Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 17 Desember 2014
Baca: 1 Korintus 2:6-16
"Tetapi kami memiliki pikiran Kristus." 1 Korintus 2:16b
Apa saja dari kehidupan kita yang harus dikendalikan sepenuhnya oleh Kristus? 1. Pikiran kita. Pikiran adalah aset yang sangat penting dalam kehidupan seseorang. Dengan pikirannya seseorang akan memikirkan, mengucapkan dan melakukan hal-hal yang positif ataupun negatif. Di dalam pikiran inilah peperangan rohani seseorang terjadi! Tertulis: "karena perjuangan kita bukanlah melawan darah dan daging, tetapi melawan
pemerintah-pemerintah, melawan penguasa-penguasa, melawan
penghulu-penghulu dunia yang gelap ini, melawan roh-roh jahat di udara." (Efesus 6:12); jadi peperangan melawan segala tipu daya Iblis yang berusaha menyerang pikiran kita dengan siasatnya yang licik, sebab Iblis paham benar betapa sulitnya bagi seseorang untuk menguasai dan mengekang pikirannya sendiri.
Untuk menang melawan tipu muslihat Iblis kita harus "...menawan segala pikiran dan menaklukkannya kepada Kristus," (2 Korintus 10:5b). Ijinkan Roh Kudus memperbaharui pikiran kita. Bagaimana caranya? Sediakan waktu secara intensif untuk membaca dan merenungkan firman Tuhan supaya pikiran kita dipenuhi oleh kebenaran atau hal-hal yang positif, sebab firman Tuhan adalah pedang Roh bagi kita. "Sebab firman Allah hidup dan kuat dan lebih tajam dari pada pedang
bermata dua manapun; ia menusuk amat dalam sampai memisahkan jiwa dan
roh, sendi-sendi dan sumsum; ia sanggup membedakan pertimbangan dan
pikiran hati kita." (Ibrani 4:12). Dengan pedang Roh ini kita dapat melawan setiap serangan Iblis! Pikiran yang dipenuhi firman Tuhan akan berdampak kepada tindakan kita. Sebaliknya pikiran yang dipenuhi hal-hal negatif akan memaksa kita untuk melakukan seperti yang diinginkan oleh pikiran itu.
Rasul Paulus menasihati, "supaya kamu dibaharui di dalam roh dan pikiranmu," (Efesus 4:23), sehingga pikiran kita tetap dalam keadaan bersih, sebab selama kita masih hidup di dunia ini pikiran kita masih bisa terpengaruh dan tergoda oleh apa yang ada di dunia ini dan tubuh kita pun akan menjadi fasilitator untuk mengerjakan segala hal yang diinginkan dan diperintahkan oleh pikiran.
"Selidikilah aku, ya Allah, dan kenallah hatiku, ujilah aku dan kenallah pikiran-pikiranku;" Mazmur 139:23
Wednesday, December 17, 2014
Tuesday, December 16, 2014
KRISTUS: Pemegang Kendali Hidup
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 16 Desember 2014
Baca: 2 Korintus 5:11-15
"Dan Kristus telah mati untuk semua orang, supaya mereka yang hidup, tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri, tetapi untuk Dia, yang telah mati dan telah dibangkitkan untuk mereka." 2 Korintus 5:15
Setiap waktu kita diperhadapkan dengan banyak pergumulan, salah satunya adalah pergumulan bagaimana agar kita hidup benar dan berkenan kepada Tuhan. Kita bergumul untuk menaklukkan keinginan daging tapi seringkali kita tidak berdaya dan kalah, karena pada dasarnya, "...roh memang penurut, tetapi daging lemah." (Matius 26:41). Selama keinginan daging kita begitu dominan maka langkah hidup kita sepenuhnya akan dikendalikan oleh daging. Rasul Paulus menegaskan, "...barangsiapa menabur dalam dagingnya, ia akan menuai kebinasaan dari dagingnya, tetapi barangsiapa menabur dalam Roh, ia akan menuai hidup yang kekal dari Roh itu." (Galatia 6:8).
Sebagai seorang Kristen kita adalah pengikut Kristus. Kamus Webster juga mendefinisikan orang Kristen sebagai orang yang mengaku percaya kepada Yesus sebagai Kristus. "Barangsiapa mengatakan, bahwa ia ada di dalam Dia, ia wajib hidup sama seperti Kristus telah hidup." (1 Yohanes 2:6). Artinya hidup kita sudah seharusnya meneladani Kristus dengan menempatkan Dia sebagai Pemegang kendali hidup kita. Pertanyaan: siapakah yang selama ini mengendalikan hidup Saudara? Diri sendiri ataukah Kristus? Jika Kristus yang mengendalikan hidup kita maka semua akan tampak jelas dari buah-buah yang kita hasilkan. "Sebab setiap pohon dikenal pada buahnya." (Lukas 6:44a). Sebuah kapal akan sanggup mengarungi lautan lepas meski harus melewati ombak dan gelombang jika berada di bawah kendali nahkoda yang handal; kenyamanan dan keselamatan penumpang pesawat terbang sepenuhnya ada di tangan sang pilot.
Kehidupan kita pun seperti sebuah kendaraan yang berjalan dan memerlukan kendali kehidupan. Jika Kristus yang memegang kendali maka perjalanan kita sepenuhnya ada di tangan-Nya dan kita pun akan dituntun Tuhan di jalan yang benar, sebab "Segala jalan TUHAN adalah kasih setia dan kebenaran bagi orang yang berpegang pada perjanjian-Nya dan peringatan-peringatan-Nya." (Mazmur 25:10).
Bagian kita adalah taat dan memiliki penyerahan total kepada kehendak Tuhan, sebab sasaran utama hidup seorang Kristen adalah menjadi serupa dengan Kristus.
Baca: 2 Korintus 5:11-15
"Dan Kristus telah mati untuk semua orang, supaya mereka yang hidup, tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri, tetapi untuk Dia, yang telah mati dan telah dibangkitkan untuk mereka." 2 Korintus 5:15
Setiap waktu kita diperhadapkan dengan banyak pergumulan, salah satunya adalah pergumulan bagaimana agar kita hidup benar dan berkenan kepada Tuhan. Kita bergumul untuk menaklukkan keinginan daging tapi seringkali kita tidak berdaya dan kalah, karena pada dasarnya, "...roh memang penurut, tetapi daging lemah." (Matius 26:41). Selama keinginan daging kita begitu dominan maka langkah hidup kita sepenuhnya akan dikendalikan oleh daging. Rasul Paulus menegaskan, "...barangsiapa menabur dalam dagingnya, ia akan menuai kebinasaan dari dagingnya, tetapi barangsiapa menabur dalam Roh, ia akan menuai hidup yang kekal dari Roh itu." (Galatia 6:8).
Sebagai seorang Kristen kita adalah pengikut Kristus. Kamus Webster juga mendefinisikan orang Kristen sebagai orang yang mengaku percaya kepada Yesus sebagai Kristus. "Barangsiapa mengatakan, bahwa ia ada di dalam Dia, ia wajib hidup sama seperti Kristus telah hidup." (1 Yohanes 2:6). Artinya hidup kita sudah seharusnya meneladani Kristus dengan menempatkan Dia sebagai Pemegang kendali hidup kita. Pertanyaan: siapakah yang selama ini mengendalikan hidup Saudara? Diri sendiri ataukah Kristus? Jika Kristus yang mengendalikan hidup kita maka semua akan tampak jelas dari buah-buah yang kita hasilkan. "Sebab setiap pohon dikenal pada buahnya." (Lukas 6:44a). Sebuah kapal akan sanggup mengarungi lautan lepas meski harus melewati ombak dan gelombang jika berada di bawah kendali nahkoda yang handal; kenyamanan dan keselamatan penumpang pesawat terbang sepenuhnya ada di tangan sang pilot.
Kehidupan kita pun seperti sebuah kendaraan yang berjalan dan memerlukan kendali kehidupan. Jika Kristus yang memegang kendali maka perjalanan kita sepenuhnya ada di tangan-Nya dan kita pun akan dituntun Tuhan di jalan yang benar, sebab "Segala jalan TUHAN adalah kasih setia dan kebenaran bagi orang yang berpegang pada perjanjian-Nya dan peringatan-peringatan-Nya." (Mazmur 25:10).
Bagian kita adalah taat dan memiliki penyerahan total kepada kehendak Tuhan, sebab sasaran utama hidup seorang Kristen adalah menjadi serupa dengan Kristus.
Monday, December 15, 2014
IBADAH: Mendatangkan Keuntungan
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 15 Desember 2014
Baca: Maleakhi 3:13-18
"Kamu berkata: 'Adalah sia-sia beribadah kepada Allah. Apakah untungnya kita memelihara apa yang harus dilakukan terhadap-Nya dan berjalan dengan pakaian berkabung di hadapan TUHAN semesta alam?'" Maleakhi 3:14
Rasul Paulus menasihati Timotius, "Latihlah dirimu beribadah." (1 Timotius 4:7b). Mengapa kita harus terus melatih diri dalam hal ibadah? Karena ibadah itu berguna dalam segala hal dan mengandung janji, artinya ada berkat-berkat yang luar biasa disediakan Tuhan bagi setiap orang yang menghormati Tuhan dan beribadah kepada-Nya dengan sungguh. "Memang ibadah itu kalau disertai rasa cukup, memberi keuntungan besar." (1 Timotius 6:6). Jadi dibutuhkan sikap dan motivasi yang benar bagi seseorang untuk mengalami kuasa dan berkat dalam ibadah.
Sudahkah kita menjadikan ibadah sebagai kebutuhan utama dalam hidup ini? Atau kita berpikir bahwa beribadah kepada Tuhan itu tidak ada untungnya dan hanya membuang-buang waktu saja? Alkitab menegaskan, "...dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia." (1 Korintus 15:58b), bahkan mendatangkan keuntungan besar (baca Amsal 14:23a). Pertanyaan: seberapa besar kerinduan kita untuk bertemu Tuhan dalam setiap ibadah? Adakah kita memiliki rasa haus dan lapar akan kebenaran seperti yang ditunjukkan oleh jemaat gereja mula-mula, sehingga kehidupan mereka "...disukai semua orang. Dan tiap-tiap hari Tuhan menambah jumlah mereka dengan orang yang diselamatkan." (Kisah 2:47)?
Inilah keuntungan-keuntungan bagi orang yang setia beribadah kepada Tuhan dan melayani Dia, yaitu: "TUHAN memberkati engkau dan melindungi engkau; TUHAN menyinari engkau dengan wajah-Nya dan memberi engkau kasih karunia; TUHAN menghadapkan wajah-Nya kepadamu dan memberi engkau damai sejahtera." (Bilangan 6:24-26). Artinya ia akan mengecap segala kebaikan Tuhan, beroleh perlindungan Tuhan, dipenuhi oleh damai sejahtera, sehingga hidupnya senantiasa bercahaya dan menjadi berkat bagi orang lain; dan Tuhan pun akan berkata, "...Aku telah mendapat...seorang yang berkenan di hati-Ku dan yang melakukan kehendak-Ku." (Kisah 13:22b).
"...kamu akan melihat kembali perbedaan...antara orang yang beribadah kepada Allah dan orang yang tidak beribadah kepada-Nya." Maleakhi 3:18
Baca: Maleakhi 3:13-18
"Kamu berkata: 'Adalah sia-sia beribadah kepada Allah. Apakah untungnya kita memelihara apa yang harus dilakukan terhadap-Nya dan berjalan dengan pakaian berkabung di hadapan TUHAN semesta alam?'" Maleakhi 3:14
Rasul Paulus menasihati Timotius, "Latihlah dirimu beribadah." (1 Timotius 4:7b). Mengapa kita harus terus melatih diri dalam hal ibadah? Karena ibadah itu berguna dalam segala hal dan mengandung janji, artinya ada berkat-berkat yang luar biasa disediakan Tuhan bagi setiap orang yang menghormati Tuhan dan beribadah kepada-Nya dengan sungguh. "Memang ibadah itu kalau disertai rasa cukup, memberi keuntungan besar." (1 Timotius 6:6). Jadi dibutuhkan sikap dan motivasi yang benar bagi seseorang untuk mengalami kuasa dan berkat dalam ibadah.
Sudahkah kita menjadikan ibadah sebagai kebutuhan utama dalam hidup ini? Atau kita berpikir bahwa beribadah kepada Tuhan itu tidak ada untungnya dan hanya membuang-buang waktu saja? Alkitab menegaskan, "...dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia." (1 Korintus 15:58b), bahkan mendatangkan keuntungan besar (baca Amsal 14:23a). Pertanyaan: seberapa besar kerinduan kita untuk bertemu Tuhan dalam setiap ibadah? Adakah kita memiliki rasa haus dan lapar akan kebenaran seperti yang ditunjukkan oleh jemaat gereja mula-mula, sehingga kehidupan mereka "...disukai semua orang. Dan tiap-tiap hari Tuhan menambah jumlah mereka dengan orang yang diselamatkan." (Kisah 2:47)?
Inilah keuntungan-keuntungan bagi orang yang setia beribadah kepada Tuhan dan melayani Dia, yaitu: "TUHAN memberkati engkau dan melindungi engkau; TUHAN menyinari engkau dengan wajah-Nya dan memberi engkau kasih karunia; TUHAN menghadapkan wajah-Nya kepadamu dan memberi engkau damai sejahtera." (Bilangan 6:24-26). Artinya ia akan mengecap segala kebaikan Tuhan, beroleh perlindungan Tuhan, dipenuhi oleh damai sejahtera, sehingga hidupnya senantiasa bercahaya dan menjadi berkat bagi orang lain; dan Tuhan pun akan berkata, "...Aku telah mendapat...seorang yang berkenan di hati-Ku dan yang melakukan kehendak-Ku." (Kisah 13:22b).
"...kamu akan melihat kembali perbedaan...antara orang yang beribadah kepada Allah dan orang yang tidak beribadah kepada-Nya." Maleakhi 3:18
Sunday, December 14, 2014
BERIBADAH DENGAN SUKACITA
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 14 Desember 2014
Baca: Mazmur 47:1-10
"Hai segala bangsa, bertepuktanganlah, elu-elukanlah Allah dengan sorak-sorai!" Mazmur 47:2
Masih ada banyak orang Kristen yang beribadah kepada Tuhan secara asal-asalan tanpa disertai sikap hormat dan takut akan Tuhan. Hal itu bisa dilihat dari hal-hal simpel: datang beribadah tidak tepat waktu (terlambat), masih suka bersenda-gurau saat ibadah berlangsung, bahkan ada yang sambil ber-SMS ria atau memainkan blackberry. Kalau kita menyadari akan kehadiran Tuhan kita tidak akan melakukan tindakan-tindakan tersebut. Ada pula yang beribadah dengan raut muka tetap cemberut dan tidak ada semangat sama sekali. Pemazmur mengingatkan, "Beribadahlah kepada TUHAN dengan sukacita, datanglah ke hadapan-Nya dengan sorak-sorai!" (Mazmur 100:2). Ayat nas menyatakan: bertepuktanganlah, elu-elukanlah Allah dengan sorak sorai. Artinya kita juga harus beribadah kepada Tuhan dengan sukacita dan penuh semangat.
Mengapa kita harus beribadah kepada Tuhan dengan sukacita? Karena Tuhan telah menciptakan kita dan tujuan manusia diciptakan adalah untuk memuji, menyembah dan memuliakan Tuhan. Sudahkah kita menyembah Tuhan dan memuliakan nama-Nya dengan segenap hati dan jiwa sebagai perwujudan dan ibadah kita? Kita harus bersukacita oleh karena Tuhan telah menebus dosa-dosa kita dan menyelamatkan kita. Kita bersukacita karena menjadi umat pilihan-Nya. Kita bersukacita karena Tuhan adalah Gembala Agung dan kita adalah kawanan domba gembalaan-Nya. Kita bersukacita karena "...TUHAN itu baik, kasih setia-Nya untuk selama-lamanya, dan kesetiaan-Nya tetap turun-temurun." (Mazmur 100:5). Kesadaran akan kasih karunia Tuhan yang begitu besar ini seharusnya mendorong kita untuk beribadah kepada-Nya dengan kasih.
Orang yang beribadah karena mengasihi Tuhan pasti akan melakukan yang terbaik untuk Tuhan kapan pun dan di mana pun berada dan tidak mudah kecewa, sebab ibadah yang sesungguhnya berkaitan dengan seluruh hidup kita yang mengabdi secara total kepada Tuhan.
Karena yang menjadi obyek utama ibadah adalah Tuhan, bukan pendeta atau manusia, maka kita akan beribadah kepada Tuhan dengan sukacita, bukan terpaksa!
Baca: Mazmur 47:1-10
"Hai segala bangsa, bertepuktanganlah, elu-elukanlah Allah dengan sorak-sorai!" Mazmur 47:2
Masih ada banyak orang Kristen yang beribadah kepada Tuhan secara asal-asalan tanpa disertai sikap hormat dan takut akan Tuhan. Hal itu bisa dilihat dari hal-hal simpel: datang beribadah tidak tepat waktu (terlambat), masih suka bersenda-gurau saat ibadah berlangsung, bahkan ada yang sambil ber-SMS ria atau memainkan blackberry. Kalau kita menyadari akan kehadiran Tuhan kita tidak akan melakukan tindakan-tindakan tersebut. Ada pula yang beribadah dengan raut muka tetap cemberut dan tidak ada semangat sama sekali. Pemazmur mengingatkan, "Beribadahlah kepada TUHAN dengan sukacita, datanglah ke hadapan-Nya dengan sorak-sorai!" (Mazmur 100:2). Ayat nas menyatakan: bertepuktanganlah, elu-elukanlah Allah dengan sorak sorai. Artinya kita juga harus beribadah kepada Tuhan dengan sukacita dan penuh semangat.
Mengapa kita harus beribadah kepada Tuhan dengan sukacita? Karena Tuhan telah menciptakan kita dan tujuan manusia diciptakan adalah untuk memuji, menyembah dan memuliakan Tuhan. Sudahkah kita menyembah Tuhan dan memuliakan nama-Nya dengan segenap hati dan jiwa sebagai perwujudan dan ibadah kita? Kita harus bersukacita oleh karena Tuhan telah menebus dosa-dosa kita dan menyelamatkan kita. Kita bersukacita karena menjadi umat pilihan-Nya. Kita bersukacita karena Tuhan adalah Gembala Agung dan kita adalah kawanan domba gembalaan-Nya. Kita bersukacita karena "...TUHAN itu baik, kasih setia-Nya untuk selama-lamanya, dan kesetiaan-Nya tetap turun-temurun." (Mazmur 100:5). Kesadaran akan kasih karunia Tuhan yang begitu besar ini seharusnya mendorong kita untuk beribadah kepada-Nya dengan kasih.
Orang yang beribadah karena mengasihi Tuhan pasti akan melakukan yang terbaik untuk Tuhan kapan pun dan di mana pun berada dan tidak mudah kecewa, sebab ibadah yang sesungguhnya berkaitan dengan seluruh hidup kita yang mengabdi secara total kepada Tuhan.
Karena yang menjadi obyek utama ibadah adalah Tuhan, bukan pendeta atau manusia, maka kita akan beribadah kepada Tuhan dengan sukacita, bukan terpaksa!
Saturday, December 13, 2014
IBADAH YANG BENAR: Hormat dan Takut Akan Tuhan
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 13 Desember 2014
Baca: Ulangan 10:12-22
"...beribadah kepada TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu," Ulangan 10:12
Ibadah merupakan bagian penting dalam kehidupan orang percaya, namun banyak orang memaknai ibadah secara berbeda-beda. Ada yang beranggapan bahwa ibadah adalah sesuatu yang sifatnya ritual, cukup dilakukan pada hari Minggu dengan cara masuk ke dalam gereja lalu mengikuti semua kegiatan agamawi mulai dari berdoa, memuji-muji Tuhan dan mendengarkan firman Tuhan. Mereka menjadikan ibadah sebagai aktivitas rutin semata. "Secara lahiriah mereka menjalankan ibadah mereka, tetapi pada hakekatnya mereka memungkiri kekuatannya." (2 Timotius 3:5). Ibadah yang dilakukan sebatas lahiriah pasti tidak akan menghasilkan kuasa. Padahal, kuasa ibadahlah yang sanggup memulihkan dan mengubahkan hidup seseorang.
Ibadah yang benar bukan sekadar menjalankan ritual keagamaan melainkan bagaimana mengalami perjumpaan pribadi dengan Tuhan, tinggal di hadirat-Nya, bersekutu dan bergaul karib denganNya. Inilah esensi ibadah! Maka, karena kita telah menerima kerajaan yang tak tergoncangkan, "...marilah kita mengucap syukur dan beribadah kepada Allah menurut cara yang berkenan kepada-Nya, dengan hormat dan takut." (Ibrani 12:28). Banyak gereja kehilangan esensi ibadah karena tidak lagi memiliki rasa hormat dan takut akan Tuhan; asal dihadiri banyak jemaat, musik ingar-bingar, pengkhotbahnya handal dan terkenal, pasti Tuhan hadir dan melawat ibadah tersebut. Benarkah? "Sungguh, apabila kamu mempersembahkan kepada-Ku korban-korban bakaran dan korban-korban sajianmu, Aku tidak suka, dan korban keselamatanmu berupa ternak yang tambun, Aku tidak mau pandang. Jauhkanlah dari pada-Ku keramaian nyanyian-nyanyianmu, lagu gambusmu tidak mau Aku dengar." (Amos 5:22-23).
Ibadah yang benar dan berkenan dimulai dari sikap hati yang hormat dan takut akan Tuhan. Oleh karena itu, "Jagalah langkahmu, kalau engkau berjalan ke rumah Allah!" (Pengkotbah 4:17). Hormat dan takut akan Tuhan adalah jalan menuju kepada keintiman dengan Tuhan.
"Beribadahlah kepada TUHAN dengan takut dan ciumlah kaki-Nya dengan gemetar," Mazmur 2:11
Baca: Ulangan 10:12-22
"...beribadah kepada TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu," Ulangan 10:12
Ibadah merupakan bagian penting dalam kehidupan orang percaya, namun banyak orang memaknai ibadah secara berbeda-beda. Ada yang beranggapan bahwa ibadah adalah sesuatu yang sifatnya ritual, cukup dilakukan pada hari Minggu dengan cara masuk ke dalam gereja lalu mengikuti semua kegiatan agamawi mulai dari berdoa, memuji-muji Tuhan dan mendengarkan firman Tuhan. Mereka menjadikan ibadah sebagai aktivitas rutin semata. "Secara lahiriah mereka menjalankan ibadah mereka, tetapi pada hakekatnya mereka memungkiri kekuatannya." (2 Timotius 3:5). Ibadah yang dilakukan sebatas lahiriah pasti tidak akan menghasilkan kuasa. Padahal, kuasa ibadahlah yang sanggup memulihkan dan mengubahkan hidup seseorang.
Ibadah yang benar bukan sekadar menjalankan ritual keagamaan melainkan bagaimana mengalami perjumpaan pribadi dengan Tuhan, tinggal di hadirat-Nya, bersekutu dan bergaul karib denganNya. Inilah esensi ibadah! Maka, karena kita telah menerima kerajaan yang tak tergoncangkan, "...marilah kita mengucap syukur dan beribadah kepada Allah menurut cara yang berkenan kepada-Nya, dengan hormat dan takut." (Ibrani 12:28). Banyak gereja kehilangan esensi ibadah karena tidak lagi memiliki rasa hormat dan takut akan Tuhan; asal dihadiri banyak jemaat, musik ingar-bingar, pengkhotbahnya handal dan terkenal, pasti Tuhan hadir dan melawat ibadah tersebut. Benarkah? "Sungguh, apabila kamu mempersembahkan kepada-Ku korban-korban bakaran dan korban-korban sajianmu, Aku tidak suka, dan korban keselamatanmu berupa ternak yang tambun, Aku tidak mau pandang. Jauhkanlah dari pada-Ku keramaian nyanyian-nyanyianmu, lagu gambusmu tidak mau Aku dengar." (Amos 5:22-23).
Ibadah yang benar dan berkenan dimulai dari sikap hati yang hormat dan takut akan Tuhan. Oleh karena itu, "Jagalah langkahmu, kalau engkau berjalan ke rumah Allah!" (Pengkotbah 4:17). Hormat dan takut akan Tuhan adalah jalan menuju kepada keintiman dengan Tuhan.
"Beribadahlah kepada TUHAN dengan takut dan ciumlah kaki-Nya dengan gemetar," Mazmur 2:11
Friday, December 12, 2014
HAJARAN TUHAN: Mendewasan Kita
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 12 Desember 2014
Baca: Amsal 3:11-26
"Hai anakku, janganlah engkau menolak didikan TUHAN, dan janganlah engkau bosan akan peringatan-Nya." Amsal 3:11
Alasan lain mengapa Tuhan perlu menghajar anak-anak-Nya adalah: 2. Bagian dari proses pendewasaan. Tuhan menghendaki setiap kita mengalami pertumbuhan rohani. Tidak mungkin kita sudah mengikut Tuhan selama bertahun-tahun tapi tetap saja menjadi bayi rohani, kanak-kanak rohani, atau kerdil rohani, melainkan harus mengalami pertumbuhan dari hari ke sehari, "...sampai kita semua telah mencapai kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus," (Efesus 4:13). Menjadi dewasa rohani adalah target Tuhan!
Ketika kita masih bayi rohani kita membutuhkan 'susu yang murni', tapi ketika kita beranjak remaja bahkan dewasa di dalam Tuhan kita harus menerima makanan-makanan keras yang memang cocok bagi kita, "Sebab barangsiapa masih memerlukan susu ia tidak memahami ajaran tentang kebenaran, sebab ia adalah anak kecil. Tetapi makanan keras adalah untuk orang-orang dewasa," (Ibrani 5:13-14). Karena itu Tuhan perlu menegur kita dengan keras, dan jika perlu ia akan menghajar kita melalui masalah dan penderitaan supaya kita tidak cengeng, tapi semakin kuat. "Siapa tidak menggunakan tongkat, benci kepada anaknya; tetapi siapa mengasihi anaknya, menghajar dia pada waktunya." (Amsal 13:24). Inilah fakta yang sering dilupakan oleh anak-anak Tuhan, sehingga ketika diperhadapkan dengan masalah, penderitaan atau kesesakan seringkali kita mudah kecewa, mengeluh, bersungut-sungut dan berputus asa. Lalu dengan secepat kilat kita marah kepada Tuhan dan berpikir bahwa Tuhan itu jahat, kejam dan tidak mengasihi kita, padahal 'hajaran' Tuhan adalah untuk kebaikan kita juga. "Karena Ia tahu jalan hidupku; seandainya Ia menguji aku, aku akan timbul seperti emas." (Ayub 23:10).
Kedewasaan rohani secara otomatis akan disertai perubahan karakter, "Sekarang sesudah aku menjadi dewasa, aku meninggalkan sifat kanak-kanak itu." (1 Korintus 13:11b), sehingga kita akan menyikapi hajaran Tuhan dengan sikap hati yang benar.
Seperti tanah liat di tangan di tukang periuk, jika ingin di pakai menjadi perabot yang mulia kita harus mau dibentuk, walau sakit sekalipun!
Baca: Amsal 3:11-26
"Hai anakku, janganlah engkau menolak didikan TUHAN, dan janganlah engkau bosan akan peringatan-Nya." Amsal 3:11
Alasan lain mengapa Tuhan perlu menghajar anak-anak-Nya adalah: 2. Bagian dari proses pendewasaan. Tuhan menghendaki setiap kita mengalami pertumbuhan rohani. Tidak mungkin kita sudah mengikut Tuhan selama bertahun-tahun tapi tetap saja menjadi bayi rohani, kanak-kanak rohani, atau kerdil rohani, melainkan harus mengalami pertumbuhan dari hari ke sehari, "...sampai kita semua telah mencapai kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus," (Efesus 4:13). Menjadi dewasa rohani adalah target Tuhan!
Ketika kita masih bayi rohani kita membutuhkan 'susu yang murni', tapi ketika kita beranjak remaja bahkan dewasa di dalam Tuhan kita harus menerima makanan-makanan keras yang memang cocok bagi kita, "Sebab barangsiapa masih memerlukan susu ia tidak memahami ajaran tentang kebenaran, sebab ia adalah anak kecil. Tetapi makanan keras adalah untuk orang-orang dewasa," (Ibrani 5:13-14). Karena itu Tuhan perlu menegur kita dengan keras, dan jika perlu ia akan menghajar kita melalui masalah dan penderitaan supaya kita tidak cengeng, tapi semakin kuat. "Siapa tidak menggunakan tongkat, benci kepada anaknya; tetapi siapa mengasihi anaknya, menghajar dia pada waktunya." (Amsal 13:24). Inilah fakta yang sering dilupakan oleh anak-anak Tuhan, sehingga ketika diperhadapkan dengan masalah, penderitaan atau kesesakan seringkali kita mudah kecewa, mengeluh, bersungut-sungut dan berputus asa. Lalu dengan secepat kilat kita marah kepada Tuhan dan berpikir bahwa Tuhan itu jahat, kejam dan tidak mengasihi kita, padahal 'hajaran' Tuhan adalah untuk kebaikan kita juga. "Karena Ia tahu jalan hidupku; seandainya Ia menguji aku, aku akan timbul seperti emas." (Ayub 23:10).
Kedewasaan rohani secara otomatis akan disertai perubahan karakter, "Sekarang sesudah aku menjadi dewasa, aku meninggalkan sifat kanak-kanak itu." (1 Korintus 13:11b), sehingga kita akan menyikapi hajaran Tuhan dengan sikap hati yang benar.
Seperti tanah liat di tangan di tukang periuk, jika ingin di pakai menjadi perabot yang mulia kita harus mau dibentuk, walau sakit sekalipun!
Thursday, December 11, 2014
HAJARAN TUHAN: Menuntun Kepada Pertobatan
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 11 Desember 2014
Baca: Mazmur 94:1-23
"Berbahagialah orang yang Kauhajar, ya TUHAN, dan yang Kauajari dari Taurat-Mu," Mazmur 94:12
Mendengar kata 'hajar' umumnya orang mengartikannya negatif. Biasanya 'menghajar' diakibatkan oleh kesabaran yang sudah habis, kejengkelan yang memuncak, amarah yang meledak-ledak disertai rasa benci dan dendam. Namun, hajaran yang dilakukan oleh Tuhan berbeda. Dia menghajar umat-Nya dengan maksud yang baik. Hajaran Tuhan itu bersifat mendidik! "...kalau kita menerima hukuman dari Tuhan, kita dididik, supaya kita tidak akan dihukum bersama-sama dengan dunia." (1 Korintus 11:32). Tuhan tidak pernah menyerah dan berhenti untuk 'menghajar' kita sampai rencana-Nya digenapi dalam hidup kita, maka "...janganlah anggap enteng didikan Tuhan, dan janganlah putus asa apabila engkau diperingatkan-Nya;" (Ibrani 12:5).
Mengapa Tuhan sangat perlu menghajar anak-anak-Nya? 1. Menuntun kita kepada pertobatan. Daud pun menyadarinya: "Sebelum aku tertindas, aku menyimpang, tetapi sekarang aku berpegang pada janji-Mu. Bahwa aku tertindas itu baik bagiku, supaya aku belajar ketetapan-ketetapan-Mu. Taurat yang Kausampaikan adalah baik bagiku, lebih dari pada ribuan keping emas dan perak." (Mazmur 119:67, 71, 72). Dengan hajaran Tuhan melalui masalah atau penderitaan kita akhirnya menyadari akan kesalahan yang telah kita perbuat dan takut untuk berbuat dosa lagi, seperti yang dirasakan oleh anak bungsu dalam perumpamaan anak yang hilang (baca Lukas 15:11-32). Karakternya berubah setelah mengalami penderitaan. Akhirnya ia bertekad untuk kembali kepada bapanya: "Aku akan bangkit dan pergi kepada bapaku dan berkata kepadanya: Bapa, aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa; jadikanlah aku sebagai salah seorang upahan bapa." (Lukas 15:18-19).
Rasul Paulus berkata, "Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran." (2 Timotius 3:16).
Melalui masalah dan penderitaan orang menyadari kesalahannya, kemudian berbalik kepada Tuhan dan bertobat!
Baca: Mazmur 94:1-23
"Berbahagialah orang yang Kauhajar, ya TUHAN, dan yang Kauajari dari Taurat-Mu," Mazmur 94:12
Mendengar kata 'hajar' umumnya orang mengartikannya negatif. Biasanya 'menghajar' diakibatkan oleh kesabaran yang sudah habis, kejengkelan yang memuncak, amarah yang meledak-ledak disertai rasa benci dan dendam. Namun, hajaran yang dilakukan oleh Tuhan berbeda. Dia menghajar umat-Nya dengan maksud yang baik. Hajaran Tuhan itu bersifat mendidik! "...kalau kita menerima hukuman dari Tuhan, kita dididik, supaya kita tidak akan dihukum bersama-sama dengan dunia." (1 Korintus 11:32). Tuhan tidak pernah menyerah dan berhenti untuk 'menghajar' kita sampai rencana-Nya digenapi dalam hidup kita, maka "...janganlah anggap enteng didikan Tuhan, dan janganlah putus asa apabila engkau diperingatkan-Nya;" (Ibrani 12:5).
Mengapa Tuhan sangat perlu menghajar anak-anak-Nya? 1. Menuntun kita kepada pertobatan. Daud pun menyadarinya: "Sebelum aku tertindas, aku menyimpang, tetapi sekarang aku berpegang pada janji-Mu. Bahwa aku tertindas itu baik bagiku, supaya aku belajar ketetapan-ketetapan-Mu. Taurat yang Kausampaikan adalah baik bagiku, lebih dari pada ribuan keping emas dan perak." (Mazmur 119:67, 71, 72). Dengan hajaran Tuhan melalui masalah atau penderitaan kita akhirnya menyadari akan kesalahan yang telah kita perbuat dan takut untuk berbuat dosa lagi, seperti yang dirasakan oleh anak bungsu dalam perumpamaan anak yang hilang (baca Lukas 15:11-32). Karakternya berubah setelah mengalami penderitaan. Akhirnya ia bertekad untuk kembali kepada bapanya: "Aku akan bangkit dan pergi kepada bapaku dan berkata kepadanya: Bapa, aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa; jadikanlah aku sebagai salah seorang upahan bapa." (Lukas 15:18-19).
Rasul Paulus berkata, "Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran." (2 Timotius 3:16).
Melalui masalah dan penderitaan orang menyadari kesalahannya, kemudian berbalik kepada Tuhan dan bertobat!
Wednesday, December 10, 2014
HAJARAN TUHAN: Bukti Kita Anak-Nya
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 10 Desember 2014
Baca: Ibrani 12:5-11
"Tetapi kemudian ia menghasilkan buah kebenaran yang memberikan damai kepada mereka yang dilatih olehnya." Ibrani 12:11b
Paulus mengingatkan jemaat Filipi, "Sebab kepada kamu dikaruniakan bukan saja untuk percaya kepada Kristus, melainkan juga untuk menderita untuk Dia," (Filipi 1:19). Artinya karunia untuk percaya sesungguhnya merupakan berkat luar biasa, sebab ketika kita hidup karena percaya, bukan karena melihat (baca 2 Korintus 5:7), kita akan mengalami perkara-perkara besar yang Tuhan kerjakan.
Alkitab menambahkan bahwa kita juga 'dikaruniai' untuk menderita bagi Kristus. Penderitaan yang dimaksudkan bertujuan untuk menguji kualitas iman, memurnikan motivasi, melatih ketekunan dan kesetiaan kita kepada Tuhan. Ayub berkata, "Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?" (Ayub 2:10), dan "Jika kamu harus menanggung ganjaran; Allah memperlakukan kamu seperti anak. Di manakah terdapat anak yang tidak dihajar oleh ayahnya?" (Ibrani 12:7). Jika saat ini kita harus mengalami 'hajaran' dari Tuhan melalui masalah dan penderitaan, itu membuktikan bahwa Tuhan sangat mengasih kita dan memperlakukan kita sebagai anak-anak yang dikasihi-Nya. "Tetapi, jikalau kamu bebas dari ganjaran, yang harus diderita setiap orang, maka kamu bukanlah anak, tetapi anak-anak gampang." (Ibrani 12:8). Apakah kita mau disebut sebagai anak gampang?
Selama kita melekat kepada Tuhan dan mengandalkan Dia kita akan sanggup menanggungnya. Kesanggupan itu "Bukan dengan keperkasaan dan bukan dengan kekuatan, melainkan dengan roh-Ku, firman TUHAN semesta alam." (Zakharia 4:6), yaitu "...roh yang membangkitkan kekuatan, kasih dan ketertiban." (2 Timotius 1:7). Jadi, "...kesanggupan kami adalah pekerjaan Allah." (2 Korintus 3:5). Seorang anak yang berada dalam fase pertumbuhan biasanya akan melakukan segala sesuatu dengan semangat yang tinggi, tapi biasanya semangat tersebut dilandasi oleh ambisi. Bisa ditebak, jika sesuatu dilandasi oleh ambisi pribadi, fokus kita pun semata-mata mencari pujian untuk diri sendiri, dan dari sinilah akhirnya muncul kesombongan.
Tuhan tidak ingin anak-Nya berjalan semaunya sendiri dan menjadi sombong, karena itu perlu 'hajaran'!
Baca: Ibrani 12:5-11
"Tetapi kemudian ia menghasilkan buah kebenaran yang memberikan damai kepada mereka yang dilatih olehnya." Ibrani 12:11b
Paulus mengingatkan jemaat Filipi, "Sebab kepada kamu dikaruniakan bukan saja untuk percaya kepada Kristus, melainkan juga untuk menderita untuk Dia," (Filipi 1:19). Artinya karunia untuk percaya sesungguhnya merupakan berkat luar biasa, sebab ketika kita hidup karena percaya, bukan karena melihat (baca 2 Korintus 5:7), kita akan mengalami perkara-perkara besar yang Tuhan kerjakan.
Alkitab menambahkan bahwa kita juga 'dikaruniai' untuk menderita bagi Kristus. Penderitaan yang dimaksudkan bertujuan untuk menguji kualitas iman, memurnikan motivasi, melatih ketekunan dan kesetiaan kita kepada Tuhan. Ayub berkata, "Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?" (Ayub 2:10), dan "Jika kamu harus menanggung ganjaran; Allah memperlakukan kamu seperti anak. Di manakah terdapat anak yang tidak dihajar oleh ayahnya?" (Ibrani 12:7). Jika saat ini kita harus mengalami 'hajaran' dari Tuhan melalui masalah dan penderitaan, itu membuktikan bahwa Tuhan sangat mengasih kita dan memperlakukan kita sebagai anak-anak yang dikasihi-Nya. "Tetapi, jikalau kamu bebas dari ganjaran, yang harus diderita setiap orang, maka kamu bukanlah anak, tetapi anak-anak gampang." (Ibrani 12:8). Apakah kita mau disebut sebagai anak gampang?
Selama kita melekat kepada Tuhan dan mengandalkan Dia kita akan sanggup menanggungnya. Kesanggupan itu "Bukan dengan keperkasaan dan bukan dengan kekuatan, melainkan dengan roh-Ku, firman TUHAN semesta alam." (Zakharia 4:6), yaitu "...roh yang membangkitkan kekuatan, kasih dan ketertiban." (2 Timotius 1:7). Jadi, "...kesanggupan kami adalah pekerjaan Allah." (2 Korintus 3:5). Seorang anak yang berada dalam fase pertumbuhan biasanya akan melakukan segala sesuatu dengan semangat yang tinggi, tapi biasanya semangat tersebut dilandasi oleh ambisi. Bisa ditebak, jika sesuatu dilandasi oleh ambisi pribadi, fokus kita pun semata-mata mencari pujian untuk diri sendiri, dan dari sinilah akhirnya muncul kesombongan.
Tuhan tidak ingin anak-Nya berjalan semaunya sendiri dan menjadi sombong, karena itu perlu 'hajaran'!
Tuesday, December 9, 2014
HAJARAN TUHAN: Wujud Kasih-Nya
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 9 Desember 2014
Baca: Ibrani 12:5-11
"karena Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak." Ibrani 12:6
Kalau kita baca ayat nas di atas akan muncul pengertian, bahwa sebagai anak Tuhan selain mendapatkan kasih dariNya kita juga harus mengalami 'hajaran' dariNya. Hajaran memiliki pengertian bukan suatu pukulan yang didasari oleh perasaan marah dan benci, namun suatu tindakan disiplin yang akan membawa kita kepada kedewasaan. Hajaran Tuhan dapat berupa masalah, penderitaan dan juga kesesakan. Situasi-situasi sulit inilah hal yang paling tidak disukai, tidak diingini dan berusaha untuk dihindari oleh siapapun. Siapa di antara kita yang ingin dan mau terus mengalami masalah penderitaan dan kesesakan dalam kehidupannya?
Seperti cuaca buruk yang menghasilkan angin puting beliung dan mendatangkan bencana, memporakporandakan bangunan, menumbangkan pohon dan dapat menelan korban, begitu juga dengan masalah, penderitaan dan kesesakan yang terjadi dalam hidup ini seringkali menorehkan luka mendalam dan menyayat hati, sehingga banyak orang menjadi kecewa, frustasi dan berputus asa. Namun sesungguhnya ada sisi positif di balik masalah dan penderitaan yang terjadi. Semua bergantung pada cara kita memandang dan menyikapinya. "Memang tiap-tiap ganjaran pada waktu ia diberikan tidak mendatangkan sukacita, tetapi dukacita. Tetapi kemudian ia menghasilkan buah kebenaran yang memberikan damai kepada mereka yang dilatih olehnya." (Ibrani 12:11).
Adakalanya Tuhan mengijinkan masalah dan penderitaan terjadi dengan suatu tujuan untuk memproses kita supaya makin dewasa rohani. Tapi sayang, tidak semua orang Kristen menyadarinya, sehingga mereka melihat masalah hanya dari satu sisi saja. Bagi mereka, masalah tak jauh berbeda seperti monster menakutkan yang sewaktu-waktu siap menerkam dan menghancurkan kehidupan rumah tangga dan pelayanan kita. Akhirnya banyak di antara orang Kristen yang kecewa, marah, memberontak dan kemudian lari meninggalkan Tuhan oleh karena tidak tahan dengan hajaran dari Tuhan. Namun Alkitab menegaskan: "...Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak." (ayat nas).
Kita seharusnya bersyukur, sebab hajaran adalah wujud kasih Tuhan kepada kita!
Baca: Ibrani 12:5-11
"karena Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak." Ibrani 12:6
Kalau kita baca ayat nas di atas akan muncul pengertian, bahwa sebagai anak Tuhan selain mendapatkan kasih dariNya kita juga harus mengalami 'hajaran' dariNya. Hajaran memiliki pengertian bukan suatu pukulan yang didasari oleh perasaan marah dan benci, namun suatu tindakan disiplin yang akan membawa kita kepada kedewasaan. Hajaran Tuhan dapat berupa masalah, penderitaan dan juga kesesakan. Situasi-situasi sulit inilah hal yang paling tidak disukai, tidak diingini dan berusaha untuk dihindari oleh siapapun. Siapa di antara kita yang ingin dan mau terus mengalami masalah penderitaan dan kesesakan dalam kehidupannya?
Seperti cuaca buruk yang menghasilkan angin puting beliung dan mendatangkan bencana, memporakporandakan bangunan, menumbangkan pohon dan dapat menelan korban, begitu juga dengan masalah, penderitaan dan kesesakan yang terjadi dalam hidup ini seringkali menorehkan luka mendalam dan menyayat hati, sehingga banyak orang menjadi kecewa, frustasi dan berputus asa. Namun sesungguhnya ada sisi positif di balik masalah dan penderitaan yang terjadi. Semua bergantung pada cara kita memandang dan menyikapinya. "Memang tiap-tiap ganjaran pada waktu ia diberikan tidak mendatangkan sukacita, tetapi dukacita. Tetapi kemudian ia menghasilkan buah kebenaran yang memberikan damai kepada mereka yang dilatih olehnya." (Ibrani 12:11).
Adakalanya Tuhan mengijinkan masalah dan penderitaan terjadi dengan suatu tujuan untuk memproses kita supaya makin dewasa rohani. Tapi sayang, tidak semua orang Kristen menyadarinya, sehingga mereka melihat masalah hanya dari satu sisi saja. Bagi mereka, masalah tak jauh berbeda seperti monster menakutkan yang sewaktu-waktu siap menerkam dan menghancurkan kehidupan rumah tangga dan pelayanan kita. Akhirnya banyak di antara orang Kristen yang kecewa, marah, memberontak dan kemudian lari meninggalkan Tuhan oleh karena tidak tahan dengan hajaran dari Tuhan. Namun Alkitab menegaskan: "...Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak." (ayat nas).
Kita seharusnya bersyukur, sebab hajaran adalah wujud kasih Tuhan kepada kita!
Monday, December 8, 2014
SEMUA MENJADI KENYATAAN
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 8 Desember 2014
Baca: Yesaya 48:1-11
"Hal-hal yang terjadi di masa yang lampau telah Kuberitahukan dari sejak dahulu, Aku telah mengucapkannya dan telah mengabarkannya. Kemudian dengan sekonyong-konyong Aku melaksanakannya juga dan semuanya itu sudah menjadi kenyataan." Yesaya 48:3
Setiap orang pasti memiliki impian dalam hidupnya, dan salah satu dari sekian impian itu adalah menjadi orang yang berhasil. Namun keberhasilan bukanlah sesuatu yang datang secara tiba-tiba dari langit, bukan sesuatu yang terjadi dengan sendirinya atau secara kebetulan, tapi melalui sebuah proses yang tidak singkat dan menuntut sebuah harga.
Jika ingin berhasil kita harus menetapkan prioritas dan sasaran yang hendak dituju, membuat keputusan dan pilihan hidup yang benar. Keputusan dan pilihan hidup kita hari ini akan menentukan seperti apa kita di kemudian hari. Rasul Paulus berkata, "...ini yang kulakukan: aku melupakan apa yang telah di belakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku, dan berlari-lari kepada tujuan untuk memperoleh hadiah, yaitu panggilan sorgawi dari Allah dalam Kristus Yesus." (Filipi 3:13-14). Ini memotivasi kita untuk mengerjakan segala sesuatu dengan semangat dan mempergunakan waktu yang ada sebaik mungkin. Kepada jemaat di Efesus rasul Paulus menasihati, "...perhatikanlah dengan saksama, bagaimana kamu hidup, janganlah seperti orang bebal, tetapi seperti orang arif, dan pergunakanlah waktu yang ada, karena hari-hari ini adalah jahat." (Efesus 5:15-16). Kita pun harus mengisi dan memenuhi pikiran kita dengan hal-hal positif, "...semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu." (Filipi 4:8), sebab apa yang kita taruh dalam pikiran kita, cepat atau lambat, akan terjadi. Mario Teguh mengatakan, "Yang anda pikirkan menentukan yang anda lakukan. Dan yang anda lakukan menentukan yang anda hasilkan."
Andalkan Tuhan dan libatkan Dia di setiap langkah hidup kita, maka Ia akan menuntun dan membimbing kita. Hanya karena campur tangan Tuhanlah semua yang kita impikan akan menjadi kenyataan. Tidak ada istilah kebetulan bagi orang percaya!
Bersama Tuhan "...perjalananmu akan berhasil dan engkau akan beruntung." Yosua 1:8
Baca: Yesaya 48:1-11
"Hal-hal yang terjadi di masa yang lampau telah Kuberitahukan dari sejak dahulu, Aku telah mengucapkannya dan telah mengabarkannya. Kemudian dengan sekonyong-konyong Aku melaksanakannya juga dan semuanya itu sudah menjadi kenyataan." Yesaya 48:3
Setiap orang pasti memiliki impian dalam hidupnya, dan salah satu dari sekian impian itu adalah menjadi orang yang berhasil. Namun keberhasilan bukanlah sesuatu yang datang secara tiba-tiba dari langit, bukan sesuatu yang terjadi dengan sendirinya atau secara kebetulan, tapi melalui sebuah proses yang tidak singkat dan menuntut sebuah harga.
Jika ingin berhasil kita harus menetapkan prioritas dan sasaran yang hendak dituju, membuat keputusan dan pilihan hidup yang benar. Keputusan dan pilihan hidup kita hari ini akan menentukan seperti apa kita di kemudian hari. Rasul Paulus berkata, "...ini yang kulakukan: aku melupakan apa yang telah di belakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku, dan berlari-lari kepada tujuan untuk memperoleh hadiah, yaitu panggilan sorgawi dari Allah dalam Kristus Yesus." (Filipi 3:13-14). Ini memotivasi kita untuk mengerjakan segala sesuatu dengan semangat dan mempergunakan waktu yang ada sebaik mungkin. Kepada jemaat di Efesus rasul Paulus menasihati, "...perhatikanlah dengan saksama, bagaimana kamu hidup, janganlah seperti orang bebal, tetapi seperti orang arif, dan pergunakanlah waktu yang ada, karena hari-hari ini adalah jahat." (Efesus 5:15-16). Kita pun harus mengisi dan memenuhi pikiran kita dengan hal-hal positif, "...semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu." (Filipi 4:8), sebab apa yang kita taruh dalam pikiran kita, cepat atau lambat, akan terjadi. Mario Teguh mengatakan, "Yang anda pikirkan menentukan yang anda lakukan. Dan yang anda lakukan menentukan yang anda hasilkan."
Andalkan Tuhan dan libatkan Dia di setiap langkah hidup kita, maka Ia akan menuntun dan membimbing kita. Hanya karena campur tangan Tuhanlah semua yang kita impikan akan menjadi kenyataan. Tidak ada istilah kebetulan bagi orang percaya!
Bersama Tuhan "...perjalananmu akan berhasil dan engkau akan beruntung." Yosua 1:8
Sunday, December 7, 2014
MUJIZAT TUHAN: Bagi yang Merindukan-Nya
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 7 Desember 2014
Baca: Matius 20:29-34
"Ia berkata: "Apa yang kamu kehendaki supaya Aku perbuat bagimu?" Matius 20:32
Tuhan menyediakan mujizat bagi setiap orang yang sungguh-sungguh merindukan dan menginginkan mujizat itu. Sama seperti orang yang merindukan hikmat, "jikalau engkau mencarinya seperti mencari perak, dan mengejarnya seperti mengejar harta terpendam, maka engkau akan memperoleh..." (Amsal 2:4-5). Artinya dibutuhkan tekad yang kuat, tindakan nyata dan usaha sedemikian rupa untuk memperoleh mujizat!
Pergumulan apa yang Saudara alami saat ini? Tentang pasangan hidup, sakit-penyakit, ekonomi keluarga yang sedang guncang, usaha atau bisnis yang berada di ujung kebangkrutan? Datanglah kepada Tuhan, berserulah kepada-Nya dan nyatakan keinginan Saudara secara spesifik kepada Tuhan melalui doa dan permohonan yang tiada jemu-jemu. Inilah janji Tuhan kepada setiap orang yang bersungguh-sungguh datang kepada-Nya, "Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu. Karena setiap orang yang meminta, menerima dan setiap orang yang mencari, mendapat dan setiap orang yang mengetok, baginya pintu dibukakan." (Matius 7:7-8). Ketika bertemu dengan Yesus, kedua orang buta dalam kisah hari ini tidak menyia-nyiakan kesempatan yang ada. "Maka tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan, lalu Ia menjamah mata mereka dan seketika itu juga mereka melihat lalu mengikuti Dia." (Matius 20:34).
Imanilah setiap janji Tuhan karena Ia bekerja seturut dengan janji-Nya, dan jika Ia berjanji tidak ada yang tidak ditepati-Nya. "Allah bukanlah manusia, sehingga Ia berdusta bukan anak manusia, sehingga Ia menyesal. Masakan Ia berfirman dan tidak melakukannya, atau berbicara dan tidak menepatinya?" (Bilangan 23:19). Jangan biarkan keraguan dan kebimbangan memenuhi hati dan pikiran kita! Sebaliknya milikilah iman seperti seorang wanita yang mengalami pendarahan selama 12 tahun yang berkata, "Asal kujamah saja jubah-Nya, aku akan sembuh." (Markus 5:28).
"TUHAN dekat pada setiap orang yang berseru kepada-Nya, pada setiap orang yang berseru kepada-Nya dalam kesetiaan." Mazmur 145:18
Baca: Matius 20:29-34
"Ia berkata: "Apa yang kamu kehendaki supaya Aku perbuat bagimu?" Matius 20:32
Tuhan menyediakan mujizat bagi setiap orang yang sungguh-sungguh merindukan dan menginginkan mujizat itu. Sama seperti orang yang merindukan hikmat, "jikalau engkau mencarinya seperti mencari perak, dan mengejarnya seperti mengejar harta terpendam, maka engkau akan memperoleh..." (Amsal 2:4-5). Artinya dibutuhkan tekad yang kuat, tindakan nyata dan usaha sedemikian rupa untuk memperoleh mujizat!
Pergumulan apa yang Saudara alami saat ini? Tentang pasangan hidup, sakit-penyakit, ekonomi keluarga yang sedang guncang, usaha atau bisnis yang berada di ujung kebangkrutan? Datanglah kepada Tuhan, berserulah kepada-Nya dan nyatakan keinginan Saudara secara spesifik kepada Tuhan melalui doa dan permohonan yang tiada jemu-jemu. Inilah janji Tuhan kepada setiap orang yang bersungguh-sungguh datang kepada-Nya, "Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu. Karena setiap orang yang meminta, menerima dan setiap orang yang mencari, mendapat dan setiap orang yang mengetok, baginya pintu dibukakan." (Matius 7:7-8). Ketika bertemu dengan Yesus, kedua orang buta dalam kisah hari ini tidak menyia-nyiakan kesempatan yang ada. "Maka tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan, lalu Ia menjamah mata mereka dan seketika itu juga mereka melihat lalu mengikuti Dia." (Matius 20:34).
Imanilah setiap janji Tuhan karena Ia bekerja seturut dengan janji-Nya, dan jika Ia berjanji tidak ada yang tidak ditepati-Nya. "Allah bukanlah manusia, sehingga Ia berdusta bukan anak manusia, sehingga Ia menyesal. Masakan Ia berfirman dan tidak melakukannya, atau berbicara dan tidak menepatinya?" (Bilangan 23:19). Jangan biarkan keraguan dan kebimbangan memenuhi hati dan pikiran kita! Sebaliknya milikilah iman seperti seorang wanita yang mengalami pendarahan selama 12 tahun yang berkata, "Asal kujamah saja jubah-Nya, aku akan sembuh." (Markus 5:28).
"TUHAN dekat pada setiap orang yang berseru kepada-Nya, pada setiap orang yang berseru kepada-Nya dalam kesetiaan." Mazmur 145:18
Saturday, December 6, 2014
MUJIZAT TUHAN: Masih Ada dan Tetap Ada
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 6 Desember 2014
Baca: Mazmur 86:1-17
"Sebab Engkau besar dan melakukan keajaiban-keajaiban; Engkau sendiri saja Allah." Mazmur 86:10
Mujizat adalah karya adikodrati Tuhan yang dinyatakan dalam kehidupan orang percaya. Mujizat sangat identik dengan berkat, kesembuhan, pemulihan. Begitu rindunya mengalami mujizat, seseorang rela membayar harga, terkadang menempuh perjalanan yang sangat jauh, bahkan melintasi pulau atau negara demi menghadiri KKR (Kebaktian Kebangunan Rohani) yang dilayani oleh hamba Tuhan terkenal yang dipakai Tuhan secara luar biasa. Tapi di sisi lain masih banyak orang yang tidak percaya terhadap mujizat. Mereka beranggapan bahwa zaman mujizat sudah berlalu, hanya terjadi di zaman nabi-nabi terdahulu atau semasa Tuhan Yesus berada di bumi.
Dahulu ketika Tuhan Yesus ada di tengah-tengah umat manusia juga ada sekelompok orang yang tidak percaya mujizat, padahal mereka berhadapan langsung dengan Sang Pembuat mujizat, "Dan meskipun Yesus mengadakan begitu banyak mujizat di depan mata mereka, namun mereka tidak percaya kepada-Nya," (Yohanes 12:37). Tak terkecuali orang-orang di Nazaret, padahal Nazaret adalah tempat asal Tuhan Yesus sendiri, tapi mereka meremehkan, bahkan menolak Dia, yang mereka pikir Yesus itu tidak lebih dari anak seorang tukang kayu. "Dan karena ketidakpercayaan mereka, tidak banyak mujizat diadakan-Nya di situ." (Matius 13:58). Ada pula yang menganggap bahwa mujizat terjadi secara kebetulan dan bersifat insidentil saja. Itu tidak benar!
Mujizat itu ada dan tetap ada, sebab kuasa Tuhan itu tidak pernah berubah. "Yesus Kristus tetap sama, baik kemarin maupun hari ini dan sampai selama-lamanya." (Ibrani 13:8). Terjadi tidaknya mujizat dalam hidup seseorang sangat ditentukan oleh seberapa besar imannya kepada Tuhan. Kalau kita sendiri ragu-ragu atau bimbang, itu akan menjadi penghalang bagi Tuhan untuk menyatakan mujizat-Nya. "...sebab orang yang bimbang sama dengan gelombang laut, yang diombang-ambingkan kian ke mari oleh angin. Orang yang demikian janganlah mengira, bahwa ia akan menerima sesuatu dari Tuhan." (Yakobus 1:6-7). Selama ada kebimbangan dan keraguan, seseorang tidak akan mendapatkan sesuatu dari Tuhan, apalagi mereka yang tidak percaya dan apatis.
Ketidakpercayaan adalah penghalang utama mengalami mujizat Tuhan!
Baca: Mazmur 86:1-17
"Sebab Engkau besar dan melakukan keajaiban-keajaiban; Engkau sendiri saja Allah." Mazmur 86:10
Mujizat adalah karya adikodrati Tuhan yang dinyatakan dalam kehidupan orang percaya. Mujizat sangat identik dengan berkat, kesembuhan, pemulihan. Begitu rindunya mengalami mujizat, seseorang rela membayar harga, terkadang menempuh perjalanan yang sangat jauh, bahkan melintasi pulau atau negara demi menghadiri KKR (Kebaktian Kebangunan Rohani) yang dilayani oleh hamba Tuhan terkenal yang dipakai Tuhan secara luar biasa. Tapi di sisi lain masih banyak orang yang tidak percaya terhadap mujizat. Mereka beranggapan bahwa zaman mujizat sudah berlalu, hanya terjadi di zaman nabi-nabi terdahulu atau semasa Tuhan Yesus berada di bumi.
Dahulu ketika Tuhan Yesus ada di tengah-tengah umat manusia juga ada sekelompok orang yang tidak percaya mujizat, padahal mereka berhadapan langsung dengan Sang Pembuat mujizat, "Dan meskipun Yesus mengadakan begitu banyak mujizat di depan mata mereka, namun mereka tidak percaya kepada-Nya," (Yohanes 12:37). Tak terkecuali orang-orang di Nazaret, padahal Nazaret adalah tempat asal Tuhan Yesus sendiri, tapi mereka meremehkan, bahkan menolak Dia, yang mereka pikir Yesus itu tidak lebih dari anak seorang tukang kayu. "Dan karena ketidakpercayaan mereka, tidak banyak mujizat diadakan-Nya di situ." (Matius 13:58). Ada pula yang menganggap bahwa mujizat terjadi secara kebetulan dan bersifat insidentil saja. Itu tidak benar!
Mujizat itu ada dan tetap ada, sebab kuasa Tuhan itu tidak pernah berubah. "Yesus Kristus tetap sama, baik kemarin maupun hari ini dan sampai selama-lamanya." (Ibrani 13:8). Terjadi tidaknya mujizat dalam hidup seseorang sangat ditentukan oleh seberapa besar imannya kepada Tuhan. Kalau kita sendiri ragu-ragu atau bimbang, itu akan menjadi penghalang bagi Tuhan untuk menyatakan mujizat-Nya. "...sebab orang yang bimbang sama dengan gelombang laut, yang diombang-ambingkan kian ke mari oleh angin. Orang yang demikian janganlah mengira, bahwa ia akan menerima sesuatu dari Tuhan." (Yakobus 1:6-7). Selama ada kebimbangan dan keraguan, seseorang tidak akan mendapatkan sesuatu dari Tuhan, apalagi mereka yang tidak percaya dan apatis.
Ketidakpercayaan adalah penghalang utama mengalami mujizat Tuhan!
Friday, December 5, 2014
BERSAMA TUHAN: Everything's Possible (2)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 5 Desember 2014
Baca: 1 Korintus 1:18-31
"supaya jangan ada seorang manusiapun yang memegahkan diri di hadapan Allah." 1 Korintus 1:29
Mengapa Tuhan lebih cenderung memanggil dan memilih orang-orang yang tidak terpandang, dinilai bodoh, dan diremehkan oleh dunia? Supaya kita tidak menjadi sombong dan memegahkan diri sendiri, sebab kemegahan yang bukan pada kehebatan Tuhan dalah sebuah kejahatan (baca Yakobus 4:16). "...Tetapi apa yang bodoh bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan orang-orang yang berhikmat, dan apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan apa yang kuat, dan apa yang tidak terpandang dan yang hina bagi dunia, dipilih Allah, bahkan apa yang tidak berarti, dipilih Allah untuk meniadakan apa yang berarti," (1 Korintus 1:27-28).
Apa pun keadaan Saudara terimalah diri apa adanya dengan penuh ucapan syukur, sebab semua yang datangnya dari Tuhan pasti baik adanya. "Setiap pemberian yang baik dan setiap anugerah yang sempurna, datangnya dari atas, diturunkan dari Bapa segala terang; pada-Nya tidak ada perubahan atau bayangan karena pertukaran." (Yakobus 1:17). Menerima diri apa adanya adalah langkah awal menuju rencana Tuhan. Jangan pernah menyalahkan diri karena kelemahan-kelemahan kita, sebab bagi Tuhan tidak ada perkara yang mustahil. Setiap hari adalah kesempatan kita memilih: terus maju atau menyerah pada keadaan, berpikiran positif atau negatif... semua bergantung pada keputusan yang kita ambil. Rasul Paulus menasihati, "...semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu." (Filipi 4:8).
Ketika menyadari bahwa kita ini sangat berharga di mata Tuhan dan sedang dipersiapkan Tuhan untuk sebuah rencana besar yaitu "...untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya." (Efesus 2:10), maka kita percaya bahwa Tuhan turut merasakan kelemahan-kelemahan kita. Tuhan berkata, "Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna." (2 Korintus 12:9). Karena itu, rasul Paulus senang dan rela di dalam kelemahan, "Sebab jika aku lemah, maka aku kuat." (2 Korintus 12:10b).
Jika Tuhan turut bekerja, semua adalah mungkin bagi orang percaya!
Baca: 1 Korintus 1:18-31
"supaya jangan ada seorang manusiapun yang memegahkan diri di hadapan Allah." 1 Korintus 1:29
Mengapa Tuhan lebih cenderung memanggil dan memilih orang-orang yang tidak terpandang, dinilai bodoh, dan diremehkan oleh dunia? Supaya kita tidak menjadi sombong dan memegahkan diri sendiri, sebab kemegahan yang bukan pada kehebatan Tuhan dalah sebuah kejahatan (baca Yakobus 4:16). "...Tetapi apa yang bodoh bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan orang-orang yang berhikmat, dan apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan apa yang kuat, dan apa yang tidak terpandang dan yang hina bagi dunia, dipilih Allah, bahkan apa yang tidak berarti, dipilih Allah untuk meniadakan apa yang berarti," (1 Korintus 1:27-28).
Apa pun keadaan Saudara terimalah diri apa adanya dengan penuh ucapan syukur, sebab semua yang datangnya dari Tuhan pasti baik adanya. "Setiap pemberian yang baik dan setiap anugerah yang sempurna, datangnya dari atas, diturunkan dari Bapa segala terang; pada-Nya tidak ada perubahan atau bayangan karena pertukaran." (Yakobus 1:17). Menerima diri apa adanya adalah langkah awal menuju rencana Tuhan. Jangan pernah menyalahkan diri karena kelemahan-kelemahan kita, sebab bagi Tuhan tidak ada perkara yang mustahil. Setiap hari adalah kesempatan kita memilih: terus maju atau menyerah pada keadaan, berpikiran positif atau negatif... semua bergantung pada keputusan yang kita ambil. Rasul Paulus menasihati, "...semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu." (Filipi 4:8).
Ketika menyadari bahwa kita ini sangat berharga di mata Tuhan dan sedang dipersiapkan Tuhan untuk sebuah rencana besar yaitu "...untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya." (Efesus 2:10), maka kita percaya bahwa Tuhan turut merasakan kelemahan-kelemahan kita. Tuhan berkata, "Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna." (2 Korintus 12:9). Karena itu, rasul Paulus senang dan rela di dalam kelemahan, "Sebab jika aku lemah, maka aku kuat." (2 Korintus 12:10b).
Jika Tuhan turut bekerja, semua adalah mungkin bagi orang percaya!
Thursday, December 4, 2014
BERSAMA TUHAN: Nothing's Impossible (1)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 4 Desember 2014
Baca: Yakobus 5:15-18
"Elia adalah manusia biasa sama seperti kita, dan ia telah bersungguh-sungguh berdoa, supaya hujan jangan turun, dan hujanpun tidak turun di bumi selama tiga tahun dan enam bulan." Yakobus 5:17
Pada umumnya sebagian besar orang akan lebih mudah melihat kelemahan-kelemahan yang dimiliki daripada menyebutkan kekuatan atau kemampuan yang ada di dalam dirinya. Karena kekurangan dan kelemahan yang terus dibesar-besarkan banyak orang memiliki citra diri negatif: merasa tidak berharga dan tidak berarti. Keadaan inilah yang sebenarnya menjadi titik lemah kita sendiri!
Saudaraku, kita harus mengubah mindset kita! Tanamkan dalam hati bahwa kita ini diciptakan menurut rupa dan gambar Allah, artinya kita memiliki kemuliaan, karakter, otoritas, serta memiliki hubungan yang istimewa dengan Allah. Di dalam Kristus kita ini adalah manusia-manusia baru yang tidak lagi hidup di bawah kutuk dosa, melainkan hidup di bawah kasih karunia dan berkat-berkat Allah. Hendaknya kita melihat kelemahan dengan sudut pandang yang positif yaitu memotivasi dan mencambuk kita untuk berbenah diri. Musa, sempat menolak ketika diutus Tuhan karena merasa diri tidak mampu dan tidak fasih bicara. Tuhan pun menguatkan Musa, "Aku akan menyertai lidahmu dan mengajar engkau, apa yang harus kaukatakan." (Keluaran 4:12). Daud, awalnya tak lebih dari seorang penggembala domba, bahkan keberadaannya sangat diremehkan dan tidak diperhitungkan oleh keluarganya sendiri. Gideon, seorang muda yang tidak percaya diri dan cenderung penakut, "Ah Tuhanku, dengan apakah akan kuselamatkan orang Israel? Ketahuilah, kaumku adalah yang paling kecil di antara suku Manasye dan akupun seorang yang paling muda di antara kaum keluargaku." (Hakim-Hakim 6:15). Elia, adalah manusia biasa sama seperti kita (ayat nas), yang punya rasa takut, kuatir dan pernah hampir frustasi. Petrus, salah seorang dari murid Tuhan Yesus, berasal dari kalangan orang biasa, tidak terpelajar dan hanya berprofesi sebagai nelayan.
Dalam menggenapi rencana-Nya Tuhan justru memakai orang-orang yang sederhana dan tidak terpandang di mata dunia untuk Ia pakai menjadi alat kemuliaan-Nya. Dengan demikian setiap orang percaya dengan latar belakang apa pun memiliki potensi yang sama untuk menjadi orang-orang yang dipilih dan dipakai Tuhan. (Bersambung)
Baca: Yakobus 5:15-18
"Elia adalah manusia biasa sama seperti kita, dan ia telah bersungguh-sungguh berdoa, supaya hujan jangan turun, dan hujanpun tidak turun di bumi selama tiga tahun dan enam bulan." Yakobus 5:17
Pada umumnya sebagian besar orang akan lebih mudah melihat kelemahan-kelemahan yang dimiliki daripada menyebutkan kekuatan atau kemampuan yang ada di dalam dirinya. Karena kekurangan dan kelemahan yang terus dibesar-besarkan banyak orang memiliki citra diri negatif: merasa tidak berharga dan tidak berarti. Keadaan inilah yang sebenarnya menjadi titik lemah kita sendiri!
Saudaraku, kita harus mengubah mindset kita! Tanamkan dalam hati bahwa kita ini diciptakan menurut rupa dan gambar Allah, artinya kita memiliki kemuliaan, karakter, otoritas, serta memiliki hubungan yang istimewa dengan Allah. Di dalam Kristus kita ini adalah manusia-manusia baru yang tidak lagi hidup di bawah kutuk dosa, melainkan hidup di bawah kasih karunia dan berkat-berkat Allah. Hendaknya kita melihat kelemahan dengan sudut pandang yang positif yaitu memotivasi dan mencambuk kita untuk berbenah diri. Musa, sempat menolak ketika diutus Tuhan karena merasa diri tidak mampu dan tidak fasih bicara. Tuhan pun menguatkan Musa, "Aku akan menyertai lidahmu dan mengajar engkau, apa yang harus kaukatakan." (Keluaran 4:12). Daud, awalnya tak lebih dari seorang penggembala domba, bahkan keberadaannya sangat diremehkan dan tidak diperhitungkan oleh keluarganya sendiri. Gideon, seorang muda yang tidak percaya diri dan cenderung penakut, "Ah Tuhanku, dengan apakah akan kuselamatkan orang Israel? Ketahuilah, kaumku adalah yang paling kecil di antara suku Manasye dan akupun seorang yang paling muda di antara kaum keluargaku." (Hakim-Hakim 6:15). Elia, adalah manusia biasa sama seperti kita (ayat nas), yang punya rasa takut, kuatir dan pernah hampir frustasi. Petrus, salah seorang dari murid Tuhan Yesus, berasal dari kalangan orang biasa, tidak terpelajar dan hanya berprofesi sebagai nelayan.
Dalam menggenapi rencana-Nya Tuhan justru memakai orang-orang yang sederhana dan tidak terpandang di mata dunia untuk Ia pakai menjadi alat kemuliaan-Nya. Dengan demikian setiap orang percaya dengan latar belakang apa pun memiliki potensi yang sama untuk menjadi orang-orang yang dipilih dan dipakai Tuhan. (Bersambung)
Wednesday, December 3, 2014
BEJANA TANAH LIAT
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 3 Desember 2014
Baca: 2 Korintus 4:1-16
"Tetapi harta ini kami punyai dalam bejana tanah liat, supaya nyata, bahwa kekuatan yang melimpah-limpah itu berasal dari Allah, bukan dari diri kami." 2 Korintus 4:7
Sebagai manusia kita ini penuh kelemahan, tapi jika kita mengijinkan Tuhan berkarya dalam hidup kita, Ia sanggup mengubah kelemahan kita menjadi kekuatan. Keberadaan kita tidak lebih dari bejana tanah liat yang mudah sekali retak, cacat dan pecah, tapi bila kita benar-benar mempercayakan hidup ini kepada Tuhan Sang Penjunan, Dia akan membentuk kita sesuai dengan kehendak dari rencana-Nya.
Di dalam Alkitab banyak sekali kisah-kisah inspiratif yang membangkitkan iman kita, di mana Tuhan dengan kuasa-Nya yang tak terbatas sanggup memakai orang-orang biasa, tidak sempurna, punya banyak kelemahan dan keterbatasan. Kita ini memang penuh keterbatasan, namun yakinlah bahwa Tuhan yang kita sembah di dalam nama Yesus Kristus memiliki kuasa yang tidak terbatas. Dia tidak pernah bisa dibatasi oleh keterbatasan kita! Haleluyah. Akuilah dengan jujur kelemahan-kelemahan kita di hadapan Tuhan dan tetaplah mengucap syukur apapun keadaan kita, sebab "...Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah." (Roma 8:28). Dengan kelemahan yang ada kita diajar untuk bergantung kepada Tuhan, melekat kepada-Nya dan tetap punya kerendahan hati. Hal ini mencegah kita untuk mengandalkan kekuatan sendiri dan menjadi sombong. Jangan sampai kita terus terintimidasi Iblis yang selalu membesar-besarkan kelemahan kita; sebaliknya, lawanlah itu dengan memperkatan firman Tuhan.
Jika kita hanya terpaku pada kelemahan, hal-hal negatif atau kegagalan-kegagalan masa lalu, kita tidak akan pernah bisa maju. Milikilah tekad seperti rasul Paulus, "...aku melupakan apa yang telah di belakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku, dan berlari-lari kepada tujuan..." (Filipi 3:13). Pandanglah kepada kekuatan dan kebesaran Tuhan, "Sebab Engkau besar dan melakukan keajaiban-keajaiban; Engkau sendiri saja Allah." (Mazmur 86:10).
"Sesungguhnya barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan melakukan juga pekerjaan-pekerjaan yang Aku lakukan, bahkan pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar dari pada itu." Yohanes 14:12
Baca: 2 Korintus 4:1-16
"Tetapi harta ini kami punyai dalam bejana tanah liat, supaya nyata, bahwa kekuatan yang melimpah-limpah itu berasal dari Allah, bukan dari diri kami." 2 Korintus 4:7
Sebagai manusia kita ini penuh kelemahan, tapi jika kita mengijinkan Tuhan berkarya dalam hidup kita, Ia sanggup mengubah kelemahan kita menjadi kekuatan. Keberadaan kita tidak lebih dari bejana tanah liat yang mudah sekali retak, cacat dan pecah, tapi bila kita benar-benar mempercayakan hidup ini kepada Tuhan Sang Penjunan, Dia akan membentuk kita sesuai dengan kehendak dari rencana-Nya.
Di dalam Alkitab banyak sekali kisah-kisah inspiratif yang membangkitkan iman kita, di mana Tuhan dengan kuasa-Nya yang tak terbatas sanggup memakai orang-orang biasa, tidak sempurna, punya banyak kelemahan dan keterbatasan. Kita ini memang penuh keterbatasan, namun yakinlah bahwa Tuhan yang kita sembah di dalam nama Yesus Kristus memiliki kuasa yang tidak terbatas. Dia tidak pernah bisa dibatasi oleh keterbatasan kita! Haleluyah. Akuilah dengan jujur kelemahan-kelemahan kita di hadapan Tuhan dan tetaplah mengucap syukur apapun keadaan kita, sebab "...Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah." (Roma 8:28). Dengan kelemahan yang ada kita diajar untuk bergantung kepada Tuhan, melekat kepada-Nya dan tetap punya kerendahan hati. Hal ini mencegah kita untuk mengandalkan kekuatan sendiri dan menjadi sombong. Jangan sampai kita terus terintimidasi Iblis yang selalu membesar-besarkan kelemahan kita; sebaliknya, lawanlah itu dengan memperkatan firman Tuhan.
Jika kita hanya terpaku pada kelemahan, hal-hal negatif atau kegagalan-kegagalan masa lalu, kita tidak akan pernah bisa maju. Milikilah tekad seperti rasul Paulus, "...aku melupakan apa yang telah di belakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku, dan berlari-lari kepada tujuan..." (Filipi 3:13). Pandanglah kepada kekuatan dan kebesaran Tuhan, "Sebab Engkau besar dan melakukan keajaiban-keajaiban; Engkau sendiri saja Allah." (Mazmur 86:10).
"Sesungguhnya barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan melakukan juga pekerjaan-pekerjaan yang Aku lakukan, bahkan pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar dari pada itu." Yohanes 14:12
Tuesday, December 2, 2014
KITA TERBATAS, TUHAN TAK TERBATAS
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 2 Desember 2014
Baca: Matius 8:14-17
"Dialah yang memikul kelemahan kita..." Matius 8:17
Perlu disadari bahwa sampai kapan pun kita tidak akan pernah bisa sama persis seperti orang lain. Yang bisa kita lakukan adalah meneladani atau mencontoh sisi positif dari kehidupan orang lain: perihal keberhasilan, prestasi, atau kreativitas mereka. Ini dapat memotivasi kita untuk lebih bersemangat dalam menjalani hidup: jika mereka bisa, tidak menutup kemungkinan kita pun juga bisa. Mengapa tidak?
Mungkin saat ini kita merasa minder, berkecil hati, mengasihani diri sendiri dan berputus asa oleh karena kelemahan yang kita miliki. Tidak seharusnya kita bersikap demikian, karena sesungguhnya setiap orang selain punya nilai lebih pasti juga punya kelemahan, seperti peribahasa: 'tak ada gading yang tak retak, artinya tidak ada manusia yang sempurna dalam segala hal. Yang terpenting adalah apa yang kita kerjakan ketika menyadari bahwa di dalam diri ini ada kelemahan. Kelemahan diri adalah suatu keterbatasan yang kita warisi atau kita dapatkan karena suatu peristiwa yang terjadi, di mana kita tidak punya kuasa untuk menolak atau mengubah peristiwa tersebut. Kelemahan tersebut bisa berupa keterbatasan fisik (cacat), penyakit tertentu, atau mungkin juga keterbatasan emosional berupa trauma, kepahitan, temperamen bawaan atau juga keterbatasan kecerdasan.
Terkadang Tuhan mengijinkan adanya kelemahan dalam diri seseorang dengan tujuan hendak menyatakan kuasa-Nya. Tuhan berkata, "Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna." (2 Korintus 12:9). Kita tahu bahwa Tuhan tidak pernah terkesan dengan kepandaian, kegagahan, kecantikan, kemampuan, kekuatan seseorang yang seringkali membuat mereka merasa cukup dengan apa yang dimilikinya. Karena itu Tuhan tidak pernah memilih seseorang berdasarkan apa yang terlihat secara kasat mata, tapi Ia melihat hati dan sangat tertarik kepada orang-orang yang memiliki kelemahan dan mau mengakuinya. Banyak orang sulit sekali mengakui kelemahannya, tapi cenderung membusungkan dada dan meremehkan orang lain. Terhadap orang yang demikian Tuhan sama sekali tidak berminat.
"Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga." Matius 5:3
Baca: Matius 8:14-17
"Dialah yang memikul kelemahan kita..." Matius 8:17
Perlu disadari bahwa sampai kapan pun kita tidak akan pernah bisa sama persis seperti orang lain. Yang bisa kita lakukan adalah meneladani atau mencontoh sisi positif dari kehidupan orang lain: perihal keberhasilan, prestasi, atau kreativitas mereka. Ini dapat memotivasi kita untuk lebih bersemangat dalam menjalani hidup: jika mereka bisa, tidak menutup kemungkinan kita pun juga bisa. Mengapa tidak?
Mungkin saat ini kita merasa minder, berkecil hati, mengasihani diri sendiri dan berputus asa oleh karena kelemahan yang kita miliki. Tidak seharusnya kita bersikap demikian, karena sesungguhnya setiap orang selain punya nilai lebih pasti juga punya kelemahan, seperti peribahasa: 'tak ada gading yang tak retak, artinya tidak ada manusia yang sempurna dalam segala hal. Yang terpenting adalah apa yang kita kerjakan ketika menyadari bahwa di dalam diri ini ada kelemahan. Kelemahan diri adalah suatu keterbatasan yang kita warisi atau kita dapatkan karena suatu peristiwa yang terjadi, di mana kita tidak punya kuasa untuk menolak atau mengubah peristiwa tersebut. Kelemahan tersebut bisa berupa keterbatasan fisik (cacat), penyakit tertentu, atau mungkin juga keterbatasan emosional berupa trauma, kepahitan, temperamen bawaan atau juga keterbatasan kecerdasan.
Terkadang Tuhan mengijinkan adanya kelemahan dalam diri seseorang dengan tujuan hendak menyatakan kuasa-Nya. Tuhan berkata, "Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna." (2 Korintus 12:9). Kita tahu bahwa Tuhan tidak pernah terkesan dengan kepandaian, kegagahan, kecantikan, kemampuan, kekuatan seseorang yang seringkali membuat mereka merasa cukup dengan apa yang dimilikinya. Karena itu Tuhan tidak pernah memilih seseorang berdasarkan apa yang terlihat secara kasat mata, tapi Ia melihat hati dan sangat tertarik kepada orang-orang yang memiliki kelemahan dan mau mengakuinya. Banyak orang sulit sekali mengakui kelemahannya, tapi cenderung membusungkan dada dan meremehkan orang lain. Terhadap orang yang demikian Tuhan sama sekali tidak berminat.
"Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga." Matius 5:3
Monday, December 1, 2014
BERBEDA, UNIK DAN BERHARGA
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 1 Desember 2014
Baca: Mazmur 139:1-24
"Sebab Engkaulah yang membentuk buah pinggangku, menenun aku dalam kandungan ibuku. Aku bersyukur kepada-Mu oleh karena kejadianku dahsyat dan ajaib; ajaib apa yang Kaubuat, dan jiwaku benar-benar menyadarinya." Mazmur 139:13-14
Tidak ada seorang pun di antara miliaran insan di bumi ini yang sama persis. Setiap orang pasti memiliki perbedaan dan karakteristik masing-masing. Anak yang dilahirkan kembar sekalipun, meski punya kemiripan rupa, dalam banyak hal pasti berbeda, sebab Tuhan membentuk kita dalam rahim ibu dengan keunikan tersendiri.
Setiap kita dibentuk oleh Tuhan sedemikian rupa. "Engkaulah yang membentuk buah pinggangku, menenun aku dalam kandungan ibuku...kejadianku dahsyat dan ajaib;" (ayat nas), artinya Tuhan terlibat secara aktif dan penuh dengan kreativitas. Bahkan Dia sendiri memperhatikan bayi sejak masih dalam kandungan ibunya: mulai dari janin itu berkembang sampai membuat rencana bagi hidupnya kelak. Tuhan berkata, "Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan." (Yeremia 29:11). Tuhan juga melengkapi kita dengan karunia-karunia yang berbeda, "Demikianlah kita mempunyai karunia yang berlain-lainan menurut kasih karunia yang dianugerahkan kepada kita:" (Roma 12:6). Setiap orang berbeda dan punya keunikan, masing-masing diperlengkapi pula dengan karunia yang berbeda-beda. Oleh karena itu kita tidak perlu membanding-bandingkan diri kita dengan orang lain atau berusaha menjadi sama seperti mereka. Ada yang sampai stres, kecewa pada diri sendiri dan beranggapan bahwa Tuhan tidak adil kepadanya ketika melihat orang lain tampak perfect (menurut penilaiannya), lalu berusaha sedemikian rupa ingin menjadi sama seperti orang itu.
Adalah sah-sah saja kita mengagumi dan mengidolakan orang lain, tapi kita tidak harus menjadi sama seperti orang itu karena pada dasarnya setiap orang adalah berbeda. Karena itu bagaimanapun keberadaan kita, kita harus tetap merasa bangga menjadi diri sendiri dan tetaplah mengucap syukur kepada Tuhan.
"Oleh karena engkau berharga di mata-Ku dan mulia, dan Aku ini mengasihi engkau," Yesaya 43:4
Baca: Mazmur 139:1-24
"Sebab Engkaulah yang membentuk buah pinggangku, menenun aku dalam kandungan ibuku. Aku bersyukur kepada-Mu oleh karena kejadianku dahsyat dan ajaib; ajaib apa yang Kaubuat, dan jiwaku benar-benar menyadarinya." Mazmur 139:13-14
Tidak ada seorang pun di antara miliaran insan di bumi ini yang sama persis. Setiap orang pasti memiliki perbedaan dan karakteristik masing-masing. Anak yang dilahirkan kembar sekalipun, meski punya kemiripan rupa, dalam banyak hal pasti berbeda, sebab Tuhan membentuk kita dalam rahim ibu dengan keunikan tersendiri.
Setiap kita dibentuk oleh Tuhan sedemikian rupa. "Engkaulah yang membentuk buah pinggangku, menenun aku dalam kandungan ibuku...kejadianku dahsyat dan ajaib;" (ayat nas), artinya Tuhan terlibat secara aktif dan penuh dengan kreativitas. Bahkan Dia sendiri memperhatikan bayi sejak masih dalam kandungan ibunya: mulai dari janin itu berkembang sampai membuat rencana bagi hidupnya kelak. Tuhan berkata, "Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan." (Yeremia 29:11). Tuhan juga melengkapi kita dengan karunia-karunia yang berbeda, "Demikianlah kita mempunyai karunia yang berlain-lainan menurut kasih karunia yang dianugerahkan kepada kita:" (Roma 12:6). Setiap orang berbeda dan punya keunikan, masing-masing diperlengkapi pula dengan karunia yang berbeda-beda. Oleh karena itu kita tidak perlu membanding-bandingkan diri kita dengan orang lain atau berusaha menjadi sama seperti mereka. Ada yang sampai stres, kecewa pada diri sendiri dan beranggapan bahwa Tuhan tidak adil kepadanya ketika melihat orang lain tampak perfect (menurut penilaiannya), lalu berusaha sedemikian rupa ingin menjadi sama seperti orang itu.
Adalah sah-sah saja kita mengagumi dan mengidolakan orang lain, tapi kita tidak harus menjadi sama seperti orang itu karena pada dasarnya setiap orang adalah berbeda. Karena itu bagaimanapun keberadaan kita, kita harus tetap merasa bangga menjadi diri sendiri dan tetaplah mengucap syukur kepada Tuhan.
"Oleh karena engkau berharga di mata-Ku dan mulia, dan Aku ini mengasihi engkau," Yesaya 43:4
Sunday, November 30, 2014
MELAKUKAN TUGAS: Dengan Sukarela
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 30 November 2014
Baca: 2 Korintus 8:16-24
"Memang ia menyambut anjuran kami, tetapi dalam kesungguhannya yang besar itu ia dengan sukarela pergi kepada kamu." 2 Korintus 8:17
Masihkah kita bersemangat menjalani hari-hari kita? Akhir-akhir ini banyak orang Kristen kehilangan semangat dan gairah hidup. Terbukti mereka melakukan segala sesuatu dengan berat hati, asal-asalan, penuh keterpaksaan dan tidak sukarela. Mengapa bisa begitu? Karena pikirannya hanya terfokus kepada kegagalan, masalah, kekecewaan dan luka-luka hati lainnya. Apa pun yang menjadi tugas kita, entah itu tugas keseharian di kantor, rumah tangga, sekolah, kampus, terlebih-lebih tugas pelayanan, sudah selayaknya kita lakukan dengan sukarela, tidak setengah hati, hitung-hitungan, apalagi terpaksa disertai persungutan. Alkitab menasihatkan: "Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia." (Kolose 3:23).
Ketika dipercaya oleh rasul Paulus untuk sebuah tugas pelayanan di tengah-tengah jemaat di Korintus Titus meresponsnya dengan penuh antusias. Ia melakukan tugasnya dengan kesungguhan dan sukarela. Kata sukarela berarti dengan kemauan sendiri, rela hati, atas kehendak sendiri. Ini berkenaan dengan ketulusan dan keikhlasan hati seseorang, bukan karena terpaksa, nggrundel, ngedumel atau hanya sungkan karena didorong-dorong oleh pihak lain. Segala sesuatu yang dikerjakan dengan sukarela pasti akan menghasilkan dampak yang positif bagi diri si pelaku dan juga orang lain. Hasilnya pun pasti akan jauh berbeda dibandingkan dengan orang yang mengerjakan tugas-tugasnya setengah hati dan tidak rela. Karena itulah rasul Paulus menyebut Titus sebagai orang yang terpuji dalam pekerjaannya dan juga komitmennya (ayat 18 dan 22).
Kalau kita melakukan segala sesuatu dengan sukarela dan penuh semangat, sebesar apa pun tugas dan tanggung jawab kita akan terasa ringan dan menyenangkan. Sebaliknya kalau kita tidak dengan rela hati mengerjakannya, sekecil apa pun tugas akan terasa berat dan menyiksa. "Orang yang bersemangat dapat menanggung penderitaannya, tetapi siapa akan memulihkan semangat yang patah?" (Amsal 18:14).
Mari kerjakan apa pun tugas-tugas yang dipercayakan kepada kita dengan sukarela, sebab "...dari Tuhanlah kamu akan menerima bagian yang ditentukan bagimu sebagai upah." Kolose 3:24
Baca: 2 Korintus 8:16-24
"Memang ia menyambut anjuran kami, tetapi dalam kesungguhannya yang besar itu ia dengan sukarela pergi kepada kamu." 2 Korintus 8:17
Masihkah kita bersemangat menjalani hari-hari kita? Akhir-akhir ini banyak orang Kristen kehilangan semangat dan gairah hidup. Terbukti mereka melakukan segala sesuatu dengan berat hati, asal-asalan, penuh keterpaksaan dan tidak sukarela. Mengapa bisa begitu? Karena pikirannya hanya terfokus kepada kegagalan, masalah, kekecewaan dan luka-luka hati lainnya. Apa pun yang menjadi tugas kita, entah itu tugas keseharian di kantor, rumah tangga, sekolah, kampus, terlebih-lebih tugas pelayanan, sudah selayaknya kita lakukan dengan sukarela, tidak setengah hati, hitung-hitungan, apalagi terpaksa disertai persungutan. Alkitab menasihatkan: "Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia." (Kolose 3:23).
Ketika dipercaya oleh rasul Paulus untuk sebuah tugas pelayanan di tengah-tengah jemaat di Korintus Titus meresponsnya dengan penuh antusias. Ia melakukan tugasnya dengan kesungguhan dan sukarela. Kata sukarela berarti dengan kemauan sendiri, rela hati, atas kehendak sendiri. Ini berkenaan dengan ketulusan dan keikhlasan hati seseorang, bukan karena terpaksa, nggrundel, ngedumel atau hanya sungkan karena didorong-dorong oleh pihak lain. Segala sesuatu yang dikerjakan dengan sukarela pasti akan menghasilkan dampak yang positif bagi diri si pelaku dan juga orang lain. Hasilnya pun pasti akan jauh berbeda dibandingkan dengan orang yang mengerjakan tugas-tugasnya setengah hati dan tidak rela. Karena itulah rasul Paulus menyebut Titus sebagai orang yang terpuji dalam pekerjaannya dan juga komitmennya (ayat 18 dan 22).
Kalau kita melakukan segala sesuatu dengan sukarela dan penuh semangat, sebesar apa pun tugas dan tanggung jawab kita akan terasa ringan dan menyenangkan. Sebaliknya kalau kita tidak dengan rela hati mengerjakannya, sekecil apa pun tugas akan terasa berat dan menyiksa. "Orang yang bersemangat dapat menanggung penderitaannya, tetapi siapa akan memulihkan semangat yang patah?" (Amsal 18:14).
Mari kerjakan apa pun tugas-tugas yang dipercayakan kepada kita dengan sukarela, sebab "...dari Tuhanlah kamu akan menerima bagian yang ditentukan bagimu sebagai upah." Kolose 3:24
Saturday, November 29, 2014
TIDAK HITUNG-HITUNGAN: Untuk Tuhan dan Sesama
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 29 November 2014
Baca: Matius 25:31-46
"Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku." Matius 25:40
Bagaimana bisa memberi dan memberkati orang lain jika kita sendiri tidak memiliki sesuatu? "Sebab jika kamu rela untuk memberi, maka pemberianmu akan diterima, kalau pemberianmu itu berdasarkan apa yang ada padamu, bukan berdasarkan apa yang tidak ada padamu." (2 Korintus 8:12). Namun kita masih bisa memberikan perhatian, ucapan terima kasih, pujian atas pekerjaan baik, meluangkan waktu mendengar, mencurahkan pikiran dan tenaga; itu cukup membuat orang lain tersenyum dan diubahkan. Memberi tidak bisa dipisahkan dari sikap hati si pemberi. Masalah hati adalah sisi terpenting bagi Tuhan, sebab "...menyelidiki segala hati dan mengerti segala niat dan cita-cita." (1 Tawarikh 28:9), artinya Tuhan selalu melihat motivasi di balik semua tindakan kita.
Yeremia memperingatkan, "Bersihkanlah hatimu dari kejahatan, hai Yerusalem, supaya engkau diselamatkan! Berapa lama lagi tinggal di dalam hatimu rancangan-rancang kedurjanaanmu?" (Yeremia 4:14). Jadi, sebersit motivasi yang salah dan niat jahat setitik pun pasti diketahui Tuhan. Sekecil apa pun pemberian kita "Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita." (2 Korintus 9:7). Memberi dengan sukcita berarti tidak ada keterpaksaan dan sedih hati, namun sukarela; dan ketika kita rela hati melepaskan apa yang ada di tangan kita, Tuhan akan rela juga melepaskan apa pun yang di tangan-Nya untuk kita.
Daud mengakui, "...dari pada-Mulah segala-galanya dan dari tangan-Mu sendirilah persembahan yang kami berikan kepada-Mu." (1 Tawarikh 29:14). Jika menyadari ini kita tidak akan menjadi orang egois, hitung-hitungan dalam memberi, baik untuk Tuhan dan juga sesama. Sebaliknya hati kita akan terbeban untuk mendukung pekerjaan Tuhan, dipenuhi empati terhadap orang lain yang membutuhkan pertolongan.
Memberi adalah perintah Tuhan, dan "...sesungguhnya segala sesuatu yang tidak kamu lakukan untuk salah seorang dari yang paling hina ini, kamu tidak melakukannya juga untuk Aku." Matius 25:45
Baca: Matius 25:31-46
"Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku." Matius 25:40
Bagaimana bisa memberi dan memberkati orang lain jika kita sendiri tidak memiliki sesuatu? "Sebab jika kamu rela untuk memberi, maka pemberianmu akan diterima, kalau pemberianmu itu berdasarkan apa yang ada padamu, bukan berdasarkan apa yang tidak ada padamu." (2 Korintus 8:12). Namun kita masih bisa memberikan perhatian, ucapan terima kasih, pujian atas pekerjaan baik, meluangkan waktu mendengar, mencurahkan pikiran dan tenaga; itu cukup membuat orang lain tersenyum dan diubahkan. Memberi tidak bisa dipisahkan dari sikap hati si pemberi. Masalah hati adalah sisi terpenting bagi Tuhan, sebab "...menyelidiki segala hati dan mengerti segala niat dan cita-cita." (1 Tawarikh 28:9), artinya Tuhan selalu melihat motivasi di balik semua tindakan kita.
Yeremia memperingatkan, "Bersihkanlah hatimu dari kejahatan, hai Yerusalem, supaya engkau diselamatkan! Berapa lama lagi tinggal di dalam hatimu rancangan-rancang kedurjanaanmu?" (Yeremia 4:14). Jadi, sebersit motivasi yang salah dan niat jahat setitik pun pasti diketahui Tuhan. Sekecil apa pun pemberian kita "Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita." (2 Korintus 9:7). Memberi dengan sukcita berarti tidak ada keterpaksaan dan sedih hati, namun sukarela; dan ketika kita rela hati melepaskan apa yang ada di tangan kita, Tuhan akan rela juga melepaskan apa pun yang di tangan-Nya untuk kita.
Daud mengakui, "...dari pada-Mulah segala-galanya dan dari tangan-Mu sendirilah persembahan yang kami berikan kepada-Mu." (1 Tawarikh 29:14). Jika menyadari ini kita tidak akan menjadi orang egois, hitung-hitungan dalam memberi, baik untuk Tuhan dan juga sesama. Sebaliknya hati kita akan terbeban untuk mendukung pekerjaan Tuhan, dipenuhi empati terhadap orang lain yang membutuhkan pertolongan.
Memberi adalah perintah Tuhan, dan "...sesungguhnya segala sesuatu yang tidak kamu lakukan untuk salah seorang dari yang paling hina ini, kamu tidak melakukannya juga untuk Aku." Matius 25:45
Friday, November 28, 2014
BANYAK DIBERKATI: Banyak Memberkati
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 28 November 2014
Baca: 2 Korintus 8:12-15
"Maka hendaklah sekarang ini kelebihan kamu mencukupkan kekurangan mereka," 2 Korintus 8:14
Tuhan berkata, "Pencuri datang hanya untuk mencuri dan membunuh dan membinasakan; Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan." (Yohanes 10:10). Jelaslah bahwa pekerjaan Iblis adalah mencuri, membunuh, membinasakan. Sedangkan Tuhan adalah pemberi: memberi kehidupan dan kelimpahan; Ia tidak pernah setengah-setengah dalam memberi. "Allahku akan memenuhi segala keperluanmu menurut kekayaan dan kemuliaan-Nya dalam Kristus Yesus." (Filipi 4:19). Tuhan sangat bermurah hati memberi supaya anak-anak-Nya hidup dalam berkelimpahan.
Sebagai anak-anak Tuhan kita tidak perlu takut menjadi kaya, sebab hidup berkelimpahan adalah Alkitabiah. Tetapi yang harus dijaga adalah sikap hati sehingga kita mampu mengelola berkat Tuhan itu secara benar, sebab kita ini hanyalah pengelola berkat. Segala sesuatu adalah milik Tuhan yang dipercayakan kepada kita, Dia adalah pemilik. Mengapa ini perlu dipertegas? Sebab banyak sekali orang jatuh dalam dosa justru saat berkelimpahan. Kekayaan membuat mereka lupa diri dan hidup menjauh dari Tuhan. Agur bin Yake, salah satu penulis kitab Amsal menulis, "Jangan berikan kepadaku kemiskinan atau kekayaan. Biarkanlah aku menikmati makanan yang menjadi bagianku. Supaya, kalau aku kenyang, aku tidak menyangkal-Mu dan berkata: Siapa TUHAN itu? Atau, kalau aku miskin, aku mencuri, dan mencemarkan nama Allahku." (Amsal 30:8).
Tuhan pasti memiliki tujuan di balik berkat yang Ia limpahkan. Pada waktu Tuhan menyampaikan perjanjian berkat-Nya kepada Abraham Dia berkata, "Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar, dan memberkati engkau serta membuat namamu masyhur; dan engkau akan menjadi berkat." (Kejadian 12:2). Tuhan memberkati Abraham supaya semua bangsa di bumi mendapatkan berkat. Jadi Tuhan memberkati kita bukan untuk dinikmati sendiri dan menjadi terkenal, tapi Tuhan rindu supaya bangsa-bangsa lain diberkati melalui umat perjanjian-Nya. Dengan memiliki standar hidup yang lebih baik Tuhan mau semakin meningkat pula standar pemberian kita kepada orang lain.
Semakin diberkati Tuhan haruslah semakin bertambah kemampuan kita memberkati orang lain, sehingga nama Tuhan juga semakin dipermuliakan!
Baca: 2 Korintus 8:12-15
"Maka hendaklah sekarang ini kelebihan kamu mencukupkan kekurangan mereka," 2 Korintus 8:14
Tuhan berkata, "Pencuri datang hanya untuk mencuri dan membunuh dan membinasakan; Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan." (Yohanes 10:10). Jelaslah bahwa pekerjaan Iblis adalah mencuri, membunuh, membinasakan. Sedangkan Tuhan adalah pemberi: memberi kehidupan dan kelimpahan; Ia tidak pernah setengah-setengah dalam memberi. "Allahku akan memenuhi segala keperluanmu menurut kekayaan dan kemuliaan-Nya dalam Kristus Yesus." (Filipi 4:19). Tuhan sangat bermurah hati memberi supaya anak-anak-Nya hidup dalam berkelimpahan.
Sebagai anak-anak Tuhan kita tidak perlu takut menjadi kaya, sebab hidup berkelimpahan adalah Alkitabiah. Tetapi yang harus dijaga adalah sikap hati sehingga kita mampu mengelola berkat Tuhan itu secara benar, sebab kita ini hanyalah pengelola berkat. Segala sesuatu adalah milik Tuhan yang dipercayakan kepada kita, Dia adalah pemilik. Mengapa ini perlu dipertegas? Sebab banyak sekali orang jatuh dalam dosa justru saat berkelimpahan. Kekayaan membuat mereka lupa diri dan hidup menjauh dari Tuhan. Agur bin Yake, salah satu penulis kitab Amsal menulis, "Jangan berikan kepadaku kemiskinan atau kekayaan. Biarkanlah aku menikmati makanan yang menjadi bagianku. Supaya, kalau aku kenyang, aku tidak menyangkal-Mu dan berkata: Siapa TUHAN itu? Atau, kalau aku miskin, aku mencuri, dan mencemarkan nama Allahku." (Amsal 30:8).
Tuhan pasti memiliki tujuan di balik berkat yang Ia limpahkan. Pada waktu Tuhan menyampaikan perjanjian berkat-Nya kepada Abraham Dia berkata, "Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar, dan memberkati engkau serta membuat namamu masyhur; dan engkau akan menjadi berkat." (Kejadian 12:2). Tuhan memberkati Abraham supaya semua bangsa di bumi mendapatkan berkat. Jadi Tuhan memberkati kita bukan untuk dinikmati sendiri dan menjadi terkenal, tapi Tuhan rindu supaya bangsa-bangsa lain diberkati melalui umat perjanjian-Nya. Dengan memiliki standar hidup yang lebih baik Tuhan mau semakin meningkat pula standar pemberian kita kepada orang lain.
Semakin diberkati Tuhan haruslah semakin bertambah kemampuan kita memberkati orang lain, sehingga nama Tuhan juga semakin dipermuliakan!
Thursday, November 27, 2014
MENGASIHI PASTI AKAN MEMBERI
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 27 November 2014
Baca: Matius 7:7-11
"Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan yang baik kepada mereka yang meminta kepada-Nya." Matius 7:11
Tuhan yang kita sembah adalah kasih adanya. Karena Dia adalah kasih, Ia bukan hanya merancangkan yang baik untuk umat-Nya tapi juga memberikan yang terbaik. Bukti pemberian terbesar adalah: "Ia, yang tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri, tetapi yang menyerahkan-Nya bagi kita semua, bagaimanakah mungkin Ia tidak mengaruniakan segala sesuatu kepada kita bersama-sama dengan Dia?" (Roma 8:32).
Karena Bapa kita adalah Bapa yang suka memberi, maka sebagai anak-anak-Nya kita pun harus memiliki karakter seperti Bapa: "...dan setiap orang yang mengasihi, lahir dari Allah dan mengenal Allah. Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih." (1 Yohanes 4:7-8). Memberi adalah karakter utama dari kasih. Meski demikian tidak semua tindakan memberi menunjukkan bahwa seseorang memiliki kasih, karena ada banyak orang yang memberi hanya sebatas kegiatan musiman saja, atau memberi pada saat momen-momen tertentu seperti acara ulang tahun atau kegiatan amal, itu pun di bawah sorotan kamera sehingga jutaan orang dapat melihatnya. Jangan sampai kita memberi karena terpaksa atau memiliki tendensi dan motivasi yang salah: supaya dianggap baik dan pemurah, beroleh pujian dan sanjungan orang lain, untuk mendongkrak popularitas. "Tetapi jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu. Hendaklah sedekahmu itu diberikan dengan tersembunyi, maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu." (Matius 6:3-4). William Wordsworth, penyair terkenal Inggir menulis: "Bagian terbaik dari hidup seseorang adalah perbuatan-perbuatan baiknya dan kasihnya yang tidak diketahui orang lain". Mother Theresa pun berpendapat, "Bukan berapa banyak pemberian kita, tapi berapa besar kasih yang kita taruh dalam pemberian itu".
Tuhan menginginkan kita memberi dengan sukacita dan dilandasi oleh kasih yang tulus dan murni; jika tidak, pemberian kita itu tidak akan mendatangkan upah dari Tuhan.
Inilah kiat bahagia raja Salomo, "...berbahagialah orang yang menaruh belas kasihan kepada orang yang menderita." Amsal 14:21
Baca: Matius 7:7-11
"Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan yang baik kepada mereka yang meminta kepada-Nya." Matius 7:11
Tuhan yang kita sembah adalah kasih adanya. Karena Dia adalah kasih, Ia bukan hanya merancangkan yang baik untuk umat-Nya tapi juga memberikan yang terbaik. Bukti pemberian terbesar adalah: "Ia, yang tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri, tetapi yang menyerahkan-Nya bagi kita semua, bagaimanakah mungkin Ia tidak mengaruniakan segala sesuatu kepada kita bersama-sama dengan Dia?" (Roma 8:32).
Karena Bapa kita adalah Bapa yang suka memberi, maka sebagai anak-anak-Nya kita pun harus memiliki karakter seperti Bapa: "...dan setiap orang yang mengasihi, lahir dari Allah dan mengenal Allah. Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih." (1 Yohanes 4:7-8). Memberi adalah karakter utama dari kasih. Meski demikian tidak semua tindakan memberi menunjukkan bahwa seseorang memiliki kasih, karena ada banyak orang yang memberi hanya sebatas kegiatan musiman saja, atau memberi pada saat momen-momen tertentu seperti acara ulang tahun atau kegiatan amal, itu pun di bawah sorotan kamera sehingga jutaan orang dapat melihatnya. Jangan sampai kita memberi karena terpaksa atau memiliki tendensi dan motivasi yang salah: supaya dianggap baik dan pemurah, beroleh pujian dan sanjungan orang lain, untuk mendongkrak popularitas. "Tetapi jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu. Hendaklah sedekahmu itu diberikan dengan tersembunyi, maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu." (Matius 6:3-4). William Wordsworth, penyair terkenal Inggir menulis: "Bagian terbaik dari hidup seseorang adalah perbuatan-perbuatan baiknya dan kasihnya yang tidak diketahui orang lain". Mother Theresa pun berpendapat, "Bukan berapa banyak pemberian kita, tapi berapa besar kasih yang kita taruh dalam pemberian itu".
Tuhan menginginkan kita memberi dengan sukacita dan dilandasi oleh kasih yang tulus dan murni; jika tidak, pemberian kita itu tidak akan mendatangkan upah dari Tuhan.
Inilah kiat bahagia raja Salomo, "...berbahagialah orang yang menaruh belas kasihan kepada orang yang menderita." Amsal 14:21
Wednesday, November 26, 2014
SEGALA SESUATU ADA BATASNYA (2)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 26 November 2014
Baca: Mazmur 74:1-23
"Engkaulah yang menetapkan segala batas bumi, musim kemarau dan musim hujan Engkaulah yang membuat-Nya." Mazmur 74:17
Melalui keterbatasan-keterbatasan yang ada Tuhan juga hendak mengajarkan kita untuk: 2. Tidak berharap dan mengandalkan sesamanya. Ketika mengalami masalah, besar atau kecil, seringkali kita berusaha mengatasinya dengan kekuatan sendiri, mencari pertolongan kepada manusia dan berharap kepadanya. Bahkan ketika mengalami jalan buntu kita menempuh cara instan, lari kepada dukun, orang pintar dan ilah-ilah lain. Jika kita mau selamat jangan sekali-kali melakukan hal itu, sebab Tuhan sangat menentang orang-orang yang demikian. "Terkutuklah orang yang mengandalkan manusia, yang mengandalkan kekuatannya sendiri, dan yang hatinya menjauh dari pada TUHAN! Ia akan seperti semak bulus di padang belantara, ia tidak akan mengalami datangnya keadaan baik; ia akan tinggal di tanah angus di padang gurun, di negeri padang asin yang tidak berpenduduk." (Yeremia 17:5). Orang yang mengandalkan sesamanya disebut sebagai orang yang terkutuk.
Tetapi orang yang mengandalkan Tuhan dalam segala hal akan menerima berkat dan segala yang baik dari Tuhan. "Ia akan seperti pohon yang ditanam di tepi air, yang merambatkan akar-akarnya ke tepi batang air, dan yang tidak mengalami datangnya panas terik, yang daunnya tetap hijau, yang tidak kuatir dalam tahun kering, dan yang tidak berhenti menghasilkan buah." (Yeremia 17:8). Juga tidak sedikit orang yang mempercayakan hidupnya kepada harta kekayaan. Ada tertulis: "Pada hari kemurkaan harta tidak berguna, tetapi kebenaran melepaskan orang dari maut." (Amsal 11:4), artinya harta kekayaan dunia ini tidak bisa menolong dan menyelamatkan kita.
3. Belajar hidup takut akan Tuhan dan menghormati Dia. Orang akan takut akan Tuhan dan menghormati Dia saat sadar akan keterbatasannya. Milikilah hati yang takut akan Tuhan dan hormati Dia melalui ketaatan kita melakukan firman-Nya, sebab hidup kita benar-benar bergantung kepada perkataan Tuhan dan firman-Nya. Kita benar-benar tidak berkuasa menentukan jalan dan langkah hidup kita (baca Yeremia 10:23).
Takutlah akan Tuhan dan akuilah Dia sebagai segala-galanya, karena hanya Dia yang tak terbatas.
Baca: Mazmur 74:1-23
"Engkaulah yang menetapkan segala batas bumi, musim kemarau dan musim hujan Engkaulah yang membuat-Nya." Mazmur 74:17
Melalui keterbatasan-keterbatasan yang ada Tuhan juga hendak mengajarkan kita untuk: 2. Tidak berharap dan mengandalkan sesamanya. Ketika mengalami masalah, besar atau kecil, seringkali kita berusaha mengatasinya dengan kekuatan sendiri, mencari pertolongan kepada manusia dan berharap kepadanya. Bahkan ketika mengalami jalan buntu kita menempuh cara instan, lari kepada dukun, orang pintar dan ilah-ilah lain. Jika kita mau selamat jangan sekali-kali melakukan hal itu, sebab Tuhan sangat menentang orang-orang yang demikian. "Terkutuklah orang yang mengandalkan manusia, yang mengandalkan kekuatannya sendiri, dan yang hatinya menjauh dari pada TUHAN! Ia akan seperti semak bulus di padang belantara, ia tidak akan mengalami datangnya keadaan baik; ia akan tinggal di tanah angus di padang gurun, di negeri padang asin yang tidak berpenduduk." (Yeremia 17:5). Orang yang mengandalkan sesamanya disebut sebagai orang yang terkutuk.
Tetapi orang yang mengandalkan Tuhan dalam segala hal akan menerima berkat dan segala yang baik dari Tuhan. "Ia akan seperti pohon yang ditanam di tepi air, yang merambatkan akar-akarnya ke tepi batang air, dan yang tidak mengalami datangnya panas terik, yang daunnya tetap hijau, yang tidak kuatir dalam tahun kering, dan yang tidak berhenti menghasilkan buah." (Yeremia 17:8). Juga tidak sedikit orang yang mempercayakan hidupnya kepada harta kekayaan. Ada tertulis: "Pada hari kemurkaan harta tidak berguna, tetapi kebenaran melepaskan orang dari maut." (Amsal 11:4), artinya harta kekayaan dunia ini tidak bisa menolong dan menyelamatkan kita.
3. Belajar hidup takut akan Tuhan dan menghormati Dia. Orang akan takut akan Tuhan dan menghormati Dia saat sadar akan keterbatasannya. Milikilah hati yang takut akan Tuhan dan hormati Dia melalui ketaatan kita melakukan firman-Nya, sebab hidup kita benar-benar bergantung kepada perkataan Tuhan dan firman-Nya. Kita benar-benar tidak berkuasa menentukan jalan dan langkah hidup kita (baca Yeremia 10:23).
Takutlah akan Tuhan dan akuilah Dia sebagai segala-galanya, karena hanya Dia yang tak terbatas.
Tuesday, November 25, 2014
SEGALA SESUATU ADA BATASNYA (1)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 25 November 2014
Baca: Mazmur 104:1-9
"Batas Kautentukan, takkan mereka lewati, takkan kembali mereka menyelubungi bumi." mazmur 104:9
Setinggi-tingginya langit pasti ada batasnya, selebar-lebarnya daratan ada batasnya, sedalam-dalamnya lautan dan samudra juga ada batasnya, juga luasnya bumi ada batasnya. Tak terkecuali dengan manusia, ia memiliki kekuatan dan kemampuan yang sangat terbatas, termasuk umur dan masa hidup pun ada batasnya. Semua hanya tinggal menunggu giliran waktu saja, "...seperti suatu giliran jaga di waktu malam." (Mazmur 90:4). Hal ini disadari oleh Musa: "Masa hidup kami tujuh puluh tahun dan jika kami kuat, delapan puluh tahun, dan kebanggaannya adalah kesukaran dan penderitaan; sebab berlalunya buru-buru, dan kami melayang lenyap." (Mazmur 90:10).
Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa untuk segala sesuatu yang ada di dunia ini memang ada batasnya. Pengkotbah pun menyatakan, "Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya." (Pengkhotbah 3:1). Siapakah yang membatasi semua yang ada di bawah langit ini? Ialah Tuhan, tiada yang lain, karena Dia adalah "...Allah segala allah dan Tuhan segala tuhan, Allah yang besar, kuat dan dahsyat," (Ulangan 10:17). Sungguh, Dia adalah Tuhan yang tiada tandingan-Nya, Ia lebih besar dari apa pun dan siapa pun. Jadi jika kita menyadari bahwa segala sesuatu ada batasnya, maka kita harus: 1. Belajar bergantung penuh kepada Tuhan, percaya kepada-Nya dan mengandalkan Dia dalam segala hal. Siapakah kita ini sehingga tidak hidup bergantung kepada Tuhan, melupakan Dia dan lebih mengandalkan kekuatan, kemampuan dan kepintaran diri sendiri? Seringkali kita merasa diri hebat, pintar, bijak dan mampu. Ingatlah kita ini hanyalah debu (Kejadian 3:19), tak lebih daripada embusan nafas (Yesaya 2:22), dan "seperti rumput yang bertumbuh, di waktu pagi berkembang dan bertumbuh, di waktu petang lisut dan layu." (Mazmur 90:5-6).
Jadi, "Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu. Janganlah engkau menganggap dirimu sendiri bijak," (Amsal 3:5-7). Yesus berkata, "...di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa." (Yohanes 15:5b).
Jika demikian, masihkah kita membangga-banggakan diri sendiri?
Baca: Mazmur 104:1-9
"Batas Kautentukan, takkan mereka lewati, takkan kembali mereka menyelubungi bumi." mazmur 104:9
Setinggi-tingginya langit pasti ada batasnya, selebar-lebarnya daratan ada batasnya, sedalam-dalamnya lautan dan samudra juga ada batasnya, juga luasnya bumi ada batasnya. Tak terkecuali dengan manusia, ia memiliki kekuatan dan kemampuan yang sangat terbatas, termasuk umur dan masa hidup pun ada batasnya. Semua hanya tinggal menunggu giliran waktu saja, "...seperti suatu giliran jaga di waktu malam." (Mazmur 90:4). Hal ini disadari oleh Musa: "Masa hidup kami tujuh puluh tahun dan jika kami kuat, delapan puluh tahun, dan kebanggaannya adalah kesukaran dan penderitaan; sebab berlalunya buru-buru, dan kami melayang lenyap." (Mazmur 90:10).
Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa untuk segala sesuatu yang ada di dunia ini memang ada batasnya. Pengkotbah pun menyatakan, "Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya." (Pengkhotbah 3:1). Siapakah yang membatasi semua yang ada di bawah langit ini? Ialah Tuhan, tiada yang lain, karena Dia adalah "...Allah segala allah dan Tuhan segala tuhan, Allah yang besar, kuat dan dahsyat," (Ulangan 10:17). Sungguh, Dia adalah Tuhan yang tiada tandingan-Nya, Ia lebih besar dari apa pun dan siapa pun. Jadi jika kita menyadari bahwa segala sesuatu ada batasnya, maka kita harus: 1. Belajar bergantung penuh kepada Tuhan, percaya kepada-Nya dan mengandalkan Dia dalam segala hal. Siapakah kita ini sehingga tidak hidup bergantung kepada Tuhan, melupakan Dia dan lebih mengandalkan kekuatan, kemampuan dan kepintaran diri sendiri? Seringkali kita merasa diri hebat, pintar, bijak dan mampu. Ingatlah kita ini hanyalah debu (Kejadian 3:19), tak lebih daripada embusan nafas (Yesaya 2:22), dan "seperti rumput yang bertumbuh, di waktu pagi berkembang dan bertumbuh, di waktu petang lisut dan layu." (Mazmur 90:5-6).
Jadi, "Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu. Janganlah engkau menganggap dirimu sendiri bijak," (Amsal 3:5-7). Yesus berkata, "...di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa." (Yohanes 15:5b).
Jika demikian, masihkah kita membangga-banggakan diri sendiri?
Monday, November 24, 2014
ORANG KAYA: Sukar Masuk Sorga (2)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 24 November 2014
Baca: Markus 10:17-27
"...pergilah, juallah apa yang kaumiliki dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku." Markus 10:21
Alkitab dengan tegas menyatakan: "Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri." (Efesus 2:8). Kita diselamatkan bukan karena usaha kita melainkan karena kasih karunia "...yang telah dikaruniakan kepada kita dalam Kristus Yesus..." (2 Timotius 1:9). Tuhan Yesus adalah satu-satunya jalan keselamatan, tidak ada yang lain, sebab "...keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan." (Kisah 4:12). Jadi untuk memperoleh kehidupan kekal syarat utamanya adalah percaya kepada Tuhan Yesus dan mengikut Dia.
Tuhan Yesus berkata, "Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku." (Markus 8:34). Artinya kita harus menempatkan Tuhan Yesus sebagai prioritas utama dalam hidup kita, mengasihi Dia lebih dari segala yang kita miliki, termasuk harta kekayaan kita. Jadi, benarkah orang kaya itu mengasihi Tuhan lebih dari segalanya? Karena untuk mengikut Tuhan ada harga yang harus dibayar, yaitu penyangkalan diri. Menyangkal diri terhadap segala kenyamanan, kesenangan, hobi, kedudukan, popularitas dan juga kekayaan. Ketika Tuhan Yesus memerintahkan orang kaya itu untuk menjual segala yang dimiliki dan membagikannya kepada orang-orang miskin, "...ia menjadi kecewa, lalu pergi dengan sedih, sebab banyak hartanya." (Markus 10:22). Terbukti jelas bahawa orang kaya itu lebih mengasihi hartanya dari pada mengasihi Tuhan. Hatinya telah terpaut kepada harta kekayaannya. Ia tidak bisa menuruti perintah Tuhan Yesus karena satu hal, yaitu harta kekayaannya.
Sungguh benar, "...di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada." (Matius 6:21). Harta kekayaan ternyata bisa menjadi penghalang bagi seseorang untuk mengasihi Tuhan; dan semakin hati kita berpaut kepada harta, Kerajaan Sorga semakin jauh dari kita!
"Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya?" Matius 16:26
Baca: Markus 10:17-27
"...pergilah, juallah apa yang kaumiliki dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku." Markus 10:21
Alkitab dengan tegas menyatakan: "Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri." (Efesus 2:8). Kita diselamatkan bukan karena usaha kita melainkan karena kasih karunia "...yang telah dikaruniakan kepada kita dalam Kristus Yesus..." (2 Timotius 1:9). Tuhan Yesus adalah satu-satunya jalan keselamatan, tidak ada yang lain, sebab "...keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan." (Kisah 4:12). Jadi untuk memperoleh kehidupan kekal syarat utamanya adalah percaya kepada Tuhan Yesus dan mengikut Dia.
Tuhan Yesus berkata, "Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku." (Markus 8:34). Artinya kita harus menempatkan Tuhan Yesus sebagai prioritas utama dalam hidup kita, mengasihi Dia lebih dari segala yang kita miliki, termasuk harta kekayaan kita. Jadi, benarkah orang kaya itu mengasihi Tuhan lebih dari segalanya? Karena untuk mengikut Tuhan ada harga yang harus dibayar, yaitu penyangkalan diri. Menyangkal diri terhadap segala kenyamanan, kesenangan, hobi, kedudukan, popularitas dan juga kekayaan. Ketika Tuhan Yesus memerintahkan orang kaya itu untuk menjual segala yang dimiliki dan membagikannya kepada orang-orang miskin, "...ia menjadi kecewa, lalu pergi dengan sedih, sebab banyak hartanya." (Markus 10:22). Terbukti jelas bahawa orang kaya itu lebih mengasihi hartanya dari pada mengasihi Tuhan. Hatinya telah terpaut kepada harta kekayaannya. Ia tidak bisa menuruti perintah Tuhan Yesus karena satu hal, yaitu harta kekayaannya.
Sungguh benar, "...di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada." (Matius 6:21). Harta kekayaan ternyata bisa menjadi penghalang bagi seseorang untuk mengasihi Tuhan; dan semakin hati kita berpaut kepada harta, Kerajaan Sorga semakin jauh dari kita!
"Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya?" Matius 16:26
Sunday, November 23, 2014
ORANG KAYA: Sukar Masuk Sorga (1)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 23 November 2014
Baca: Markus 10:17-27
"Alangkah sukarnya orang yang beruang masuk ke dalam Kerajaan Allah." Markus 10:23
Judul perikop hari ini orang kaya yang sukar masuk sorga. Adakah yang salah dengan orang kaya? Ataukah kita harus menjadi miskin dahulu supaya layak masuk sorga?
Perhatikan kebenaran firman Tuhan ini. Markus menceritakan, ketika mendengar Yesus sedang lewat dalam rangka tour pelayanan-Nya, segerlah seorang kaya menyongsong Yesus, ia "...berlari-lari mendapatkan Dia dan sambil bertelut di hadapan-Nya" (ayat 17). Dari tindakannya, orang kaya ini menunjukkan kesungguhannya untuk bertemu Yesus dan memiliki kerendahan hati. Umumnya orang kaya memiliki sifat sombong/tinggi hati, ia pasti tidak akan mau berlari menyambut Tuhan Yesus, apalagi sampai berlutut di bawah kakinya, semata-mata demi menjaga gengsi atau pamornya.
Mari kita bandingkan dalam Matius 19:16-28 yang menyebutkan bahwa orang kaya itu masih berusia muda. Bukan hanya itu, ia juga orang yang sangat rohani, terbukti dari ketaatannya melakukan hukum Taurat. "Semuanya itu telah kuturuti, apa lagi yang masih kurang?" (Matius 19:20). Sedangkan di dalam Lukas 18:18-27 dicatat bahwa selain kaya, ia adalah seorang pemimpin rohani atau dengan kata lain orang yang sudah melayani pekerjaan Tuhan. Perihal melakukan hukum Taurat sudah tidak perlu diragukan lagi. "Semuanya itu telah kuturuti sejak masa mudaku." (Lukas 18:21). Orang yang demikian sepertinya sudah jarang ditemukan di zaman sekarang ini. Itulah sebabnya ia sangat percaya diri bahwa kelak ia pasti masuk ke dalam Kerajaan Sorga. Mengapa? Karena orang-orang Yahudi di zaman Tuhan Yesus memiliki alasan kuat yaitu mereka memiliki garis keturunan secara langsung dari bapa leluhurnya, Abraham. Mereka juga taat melakukan hukum Taurat sebagai tradisi turun-temurun.
Itulah sebabnya ketika bertemu dengan Tuhan Yesus orang muda ini memanfaatkan momen secara tepat untuk mengajukan pertanyaan kepada-Nya: "Guru yang baik, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?" (Markus 10:17; Matius 19:16; Lukas 18:18). Di balik pertanyaan tersebut sesungguhnya orang kaya tersebut hendak mencari konfirmasi bahwa apa yang sudah diperbuatnya itu pasti berkenan kepada Tuhan dan menjaminnya masuk Kerajaan Sorga. Benarkah demikian?
Baca: Markus 10:17-27
"Alangkah sukarnya orang yang beruang masuk ke dalam Kerajaan Allah." Markus 10:23
Judul perikop hari ini orang kaya yang sukar masuk sorga. Adakah yang salah dengan orang kaya? Ataukah kita harus menjadi miskin dahulu supaya layak masuk sorga?
Perhatikan kebenaran firman Tuhan ini. Markus menceritakan, ketika mendengar Yesus sedang lewat dalam rangka tour pelayanan-Nya, segerlah seorang kaya menyongsong Yesus, ia "...berlari-lari mendapatkan Dia dan sambil bertelut di hadapan-Nya" (ayat 17). Dari tindakannya, orang kaya ini menunjukkan kesungguhannya untuk bertemu Yesus dan memiliki kerendahan hati. Umumnya orang kaya memiliki sifat sombong/tinggi hati, ia pasti tidak akan mau berlari menyambut Tuhan Yesus, apalagi sampai berlutut di bawah kakinya, semata-mata demi menjaga gengsi atau pamornya.
Mari kita bandingkan dalam Matius 19:16-28 yang menyebutkan bahwa orang kaya itu masih berusia muda. Bukan hanya itu, ia juga orang yang sangat rohani, terbukti dari ketaatannya melakukan hukum Taurat. "Semuanya itu telah kuturuti, apa lagi yang masih kurang?" (Matius 19:20). Sedangkan di dalam Lukas 18:18-27 dicatat bahwa selain kaya, ia adalah seorang pemimpin rohani atau dengan kata lain orang yang sudah melayani pekerjaan Tuhan. Perihal melakukan hukum Taurat sudah tidak perlu diragukan lagi. "Semuanya itu telah kuturuti sejak masa mudaku." (Lukas 18:21). Orang yang demikian sepertinya sudah jarang ditemukan di zaman sekarang ini. Itulah sebabnya ia sangat percaya diri bahwa kelak ia pasti masuk ke dalam Kerajaan Sorga. Mengapa? Karena orang-orang Yahudi di zaman Tuhan Yesus memiliki alasan kuat yaitu mereka memiliki garis keturunan secara langsung dari bapa leluhurnya, Abraham. Mereka juga taat melakukan hukum Taurat sebagai tradisi turun-temurun.
Itulah sebabnya ketika bertemu dengan Tuhan Yesus orang muda ini memanfaatkan momen secara tepat untuk mengajukan pertanyaan kepada-Nya: "Guru yang baik, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?" (Markus 10:17; Matius 19:16; Lukas 18:18). Di balik pertanyaan tersebut sesungguhnya orang kaya tersebut hendak mencari konfirmasi bahwa apa yang sudah diperbuatnya itu pasti berkenan kepada Tuhan dan menjaminnya masuk Kerajaan Sorga. Benarkah demikian?
Saturday, November 22, 2014
HARTA KEKAYAAN: Bersumber dari Tuhan
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 22 November 2014
Baca: Ulangan 8:11-20
"Tetapi haruslah engkau ingat kepada TUHAN, Allahmu, sebab Dialah yang memberikan kepadamu kekuatan untuk memperoleh kekayaan, dengan maksud meneguhkan perjanjian yang diikrarkan-Nya dengan sumpah kepada nenek moyangmu, seperti sekarang ini." Ulangan 8:18
Penting sekali kita sadari bahwa Tuhan adalah pemilik dan pemberi segala kekayaan. "Sebab kekayaan dan kemuliaan berasal dari pada-Mu dan Engkaulah yang berkuasa atas segala-galanya; dalam tangan-Mulah kekuatan dan kejayaan; dalam tangan-Mulah kuasa membesarkan dan mengokohkan segala-galanya." (1 Tawarikh 29:12).
Tuhan memberikan kita segala sesuatu dengan tujuan untuk kebaikan kita, sebab pemberian yang baik dan sempurna pasti datangnya dari Tuhan. Tuhan tidak pernah memberikan sesuatu yang jahat kepada anak-anak-Nya. Namun penggunaan dan pemanfaatan harta kekayaan dengan cara yang salahlah yang dapat merusak hidup kita dan sesama, bukan harta kekayaan itu sendiri. Sering terjadi ketika seseorang diberkati Tuhan secara melimpah ia tidak semakin dekat kepada Tuhan dan mengasihi-Nya, malah makin menjauh dan meninggalkan Tuhan. Acapkali harta kekayaan juga membuat kita kurang berserah kepada Tuhan. Harta kekayaan begitu memikat hati dan teramat penting, dan akhirnya menjadi 'tuan' yang baru, melebihi Tuhan yang adalah pemberi berkat. "Tak seorangpun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon." (Matius 6:24). Inilah yang membawa seseorang kepada kehancuran dan kebinasaan kekal.
Kalau kita menyadari kesia-siaan harta kekayaan, kita tidak akan menjadikannya sebagai tujuan hidup, sandaran hidup dan tuan dalam hidup ini. Sebaliknya kita akan menempatkan Tuhan sebagai segala-galanya bagi kita, karena Dialah harta yang sesungguhnya. "Siapa gerangan ada padaku di sorga selain Engkau? Selain Engkau tidak ada yang kuingini di bumi." (Mazmur 73:25). Mari berkomitmen menggunakan berkat Tuhan tersebut bukan untuk diri sendiri, melainkan untuk memberkati orang lain dan melayani Tuhan.
"Muliakanlah TUHAN dengan hartamu..." Amsal 3:9
Baca: Ulangan 8:11-20
"Tetapi haruslah engkau ingat kepada TUHAN, Allahmu, sebab Dialah yang memberikan kepadamu kekuatan untuk memperoleh kekayaan, dengan maksud meneguhkan perjanjian yang diikrarkan-Nya dengan sumpah kepada nenek moyangmu, seperti sekarang ini." Ulangan 8:18
Penting sekali kita sadari bahwa Tuhan adalah pemilik dan pemberi segala kekayaan. "Sebab kekayaan dan kemuliaan berasal dari pada-Mu dan Engkaulah yang berkuasa atas segala-galanya; dalam tangan-Mulah kekuatan dan kejayaan; dalam tangan-Mulah kuasa membesarkan dan mengokohkan segala-galanya." (1 Tawarikh 29:12).
Tuhan memberikan kita segala sesuatu dengan tujuan untuk kebaikan kita, sebab pemberian yang baik dan sempurna pasti datangnya dari Tuhan. Tuhan tidak pernah memberikan sesuatu yang jahat kepada anak-anak-Nya. Namun penggunaan dan pemanfaatan harta kekayaan dengan cara yang salahlah yang dapat merusak hidup kita dan sesama, bukan harta kekayaan itu sendiri. Sering terjadi ketika seseorang diberkati Tuhan secara melimpah ia tidak semakin dekat kepada Tuhan dan mengasihi-Nya, malah makin menjauh dan meninggalkan Tuhan. Acapkali harta kekayaan juga membuat kita kurang berserah kepada Tuhan. Harta kekayaan begitu memikat hati dan teramat penting, dan akhirnya menjadi 'tuan' yang baru, melebihi Tuhan yang adalah pemberi berkat. "Tak seorangpun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon." (Matius 6:24). Inilah yang membawa seseorang kepada kehancuran dan kebinasaan kekal.
Kalau kita menyadari kesia-siaan harta kekayaan, kita tidak akan menjadikannya sebagai tujuan hidup, sandaran hidup dan tuan dalam hidup ini. Sebaliknya kita akan menempatkan Tuhan sebagai segala-galanya bagi kita, karena Dialah harta yang sesungguhnya. "Siapa gerangan ada padaku di sorga selain Engkau? Selain Engkau tidak ada yang kuingini di bumi." (Mazmur 73:25). Mari berkomitmen menggunakan berkat Tuhan tersebut bukan untuk diri sendiri, melainkan untuk memberkati orang lain dan melayani Tuhan.
"Muliakanlah TUHAN dengan hartamu..." Amsal 3:9
Friday, November 21, 2014
HARTA KEKAYAAN: Bukanlah Sandaran Hidup
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 21 November 2014
Baca: 1 Timotius 6:17-21
"Peringatkanlah kepada orang-orang kaya di dunia ini agar mereka jangan tinggi hati dan jangan berharap pada sesuatu yang tak tentu seperti kekayaan, melainkan pada Allah yang dalam kekayaan-Nya memberikan kepada kita segala sesuatu untuk dinikmati." 1 Timotius 6:17
Kerinduan Tuhan adalah memberkati umat-Nya sebagaimana yang Ia katakan, "Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan." (Yohanes 10:10b). Dengan berkat yang Ia curahkan Tuhan menghendaki anak-anakNya hidup dalam kebahagiaan, dipenuhi ucapan syukur dan tidak melupakan kebaikan-Nya. "Kecaplah dan lihatlah, betapa baiknya TUHAN itu!" (Mazmur 34:9a). Kata kecaplah (Ibrani, ta'am) artinya merasakan. Sedangkan kata lihatlah (Ibrani, ra'ah) artinya memperhatikan atau memeriksa. Daud mengingatkan agar setiap kita senantiasa mengingat dan memperhatikan kebaikan-kebaikan yang telah kita terima dan rasakan.
Adapun kebaikan Tuhan itu tidak pernah habis dan tak berkesudahan, bahkan "...selalu baru tiap pagi; besar kesetiaan-Mu!" (Ratapan 3:22-23). Jadi berkat Tuhan adalah untuk dinikmati sehingga kita merasakan bahagia dan sukacita. "Setiap orang yang dikaruniai Allah kekayaan dan harta benda dan kuasa untuk menikmatinya, untuk menerima bahagiannya, dan untuk bersukacita dalam jerih payahnya--juga itupun karunia Allah." (Pengkotbah 5:18). Namun seringkali harta kekayaan yang melimpah justru menjadi bumerang bagi banyak orang. Mengapa? Karena mereka memiliki sikap yang salah dalam 'memperlakukan' harta kekayaan tersebut. Mereka telah menempatkan harta atau kekayaan sebagai sandaran hidup, mereka "...percaya akan harta bendanya, dan memegahkan diri dengan banyaknya kekayaan mereka..." (Mazmur 49:7). Harta kekayaan yang telah mereka jadikan ilah baru menggantikan posisi Tuhan, yang sesungguhnya adalah Sang pemberi berkat.
Alkitab menegaskan bahwa harta kekayaan adalah sesuatu yang tidak pasti dan sewaktu-waktu bisa lenyap. "Kalau engkau mengamat-amatinya, lenyaplah ia, karena tiba-tiba ia bersayap, lalu terbang ke angkasa seperti rajawali." (Amsal 23:5).
Adalah sia-sia jika seseorang menyandarkan hidupnya kepada harta kekayaan, "Karena harta benda tidaklah abadi." (Amsal 27:24a) dan tidak dapat menyelamatkan!
Baca: 1 Timotius 6:17-21
"Peringatkanlah kepada orang-orang kaya di dunia ini agar mereka jangan tinggi hati dan jangan berharap pada sesuatu yang tak tentu seperti kekayaan, melainkan pada Allah yang dalam kekayaan-Nya memberikan kepada kita segala sesuatu untuk dinikmati." 1 Timotius 6:17
Kerinduan Tuhan adalah memberkati umat-Nya sebagaimana yang Ia katakan, "Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan." (Yohanes 10:10b). Dengan berkat yang Ia curahkan Tuhan menghendaki anak-anakNya hidup dalam kebahagiaan, dipenuhi ucapan syukur dan tidak melupakan kebaikan-Nya. "Kecaplah dan lihatlah, betapa baiknya TUHAN itu!" (Mazmur 34:9a). Kata kecaplah (Ibrani, ta'am) artinya merasakan. Sedangkan kata lihatlah (Ibrani, ra'ah) artinya memperhatikan atau memeriksa. Daud mengingatkan agar setiap kita senantiasa mengingat dan memperhatikan kebaikan-kebaikan yang telah kita terima dan rasakan.
Adapun kebaikan Tuhan itu tidak pernah habis dan tak berkesudahan, bahkan "...selalu baru tiap pagi; besar kesetiaan-Mu!" (Ratapan 3:22-23). Jadi berkat Tuhan adalah untuk dinikmati sehingga kita merasakan bahagia dan sukacita. "Setiap orang yang dikaruniai Allah kekayaan dan harta benda dan kuasa untuk menikmatinya, untuk menerima bahagiannya, dan untuk bersukacita dalam jerih payahnya--juga itupun karunia Allah." (Pengkotbah 5:18). Namun seringkali harta kekayaan yang melimpah justru menjadi bumerang bagi banyak orang. Mengapa? Karena mereka memiliki sikap yang salah dalam 'memperlakukan' harta kekayaan tersebut. Mereka telah menempatkan harta atau kekayaan sebagai sandaran hidup, mereka "...percaya akan harta bendanya, dan memegahkan diri dengan banyaknya kekayaan mereka..." (Mazmur 49:7). Harta kekayaan yang telah mereka jadikan ilah baru menggantikan posisi Tuhan, yang sesungguhnya adalah Sang pemberi berkat.
Alkitab menegaskan bahwa harta kekayaan adalah sesuatu yang tidak pasti dan sewaktu-waktu bisa lenyap. "Kalau engkau mengamat-amatinya, lenyaplah ia, karena tiba-tiba ia bersayap, lalu terbang ke angkasa seperti rajawali." (Amsal 23:5).
Adalah sia-sia jika seseorang menyandarkan hidupnya kepada harta kekayaan, "Karena harta benda tidaklah abadi." (Amsal 27:24a) dan tidak dapat menyelamatkan!
Thursday, November 20, 2014
HARTA KEKAYAAN: Bukan Sumber Kebahagiaan
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 20 November 2014
Baca: Pengkotbah 8:9-17
"...orang yang takut akan Allah akan beroleh kebahagiaan, sebab mereka takut terhadap hadirat-Nya." Pengkotbah 8:12
Pada tanggal 11 Agustus 2014 lalu dunia hiburan dikejutkan dengan kematian tragis Robin Williams, aktor terkenal Hollywood. Spekulasi pun bermunculan terkait penyebab sang aktor mengakhiri hidupnya. Ada gosip yang menyebutkan bahwa aktor yang tewas di usia 63 tahun itu frustasi karena kecanduan narkoba. Spekulasi lain mengungkapkan bahwa aktor yang berperan dalam film Jumanji ini beberapan bulan belakangan sedang mengalami krisis keuangan. Menurut salah seorang sumber, Robin Williams pernah curhat kepada teman dekatnya bahwa ia sedang collapse sehingga ia merasa sangat khawatir dengan masa depan dan kebahagiaan keluarganya.
Kebahagiaan adalah tujuan terbesar dalam hidup manusia. Banyak orang berpikir bahwa uang dan kekayaan adalah sumber kebahagiaan itu, karenanya mereka menggantungkan hidupnya kepada uang dan kekayaan. Akhirnya, "...di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada." (Matius 6:21). Benarkah demikian? Dengan uang kita dapat membeli tiket pesawat untuk bisa bepergian menjelajah belahan bumi mana pun, tapi dapatkan uang menjamin keselamatan dan melindungi kita dalam perjalanan? Bila isi kantong kita tebal, alias punya uang, kita pun dapat membeli makanan apa saja, mulai yang dijual di warteg sampai di restoran yang berkelas, tetapi uang tidak akan pernah sanggup membeli rasa nikmat itu sendiri. Dengan uang yang kita miliki kita bisa saja membeli obat semahal apapun, tapi uang tidak dapat membeli kesehatan. Semua ini membuktikan bahwa keselamatan, kebahagiaan, ketenangan, sukacita dan damai sejahtera tidak dapat dibeli dengan uang atau digantikan dengan kekayaan.
Euripides, salah satu dari tiga penulis drama tragedi terbaik di Athena klasik, mengatakan, "Mengenai uang, tidak ada seorang pun yang merasa bahagia karena kecukupan uang, hingga mereka meninggal dunia." Riset membuktikan: banyak orang kaya dan terkenal berlimpah uang dan kekayaan, namun hatinya tetap saja kosong, hampa dan tidak bahagia, bahkan mereka menjadi sangat frustasi sampai-sampai nekat mengakhiri hidupnya. Ternyata, uang dan kekayaan bukanlah segala-galanya!
Kebahagiaan sejati hanya kita dapatkan di dalam Tuhan Yesus!
Baca: Pengkotbah 8:9-17
"...orang yang takut akan Allah akan beroleh kebahagiaan, sebab mereka takut terhadap hadirat-Nya." Pengkotbah 8:12
Pada tanggal 11 Agustus 2014 lalu dunia hiburan dikejutkan dengan kematian tragis Robin Williams, aktor terkenal Hollywood. Spekulasi pun bermunculan terkait penyebab sang aktor mengakhiri hidupnya. Ada gosip yang menyebutkan bahwa aktor yang tewas di usia 63 tahun itu frustasi karena kecanduan narkoba. Spekulasi lain mengungkapkan bahwa aktor yang berperan dalam film Jumanji ini beberapan bulan belakangan sedang mengalami krisis keuangan. Menurut salah seorang sumber, Robin Williams pernah curhat kepada teman dekatnya bahwa ia sedang collapse sehingga ia merasa sangat khawatir dengan masa depan dan kebahagiaan keluarganya.
Kebahagiaan adalah tujuan terbesar dalam hidup manusia. Banyak orang berpikir bahwa uang dan kekayaan adalah sumber kebahagiaan itu, karenanya mereka menggantungkan hidupnya kepada uang dan kekayaan. Akhirnya, "...di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada." (Matius 6:21). Benarkah demikian? Dengan uang kita dapat membeli tiket pesawat untuk bisa bepergian menjelajah belahan bumi mana pun, tapi dapatkan uang menjamin keselamatan dan melindungi kita dalam perjalanan? Bila isi kantong kita tebal, alias punya uang, kita pun dapat membeli makanan apa saja, mulai yang dijual di warteg sampai di restoran yang berkelas, tetapi uang tidak akan pernah sanggup membeli rasa nikmat itu sendiri. Dengan uang yang kita miliki kita bisa saja membeli obat semahal apapun, tapi uang tidak dapat membeli kesehatan. Semua ini membuktikan bahwa keselamatan, kebahagiaan, ketenangan, sukacita dan damai sejahtera tidak dapat dibeli dengan uang atau digantikan dengan kekayaan.
Euripides, salah satu dari tiga penulis drama tragedi terbaik di Athena klasik, mengatakan, "Mengenai uang, tidak ada seorang pun yang merasa bahagia karena kecukupan uang, hingga mereka meninggal dunia." Riset membuktikan: banyak orang kaya dan terkenal berlimpah uang dan kekayaan, namun hatinya tetap saja kosong, hampa dan tidak bahagia, bahkan mereka menjadi sangat frustasi sampai-sampai nekat mengakhiri hidupnya. Ternyata, uang dan kekayaan bukanlah segala-galanya!
Kebahagiaan sejati hanya kita dapatkan di dalam Tuhan Yesus!
Wednesday, November 19, 2014
MENABUR DI LADANG KEHIDUPAN (2)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 19 November 2014
Baca: Pengkotbah 11:1-8
"Siapa senantiasa memperhatikan angin tidak akan menabur; dan siapa senantiasa melihat awan tidak akan menuai." Pengkotbah 11:4
Keberadaan kita di dunia ini bukan untuk selamanya, tapi terbatas waktunya. Mari kita pergunakan untuk mengerjakan perkara-perkara yang baik dan berguna, sebab ketika kita menabur kemurahan hati, kasih dan empati, kelak kita akan menuai kebaikan, sebab "Orang yang murah hati berbuat baik kepada diri sendiri," (Amsal 11:7a).
Bila kita rindu diberkati Tuhan dengan "...kekayaan, kehormatan dan kehidupan." (Amsal 22:4), mari taburlah benih hati yang takut akan Tuhan dan kerendahan hati. Firman Tuhan menegaskan: "Dalam tiap jerih payah ada keuntungan," (Amsal 14:23). Yakinlah bahwa harga yang kita bayar untuk semua itu tidak akan pernah sia-sia! Sebaliknya bila yang kita tabur adalah benih-benih yang buruk dan tidak berkualitas, jangan menyalahkan orang lain apalagi sampai menyalahkan Tuhan ketika hal-hal buruk pula yang menghampiri kita. "Sebab barangsiapa menabur dalam dagingnya, ia akan menuai kebinasaan dari dagingnya, tetapi barangsiapa menabur dalam Roh, ia akan menuai hidup yang kekal dari Roh itu." (Galatia 6:8). Banyak pula di antara kita yang menunda-nunda waktu untuk menabur atau bahkan tidak mau menabur dengan berbagai alasan. Sama artinya kita ini orang yang malas. Kemalasan adalah salah satu hal yang membedakan orang berhasil dari orang gagal. Kelambanan dan kemalasan merupakan penyebab dari kegagalan, sebab orang yang malas suka sekali menyia-nyiakan waktu dan kesempatan yang ada. "Pada musim dingin si pemalas tidak membajak; jikalau ia mencari pada musim menuai, maka tidak ada apa-apa." (Amsal 20:4).
Mungkin saat menabur kita akan merasakan sakit yang tak terperi, tidak dianggap oleh orang lain, dan sepertinya si-sia apa yang telah kita perbuat. Perasaan yang sama juga pernah dirasakan oleh pemazmur, "Sia-sia sama sekali aku mempertahankan hati yang bersih, dan membasuh tanganku, tanda tak bersalah. Namun sepanjang hari aku kena tulah, dan kena hukum setiap pagi." (Mazmur 73:13-14). Tetapi Tuhan memberikan janji-Nya yang indah.
"Orang-orang yang menabur dengan mencucurkan air mata, akan menuai dengan bersorak-sorai." Mazmur 126:5
Baca: Pengkotbah 11:1-8
"Siapa senantiasa memperhatikan angin tidak akan menabur; dan siapa senantiasa melihat awan tidak akan menuai." Pengkotbah 11:4
Keberadaan kita di dunia ini bukan untuk selamanya, tapi terbatas waktunya. Mari kita pergunakan untuk mengerjakan perkara-perkara yang baik dan berguna, sebab ketika kita menabur kemurahan hati, kasih dan empati, kelak kita akan menuai kebaikan, sebab "Orang yang murah hati berbuat baik kepada diri sendiri," (Amsal 11:7a).
Bila kita rindu diberkati Tuhan dengan "...kekayaan, kehormatan dan kehidupan." (Amsal 22:4), mari taburlah benih hati yang takut akan Tuhan dan kerendahan hati. Firman Tuhan menegaskan: "Dalam tiap jerih payah ada keuntungan," (Amsal 14:23). Yakinlah bahwa harga yang kita bayar untuk semua itu tidak akan pernah sia-sia! Sebaliknya bila yang kita tabur adalah benih-benih yang buruk dan tidak berkualitas, jangan menyalahkan orang lain apalagi sampai menyalahkan Tuhan ketika hal-hal buruk pula yang menghampiri kita. "Sebab barangsiapa menabur dalam dagingnya, ia akan menuai kebinasaan dari dagingnya, tetapi barangsiapa menabur dalam Roh, ia akan menuai hidup yang kekal dari Roh itu." (Galatia 6:8). Banyak pula di antara kita yang menunda-nunda waktu untuk menabur atau bahkan tidak mau menabur dengan berbagai alasan. Sama artinya kita ini orang yang malas. Kemalasan adalah salah satu hal yang membedakan orang berhasil dari orang gagal. Kelambanan dan kemalasan merupakan penyebab dari kegagalan, sebab orang yang malas suka sekali menyia-nyiakan waktu dan kesempatan yang ada. "Pada musim dingin si pemalas tidak membajak; jikalau ia mencari pada musim menuai, maka tidak ada apa-apa." (Amsal 20:4).
Mungkin saat menabur kita akan merasakan sakit yang tak terperi, tidak dianggap oleh orang lain, dan sepertinya si-sia apa yang telah kita perbuat. Perasaan yang sama juga pernah dirasakan oleh pemazmur, "Sia-sia sama sekali aku mempertahankan hati yang bersih, dan membasuh tanganku, tanda tak bersalah. Namun sepanjang hari aku kena tulah, dan kena hukum setiap pagi." (Mazmur 73:13-14). Tetapi Tuhan memberikan janji-Nya yang indah.
"Orang-orang yang menabur dengan mencucurkan air mata, akan menuai dengan bersorak-sorai." Mazmur 126:5
Tuesday, November 18, 2014
MENABUR DI LADANG KEHIDUPAN (1)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 18 November 2014
Baca: Yakobus 1:12-18
"Setiap pemberian yang baik dan setiap anugerah yang sempurna, datangnya dari atas, diturunkan dari Bapa segala terang; pada-Nya tidak ada perubahan atau bayangan karena pertukaran." Yakobus 1:17
Setiap orang mempunyai 'ladang-ladang' dalam kehidupannya masing-masing, artinya setiap kita memiliki kesempatan yang sama untuk menabur benih sebanyak-banyaknya hingga pada saatnya kita akan menuai sesuai dengan apa yang kita tabur. Karena itu "Taburkanlah benihmu pagi-pagi hari, dan janganlah memberi istirahat kepada tanganmu pada petang hari, karena engkau tidak mengetahui apakah ini atau itu yang akan berhasil, atau kedua-duanya sama baik." (Pengkotbah 11:6).
Sudahkah kita menggarap ladang kita dengan sungguh-sungguh, ataukah kita biarkan terbengkalai dan ditumbuhi ilalang, semak duri dan rerumputan? Selagi ada waktu dan kesempatan jangan malas menggarap ladang kita. Mari mengerjakan ladang kita secara maksimal. "Segala sesuatu yang dijumpai tanganmu untuk dikerjakan, kerjakanlah itu sekuat tenaga, karena tak ada pekerjaan, pertimbangan, pengetahuan dan hikmat dalam dunia orang mati, ke mana engkau akan pergi." (Pengkotbah 9:10). Benih apa saja yang sudah kita tabur dan tanam di ladang kehidupan kita? Jika yang kita tanam adalah benih kejujuran, kita akan menuai berkat-berkat Tuhan. "...siapa yang jujur jalannya, keselamatan yang dari Allah akan Kuperlihatkan kepadanya." (Mazmur 50:23b). Tuhan bergaul erat dengan orang yang jujur (baca Amsal 3:32). Ketika kita menabur kesetiaan, maka kita akan menuai sebuah kepercayaan. Karena itu kerjakan segala sesuatu dengan setia, sebab kesetiaan terhadap perkara kecil adalah pintu gerbang menuju perkara yang lebih besar. Terhadap orang yang setia Tuhan berkata, "hai hambaku yang baik dan setia, engkau telah setia memikul tanggung jawab dalam perkara yang kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar." (Matius 25:23).
Apabila kita menabur benih ketekunan dalam hal apapun yang seharusnya kita kerjakan, pada saat yang tepat kita akan menuai upahnya. Tertulis: "Sebab kamu memerlukan ketekunan, supaya sesudah kamu melakukan kehendak Allah, kamu memperoleh apa yang dijanjikan itu." (Ibrani 10:36).
Benih apa yang kita tabur di ladang, akan menentukan tuaian kita!
Baca: Yakobus 1:12-18
"Setiap pemberian yang baik dan setiap anugerah yang sempurna, datangnya dari atas, diturunkan dari Bapa segala terang; pada-Nya tidak ada perubahan atau bayangan karena pertukaran." Yakobus 1:17
Setiap orang mempunyai 'ladang-ladang' dalam kehidupannya masing-masing, artinya setiap kita memiliki kesempatan yang sama untuk menabur benih sebanyak-banyaknya hingga pada saatnya kita akan menuai sesuai dengan apa yang kita tabur. Karena itu "Taburkanlah benihmu pagi-pagi hari, dan janganlah memberi istirahat kepada tanganmu pada petang hari, karena engkau tidak mengetahui apakah ini atau itu yang akan berhasil, atau kedua-duanya sama baik." (Pengkotbah 11:6).
Sudahkah kita menggarap ladang kita dengan sungguh-sungguh, ataukah kita biarkan terbengkalai dan ditumbuhi ilalang, semak duri dan rerumputan? Selagi ada waktu dan kesempatan jangan malas menggarap ladang kita. Mari mengerjakan ladang kita secara maksimal. "Segala sesuatu yang dijumpai tanganmu untuk dikerjakan, kerjakanlah itu sekuat tenaga, karena tak ada pekerjaan, pertimbangan, pengetahuan dan hikmat dalam dunia orang mati, ke mana engkau akan pergi." (Pengkotbah 9:10). Benih apa saja yang sudah kita tabur dan tanam di ladang kehidupan kita? Jika yang kita tanam adalah benih kejujuran, kita akan menuai berkat-berkat Tuhan. "...siapa yang jujur jalannya, keselamatan yang dari Allah akan Kuperlihatkan kepadanya." (Mazmur 50:23b). Tuhan bergaul erat dengan orang yang jujur (baca Amsal 3:32). Ketika kita menabur kesetiaan, maka kita akan menuai sebuah kepercayaan. Karena itu kerjakan segala sesuatu dengan setia, sebab kesetiaan terhadap perkara kecil adalah pintu gerbang menuju perkara yang lebih besar. Terhadap orang yang setia Tuhan berkata, "hai hambaku yang baik dan setia, engkau telah setia memikul tanggung jawab dalam perkara yang kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar." (Matius 25:23).
Apabila kita menabur benih ketekunan dalam hal apapun yang seharusnya kita kerjakan, pada saat yang tepat kita akan menuai upahnya. Tertulis: "Sebab kamu memerlukan ketekunan, supaya sesudah kamu melakukan kehendak Allah, kamu memperoleh apa yang dijanjikan itu." (Ibrani 10:36).
Benih apa yang kita tabur di ladang, akan menentukan tuaian kita!
Monday, November 17, 2014
SUKA MEMBERI AKAN BANYAK DIBERI
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 17 November 2014
Baca: 2 Korintus 9:6-15
"dan orang yang menabur banyak, akan menuai banyak juga." 2 Korintus 9:6
Di tengah persaingan hidup yang kian berat semua orang dituntut untuk berjuang keras demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Sudah wajar jika tiap orang melakukan tindakan ekonomi dan prinsip ekonomi supaya tetap survive.
Tindakan ekonomi adalah tindakan yang didorong oleh usaha memenuhi kebutuhan hidup dengan mempertimbangkan antara pengorbanan dan hasil, serta dapat melakukan pilihan yang tepat dalam memenuhi kebutuhan mana yang harus didahulukan dan yang sesuai dengan kemampuan. Sedangkan prinsip ekonomi dapat diartikan pengorbanan yang sekecil-kecilnya untuk mendapatkan hasil yang semaksimal mungkin. Kondisi inilah yang mendorong orang menghemat begitu rupa sehingga akan berpikir seribu kali bila hendak memberi. Hidup hemat, irit dan tidak boros bukanlah tindakan yang salah atau melanggar Alkitab. Tapi jika kita berhemat begitu rupa hingga menjadi orang kikir, pelit dan selalu hitung-hitungan bila hendak memberi adalah masalah besar! Sebab prinsip ekonomi sorga justru mengajarkan hal yang berbeda: "Adalah lebih berbahagia memberi dari pada menerima." (Kisah 20:35b). Seorang pujangga Kanada, Henry Drummond berkata, "Tidak ada kebahagiaan dalam memiliki atau mendapatkan, kebahagiaan hanya ada dalam memberi. " Alkitab menyatakan, "Ada yang menyebar harta, tetapi bertambah kaya, ada yang menghemat secara luar biasa, namun selalu berkekurangan. Siapa banyak memberi berkat, diberi kelimpahan, siapa memberi minum, ia sendiri akan diberi minum." (Amsal 11:24-25). Suka tidak suka kita harus mengikuti prinsip Alkitab. Ternyata untuk mengalami hidup berkelimpahan kita harus banyak memberi: "Berilah dan kamu akan diberi: suatu takaran yang baik, yang dipadatkan, yang digoncang dan yang tumpah ke luar akan dicurahkan ke dalam ribaanmu. Sebab ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu." (Lukas 6:38).
Jika kita menginginkan hasil panen yang berlimpah-limpah, tidak ada jalan lain selain menabur. Petani yang memiliki lahan luas sekali pun jika hanya menanam satu pohon saja di lahannya, sampai kapan pun hanya akan memanen sebanyak buah yang ada di pohon itu saja, tidak lebih.
Ingin diberkati Tuhan melimpah? Kuncinya adalah banyak memberi.
Baca: 2 Korintus 9:6-15
"dan orang yang menabur banyak, akan menuai banyak juga." 2 Korintus 9:6
Di tengah persaingan hidup yang kian berat semua orang dituntut untuk berjuang keras demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Sudah wajar jika tiap orang melakukan tindakan ekonomi dan prinsip ekonomi supaya tetap survive.
Tindakan ekonomi adalah tindakan yang didorong oleh usaha memenuhi kebutuhan hidup dengan mempertimbangkan antara pengorbanan dan hasil, serta dapat melakukan pilihan yang tepat dalam memenuhi kebutuhan mana yang harus didahulukan dan yang sesuai dengan kemampuan. Sedangkan prinsip ekonomi dapat diartikan pengorbanan yang sekecil-kecilnya untuk mendapatkan hasil yang semaksimal mungkin. Kondisi inilah yang mendorong orang menghemat begitu rupa sehingga akan berpikir seribu kali bila hendak memberi. Hidup hemat, irit dan tidak boros bukanlah tindakan yang salah atau melanggar Alkitab. Tapi jika kita berhemat begitu rupa hingga menjadi orang kikir, pelit dan selalu hitung-hitungan bila hendak memberi adalah masalah besar! Sebab prinsip ekonomi sorga justru mengajarkan hal yang berbeda: "Adalah lebih berbahagia memberi dari pada menerima." (Kisah 20:35b). Seorang pujangga Kanada, Henry Drummond berkata, "Tidak ada kebahagiaan dalam memiliki atau mendapatkan, kebahagiaan hanya ada dalam memberi. " Alkitab menyatakan, "Ada yang menyebar harta, tetapi bertambah kaya, ada yang menghemat secara luar biasa, namun selalu berkekurangan. Siapa banyak memberi berkat, diberi kelimpahan, siapa memberi minum, ia sendiri akan diberi minum." (Amsal 11:24-25). Suka tidak suka kita harus mengikuti prinsip Alkitab. Ternyata untuk mengalami hidup berkelimpahan kita harus banyak memberi: "Berilah dan kamu akan diberi: suatu takaran yang baik, yang dipadatkan, yang digoncang dan yang tumpah ke luar akan dicurahkan ke dalam ribaanmu. Sebab ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu." (Lukas 6:38).
Jika kita menginginkan hasil panen yang berlimpah-limpah, tidak ada jalan lain selain menabur. Petani yang memiliki lahan luas sekali pun jika hanya menanam satu pohon saja di lahannya, sampai kapan pun hanya akan memanen sebanyak buah yang ada di pohon itu saja, tidak lebih.
Ingin diberkati Tuhan melimpah? Kuncinya adalah banyak memberi.
Sunday, November 16, 2014
MEMAHAMI CARA TUHAN BEKERJA
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 16 November 2014
Baca: Yesaya 55:8-13
"Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN." Yesaya 55:8
Situasi dan kondisi sekitar kita seringkali membentuk sikap hati dan pikiran kita, bahkan turut menentukan besar kecilnya iman kita kepada Tuhan. Mengapa? Karena dengan melihat, ukuran yang kita pakai adalah sudut pandang manusia, sehingga pancaindera kita yang berbicara: ia mengendalikan sukacita kita, mengendalikan ketenangan kita, mengendalikan damai sejahtera kita, mengendalikan semangat dan motivasi kita. Akhirnya banyak orang Kristen menjalani hidupnya dengan letih lesu, keluh-kesah, persungutan, muram dan penuh omelan.
Hugh Downs (produser, penulis dan pembaca berita kenamaan Amerika) berkata, "Orang bahagia bukanlah orang pada lingkungan tertentu, melainkan pada sikap-sikap tertentu." Ketika menderita sakit parah kita menyerah dan putus asa; ketika rumah tangga goncang, hubungan suami-isteri tidak harmonis, secepat kilat kita memutuskan bercerai; ketika ekonomi sulit dan mengalami krisis kita pun berusaha mencari pertolongan kepada dunia, tidak peduli jalan itu sesat. Rasul Paulus mengingatkan seharusnya kita "...hidup karena percaya, bukan karena melihat..." (2 Korintus 5:7).
Selama fokus kita kepada apa yang terlihat oleh mata, maka kita akan menjalani hari-hari dengan penuh ketakutan, kekuatiran dan kecemasan. Ayub berkata, "...yang kutakutkan, itulah yang menimpa aku, dan yang kucemaskan, itulah yang mendatangi aku. Aku tidak mendapat ketenangan dan ketenteraman; aku tidak mendapat istirahat, tetapi kegelisahanlah yang timbul." (Ayub 3:25-26). Namun jika kita hidup karena percaya, maka kita akan memahami cara Tuhan bekerja. Dan cara Tuhan itu selalu heran dan ajaib. "Adakah sesuatu apapun yang mustahil untuk TUHAN?" (Kejadian 18:14a). Semakin kita memahami cara Tuhan bekerja, semakin kita berjalan dalam iman dan memiliki penyerahan diri penuh kepada-Nya. Dengan iman kita beroleh kemampuan Ilahi untuk melihat apa yang tidak sanggup dilihat oleh mata jasmani. Hal itu menjadikan kita tetap sabar dan terus bertekun menantikan-nantikan Tuhan.
Tuhan selalu punya cara untuk menolong kita, karena itu jangan batasi dengan logika kita!
Baca: Yesaya 55:8-13
"Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN." Yesaya 55:8
Situasi dan kondisi sekitar kita seringkali membentuk sikap hati dan pikiran kita, bahkan turut menentukan besar kecilnya iman kita kepada Tuhan. Mengapa? Karena dengan melihat, ukuran yang kita pakai adalah sudut pandang manusia, sehingga pancaindera kita yang berbicara: ia mengendalikan sukacita kita, mengendalikan ketenangan kita, mengendalikan damai sejahtera kita, mengendalikan semangat dan motivasi kita. Akhirnya banyak orang Kristen menjalani hidupnya dengan letih lesu, keluh-kesah, persungutan, muram dan penuh omelan.
Hugh Downs (produser, penulis dan pembaca berita kenamaan Amerika) berkata, "Orang bahagia bukanlah orang pada lingkungan tertentu, melainkan pada sikap-sikap tertentu." Ketika menderita sakit parah kita menyerah dan putus asa; ketika rumah tangga goncang, hubungan suami-isteri tidak harmonis, secepat kilat kita memutuskan bercerai; ketika ekonomi sulit dan mengalami krisis kita pun berusaha mencari pertolongan kepada dunia, tidak peduli jalan itu sesat. Rasul Paulus mengingatkan seharusnya kita "...hidup karena percaya, bukan karena melihat..." (2 Korintus 5:7).
Selama fokus kita kepada apa yang terlihat oleh mata, maka kita akan menjalani hari-hari dengan penuh ketakutan, kekuatiran dan kecemasan. Ayub berkata, "...yang kutakutkan, itulah yang menimpa aku, dan yang kucemaskan, itulah yang mendatangi aku. Aku tidak mendapat ketenangan dan ketenteraman; aku tidak mendapat istirahat, tetapi kegelisahanlah yang timbul." (Ayub 3:25-26). Namun jika kita hidup karena percaya, maka kita akan memahami cara Tuhan bekerja. Dan cara Tuhan itu selalu heran dan ajaib. "Adakah sesuatu apapun yang mustahil untuk TUHAN?" (Kejadian 18:14a). Semakin kita memahami cara Tuhan bekerja, semakin kita berjalan dalam iman dan memiliki penyerahan diri penuh kepada-Nya. Dengan iman kita beroleh kemampuan Ilahi untuk melihat apa yang tidak sanggup dilihat oleh mata jasmani. Hal itu menjadikan kita tetap sabar dan terus bertekun menantikan-nantikan Tuhan.
Tuhan selalu punya cara untuk menolong kita, karena itu jangan batasi dengan logika kita!
Subscribe to:
Posts (Atom)