhan Yesus sangat peduli terhadap kebutuhan jenis ini: kita melihat orang banyak kelaparan, hati-Nya pun tergerak oleh belas kasihan, lalu diberi-Nya mereka makan hingga kenyang; ketika bertemu dengan orang yang menderita sakit-penyakit hati Tuhan pun tersentuh, tangan-Nya yang penuh kuasa menjamah dan menyembuhkan mereka. Tuhan Yesus juga memperingatkan semua orang, "Bertobatlah, sebab Kerajaan Sorga sudah dekat!" (Matius 4:17), bahkan Ia rela mengorbankan nyawa-Nya demi menebus dosa manusia, supaya barangsiapa yang percaya kepada-Nya beroleh pengampunan dosa dan diselamatkan. Ini bukti kepedulian-Nya terhadap keselamatan orang lain.
Milikilah hati yang senantiasa peduli terhadap orang lain seperti Yesus!
Baca: Ayub 2:11-13
"Mereka bersepakat untuk mengucapkan belasungkawa kepadanya dan menghibur dia." Ayub 2:11b
Kita dikatakan hidup dalam kasih apabila memiliki kerelaan melayani orang lain. Tuhan Yesus berkata, "Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang." (Markus 10:45). Sebagai pengikut-Nya kita wajib mengikuti dan meneladani Tuhan Yesus. janganlah kita melayani orang lain karena ada sesuatu yang menguntungkan bagi kita, namun ketika sudah tidak ada lagi peluang memperoleh keuntungan secepat itu pula kasih kita berakhir, atau istilahnya populernya 'habis manis sepah dibuang'. Kita tidak boleh menerapkan kasih model demikian, sebab kasih harus dilakukan dengan tulus dan tanpa pamrih seperti kasih seorang sahabat yang "...menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran." (Amsal 17:17).
Melayani sesama berarti memiliki kepedulian yang besar kepada orang lain. Setidaknya meliputi tiga hal: peduli pada penderitaan, peduli pada kebutuhan dan juga peduli pada keselamatan orang lain. Peduli pada penderitaan sesama disebut empati. Empati artinya memiliki perasaan yang sama seperti yang dialami orang lain, khususnya mereka yang sedang tertimpa musibah, kemalangan dan juga permasalahan hidup. Alkitab menasihatkan, "...menangislah dengan orang yang menangis!" (Roma 12:15).
Peduli pada kebutuhan sesama menyangkut persoalan ekonomi, kesembuhan jasmani dan rohani. Tuhan Yesus sangat peduli terhadap kebutuhan jenis ini: kita melihat orang banyak kelaparan, hati-Nya pun tergerak oleh belas kasihan, lalu diberi-Nya mereka makan hingga kenyang; ketika bertemu dengan orang yang menderita sakit-penyakit hati Tuhan pun tersentuh, tangan-Nya yang penuh kuasa menjamah dan menyembuhkan mereka. Tuhan Yesus juga memperingatkan semua orang, "Bertobatlah, sebab Kerajaan Sorga sudah dekat!" (Matius 4:17), bahkan Ia rela mengorbankan nyawa-Nya demi menebus dosa manusia, supaya barangsiapa yang percaya kepada-Nya beroleh pengampunan dosa dan diselamatkan. Ini bukti kepedulian-Nya terhadap keselamatan orang lain.
Milikilah hati yang senantiasa peduli terhadap orang lain seperti Yesus!
Tuesday, January 27, 2015
MENGIKUTI JEJAK KRISTUS: Hidup Dalam Kasih
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 27 Januari 2015
Baca: Yohanes 13:31-35
"Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi." Yohanes 13:35
Bagi orang percaya kasih bukan sekedar suatu ajaran yang harus dipahami dan dimengerti, melainkan lebih daripada itu, kasih adalah inti kekristenan yang harus dipraktekkan dan dilakukan secara nyata dalam kehidupan sehari-hari. Tuhan yesus berkata, "Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi." (Yohanes 13:34). Dalam hal kasih ini Tuhan Yesus bukan sekedar mengajarkan dan memerintahkan para pengikut-Nya untuk saling mengasihi, tetapi diri-Nya sendiri telah menjadi model bagaimana seharusnya kita mengasihi dengan benar.
Mengasihi orang lain selalu identik dengan tindakan memberi atau berkorban. Tuhan Yesus telah membuktikan betapa Ia mengasihi kita dengan mengorbankan nyawa-Nya di kayu salib. "Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya." (Yohanes 15:13). Karena kita telah mengalami kasih Kristus, maka sudah selayaknya kita membagikan kasih itu kepada orang lain. Mengasihi yang diajarkan oleh Tuhan Yesus bukan sebuah kasih yang kita berikan karena orang lain mengasihi kita, tetapi kita juga harus mampu mengasihi orang yang membenci kita sekalipun. "Dan jikalau kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah jasamu? Karena orang-orang berdosapun mengasihi juga orang-orang yang mengasihi mereka. Sebab jikalau kamu berbuat baik kepada orang yang berbuat baik kepada kamu, apakah jasamu? Orang-orang berdosapun berbuat demikian." (Lukas 6:32-33).
Kita menyadari bahwa mengasihi musuh adalah perkara yang tidak mudah, namun jika kita mampu melakukannya kita akan menjadi orang yang 'berbeda' dari dunia sebagaimana yang Tuhan inginkan, "Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna." (Roma 12:2). Mengasihi bukanlah perbuatan alternatif atau manasuka yang ditawarkan oleh Tuhan, tapi suatu perintah yang harus ditaati oleh setiap pengikut Kristus!
Mengasihi sesama adalah perwujudan kasih kita kepada Tuhan juga!
Baca: Yohanes 13:31-35
"Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi." Yohanes 13:35
Bagi orang percaya kasih bukan sekedar suatu ajaran yang harus dipahami dan dimengerti, melainkan lebih daripada itu, kasih adalah inti kekristenan yang harus dipraktekkan dan dilakukan secara nyata dalam kehidupan sehari-hari. Tuhan yesus berkata, "Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi." (Yohanes 13:34). Dalam hal kasih ini Tuhan Yesus bukan sekedar mengajarkan dan memerintahkan para pengikut-Nya untuk saling mengasihi, tetapi diri-Nya sendiri telah menjadi model bagaimana seharusnya kita mengasihi dengan benar.
Mengasihi orang lain selalu identik dengan tindakan memberi atau berkorban. Tuhan Yesus telah membuktikan betapa Ia mengasihi kita dengan mengorbankan nyawa-Nya di kayu salib. "Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya." (Yohanes 15:13). Karena kita telah mengalami kasih Kristus, maka sudah selayaknya kita membagikan kasih itu kepada orang lain. Mengasihi yang diajarkan oleh Tuhan Yesus bukan sebuah kasih yang kita berikan karena orang lain mengasihi kita, tetapi kita juga harus mampu mengasihi orang yang membenci kita sekalipun. "Dan jikalau kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah jasamu? Karena orang-orang berdosapun mengasihi juga orang-orang yang mengasihi mereka. Sebab jikalau kamu berbuat baik kepada orang yang berbuat baik kepada kamu, apakah jasamu? Orang-orang berdosapun berbuat demikian." (Lukas 6:32-33).
Kita menyadari bahwa mengasihi musuh adalah perkara yang tidak mudah, namun jika kita mampu melakukannya kita akan menjadi orang yang 'berbeda' dari dunia sebagaimana yang Tuhan inginkan, "Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna." (Roma 12:2). Mengasihi bukanlah perbuatan alternatif atau manasuka yang ditawarkan oleh Tuhan, tapi suatu perintah yang harus ditaati oleh setiap pengikut Kristus!
Mengasihi sesama adalah perwujudan kasih kita kepada Tuhan juga!
Monday, January 26, 2015
KETAATAN ADALAH SEBUAH PILIHAN
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 26 Januari 2015
Baca: Ulangan 30:11-20
"Tetapi firman ini sangat dekat kepadamu, yakni di dalam mulutmu dan di dalam hatimu, untuk dilakukan." Ulangan 30:14
Setiap pagi ketika kita beranjak dari tempat tidur kita selalu dihadapkan pada pilihan dan keputusan. Akankah kita menyambut hari baru dengan lemah lunglai karena terus dibayangi oleh masalah yang kita pikirkan semalam-malaman? Ataukah kita menyambut hari baru dengan penuh semangat karena kita telah menyerahkan semua beban dan pergumulan yang ada kepada Tuhan? Karena kita tahu bahwa "Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku." (Filipi 4:13). Akankah kita bertekad untuk menjalani hari baru dengan sikap hati yang benar, yaitu memilih taat kepada Tuhan, atau tetap saja hidup menuruti kehendak diri sendiri? Pilihan ada di tangan kita masing-masing.
Musa pun menawarkan suatu pilihan kepada bangsa Israel: ketaatan atau ketidaktaatan. Manakah yang akan mereka pilih? Kehidupan, kemenangan, keberhasilan, keberuntungan dan berkat akan menjadi bagian mereka yang mau taat dan "...mengasihi TUHAN, Allahmu, dengan hidup menurut jalan yang ditunjukkan-Nya dan berpegang pada perintah, ketetapan dan peraturan-Nya," (Ulangan 30:16); sebaliknya pintu-pintu berkat dan keberhasilan akan semakin tertutup sehingga kegagalan demi kegagalan yang akan dituai, apabila hati mereka berpaling dari Tuhan, memberontak kepada-Nya dan memilih untuk sujud menyembah dan beribadah kepada allah lain. Jelas sekali bahwa setiap pilihan (taat atau tidak taat) selalu mengandung konsekuensi.
Seringkali kita lebih memilih berjalan menurut kehendak diri sendiri dan menyenangkan daging kita daripada tunduk kepada pimpinan Roh Kudus, padahal kita tahu persis bahwa setiap ketaatan selalu mendatangkan upah dari Tuhan. Rasul Yohanes menulis: "Perintah-perintah-Nya itu tidak berat, sebab semua yang lahir dari Allah, mengalahkan dunia." (1 Yohanes 5:3b-4), artinya tidak ada alasan bagi kita untuk tidak taat karena Tuhan telah memberikan iman kepada kita. Karena imanlah kita beroleh kekuatan untuk melakukan setiap perintah Tuhan. Tanpa iman dan kasih kepada Tuhan sulit rasanya orang hidup dalam ketaatan.
Taat atau tidak? Pilihan kita hari ini menentukan masa depan kita!
Baca: Ulangan 30:11-20
"Tetapi firman ini sangat dekat kepadamu, yakni di dalam mulutmu dan di dalam hatimu, untuk dilakukan." Ulangan 30:14
Setiap pagi ketika kita beranjak dari tempat tidur kita selalu dihadapkan pada pilihan dan keputusan. Akankah kita menyambut hari baru dengan lemah lunglai karena terus dibayangi oleh masalah yang kita pikirkan semalam-malaman? Ataukah kita menyambut hari baru dengan penuh semangat karena kita telah menyerahkan semua beban dan pergumulan yang ada kepada Tuhan? Karena kita tahu bahwa "Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku." (Filipi 4:13). Akankah kita bertekad untuk menjalani hari baru dengan sikap hati yang benar, yaitu memilih taat kepada Tuhan, atau tetap saja hidup menuruti kehendak diri sendiri? Pilihan ada di tangan kita masing-masing.
Musa pun menawarkan suatu pilihan kepada bangsa Israel: ketaatan atau ketidaktaatan. Manakah yang akan mereka pilih? Kehidupan, kemenangan, keberhasilan, keberuntungan dan berkat akan menjadi bagian mereka yang mau taat dan "...mengasihi TUHAN, Allahmu, dengan hidup menurut jalan yang ditunjukkan-Nya dan berpegang pada perintah, ketetapan dan peraturan-Nya," (Ulangan 30:16); sebaliknya pintu-pintu berkat dan keberhasilan akan semakin tertutup sehingga kegagalan demi kegagalan yang akan dituai, apabila hati mereka berpaling dari Tuhan, memberontak kepada-Nya dan memilih untuk sujud menyembah dan beribadah kepada allah lain. Jelas sekali bahwa setiap pilihan (taat atau tidak taat) selalu mengandung konsekuensi.
Seringkali kita lebih memilih berjalan menurut kehendak diri sendiri dan menyenangkan daging kita daripada tunduk kepada pimpinan Roh Kudus, padahal kita tahu persis bahwa setiap ketaatan selalu mendatangkan upah dari Tuhan. Rasul Yohanes menulis: "Perintah-perintah-Nya itu tidak berat, sebab semua yang lahir dari Allah, mengalahkan dunia." (1 Yohanes 5:3b-4), artinya tidak ada alasan bagi kita untuk tidak taat karena Tuhan telah memberikan iman kepada kita. Karena imanlah kita beroleh kekuatan untuk melakukan setiap perintah Tuhan. Tanpa iman dan kasih kepada Tuhan sulit rasanya orang hidup dalam ketaatan.
Taat atau tidak? Pilihan kita hari ini menentukan masa depan kita!
Sunday, January 25, 2015
MENGIKUTI JEJAK KRISTUS: Pelaku Firman
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 25 Januari 2015
Baca: Lukas 6:46-49
"Mengapa kamu berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, padahal kamu tidak melakukan apa yang Aku katakan?" Lukas 6:46
Hati Tuhan akan disenangkan apabila kita mengasihi Dia lebih dari segala-galanya. Bukti bahwa kita mengasihi Tuhan adalah ketika kita mentaati firman-Nya dengan sepenuh hati. Tertulis: "Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintah-Ku." (Yohanes 14:15). Ketika kita tidak taat berarti kita belum sepenuhnya mengasihi Tuhan. Ketaatan berarti bersedia dan rela mengosongkan diri, mengesempingkan keinginan pribadi dan lebih mengutamakan apa yang menjadi kehendak Tuhan dalam hidup kita, seperti yang Tuhan Yesus katakan, "...janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki." (Matius 26:39). Inilah yang disebut penyangkalan diri.
Menjadi pengikut Kristus berarti siap untuk melakukan firman Tuhan. Mengapa ketaatan itu penting? Karena ketaatan adalah fondasi yang kuat bagi kehidupan orang percaya. Ketika kita tidak hidup dalam ketaatan, kita akan mudah sekali lemah, goyah dn bahkan roboh ketika diterjang oleh badai kehidupan karena kita membangun hidup kita di atas tanah tanpa fondasi yang kokoh. "...setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan tidak melakukannya, ia sama dengan orang yang bodoh, yang mendirikan rumahnya di atas pasir. Kemudian turunlah hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu, sehingga rubuhlah rumah itu dan hebatlah kerusakannya." (Matius 7:26-27). Tetapi ketika kita hidup dalam ketaatan, "ia sama dengan seorang yang mendirikan rumah: Orang itu menggali dalam-dalam dan meletakkan dasarnya di atas batu. Ketika datang air bah dan banjir melanda rumah itu, rumah itu tidak dapat digoyahkan, karena rumah itu kokoh dibangun." (Lukas 6:48).
Ketaatan adalah kunci memiliki kehidupan Kristen yang berdampak bagi dunia. Sebaliknya ketika kita tidak taat melakukan kehendak Tuhan, dengan kata lain tidak menjadi pelaku firman, kita pun akan kehilangan pengaruhnya, sama seperti garam yang kehilangan rasa asinnya. Oleh karena itu kita harus terus melatih diri dalam hal ketaatan ini, sebab ketaatan tidak terjadi secara instan tapi melalui proses demi proses.
Jadilah pelaku firman, bukan hanya sebagai pendengar; inilah kehendak Tuhan!
Baca: Lukas 6:46-49
"Mengapa kamu berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, padahal kamu tidak melakukan apa yang Aku katakan?" Lukas 6:46
Hati Tuhan akan disenangkan apabila kita mengasihi Dia lebih dari segala-galanya. Bukti bahwa kita mengasihi Tuhan adalah ketika kita mentaati firman-Nya dengan sepenuh hati. Tertulis: "Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintah-Ku." (Yohanes 14:15). Ketika kita tidak taat berarti kita belum sepenuhnya mengasihi Tuhan. Ketaatan berarti bersedia dan rela mengosongkan diri, mengesempingkan keinginan pribadi dan lebih mengutamakan apa yang menjadi kehendak Tuhan dalam hidup kita, seperti yang Tuhan Yesus katakan, "...janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki." (Matius 26:39). Inilah yang disebut penyangkalan diri.
Menjadi pengikut Kristus berarti siap untuk melakukan firman Tuhan. Mengapa ketaatan itu penting? Karena ketaatan adalah fondasi yang kuat bagi kehidupan orang percaya. Ketika kita tidak hidup dalam ketaatan, kita akan mudah sekali lemah, goyah dn bahkan roboh ketika diterjang oleh badai kehidupan karena kita membangun hidup kita di atas tanah tanpa fondasi yang kokoh. "...setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan tidak melakukannya, ia sama dengan orang yang bodoh, yang mendirikan rumahnya di atas pasir. Kemudian turunlah hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu, sehingga rubuhlah rumah itu dan hebatlah kerusakannya." (Matius 7:26-27). Tetapi ketika kita hidup dalam ketaatan, "ia sama dengan seorang yang mendirikan rumah: Orang itu menggali dalam-dalam dan meletakkan dasarnya di atas batu. Ketika datang air bah dan banjir melanda rumah itu, rumah itu tidak dapat digoyahkan, karena rumah itu kokoh dibangun." (Lukas 6:48).
Ketaatan adalah kunci memiliki kehidupan Kristen yang berdampak bagi dunia. Sebaliknya ketika kita tidak taat melakukan kehendak Tuhan, dengan kata lain tidak menjadi pelaku firman, kita pun akan kehilangan pengaruhnya, sama seperti garam yang kehilangan rasa asinnya. Oleh karena itu kita harus terus melatih diri dalam hal ketaatan ini, sebab ketaatan tidak terjadi secara instan tapi melalui proses demi proses.
Jadilah pelaku firman, bukan hanya sebagai pendengar; inilah kehendak Tuhan!
Saturday, January 24, 2015
MENGIKUTI JEJAK KRISTUS: Taat Seperti Kristus
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 24 Januari 2015
Baca: Filipi 2:1-11
"Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib." Filipi 2:8
Mengikuti jejak Kristus berarti meneladani ketaatanNya melakukan kehendak Bapa. Yesus teladan utama dalam hal ketaatan. Dia berkata, "Makanan-Ku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya." (Yohanes 4:34).
Ketika dihadapkan pada cawan penderitaan Yesus berkata, "Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki." (Matius 26:39). Bagi Yesus melakukan kehendak Bapa adalah yang terutama dan melebihi segala-galanya. Itulah sebabnya rasul Paulus menasihati kita, "Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia." (Filipi 2:5-7). Karena ketaatan-Nya maka "...Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama," (Filipi 2:9).
Tuhan menghendaki kita menjadi orang-orang yang taat, bukan taat yang setengah-setengah atau taat secara musiman, melainkan taat secara total di segala keadaan. Seringkali kita baru mau taat ketika kita sedang baik dan tidak ada masalah: diberkati, disembuhkan, usaha lancar atau saat sedang mood saja. Begitu ada masalah: penderitaan, krisis, sakit, susah dan mengalami situasi-situasi yang tidak mengenakkan secepat kilat kita pun berubah sikap, tidak lagi mau taat kepada Tuhan: ogah-ogahan berdoa, malas baca Alkitab, malas melayani dan malah menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah karena kita merasa kecewa kepada Tuhan.
Ketaatan berkaitan dengan hati hamba. Tugas utama hamba adalah taat melakukan semua kehendak tuannya. Jadi mari kita berkata, "Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan." (Lukas 17:10).
Tuhan Yesus rela menjadi hamba dan taat kepada Bapa supaya kita pun meneladani Dia!
Baca: Filipi 2:1-11
"Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib." Filipi 2:8
Mengikuti jejak Kristus berarti meneladani ketaatanNya melakukan kehendak Bapa. Yesus teladan utama dalam hal ketaatan. Dia berkata, "Makanan-Ku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya." (Yohanes 4:34).
Ketika dihadapkan pada cawan penderitaan Yesus berkata, "Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki." (Matius 26:39). Bagi Yesus melakukan kehendak Bapa adalah yang terutama dan melebihi segala-galanya. Itulah sebabnya rasul Paulus menasihati kita, "Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia." (Filipi 2:5-7). Karena ketaatan-Nya maka "...Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama," (Filipi 2:9).
Tuhan menghendaki kita menjadi orang-orang yang taat, bukan taat yang setengah-setengah atau taat secara musiman, melainkan taat secara total di segala keadaan. Seringkali kita baru mau taat ketika kita sedang baik dan tidak ada masalah: diberkati, disembuhkan, usaha lancar atau saat sedang mood saja. Begitu ada masalah: penderitaan, krisis, sakit, susah dan mengalami situasi-situasi yang tidak mengenakkan secepat kilat kita pun berubah sikap, tidak lagi mau taat kepada Tuhan: ogah-ogahan berdoa, malas baca Alkitab, malas melayani dan malah menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah karena kita merasa kecewa kepada Tuhan.
Ketaatan berkaitan dengan hati hamba. Tugas utama hamba adalah taat melakukan semua kehendak tuannya. Jadi mari kita berkata, "Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan." (Lukas 17:10).
Tuhan Yesus rela menjadi hamba dan taat kepada Bapa supaya kita pun meneladani Dia!
Friday, January 23, 2015
MENGIKUTI JEJAK KRISTUS: Karib Dengan Bapa
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 23 Januari 2015
Baca: 1 Petrus 2:18-25
"Sebab untuk itulah kamu dipanggil, karena Kristuspun telah menderita untuk kamu dan telah meninggalkan teladan bagimu, supaya kamu mengikuti jejak-Nya." 1 Petrus 2:21
Kamus Webster mendefinisikan orang Kristen sebagai orang yang percaya kepada Yesus sebagai Kristus, seorang yang percaya kepada agama yang berdasarkan pengajaran Yesus, atau bisa diartikan sebagai pengikut Kristus. Sedangkan kata Kristen itu sendiri muncul sebanyak tiga kali dalam Alkitab. Kita bisa membacanya dalam Kisah 11:26, Kisah 26:28 dan 1 Petrus 4:16. Adapun bukti nyata bahwa seseorang disebut sebagai pengikut Kristus bukanlah KTP yang bertuliskan Kristen atau orang yang tampak sibuk ke luar masuk gedung gereja, tapi seorang yang mengikuti jejak Kristus dengan meneladani bagaimana Kristus telah hidup. "Barangsiapa mengatakan, bahwa ia ada di dalam Dia, ia wajib hidup sama seperti Kristus telah hidup." (1 Yohanes 2:6).
Mengikuti jejak Kristus berarti harus hidup dalam persekutuan yang karib denganNya. Mengapa? Karena Ia pun memiliki persekutuan karib dengan Bapa di sorga. Semasa pelayanan-Nya di bumi Kristus senantiasa menyediakan waktu untuk bersekutu dengan Bapa. Jadi, doa adalah nafas hidup orang percaya! Alkitab mencatat: "Pagi-pagi benar, waktu hari masih gelap, Ia bangun dan pergi ke luar. Ia pergi ke tempat yang sunyi dan berdoa di sana." (Markus 1:35). Doa adalah tanda ketergantungan kita kepada Tuhan, bukan sekedar aktivitas rohani atau pengisi waktu senggang. Sebagaimana ranting tidak dapat berbuah jika tidak melekat kepada pokok anggur, begitu pula kita tidak bisa berbuat apa-apa jika kita tidak melekat kepada Tuhan Yesus, yang adalah pokok anggur kita. Hidup kita ini sangat bergantung sepenuhnya kepada Tuhan! Jika Kristus saja memiliki kedisiplinan dalam berdoa, sebagai bukti bahwa Dia sangat bergantung kepada Bapa dan karib dengan-Nya, siapakah kita ini sehingga kita mengabaikan jam-jam doa?
Sesibuk apa pun, baik dalam pelayanan, pekerjaan atau aktivitas sehari-hari, jangan sampai kita melupakan jam-jam doa atau bersaat teduh secara pribadi dengan Tuhan, karena doa adalah nafas hidup kita. "Berjaga-jagalah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan:" (Matius 26:41).
Jangan sekalipun melewatkan hari tanpa berdoa, karena doa adalah kunci kekuatan orang percaya!
Baca: 1 Petrus 2:18-25
"Sebab untuk itulah kamu dipanggil, karena Kristuspun telah menderita untuk kamu dan telah meninggalkan teladan bagimu, supaya kamu mengikuti jejak-Nya." 1 Petrus 2:21
Kamus Webster mendefinisikan orang Kristen sebagai orang yang percaya kepada Yesus sebagai Kristus, seorang yang percaya kepada agama yang berdasarkan pengajaran Yesus, atau bisa diartikan sebagai pengikut Kristus. Sedangkan kata Kristen itu sendiri muncul sebanyak tiga kali dalam Alkitab. Kita bisa membacanya dalam Kisah 11:26, Kisah 26:28 dan 1 Petrus 4:16. Adapun bukti nyata bahwa seseorang disebut sebagai pengikut Kristus bukanlah KTP yang bertuliskan Kristen atau orang yang tampak sibuk ke luar masuk gedung gereja, tapi seorang yang mengikuti jejak Kristus dengan meneladani bagaimana Kristus telah hidup. "Barangsiapa mengatakan, bahwa ia ada di dalam Dia, ia wajib hidup sama seperti Kristus telah hidup." (1 Yohanes 2:6).
Mengikuti jejak Kristus berarti harus hidup dalam persekutuan yang karib denganNya. Mengapa? Karena Ia pun memiliki persekutuan karib dengan Bapa di sorga. Semasa pelayanan-Nya di bumi Kristus senantiasa menyediakan waktu untuk bersekutu dengan Bapa. Jadi, doa adalah nafas hidup orang percaya! Alkitab mencatat: "Pagi-pagi benar, waktu hari masih gelap, Ia bangun dan pergi ke luar. Ia pergi ke tempat yang sunyi dan berdoa di sana." (Markus 1:35). Doa adalah tanda ketergantungan kita kepada Tuhan, bukan sekedar aktivitas rohani atau pengisi waktu senggang. Sebagaimana ranting tidak dapat berbuah jika tidak melekat kepada pokok anggur, begitu pula kita tidak bisa berbuat apa-apa jika kita tidak melekat kepada Tuhan Yesus, yang adalah pokok anggur kita. Hidup kita ini sangat bergantung sepenuhnya kepada Tuhan! Jika Kristus saja memiliki kedisiplinan dalam berdoa, sebagai bukti bahwa Dia sangat bergantung kepada Bapa dan karib dengan-Nya, siapakah kita ini sehingga kita mengabaikan jam-jam doa?
Sesibuk apa pun, baik dalam pelayanan, pekerjaan atau aktivitas sehari-hari, jangan sampai kita melupakan jam-jam doa atau bersaat teduh secara pribadi dengan Tuhan, karena doa adalah nafas hidup kita. "Berjaga-jagalah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan:" (Matius 26:41).
Jangan sekalipun melewatkan hari tanpa berdoa, karena doa adalah kunci kekuatan orang percaya!
Thursday, January 22, 2015
SURAT KRISTUS: Mempermuliakan Kristus
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 22 Januari 2015
Baca: Galatia 1:11-24
"berkenan menyatakan Anak-Nya di dalam aku, supaya aku memberitakan Dia di antara bangsa-bangsa bukan Yahudi," Galatia 1:16
Tuhan Yesus berkata kepada murid-murid-Nya, "...kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi." (Kisah 1:8). Kuasa yang dimaksudkan oleh Yesus adalah kuasa yang erat hubungannya dengan tugas setiap orang percaya sebagai saksi-saksi-Nya, yaitu menjadi saksi di Yerusalem, Yudea, Samaria dan sampai ke ujung bumi. Janji itu sudah digenapi-Nya, Roh Kudus dicurahkan di hari Pentakosta. Bahkan Alkitab menyatakan bahwa Roh Kudus itu tinggal di dalam orang percaya. "...tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah," (1 Korintus 6:19).
Roh Kudus-lah yang memampukan orang percaya untuk menjadi 'surat Kristus' di tengah-tengah dunia ini, "Sebab Allah memberikan kepada kita bukan roh ketakutan, melainkan roh yang membangkitkan kekuatan, kasih dan ketertiban." (2 Timotius 1:7). Jadi tidak ada alasan bagi kita untuk takut, malu dan merasa tidak mampu menjalankan tugas yang dipercayakan Tuhan ini. Rasul Paulus menasihati, "...janganlah malu bersaksi tentang Tuhan kita" (1 Timotius 1:8). Memang kesaksian itu mengandung resiko, karena ada orang yang suka dengan kesaksian kita, tapi juga tidak sedikit orang yang mencela, terlebih-lebih bila kehidupan kita secara nyata tidak menjadi teladan baik bagi orang lain.
Menjadi 'surat Kristus' berarti meneladani bagaimana Kristus telah hidup dan mengimpartasikan karakter-Nya secara nyata sehingga keberadaan kita benar-benar menjadi berkat. Menjadi berkat bukan hanya ketika kita mampu memberi orang lain secara materi semata, namun yang lebih utama adalah melalui sikap dan tindakan kita.
"Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku," (Yohanes 13:35). Perlu ditegaskan bahwa menjadi 'surat Kristus' berarti fokus kita adalah mempermuliakan Kristus, bukan mencari hormat dan pujian untuk diri sendiri. Nama Tuhan Yesus dan karya-karya-Nya yang harus dikedepankan dan diberitakan!
Biarlah hati dan perbuatan kita selalu selaras dengan firman Tuhan, sehingga kapan pun dan di mana pun berada kita menjadi 'surat Kristus'.
Baca: Galatia 1:11-24
"berkenan menyatakan Anak-Nya di dalam aku, supaya aku memberitakan Dia di antara bangsa-bangsa bukan Yahudi," Galatia 1:16
Tuhan Yesus berkata kepada murid-murid-Nya, "...kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi." (Kisah 1:8). Kuasa yang dimaksudkan oleh Yesus adalah kuasa yang erat hubungannya dengan tugas setiap orang percaya sebagai saksi-saksi-Nya, yaitu menjadi saksi di Yerusalem, Yudea, Samaria dan sampai ke ujung bumi. Janji itu sudah digenapi-Nya, Roh Kudus dicurahkan di hari Pentakosta. Bahkan Alkitab menyatakan bahwa Roh Kudus itu tinggal di dalam orang percaya. "...tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah," (1 Korintus 6:19).
Roh Kudus-lah yang memampukan orang percaya untuk menjadi 'surat Kristus' di tengah-tengah dunia ini, "Sebab Allah memberikan kepada kita bukan roh ketakutan, melainkan roh yang membangkitkan kekuatan, kasih dan ketertiban." (2 Timotius 1:7). Jadi tidak ada alasan bagi kita untuk takut, malu dan merasa tidak mampu menjalankan tugas yang dipercayakan Tuhan ini. Rasul Paulus menasihati, "...janganlah malu bersaksi tentang Tuhan kita" (1 Timotius 1:8). Memang kesaksian itu mengandung resiko, karena ada orang yang suka dengan kesaksian kita, tapi juga tidak sedikit orang yang mencela, terlebih-lebih bila kehidupan kita secara nyata tidak menjadi teladan baik bagi orang lain.
Menjadi 'surat Kristus' berarti meneladani bagaimana Kristus telah hidup dan mengimpartasikan karakter-Nya secara nyata sehingga keberadaan kita benar-benar menjadi berkat. Menjadi berkat bukan hanya ketika kita mampu memberi orang lain secara materi semata, namun yang lebih utama adalah melalui sikap dan tindakan kita.
"Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku," (Yohanes 13:35). Perlu ditegaskan bahwa menjadi 'surat Kristus' berarti fokus kita adalah mempermuliakan Kristus, bukan mencari hormat dan pujian untuk diri sendiri. Nama Tuhan Yesus dan karya-karya-Nya yang harus dikedepankan dan diberitakan!
Biarlah hati dan perbuatan kita selalu selaras dengan firman Tuhan, sehingga kapan pun dan di mana pun berada kita menjadi 'surat Kristus'.
Wednesday, January 21, 2015
SURAT KRISTUS: Tidak Menjadi Batu Sandungan
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 21 Januari 2015
Baca: 2 Korintus 6:1-10
"Dalam hal apapun kami tidak memberi sebab orang tersandung, supaya pelayanan kami jangan sampai dicela." 2 Korintus 6:3
Menjadi 'surat Kristus' berarti kita sedang menyampaikan kesaksian dan menjadi saksi bagi Kristus, dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Sebagai pengikut Kristus, kita adalah saksi Kristus, dan sebagai saksi-Nya kita memiliki tugas dan tanggung jawab untuk menyampaikan kesaksian, baik itu melalui perkataan dan terlebih penting lagi melalui perbuatan nyata. Inilah yang sedang dilihat dan dibaca oleh orang lain!
Ada banyak orang Kristen yang tidak menyadari atau berlagak tidak tahu bahwa dirinya adalah 'surat Kristus' yang dibaca oleh semua orang, terbukti jelas dari tingkah lakunya yang tidak bisa menjadi teladan bagi orang lain. Orang-orang dunia pun akhirnya merasa alergi dan antipati ketika mendengar kata 'Kristen' karena mereka melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana kehidupan orang yang berlabel 'Kristen' sangat mengecewakan dan sama sekali tidak mencerminkan karakter Kristus. Akhirnya hal ini menjadi penghalang bagi orang dunia untuk mengenal lebih dalam tentang Kristus, apalagi percaya kepada-Nya. Mahatma Gandhi, seorang pejuang hak-hak asasi manusia terkenal dunia, sebagai penganut Hindu yang taat juga sangat mengagumi Yesus Kristus dan ajaran-Nya (Injil). Di dalam otobiografinya ia bersaksi bahwa sewaktu muda sesungguhnya ia berkeinginan menjadi seorang Kristen karena melihat keteladanan Yesus Kristus. Ia pun datang menghadiri ibadah di sebuah gereja terdekat dan hendak mengutarakan niatnya untuk dibaptis. Betapa kecewanya ia karena jemaat di gereja itu memperlakukan dia secara tidak adil. Tidak seorang pun dari jemaat memberinya tempat duduk, bahkan mereka menyuruh Gandhi untuk pergi ke gereja orang-orang negro saja. Seketika itu juga Gandi meninggalkan gereja dengan sedih hati dan niatnya untuk menjadi Kristen pun langsung luntur.
Keinginan Gandi 'bertemu' Kristus secara pribadi justru di halangi orang Kristen sendiri. Bukankah masih banyak jemaat Tuhan, bahkan pelayan Tuhan memperlakukan saudara seiman dengan membeda-bedakan status dan memandang muka?
Inikah 'surat Kristus'? Tindakan yang demikian justru menjadi batu sandungan dan mencoreng nama Tuhan!
Baca: 2 Korintus 6:1-10
"Dalam hal apapun kami tidak memberi sebab orang tersandung, supaya pelayanan kami jangan sampai dicela." 2 Korintus 6:3
Menjadi 'surat Kristus' berarti kita sedang menyampaikan kesaksian dan menjadi saksi bagi Kristus, dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Sebagai pengikut Kristus, kita adalah saksi Kristus, dan sebagai saksi-Nya kita memiliki tugas dan tanggung jawab untuk menyampaikan kesaksian, baik itu melalui perkataan dan terlebih penting lagi melalui perbuatan nyata. Inilah yang sedang dilihat dan dibaca oleh orang lain!
Ada banyak orang Kristen yang tidak menyadari atau berlagak tidak tahu bahwa dirinya adalah 'surat Kristus' yang dibaca oleh semua orang, terbukti jelas dari tingkah lakunya yang tidak bisa menjadi teladan bagi orang lain. Orang-orang dunia pun akhirnya merasa alergi dan antipati ketika mendengar kata 'Kristen' karena mereka melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana kehidupan orang yang berlabel 'Kristen' sangat mengecewakan dan sama sekali tidak mencerminkan karakter Kristus. Akhirnya hal ini menjadi penghalang bagi orang dunia untuk mengenal lebih dalam tentang Kristus, apalagi percaya kepada-Nya. Mahatma Gandhi, seorang pejuang hak-hak asasi manusia terkenal dunia, sebagai penganut Hindu yang taat juga sangat mengagumi Yesus Kristus dan ajaran-Nya (Injil). Di dalam otobiografinya ia bersaksi bahwa sewaktu muda sesungguhnya ia berkeinginan menjadi seorang Kristen karena melihat keteladanan Yesus Kristus. Ia pun datang menghadiri ibadah di sebuah gereja terdekat dan hendak mengutarakan niatnya untuk dibaptis. Betapa kecewanya ia karena jemaat di gereja itu memperlakukan dia secara tidak adil. Tidak seorang pun dari jemaat memberinya tempat duduk, bahkan mereka menyuruh Gandhi untuk pergi ke gereja orang-orang negro saja. Seketika itu juga Gandi meninggalkan gereja dengan sedih hati dan niatnya untuk menjadi Kristen pun langsung luntur.
Keinginan Gandi 'bertemu' Kristus secara pribadi justru di halangi orang Kristen sendiri. Bukankah masih banyak jemaat Tuhan, bahkan pelayan Tuhan memperlakukan saudara seiman dengan membeda-bedakan status dan memandang muka?
Inikah 'surat Kristus'? Tindakan yang demikian justru menjadi batu sandungan dan mencoreng nama Tuhan!
Tuesday, January 20, 2015
ORANG KRISTEN adalah SURAT KRISTUS
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 20 Januari 2015
Baca: 2 Korintus 3:1-18
"...kamu adalah surat Kristus, yang ditulis oleh pelayanan kami, ditulis bukan dengan tinta, tetapi dengan Roh dari Allah yang hidup," 2 Korintus 3:3
Selain sebagai garam dunia, terang dunia dan anak terang, keberadaan orang percaya di tengah dunia adalah sebagai surat Kristus. Apa maksudnya? Sebagai pengikut Kristus keberadaan kita seperti surat yang terbuka, yang dapat dibaca dan dikenal oleh semua orang. Melalui kehidupan kita orang lain akan melihat apakah Kristus ada di dalam kita. Oleh karena itu kita tidak boleh sembarangan atau sembrono dalam menjalani kehidupan kekristenan kita, karena di mana pun kita berada, ke mana pun kita pergi dan kapan pun waktunya, kita sedang mempertaruhkan nama Kristus di mata dunia. Sikap, tutur kata dan perilaku kita sehari-hari akan terlihat jelas seperti coretan di lembaran kertas kehidupan; inilah surat terbuka kita, di mana orang lain dapat melihat dan membacanya secara langsung.
Rasul Paulus menegaskan bahwa tulisan-tulisan yang dapat dibaca oleh orang lain itu bukan ditulis dengan tinta biasa, melainkan dengan Roh dari Allah yang hidup. Di zaman bangsa Israel Tuhan menuliskan hukum-hukum-Nya pada loh batu di gunung Sinai (baca Keluaran 31:18), tapi kini Tuhan memberikan firman-Nya pada loh hati orang percaya, "Aku akan menaruh Taurat-Ku dalam batin mereka dan menuliskannya dalam hati mereka;" (Yeremia 31:33). Tuhan menambahkan, "Aku akan memberikan mereka hati yang lain dan roh yang baru di dalam batin mereka; juga Aku akan menjauhkan dari tubuh mereka hati yang keras dan memberikan mereka hati yang taat, supaya mereka hidup menurut segala ketetapan-Ku dan peraturan-peraturan-Ku dengan setia;" (Yehezkiel 11:19-20). Artinya, Firman Tuhan "...dekat kepadamu, yakni di dalam mulutmu dan di dalam hatimu." (Roma 10:8).
'Menjadi surat Kristus' berbicara tentang sikap hati kita terhadap firman Tuhan. "Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan." (Amsal 4:23). Bagaimana menjaga hati kita? Dengan menjaganya sesuai dengan firman Tuhan (ketaatan). Ketaatan adalah sebuah pilihan hidup, bukan masalah bakat atau talenta, dan Tuhan sudah memberikan kepada kita Penolong yaitu Roh Kudus, yang menuntun, membimbing dan memberi kesanggupan kepada kita untuk melakukan firman Tuhan!
Ketaatan terhadap firman adalah langkah awal menjadi surat Kristus!
Baca: 2 Korintus 3:1-18
"...kamu adalah surat Kristus, yang ditulis oleh pelayanan kami, ditulis bukan dengan tinta, tetapi dengan Roh dari Allah yang hidup," 2 Korintus 3:3
Selain sebagai garam dunia, terang dunia dan anak terang, keberadaan orang percaya di tengah dunia adalah sebagai surat Kristus. Apa maksudnya? Sebagai pengikut Kristus keberadaan kita seperti surat yang terbuka, yang dapat dibaca dan dikenal oleh semua orang. Melalui kehidupan kita orang lain akan melihat apakah Kristus ada di dalam kita. Oleh karena itu kita tidak boleh sembarangan atau sembrono dalam menjalani kehidupan kekristenan kita, karena di mana pun kita berada, ke mana pun kita pergi dan kapan pun waktunya, kita sedang mempertaruhkan nama Kristus di mata dunia. Sikap, tutur kata dan perilaku kita sehari-hari akan terlihat jelas seperti coretan di lembaran kertas kehidupan; inilah surat terbuka kita, di mana orang lain dapat melihat dan membacanya secara langsung.
Rasul Paulus menegaskan bahwa tulisan-tulisan yang dapat dibaca oleh orang lain itu bukan ditulis dengan tinta biasa, melainkan dengan Roh dari Allah yang hidup. Di zaman bangsa Israel Tuhan menuliskan hukum-hukum-Nya pada loh batu di gunung Sinai (baca Keluaran 31:18), tapi kini Tuhan memberikan firman-Nya pada loh hati orang percaya, "Aku akan menaruh Taurat-Ku dalam batin mereka dan menuliskannya dalam hati mereka;" (Yeremia 31:33). Tuhan menambahkan, "Aku akan memberikan mereka hati yang lain dan roh yang baru di dalam batin mereka; juga Aku akan menjauhkan dari tubuh mereka hati yang keras dan memberikan mereka hati yang taat, supaya mereka hidup menurut segala ketetapan-Ku dan peraturan-peraturan-Ku dengan setia;" (Yehezkiel 11:19-20). Artinya, Firman Tuhan "...dekat kepadamu, yakni di dalam mulutmu dan di dalam hatimu." (Roma 10:8).
'Menjadi surat Kristus' berbicara tentang sikap hati kita terhadap firman Tuhan. "Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan." (Amsal 4:23). Bagaimana menjaga hati kita? Dengan menjaganya sesuai dengan firman Tuhan (ketaatan). Ketaatan adalah sebuah pilihan hidup, bukan masalah bakat atau talenta, dan Tuhan sudah memberikan kepada kita Penolong yaitu Roh Kudus, yang menuntun, membimbing dan memberi kesanggupan kepada kita untuk melakukan firman Tuhan!
Ketaatan terhadap firman adalah langkah awal menjadi surat Kristus!
Monday, January 19, 2015
PELITA YANG BERCAHAYA (2)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 19 Januari 2015
Baca: Markus 4:21-25
"Orang membawa pelita bukan supaya ditempatkan di bawah gantang atau di bawah tempat tidur, melainkan supaya ditaruh di atas kaki dian." Markus 4:21
Kita tahu bahwa fungsi utama dari sebuah pelita adalah memberi penerangan di kegelapan. Dunia tempat kita berpijak ini adalah dunia yang dipenuhi dan dikuasai oleh kegelapan, karena itu banyak orang yang tersesat dan "...lebih menyukai kegelapan dari pada terang," (Yohanes 3:19). Namun kita yang telah menerima terang Kristus "...jangan tinggal di dalam kegelapan." (Yohanes 12:46), jalankan fungsi sebagai pelita yang memancarkan cahaya.
Selain berguna sebagai penerangan, orang membawa pelita di tengah kegelapan malam dengan tujuan supaya tidak mengalami kedinginan. Dalam hal ini pelita juga berfungsi untuk menghangatkan tubuh. Begitulah seharusnya keberadaan orang percaya di tengah dunia ini yaitu mampu menghadirkan kehangatan dan keteduhan bagi orang-orang di sekitarnya, sebab dunia saat ini telah menjadi dingin, maka kasih kebanyakan orang pun akan menjadi dingin. "Manusia akan mencintai dirinya sendiri...tidak tahu berterima kasih...tidak tahu mengasihi, tidak mau berdamai..." (baca 2 Timotius 3:2-4). Mampukah kita tampil sebagai pribadi yang berbeda, yang menghasilkan buah Roh: "...kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri." (Galatia 5:22-23). Di samping itu, biasanya orang menggunakan pelita ketika sedang mencari sesuatu yang hilang atau tersembunyi. Orang-orang dunia saat ini telah kehilangan banyak hal: kasih yang tulus, kebaikan, perhatian, damai sejahtera dan sukacita. Adakah kehadiran kita mampu mengisi sisi yang hilang yang selama ini tidak mereka dapatkan dari dunia ini?
Namun ternyata banyak orang Kristen yang tidak bisa menjalankan fungsinya sebagai pelita karena terhalang oleh kesaksian hidupnya sendiri yang tidak bisa menjadi berkat bagi orang lain, di mana perkataan tidak sesuai perbuatan. Karena itu perlu sekali kita mengoreksi diri, sebab "...iman bekerjasama dengan perbuatan-perbuatan dan oleh perbuatan-perbuatan itu iman menjadi sempurna." (Yakobus 2:22).
"...hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga." Matius 5:16
Baca: Markus 4:21-25
"Orang membawa pelita bukan supaya ditempatkan di bawah gantang atau di bawah tempat tidur, melainkan supaya ditaruh di atas kaki dian." Markus 4:21
Kita tahu bahwa fungsi utama dari sebuah pelita adalah memberi penerangan di kegelapan. Dunia tempat kita berpijak ini adalah dunia yang dipenuhi dan dikuasai oleh kegelapan, karena itu banyak orang yang tersesat dan "...lebih menyukai kegelapan dari pada terang," (Yohanes 3:19). Namun kita yang telah menerima terang Kristus "...jangan tinggal di dalam kegelapan." (Yohanes 12:46), jalankan fungsi sebagai pelita yang memancarkan cahaya.
Selain berguna sebagai penerangan, orang membawa pelita di tengah kegelapan malam dengan tujuan supaya tidak mengalami kedinginan. Dalam hal ini pelita juga berfungsi untuk menghangatkan tubuh. Begitulah seharusnya keberadaan orang percaya di tengah dunia ini yaitu mampu menghadirkan kehangatan dan keteduhan bagi orang-orang di sekitarnya, sebab dunia saat ini telah menjadi dingin, maka kasih kebanyakan orang pun akan menjadi dingin. "Manusia akan mencintai dirinya sendiri...tidak tahu berterima kasih...tidak tahu mengasihi, tidak mau berdamai..." (baca 2 Timotius 3:2-4). Mampukah kita tampil sebagai pribadi yang berbeda, yang menghasilkan buah Roh: "...kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri." (Galatia 5:22-23). Di samping itu, biasanya orang menggunakan pelita ketika sedang mencari sesuatu yang hilang atau tersembunyi. Orang-orang dunia saat ini telah kehilangan banyak hal: kasih yang tulus, kebaikan, perhatian, damai sejahtera dan sukacita. Adakah kehadiran kita mampu mengisi sisi yang hilang yang selama ini tidak mereka dapatkan dari dunia ini?
Namun ternyata banyak orang Kristen yang tidak bisa menjalankan fungsinya sebagai pelita karena terhalang oleh kesaksian hidupnya sendiri yang tidak bisa menjadi berkat bagi orang lain, di mana perkataan tidak sesuai perbuatan. Karena itu perlu sekali kita mengoreksi diri, sebab "...iman bekerjasama dengan perbuatan-perbuatan dan oleh perbuatan-perbuatan itu iman menjadi sempurna." (Yakobus 2:22).
"...hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga." Matius 5:16
Sunday, January 18, 2015
PELITA YANG BERCAHAYA (1)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 18 Januari 2015
Baca: Lukas 8:16-18
"Sebab tidak ada sesuatu yang tersembunyi yang tidak akan dinyatakan, dan tidak ada sesuatu yang rahasia yang tidak akan diketahui dan diumumkan." Lukas 8:17
Pelita adalah lampu dengan bahan bakar minyak. Di zaman sekarang ini sudah jarang sekali orang menggunakan pelita untuk menerangi rumahnya karena semua orang menggunakan tenaga listrik. Terkecuali di daerah-daerah terpencil, pelosok, pedalaman atau di lereng-lereng pegunungan mungkin masih ada orang yang menggunakan pelita sebagai alat penerangan.
Menjadi pelita adalah panggilan Tuhan bagi setiap orang percaya. Mengapa? Karena Tuhan telah memindahkan kita dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib (baca 1 Petrus 2:9). Karena itu Tuhan menghendaki kita memiliki kehidupan yang bersinar di tengah-tengah dunia ini. Kita pasti hafal dengan lirik lagu rohani ini: "Jadikanku berkat-Mu Tuhan. Jadi terang bagi sesama. Kami yang telah diselamatkan, jadi terang Tuhan. Reff: Bagaikan pelita yang menyala di tengah kegelapan, yang hidup bercahaya di depan semua orang. Agar mereka lihat dan memuliakan Allah Bapa di sorga." Menjadi pelita berarti menjadi berkat bagi orang lain. Menjadi pelita di mana? Di mana pun kita berada dan kapan pun waktunya: bisa di kantor, di pabrik, di sekolah, di kampus, dan juga di tempat kita tinggal. Menjadi pelita bagi orang lain tidak harus selalu menjadi seorang fulltimer di gereja. Apalah artinya kita sibuk dengan jadwal pelayanan yang padat, jika kehidupan kita sendiri tidak menjadi terang dan tidak berdampak bagi orang lain? "Baiklah tiap-tiap orang menguji pekerjaannya sendiri; maka ia boleh bermegah melihat keadaannya sendiri dan bukan melihat keadaan orang lain." (Galatia 6:4).
Ketika pelita dinyalakan sumbunya akan semakin terbakar, artinya mendatangkan kerugian bagi orang yang menyalakan pelita itu. Jadi ada harga yang harus kita bayar untuk menjadi pelita bagi orang lain! Kita harus siap untuk berkorban dan rugi. Jika kita menyayangkan hal itu maka pelita tidak akan pernah menyala. Alkitab menyatakan, "Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu;" (Matius 20:26-27). Menjadi pelita berarti harus rela menjadi hamba dan pelayan bagi orang lain, sebagaimana Tuhan Yesus teladankan bagi kita! (Bersambung)
Baca: Lukas 8:16-18
"Sebab tidak ada sesuatu yang tersembunyi yang tidak akan dinyatakan, dan tidak ada sesuatu yang rahasia yang tidak akan diketahui dan diumumkan." Lukas 8:17
Pelita adalah lampu dengan bahan bakar minyak. Di zaman sekarang ini sudah jarang sekali orang menggunakan pelita untuk menerangi rumahnya karena semua orang menggunakan tenaga listrik. Terkecuali di daerah-daerah terpencil, pelosok, pedalaman atau di lereng-lereng pegunungan mungkin masih ada orang yang menggunakan pelita sebagai alat penerangan.
Menjadi pelita adalah panggilan Tuhan bagi setiap orang percaya. Mengapa? Karena Tuhan telah memindahkan kita dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib (baca 1 Petrus 2:9). Karena itu Tuhan menghendaki kita memiliki kehidupan yang bersinar di tengah-tengah dunia ini. Kita pasti hafal dengan lirik lagu rohani ini: "Jadikanku berkat-Mu Tuhan. Jadi terang bagi sesama. Kami yang telah diselamatkan, jadi terang Tuhan. Reff: Bagaikan pelita yang menyala di tengah kegelapan, yang hidup bercahaya di depan semua orang. Agar mereka lihat dan memuliakan Allah Bapa di sorga." Menjadi pelita berarti menjadi berkat bagi orang lain. Menjadi pelita di mana? Di mana pun kita berada dan kapan pun waktunya: bisa di kantor, di pabrik, di sekolah, di kampus, dan juga di tempat kita tinggal. Menjadi pelita bagi orang lain tidak harus selalu menjadi seorang fulltimer di gereja. Apalah artinya kita sibuk dengan jadwal pelayanan yang padat, jika kehidupan kita sendiri tidak menjadi terang dan tidak berdampak bagi orang lain? "Baiklah tiap-tiap orang menguji pekerjaannya sendiri; maka ia boleh bermegah melihat keadaannya sendiri dan bukan melihat keadaan orang lain." (Galatia 6:4).
Ketika pelita dinyalakan sumbunya akan semakin terbakar, artinya mendatangkan kerugian bagi orang yang menyalakan pelita itu. Jadi ada harga yang harus kita bayar untuk menjadi pelita bagi orang lain! Kita harus siap untuk berkorban dan rugi. Jika kita menyayangkan hal itu maka pelita tidak akan pernah menyala. Alkitab menyatakan, "Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu;" (Matius 20:26-27). Menjadi pelita berarti harus rela menjadi hamba dan pelayan bagi orang lain, sebagaimana Tuhan Yesus teladankan bagi kita! (Bersambung)
Saturday, January 17, 2015
ORANG KRISTEN adalah ANAK TERANG
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 17 Januari 2015
Baca: Efesus 5:1-21
"Memang dahulu kamu adalah kegelapan, tetapi sekarang kamu adalah terang di dalam Tuhan." Efesus 5:8
Alkitab menegaskan: "...siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang." (2 Korintus 5:17). Sebagai ciptaan baru berarti kita telah menanggalkan manusia lama kita dan hidup mengenakan manusia baru. Mengapa? Sebab Tuhan sudah memindahkan kita dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib (baca 1 Petrus 2:9). Jadi kita tidak lagi berada di dalam kegelapan, melainkan di dalam terang Tuhan. Status kita pun berubah menjadi anak-anak terang, yang hanya "...berbuahkan kebaikan dan keadilan dan kebenaran," (Efesus 5:9).
Hidup sebagai anak terang berarti kita tidak lagi "...turut mengambil bagian dalam perbuatan-perbuatan kegelapan yang tidak berbuahkan apa-apa, tetapi sebaliknya telanjangilah perbuatan-perbuatan itu." (Efesus 5:11). Dengan kata lain kita tidak lagi berkompromi dengan dosa, kita tidak lagi hidup menuruti keinginan daging. "Perbuatan daging telah nyata, yaitu: percabulan, kecemaran, hawa nafsu, penyembahan berhala, sihir, perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, percideraan, roh pemecah, kedengkian, kemabukan, pesta pora dan sebagainya." (Galatia 5:19-21). Sementara, dunia saat ini dipenuhi kegelapan yang hanya bisa dikalahkan oleh terang. Kegelapan tidak dapat mengalahkan terang, tetapi terang dapat mengalahkan kegelapan. Ketika kita menyalakan sebuah lampu atau obor di tempat yang gelap seketika itu juga kegelapan akan sirna. Sepekat apa pun kegelapan itu, terang tetap mampu menembusnya.
Sebagai anak-anak terang kita harus mampu menembus dan mengalahkan kegelapan dunia ini yaitu melalui keteladanan hidup kita, sebab keteladanan itu jauh lebih dahsyat dari kekuatan perkataan. Kekristenan adalah sesuatu yang bisa dilihat, bukan hanya di dalam gedung gereja dengan segala kegiatan yang berbau pelayanan, tetapi harus bisa dilihat oleh dunia, baik melalui perkataan dan perbuatan, sebab iman tanpa perbuatan pada hakekatnya adalah mati.
"...jalan orang benar itu seperti cahaya fajar, yang kian bertambah terang sampai rembang tengah hari." Amsal 4:18
Baca: Efesus 5:1-21
"Memang dahulu kamu adalah kegelapan, tetapi sekarang kamu adalah terang di dalam Tuhan." Efesus 5:8
Alkitab menegaskan: "...siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang." (2 Korintus 5:17). Sebagai ciptaan baru berarti kita telah menanggalkan manusia lama kita dan hidup mengenakan manusia baru. Mengapa? Sebab Tuhan sudah memindahkan kita dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib (baca 1 Petrus 2:9). Jadi kita tidak lagi berada di dalam kegelapan, melainkan di dalam terang Tuhan. Status kita pun berubah menjadi anak-anak terang, yang hanya "...berbuahkan kebaikan dan keadilan dan kebenaran," (Efesus 5:9).
Hidup sebagai anak terang berarti kita tidak lagi "...turut mengambil bagian dalam perbuatan-perbuatan kegelapan yang tidak berbuahkan apa-apa, tetapi sebaliknya telanjangilah perbuatan-perbuatan itu." (Efesus 5:11). Dengan kata lain kita tidak lagi berkompromi dengan dosa, kita tidak lagi hidup menuruti keinginan daging. "Perbuatan daging telah nyata, yaitu: percabulan, kecemaran, hawa nafsu, penyembahan berhala, sihir, perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, percideraan, roh pemecah, kedengkian, kemabukan, pesta pora dan sebagainya." (Galatia 5:19-21). Sementara, dunia saat ini dipenuhi kegelapan yang hanya bisa dikalahkan oleh terang. Kegelapan tidak dapat mengalahkan terang, tetapi terang dapat mengalahkan kegelapan. Ketika kita menyalakan sebuah lampu atau obor di tempat yang gelap seketika itu juga kegelapan akan sirna. Sepekat apa pun kegelapan itu, terang tetap mampu menembusnya.
Sebagai anak-anak terang kita harus mampu menembus dan mengalahkan kegelapan dunia ini yaitu melalui keteladanan hidup kita, sebab keteladanan itu jauh lebih dahsyat dari kekuatan perkataan. Kekristenan adalah sesuatu yang bisa dilihat, bukan hanya di dalam gedung gereja dengan segala kegiatan yang berbau pelayanan, tetapi harus bisa dilihat oleh dunia, baik melalui perkataan dan perbuatan, sebab iman tanpa perbuatan pada hakekatnya adalah mati.
"...jalan orang benar itu seperti cahaya fajar, yang kian bertambah terang sampai rembang tengah hari." Amsal 4:18
Friday, January 16, 2015
ORANG KRISTEN adalah TERANG DUNIA
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 16 Januari 2015
Baca: Matius 5:14-16
"Kamu adalah terang dunia." Matius 5:14a
Tuhan Yesus berkata, "Akulah terang dunia; barangsiapa mengikut Aku, ia tidak akan berjalan dalam kegelapan, melainkan ia akan mempunyai terang hidup." (Yohanes 8:12). Rasul Yohanes dalam suratnya menegaskan, "Barangsiapa mengatakan, bahwa ia ada di dalam Dia, ia wajib hidup sama seperti Kristus telah hidup." (1 Yohanes 2:6). Karena Tuhan Yesus adalah terang dunia, kita sebagai pengikut-Nya pun dituntut untuk menjadi terang bagi dunia ini yaitu menghadirkan terang di tengah dunia yang diliputi kegelapan. Di dalam Tuhan setiap orang percaya memiliki kedudukan yang tinggi sebagaimana oleh rasul Petrus, "...kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib:" (1 Petrus 2:9).
Keberadaan kita seperti kota di atas gunung yang tidak mungkin tersembunyi. Semua mata akan tertuju kepada kita karena kita berada di tempat tinggi dan memiliki cahaya kemuliaan Kristus. Sebagai terang, sesungguhnya setiap orang percaya mempunyai kuasa untuk menguasai dan mengubah keadaan. Bagaimana kita bisa menjadi terang apabila pelita kita tertutup gantang? Terang dari Tuhan tidak boleh ditutupi, disembunyikan, apalagi dipadamkan, sebaliknya harus dipancarkan kepada semua orang, diangkat ke tempat yang tinggi agar dapat menerangi sekitarnya seperti pelita yang menyala, di mana cahayanya menerangi seluruh ruangan di dalam rumah.
Gantang adalah wadah untuk mengukur atau menakar beras, ukuran takaran yang berisikan 3,125 kg. Sebuah pelita yang ditutup dengan gantang berarti tidak akan memancarkan terang atau cahaya. Pelita yang ditutup dengan gantang sama dengan kehidupan orang Kristen yang tidak bisa menjadi berkat, yang cahayanya tidak bisa memancar keluar oleh karena masalah ekonomi atau penghidupannya. Banyak sekali orang Kristen yang dikalahkan oleh masalah atau situasi yang ada sehingga hidupnya setali tiga uang dengan orang-orang di luar Tuhan, dan malah menjadi batu sandungan bagi mereka.
Sudahkan kehidupan kita bercahaya bagi orang-orang di sekitar kita?
Baca: Matius 5:14-16
"Kamu adalah terang dunia." Matius 5:14a
Tuhan Yesus berkata, "Akulah terang dunia; barangsiapa mengikut Aku, ia tidak akan berjalan dalam kegelapan, melainkan ia akan mempunyai terang hidup." (Yohanes 8:12). Rasul Yohanes dalam suratnya menegaskan, "Barangsiapa mengatakan, bahwa ia ada di dalam Dia, ia wajib hidup sama seperti Kristus telah hidup." (1 Yohanes 2:6). Karena Tuhan Yesus adalah terang dunia, kita sebagai pengikut-Nya pun dituntut untuk menjadi terang bagi dunia ini yaitu menghadirkan terang di tengah dunia yang diliputi kegelapan. Di dalam Tuhan setiap orang percaya memiliki kedudukan yang tinggi sebagaimana oleh rasul Petrus, "...kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib:" (1 Petrus 2:9).
Keberadaan kita seperti kota di atas gunung yang tidak mungkin tersembunyi. Semua mata akan tertuju kepada kita karena kita berada di tempat tinggi dan memiliki cahaya kemuliaan Kristus. Sebagai terang, sesungguhnya setiap orang percaya mempunyai kuasa untuk menguasai dan mengubah keadaan. Bagaimana kita bisa menjadi terang apabila pelita kita tertutup gantang? Terang dari Tuhan tidak boleh ditutupi, disembunyikan, apalagi dipadamkan, sebaliknya harus dipancarkan kepada semua orang, diangkat ke tempat yang tinggi agar dapat menerangi sekitarnya seperti pelita yang menyala, di mana cahayanya menerangi seluruh ruangan di dalam rumah.
Gantang adalah wadah untuk mengukur atau menakar beras, ukuran takaran yang berisikan 3,125 kg. Sebuah pelita yang ditutup dengan gantang berarti tidak akan memancarkan terang atau cahaya. Pelita yang ditutup dengan gantang sama dengan kehidupan orang Kristen yang tidak bisa menjadi berkat, yang cahayanya tidak bisa memancar keluar oleh karena masalah ekonomi atau penghidupannya. Banyak sekali orang Kristen yang dikalahkan oleh masalah atau situasi yang ada sehingga hidupnya setali tiga uang dengan orang-orang di luar Tuhan, dan malah menjadi batu sandungan bagi mereka.
Sudahkan kehidupan kita bercahaya bagi orang-orang di sekitar kita?
Thursday, January 15, 2015
GARAM DUNIA: Hidup Dalam Kemurnian
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 15 Januari 2015
Baca: 2 Raja-Raja 2:19-22
"Demikianlah air itu menjadi sehat sampai hari ini sesuai dengan firman yang telah disampaikan Elisa." 2 Raja-Raja 2:22
Perikop dari pembacaan firman kita adalah Elisa menyehatkan air di Yerikho. Penduduk kota Yerikho menyampaikan keluhannya kepada Elisa tentang keberadaan air di kota itu yang keadaannya tidak baik, sehingga "...di negeri ini sering ada keguguran bayi." (2 Raja-Raja 2:19). Atas petunjuk Tuhan, Elisa memerintahkan orang-orang di kota itu untuk mengambil sebuah pinggan baru dan menaruhkan garam ke dalamnya dan kemudian melemparkan garam itu ke mata air di kota itu. Mujizat pun terjadi. "Telah Kusehatkan air ini, maka tidak akan terjadi lagi olehnya kematian atau keguguran bayi." (2 Raja-Raja 2:21). Dalam kasus ini garam memiliki fungsi untuk memurnikan dan mensterilkan air dari racun-racun yang mematikan, sehingga "...air itu menjadi sehat sampai hari ini sesuai dengan firman yang telah disampaikan Elisa." (ayat nas).
Untuk menjadi garam dunia kita pun dituntut memiliki kemurnian hidup. Arti kata kemurnian adalah keadaan murni, keaslian, kesucian. Bagaimana mungkin kita bisa memurnikan orang lain atau menjadi berkat bagi orang lain jika kita sendiri tidak hidup dalam kekudusan dan kesucian? Sebab "Allah memanggil kita bukan untuk melakukan apa yang cemar, melainkan apa yang kudus." (1 Tesalonika 4:7). Keberadaan kita harus dapat memurnikan dunia yang dipenuhi oleh segala bentuk kecemaran ini. Karena itu kita harus terbebas dari segala jenis kejahatan dan kecemaran terlebih dahulu. Hidup dalam kemurnian berarti menjadi teladan "...dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu." (1 Timotius 4:12b).
Air di kota Yerikho itu menjadi sehat oleh karena kuasa firman yang disampaikan Elisa, artinya Tuhan bekerja melalui media garam untuk memurnikan air yang cemar itu. Kehidupan kita pun akan menjadi 'garam' bagi dunia dan mampu menjalankan fungsinya dengan baik apabila kuasa firman Tuhan bekerja di dalam kita. "Bukankah firman-Ku seperti api, demikianlah firman TUHAN dan seperti palu yang menghancurkan bukit batu?" (Yeremia 23:29).
"...hendaklah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu sama seperti Dia yang kudus, yang telah memanggil kamu," 1 Petrus 1:15
Baca: 2 Raja-Raja 2:19-22
"Demikianlah air itu menjadi sehat sampai hari ini sesuai dengan firman yang telah disampaikan Elisa." 2 Raja-Raja 2:22
Perikop dari pembacaan firman kita adalah Elisa menyehatkan air di Yerikho. Penduduk kota Yerikho menyampaikan keluhannya kepada Elisa tentang keberadaan air di kota itu yang keadaannya tidak baik, sehingga "...di negeri ini sering ada keguguran bayi." (2 Raja-Raja 2:19). Atas petunjuk Tuhan, Elisa memerintahkan orang-orang di kota itu untuk mengambil sebuah pinggan baru dan menaruhkan garam ke dalamnya dan kemudian melemparkan garam itu ke mata air di kota itu. Mujizat pun terjadi. "Telah Kusehatkan air ini, maka tidak akan terjadi lagi olehnya kematian atau keguguran bayi." (2 Raja-Raja 2:21). Dalam kasus ini garam memiliki fungsi untuk memurnikan dan mensterilkan air dari racun-racun yang mematikan, sehingga "...air itu menjadi sehat sampai hari ini sesuai dengan firman yang telah disampaikan Elisa." (ayat nas).
Untuk menjadi garam dunia kita pun dituntut memiliki kemurnian hidup. Arti kata kemurnian adalah keadaan murni, keaslian, kesucian. Bagaimana mungkin kita bisa memurnikan orang lain atau menjadi berkat bagi orang lain jika kita sendiri tidak hidup dalam kekudusan dan kesucian? Sebab "Allah memanggil kita bukan untuk melakukan apa yang cemar, melainkan apa yang kudus." (1 Tesalonika 4:7). Keberadaan kita harus dapat memurnikan dunia yang dipenuhi oleh segala bentuk kecemaran ini. Karena itu kita harus terbebas dari segala jenis kejahatan dan kecemaran terlebih dahulu. Hidup dalam kemurnian berarti menjadi teladan "...dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu." (1 Timotius 4:12b).
Air di kota Yerikho itu menjadi sehat oleh karena kuasa firman yang disampaikan Elisa, artinya Tuhan bekerja melalui media garam untuk memurnikan air yang cemar itu. Kehidupan kita pun akan menjadi 'garam' bagi dunia dan mampu menjalankan fungsinya dengan baik apabila kuasa firman Tuhan bekerja di dalam kita. "Bukankah firman-Ku seperti api, demikianlah firman TUHAN dan seperti palu yang menghancurkan bukit batu?" (Yeremia 23:29).
"...hendaklah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu sama seperti Dia yang kudus, yang telah memanggil kamu," 1 Petrus 1:15
Wednesday, January 14, 2015
ORANG KRISTEN adalah GARAM DUNIA
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 14 Januari 2015
Baca: Matius 5:13
"Kamu adalah garam dunia." Matius 5:13
Apa yang Saudara ketahui tentang garam? Garam adalah salah satu kebutuhan dapur utama di tiap-tiap rumah tangga. Kehadiran garam di dapur membuat semua masakan terasa mantap dan sedap. Bila para ibu rumah tangga memasak sayur tanpa garam bisa-bisa akan dimarahi suaminya karena rasa sayur akan terasa hambar. Garam, baru akan memiliki nilai guna apabila memiliki rasa asin. "Garam memang baik, tetapi jika garam juga menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya baik untuk ladang maupun untuk pupuk, dan orang membuangnya saja." (Lukas 14:34-35a).
Manfaat garam selain membuat sesuatu yang tawar menjadi ada rasanya, juga sebagai bahan pengawet makanan, dapat membunuh kuman, mencegah pembusukan dan juga membuat steril. Adapun makanan yang diawetkan dengan garam antara lain telur, ikan, daging, makanan kaleng dan lainnya. Ikan yang diawetkan dengan garam dapat dikonsumsi berbulan-bulan kemudian. Ada beberapa unsur yang terkandung di dalam garam, di antaranya adalah natrium dan klorida. Secara kimia kedua unsur tersebut adalah zat beracun, namun apabila kedua unsur tersebut digabungkan justru menjadi sesuatu yang sangat berguna bagi kehidupan manusia. Cara kerja garam itu perlahan-lahan namun pasti: meleleh, melebur dan akhirnya tidak terlihat lagi wujudnya, yang tinggal hanya rasanya. Jika garam itu tetap mempertahankan wujud asalnya, apakah orang akan mau memakannya? Tentu saja tidak!
Kalimat "Kamu adalah garam dunia." adalah sebuah kalimat penegasan, artinya keberadaan orang percaya sesungguhnya adalah garam dunia. Artinya keberadaan kita di tengah-tengah dunia haruslah dapat memberi rasa bagi dunia yang sedang tawar ini, rasa yang dapat dinikmati dan berguna bagi semua orang. Garam yang tidak asin atau sudah menjadi tawar adalah gambaran dari kehidupan orang Kristen yang tidak bisa menjadi berkat bagi orang-orang di sekitarnya. Untuk menjadi garam dunia dibutuhkan sebuah pengorbanan. Sebagaimana garam itu harus meleleh, melebur dan tidak terlihat lagi wujudnya, kita pun harus rela menanggalkan 'manusia lama' kita: menyalibkan kedagingan kita, dan tidak lagi menjadi orang yang egois.
Tanpa pengorbanan, hidup kita takkan pernah bisa menjadi 'garam' bagi dunia ini!
Baca: Matius 5:13
"Kamu adalah garam dunia." Matius 5:13
Apa yang Saudara ketahui tentang garam? Garam adalah salah satu kebutuhan dapur utama di tiap-tiap rumah tangga. Kehadiran garam di dapur membuat semua masakan terasa mantap dan sedap. Bila para ibu rumah tangga memasak sayur tanpa garam bisa-bisa akan dimarahi suaminya karena rasa sayur akan terasa hambar. Garam, baru akan memiliki nilai guna apabila memiliki rasa asin. "Garam memang baik, tetapi jika garam juga menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya baik untuk ladang maupun untuk pupuk, dan orang membuangnya saja." (Lukas 14:34-35a).
Manfaat garam selain membuat sesuatu yang tawar menjadi ada rasanya, juga sebagai bahan pengawet makanan, dapat membunuh kuman, mencegah pembusukan dan juga membuat steril. Adapun makanan yang diawetkan dengan garam antara lain telur, ikan, daging, makanan kaleng dan lainnya. Ikan yang diawetkan dengan garam dapat dikonsumsi berbulan-bulan kemudian. Ada beberapa unsur yang terkandung di dalam garam, di antaranya adalah natrium dan klorida. Secara kimia kedua unsur tersebut adalah zat beracun, namun apabila kedua unsur tersebut digabungkan justru menjadi sesuatu yang sangat berguna bagi kehidupan manusia. Cara kerja garam itu perlahan-lahan namun pasti: meleleh, melebur dan akhirnya tidak terlihat lagi wujudnya, yang tinggal hanya rasanya. Jika garam itu tetap mempertahankan wujud asalnya, apakah orang akan mau memakannya? Tentu saja tidak!
Kalimat "Kamu adalah garam dunia." adalah sebuah kalimat penegasan, artinya keberadaan orang percaya sesungguhnya adalah garam dunia. Artinya keberadaan kita di tengah-tengah dunia haruslah dapat memberi rasa bagi dunia yang sedang tawar ini, rasa yang dapat dinikmati dan berguna bagi semua orang. Garam yang tidak asin atau sudah menjadi tawar adalah gambaran dari kehidupan orang Kristen yang tidak bisa menjadi berkat bagi orang-orang di sekitarnya. Untuk menjadi garam dunia dibutuhkan sebuah pengorbanan. Sebagaimana garam itu harus meleleh, melebur dan tidak terlihat lagi wujudnya, kita pun harus rela menanggalkan 'manusia lama' kita: menyalibkan kedagingan kita, dan tidak lagi menjadi orang yang egois.
Tanpa pengorbanan, hidup kita takkan pernah bisa menjadi 'garam' bagi dunia ini!
Tuesday, January 13, 2015
MENGUCAP SYUKUR: Menjadi Berkat Bagi Dunia
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 13 Januari 2015
Baca: Mazmur 105:1-45
"Bersyukurlah kepada TUHAN, serukanlah nama-Nya, perkenalkanlah perbuatan-Nya di antara bangsa-bangsa!" Mazmur 105:1
Bagi orang percaya, hidup ditengah-tengah dunia ini bukanlah perkara mudah. Mengapa? Karena orang-orang dunia menolak berita Injil dan juga menolak Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat. Itulah sebabnya Alkitab menyebut kita berada di tengah-tengah angkatan yang bengkok dan sesat. Dan bila dunia membenci kita dan memperlakukan kita secara tidak adil, kita tidak perlu terkejut lagi, karena firman Tuhan sudah menyatakannya.
"Jikalau dunia membenci kamu, ingatlah bahwa ia telah lebih dahulu membenci Aku dari pada kamu. Sekiranya kamu dari dunia, tentulah dunia mengasihi kamu sebagai miliknya. Tetapi karena kamu bukan dari dunia, melainkan Aku telah memilih kamu dari dunia, sebab itulah dunia membenci kamu." (Yohanes 15:18-19). Meski demikian "Janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan; lakukanlah apa yang baik bagi semua orang! Janganlah kamu kalah terhadap kejahatan, tetapi kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan!" (Roma 12:17, 21). Tuhan menghendaki kita memiliki kehidupan yang 'berbeda' dari dunia supaya mereka melihat sebuah keteladanan. Sikap, perkataan dan perbuatan kita harus mampu menjadi berkat bagi mereka. "Sebab dari buahnya pohon itu dikenal." (Matius 12:33b).
Ketika punya banyak masalah biasanya orang akan terus bermuram durja, uring-uringan, kecut, stres, mudah sekali marah dan tersinggung. Hal ini akan berdampak negatif bukan hanya bagi diri sendiri tapi orang lain pun akan terbawa atmosfir negatifnya. Bila kita tetap mengucap syukur meski diterpa badai masalah, orang lain yang melihat akan dikuatkan dan terberkati karena ada sesuatu yang berbeda dalam hidup kita. Akhirnya kesempatan untuk bersaksi semakin terbuka lebar. Saksikan campur tangan Tuhan: kebaikan-Nya, kasih-Nya, penyertaan-Nya, kemurahan-Nya, pertolongan-Nya. Dengan mengucap syukur dalam segala hal kita bisa menjadi berkat bagi orang-orang di sekitar kita, "...sehingga kamu bercahaya di antara mereka seperti bintang-bintang di dunia," (Filipi 2:15).
Bersyukurlah senantiasa, supaya nama Tuhan semakin dipermuliakan melalui kehidupan kita!
Baca: Mazmur 105:1-45
"Bersyukurlah kepada TUHAN, serukanlah nama-Nya, perkenalkanlah perbuatan-Nya di antara bangsa-bangsa!" Mazmur 105:1
Bagi orang percaya, hidup ditengah-tengah dunia ini bukanlah perkara mudah. Mengapa? Karena orang-orang dunia menolak berita Injil dan juga menolak Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat. Itulah sebabnya Alkitab menyebut kita berada di tengah-tengah angkatan yang bengkok dan sesat. Dan bila dunia membenci kita dan memperlakukan kita secara tidak adil, kita tidak perlu terkejut lagi, karena firman Tuhan sudah menyatakannya.
"Jikalau dunia membenci kamu, ingatlah bahwa ia telah lebih dahulu membenci Aku dari pada kamu. Sekiranya kamu dari dunia, tentulah dunia mengasihi kamu sebagai miliknya. Tetapi karena kamu bukan dari dunia, melainkan Aku telah memilih kamu dari dunia, sebab itulah dunia membenci kamu." (Yohanes 15:18-19). Meski demikian "Janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan; lakukanlah apa yang baik bagi semua orang! Janganlah kamu kalah terhadap kejahatan, tetapi kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan!" (Roma 12:17, 21). Tuhan menghendaki kita memiliki kehidupan yang 'berbeda' dari dunia supaya mereka melihat sebuah keteladanan. Sikap, perkataan dan perbuatan kita harus mampu menjadi berkat bagi mereka. "Sebab dari buahnya pohon itu dikenal." (Matius 12:33b).
Ketika punya banyak masalah biasanya orang akan terus bermuram durja, uring-uringan, kecut, stres, mudah sekali marah dan tersinggung. Hal ini akan berdampak negatif bukan hanya bagi diri sendiri tapi orang lain pun akan terbawa atmosfir negatifnya. Bila kita tetap mengucap syukur meski diterpa badai masalah, orang lain yang melihat akan dikuatkan dan terberkati karena ada sesuatu yang berbeda dalam hidup kita. Akhirnya kesempatan untuk bersaksi semakin terbuka lebar. Saksikan campur tangan Tuhan: kebaikan-Nya, kasih-Nya, penyertaan-Nya, kemurahan-Nya, pertolongan-Nya. Dengan mengucap syukur dalam segala hal kita bisa menjadi berkat bagi orang-orang di sekitar kita, "...sehingga kamu bercahaya di antara mereka seperti bintang-bintang di dunia," (Filipi 2:15).
Bersyukurlah senantiasa, supaya nama Tuhan semakin dipermuliakan melalui kehidupan kita!
Monday, January 12, 2015
MENGUCAP SYUKUR: Pintu Gerbang Mujizat (2)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 12 Januari 2015
Baca: Yohanes 6:1-15
"Lalu Yesus mengambil roti itu, mengucap syukur dan membagi-bagikannya kepada mereka yang duduk di situ, demikian juga dibuat-Nya dengan ikan-ikan itu, sebanyak yang mereka kehendaki." Yohanes 6:11
Suatu waktu, setelah berkhotbah di hadapan ribuan orang yang menyembuhkan sakit-penyakit banyak orang, Tuhan Yesus menyuruh murid-murid-Nya untuk memberi makan kepada orang banyak itu. Karena sudah seharian mengikut Tuhan, pastilah mereka lapar. Ini adalah bukti bahwa Ia tidak hanya memperhatikan kebutuhan rohani manusia namun juga memperhatikan kebutuhan jasmani, salah satunya berkenaan dengan makanan.
Mendapat perintah Tuhan ini murid-murid-Nya pun kelabakan. "Di manakah kita akan membeli roti, supaya mereka ini dapat makan?" (ayat 5). Tiba-tiba ada seorang anak yang mempunyai lima roti dan dua ikan menyerahkannya kepada murid-murid Yesus. Artinya ada korban yang dipersembahkan dari keterbatasan yang ada. Secara manusia lima roti dan dua ikan manalah cukup untuk memberi makan orang yang jumlahnya ribuan. Ini adalah mission impossible! Namun di tengah keterbatasan yang ada, yaitu lima roti dan dua ikan, Tuhan Yesus tetap mengucap syukur kepada Bapa di sorga. Setelah mengucap syukur, apa yang terjadi? Mujizat terjadi! Dengan hanya berbekal lima roti dan dua ikan Tuhan Yesus sanggap melakukan perkara yang dahsyat! Lima ribu orang laki-laki, tidak termasuk wanita dan anak-anak, diberi-Nya makan sampai kenyang, bahkan setelah dihitung masih ada sisa dua belas bakul. Bagi manusia itu mustahil, tetapi "Adakah sesuatu apapun yang mustahil untuk TUHAN?" (Kejadian 18:14).
Pekerjaan Tuhan tidak dapat diselami oleh pikiran dan logika manusia. "Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN. Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu." (Yesaya 55:8-9). Karena itu jangan pernah membatasi kuasa Tuhan yang tak terbatas itu dengan keterbatasan kita. Percayalah, "Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku." (Filipi 4:13). Perintah Tuhan acapkali memang tak masuk akal, aneh, dan sulit diterima dengan pikiran, salah satunya mengucap syukur dalam segala hal ini.
Jika kita mau membayar harga dan taat melakukan, ada mujizat dinyatakan!
Baca: Yohanes 6:1-15
"Lalu Yesus mengambil roti itu, mengucap syukur dan membagi-bagikannya kepada mereka yang duduk di situ, demikian juga dibuat-Nya dengan ikan-ikan itu, sebanyak yang mereka kehendaki." Yohanes 6:11
Suatu waktu, setelah berkhotbah di hadapan ribuan orang yang menyembuhkan sakit-penyakit banyak orang, Tuhan Yesus menyuruh murid-murid-Nya untuk memberi makan kepada orang banyak itu. Karena sudah seharian mengikut Tuhan, pastilah mereka lapar. Ini adalah bukti bahwa Ia tidak hanya memperhatikan kebutuhan rohani manusia namun juga memperhatikan kebutuhan jasmani, salah satunya berkenaan dengan makanan.
Mendapat perintah Tuhan ini murid-murid-Nya pun kelabakan. "Di manakah kita akan membeli roti, supaya mereka ini dapat makan?" (ayat 5). Tiba-tiba ada seorang anak yang mempunyai lima roti dan dua ikan menyerahkannya kepada murid-murid Yesus. Artinya ada korban yang dipersembahkan dari keterbatasan yang ada. Secara manusia lima roti dan dua ikan manalah cukup untuk memberi makan orang yang jumlahnya ribuan. Ini adalah mission impossible! Namun di tengah keterbatasan yang ada, yaitu lima roti dan dua ikan, Tuhan Yesus tetap mengucap syukur kepada Bapa di sorga. Setelah mengucap syukur, apa yang terjadi? Mujizat terjadi! Dengan hanya berbekal lima roti dan dua ikan Tuhan Yesus sanggap melakukan perkara yang dahsyat! Lima ribu orang laki-laki, tidak termasuk wanita dan anak-anak, diberi-Nya makan sampai kenyang, bahkan setelah dihitung masih ada sisa dua belas bakul. Bagi manusia itu mustahil, tetapi "Adakah sesuatu apapun yang mustahil untuk TUHAN?" (Kejadian 18:14).
Pekerjaan Tuhan tidak dapat diselami oleh pikiran dan logika manusia. "Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN. Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu." (Yesaya 55:8-9). Karena itu jangan pernah membatasi kuasa Tuhan yang tak terbatas itu dengan keterbatasan kita. Percayalah, "Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku." (Filipi 4:13). Perintah Tuhan acapkali memang tak masuk akal, aneh, dan sulit diterima dengan pikiran, salah satunya mengucap syukur dalam segala hal ini.
Jika kita mau membayar harga dan taat melakukan, ada mujizat dinyatakan!
Sunday, January 11, 2015
MENGUCAP SYUKUR: Pintu Gerbang Mujizat (1)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 11 Januari 2015
Baca: Mazmur 118:1-29
"Bersyukurlah kepada TUHAN, sebab Ia baik! Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya." Mazmur 118:1
Bila kita renungkan, sesungguhnya perjalanan hidup kita adalah rangkaian dari mujizat. Namun umumnya orang beranggapan bahwa yang disebut dengan mujizat adalah suatu perkara yang luar biasa, mengherankan dan tampak spektakuler seperti yang terjadi di acara-acara KKR (Kebaktian Kebangunan Rohani): orang lumpuh bisa berjalan, orang tuli bisa mendengar, orang buta dicelikkan matanya dan sebagainya. Sementara hal-hal yang kita alami sehari-hari: kita bisa bernafas, memiliki tubuh yang sehat, bisa bangun pagi dengan kekuatan yang baru, bisa beraktivitas atau bekerja, anak-anak tumbuh cerdas dan berhasil dalam studi kita nilai sebagai hal yang biasa dan sepele. Kita berpikir itu semua karena kuat dan gagah kita, padahal semua itu karena campur tangan Tuhan. Oleh karena itu kita patut bersyukur kepada Tuhan untuk semua itu.
Mengucap syukur adalah sikap yang mendatangkan mujizat. Dengan bersyukur kita mempersiapkan diri untuk menerima mujizat dari Tuhan. Pemazmur berkata, "Masuklah melalui pintu gerbang-Nya dengan nyanyian syukur, ke dalam pelataran-Nya dengan puji-pujian, bersyukurlah kepada-Nya dan pujilah nama-Nya!" (Mazmur 100:4). Jadi pintu gerbang memasuki kehidupan yang berkemenangan dan berkelimpahan adalah melalui ucapan syukur. Artinya ketika kita mengucap syukur pintu kesempatan, pintu kesembuhan, pintu pemulihan, pintu mujizat, pintu pertolongan, pintu berkat akan semakin terbuka bagi kita, sebab orang yang selalu bersyukur mampu melihat sisi positif di balik masalah, mampu melihat kebaikan di balik hal-hal buruk sekalipun, mampu melihat keajaiban di balik kemustahilan karena tahu bahwa "...Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia," (Roma 8:28). Sebaliknya orang yang suka bersungut-sungut hanya melihat hal-hal negatif di balik masalah, karena pikiran dipenuhi dengan keraguan, ketakutan dan kekuatiran sebagai tanda ketidakpercayaan akan kuasa Tuhan.
Ketika kita bersyukur kita sedang menyerahkan segala pergumulan hidup ini kepada Tuhan dan mengijinkan Dia bekerja sepenuhnya di dalam kita.
"TUHAN akan berperang untuk kamu, dan kamu akan diam saja." Keluaran 14:14
Baca: Mazmur 118:1-29
"Bersyukurlah kepada TUHAN, sebab Ia baik! Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya." Mazmur 118:1
Bila kita renungkan, sesungguhnya perjalanan hidup kita adalah rangkaian dari mujizat. Namun umumnya orang beranggapan bahwa yang disebut dengan mujizat adalah suatu perkara yang luar biasa, mengherankan dan tampak spektakuler seperti yang terjadi di acara-acara KKR (Kebaktian Kebangunan Rohani): orang lumpuh bisa berjalan, orang tuli bisa mendengar, orang buta dicelikkan matanya dan sebagainya. Sementara hal-hal yang kita alami sehari-hari: kita bisa bernafas, memiliki tubuh yang sehat, bisa bangun pagi dengan kekuatan yang baru, bisa beraktivitas atau bekerja, anak-anak tumbuh cerdas dan berhasil dalam studi kita nilai sebagai hal yang biasa dan sepele. Kita berpikir itu semua karena kuat dan gagah kita, padahal semua itu karena campur tangan Tuhan. Oleh karena itu kita patut bersyukur kepada Tuhan untuk semua itu.
Mengucap syukur adalah sikap yang mendatangkan mujizat. Dengan bersyukur kita mempersiapkan diri untuk menerima mujizat dari Tuhan. Pemazmur berkata, "Masuklah melalui pintu gerbang-Nya dengan nyanyian syukur, ke dalam pelataran-Nya dengan puji-pujian, bersyukurlah kepada-Nya dan pujilah nama-Nya!" (Mazmur 100:4). Jadi pintu gerbang memasuki kehidupan yang berkemenangan dan berkelimpahan adalah melalui ucapan syukur. Artinya ketika kita mengucap syukur pintu kesempatan, pintu kesembuhan, pintu pemulihan, pintu mujizat, pintu pertolongan, pintu berkat akan semakin terbuka bagi kita, sebab orang yang selalu bersyukur mampu melihat sisi positif di balik masalah, mampu melihat kebaikan di balik hal-hal buruk sekalipun, mampu melihat keajaiban di balik kemustahilan karena tahu bahwa "...Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia," (Roma 8:28). Sebaliknya orang yang suka bersungut-sungut hanya melihat hal-hal negatif di balik masalah, karena pikiran dipenuhi dengan keraguan, ketakutan dan kekuatiran sebagai tanda ketidakpercayaan akan kuasa Tuhan.
Ketika kita bersyukur kita sedang menyerahkan segala pergumulan hidup ini kepada Tuhan dan mengijinkan Dia bekerja sepenuhnya di dalam kita.
"TUHAN akan berperang untuk kamu, dan kamu akan diam saja." Keluaran 14:14
Saturday, January 10, 2015
MENGUCAP SYUKUR: Tanda Kedewasaan Rohani
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 10 Januari 2015
Baca: 1 Tesalonika 5:12-22
"Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu." 1 Tesalonika 5:18
Mengalami masa-masa sulit adalah perkara yang tidak mudah diterima oleh banyak anak Tuhan. Kita maunya hanya menerima yang baik-baik saja, menerima berkat Tuhan tanpa ada embel-embel masalah di belakangnya. Ayub pun berkata kepada isterinya, "Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?" (Ayub 2:10). Orang lebih mudah mengucap syukur tatkala dalam keadaan baik dan diberkati saja. Jika keadaan sedang tidak baik rasanya sulit sekali untuk mengucap syukur. Tuhan menghendaki kita untuk mengucap syukur dalam segala hal. Kata dalam segala hal berarti di segala situasi: baik atau tidak baik keadaannya, sedang krisis atau berkelimpahan, untung atau rugi, saat sehat atau sakit, berhasil atau pun gagal. Jadi mengucap syukur bukanlah sekedar saran atau himbauan, melainkan suatu perintah atau kehendak Tuhan. Perintah berarti harus ditaatai.
Mengucap syukur adalah tanda kedewasaan rohani. Seorang anak biasanya memiliki sifat manja, labil, cengeng, dan kurang sabar. Menghadapi masalah sedikit saja atau ketika kemauannya tidak dituruti akan langsung ngambek, marah dan tidak mau makan. Sifat kekanak-kanakan pada dasarnya adalah usaha meminta dan memaksa Tuhan untuk menuruti keinginannya. Apakah kita mau menjadi kanak-kanak terus? Tentunya tidak. Kita pasti ingin mengalami pertumbuhan dari hari ke sehari hingga mencapai kedewasaan penuh. "Ketika aku kanak-kanak, aku berkata-kata seperti kanak-kanak, aku merasa seperti kanak-kanak, aku berpikir seperti kanak-kanak. Sekarang sesudah aku menjadi dewasa, aku meninggalkan sifat kanak-kanak itu." (1 Korintus 13:11).
Orang dewasa rohani pasti memahami apa yang menjadi kehendak Tuhan. "Tetapi makanan keras adalah untuk orang-orang dewasa, yang karena mempunyai pancaindera yang terlatih untuk membedakan yang baik dari pada yang jahat." (Ibrani 5:14), sehingga sesulit apa pun keadaannya kita bisa berkata, "Bukan kehendakku, melainkan kehendak-Mu."
Dalam segala perkara Tuhan turut bekerja, karena itu tetaplah mengucap syukur dalam segala hal!
Baca: 1 Tesalonika 5:12-22
"Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu." 1 Tesalonika 5:18
Mengalami masa-masa sulit adalah perkara yang tidak mudah diterima oleh banyak anak Tuhan. Kita maunya hanya menerima yang baik-baik saja, menerima berkat Tuhan tanpa ada embel-embel masalah di belakangnya. Ayub pun berkata kepada isterinya, "Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?" (Ayub 2:10). Orang lebih mudah mengucap syukur tatkala dalam keadaan baik dan diberkati saja. Jika keadaan sedang tidak baik rasanya sulit sekali untuk mengucap syukur. Tuhan menghendaki kita untuk mengucap syukur dalam segala hal. Kata dalam segala hal berarti di segala situasi: baik atau tidak baik keadaannya, sedang krisis atau berkelimpahan, untung atau rugi, saat sehat atau sakit, berhasil atau pun gagal. Jadi mengucap syukur bukanlah sekedar saran atau himbauan, melainkan suatu perintah atau kehendak Tuhan. Perintah berarti harus ditaatai.
Mengucap syukur adalah tanda kedewasaan rohani. Seorang anak biasanya memiliki sifat manja, labil, cengeng, dan kurang sabar. Menghadapi masalah sedikit saja atau ketika kemauannya tidak dituruti akan langsung ngambek, marah dan tidak mau makan. Sifat kekanak-kanakan pada dasarnya adalah usaha meminta dan memaksa Tuhan untuk menuruti keinginannya. Apakah kita mau menjadi kanak-kanak terus? Tentunya tidak. Kita pasti ingin mengalami pertumbuhan dari hari ke sehari hingga mencapai kedewasaan penuh. "Ketika aku kanak-kanak, aku berkata-kata seperti kanak-kanak, aku merasa seperti kanak-kanak, aku berpikir seperti kanak-kanak. Sekarang sesudah aku menjadi dewasa, aku meninggalkan sifat kanak-kanak itu." (1 Korintus 13:11).
Orang dewasa rohani pasti memahami apa yang menjadi kehendak Tuhan. "Tetapi makanan keras adalah untuk orang-orang dewasa, yang karena mempunyai pancaindera yang terlatih untuk membedakan yang baik dari pada yang jahat." (Ibrani 5:14), sehingga sesulit apa pun keadaannya kita bisa berkata, "Bukan kehendakku, melainkan kehendak-Mu."
Dalam segala perkara Tuhan turut bekerja, karena itu tetaplah mengucap syukur dalam segala hal!
Friday, January 9, 2015
BERSUNGUT-SUNGUT: Hal Kebutuhan Hidup
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 9 Januari 2015
Baca: Keluaran 16:13-36
"Tetapi Musa berkata kepada mereka: 'Inilah roti yang diberikan TUHAN kepadamu menjadi makananmu." Keluaran 16:15b
Hal kebutuhan hidup atau urusan 'perut' seringkali menjadi alasan banyak orang bersungut-sungut. Mereka mengeluhkan keadaan ekonominya yang belum pulih. Alasan makanan (ekonomi) ini jugalah yang membuta bangsa Israel bersungut-sungut kepada Tuhan; dan karena sungut-sungut serta keluh kesah bangsa Israel yang begitu hebatnya inilah akhirnya Tuhan memberikan manna sebagai makanan bagi mereka.
Manna disebut pula dengan roti dari sorga, makanan yang diberikan Tuhan kepada orang Israel selama berada di padang gurun: "...warnanya putih seperti ketumbar dan rasanya seperti rasa kue madu." (Keluaran 16:31). Tuhan menurunkan manna setiap hari, kecuali pada hari Sabat, dengan maksud supaya mereka beristirahat dan menguduskan hari Tuhan. Namun meski sudah mendapatkan cukup makanan, umat Israel tetap saja bersungut-sungut, bukan hanya kepada pemimpin mereka tapi juga kepada Tuhan. Mereka terus membanding-bandingkan keadaan saat di Mesir, "Kita teringat kepada ikan yang kita makan di Mesir dengan tidak bayar apa-apa, kepada mentimun dan semangka, bawang prei, bawang merah dan bawang putih. Tetapi sekarang kita kurus kering, tidak ada sesuatu apapun, kecuali manna ini saja yang kita lihat." (Bilangan 11:5-6).
Mungkin keadaan kita saat ini seperti berada di padang gurun dan kita pun bersikap seperti bangsa Israel yang terus bersungut-sungut kepada Tuhan, padahal kita sudah menerima 'manna' dari sorga, gambaran dari firman Tuhan untuk menguatkan kita. Tetapi seringkali "...kekuatiran dunia ini dan tipu daya kekayaan menghimpit firman itu sehingga tidak berbuah." (Matius 13:22). Kita pun membanding-bandingkan diri dengan keadaan orang-orang di luar Tuhan yang sepertinya hidup penuh kenyamanan, sementara kita tidak. Daya tarik 'Mesir', lambang kehidupan duniawi yang penuh kemewahan pun begitu menyilaukan mata kita, sehingga kita tidak bisa mensyukuri berkat Tuhan. Berhentilah bersungut-sungut!
Berada di 'padang gurun' adalah kesempatan bagi kita melihat dan mengalami mujizat Tuhan!
Baca: Keluaran 16:13-36
"Tetapi Musa berkata kepada mereka: 'Inilah roti yang diberikan TUHAN kepadamu menjadi makananmu." Keluaran 16:15b
Hal kebutuhan hidup atau urusan 'perut' seringkali menjadi alasan banyak orang bersungut-sungut. Mereka mengeluhkan keadaan ekonominya yang belum pulih. Alasan makanan (ekonomi) ini jugalah yang membuta bangsa Israel bersungut-sungut kepada Tuhan; dan karena sungut-sungut serta keluh kesah bangsa Israel yang begitu hebatnya inilah akhirnya Tuhan memberikan manna sebagai makanan bagi mereka.
Manna disebut pula dengan roti dari sorga, makanan yang diberikan Tuhan kepada orang Israel selama berada di padang gurun: "...warnanya putih seperti ketumbar dan rasanya seperti rasa kue madu." (Keluaran 16:31). Tuhan menurunkan manna setiap hari, kecuali pada hari Sabat, dengan maksud supaya mereka beristirahat dan menguduskan hari Tuhan. Namun meski sudah mendapatkan cukup makanan, umat Israel tetap saja bersungut-sungut, bukan hanya kepada pemimpin mereka tapi juga kepada Tuhan. Mereka terus membanding-bandingkan keadaan saat di Mesir, "Kita teringat kepada ikan yang kita makan di Mesir dengan tidak bayar apa-apa, kepada mentimun dan semangka, bawang prei, bawang merah dan bawang putih. Tetapi sekarang kita kurus kering, tidak ada sesuatu apapun, kecuali manna ini saja yang kita lihat." (Bilangan 11:5-6).
Mungkin keadaan kita saat ini seperti berada di padang gurun dan kita pun bersikap seperti bangsa Israel yang terus bersungut-sungut kepada Tuhan, padahal kita sudah menerima 'manna' dari sorga, gambaran dari firman Tuhan untuk menguatkan kita. Tetapi seringkali "...kekuatiran dunia ini dan tipu daya kekayaan menghimpit firman itu sehingga tidak berbuah." (Matius 13:22). Kita pun membanding-bandingkan diri dengan keadaan orang-orang di luar Tuhan yang sepertinya hidup penuh kenyamanan, sementara kita tidak. Daya tarik 'Mesir', lambang kehidupan duniawi yang penuh kemewahan pun begitu menyilaukan mata kita, sehingga kita tidak bisa mensyukuri berkat Tuhan. Berhentilah bersungut-sungut!
Berada di 'padang gurun' adalah kesempatan bagi kita melihat dan mengalami mujizat Tuhan!
Thursday, January 8, 2015
BERSUNGUT-SUNGUT: Suka Menjadi Budak
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 8 Januari 2015
Baca: Keluaran 16:1-12
"Di padang gurun itu bersungut-sungutlah segenap jemaah Israel kepada Musa dan Harun;" Keluaran 16:2
Ketika bangsa Israel berada di Mara dan mendapati bahwa air di situ rasanya pahit sehingga tidak bisa diminum mereka pun langsung bersungut-sungut kepada Musa. Tuhan menyatakan mujizat-Nya di hadapan bangsa itu dengan memerintahkan Musa melemparkan kayu ke dalam air, "...lalu air itu menjadi manis." (Keluaran 15:25).
Ketika perjalanan mereka sampai di Elim, "...di sana ada dua belas mata air dan tujuh puluh pohon korma," (Keluaran 15:27). Begitu pula ketika berada di padang gurun Sinai, yang terletak di antara Elim dan gunung Sinai, segenap umat Israel kembali bersungut-sungut, katanya, "Ah, kalau kami mati tadinya di tanah Mesir oleh tangan TUHAN ketika kami duduk menghadapi kuali berisi daging dan makan roti sampai kenyang! Sebab kamu membawa kami keluar ke padang gurun ini untuk membunuh seluruh jemaah ini dengan kelaparan." (Keluaran 16:3). Susah sedikit saja mereka mengeluh, menggerutu dan mengomel tiada henti. Itulah karakter bangsa Israel! Musa seringkali dipersalahkan dan dianggap sebagai penyebab semuanya itu. Bahkan mereka berani menyalahkan Tuhan karena merasa tidak mendapatkan apa yang diharapkan.
Bersungut-sungut adalah tanda ketidakpercayaan kepada Tuhan dan tidak mensyukuri apa yang telah diberikan Tuhan. Adapun maksud Tuhan membawa bangsa Israel ke padang gurun bukanlah karena Tuhan tidak mengasihi mereka, justru ada tujuan yang indah yaitu mendidik dan melatih iman, serta mengajar mereka agar bergantung kepada Tuhan dan mengandalkan Dia setiap hari. Tetapi hal ini direspons negatif oleh umat Israel. Malah mereka berdalih lebih suka tinggal di Mesir daripada harus menderita di padang gurun, lebih suka hidup dalam perbudakan daripada menjadi orang yang merdeka, padahal untuk mendapatkan nafkah di Mesir mereka harus bekerja mati-matian, bahkan orang Mesir "...memahitkan hidup mereka dengan pekerjaan yang berat, yaitu mengerjakan tanah liat dan batu bata, dan berbagai-bagai pekerjaan di padang, ya segala pekerjaan yang dengan kejam dipaksakan orang Mesir kepada mereka itu." (Keluaran 1:14).
Bangsa Israel merasa nyaman di Mesir meski harus menjadi budak!
Baca: Keluaran 16:1-12
"Di padang gurun itu bersungut-sungutlah segenap jemaah Israel kepada Musa dan Harun;" Keluaran 16:2
Ketika bangsa Israel berada di Mara dan mendapati bahwa air di situ rasanya pahit sehingga tidak bisa diminum mereka pun langsung bersungut-sungut kepada Musa. Tuhan menyatakan mujizat-Nya di hadapan bangsa itu dengan memerintahkan Musa melemparkan kayu ke dalam air, "...lalu air itu menjadi manis." (Keluaran 15:25).
Ketika perjalanan mereka sampai di Elim, "...di sana ada dua belas mata air dan tujuh puluh pohon korma," (Keluaran 15:27). Begitu pula ketika berada di padang gurun Sinai, yang terletak di antara Elim dan gunung Sinai, segenap umat Israel kembali bersungut-sungut, katanya, "Ah, kalau kami mati tadinya di tanah Mesir oleh tangan TUHAN ketika kami duduk menghadapi kuali berisi daging dan makan roti sampai kenyang! Sebab kamu membawa kami keluar ke padang gurun ini untuk membunuh seluruh jemaah ini dengan kelaparan." (Keluaran 16:3). Susah sedikit saja mereka mengeluh, menggerutu dan mengomel tiada henti. Itulah karakter bangsa Israel! Musa seringkali dipersalahkan dan dianggap sebagai penyebab semuanya itu. Bahkan mereka berani menyalahkan Tuhan karena merasa tidak mendapatkan apa yang diharapkan.
Bersungut-sungut adalah tanda ketidakpercayaan kepada Tuhan dan tidak mensyukuri apa yang telah diberikan Tuhan. Adapun maksud Tuhan membawa bangsa Israel ke padang gurun bukanlah karena Tuhan tidak mengasihi mereka, justru ada tujuan yang indah yaitu mendidik dan melatih iman, serta mengajar mereka agar bergantung kepada Tuhan dan mengandalkan Dia setiap hari. Tetapi hal ini direspons negatif oleh umat Israel. Malah mereka berdalih lebih suka tinggal di Mesir daripada harus menderita di padang gurun, lebih suka hidup dalam perbudakan daripada menjadi orang yang merdeka, padahal untuk mendapatkan nafkah di Mesir mereka harus bekerja mati-matian, bahkan orang Mesir "...memahitkan hidup mereka dengan pekerjaan yang berat, yaitu mengerjakan tanah liat dan batu bata, dan berbagai-bagai pekerjaan di padang, ya segala pekerjaan yang dengan kejam dipaksakan orang Mesir kepada mereka itu." (Keluaran 1:14).
Bangsa Israel merasa nyaman di Mesir meski harus menjadi budak!
Wednesday, January 7, 2015
BERSUNGUT-SUNGUT: Di Tengah Mujizat
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 7 Januari 2015
Baca: Keluaran 15:22-27
"Lalu bersungut-sungutlah bangsa itu kepada Musa," Keluaran 15:24
Bersungut-sungut memiliki arti menggerutu atau mengomel. Bersungut-sungut adalah lawan dari bersukacita. Berbicara tentang bersungut-sungut, Alkitab memberikan satu pelajaran berharga melalui kehidupan bangsa Israel.
Kita tahu bahwa bangsa Israel adalah bangsa pilihan Tuhan, yang begitu dikasihi dan dipelihara Tuhan begitu rupa. Tuhan membawa mereka ke luar dari perbudakannya di Mesir, dan saat berada di padang gurun mereka senantiasa mengecap pertolongan Tuhan dan penyertaan-Nya secara luar biasa. "TUHAN berjalan di depan mereka, pada siang hari dalam tiang awan untuk menuntun mereka di jalan, dan pada waktu malam dalam tiang api untuk menerangi mereka, sehingga mereka dapat berjalan siang dan malam. Dengan tidak beralih tiang awan itu tetap ada pada siang hari dan tiang api pada waktu malam di depan bangsa itu." (Keluaran 13:21-22). Dengan tiang awan bangsa Israel terlindungi dari panas teriknya matahari di waktu siang, dan dengan tiang api mereka beroleh penerangan dan kehangatan di kala malam. Sekalipun bangsa Israel belum tahu persis jalan yang harus ditempuhnya, melalui daerah seperti apa, tidak tahu apa yang akan dihadapi, serta tantangan apa yang menghadang di depan, keberadaan tiang awan dan tiang api adalah petunjuk yang mengarahkan mereka kepada perjalanan yang dipenuhi dengan keajaiban.
Begitu pula ketika menghadapi jalan buntu karena di depan ada laut Teberau, dengan mata kepala sendiri mereka melihat bagaimana Tuhan melakukan perkara yang dahsyat yaitu membelah laut Teberau, sehingga "...orang Israel berjalan dari tengah-tengah laut di tempat kering; sedang di kiri dan di kanan mereka air itu sebagai tembok bagi mereka." (Keluaran 14:22). Ketika orang Mesir lari menuju air laut; "Berbaliklah segala air itu, lalu menutupi kereta dan orang berkuda dari seluruh pasukan Firaun, yang telah menyusul orang Israel itu ke laut; seorangpun tidak ada yang tinggal dari mereka." (Keluaran 14:28). Pasukan Firaun pun binasa di laut Teberau, sehingga bangsa Israel selamat dari kejaran Firaun dan bala tentaranya.
Mengalami banyak mujizat Tuhan tidak serta merta membuat bangsa Israel menghentikan kebiasaannya bersungut-sungut!
Baca: Keluaran 15:22-27
"Lalu bersungut-sungutlah bangsa itu kepada Musa," Keluaran 15:24
Bersungut-sungut memiliki arti menggerutu atau mengomel. Bersungut-sungut adalah lawan dari bersukacita. Berbicara tentang bersungut-sungut, Alkitab memberikan satu pelajaran berharga melalui kehidupan bangsa Israel.
Kita tahu bahwa bangsa Israel adalah bangsa pilihan Tuhan, yang begitu dikasihi dan dipelihara Tuhan begitu rupa. Tuhan membawa mereka ke luar dari perbudakannya di Mesir, dan saat berada di padang gurun mereka senantiasa mengecap pertolongan Tuhan dan penyertaan-Nya secara luar biasa. "TUHAN berjalan di depan mereka, pada siang hari dalam tiang awan untuk menuntun mereka di jalan, dan pada waktu malam dalam tiang api untuk menerangi mereka, sehingga mereka dapat berjalan siang dan malam. Dengan tidak beralih tiang awan itu tetap ada pada siang hari dan tiang api pada waktu malam di depan bangsa itu." (Keluaran 13:21-22). Dengan tiang awan bangsa Israel terlindungi dari panas teriknya matahari di waktu siang, dan dengan tiang api mereka beroleh penerangan dan kehangatan di kala malam. Sekalipun bangsa Israel belum tahu persis jalan yang harus ditempuhnya, melalui daerah seperti apa, tidak tahu apa yang akan dihadapi, serta tantangan apa yang menghadang di depan, keberadaan tiang awan dan tiang api adalah petunjuk yang mengarahkan mereka kepada perjalanan yang dipenuhi dengan keajaiban.
Begitu pula ketika menghadapi jalan buntu karena di depan ada laut Teberau, dengan mata kepala sendiri mereka melihat bagaimana Tuhan melakukan perkara yang dahsyat yaitu membelah laut Teberau, sehingga "...orang Israel berjalan dari tengah-tengah laut di tempat kering; sedang di kiri dan di kanan mereka air itu sebagai tembok bagi mereka." (Keluaran 14:22). Ketika orang Mesir lari menuju air laut; "Berbaliklah segala air itu, lalu menutupi kereta dan orang berkuda dari seluruh pasukan Firaun, yang telah menyusul orang Israel itu ke laut; seorangpun tidak ada yang tinggal dari mereka." (Keluaran 14:28). Pasukan Firaun pun binasa di laut Teberau, sehingga bangsa Israel selamat dari kejaran Firaun dan bala tentaranya.
Mengalami banyak mujizat Tuhan tidak serta merta membuat bangsa Israel menghentikan kebiasaannya bersungut-sungut!
Subscribe to:
Posts (Atom)