Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 31 Maret 2015
Baca: Mazmur 39:1-14
"Dengarkanlah doaku, ya TUHAN, dan berilah telinga kepada teriakku minta tolong, janganlah berdiam diri melihat air mataku!" Mazmur 39:13a
Hari ini kita memasuki hari terakhir di bulan Maret 2015. Hingga hari ini banyak sekali orang Kristen yang kehidupan rohaninya menunjukkan grafik yang semakin merosot. Mereka tampak ogah-ogahan dan tidak lagi antusias mengejar perkara-perkara rohani: ibadah dilakukan semau gue, kalau sempat ya datang ke gereja, kalau lagi repot plus hujan ya mending di rumah, pelayanan pun dilakukan ala kadarnya bergantung mood. Mengapa? Setelah diusut lebih lanjut ternyata mereka menyimpan rasa kecewa yang mendalam oleh karena doa-doanya yang belum juga beroleh jawaban.
Seringkali kita berpikir bahwa doa adalah semata-mata tentang permintaan kita kepada Tuhan atau sarana kita meminta kepada Tuhan yang seketika itu harus dikabulkan dijawab. Awal-awalnya kita berdoa dengan tekun karena menginginkan sesuatu dari Tuhan, namun begitu belum ada jawaban kita pun langsung berubah sikap, tidak lagi berdoa secara intensif hingga akhirnya kita benar-benar berhenti berdoa. Perhatikan! Doa sebenarnya bukan hanya sekedar kita berbicara dan menyampaikan keinginan kepada Tuhan, tetapi juga mendengarkan apa yang Tuhan mau dan inginkan dari kehidupan kita. Tuhan Yesus mengingatkan supaya kita "...selalu berdoa dengan tidak jemu-jemu." (Lukas 18:1). Berdoa dengan tidak jemu-jemu artinya berdoa terus-menerus, tidak menjadi kendur dan tidak kehilangan semangat dalam hati kita. Kalau kita menyadari bahwa waktu Tuhan bukanlah waktu kita, maka kita akan berdoa dengan tidak jemu-jemu apapun keadaannya sampai kita melihat Tuhan bekerja dan menyatakan kuasa-Nya. Kita berdoa kepada Tuhan dengan tidak jemu-jemu sebagai tanda bahwa kita sangat bergantung kepada-Nya dan menjadikan Dia sebagai satu-satunya Penolong.
Saudara yang terkasih, di dalam doa terkandung unsur: waktu, kesungguhan, motivasi dan juga iman. Jujur kita akui bahwa sulit rasanya menerima suatu kenyataan bahwa waktu kita bukanlah waktu Tuhan. Akibatnya kita tidak sabar dan tidak lagi tahan untuk terus berdoa!
Jangan jemu berdoa, karena "Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya," Pengkotbah 3:11
Tuesday, March 31, 2015
Monday, March 30, 2015
JAWABAN YANG TERTUNDA
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 30 Maret 2015
Baca: Mazmur 70:1-6
"Engkaulah yang menolong aku dan meluputkan aku; ya TUHAN, janganlah lambat datang!" Mazmur 70:6b
Di tengah perjalanan menuju rumah Yairus tiba-tiba langkah Tuhan sempat terhenti untuk beberapa saat karena ada seorang perempuan yang sakit pendarahan selama dua belas tahun telah menjamah jubah-Nya. "Ketika perempuan itu melihat, bahwa perbuatannya itu ketahuan, ia datang dengan gemetar, tersungkur di depan-Nya dan menceriterakan kepada orang banyak apa sebabnya ia menjamah Dia dan bahwa ia seketika itu juga menjadi sembuh." (Lukas 8:47). Sepertinya kedatangan Tuhan Yesus ke rumah Yairus sudah tidak ada arti apa-apa ketika salah satu keluarga Yairus mengabarkan bahwa anaknya sudah mati. Nasi sudah menjadi bubur.
Ketika doa-doa kita belum beroleh jawaban seringkali kita terpengaruh oleh omongan orang lain yang cenderung melemahkan: usahamu pasti akan bangkrut, suamimu tidak mungkin kembali ke rumah, sakit-penyakitmu tidak mungkin disembuhkan, utang-utangmu tidak mungkin terlunasi, anak-anakmu tidak mungkin bisa sekolah tinggi dan sebagainya. Tapi Yairus tetap memegang janji firman-Nya, "Jangan takut, percaya saja, dan anakmu akan selamat." (ayat 50), meski secara kasat mata keadaan tampak semakin buruk dan sudah tidak ada harapan lagi. Perihal waktu seringkali menjadi masalah serius dalam kehidupan orang percaya. Mengapa? Karena kita menghendaki pertolongan dan jawaban doa dari Tuhan itu secara cepat, tidak perlu menunggu lama, padahal waktu kita bukanlah waktu Tuhan. Ada kalanya jawaban Tuhan terhadap doa dan permohonan kita adalah: tunggu. Namun yang pasti janji Tuhan adalah ya dan amin, dan Tuhan bertindak sesuai dengan waktu-Nya, bukan waktu kita. Mungkin kita tidak akan mendapat masalah bila waktu Tuhan itu sama dengan waktu kita.
Di balik keterlambatan-Nya tiba ke rumah Yairus ada perkara yang besar dan dahsyat Tuhan nyatakan. "...Yesus memegang tangan anak itu dan berseru, kata-Nya: 'Hai anak bangunlah!' Maka kembalilah roh anak itu dan seketika itu juga ia bangkit berdiri." (Lukas 8:54-55). Anak Yairus yang sudah mati pun dibangkitkan-Nya!
Bagi Tuhan tidak ada kata terlambat karena Ia tahu persis waktu yang tepat untuk bertindak, karena itu tetaplah bertekun dan menantikan Dia!
Baca: Mazmur 70:1-6
"Engkaulah yang menolong aku dan meluputkan aku; ya TUHAN, janganlah lambat datang!" Mazmur 70:6b
Di tengah perjalanan menuju rumah Yairus tiba-tiba langkah Tuhan sempat terhenti untuk beberapa saat karena ada seorang perempuan yang sakit pendarahan selama dua belas tahun telah menjamah jubah-Nya. "Ketika perempuan itu melihat, bahwa perbuatannya itu ketahuan, ia datang dengan gemetar, tersungkur di depan-Nya dan menceriterakan kepada orang banyak apa sebabnya ia menjamah Dia dan bahwa ia seketika itu juga menjadi sembuh." (Lukas 8:47). Sepertinya kedatangan Tuhan Yesus ke rumah Yairus sudah tidak ada arti apa-apa ketika salah satu keluarga Yairus mengabarkan bahwa anaknya sudah mati. Nasi sudah menjadi bubur.
Ketika doa-doa kita belum beroleh jawaban seringkali kita terpengaruh oleh omongan orang lain yang cenderung melemahkan: usahamu pasti akan bangkrut, suamimu tidak mungkin kembali ke rumah, sakit-penyakitmu tidak mungkin disembuhkan, utang-utangmu tidak mungkin terlunasi, anak-anakmu tidak mungkin bisa sekolah tinggi dan sebagainya. Tapi Yairus tetap memegang janji firman-Nya, "Jangan takut, percaya saja, dan anakmu akan selamat." (ayat 50), meski secara kasat mata keadaan tampak semakin buruk dan sudah tidak ada harapan lagi. Perihal waktu seringkali menjadi masalah serius dalam kehidupan orang percaya. Mengapa? Karena kita menghendaki pertolongan dan jawaban doa dari Tuhan itu secara cepat, tidak perlu menunggu lama, padahal waktu kita bukanlah waktu Tuhan. Ada kalanya jawaban Tuhan terhadap doa dan permohonan kita adalah: tunggu. Namun yang pasti janji Tuhan adalah ya dan amin, dan Tuhan bertindak sesuai dengan waktu-Nya, bukan waktu kita. Mungkin kita tidak akan mendapat masalah bila waktu Tuhan itu sama dengan waktu kita.
Di balik keterlambatan-Nya tiba ke rumah Yairus ada perkara yang besar dan dahsyat Tuhan nyatakan. "...Yesus memegang tangan anak itu dan berseru, kata-Nya: 'Hai anak bangunlah!' Maka kembalilah roh anak itu dan seketika itu juga ia bangkit berdiri." (Lukas 8:54-55). Anak Yairus yang sudah mati pun dibangkitkan-Nya!
Bagi Tuhan tidak ada kata terlambat karena Ia tahu persis waktu yang tepat untuk bertindak, karena itu tetaplah bertekun dan menantikan Dia!
Sunday, March 29, 2015
TUHAN YESUS ADALAH SUMBER PERTOLONGAN
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 29 Maret 2015
Baca: Lukas 8:40-56
"Anakmu sudah mati, jangan lagi engkau menyusah-nyusahkan Guru!" Lukas 8:49
Ketika dilanda permasalahan, hal pertama yang kita butuhkan adalah suatu pertolongan. Pertolongan yang bagaimana? Semua orang pasti mengharapkan pertolongan yang datang tepat pada waktunya, bukan pertolongan yang datangnya terlambat atau tertunda. Bagaimana rasanya jika pertolongan yang ditunggu-tunggu ternyata datangnya sangat terlambat? Saat itulah orang pasti akan marah, jengkel, kecewa, bersungut-sungut dan akhirnya meninggalkan Tuhan dengan menyimpan kepahitan yang akut. Yang tidak kita sadari adalah adakalanya Tuhan mengijinkan pertolongan itu sepertinya datang terlambat karena Ia memiliki tujuan dan rencana yang indah di balik keterlambatan tersebut.
Pertolongan yang sepertinya tertunda dan sangat terlambat juga dialami oleh Yairus, seorang kepala rumah ibadat yang mengalami masalah berat karena anak perempuan satu-satunya, yang berumur kira-kira dua belas tahun, hampir mati (ayat 42). Ketika masalah datang Yairus membuat sebuah keputusan yang sangat tepat yaitu tidak lari mencari pertolongan kepada manusia atau sumber-sumber lain yang ada di dunia ini, tetapi ia datang kepada Tuhan Yesus. Bahkan Alkitab mencatat: "Sambil tersungkur di depan kaki Yesus ia memohon kepada-Nya, supaya Yesus datang ke rumahnya," (ayat 41b). Kata tersungkur menunjuk kepada suatu sikap kesungguhan yang didasari oleh kerendahan hati. Ia tidak merasa malu dan gengsi meski dilihat oleh orang banyak. Ia tidak menghiraukan statusnya sebagai kepala rumah ibadat, dengan kata lain ia rela menanggalkan segala 'atribut' demi bertemu dengan Tuhan Yesus.
Ketika tertimpa masalah ada banyak orang Kristen yang tidak langsung datang kepada Tuhan Yesus, tapi mereka mencoba mengatasi masalahnya dengan kekuatan sendiri dan seringkali pula mereka tergoda untuk mencari pertolongan 'instan' kepada dunia. Dan karena merasa diri orang kaya, terpandang dan berkedudukan tinggi, mereka merasa enggan dan gengsi untuk tersungkur di bawah kaki Tuhan Yesus dan merendahkan diri. "Terkutuklah orang yang mengandalkan manusia, yang mengandalkan kekuatannya sendiri, dan yang hatinya menjauh dari pada TUHAN!" (Yeremia 17:5). Status sosial seringkali menjadi hambatan bagi seseorang untuk datang kepada Tuhan Yesus.
Pertolongan kita adalah dalam nama TUHAN YESUS, bukan yang lain!
Baca: Lukas 8:40-56
"Anakmu sudah mati, jangan lagi engkau menyusah-nyusahkan Guru!" Lukas 8:49
Ketika dilanda permasalahan, hal pertama yang kita butuhkan adalah suatu pertolongan. Pertolongan yang bagaimana? Semua orang pasti mengharapkan pertolongan yang datang tepat pada waktunya, bukan pertolongan yang datangnya terlambat atau tertunda. Bagaimana rasanya jika pertolongan yang ditunggu-tunggu ternyata datangnya sangat terlambat? Saat itulah orang pasti akan marah, jengkel, kecewa, bersungut-sungut dan akhirnya meninggalkan Tuhan dengan menyimpan kepahitan yang akut. Yang tidak kita sadari adalah adakalanya Tuhan mengijinkan pertolongan itu sepertinya datang terlambat karena Ia memiliki tujuan dan rencana yang indah di balik keterlambatan tersebut.
Pertolongan yang sepertinya tertunda dan sangat terlambat juga dialami oleh Yairus, seorang kepala rumah ibadat yang mengalami masalah berat karena anak perempuan satu-satunya, yang berumur kira-kira dua belas tahun, hampir mati (ayat 42). Ketika masalah datang Yairus membuat sebuah keputusan yang sangat tepat yaitu tidak lari mencari pertolongan kepada manusia atau sumber-sumber lain yang ada di dunia ini, tetapi ia datang kepada Tuhan Yesus. Bahkan Alkitab mencatat: "Sambil tersungkur di depan kaki Yesus ia memohon kepada-Nya, supaya Yesus datang ke rumahnya," (ayat 41b). Kata tersungkur menunjuk kepada suatu sikap kesungguhan yang didasari oleh kerendahan hati. Ia tidak merasa malu dan gengsi meski dilihat oleh orang banyak. Ia tidak menghiraukan statusnya sebagai kepala rumah ibadat, dengan kata lain ia rela menanggalkan segala 'atribut' demi bertemu dengan Tuhan Yesus.
Ketika tertimpa masalah ada banyak orang Kristen yang tidak langsung datang kepada Tuhan Yesus, tapi mereka mencoba mengatasi masalahnya dengan kekuatan sendiri dan seringkali pula mereka tergoda untuk mencari pertolongan 'instan' kepada dunia. Dan karena merasa diri orang kaya, terpandang dan berkedudukan tinggi, mereka merasa enggan dan gengsi untuk tersungkur di bawah kaki Tuhan Yesus dan merendahkan diri. "Terkutuklah orang yang mengandalkan manusia, yang mengandalkan kekuatannya sendiri, dan yang hatinya menjauh dari pada TUHAN!" (Yeremia 17:5). Status sosial seringkali menjadi hambatan bagi seseorang untuk datang kepada Tuhan Yesus.
Pertolongan kita adalah dalam nama TUHAN YESUS, bukan yang lain!
Saturday, March 28, 2015
KUAT KARENA BERGAUL KARIB (2)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 28 Maret 2015
Baca: Mazmur 62:1-13
"Hanya pada Allah saja kiranya aku tenang, sebab dari pada-Nyalah harapanku." Mazmur 62:6
Memiliki persekutuan karib dengan Tuhan adalah kunci menarik hadirat Tuhan hadir di tengah-tengah kehidupan orang percaya, yang tidak dapat digantikan oleh pengetahuan kita tentang Alkitab atau seberapa sibuk kita melayani pekerjaan Tuhan, jika semua itu kita lakukan hanya sebatas rutinitas. "Sebab Aku menyukai kasih setia, dan bukan korban sembelihan, dan menyukai pengenalan akan Allah, lebih dari pada korban-korban bakaran." (Hosea 6:6).
Di dalam suatu kekariban tidak boleh ada mentalitas hamba, yaitu mentalitas yang tidak tahu apa-apa. Seorang hamba tidak akan mengerti apa-apa kecuali yang diperintahkan tuannya, sebab ukuran yang dipakai oleh hamba adalah upah. Tuhan menghendaki kita naik ke tingkat hubungan yang lebih dekat lagi, itulah sebabnya Ia tidak menyebut kita sebagai hamba, melainkan sahabat. "Aku tidak menyebut kamu lagi hamba, sebab hamba tidak tahu, apa yang diperbuat oleh tuannya, tetapi Aku menyebut kamu sahabat, karena Aku telah memberitahukan kepada kamu segala sesuatu yang telah Kudengar dari Bapa-Ku." (Yohanes 15:15). Tuhan ingin kita tidak hanya melakukan apa yang diperintahkan, tetapi lebih daripada itu, Tuhan mau kita juga memahami isi hati-Nya, sebab sesungguhnya Tuhan ingin memberitahukan pikiran dan hati-Nya kepada kita. "Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus," (Filipi 2:5).
Kita akan memahami apa yang ada didalam hati dan pikiran Tuhan jika kita senantiasa memiliki waktu duduk bersimpuh di bawah kaki Tuhan dan mempertajam pendengaran kita akan suara-Nya, seperti yang diperbuat Maria, yang memilih "...duduk dekat kaki Tuhan dan terus mendengarkan perkataan-Nya,...Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya." (Lukas 10:39, 42). Kedekatan itulah yang menghasilkan ketenangan dan kekuatan dalam menghadapi badai persoalan hidup ini.
"Berbahagialah orang yang Engkau pilih dan yang Engkau suruh mendekat untuk diam di pelataran-Mu! Kiranya kami menjadi kenyang dengan segala yang baik di rumah-Mu, di bait-Mu yang kudus." Mazmur 65:5
Baca: Mazmur 62:1-13
"Hanya pada Allah saja kiranya aku tenang, sebab dari pada-Nyalah harapanku." Mazmur 62:6
Memiliki persekutuan karib dengan Tuhan adalah kunci menarik hadirat Tuhan hadir di tengah-tengah kehidupan orang percaya, yang tidak dapat digantikan oleh pengetahuan kita tentang Alkitab atau seberapa sibuk kita melayani pekerjaan Tuhan, jika semua itu kita lakukan hanya sebatas rutinitas. "Sebab Aku menyukai kasih setia, dan bukan korban sembelihan, dan menyukai pengenalan akan Allah, lebih dari pada korban-korban bakaran." (Hosea 6:6).
Di dalam suatu kekariban tidak boleh ada mentalitas hamba, yaitu mentalitas yang tidak tahu apa-apa. Seorang hamba tidak akan mengerti apa-apa kecuali yang diperintahkan tuannya, sebab ukuran yang dipakai oleh hamba adalah upah. Tuhan menghendaki kita naik ke tingkat hubungan yang lebih dekat lagi, itulah sebabnya Ia tidak menyebut kita sebagai hamba, melainkan sahabat. "Aku tidak menyebut kamu lagi hamba, sebab hamba tidak tahu, apa yang diperbuat oleh tuannya, tetapi Aku menyebut kamu sahabat, karena Aku telah memberitahukan kepada kamu segala sesuatu yang telah Kudengar dari Bapa-Ku." (Yohanes 15:15). Tuhan ingin kita tidak hanya melakukan apa yang diperintahkan, tetapi lebih daripada itu, Tuhan mau kita juga memahami isi hati-Nya, sebab sesungguhnya Tuhan ingin memberitahukan pikiran dan hati-Nya kepada kita. "Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus," (Filipi 2:5).
Kita akan memahami apa yang ada didalam hati dan pikiran Tuhan jika kita senantiasa memiliki waktu duduk bersimpuh di bawah kaki Tuhan dan mempertajam pendengaran kita akan suara-Nya, seperti yang diperbuat Maria, yang memilih "...duduk dekat kaki Tuhan dan terus mendengarkan perkataan-Nya,...Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya." (Lukas 10:39, 42). Kedekatan itulah yang menghasilkan ketenangan dan kekuatan dalam menghadapi badai persoalan hidup ini.
"Berbahagialah orang yang Engkau pilih dan yang Engkau suruh mendekat untuk diam di pelataran-Mu! Kiranya kami menjadi kenyang dengan segala yang baik di rumah-Mu, di bait-Mu yang kudus." Mazmur 65:5
Friday, March 27, 2015
KUAT KARENA BERGAUL KARIB (1)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 27 Maret 2015
Baca: Mazmur 9:1-21
"Orang yang mengenal nama-Mu percaya kepada-Mu, sebab tidak Kautinggalkan orang yang mencari Engkau, ya TUHAN." Mazmur 9:11
Saat diterjang oleh ganasnya badai dan gelombang permasalahan kebanyakan orang Kristen malah tidak lagi mau berdoa dan semakin menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah. Adalah mudah sekali menemukan iman dalam diri seseorang ketika segala sesuatunya berjalan dengan baik dan lancar. Sebaliknya ketika masalah datang secara beruntun dan bertubi-tubi, masihkan kita menjaga konsistensi iman kepada Tuhan? Justru dalam situasi-situasi sulit inilah kesempatan bagi kita untuk makin mendekat kepada Tuhan dan membangun persekutuan dengan Dia, "Sebab kamu tahu, bahwa dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia." (1 Korintus 15:58).
Ketika orang-orang dalam kepanikan dan tidak lagi bisa berpikir jernih, Paulus menunjukkan kualitas imannya. Kita bisa menyimak dari pernyataan Paulus ini, "Karena tadi malam seorang malaikat dari Allah, yaitu dari Allah yang aku sembah sebagai milik-Nya, berdiri di sisiku," (Kisah 27:23). Hal itu menunjukkan bahwa dalam situasi genting sekalipun Paulus masih menyempatkan diri untuk membangun persekutuan yang karib dengan Tuhan dan menyembah Dia, bukti bahwa ia memiliki pengenalan yang benar akan Tuhan. Bagaimana kita? Jangankan menyembah Tuhan, untuk berdoa saja seringkali terasa berat dan sulit untuk dilakukan. Alkitab menasihati kita, "Karena itu kuasailah dirimu dan jadilah tenang, supaya kamu dapat berdoa." (1 Perus 4:7). Sejauh mana kita memiliki pengenalan yang benar akan Tuhan? Ini menentukan kualitas iman kita.
Pemazmur mengatakan, "TUHAN bergaul karib dengan orang yang takut akan Dia, dan perjanjian-Nya diberitahukan-Nya kepada mereka." (Mazmur 25:14). Karena Paulus karib dengan Tuhan, Tuhan pun mengutus malaikat untuk memberitahukan kehendak dan rencana-Nya: "Jangan takut, Paulus! Engkau harus menghadap Kaisar; dan sesungguhnya oleh karunia Allah, maka semua orang yang ada bersama-sama dengan engkau di kapal ini akan selamat karena engkau." (Kisah 27:24). Karib dengan Tuhan adalah kunci kekuatan untuk menghadapi segala sesuatu.
Bagaimana mungkin kita akan kuat menghadapi terjangan badai kehidupan ini bila kita sendiri tidak mau melekat kepada Tuhan?
Baca: Mazmur 9:1-21
"Orang yang mengenal nama-Mu percaya kepada-Mu, sebab tidak Kautinggalkan orang yang mencari Engkau, ya TUHAN." Mazmur 9:11
Saat diterjang oleh ganasnya badai dan gelombang permasalahan kebanyakan orang Kristen malah tidak lagi mau berdoa dan semakin menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah. Adalah mudah sekali menemukan iman dalam diri seseorang ketika segala sesuatunya berjalan dengan baik dan lancar. Sebaliknya ketika masalah datang secara beruntun dan bertubi-tubi, masihkan kita menjaga konsistensi iman kepada Tuhan? Justru dalam situasi-situasi sulit inilah kesempatan bagi kita untuk makin mendekat kepada Tuhan dan membangun persekutuan dengan Dia, "Sebab kamu tahu, bahwa dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia." (1 Korintus 15:58).
Ketika orang-orang dalam kepanikan dan tidak lagi bisa berpikir jernih, Paulus menunjukkan kualitas imannya. Kita bisa menyimak dari pernyataan Paulus ini, "Karena tadi malam seorang malaikat dari Allah, yaitu dari Allah yang aku sembah sebagai milik-Nya, berdiri di sisiku," (Kisah 27:23). Hal itu menunjukkan bahwa dalam situasi genting sekalipun Paulus masih menyempatkan diri untuk membangun persekutuan yang karib dengan Tuhan dan menyembah Dia, bukti bahwa ia memiliki pengenalan yang benar akan Tuhan. Bagaimana kita? Jangankan menyembah Tuhan, untuk berdoa saja seringkali terasa berat dan sulit untuk dilakukan. Alkitab menasihati kita, "Karena itu kuasailah dirimu dan jadilah tenang, supaya kamu dapat berdoa." (1 Perus 4:7). Sejauh mana kita memiliki pengenalan yang benar akan Tuhan? Ini menentukan kualitas iman kita.
Pemazmur mengatakan, "TUHAN bergaul karib dengan orang yang takut akan Dia, dan perjanjian-Nya diberitahukan-Nya kepada mereka." (Mazmur 25:14). Karena Paulus karib dengan Tuhan, Tuhan pun mengutus malaikat untuk memberitahukan kehendak dan rencana-Nya: "Jangan takut, Paulus! Engkau harus menghadap Kaisar; dan sesungguhnya oleh karunia Allah, maka semua orang yang ada bersama-sama dengan engkau di kapal ini akan selamat karena engkau." (Kisah 27:24). Karib dengan Tuhan adalah kunci kekuatan untuk menghadapi segala sesuatu.
Bagaimana mungkin kita akan kuat menghadapi terjangan badai kehidupan ini bila kita sendiri tidak mau melekat kepada Tuhan?
Thursday, March 26, 2015
JADILAH PADAMU MENURUT IMANMU
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 26 Maret 2015
Baca: Matius 9:27-31
"Percayakah kamu, bahwa Aku dapat melakukannya?" Matius 9:28
Kalau kita mempelajari secara teliti di dalam Injil Matius, Markus, Lukas dan Yohanes, sesaat sebelum Tuhan Yesus melakukan suatu mujizat, hal pertama yang Ia lakukan adalah bertanya terlebih dahulu kepada orang yang meminta pertolongan kepada-Nya. Tuhan tidak pernah bertanya, "Berapa uang yang kamu miliki? Berapa banyak harta kekayaanmu? Atau apa jabatanmu?" Hal pertama yang Dia tanyakan adalah tentang iman percayanya, "Percayakah kamu, bahwa Aku dapat melakukannya?" (ayat nas).
Jika kita memiliki iman dan percaya, maka mujizat apa pun bisa terjadi, sebab ada tertulis: "Jadilah kepadamu menurut imanmu." (Matius 9:29). Sebaliknya jika di dalam hati kita masih dipenuhi oleh kekuatiran, kebimbangan dan keragu-raguan, jangan harap mujizat dapat terjadi. Itu bukan karena Tuhan tidak sanggup, tapi kita sendiri yang menghalangi Tuhan bekerja. Karena itu Tuhan mencari iman di antara manusia di bumi: "...jika Anak Manusia itu datang, adakah Ia mendapati iman di bumi?" (Lukas 18:8).
Imanlah yang memberi kita keberanian untuk bertindak karena iman tidak akan pernah menjadi kenyataan bila kita tidak berbuat apa-apa. "...iman bekerjasama dengan perbuatan-perbuatan dan oleh perbuatan-perbuatan itu iman menjadi sempurna." (Yakobus 2:22). Iman berarti mengharapkan dan percaya kepada janji Tuhan yang adalah ya dan amin, sedangkan khayalan hanyalah angan-angan yang kita dapatkan. Karena itu jangan pernah berhenti berharap kepada Tuhan dan jangan pernah menyerah sampai kita melihat Tuhan bekerja. Sedahsyat apa pun badai menyerang, baik itu dalam hal pekerjaan, keluarga, ekonomi, kesehatan, studi, takkan mampu melemahkan dan menggoyahkan kita asal kita punya iman yang kuat di dalam Tuhan. Imanlah yang memberi kita rasa tenang. Bukan berarti kita tidak punya masalah, tapi kita tenang di tengah masalah. "Hanya dekat Allah saja aku tenang, dari pada-Nyalah keselamatanku. Hanya Dialah gunung batuku dan keselamatanku, kota bentengku, aku tidak akan goyah." (Mazmur 62:2-3). Jadi iman adalah dasar untuk mengalami mujizat, pertolongan, kesembuhan dan pemulihan dari Tuhan.
Tanpa iman kita tidak akan pernah melihat dan mengalami mujizat Tuhan dinyatakan, sebab "Orang benar akan hidup oleh iman." (Roma 1:17).
Baca: Matius 9:27-31
"Percayakah kamu, bahwa Aku dapat melakukannya?" Matius 9:28
Kalau kita mempelajari secara teliti di dalam Injil Matius, Markus, Lukas dan Yohanes, sesaat sebelum Tuhan Yesus melakukan suatu mujizat, hal pertama yang Ia lakukan adalah bertanya terlebih dahulu kepada orang yang meminta pertolongan kepada-Nya. Tuhan tidak pernah bertanya, "Berapa uang yang kamu miliki? Berapa banyak harta kekayaanmu? Atau apa jabatanmu?" Hal pertama yang Dia tanyakan adalah tentang iman percayanya, "Percayakah kamu, bahwa Aku dapat melakukannya?" (ayat nas).
Jika kita memiliki iman dan percaya, maka mujizat apa pun bisa terjadi, sebab ada tertulis: "Jadilah kepadamu menurut imanmu." (Matius 9:29). Sebaliknya jika di dalam hati kita masih dipenuhi oleh kekuatiran, kebimbangan dan keragu-raguan, jangan harap mujizat dapat terjadi. Itu bukan karena Tuhan tidak sanggup, tapi kita sendiri yang menghalangi Tuhan bekerja. Karena itu Tuhan mencari iman di antara manusia di bumi: "...jika Anak Manusia itu datang, adakah Ia mendapati iman di bumi?" (Lukas 18:8).
Imanlah yang memberi kita keberanian untuk bertindak karena iman tidak akan pernah menjadi kenyataan bila kita tidak berbuat apa-apa. "...iman bekerjasama dengan perbuatan-perbuatan dan oleh perbuatan-perbuatan itu iman menjadi sempurna." (Yakobus 2:22). Iman berarti mengharapkan dan percaya kepada janji Tuhan yang adalah ya dan amin, sedangkan khayalan hanyalah angan-angan yang kita dapatkan. Karena itu jangan pernah berhenti berharap kepada Tuhan dan jangan pernah menyerah sampai kita melihat Tuhan bekerja. Sedahsyat apa pun badai menyerang, baik itu dalam hal pekerjaan, keluarga, ekonomi, kesehatan, studi, takkan mampu melemahkan dan menggoyahkan kita asal kita punya iman yang kuat di dalam Tuhan. Imanlah yang memberi kita rasa tenang. Bukan berarti kita tidak punya masalah, tapi kita tenang di tengah masalah. "Hanya dekat Allah saja aku tenang, dari pada-Nyalah keselamatanku. Hanya Dialah gunung batuku dan keselamatanku, kota bentengku, aku tidak akan goyah." (Mazmur 62:2-3). Jadi iman adalah dasar untuk mengalami mujizat, pertolongan, kesembuhan dan pemulihan dari Tuhan.
Tanpa iman kita tidak akan pernah melihat dan mengalami mujizat Tuhan dinyatakan, sebab "Orang benar akan hidup oleh iman." (Roma 1:17).
Wednesday, March 25, 2015
IMAN: Mujizat Di Tengah Badai
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 25 Maret 2015
Baca: Kisah Para Rasul 27:27-44
"Tidak seorangpun di antara kamu akan kehilangan sehelaipun dari rambut kepalanya." Kisah 27:34b
Ketika menghadapi masalah yang berat, terlebih-lebih yang mengancam keselamatan jiwa, semua orang pasti mengalami ketakutan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata takut memiliki arti: merasa cemas terhadap sesuatu yang dianggap membahayakan, merasa gentar terhadap sesuatu yang diyakini menimbulkan bencana. Alkitab mencatat, "Dan karena takut, bahwa kami akan terkandas di salah satu batu karang, mereka membuang empat sauh di buritan, dan kami sangat berharap mudah-mudahan hari lekas siang." (Kisah 27:29). Karena rasa takut yang menyerang, sampai-sampai orang-orang memutuskan untuk membuang empat sauh sekaligus.
Apa itu sauh? Sauh adalah alat berkait yang terbuat dari besi, yang dilabuhkan dari kapal ke dasar laut dengan tujuan supaya kapal dapat berhenti; sauh disebut juga jangkar. Jadi sauh digunakan untuk membuat kapal berdiam dan bersandar dengan benar supaya tidak terbalik dan tengggelam. Dengan sauh, sebuah kapal akan kokoh menghadapi hantaman ombak dan angin badai. Perahu kapal kita pun akan mampu bertahan di tengah amukan 'badai' persoalan hidup ini apabila kita memiliki sauh. Adapun sauh yang harus dimiliki setiap orang percaya adalah iman. "Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat." (Ibrani 11:1). Badai permasalahan sebesar apa pun boleh saja menyerang, tapi jika kita memiliki iman yang kuat di dalam Tuhan maka kita akan mampu bertahan. Iman adalah kekuatan Ilahi yang dapat menghancurkan segala penghalang yang ada di depan kita.
Ketika iman bekerja, Daud yang dipandang 'kecil' dan diremehkan manusia mampu mengalahkan Goliat, raksasa Filistin; ketika iman bekerja, segala sakit-penyakit kita dapat disembuhkan karena kita tahu bahwa segala kelemahan dan penyakit kita sudah ditanggung Kristus di kayu salib, "Oleh bilur-bilur-Nya kamu telah sembuh." (1 Petrus 2:24b). Dengan iman pula kita menyadari bahwa segala sesuatu tidak bisa menolong kita selain Tuhan Yesus, sehingga membuat kita bersandar sepenuhnya kepada Tuhan.
Saat kita tidak mengandalkan kekuatan sendiri dan tidak berharap kepada manusia, tetapi kepada Tuhan, saat itulah kita akan melihat kemenangan besar!
Baca: Kisah Para Rasul 27:27-44
"Tidak seorangpun di antara kamu akan kehilangan sehelaipun dari rambut kepalanya." Kisah 27:34b
Ketika menghadapi masalah yang berat, terlebih-lebih yang mengancam keselamatan jiwa, semua orang pasti mengalami ketakutan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata takut memiliki arti: merasa cemas terhadap sesuatu yang dianggap membahayakan, merasa gentar terhadap sesuatu yang diyakini menimbulkan bencana. Alkitab mencatat, "Dan karena takut, bahwa kami akan terkandas di salah satu batu karang, mereka membuang empat sauh di buritan, dan kami sangat berharap mudah-mudahan hari lekas siang." (Kisah 27:29). Karena rasa takut yang menyerang, sampai-sampai orang-orang memutuskan untuk membuang empat sauh sekaligus.
Apa itu sauh? Sauh adalah alat berkait yang terbuat dari besi, yang dilabuhkan dari kapal ke dasar laut dengan tujuan supaya kapal dapat berhenti; sauh disebut juga jangkar. Jadi sauh digunakan untuk membuat kapal berdiam dan bersandar dengan benar supaya tidak terbalik dan tengggelam. Dengan sauh, sebuah kapal akan kokoh menghadapi hantaman ombak dan angin badai. Perahu kapal kita pun akan mampu bertahan di tengah amukan 'badai' persoalan hidup ini apabila kita memiliki sauh. Adapun sauh yang harus dimiliki setiap orang percaya adalah iman. "Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat." (Ibrani 11:1). Badai permasalahan sebesar apa pun boleh saja menyerang, tapi jika kita memiliki iman yang kuat di dalam Tuhan maka kita akan mampu bertahan. Iman adalah kekuatan Ilahi yang dapat menghancurkan segala penghalang yang ada di depan kita.
Ketika iman bekerja, Daud yang dipandang 'kecil' dan diremehkan manusia mampu mengalahkan Goliat, raksasa Filistin; ketika iman bekerja, segala sakit-penyakit kita dapat disembuhkan karena kita tahu bahwa segala kelemahan dan penyakit kita sudah ditanggung Kristus di kayu salib, "Oleh bilur-bilur-Nya kamu telah sembuh." (1 Petrus 2:24b). Dengan iman pula kita menyadari bahwa segala sesuatu tidak bisa menolong kita selain Tuhan Yesus, sehingga membuat kita bersandar sepenuhnya kepada Tuhan.
Saat kita tidak mengandalkan kekuatan sendiri dan tidak berharap kepada manusia, tetapi kepada Tuhan, saat itulah kita akan melihat kemenangan besar!
Tuesday, March 24, 2015
KETABAHAN HATI
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 24 Maret 2015
Baca: Kisah Para Rasul 27:14-26
"Tetapi tidak berapa lama kemudian turunlah dari arah pulau itu angin badai, yang disebut angin 'Timur Laut'. Kisah 27:14
Kapal Titanic adalah sebuah kapal berpenumpang supermewah milik Britania Raya yang dinahkodai oleh kapten Edward J. Smith, yang tenggelam di Samudera Atlantik Utara pada 15 April 1912 setelah menabrak gunung es pada pelayaran perdananya dari Southampton (Inggris) menuju New York City (Amerika). Akibat bencana ini ada 1.514 nyawa melayang sehingga peristiwa ini disebut sebagai bencana maritim terburuk di sepanjang sejarah. Menurut perkiraan manusia kapal ini sulit untuk bisa tenggelam sebab sudah diperlengkapi dengan teknologi supercanggih pada masa itu, namun fakta berkata lain! Dan karena begitu tragisnya, maka sejarah tenggelamnya kapal Titanic ini pun diangkat dalam sebuah film layar lebar, di mana film ini sukses besar di pasaran dan menjadi box office.
Kandasnya kapal di lautan lepas juga pernah terjadi di zaman para rasul: ada 276 orang berada dalam satu kapal yang sedang menempuh perjalanan menuju Roma, dan salah satu dari penumpang tersebut adalah rasul Paulus. Tetapi di tengah perjalanan mereka harus menghadapi serangan badai yang sangat dahsyat sehingga kapal tersebut terombang-ambing di tengah lautan karena terjangan angin sakal, bahkan selama 14 hari lamanya kapal itu terkatung-katung di tengah lautan. "...beberapa hari lamanya baik matahari maupun bintang-bintang tidak kelihatan, dan angin badai yang dahsyat terus-menerus mengancam" (ayat 20). Ini jelas menimbulkan ketakutan yang luar biasa!
Tetapi, rasul Paulus memiliki respon yang berbeda: ia tetap kuat meski berada dalam masalah besar yang mengancam jiwa tersebut. Secara akal manusia mustahil bagi mereka untuk selamat dari malapetaka ini. Namun di tengah ketakutan hebat itu Paulus mampu menguatkan orang-orang yang ada di tengah kapal, "Tetapi sekarang, juga dalam kesukaran ini, aku menasihatkan kamu, supaya kamu tetap bertabah hati, sebab tidak seorangpun di antara kamu yang akan binasa, kecuali kapal ini." (Kisah 27:22). Adapun arti kata tabah adalah tabah hati terhadap segala kesukaran dan ujian yang menimpa.
Ketika diperhadapkan dengan masalah yang berat, milikilah ketabahan hati!
Baca: Kisah Para Rasul 27:14-26
"Tetapi tidak berapa lama kemudian turunlah dari arah pulau itu angin badai, yang disebut angin 'Timur Laut'. Kisah 27:14
Kapal Titanic adalah sebuah kapal berpenumpang supermewah milik Britania Raya yang dinahkodai oleh kapten Edward J. Smith, yang tenggelam di Samudera Atlantik Utara pada 15 April 1912 setelah menabrak gunung es pada pelayaran perdananya dari Southampton (Inggris) menuju New York City (Amerika). Akibat bencana ini ada 1.514 nyawa melayang sehingga peristiwa ini disebut sebagai bencana maritim terburuk di sepanjang sejarah. Menurut perkiraan manusia kapal ini sulit untuk bisa tenggelam sebab sudah diperlengkapi dengan teknologi supercanggih pada masa itu, namun fakta berkata lain! Dan karena begitu tragisnya, maka sejarah tenggelamnya kapal Titanic ini pun diangkat dalam sebuah film layar lebar, di mana film ini sukses besar di pasaran dan menjadi box office.
Kandasnya kapal di lautan lepas juga pernah terjadi di zaman para rasul: ada 276 orang berada dalam satu kapal yang sedang menempuh perjalanan menuju Roma, dan salah satu dari penumpang tersebut adalah rasul Paulus. Tetapi di tengah perjalanan mereka harus menghadapi serangan badai yang sangat dahsyat sehingga kapal tersebut terombang-ambing di tengah lautan karena terjangan angin sakal, bahkan selama 14 hari lamanya kapal itu terkatung-katung di tengah lautan. "...beberapa hari lamanya baik matahari maupun bintang-bintang tidak kelihatan, dan angin badai yang dahsyat terus-menerus mengancam" (ayat 20). Ini jelas menimbulkan ketakutan yang luar biasa!
Tetapi, rasul Paulus memiliki respon yang berbeda: ia tetap kuat meski berada dalam masalah besar yang mengancam jiwa tersebut. Secara akal manusia mustahil bagi mereka untuk selamat dari malapetaka ini. Namun di tengah ketakutan hebat itu Paulus mampu menguatkan orang-orang yang ada di tengah kapal, "Tetapi sekarang, juga dalam kesukaran ini, aku menasihatkan kamu, supaya kamu tetap bertabah hati, sebab tidak seorangpun di antara kamu yang akan binasa, kecuali kapal ini." (Kisah 27:22). Adapun arti kata tabah adalah tabah hati terhadap segala kesukaran dan ujian yang menimpa.
Ketika diperhadapkan dengan masalah yang berat, milikilah ketabahan hati!
Monday, March 23, 2015
KEKUATAN MAKIN BERTAMBAH-TAMBAH (2)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 23 Maret 2015
Baca: Mazmur 84:1-13
"Sebab TUHAN Allah adalah matahari dan perisai; kasih dan kemuliaan Ia berikan; Ia tidak menahan kebaikan dari orang yang hidup tidak bercela." Mazmur 84:12
Kita akan berjalan makin lama makin kuat apabila kita senantiasa mengandalkan Tuhan. Siapa yang Saudara andalkan dalam hidup ini? Banyak orang Kristen yang meskipun tampak setia beribadah dan melayani Tuhan tidak sepenuhnya bergantung kepada Tuhan dan mengandalkan Dia dalam segala hal. Mereka berjalan dengan kekuatan sendiri, bersandar pada pengertiannya sendiri dan menganggap diri sendiri bijak karena merasa diri kaya, hebat, pintar, populer atau berkedudukan tinggi.
Selama kita berjalan dengan kekuatan sendiri kita sedang berjalan menuju ke arah yang berlawanan dengan kehendak Tuhan. Hasilnya bisa ditebak: kita tidak akan memiliki ketenangan karena hati dikuasai rasa kuatir, takut dan cemas sehingga pada saat menemui jalan buntu kita akan mudah sekali kecewa, stres dan ujung-ujungnya kita marah dan menyalahkan Tuhan. Alkitab memperingatkan, "Celakalah orang-orang yang pergi ke Mesir minta pertolongan, yang mengandalkan kuda-kuda, yang percaya kepada keretanya yang begitu banyak, dan kepada pasukan berkuda yang begitu besar jumlahnya, tetapi tidak memandang kepada Yang Mahakudus, Allah Israel, dan tidak mencari TUHAN." (Yesaya 31:1), tetapi "Diberkatilah orang yang mengandalkan TUHAN, yang menaruh harapannya pada TUHAN!" (Yeremia 17:7). Kalimat berhasrat mengadakan ziarah (dalam Mazmur 84:6) berbicara tentang hati atau motivasi kita dalam beribadah kepada Tuhan. Ibadah yang berkenan kepada Tuhan adalah ibadah yang bukan sekedar menjalankan kewajiban agama atau rutinitas, melainkan karena kita mengasihi Tuhan dan rindu menyenangkan hati Tuhan. Beribadah kepada Tuhan juga berarti kita menolak segala bentuk kompromi terhadap dosa dan kejahatan.
Bila kita senantiasa berada di bait-Nya dan mengandalkan Dia, melewati perjalanan hidup seberat apapun, melewati lembah kekelaman sekalipun, tidak ada yang perlu dikuatirkan karena Tuhan selalu beserta kita: Tuhan sanggup mengubah masalah menjadi berkat, mengubah lembah air mata menjadi sukacita, "...Aku hendak membuat jalan di padang gurun dan sungai-sungai di padang belantara." (Yesaya 43:19b).
Jika Tuhan di pihak kita, siapakah yang akan melawan kita? Roma 8:31
Baca: Mazmur 84:1-13
"Sebab TUHAN Allah adalah matahari dan perisai; kasih dan kemuliaan Ia berikan; Ia tidak menahan kebaikan dari orang yang hidup tidak bercela." Mazmur 84:12
Kita akan berjalan makin lama makin kuat apabila kita senantiasa mengandalkan Tuhan. Siapa yang Saudara andalkan dalam hidup ini? Banyak orang Kristen yang meskipun tampak setia beribadah dan melayani Tuhan tidak sepenuhnya bergantung kepada Tuhan dan mengandalkan Dia dalam segala hal. Mereka berjalan dengan kekuatan sendiri, bersandar pada pengertiannya sendiri dan menganggap diri sendiri bijak karena merasa diri kaya, hebat, pintar, populer atau berkedudukan tinggi.
Selama kita berjalan dengan kekuatan sendiri kita sedang berjalan menuju ke arah yang berlawanan dengan kehendak Tuhan. Hasilnya bisa ditebak: kita tidak akan memiliki ketenangan karena hati dikuasai rasa kuatir, takut dan cemas sehingga pada saat menemui jalan buntu kita akan mudah sekali kecewa, stres dan ujung-ujungnya kita marah dan menyalahkan Tuhan. Alkitab memperingatkan, "Celakalah orang-orang yang pergi ke Mesir minta pertolongan, yang mengandalkan kuda-kuda, yang percaya kepada keretanya yang begitu banyak, dan kepada pasukan berkuda yang begitu besar jumlahnya, tetapi tidak memandang kepada Yang Mahakudus, Allah Israel, dan tidak mencari TUHAN." (Yesaya 31:1), tetapi "Diberkatilah orang yang mengandalkan TUHAN, yang menaruh harapannya pada TUHAN!" (Yeremia 17:7). Kalimat berhasrat mengadakan ziarah (dalam Mazmur 84:6) berbicara tentang hati atau motivasi kita dalam beribadah kepada Tuhan. Ibadah yang berkenan kepada Tuhan adalah ibadah yang bukan sekedar menjalankan kewajiban agama atau rutinitas, melainkan karena kita mengasihi Tuhan dan rindu menyenangkan hati Tuhan. Beribadah kepada Tuhan juga berarti kita menolak segala bentuk kompromi terhadap dosa dan kejahatan.
Bila kita senantiasa berada di bait-Nya dan mengandalkan Dia, melewati perjalanan hidup seberat apapun, melewati lembah kekelaman sekalipun, tidak ada yang perlu dikuatirkan karena Tuhan selalu beserta kita: Tuhan sanggup mengubah masalah menjadi berkat, mengubah lembah air mata menjadi sukacita, "...Aku hendak membuat jalan di padang gurun dan sungai-sungai di padang belantara." (Yesaya 43:19b).
Jika Tuhan di pihak kita, siapakah yang akan melawan kita? Roma 8:31
Sunday, March 22, 2015
KEKUATAN MAKIN BERTAMBAH-TAMBAH (1)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 22 Maret 2015
Baca: Mazmur 84:1-13
"Berbahagialah manusia yang kekuatannya di dalam Engkau, yang berhasrat mengadakan ziarah!" Mazmur 84:6
Di tengah dunia yang semakin hari semakin dipenuhi gejolak ini banyak orang Kristen yang malah menjauh dan meninggalkan Tuhan, karena beranggapan bahwa mengikuti jalan Tuhan ternyata lebih complicated, banyak masalah dan ujian, sementara mereka melihat hari-hari yang dijalani orang-orang dunia sepertinya mulus tanpa aral. Secara manusia pergumulan yang harus kita hadapi memang cukup berat dan kita memiliki alasan untuk menjadi lemah dan putus asa, tetapi justru Tuhan menghendaki kita makin lama makin kuat: kuat doa, kuat ibadah, kuat pelayananan, kuat iman, kuat pengharapan dalam Tuhan, kuat dalam mempraktekkan kasih kita kepada Tuhan dan juga terhadap sesama.
Bani Korah, yaitu anak-anak Korah bin Yizhar bin Kehat bin Lewi, yang turut dalam pemberontakan terhadap Musa dan kemudian berpartisipasi aktif dalam pelayanan di Kemah Suci, bertugas sebagai penjaga pintu masuk, mengolah roti, serta menyanyikan puji-pujian bagi Tuhan, melalui mazmur ini memberikan kiat-kiat bagaimana supaya kita tetap kuat di segala situasi. Kuncinya adalah senantiasa di rumah Tuhan, "Berbahagialah orang-orang yang diam di rumah-Mu, yang terus-menerus memuji-muji Engkau." (Mazmur 84:5). Adakah kita memiliki kerinduan yang dalam untuk bertemu Tuhan di bait-Nya yang kudus, seperti yang dirasakan oleh pemazmur ini? "Jiwaku hancur karena merindukan pelataran-pelataran TUHAN;" (Mazmur 84:3). Berdiam di rumah Tuhan berarti kita memiliki persekutuan yang erat dengan Tuhan, setia beribadah dan melayani Tuhan. Itulah sebabnya Daud merasa senang kalau ada yang memanggilnya untuk pergi ke rumah Tuhan, "Aku bersukacita, ketika dikatakan orang kepadaku: 'Mari kita pergi ke rumah TUHAN.'" (Mazmur 122:1).
Jangan sekali-kali kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah yang ada karena Tuhan sudah memberikan waktu: "...enam hari lamanya engkau akan bekerja dan melakukan segala pekerjaanmu, tetapi hari ketujuh adalah hari Sabat TUHAN," (Keluaran 20:9-10).
Saat berada di rumah Tuhan kita akan menyaksikan kemurahan TUHAN! (baca Mazmur 27:4).
Baca: Mazmur 84:1-13
"Berbahagialah manusia yang kekuatannya di dalam Engkau, yang berhasrat mengadakan ziarah!" Mazmur 84:6
Di tengah dunia yang semakin hari semakin dipenuhi gejolak ini banyak orang Kristen yang malah menjauh dan meninggalkan Tuhan, karena beranggapan bahwa mengikuti jalan Tuhan ternyata lebih complicated, banyak masalah dan ujian, sementara mereka melihat hari-hari yang dijalani orang-orang dunia sepertinya mulus tanpa aral. Secara manusia pergumulan yang harus kita hadapi memang cukup berat dan kita memiliki alasan untuk menjadi lemah dan putus asa, tetapi justru Tuhan menghendaki kita makin lama makin kuat: kuat doa, kuat ibadah, kuat pelayananan, kuat iman, kuat pengharapan dalam Tuhan, kuat dalam mempraktekkan kasih kita kepada Tuhan dan juga terhadap sesama.
Bani Korah, yaitu anak-anak Korah bin Yizhar bin Kehat bin Lewi, yang turut dalam pemberontakan terhadap Musa dan kemudian berpartisipasi aktif dalam pelayanan di Kemah Suci, bertugas sebagai penjaga pintu masuk, mengolah roti, serta menyanyikan puji-pujian bagi Tuhan, melalui mazmur ini memberikan kiat-kiat bagaimana supaya kita tetap kuat di segala situasi. Kuncinya adalah senantiasa di rumah Tuhan, "Berbahagialah orang-orang yang diam di rumah-Mu, yang terus-menerus memuji-muji Engkau." (Mazmur 84:5). Adakah kita memiliki kerinduan yang dalam untuk bertemu Tuhan di bait-Nya yang kudus, seperti yang dirasakan oleh pemazmur ini? "Jiwaku hancur karena merindukan pelataran-pelataran TUHAN;" (Mazmur 84:3). Berdiam di rumah Tuhan berarti kita memiliki persekutuan yang erat dengan Tuhan, setia beribadah dan melayani Tuhan. Itulah sebabnya Daud merasa senang kalau ada yang memanggilnya untuk pergi ke rumah Tuhan, "Aku bersukacita, ketika dikatakan orang kepadaku: 'Mari kita pergi ke rumah TUHAN.'" (Mazmur 122:1).
Jangan sekali-kali kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah yang ada karena Tuhan sudah memberikan waktu: "...enam hari lamanya engkau akan bekerja dan melakukan segala pekerjaanmu, tetapi hari ketujuh adalah hari Sabat TUHAN," (Keluaran 20:9-10).
Saat berada di rumah Tuhan kita akan menyaksikan kemurahan TUHAN! (baca Mazmur 27:4).
Saturday, March 21, 2015
FIRMAN TUHAN: Sebagai Fondasi Hidup (2)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 21 Maret 2015
Baca: Lukas 6:46-49
"Setiap orang yang datang kepada-Ku dan mendengarkan perkataan-Ku serta melakukannya--Aku akan menyatakan kepadamu dengan siapa ia dapat disamakan--," Lukas 6:47
Fondasi yang membangun hidup kita akan kuat dan kokoh apabila kita menjadikan firman Tuhan sebagai makanan rohani setiap hari. "...yang kesukaannya ialah Taurat TUHAN, dan yang merenungkan Taurat itu siang dan malam. Ia seperti pohon, yang ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buahnya pada musimnya, dan yang tidak layu daunnya; apa saja yang diperbuatnya berhasil." (Mazmur 1:2-3). Saat itulah kehidupan kita akan semakin dibawa lebih tinggi dan semakin tinggi, "...seumpama rajawali yang naik terbang dengan kekuatan sayapnya; mereka berlari dan tidak menjadi lesu, mereka berjalan dan tidak menjadi lelah." (Yesaya 40:31). Di tempat yang tinggi itulah kita akan melihat dan mengalami perkara-perkara besar dinyatakan.
Jika kita mendasari hidup kita dengan firman Tuhan, maka daya tahan kita terhadap goncangan akan semakin kuat; jika tidak, keadaan kita akan sama seperti "...orang yang bodoh, yang mendirikan rumahnya di atas pasir. Kemudian turunlah hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu, sehingga rubuhlah rumah itu dan hebatlah kerusakannya." (Matius 7:26-27). Sedikit goncangan atau masalah terjadi hidup kita akan porak-poranda dan hancur berkeping-keping. Kunci kekuatan itu adalah datang kepada Tuhan Yesus dan percaya kepada-Nya karena Dia adalah Batu Karang yang teguh (baca 1 Korintus 10:4). Berbekal percaya saja dan punya pengetahuan tentang firman saja tidaklah cukup, kita juga harus melakukan firman yang telah kita dengar dan pelajari, sebab "Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati." (Yakobus 2:17). Tuhan berkata, "Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga." (Matius 7:21).
Rajin beribadah, rajin pelayanan dan rajin membaca Alkitab tanpa disertai perbuatan nyata sesuai firman-Nya tidak akan membawa hasil yang maksimal.
Janji-janji Tuhan disediakan bagi orang yang membangun hidupnya di atas Batu Karang (Tuhan Yesus) dengan ketaatan.
Baca: Lukas 6:46-49
"Setiap orang yang datang kepada-Ku dan mendengarkan perkataan-Ku serta melakukannya--Aku akan menyatakan kepadamu dengan siapa ia dapat disamakan--," Lukas 6:47
Fondasi yang membangun hidup kita akan kuat dan kokoh apabila kita menjadikan firman Tuhan sebagai makanan rohani setiap hari. "...yang kesukaannya ialah Taurat TUHAN, dan yang merenungkan Taurat itu siang dan malam. Ia seperti pohon, yang ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buahnya pada musimnya, dan yang tidak layu daunnya; apa saja yang diperbuatnya berhasil." (Mazmur 1:2-3). Saat itulah kehidupan kita akan semakin dibawa lebih tinggi dan semakin tinggi, "...seumpama rajawali yang naik terbang dengan kekuatan sayapnya; mereka berlari dan tidak menjadi lesu, mereka berjalan dan tidak menjadi lelah." (Yesaya 40:31). Di tempat yang tinggi itulah kita akan melihat dan mengalami perkara-perkara besar dinyatakan.
Jika kita mendasari hidup kita dengan firman Tuhan, maka daya tahan kita terhadap goncangan akan semakin kuat; jika tidak, keadaan kita akan sama seperti "...orang yang bodoh, yang mendirikan rumahnya di atas pasir. Kemudian turunlah hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu, sehingga rubuhlah rumah itu dan hebatlah kerusakannya." (Matius 7:26-27). Sedikit goncangan atau masalah terjadi hidup kita akan porak-poranda dan hancur berkeping-keping. Kunci kekuatan itu adalah datang kepada Tuhan Yesus dan percaya kepada-Nya karena Dia adalah Batu Karang yang teguh (baca 1 Korintus 10:4). Berbekal percaya saja dan punya pengetahuan tentang firman saja tidaklah cukup, kita juga harus melakukan firman yang telah kita dengar dan pelajari, sebab "Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati." (Yakobus 2:17). Tuhan berkata, "Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga." (Matius 7:21).
Rajin beribadah, rajin pelayanan dan rajin membaca Alkitab tanpa disertai perbuatan nyata sesuai firman-Nya tidak akan membawa hasil yang maksimal.
Janji-janji Tuhan disediakan bagi orang yang membangun hidupnya di atas Batu Karang (Tuhan Yesus) dengan ketaatan.
Friday, March 20, 2015
FIRMAN TUHAN: Sebagai Fondasi Hidup (1)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 20 Maret 2015
Baca: Matius 7:24-27
"Kemudian turunlah hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu, tetapi rumah itu tidak rubuh sebab didirikan di atas batu." Matius 7:25
Sekarang pembangunan gedung-gedung bertingkat yang tinggi menjulang seperti hotel, mal dan apartemen semakin menjamur di kota-kota besar seperti di Jakarta, Surabaya dan kota-kota lainnya. Hampir-hampir tiada lagi lahan yang kosong karena semua dipergunakan untuk area bisnis.
Pernahkah kita mengamati proses pembangunan gedung bertingkat? Kekuatan bangunan sangat ditentukan oleh kualitas fondasinya, sama seperti kekuatan sebuah pohon sangat ditentukan oleh kekuatan akarnya. Mengapa? Fondasi menentukan tingginya sebuah bangunan. Jika fondasinya biasa-biasa saja tidak akan mampu menopang bangunan yang tinggi diatasnya. Semakin tinggi bangunan gedung semakin dalam dan semakin kokoh pula fondasi yang harus ditanam. Fondasi juga menentukan daya tahan sebuah bangunan. Semakin kuat fondasi sebuah bangunan semakin kokoh pula bangunan tersebut dan tidak mudah roboh ketika ada guncangan. Fondasi bangunan akan menentukan besar/kecilnya bangunan yang hendak di bangun di atasnya. Jika fondasi atau dasarnya kecil, maka bangunan yang bisa dibangun di atasnya juga kecil; sebaliknya jika kita hendak mendirikan bangunan yang besar di atasnya, maka fondasi atau dasar bangunan harus kita buat besar juga!
Kualitas hidup seseorang sangat ditentukan oleh fondasi iman yang ia bangun. Kita tahu bahwa hari-hari yang kita jalani dipenuhi dengan gejolak dan goncangan di segala aspek bidang kehidupan dan intinya bukan bagaimana caranya kita bisa lari atau menghindari goncangan yang ada, tetapi bagaimana kesiapan kita menghadapi setiap goncangan yang terjadi: apakah kita mampu bertahan ataukah kita hancur berkeping-keping? Ada tertulis: "...iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus." (Roma 10:17). Karena itu kita harus membangun fondasi atau mendasari hidup kita dengan firman Tuhan!
"Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah." Matius 4:4
Baca: Matius 7:24-27
"Kemudian turunlah hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu, tetapi rumah itu tidak rubuh sebab didirikan di atas batu." Matius 7:25
Sekarang pembangunan gedung-gedung bertingkat yang tinggi menjulang seperti hotel, mal dan apartemen semakin menjamur di kota-kota besar seperti di Jakarta, Surabaya dan kota-kota lainnya. Hampir-hampir tiada lagi lahan yang kosong karena semua dipergunakan untuk area bisnis.
Pernahkah kita mengamati proses pembangunan gedung bertingkat? Kekuatan bangunan sangat ditentukan oleh kualitas fondasinya, sama seperti kekuatan sebuah pohon sangat ditentukan oleh kekuatan akarnya. Mengapa? Fondasi menentukan tingginya sebuah bangunan. Jika fondasinya biasa-biasa saja tidak akan mampu menopang bangunan yang tinggi diatasnya. Semakin tinggi bangunan gedung semakin dalam dan semakin kokoh pula fondasi yang harus ditanam. Fondasi juga menentukan daya tahan sebuah bangunan. Semakin kuat fondasi sebuah bangunan semakin kokoh pula bangunan tersebut dan tidak mudah roboh ketika ada guncangan. Fondasi bangunan akan menentukan besar/kecilnya bangunan yang hendak di bangun di atasnya. Jika fondasi atau dasarnya kecil, maka bangunan yang bisa dibangun di atasnya juga kecil; sebaliknya jika kita hendak mendirikan bangunan yang besar di atasnya, maka fondasi atau dasar bangunan harus kita buat besar juga!
Kualitas hidup seseorang sangat ditentukan oleh fondasi iman yang ia bangun. Kita tahu bahwa hari-hari yang kita jalani dipenuhi dengan gejolak dan goncangan di segala aspek bidang kehidupan dan intinya bukan bagaimana caranya kita bisa lari atau menghindari goncangan yang ada, tetapi bagaimana kesiapan kita menghadapi setiap goncangan yang terjadi: apakah kita mampu bertahan ataukah kita hancur berkeping-keping? Ada tertulis: "...iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus." (Roma 10:17). Karena itu kita harus membangun fondasi atau mendasari hidup kita dengan firman Tuhan!
"Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah." Matius 4:4
Thursday, March 19, 2015
BERHALA MODERN: Hobi Dan Kesenangan
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 19 Maret 2015
Baca: Yakobus 4:1-10
"Hai kamu, orang-orang yang tidak setia! Tidakkah kamu tahu, bahwa persahabatan dengan dunia adalah permusuhan dengan Allah? Jadi barangsiapa hendak menjadi sahabat dunia ini, ia menjadikan dirinya musuh Allah." Yakobus 4:4
Setiap orang pasti punya kesenangan dan hobi tertentu, yang adakalanya dilakukan untuk sekedar melepas penat atau sebatas mengisi waktu luang, seperti memancing, nonton televisi, nonton bioskop, nonton konser musik, nge-gym, bermain futsal, tenis, badminton, golf, hiking, travelling, browsing internet atau bermain game dan masih banyak lagi. Semua itu adalah sah-sah saja dan wajar. Namun adalah berbahaya sekali bila waktu-waktu yang sediakan untuk hobi dan kesenangan itu melebihi porsi sampai-sampai menyita sebagian besar waktu dan perhatian kita, bahkan membuat kita kecanduan.
Banyak orang rela mengeluarkan uang banyak dan bersikap royal demi hobi dan memuaskan hasrat pribadi, namun bila hendak memberikan persembahan untuk pekerjaan Tuhan, mereka pikir-pikir dan selalu hitung-hitungan; ada yang rela menghabiskan waktu seharian di lapangan golf pada hari Minggu dan meninggalkan jam-jam ibadah karena takut kehilangan kliennya; ada anak-anak muda yang kecanduan browsing internet karena kecanduan situs-situs porno, ber-chatting ria dengan orang yang baru dikenalnya lewat jejaring media sosial, bermain game yang berbau kekerasan secara online sampai-sampai mereka lupa waktu untuk makan dan belajar; tidak sedikit pula yang lebih memilih tidak berdoa dan tidak bersaat teduh daripada harus melewatkan satu episode sebuah cerita sinetron.
Thomas Guthrie, penyanyi, pencipta dan gitaris kenamaan Amerika menulis: "Jika anda lebih mencintai suatu kesenangan lebih daripada doa-doa anda, sebuah buku lebih daripada Alkitab, seseorang lebih daripada Kristus, atau suatu kegemaran lebih daripada pengharapan akan surga, waspadalah." Salah satu upaya Iblis untuk memperhamba manusia adalah dengan mengalihkan fokus kita kepada hal-hal duniawi, menjadikan kita mengasihi dunia ini dengan menawarkan segala kenikmatan dan kesenangannya sehingga kita tidak lagi mengutamakan Tuhan.
"Jikalau orang mengasihi dunia, maka kasih akan Bapa tidak ada di dalam orang itu." 1 Yohanes 2:15b
Baca: Yakobus 4:1-10
"Hai kamu, orang-orang yang tidak setia! Tidakkah kamu tahu, bahwa persahabatan dengan dunia adalah permusuhan dengan Allah? Jadi barangsiapa hendak menjadi sahabat dunia ini, ia menjadikan dirinya musuh Allah." Yakobus 4:4
Setiap orang pasti punya kesenangan dan hobi tertentu, yang adakalanya dilakukan untuk sekedar melepas penat atau sebatas mengisi waktu luang, seperti memancing, nonton televisi, nonton bioskop, nonton konser musik, nge-gym, bermain futsal, tenis, badminton, golf, hiking, travelling, browsing internet atau bermain game dan masih banyak lagi. Semua itu adalah sah-sah saja dan wajar. Namun adalah berbahaya sekali bila waktu-waktu yang sediakan untuk hobi dan kesenangan itu melebihi porsi sampai-sampai menyita sebagian besar waktu dan perhatian kita, bahkan membuat kita kecanduan.
Banyak orang rela mengeluarkan uang banyak dan bersikap royal demi hobi dan memuaskan hasrat pribadi, namun bila hendak memberikan persembahan untuk pekerjaan Tuhan, mereka pikir-pikir dan selalu hitung-hitungan; ada yang rela menghabiskan waktu seharian di lapangan golf pada hari Minggu dan meninggalkan jam-jam ibadah karena takut kehilangan kliennya; ada anak-anak muda yang kecanduan browsing internet karena kecanduan situs-situs porno, ber-chatting ria dengan orang yang baru dikenalnya lewat jejaring media sosial, bermain game yang berbau kekerasan secara online sampai-sampai mereka lupa waktu untuk makan dan belajar; tidak sedikit pula yang lebih memilih tidak berdoa dan tidak bersaat teduh daripada harus melewatkan satu episode sebuah cerita sinetron.
Thomas Guthrie, penyanyi, pencipta dan gitaris kenamaan Amerika menulis: "Jika anda lebih mencintai suatu kesenangan lebih daripada doa-doa anda, sebuah buku lebih daripada Alkitab, seseorang lebih daripada Kristus, atau suatu kegemaran lebih daripada pengharapan akan surga, waspadalah." Salah satu upaya Iblis untuk memperhamba manusia adalah dengan mengalihkan fokus kita kepada hal-hal duniawi, menjadikan kita mengasihi dunia ini dengan menawarkan segala kenikmatan dan kesenangannya sehingga kita tidak lagi mengutamakan Tuhan.
"Jikalau orang mengasihi dunia, maka kasih akan Bapa tidak ada di dalam orang itu." 1 Yohanes 2:15b
Wednesday, March 18, 2015
HARTA YANG SEJATI: Nama Baik
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 18 Maret 2015
Baca: Matius 6:19-24
"Tetapi kumpulkanlah bagimu harta di sorga; di sorga ngengat dan karat tidak merusakkannya dan pencuri tidak membongkar serta mencurinya." Matius 6:20
Jika dibaca sepintas ayat firman Tuhan hari ini yang perikopnya tentang mengumpulkan harta, kita akan berpikir bahwa Tuhan tidak menghendaki umat-Nya mengumpulkan harta selama menjalani hidup di dunia ini. Tidak demikian! Tuhan Yesus sediri berkata, "Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan." (Yohanes 10:10b). Ada banyak tokoh di dalam Alkitab yang hidupnya diberkati Tuhan secara melimpah alias kaya raya, salah satu contohnya adalah Ishak. Alkitab menyatakan bahwa Ishak "...menjadi kaya, bahkan kian lama kian kaya, sehingga ia menjadi sangat kaya." (Kejadian 26:13).
Yang Tuhan inginkan adalah tidak semata-mata kita mengejar materi duniawi atau berlomba-lomba mengumpulkan harta yang sifatnya hanya sementara dan tidak abadi, "Sebab kita tidak membawa sesuatu apa ke dalam dunia dan kitapun tidak dapat membawa apa-apa ke luar." (1 Timotius 6:7). Ayub pun menyadarinya, "Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya." (Ayub 1:21). Jadi bukan apa yang kita miliki yang menjadi persoalan, namun apa yang menguasai hidup kita inilah yang Tuhan peringatkan!
Jadi Tuhan memerintahkan kita untuk mengumpulkan sebanyak-banyaknya 'harta' di sorga, di mana ngengat dan karat tidak bisa merusakkannya dan pencuri tidak bisa membongkar serta mencurinya. Inilah harta yang sesungguhnya dan bersifat abadi! Ada tertulis: "Nama baik lebih berharga dari pada kekayaan besar, dikasihi orang lebih baik dari pada perak dan emas." (Amsal 22:1). Sekaya-kayanya seseorang, bila hartanya berasal dari korupsi, merampok, menipu, memeras dan sebagainya, ia tidak memiliki 'harga' di mata sesamanya, terlebih-lebih di hadapan Tuhan. Walaupun mungkin seorang miskin di mata manusia, tapi jika ia memiliki kehidupan yang benar dan jujur di hadapan Tuhan dan juga manusia, maka sesungguhnya ia memiliki harta yang sejati. "Lebih baik seorang miskin yang bersih kelakuannya," (Amsal 19:1), daripada kaya tapi buruk kelakuannya.
Betapa pun kaya seseorang, yang dipuji Tuhan adalah kesalehan dan ketaatannya!
Baca: Matius 6:19-24
"Tetapi kumpulkanlah bagimu harta di sorga; di sorga ngengat dan karat tidak merusakkannya dan pencuri tidak membongkar serta mencurinya." Matius 6:20
Jika dibaca sepintas ayat firman Tuhan hari ini yang perikopnya tentang mengumpulkan harta, kita akan berpikir bahwa Tuhan tidak menghendaki umat-Nya mengumpulkan harta selama menjalani hidup di dunia ini. Tidak demikian! Tuhan Yesus sediri berkata, "Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan." (Yohanes 10:10b). Ada banyak tokoh di dalam Alkitab yang hidupnya diberkati Tuhan secara melimpah alias kaya raya, salah satu contohnya adalah Ishak. Alkitab menyatakan bahwa Ishak "...menjadi kaya, bahkan kian lama kian kaya, sehingga ia menjadi sangat kaya." (Kejadian 26:13).
Yang Tuhan inginkan adalah tidak semata-mata kita mengejar materi duniawi atau berlomba-lomba mengumpulkan harta yang sifatnya hanya sementara dan tidak abadi, "Sebab kita tidak membawa sesuatu apa ke dalam dunia dan kitapun tidak dapat membawa apa-apa ke luar." (1 Timotius 6:7). Ayub pun menyadarinya, "Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya." (Ayub 1:21). Jadi bukan apa yang kita miliki yang menjadi persoalan, namun apa yang menguasai hidup kita inilah yang Tuhan peringatkan!
Jadi Tuhan memerintahkan kita untuk mengumpulkan sebanyak-banyaknya 'harta' di sorga, di mana ngengat dan karat tidak bisa merusakkannya dan pencuri tidak bisa membongkar serta mencurinya. Inilah harta yang sesungguhnya dan bersifat abadi! Ada tertulis: "Nama baik lebih berharga dari pada kekayaan besar, dikasihi orang lebih baik dari pada perak dan emas." (Amsal 22:1). Sekaya-kayanya seseorang, bila hartanya berasal dari korupsi, merampok, menipu, memeras dan sebagainya, ia tidak memiliki 'harga' di mata sesamanya, terlebih-lebih di hadapan Tuhan. Walaupun mungkin seorang miskin di mata manusia, tapi jika ia memiliki kehidupan yang benar dan jujur di hadapan Tuhan dan juga manusia, maka sesungguhnya ia memiliki harta yang sejati. "Lebih baik seorang miskin yang bersih kelakuannya," (Amsal 19:1), daripada kaya tapi buruk kelakuannya.
Betapa pun kaya seseorang, yang dipuji Tuhan adalah kesalehan dan ketaatannya!
Tuesday, March 17, 2015
BERHALA MODERN: Bisnis dan Jabatan
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 17 Maret 2015
Baca: 1 Yohanes 2:15-17
"Dan dunia ini sedang lenyap dengan keinginannya, tetapi orang yang melakukan kehendak Allah tetap hidup selama-lamanya." 1 Yohanes 2:17
Bentuk lain berhala-berhala masa kini adalah bisnis dan jabatan. Berbisnis, bekerja, berkarir dan menduduki sebuah jabatan merupakan impian semua orang. Tetapi kalau seseorang tidak mampu menjaga sikap hatinya, maka bisnis atau pekerjaan dan juga jabatan bisa saja menjadi berhala bagi dirinya. Bagaimana mungkin bisnis dan jabatan bisa menjadi berhala? Kalau begitu kita tidak perlu bekerja dan berusaha. Bukankah kita perlu makan dan memenuhi kebutuhan hidup lainnya? Kalau kita tidak bekerja, bagaimana mungkin kita mendapatkan uang dan bisa bertahan hidup?
Memang benar sekali bahwa setiap orang perlu bekerja untuk mencari nafkah, tapi ada orang-orang tertentu yang bekerja sepanjang hari dan menempatkan pekerjaan atau karir sebagai hal yang jauh lebih penting dan paling utama dalam hidupnya. Hari-harinya disibukkan dengan urusan bisnis dan bisnis, sampai-sampai berkata: "Aku sangat sibuk, aku tidak punya waktu lagi untuk ikut-ikut persekutuan atau bergabung dalam pelayan di gereja. Maaf!" Ada pula yang enggan menutup tokonya pada hari Minggu karena ramai pembeli. Jam-jam ibadah dikesampingkan tanpa ada rasa bersalah sedikit pun. Kita lupa bahwa waktu adalah milik Tuhan dan sepenuhnya di bawah kendali-Nya, sementara kita dipanggil untuk menggunakan waktu dengan baik dan bijak. "Karena manusia tidak mengetahui waktunya. Seperti ikan yang tertangkap dalam jala yang mencelakakan, dan seperti burung yang tertangkap dalam jerat, begitulah anak-anak manusia terjerat pada waktu yang malang, kalau hal itu menimpa mereka secara tiba-tiba." (Pengkotbah 9:12).
Demi mendapatkan jabatan ada orang yang menghalalkan segala cara, dan karena iming-iming jabatan pula ada orang percaya yang memilih berkompromi dengan dunia, melepaskan iman dan menyangkal Tuhan Yesus. Pengorbanan Kristus di kayu salib dianggapnya sebagai hal yang murahan sehingga bisa ditukar-tukar. Rasul Paulus sudah memperingatkan, "...janganlah kamu melepaskan kepercayaanmu, karena besar upah yang menantinya." (Ibrani 10:35).
Prioritaskan Tuhan terlebih dahulu, maka Tuhan pasti akan memberkati usaha kita dan mengangkat hidup kita!
Baca: 1 Yohanes 2:15-17
"Dan dunia ini sedang lenyap dengan keinginannya, tetapi orang yang melakukan kehendak Allah tetap hidup selama-lamanya." 1 Yohanes 2:17
Bentuk lain berhala-berhala masa kini adalah bisnis dan jabatan. Berbisnis, bekerja, berkarir dan menduduki sebuah jabatan merupakan impian semua orang. Tetapi kalau seseorang tidak mampu menjaga sikap hatinya, maka bisnis atau pekerjaan dan juga jabatan bisa saja menjadi berhala bagi dirinya. Bagaimana mungkin bisnis dan jabatan bisa menjadi berhala? Kalau begitu kita tidak perlu bekerja dan berusaha. Bukankah kita perlu makan dan memenuhi kebutuhan hidup lainnya? Kalau kita tidak bekerja, bagaimana mungkin kita mendapatkan uang dan bisa bertahan hidup?
Memang benar sekali bahwa setiap orang perlu bekerja untuk mencari nafkah, tapi ada orang-orang tertentu yang bekerja sepanjang hari dan menempatkan pekerjaan atau karir sebagai hal yang jauh lebih penting dan paling utama dalam hidupnya. Hari-harinya disibukkan dengan urusan bisnis dan bisnis, sampai-sampai berkata: "Aku sangat sibuk, aku tidak punya waktu lagi untuk ikut-ikut persekutuan atau bergabung dalam pelayan di gereja. Maaf!" Ada pula yang enggan menutup tokonya pada hari Minggu karena ramai pembeli. Jam-jam ibadah dikesampingkan tanpa ada rasa bersalah sedikit pun. Kita lupa bahwa waktu adalah milik Tuhan dan sepenuhnya di bawah kendali-Nya, sementara kita dipanggil untuk menggunakan waktu dengan baik dan bijak. "Karena manusia tidak mengetahui waktunya. Seperti ikan yang tertangkap dalam jala yang mencelakakan, dan seperti burung yang tertangkap dalam jerat, begitulah anak-anak manusia terjerat pada waktu yang malang, kalau hal itu menimpa mereka secara tiba-tiba." (Pengkotbah 9:12).
Demi mendapatkan jabatan ada orang yang menghalalkan segala cara, dan karena iming-iming jabatan pula ada orang percaya yang memilih berkompromi dengan dunia, melepaskan iman dan menyangkal Tuhan Yesus. Pengorbanan Kristus di kayu salib dianggapnya sebagai hal yang murahan sehingga bisa ditukar-tukar. Rasul Paulus sudah memperingatkan, "...janganlah kamu melepaskan kepercayaanmu, karena besar upah yang menantinya." (Ibrani 10:35).
Prioritaskan Tuhan terlebih dahulu, maka Tuhan pasti akan memberkati usaha kita dan mengangkat hidup kita!
Monday, March 16, 2015
BERHALA MODERN: Cinta Uang
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 16 Maret 2015
Baca: 1 Timotius 6:7-10
"Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang." 1 Timotius 6:10a
Tak bisa dipungkiri bahwa semua orang pasti memerlukan uang. Dengan uang kita dapat membeli segala sesuatu yang menjadi kebutuhan kita selama hidup di dunia ini. Karena itu banyak orang beranggapan bahwa uang adalah segala-galanya. Pepatah Tiongkok kuno: "Uang bukan segalanya, tetapi tanpa uang manusia tidak dapat berbuat apa-apa."
Urusan uang benar-benar menjadi sesuatu yang sangat sensitif bagi semua orang. Di satu sisi kita semua menyadari pentingnya uang dalam kehidupan ini, tapi di sisi lain uang juga dapat menimbulkan masalah besar bagi yang memilikinya, karena dapat mempengaruhi prinsip dan gaya hidup semua orang. Berhati-hatilah! Uang bisa menjadi hamba yang baik, namun juga bisa menjadi tuan yang sangat jahat tergantung bagaimana menyikapinya. Ada orang-orang tertentu yang rela mengorbankan harga diri/menjual diri demi mendapatkan uang, ada yang menempuh jalan sesat dan melanggar hukum (korupsi, suap, manipulasi) demi meraup uang, bahkan ada yang nekat melakukan tindak kejahatan semata-mata demi mendapatkan uang. Ini berarti uang bukan lagi menjadi hamba yang kita atur dan kendalikan, melainkan sudah menjadi tuan dan berhala dalam hidup seseorang. Mereka mengira bahwa jika telah memiliki banyak uang dalam jumlah yang besar akan mengalami kepuasan. Faktanya? Berapa pun jumlah uang yang dimiliki seseorang tidak akan pernah memberikan kepuasan kepadanya. "Siapa mencintai uang tidak akan puas dengan uang," (Pengkotbah 5:9).
Marian Wright Edelman, aktivis perempuan dari Amerika mengatakan, "Jangan pernah bekerja hanya untuk mendapatkan uang atau kekuasaan. Mereka tak akan menyelamatkan jiwamu atau membantumu tidur malam." Jangan sekali-kali menempatkan uang sebagai dasar hidup, sebab ketika uang menjadi dasar hidup kita, kita akan menjadi orang yang sangat materialistis, segala sesuatu diukur dengan uang, dan yang kita pikirkan hanyalah uang, uang dan uang. Karena uang pulalah sifat dan karakter seseorang bisa berubah secara drastis, dari yang baik menjadi sangat jahat!
Uang harus tetap berada di dalam kendali kita, tetapi kita atur dan kita kelola dengan baik, bukan kita yang diatur dan dikendalikan oleh uang!
Baca: 1 Timotius 6:7-10
"Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang." 1 Timotius 6:10a
Tak bisa dipungkiri bahwa semua orang pasti memerlukan uang. Dengan uang kita dapat membeli segala sesuatu yang menjadi kebutuhan kita selama hidup di dunia ini. Karena itu banyak orang beranggapan bahwa uang adalah segala-galanya. Pepatah Tiongkok kuno: "Uang bukan segalanya, tetapi tanpa uang manusia tidak dapat berbuat apa-apa."
Urusan uang benar-benar menjadi sesuatu yang sangat sensitif bagi semua orang. Di satu sisi kita semua menyadari pentingnya uang dalam kehidupan ini, tapi di sisi lain uang juga dapat menimbulkan masalah besar bagi yang memilikinya, karena dapat mempengaruhi prinsip dan gaya hidup semua orang. Berhati-hatilah! Uang bisa menjadi hamba yang baik, namun juga bisa menjadi tuan yang sangat jahat tergantung bagaimana menyikapinya. Ada orang-orang tertentu yang rela mengorbankan harga diri/menjual diri demi mendapatkan uang, ada yang menempuh jalan sesat dan melanggar hukum (korupsi, suap, manipulasi) demi meraup uang, bahkan ada yang nekat melakukan tindak kejahatan semata-mata demi mendapatkan uang. Ini berarti uang bukan lagi menjadi hamba yang kita atur dan kendalikan, melainkan sudah menjadi tuan dan berhala dalam hidup seseorang. Mereka mengira bahwa jika telah memiliki banyak uang dalam jumlah yang besar akan mengalami kepuasan. Faktanya? Berapa pun jumlah uang yang dimiliki seseorang tidak akan pernah memberikan kepuasan kepadanya. "Siapa mencintai uang tidak akan puas dengan uang," (Pengkotbah 5:9).
Marian Wright Edelman, aktivis perempuan dari Amerika mengatakan, "Jangan pernah bekerja hanya untuk mendapatkan uang atau kekuasaan. Mereka tak akan menyelamatkan jiwamu atau membantumu tidur malam." Jangan sekali-kali menempatkan uang sebagai dasar hidup, sebab ketika uang menjadi dasar hidup kita, kita akan menjadi orang yang sangat materialistis, segala sesuatu diukur dengan uang, dan yang kita pikirkan hanyalah uang, uang dan uang. Karena uang pulalah sifat dan karakter seseorang bisa berubah secara drastis, dari yang baik menjadi sangat jahat!
Uang harus tetap berada di dalam kendali kita, tetapi kita atur dan kita kelola dengan baik, bukan kita yang diatur dan dikendalikan oleh uang!
Sunday, March 15, 2015
BERHALA MODERN: Harta Kekayaan (2)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 15 Maret 2015
Baca: Mazmur 52:1-11
"Lihatlah orang itu yang tidak menjadikan Allah tempat pengungsiannya, yang percaya akan kekayaannya yang melimpah," Mazmur 52:9
Kehausan terhadap kekayaan membuat orang rela mengorbankan segala hal, termasuk mengorbankan harga diri, mengorbankan keluarga dan sahabat, bahkan rela mengorbankan iman dan meninggalkan Tuhan. Sigmund Freud, seorang ahli kejiwaan ternama Austria, menulis: "Kita tidak bisa mengingkari kesan bahwa manusia umumnya menggunakan standar yang keliru, dimana mereka mencari kekuatan, kesuksesan dan kekayaan untuk mereka sendiri, dan memuji diri mereka di hadapan orang lain.
Karena yang dipikirkan kekayaan semata akhirnya orang terperangkap ke dalam pemikiran serba duniawi dan memiliki sifat materialistis. Sehari 1x24 jam yang dipikirkan hanyalah bagaimana mengumpulkan harta kekayaan sebanyak-banyaknya. Mereka beranggapan bahwa memiliki kekayaan berlimpah adalah satu-satunya cara mendapatkan kebahagiaan, penghormatan, pengakuan. Memang di mata dunia bertambahnya kekayaan seseorang akan makin mengdongkrak status sosial dan gengsinya, makin dihargai, dihormati dan diprioritaskan, sebab "...manusia melihat apa yang di depan mata," (1 Samuel 16:7), sementara orang miskin keberadaannya pasti kurang dianggap. "Kekayaan menambah banyak sahabat, tetapi orang miskin ditinggalkan sahabatnya." (Amsal 19:4). Ketika seseorang menyerahkan diri dikuasai sifat serakah, saat itulah ia telah menjadikan harta kekayaan sebagai berhala, lalu "...menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka." (1 Timotius 6:10b).
Andrew Carneige, mantan pebisnis kenamaan Skotlandia berpendapat, "Milioner yang suka tertawa jarang dijumpai. Pengalamanku adalah kekayaan mudah membuat senyum hilang." Tuhan tidak pernah melarang kita untuk memiliki kekayaan yang berlimpah, tapi yang patut diwaspadai adalah bahaya dari sikap serakah, sehingga kita menempatkan harta kekayaan sebagai fokus utama hidup kita, lebih daripada Tuhan. Padahal Alkitab menyatakan: "...siapa mencintai kekayaan tidak akan puas dengan penghasilannya. Inipun sia-sia." (Pengkotbah 5:9).
Keserakahan terhadap harta kekayaan itu sama dengan dosa penyembahan berhala (baca Kolose 3:5).
Baca: Mazmur 52:1-11
"Lihatlah orang itu yang tidak menjadikan Allah tempat pengungsiannya, yang percaya akan kekayaannya yang melimpah," Mazmur 52:9
Kehausan terhadap kekayaan membuat orang rela mengorbankan segala hal, termasuk mengorbankan harga diri, mengorbankan keluarga dan sahabat, bahkan rela mengorbankan iman dan meninggalkan Tuhan. Sigmund Freud, seorang ahli kejiwaan ternama Austria, menulis: "Kita tidak bisa mengingkari kesan bahwa manusia umumnya menggunakan standar yang keliru, dimana mereka mencari kekuatan, kesuksesan dan kekayaan untuk mereka sendiri, dan memuji diri mereka di hadapan orang lain.
Karena yang dipikirkan kekayaan semata akhirnya orang terperangkap ke dalam pemikiran serba duniawi dan memiliki sifat materialistis. Sehari 1x24 jam yang dipikirkan hanyalah bagaimana mengumpulkan harta kekayaan sebanyak-banyaknya. Mereka beranggapan bahwa memiliki kekayaan berlimpah adalah satu-satunya cara mendapatkan kebahagiaan, penghormatan, pengakuan. Memang di mata dunia bertambahnya kekayaan seseorang akan makin mengdongkrak status sosial dan gengsinya, makin dihargai, dihormati dan diprioritaskan, sebab "...manusia melihat apa yang di depan mata," (1 Samuel 16:7), sementara orang miskin keberadaannya pasti kurang dianggap. "Kekayaan menambah banyak sahabat, tetapi orang miskin ditinggalkan sahabatnya." (Amsal 19:4). Ketika seseorang menyerahkan diri dikuasai sifat serakah, saat itulah ia telah menjadikan harta kekayaan sebagai berhala, lalu "...menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka." (1 Timotius 6:10b).
Andrew Carneige, mantan pebisnis kenamaan Skotlandia berpendapat, "Milioner yang suka tertawa jarang dijumpai. Pengalamanku adalah kekayaan mudah membuat senyum hilang." Tuhan tidak pernah melarang kita untuk memiliki kekayaan yang berlimpah, tapi yang patut diwaspadai adalah bahaya dari sikap serakah, sehingga kita menempatkan harta kekayaan sebagai fokus utama hidup kita, lebih daripada Tuhan. Padahal Alkitab menyatakan: "...siapa mencintai kekayaan tidak akan puas dengan penghasilannya. Inipun sia-sia." (Pengkotbah 5:9).
Keserakahan terhadap harta kekayaan itu sama dengan dosa penyembahan berhala (baca Kolose 3:5).
Saturday, March 14, 2015
BERHALA MODERN: Harta Kekayaan (1)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 14 Maret 2015
Baca: Pengkotbah 5:7-19
"Ada kemalangan yang menyedihkan kulihat di bawah matahari: kekayaan yang disimpan oleh pemiliknya menjadi kecelakaannya sendiri." Pengkotbah 5:12
Mungkin ada di antara kita berkata, "Aku tidak menyembah patung atau benda-benda lain, jadi tidak ada yang perlu dikuatirkan." Orang mengira penyembahan berhala itu hanya berkaitan dengan patung-patung atau benda-benda keramat dan segala jenisnya. Itu tidaklah salah, yang seperti itu adalah berhala-berhala kuno, tetapi ada bentuk-bentuk berhala lain di masa sekarang ini yang seringkali tidak kita sadari.
Patut diketahui bahwa segala sesuatu yang kita prioritaskan, kita nomor satukan, kita idolakan, kita hargai, kita hormati sampai-sampai menyita sebagian besar waktu, tenaga, pikiran, dan aktivitas hidup kita, di mana hati dan pikiran kita lebih fokus, condong dan berpaut kepadanya melebihi kasih kita kepada Tuhan, sehingga hal ini menggeser posisi Tuhan ke urutan kesekian dalam hidup kita itu sudah termasuk dalam kategori berhala. Karena itu rasul Yohanes memperingatkan, "Anak-anakku, waspadalah terhadap segala berhala." (1 Yohanes 5:21). Kata segala berhala berarti menunjuk adanya banyak ragam, bentuk dan ekspresi dari berhala. Rasul Paulus juga menasihati kita untuk menjauhkan diri dari segala bentuk penyembahan berhala itu (baca 1 Korintus 10:14). Adapun ragam bentuk berhala modern di antaranya adalah harta kekayaan. Banyak orang tanpa sadar telah menjadikan kekayaan sebagai yang terutama dalam hidupnya, bahkan mereka menjadikan kekayaan sebagai sandaran dan harapan. Mereka berpikir bahwa harta kekayaan dapat menjamin kebahagiaan hidupnya sehingga perkara-perkara rohani mereka kesampingkan.
Charles Spurgeon, pengkhotbah abad 19 menulis, "Bukan berapa banyak yang kita miliki, yang dapat membuat kita bahagia." Karena lebih mencintai uang dan kekayaan, orang rela mengorbankan iman dan meninggalkan Tuhan seperti seorang anak muda yang kaya. Ketika diperintahkan Tuhan Yesus untuk menjual segala miliknya dan membagikannya kepada orang miskin, seketika itu juga "...pergilah ia dengan sedih, sebab banyak hartanya." (Matius 19:22). Orang muda ini lebih mencintai harta kekayaannya daripada Tuhan, jadi kekayaan sudah menjadi berhala bagi dirinya.
"Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada." Matius 6:21
Baca: Pengkotbah 5:7-19
"Ada kemalangan yang menyedihkan kulihat di bawah matahari: kekayaan yang disimpan oleh pemiliknya menjadi kecelakaannya sendiri." Pengkotbah 5:12
Mungkin ada di antara kita berkata, "Aku tidak menyembah patung atau benda-benda lain, jadi tidak ada yang perlu dikuatirkan." Orang mengira penyembahan berhala itu hanya berkaitan dengan patung-patung atau benda-benda keramat dan segala jenisnya. Itu tidaklah salah, yang seperti itu adalah berhala-berhala kuno, tetapi ada bentuk-bentuk berhala lain di masa sekarang ini yang seringkali tidak kita sadari.
Patut diketahui bahwa segala sesuatu yang kita prioritaskan, kita nomor satukan, kita idolakan, kita hargai, kita hormati sampai-sampai menyita sebagian besar waktu, tenaga, pikiran, dan aktivitas hidup kita, di mana hati dan pikiran kita lebih fokus, condong dan berpaut kepadanya melebihi kasih kita kepada Tuhan, sehingga hal ini menggeser posisi Tuhan ke urutan kesekian dalam hidup kita itu sudah termasuk dalam kategori berhala. Karena itu rasul Yohanes memperingatkan, "Anak-anakku, waspadalah terhadap segala berhala." (1 Yohanes 5:21). Kata segala berhala berarti menunjuk adanya banyak ragam, bentuk dan ekspresi dari berhala. Rasul Paulus juga menasihati kita untuk menjauhkan diri dari segala bentuk penyembahan berhala itu (baca 1 Korintus 10:14). Adapun ragam bentuk berhala modern di antaranya adalah harta kekayaan. Banyak orang tanpa sadar telah menjadikan kekayaan sebagai yang terutama dalam hidupnya, bahkan mereka menjadikan kekayaan sebagai sandaran dan harapan. Mereka berpikir bahwa harta kekayaan dapat menjamin kebahagiaan hidupnya sehingga perkara-perkara rohani mereka kesampingkan.
Charles Spurgeon, pengkhotbah abad 19 menulis, "Bukan berapa banyak yang kita miliki, yang dapat membuat kita bahagia." Karena lebih mencintai uang dan kekayaan, orang rela mengorbankan iman dan meninggalkan Tuhan seperti seorang anak muda yang kaya. Ketika diperintahkan Tuhan Yesus untuk menjual segala miliknya dan membagikannya kepada orang miskin, seketika itu juga "...pergilah ia dengan sedih, sebab banyak hartanya." (Matius 19:22). Orang muda ini lebih mencintai harta kekayaannya daripada Tuhan, jadi kekayaan sudah menjadi berhala bagi dirinya.
"Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada." Matius 6:21
Friday, March 13, 2015
BERHALA: Tak Bisa Berbuat Apa-Apa
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 13 Maret 2015
Baca: Mazmur 135:1-21
"Berhala bangsa-bangsa adalah perak dan emas, buatan tangan manusia," Mazmur 135:15
Penyembahan berhala adalah dosa yang berulang kali diperbuat oleh bangsa Israel, umat pilihan Tuhan! Contoh nyata adalah ketika Musa masih berada di gunung Sinai untuk bertemu Tuhan, umat Israel tidak sabar menantikan dia dan secara terang-terangan mereka memaksa Harun membuatkan patung untuk mereka sembah. "Mari, buatlah untuk kami allah, yang akan berjalan di depan kami sebab Musa ini, orang yang telah memimpin kami keluar dari tanah Mesir--kami tidak tahu apa yang telah terjadi dengan dia." (Keluaran 32:1). Atas permintaan mereka sendiri akhirnya dibuatlah patung anak lembu emas.
Tindakan umat Israel berpaling dari Tuhan dan menyembah kepada berhala benar-benar menimbulkan cemburu dan sakit hati Tuhan, padahal berhala itu hanyalah buatan tangan manusia dan tidak lebih. Meskipun "mempunyai mulut, tetapi tidak dapat berkata-kata, mempunyai mata, tetapi tidak dapat melihat, mempunyai telinga, tetapi tidak dapat mendengar, juga nafas tidak ada dalam mulut mereka." (Mazmur 135:16-17); berhala itu hanyalah sepotong kayu, sebongkah batu atau logam, yang tidak memiliki nafas hidup dan tidak memiliki kuasa apa-apa, karena itu Samuel menyebut berhala sebagai "...dewa kesia-siaan yang tidak berguna dan tidak dapat menolong karena semuanya itu adalah kesia-siaan belaka." (1 Samuel 12:21). Adalah sia-sia belaka seorang datang meminta pertolongan kepada berhala dan menaruh pengharapan kepadanya, sebab berhala-berhala itu sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa, apalagi menyelamatkan manusia.
Sungguh aneh tapi nyata bahwa di era yang serbamodern ini masih banyak orang yang percaya, meminta pertolongan dan menyembah kepada berhala, padahal di balik berhala-berhala tersebut malahan ada roh-roh jahat yang menguasainya. Jadi kekuatan di balik penyembahan berhala adalah berasal dari Iblis, yang adalah ilah zaman akhir. Dengan kuasa gelapnya Iblis mengadakan mujizat-mujizat palsu, memberi penglaris untuk toko dan usaha, serta memberi kekayaan yang diinginkan manusia secara instan. Itulah sebabnya banyak orang yang terpikat dan terpedaya olehnya!
Tanpa disadari, mereka yang terlibat dalam penyembahan berhala sudah berada dalam jerat Iblis dan bala tentaranya.
Baca: Mazmur 135:1-21
"Berhala bangsa-bangsa adalah perak dan emas, buatan tangan manusia," Mazmur 135:15
Penyembahan berhala adalah dosa yang berulang kali diperbuat oleh bangsa Israel, umat pilihan Tuhan! Contoh nyata adalah ketika Musa masih berada di gunung Sinai untuk bertemu Tuhan, umat Israel tidak sabar menantikan dia dan secara terang-terangan mereka memaksa Harun membuatkan patung untuk mereka sembah. "Mari, buatlah untuk kami allah, yang akan berjalan di depan kami sebab Musa ini, orang yang telah memimpin kami keluar dari tanah Mesir--kami tidak tahu apa yang telah terjadi dengan dia." (Keluaran 32:1). Atas permintaan mereka sendiri akhirnya dibuatlah patung anak lembu emas.
Tindakan umat Israel berpaling dari Tuhan dan menyembah kepada berhala benar-benar menimbulkan cemburu dan sakit hati Tuhan, padahal berhala itu hanyalah buatan tangan manusia dan tidak lebih. Meskipun "mempunyai mulut, tetapi tidak dapat berkata-kata, mempunyai mata, tetapi tidak dapat melihat, mempunyai telinga, tetapi tidak dapat mendengar, juga nafas tidak ada dalam mulut mereka." (Mazmur 135:16-17); berhala itu hanyalah sepotong kayu, sebongkah batu atau logam, yang tidak memiliki nafas hidup dan tidak memiliki kuasa apa-apa, karena itu Samuel menyebut berhala sebagai "...dewa kesia-siaan yang tidak berguna dan tidak dapat menolong karena semuanya itu adalah kesia-siaan belaka." (1 Samuel 12:21). Adalah sia-sia belaka seorang datang meminta pertolongan kepada berhala dan menaruh pengharapan kepadanya, sebab berhala-berhala itu sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa, apalagi menyelamatkan manusia.
Sungguh aneh tapi nyata bahwa di era yang serbamodern ini masih banyak orang yang percaya, meminta pertolongan dan menyembah kepada berhala, padahal di balik berhala-berhala tersebut malahan ada roh-roh jahat yang menguasainya. Jadi kekuatan di balik penyembahan berhala adalah berasal dari Iblis, yang adalah ilah zaman akhir. Dengan kuasa gelapnya Iblis mengadakan mujizat-mujizat palsu, memberi penglaris untuk toko dan usaha, serta memberi kekayaan yang diinginkan manusia secara instan. Itulah sebabnya banyak orang yang terpikat dan terpedaya olehnya!
Tanpa disadari, mereka yang terlibat dalam penyembahan berhala sudah berada dalam jerat Iblis dan bala tentaranya.
Thursday, March 12, 2015
JANGAN MENYEMBAH BERHALA!
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 12 Maret 2015
Baca: Imamat 26:1-13
"Janganlah kamu membuat berhala bagimu, dan patung atau tugu berhala janganlah kamu dirikan bagimu; juga batu berukir janganlah kamu tempatkan di negerimu untuk sujud menyembah kepadanya, sebab Akulah TUHAN, Allahmu." Imamat 26:1
Mendengar kata berhala, hampir semua orang pikirannya langsung tertuju kepada sesuatu yang berwujud patung, pohon besar, kuburan kuno, keris, ukiran, jimat, atau hal-hal yang berkaitan dengan dunia perdukunan, yang didewakan, disembah, dikultuskan, diagungkan dan dipuja-puja. Itu memang benar! Semuanya adalah bentuk-bentuk berhala yang secara kasat mata dapat terlihat, di mana banyak orang datang untuk menyembah. Dalam teks bahasa Yunani, berhala adalah idololatres, ini berkaitan erat dengan pengabdian atau pelayanan. Jadi berhala adalah sesuatu yang menggerakkan seseorang untuk melakukan pengabdian atau pelayanan terhadap suatu obyek tertentu, selain daripada Tuhan.
Alkitab menyatakan bahwa menyembah berhala adalah suatu perbuatan yang menentang kehendak Tuhan dan merupakan suatu kebencian dan kekejian di hadapan-Nya. Karena itulah perintah untuk tidak menyembah kepada allah lain atau berhala menjadi perintah yang paling utama dalam sepuluh hukum Tuhan. Tuhan berfirman, "Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku. Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apapun yang ada di langit di atas, atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi. Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, adalah Allah yang cemburu, yang membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya, kepada keturunan yang ketiga dan keempat dari orang-orang yang membenci Aku," (Keluaran 20:3-5).
Masalah penyembahan berhala bukanlah masalah yang sepele atau bisa kita remehkan. Jika kita melanggarnya adalah konsekuensi yang harus kita tanggung, sebab Tuhan yang adalah Sang Pencipta langit dan bumi dan segala isinya tidak menghendaki umat yang diciptakan-Nya menyembah kepada allah lain, selain Dia, Tuhan yang hidup dan berkuasa, yang bertahta di dalam Kerajaan Sorga.
"Mereka membangkitkan cemburu-Ku dengan yang bukan Allah, mereka menimbulkan sakit hati-Ku dengan berhala mereka." Ulangan 32:21
Baca: Imamat 26:1-13
"Janganlah kamu membuat berhala bagimu, dan patung atau tugu berhala janganlah kamu dirikan bagimu; juga batu berukir janganlah kamu tempatkan di negerimu untuk sujud menyembah kepadanya, sebab Akulah TUHAN, Allahmu." Imamat 26:1
Mendengar kata berhala, hampir semua orang pikirannya langsung tertuju kepada sesuatu yang berwujud patung, pohon besar, kuburan kuno, keris, ukiran, jimat, atau hal-hal yang berkaitan dengan dunia perdukunan, yang didewakan, disembah, dikultuskan, diagungkan dan dipuja-puja. Itu memang benar! Semuanya adalah bentuk-bentuk berhala yang secara kasat mata dapat terlihat, di mana banyak orang datang untuk menyembah. Dalam teks bahasa Yunani, berhala adalah idololatres, ini berkaitan erat dengan pengabdian atau pelayanan. Jadi berhala adalah sesuatu yang menggerakkan seseorang untuk melakukan pengabdian atau pelayanan terhadap suatu obyek tertentu, selain daripada Tuhan.
Alkitab menyatakan bahwa menyembah berhala adalah suatu perbuatan yang menentang kehendak Tuhan dan merupakan suatu kebencian dan kekejian di hadapan-Nya. Karena itulah perintah untuk tidak menyembah kepada allah lain atau berhala menjadi perintah yang paling utama dalam sepuluh hukum Tuhan. Tuhan berfirman, "Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku. Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apapun yang ada di langit di atas, atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi. Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, adalah Allah yang cemburu, yang membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya, kepada keturunan yang ketiga dan keempat dari orang-orang yang membenci Aku," (Keluaran 20:3-5).
Masalah penyembahan berhala bukanlah masalah yang sepele atau bisa kita remehkan. Jika kita melanggarnya adalah konsekuensi yang harus kita tanggung, sebab Tuhan yang adalah Sang Pencipta langit dan bumi dan segala isinya tidak menghendaki umat yang diciptakan-Nya menyembah kepada allah lain, selain Dia, Tuhan yang hidup dan berkuasa, yang bertahta di dalam Kerajaan Sorga.
"Mereka membangkitkan cemburu-Ku dengan yang bukan Allah, mereka menimbulkan sakit hati-Ku dengan berhala mereka." Ulangan 32:21
Wednesday, March 11, 2015
MEMASYHURKAN NAMA TUHAN (2)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 11 Maret 2015
Baca: 1 Korintus 1:18-31
"Barangsiapa yang bermegah, hendaklah ia bermegah di dalam Tuhan." 1 Korintus 1:31
Adakah hal yang pantas untuk kita jadikan alasan untuk memegahkan diri sendiri dan menjadi sombong? Seringkali kita membusungkan dada karena karunia pelayanan yang kita miliki; kita begitu bangga dengan kemampuan dan kepintaran kita; kta merasa diri penting, patut dihormati dan dihargai karena harta kekayaan dan jabatan kita yang lebih tinggi dari orang lain. Kita lupa bahwa segala sesuatu yang kita miliki adalah pemberian Tuhan, bahkan keselamatan yang telah kita terima adalah semata-mata anugerah-Nya, bukan karena jasa-jasa kita. Seringkali orang beranggapan bahwa keselamatan dapat diperoleh ketika seseorang banyak memberikan persembahan untuk gereja dan melakukan banyak amal.
Alkitab menyatakan, "Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri." (Efesus 2:8-9). Nabi Yeremia memperingatkan, "Beginilah firman TUHAN: 'Janganlah orang bijaksana bermegah karena kebijaksanaannya, janganlah orang kuat bermegah karena kekuatannya, janganlah orang kaya bermegah karena kekayaannya, tetapi siapa yang mau bermegah, baiklah bermegah karena yang berikut: bahwa ia memahami dan mengenal Aku, bahwa Akulah TUHAN yang menunjukkan kasih setia, keadilan dan kebenaran di bumi; sungguh, semuanya itu Kusukai, demikianlah firman TUHAN.'" (Yeremia 9:23-24). Intinya, Tuhan memanggil dan memilih kita bukan karena kita baik, tapi semua adalah karena anugerah-Nya, kasih setia-Nya, kebaikan-Nya dan rencana-Nya. Jika sampai hari ini kita dilayakkan dan bisa melayani Tuhan bukan karena kita lebih hebat dan lebih pintar, tapi karena Tuhan punya tujuan yaitu supaya kita memasyhurkan namaNya.
Menyadari hidup kita untuk mengerjakan panggilan Tuhan, kita tidak akan sembrono lagi menggunakan waktu dan kesempatan. Kita akan terus berjuang dan mempertahankan keselamatan yang kita terima dengan melayani Tuhan sesuai dengan karunia masing-masing dan bertekad menjadi teladan melalui sikap dan perbuatan kita.
"Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar: Karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu!" 1 Korintus 6:20
Baca: 1 Korintus 1:18-31
"Barangsiapa yang bermegah, hendaklah ia bermegah di dalam Tuhan." 1 Korintus 1:31
Adakah hal yang pantas untuk kita jadikan alasan untuk memegahkan diri sendiri dan menjadi sombong? Seringkali kita membusungkan dada karena karunia pelayanan yang kita miliki; kita begitu bangga dengan kemampuan dan kepintaran kita; kta merasa diri penting, patut dihormati dan dihargai karena harta kekayaan dan jabatan kita yang lebih tinggi dari orang lain. Kita lupa bahwa segala sesuatu yang kita miliki adalah pemberian Tuhan, bahkan keselamatan yang telah kita terima adalah semata-mata anugerah-Nya, bukan karena jasa-jasa kita. Seringkali orang beranggapan bahwa keselamatan dapat diperoleh ketika seseorang banyak memberikan persembahan untuk gereja dan melakukan banyak amal.
Alkitab menyatakan, "Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri." (Efesus 2:8-9). Nabi Yeremia memperingatkan, "Beginilah firman TUHAN: 'Janganlah orang bijaksana bermegah karena kebijaksanaannya, janganlah orang kuat bermegah karena kekuatannya, janganlah orang kaya bermegah karena kekayaannya, tetapi siapa yang mau bermegah, baiklah bermegah karena yang berikut: bahwa ia memahami dan mengenal Aku, bahwa Akulah TUHAN yang menunjukkan kasih setia, keadilan dan kebenaran di bumi; sungguh, semuanya itu Kusukai, demikianlah firman TUHAN.'" (Yeremia 9:23-24). Intinya, Tuhan memanggil dan memilih kita bukan karena kita baik, tapi semua adalah karena anugerah-Nya, kasih setia-Nya, kebaikan-Nya dan rencana-Nya. Jika sampai hari ini kita dilayakkan dan bisa melayani Tuhan bukan karena kita lebih hebat dan lebih pintar, tapi karena Tuhan punya tujuan yaitu supaya kita memasyhurkan namaNya.
Menyadari hidup kita untuk mengerjakan panggilan Tuhan, kita tidak akan sembrono lagi menggunakan waktu dan kesempatan. Kita akan terus berjuang dan mempertahankan keselamatan yang kita terima dengan melayani Tuhan sesuai dengan karunia masing-masing dan bertekad menjadi teladan melalui sikap dan perbuatan kita.
"Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar: Karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu!" 1 Korintus 6:20
Tuesday, March 10, 2015
MEMASYHURKAN NAMA TUHAN (1)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 10 Maret 2015
Baca: 1 Korintus 4:6-21
"...supaya jangan ada di antara kamu yang menyombongkan diri dengan jalan mengutamakan yang satu dari pada yang lain." 1 Korintus 4:6
Secara umum, panggilan Tuhan adalah beban yang Tuhan taruh di dalam diri orang percaya untuk melayani dan berkarya bagi Dia. Tuhan berkata, "Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah..." (Yohanes 15:16). Artinya Tuhanlah yang memilih kita, bukan kita yang memilih Dia, bahkan Ia menyelamatkan dan mengangkat kita untuk menjadi anak-anak-Nya dan umat pilihan-Nya. Apa tujuan Tuhan memilih dan memanggil kita? Supaya kita memasyhurkan nama-Nya melalui perbuatan kita dengan menjalankan peran kita sebagai saksi-saksi-Nya di tengah-tengah dunia ini.
Panggilan untuk memasyhurkan nama Tuhan inilah yang telah dilupkan dan diabaikan oleh jemaat di Korintus! Rasul Paulus pun mempertegas, mengingatkan dan meluruskan kembali motivasi pelayanan mereka. Apa itu motivasi? Motivasi adalah sebuah kekuatan yang melatarbelakangi setiap perencanaan, keputusan, pilihan dan tindakan seseorang. Kekuatan inilah yang memberi semangat dan gairah untuk kita mengerjakan sesuatu, baik itu yang sifatnya positif maupun yang negatif sekalipun. "...sebab TUHAN menyelidiki segala hati dan mengerti segala niat dan cita-cita." (1 Tawarikh 28:9). Tuhan sangat memperhatikan motivasi seseorang dalam melakukan segala sesuatu, baik dalam pekerjaan apa pun, terlebih-lebih dalam melayani Tuhan. Penting sekali menjaga motivasi kita tetap selaras dengan kehendak dan panggilan Tuhan, sebab itu akan mempengaruhi pikiran, sikap, tindakan, serta menentukan hasil yang kita kerjakan.
Rasul Paulus mendapati ada banyak jemaat Korintus yang tidak lagi menempatkan Kristus sebagai pusat pujian, tetapi mereka cenderung memegahkan diri sendiri. Kesombongan telah menjadi penyakit yang sangat kronis sampai-sampai Paulus harus memperingatkan, "Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah." (1 Korintus 10:31).
Motivasi apa yang mendasari kita dalam melakukan segala sesuatu? Untuk kebanggaan diri sendiri atau untuk memasyhurkan nama Tuhan?
Baca: 1 Korintus 4:6-21
"...supaya jangan ada di antara kamu yang menyombongkan diri dengan jalan mengutamakan yang satu dari pada yang lain." 1 Korintus 4:6
Secara umum, panggilan Tuhan adalah beban yang Tuhan taruh di dalam diri orang percaya untuk melayani dan berkarya bagi Dia. Tuhan berkata, "Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah..." (Yohanes 15:16). Artinya Tuhanlah yang memilih kita, bukan kita yang memilih Dia, bahkan Ia menyelamatkan dan mengangkat kita untuk menjadi anak-anak-Nya dan umat pilihan-Nya. Apa tujuan Tuhan memilih dan memanggil kita? Supaya kita memasyhurkan nama-Nya melalui perbuatan kita dengan menjalankan peran kita sebagai saksi-saksi-Nya di tengah-tengah dunia ini.
Panggilan untuk memasyhurkan nama Tuhan inilah yang telah dilupkan dan diabaikan oleh jemaat di Korintus! Rasul Paulus pun mempertegas, mengingatkan dan meluruskan kembali motivasi pelayanan mereka. Apa itu motivasi? Motivasi adalah sebuah kekuatan yang melatarbelakangi setiap perencanaan, keputusan, pilihan dan tindakan seseorang. Kekuatan inilah yang memberi semangat dan gairah untuk kita mengerjakan sesuatu, baik itu yang sifatnya positif maupun yang negatif sekalipun. "...sebab TUHAN menyelidiki segala hati dan mengerti segala niat dan cita-cita." (1 Tawarikh 28:9). Tuhan sangat memperhatikan motivasi seseorang dalam melakukan segala sesuatu, baik dalam pekerjaan apa pun, terlebih-lebih dalam melayani Tuhan. Penting sekali menjaga motivasi kita tetap selaras dengan kehendak dan panggilan Tuhan, sebab itu akan mempengaruhi pikiran, sikap, tindakan, serta menentukan hasil yang kita kerjakan.
Rasul Paulus mendapati ada banyak jemaat Korintus yang tidak lagi menempatkan Kristus sebagai pusat pujian, tetapi mereka cenderung memegahkan diri sendiri. Kesombongan telah menjadi penyakit yang sangat kronis sampai-sampai Paulus harus memperingatkan, "Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah." (1 Korintus 10:31).
Motivasi apa yang mendasari kita dalam melakukan segala sesuatu? Untuk kebanggaan diri sendiri atau untuk memasyhurkan nama Tuhan?
Monday, March 9, 2015
PERSEKUTUAN DENGAN SESAMA (3)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 9 Maret 2015
Baca: Galatia 6:1-10
"Karena itu, selama masih ada kesempatan bagi kita, marilah kita berbuat baik kepada semua orang, tetapi terutama kepada kawan-kawan kita seiman." Galatia 6:10
Hidup dalam persekutuan berarti mau menerima orang lain apa adanya dengan segala kelemahan dan kekurangannya, serta mau melayani satu sama lain seperti teladan Tuhan Yesus yang rela membasuh kaki murid-murid-Nya, "sebab Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu." (Yohanes 13:15). Hidup dalam persekutuan berarti pula mau bertolong-tolongan dan saling menanggung beban, demikianlah nasihat Paulus, "Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus." (Galatia 6:2).
Mari belajar dari orang Samaria yang murah hati. Ia rela berkorban untuk orang lain tanpa pamrih meskipun orang yang ditolongnya adalah seteru bangsanya. Ada tertulis, "Barangsiapa mempunyai harta duniawi dan melihat saudaranya menderita kekurangan tetapi menutup pintu hatinya terhadap saudaranya itu, bagaimanakah kasih Allah dapat tetap di dalam dirinya?" (1 Yohanes 3:17). Yang dimaksud mengasihi bukan sekedar membalas kebaikan yang telah kita terima dari orang lain, "Sebab jikalau kamu berbuat baik kepada orang yang berbuat baik kepada kamu, apakah jasamu? Orang-orang berdosapun berbuat demikian." (Lukas 6:33); tetapi Tuhan menghendaki kita menyatakan kasih itu secara nyata kepada semua orang tanpa terkecuali, termasuk musuh sekalipun. Kasih Tuhan akan selalu mengalir di dalam kehidupan kita apabila kita juga terus mengalirkan kasih yang telah kita terima itu kepada orang lain. Sebagai orang percaya kita harus dapat menjadi sumber kasih Tuhan bagi orang-orang yang ada di sekitar kita, sehingga mereka akan menemukan dan merasakan aliran kasih Tuhan melalui kehidupan kita di mana pun dan kapan pun waktunya.
Sesungguhnya kasih adalah sarana penginjilan dan alat kesaksian yang paling efektif, karena ada banyak orang yang tidak bisa dijangkau dengan hanya diberi khotbah, tapi hati orang akan mudah tersentuh ketika kita melakukan perbuatan kasih.
Memiliki persekutuan yang erat dengan saudara-saudara seiman selaku sesama anggota keluarga Kerajaan Sorga adalah proses pembelajaran dan latihan bagi kita untuk mempraktekkan kasih, sebelum kita melangkah ke luar.
Baca: Galatia 6:1-10
"Karena itu, selama masih ada kesempatan bagi kita, marilah kita berbuat baik kepada semua orang, tetapi terutama kepada kawan-kawan kita seiman." Galatia 6:10
Hidup dalam persekutuan berarti mau menerima orang lain apa adanya dengan segala kelemahan dan kekurangannya, serta mau melayani satu sama lain seperti teladan Tuhan Yesus yang rela membasuh kaki murid-murid-Nya, "sebab Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu." (Yohanes 13:15). Hidup dalam persekutuan berarti pula mau bertolong-tolongan dan saling menanggung beban, demikianlah nasihat Paulus, "Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus." (Galatia 6:2).
Mari belajar dari orang Samaria yang murah hati. Ia rela berkorban untuk orang lain tanpa pamrih meskipun orang yang ditolongnya adalah seteru bangsanya. Ada tertulis, "Barangsiapa mempunyai harta duniawi dan melihat saudaranya menderita kekurangan tetapi menutup pintu hatinya terhadap saudaranya itu, bagaimanakah kasih Allah dapat tetap di dalam dirinya?" (1 Yohanes 3:17). Yang dimaksud mengasihi bukan sekedar membalas kebaikan yang telah kita terima dari orang lain, "Sebab jikalau kamu berbuat baik kepada orang yang berbuat baik kepada kamu, apakah jasamu? Orang-orang berdosapun berbuat demikian." (Lukas 6:33); tetapi Tuhan menghendaki kita menyatakan kasih itu secara nyata kepada semua orang tanpa terkecuali, termasuk musuh sekalipun. Kasih Tuhan akan selalu mengalir di dalam kehidupan kita apabila kita juga terus mengalirkan kasih yang telah kita terima itu kepada orang lain. Sebagai orang percaya kita harus dapat menjadi sumber kasih Tuhan bagi orang-orang yang ada di sekitar kita, sehingga mereka akan menemukan dan merasakan aliran kasih Tuhan melalui kehidupan kita di mana pun dan kapan pun waktunya.
Sesungguhnya kasih adalah sarana penginjilan dan alat kesaksian yang paling efektif, karena ada banyak orang yang tidak bisa dijangkau dengan hanya diberi khotbah, tapi hati orang akan mudah tersentuh ketika kita melakukan perbuatan kasih.
Memiliki persekutuan yang erat dengan saudara-saudara seiman selaku sesama anggota keluarga Kerajaan Sorga adalah proses pembelajaran dan latihan bagi kita untuk mempraktekkan kasih, sebelum kita melangkah ke luar.
Sunday, March 8, 2015
PERSEKUTUAN DENGAN SESAMA (2)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 8 Maret 2015
Baca: 1 Petrus 3:8-12
"Dan akhirnya, hendaklah kamu semua seia sekata, seperasaan, mengasihi saudara-saudara, penyayang dan rendah hati," 1 Petrus 3:8
Selain sandang, pangan dan papan yang merupakan kebutuhan pokok bagi semua manusia ada kebutuhan lain yang tak kalah penting yaitu hubungan (relationship). Tuhan tidak pernah menciptakan manusia dengan tujuan supaya ia hidup sendirian dan terasing tanpa bersentuhan dengan orang lain. Karena itu manusia membutuhkan kehadiran orang lain untuk saling berinteraksi dan bersekutu.
Kata persekutuan memiliki arti dipersatukan menjadi satu, dalam kebersamaan, sekutu atau kawan sekerja. Kita bisa disebut sebagai bagian dari suatu persekutuan dan menjadi kawan sekerja apabila kita memiliki kebersamaan dan mengembangkan sikap seperti yang disampaikan oleh rasul Petrus: seia sekata, seperasaan, mengasihi, penyayang dan rendah hati (ayat nas). Intinya, kasih adalah landasan dasar terbentuknya sebuah persekutuan. Sebaliknya jika tiap-tiap orang hanya memikirkan kepentingannya sendiri, egois dan tidak punya 'hati' terhadap orang lain akan merusak dan menghancurkan sebuah persekutuan. Jadi dalam suatu persekutuan kita tidak lagi menonjolkan 'aku', melainkan 'kita' yang harus dikedepankan. Rasul Paulus memperingatkan, "Janganlah kamu berhutang apa-apa kepada siapapun juga, tetapi hendaklah kamu saling mengasihi. Sebab barangsiapa mengasihi sesamanya manusia, ia sudah memenuhi hukum Taurat." (Roma 13:8), sebab kasih Tuhan dalam hidup ini sungguh tak terukur "...betapa lebarnya dan panjangnya dan tingginya dan dalamnya kasih Kristus," (Efesus 3:18).
Setiap kasih yang Tuhan nyatakan selalu ada pesan yang hendak Tuhan sampaikan yaitu supaya kita mengikuti teladan-Nya dengan menyatakan kasih kepada sesama, sebagai bukti bahwa kita mengasihi Tuhan melalui ketaatan kita melakukan perintah-Nya dalam hal mengasihi. Adalah sangat berbahaya seseorang mengatakan diri sangat 'rohani' dan memiliki persekutuan yang indah dengan Tuhan, jika ia sendiri memiliki banyak masalah dalam hal persekutuan dengan sesamanya.
"Jikalau seorang berkata: 'Aku mengasihi Allah,' dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta, karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya." 1 Yohanes 4:20
Baca: 1 Petrus 3:8-12
"Dan akhirnya, hendaklah kamu semua seia sekata, seperasaan, mengasihi saudara-saudara, penyayang dan rendah hati," 1 Petrus 3:8
Selain sandang, pangan dan papan yang merupakan kebutuhan pokok bagi semua manusia ada kebutuhan lain yang tak kalah penting yaitu hubungan (relationship). Tuhan tidak pernah menciptakan manusia dengan tujuan supaya ia hidup sendirian dan terasing tanpa bersentuhan dengan orang lain. Karena itu manusia membutuhkan kehadiran orang lain untuk saling berinteraksi dan bersekutu.
Kata persekutuan memiliki arti dipersatukan menjadi satu, dalam kebersamaan, sekutu atau kawan sekerja. Kita bisa disebut sebagai bagian dari suatu persekutuan dan menjadi kawan sekerja apabila kita memiliki kebersamaan dan mengembangkan sikap seperti yang disampaikan oleh rasul Petrus: seia sekata, seperasaan, mengasihi, penyayang dan rendah hati (ayat nas). Intinya, kasih adalah landasan dasar terbentuknya sebuah persekutuan. Sebaliknya jika tiap-tiap orang hanya memikirkan kepentingannya sendiri, egois dan tidak punya 'hati' terhadap orang lain akan merusak dan menghancurkan sebuah persekutuan. Jadi dalam suatu persekutuan kita tidak lagi menonjolkan 'aku', melainkan 'kita' yang harus dikedepankan. Rasul Paulus memperingatkan, "Janganlah kamu berhutang apa-apa kepada siapapun juga, tetapi hendaklah kamu saling mengasihi. Sebab barangsiapa mengasihi sesamanya manusia, ia sudah memenuhi hukum Taurat." (Roma 13:8), sebab kasih Tuhan dalam hidup ini sungguh tak terukur "...betapa lebarnya dan panjangnya dan tingginya dan dalamnya kasih Kristus," (Efesus 3:18).
Setiap kasih yang Tuhan nyatakan selalu ada pesan yang hendak Tuhan sampaikan yaitu supaya kita mengikuti teladan-Nya dengan menyatakan kasih kepada sesama, sebagai bukti bahwa kita mengasihi Tuhan melalui ketaatan kita melakukan perintah-Nya dalam hal mengasihi. Adalah sangat berbahaya seseorang mengatakan diri sangat 'rohani' dan memiliki persekutuan yang indah dengan Tuhan, jika ia sendiri memiliki banyak masalah dalam hal persekutuan dengan sesamanya.
"Jikalau seorang berkata: 'Aku mengasihi Allah,' dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta, karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya." 1 Yohanes 4:20
Saturday, March 7, 2015
PERSEKUTUAN DENGAN SESAMA (1)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 7 Maret 2015
Baca: 1 Yohanes 1:5-7
"Tetapi jika kita hidup di dalam terang sama seperti Dia ada di dalam terang, maka kita beroleh persekutuan seorang dengan yang lain, dan darah Yesus, Anak-Nya itu, menyucikan kita dari pada segala dosa." 1 Yohanes 1:7
Selain kita dipanggil untuk memiliki persekutuan yang karib dengan Tuhan, kita juga harus hidup dalam persekutuan dengan sesama. Dengan sifatnya sebagai makhluk sosial, secara natural manusia akan membentuk suatu komunitas karena setiap orang memiliki kebutuhan untuk saling berinteraksi, saling berbagi rasa, saling mencurahkan kasih sayang dan sebagainya, di mana aspek ini tidak bisa dipenuhi bila kita hidup seorang diri, melainkan melalui hubungan dan persekutuan dengan orang lain. Jadi beberapa alasan utama manusia membentuk komunitas adalah untuk keamanan, identitas dan juga kebutuhan emosional.
Adapun tanda bahwa kita memiliki persekutuan dengan sesama adalah ketika kita hidup di dalam kasih, atau mempraktekkan kasih sebagaimana yang Tuhan Yesus perintahkan, "Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi." (Yohanes 13:34-35). Rasul Paulus juga menasihatkan, "Sebab itu jadilah penurut-penurut Allah, seperti anak-anak yang kekasih dan hiduplah di dalam kasih, sebagaimana Kristus Yesus juga telah mengasihi kamu dan telah menyerahkan diri-Nya untuk kita sebagai persembahan dan korban yang harum bagi Allah." (Efesus 5:1-2). Kehidupan kekristenan meniru ajaran dan perbuatan Allah. Jika kita mengaku anak-anak Allah maka kita harus meniru dan memiliki sifat menyerupai Allah Bapa kita agar selaras dengan keberadaan kita sebagai anak-anak-Nya. Tertulis: "Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih." (1 Yohanes 4:8).
Jadi, mengasihi harus menjadi gaya hidup kita sehari-hari. Mengasihi berarti membuang semua sifat lama kita yang cenderung mementingkan diri sendiri dan mengabaikan orang lain, dan berubah menjadi pribadi yang memiliki kepedulian.
Hakekat kasih bukanlah menerima, tetapi memberi, yaitu kasih yang diwujudkan dalam sebuah tindakan nyata!
Baca: 1 Yohanes 1:5-7
"Tetapi jika kita hidup di dalam terang sama seperti Dia ada di dalam terang, maka kita beroleh persekutuan seorang dengan yang lain, dan darah Yesus, Anak-Nya itu, menyucikan kita dari pada segala dosa." 1 Yohanes 1:7
Selain kita dipanggil untuk memiliki persekutuan yang karib dengan Tuhan, kita juga harus hidup dalam persekutuan dengan sesama. Dengan sifatnya sebagai makhluk sosial, secara natural manusia akan membentuk suatu komunitas karena setiap orang memiliki kebutuhan untuk saling berinteraksi, saling berbagi rasa, saling mencurahkan kasih sayang dan sebagainya, di mana aspek ini tidak bisa dipenuhi bila kita hidup seorang diri, melainkan melalui hubungan dan persekutuan dengan orang lain. Jadi beberapa alasan utama manusia membentuk komunitas adalah untuk keamanan, identitas dan juga kebutuhan emosional.
Adapun tanda bahwa kita memiliki persekutuan dengan sesama adalah ketika kita hidup di dalam kasih, atau mempraktekkan kasih sebagaimana yang Tuhan Yesus perintahkan, "Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi." (Yohanes 13:34-35). Rasul Paulus juga menasihatkan, "Sebab itu jadilah penurut-penurut Allah, seperti anak-anak yang kekasih dan hiduplah di dalam kasih, sebagaimana Kristus Yesus juga telah mengasihi kamu dan telah menyerahkan diri-Nya untuk kita sebagai persembahan dan korban yang harum bagi Allah." (Efesus 5:1-2). Kehidupan kekristenan meniru ajaran dan perbuatan Allah. Jika kita mengaku anak-anak Allah maka kita harus meniru dan memiliki sifat menyerupai Allah Bapa kita agar selaras dengan keberadaan kita sebagai anak-anak-Nya. Tertulis: "Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih." (1 Yohanes 4:8).
Jadi, mengasihi harus menjadi gaya hidup kita sehari-hari. Mengasihi berarti membuang semua sifat lama kita yang cenderung mementingkan diri sendiri dan mengabaikan orang lain, dan berubah menjadi pribadi yang memiliki kepedulian.
Hakekat kasih bukanlah menerima, tetapi memberi, yaitu kasih yang diwujudkan dalam sebuah tindakan nyata!
Friday, March 6, 2015
PANGGILAN TUHAN: Persekutuan Dengan Tuhan
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 6 Maret 2015
Baca: 1 Korintus 1:4-9
"Allah, yang memanggil kamu kepada persekutuan dengan Anak-Nya Yesus Kristus, Tuhan kita, adalah setia." 1 Korintus 1:9
Selain dipanggil Tuhan untuk hidup dalam kekudusan, kita juga dipanggil untuk memiliki persekutuan dengan Tuhan, sebab kekristenan sesungguhnya bukanlah suatu agama, melainkan menunjuk kepada suatu hubungan karib antara Allah dan umat pilihan-Nya.
Hubungan karib yang sempat terputus dan terhalang oleh dosa dan pelanggaran manusia kini telah pulih kembali melalui karya pengorbanan Kristus di Golgota, dan ditandai dengan "...tabir Bait Suci terbelah dua dari atas sampai ke bawah..." (Matius 27:51); artinya sudah tidak ada lagi yang menghalangi kita untuk bisa memandang dan masuk serta melihat kemuliaan Tuhan dan bersekutu denganNya. "...Dialah damai sejahtera kita, yang telah mempersatukan kedua pihak dan yang telah merubuhkan tembok pemisah, yaitu perseteruan," (Efesus 2:14); Kita yang dahulu terpisah dari Allah, "...sekarang di dalam Kristus Yesus kamu, yang dahulu 'jauh', sudah menjadi 'dekat' oleh darah Kristus." (Efesus 2:13).
Adalah suatu keharusan setiap orang percaya hidup dalam persekutuan yang karib dengan Tuhan karena merupakan syarat mutlak agar kita mengalami pertumbuhan rohani. Daud berkata, "Hatiku mengikuti firman-Mu: 'Carilah wajah-Ku'; maka wajah-Mu kucari, ya TUHAN." (Mazmur 27:8). Dengan kata lain, tanpa persekutuan yang karib dengan Tuhan cepat atau lambat kita pasti akan mengalami kemunduran dan bahkan kematian rohani. "Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal di dalam Aku. Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya. Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa." (Yohanes 15:4b-5).
Hidup dalam persekutuan dengan Tuhan berarti senantiasa bertekun dalam doa dan tidak menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah yang ada, melainkan semakin giat melakukannya menjelang hari Tuhan yang semakin dekat (baca Ibrani 10:25).
"Sebab lebih baik satu hari di pelataran-Mu dari pada seribu hari di tempat lain; lebih baik berdiri di ambang pintu rumah Allahku dari pada diam di kemah-kemah orang fasik." Mazmur 84:11
Baca: 1 Korintus 1:4-9
"Allah, yang memanggil kamu kepada persekutuan dengan Anak-Nya Yesus Kristus, Tuhan kita, adalah setia." 1 Korintus 1:9
Selain dipanggil Tuhan untuk hidup dalam kekudusan, kita juga dipanggil untuk memiliki persekutuan dengan Tuhan, sebab kekristenan sesungguhnya bukanlah suatu agama, melainkan menunjuk kepada suatu hubungan karib antara Allah dan umat pilihan-Nya.
Hubungan karib yang sempat terputus dan terhalang oleh dosa dan pelanggaran manusia kini telah pulih kembali melalui karya pengorbanan Kristus di Golgota, dan ditandai dengan "...tabir Bait Suci terbelah dua dari atas sampai ke bawah..." (Matius 27:51); artinya sudah tidak ada lagi yang menghalangi kita untuk bisa memandang dan masuk serta melihat kemuliaan Tuhan dan bersekutu denganNya. "...Dialah damai sejahtera kita, yang telah mempersatukan kedua pihak dan yang telah merubuhkan tembok pemisah, yaitu perseteruan," (Efesus 2:14); Kita yang dahulu terpisah dari Allah, "...sekarang di dalam Kristus Yesus kamu, yang dahulu 'jauh', sudah menjadi 'dekat' oleh darah Kristus." (Efesus 2:13).
Adalah suatu keharusan setiap orang percaya hidup dalam persekutuan yang karib dengan Tuhan karena merupakan syarat mutlak agar kita mengalami pertumbuhan rohani. Daud berkata, "Hatiku mengikuti firman-Mu: 'Carilah wajah-Ku'; maka wajah-Mu kucari, ya TUHAN." (Mazmur 27:8). Dengan kata lain, tanpa persekutuan yang karib dengan Tuhan cepat atau lambat kita pasti akan mengalami kemunduran dan bahkan kematian rohani. "Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal di dalam Aku. Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya. Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa." (Yohanes 15:4b-5).
Hidup dalam persekutuan dengan Tuhan berarti senantiasa bertekun dalam doa dan tidak menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah yang ada, melainkan semakin giat melakukannya menjelang hari Tuhan yang semakin dekat (baca Ibrani 10:25).
"Sebab lebih baik satu hari di pelataran-Mu dari pada seribu hari di tempat lain; lebih baik berdiri di ambang pintu rumah Allahku dari pada diam di kemah-kemah orang fasik." Mazmur 84:11
Thursday, March 5, 2015
JANGAN MEMENTINGKAN DIRI SENDIRI
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 5 Maret 2015
Baca: Yakobus 3:13-18
"Sebab di mana ada iri hati dan mementingkan diri sendiri di situ ada kekacauan dan segala macam perbuatan jahat." Yakobus 3:16
Salah satu faktor penyebab terjadinya perpecahan dalam kehidupan keluarga, jemaat, persekutuan, pelayanan dan bermasyarakat adalah sikap mementingkan diri sendiri. Mementingkan diri sendiri disebut pula selfish atau juga egois, yang dalam kamus 'Webster' didefinisikan: memerhatikan diri sendiri secara tidak pantas atau secara berlebih-lebihan, mendahulukan kenyamanan dan keuntungan diri sendiri tanpa memperhatikan, atau dengan mengorbankan kenyamanan dan keuntungan orang lain.
Ketika seseorang mementingkan diri sendiri ia akan menjadikan dirinya sebagai pusat dan tidak lagi mempedulikan kepentingan dan perasaan orang lain. Inilah yang menjadi sumber dari banyak kekacauan dan kejahatan (ayat nas). Mengapa? Karena orang yang mementingkan diri sendiri pasti sulit menjalin kerjasama dengan orang lain sebagai anggota tim di dalam menyelesaikan sebuah tugas; Orang yang mementingkan diri sendiri juga cenderung mudah marah, tersinggung serta tidak bisa menguasai diri. "Berhentilah marah dan tinggalkanlah panas hati itu, jangan marah, itu hanya membawa kepada kejahatan." (Mazmur 37:8). Orang yang egois memiliki kecenderungan menghakimi dan mencela orang lain karena menganggap diri sendiri paling benar dan tidak pernah salah. Rasul Paulus mengingatkan, "Baiklah tiap-tiap orang menguji pekerjaannya sendiri; maka ia boleh bermegah melihat keadaannya sendiri dan bukan melihat keadaan orang lain." (Galatia 6:4). Sebagai orang percaya kita harus membuang jauh sifat mementingkan diri sendiri agar kita tidak menjadi batu sandungan bagi orang lain.
Dalam segala perkara marilah senantiasa meneladani Kristus, "...Jadi karena dalam Kristus ada nasihat, ada penghiburan kasih, ada persekutuan Roh, ada kasih mesra dan belas kasihan,...dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri; dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga." (Filipi 2:1, 3, 4).
"Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka." Matius 7:12
Baca: Yakobus 3:13-18
"Sebab di mana ada iri hati dan mementingkan diri sendiri di situ ada kekacauan dan segala macam perbuatan jahat." Yakobus 3:16
Salah satu faktor penyebab terjadinya perpecahan dalam kehidupan keluarga, jemaat, persekutuan, pelayanan dan bermasyarakat adalah sikap mementingkan diri sendiri. Mementingkan diri sendiri disebut pula selfish atau juga egois, yang dalam kamus 'Webster' didefinisikan: memerhatikan diri sendiri secara tidak pantas atau secara berlebih-lebihan, mendahulukan kenyamanan dan keuntungan diri sendiri tanpa memperhatikan, atau dengan mengorbankan kenyamanan dan keuntungan orang lain.
Ketika seseorang mementingkan diri sendiri ia akan menjadikan dirinya sebagai pusat dan tidak lagi mempedulikan kepentingan dan perasaan orang lain. Inilah yang menjadi sumber dari banyak kekacauan dan kejahatan (ayat nas). Mengapa? Karena orang yang mementingkan diri sendiri pasti sulit menjalin kerjasama dengan orang lain sebagai anggota tim di dalam menyelesaikan sebuah tugas; Orang yang mementingkan diri sendiri juga cenderung mudah marah, tersinggung serta tidak bisa menguasai diri. "Berhentilah marah dan tinggalkanlah panas hati itu, jangan marah, itu hanya membawa kepada kejahatan." (Mazmur 37:8). Orang yang egois memiliki kecenderungan menghakimi dan mencela orang lain karena menganggap diri sendiri paling benar dan tidak pernah salah. Rasul Paulus mengingatkan, "Baiklah tiap-tiap orang menguji pekerjaannya sendiri; maka ia boleh bermegah melihat keadaannya sendiri dan bukan melihat keadaan orang lain." (Galatia 6:4). Sebagai orang percaya kita harus membuang jauh sifat mementingkan diri sendiri agar kita tidak menjadi batu sandungan bagi orang lain.
Dalam segala perkara marilah senantiasa meneladani Kristus, "...Jadi karena dalam Kristus ada nasihat, ada penghiburan kasih, ada persekutuan Roh, ada kasih mesra dan belas kasihan,...dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri; dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga." (Filipi 2:1, 3, 4).
"Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka." Matius 7:12
Wednesday, March 4, 2015
JANGAN ADA PERPECAHAN
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 4 Maret 2015
Baca: 1 Korintus 1:10-17
"Yang aku maksudkan ialah, bahwa kamu masing-masing berkata: Aku dari golongan Paulus. Atau aku dari golongan Apolos. Atau aku dari golongan Kefas. Atau aku dari golongan Kristus." 1 Korintus 1:12
Mengapa rasul Paulus perlu sekali mengingatkan jemaat di Korintus pentingnya persekutuan? Karena di antara pengikutnya telah terjadi perpecahan, hubungan antar anggota tubuh Kristus tidak lagi harmonis. Mereka membentuk kubu atau golongan: golongan Apolos, golongan Kefas dan golongan Kristus. Pertanyaannya: apakah masing-masing golongan memiliki Kristus yang berbeda-beda? Tentu saja tidak, artinya mereka sendiri yang telah membentuk benteng-benteng atau sekat-sekat di antara mereka. Karena itu rasul Paulus bertanya: "Adakah Kristus terbagi-bagi?" (1 Korintus 1:13).
Di zaman sekarang ini ada banyak orang Kristen yang tanpa sadar hatinya melekat kepada hamba Tuhan dibanding firman yang disampaikan. Mereka mulai mengkultuskan dan mengidolakan pemimpin rohani atau pendeta, bukan lagi Kristus. Mereka lebih suka menyanjung atau memuja manusia yang tampak secara kasat mata daripada Tuhan yang tidak kelihatan. Mereka ogah-ogahan datang beribadah jika tahu yang berkhotbah ada pendeta yang kurang menarik dan tidak disukai. Inilah yang akhirnya menjadi biang perpecahan di antara jemaat dalam sebuah gereja. Mereka lupa, bahwa sehebat apa pun hamba Tuhan mereka hanyalah alatNya saja, di mana tanpa Roh Tuhan bekerja mereka tidak bisa berbuat apa-apa. "Karena itu yang penting bukanlah yang menanam atau yang menyiram, melainkan Allah yang memberi pertumbuhan. Baik yang menanam maupun yang menyiram adalah sama; dan masing-masing akan menerima upahnya sesuai dengan pekerjaannya sendiri." (1 Korintus 3:7-8).
Tuhan menghendaki kita senantiasa hidup dalam persekutuan yang erat di antara sesama anggota tubuh Kristus. Bersekutu berarti membangun suatu hubungan yang di dalamnya terdapat unsur sehati, sepikir, saling menguatkan dan menopang, sehingga terbangun satu kesatuan yang utuh, tidak terpecah-pecah.
Kita harus memusatkan kasih dan kesetiaan kita kepada Tuhan dan firman-Nya saja, bukan pada pemberita firman atau siapa.
Baca: 1 Korintus 1:10-17
"Yang aku maksudkan ialah, bahwa kamu masing-masing berkata: Aku dari golongan Paulus. Atau aku dari golongan Apolos. Atau aku dari golongan Kefas. Atau aku dari golongan Kristus." 1 Korintus 1:12
Mengapa rasul Paulus perlu sekali mengingatkan jemaat di Korintus pentingnya persekutuan? Karena di antara pengikutnya telah terjadi perpecahan, hubungan antar anggota tubuh Kristus tidak lagi harmonis. Mereka membentuk kubu atau golongan: golongan Apolos, golongan Kefas dan golongan Kristus. Pertanyaannya: apakah masing-masing golongan memiliki Kristus yang berbeda-beda? Tentu saja tidak, artinya mereka sendiri yang telah membentuk benteng-benteng atau sekat-sekat di antara mereka. Karena itu rasul Paulus bertanya: "Adakah Kristus terbagi-bagi?" (1 Korintus 1:13).
Di zaman sekarang ini ada banyak orang Kristen yang tanpa sadar hatinya melekat kepada hamba Tuhan dibanding firman yang disampaikan. Mereka mulai mengkultuskan dan mengidolakan pemimpin rohani atau pendeta, bukan lagi Kristus. Mereka lebih suka menyanjung atau memuja manusia yang tampak secara kasat mata daripada Tuhan yang tidak kelihatan. Mereka ogah-ogahan datang beribadah jika tahu yang berkhotbah ada pendeta yang kurang menarik dan tidak disukai. Inilah yang akhirnya menjadi biang perpecahan di antara jemaat dalam sebuah gereja. Mereka lupa, bahwa sehebat apa pun hamba Tuhan mereka hanyalah alatNya saja, di mana tanpa Roh Tuhan bekerja mereka tidak bisa berbuat apa-apa. "Karena itu yang penting bukanlah yang menanam atau yang menyiram, melainkan Allah yang memberi pertumbuhan. Baik yang menanam maupun yang menyiram adalah sama; dan masing-masing akan menerima upahnya sesuai dengan pekerjaannya sendiri." (1 Korintus 3:7-8).
Tuhan menghendaki kita senantiasa hidup dalam persekutuan yang erat di antara sesama anggota tubuh Kristus. Bersekutu berarti membangun suatu hubungan yang di dalamnya terdapat unsur sehati, sepikir, saling menguatkan dan menopang, sehingga terbangun satu kesatuan yang utuh, tidak terpecah-pecah.
Kita harus memusatkan kasih dan kesetiaan kita kepada Tuhan dan firman-Nya saja, bukan pada pemberita firman atau siapa.
Tuesday, March 3, 2015
PANGGILAN TUHAN: Untuk Hidup Kudus (2)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 3 Maret 2015
Baca: 1 Korintus 5:1-13
"Dalam suratku telah kutuliskan kepadamu, supaya kamu jangan bergaul dengan orang-orang cabul." 1 Korintus 5:9
Kota Korintus adalah sebuah kota yang sangat mapan dan modern di zamannya. Selain sebagai kota pelabuhan, Korintus termasuk salah satu pusat perekonomian utama di Yunani, tak ubahnya dengan kota metropolitan di masa sekarang ini di mana segala kesenangan dan gemerlap kenikmatan dunia ditawarkan. Hal ini mendorong terjadinya segala bentuk tindak kejahatan dan juga pelanggaran moral, sehingga kota ini mempunyai reputasi yang sangat buruk karena hal-hal yang amoral.
Keadaan itu berdampak buruk bagi kehidupan orang percaya di Korintus sehingga mereka pun terbawa arus, hidup dalam keduniawian, bahkan di antara mereka banyak yang terlibat dalam dosa percabulan. Ibadah dan pelayanan yang mereka lakukan tak lebih dari sekedar aktivitas rutin semata. "Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku." (Matius 15:7-8), sehingga mereka menjadi batu sandungan bagi orang-orang di kota lain. Bukan hanya perpecahan di antara jemaat, mereka juga menunjukkan perilaku yang menyimpang dari kebenaran. Sebagai umat tebusan-Nya yang telah disucikan, dikuduskan, dibenarkan melalui pengorbanan Kristus di kayu salib dan diperbaharui oleh Roh Kudus, setiap orang percaya seharusnya menunjukkan kualitas hidup yang berpadanan dengan predikat tersebut. Peringatan keras ini disampaikan oleh Paulus karena jemaat di Korintus sudah tidak menghargai kekudusan dan kesucian perkawinan, padahal "...kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar: Karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu!" (1 Korintus 6:20).
Hidup kudus adalah suatu proses yang berlangsung secara progresif dan harus dikerjakan terus menerus seumur hidup kita. Hidup kudus berarti kita menjalani hidup sesuai dengan kehendak Tuhan dan mengukur segala sesuatu sesuai dengan standar firman Tuhan. Hidup kudus berarti pula berusaha keras menjauhi segala jenis kejahatan dan bertekad kuat menaati apa yang menjadi kehendak Tuhan.
Jangan sia-siakan pengorbanan Kristus dengan melakukan hal-hal yang tidak kudus!
Baca: 1 Korintus 5:1-13
"Dalam suratku telah kutuliskan kepadamu, supaya kamu jangan bergaul dengan orang-orang cabul." 1 Korintus 5:9
Kota Korintus adalah sebuah kota yang sangat mapan dan modern di zamannya. Selain sebagai kota pelabuhan, Korintus termasuk salah satu pusat perekonomian utama di Yunani, tak ubahnya dengan kota metropolitan di masa sekarang ini di mana segala kesenangan dan gemerlap kenikmatan dunia ditawarkan. Hal ini mendorong terjadinya segala bentuk tindak kejahatan dan juga pelanggaran moral, sehingga kota ini mempunyai reputasi yang sangat buruk karena hal-hal yang amoral.
Keadaan itu berdampak buruk bagi kehidupan orang percaya di Korintus sehingga mereka pun terbawa arus, hidup dalam keduniawian, bahkan di antara mereka banyak yang terlibat dalam dosa percabulan. Ibadah dan pelayanan yang mereka lakukan tak lebih dari sekedar aktivitas rutin semata. "Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku." (Matius 15:7-8), sehingga mereka menjadi batu sandungan bagi orang-orang di kota lain. Bukan hanya perpecahan di antara jemaat, mereka juga menunjukkan perilaku yang menyimpang dari kebenaran. Sebagai umat tebusan-Nya yang telah disucikan, dikuduskan, dibenarkan melalui pengorbanan Kristus di kayu salib dan diperbaharui oleh Roh Kudus, setiap orang percaya seharusnya menunjukkan kualitas hidup yang berpadanan dengan predikat tersebut. Peringatan keras ini disampaikan oleh Paulus karena jemaat di Korintus sudah tidak menghargai kekudusan dan kesucian perkawinan, padahal "...kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar: Karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu!" (1 Korintus 6:20).
Hidup kudus adalah suatu proses yang berlangsung secara progresif dan harus dikerjakan terus menerus seumur hidup kita. Hidup kudus berarti kita menjalani hidup sesuai dengan kehendak Tuhan dan mengukur segala sesuatu sesuai dengan standar firman Tuhan. Hidup kudus berarti pula berusaha keras menjauhi segala jenis kejahatan dan bertekad kuat menaati apa yang menjadi kehendak Tuhan.
Jangan sia-siakan pengorbanan Kristus dengan melakukan hal-hal yang tidak kudus!
Monday, March 2, 2015
PANGGILAN TUHAN: Untuk Hidup Kudus (1)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 2 Maret 2015
Baca: 1 Korintus 1:1-3
"...yaitu mereka yang dikuduskan dalam Kristus Yesus dan yang dipanggil menjadi orang-orang kudus, dengan semua orang di segala tempat, yang berseru kepada nama Tuhan kita Yesus Kristus, yaitu Tuhan mereka dan Tuhan kita." 1 Korintus 1:2
Kita diciptakan Tuhan bukan karena suatu kebetulan, tetapi semua berada dalam rencana-Nya untuk suatu tujuan, artinya di dalam diri kita ada suatu panggilan Tuhan yang harus kita kerjakan. Jika kita mencermati apa yang disampaikan rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Korintus ini, ada hal-hal penting yang harus dipahami oleh setiap orang percaya berkaitan dengan panggilan Tuhan. Adapun panggilan Tuhan bagi setiap orang percaya antara lain adalah panggilan untuk hidup dalam kekudusan (ayat nas).
Di dalam 1 Petrus 1:15-16 dikatakan, "...hendaklah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu sama seperti Dia yang kudus, yang telah memanggil kamu, sebab ada tertulis: Kuduslah kamu, sebab Aku kudus." Karena Tuhan kita adalah kudus, maka sebagai anak-anak-Nya kita pun harus hidup dalam kekudusan, "Sebab di dalam Dia Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya." (Efesus 1:4). Secara etimologi, kata kudus memiliki pengertian dipisahkan dari dosa, diasingkan dari hal-hal yang duniawi, disendirikan, dikhususkan secara total untuk dipersembahkan kepada Tuhan. Oleh karena itu firman Tuhan memperingatkan: "Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna." (Roma 12:2). Dengan kata lain, sebagai orang-orang yang telah diselamatkan kita tidak boleh mengikuti pola hidup dunia ini dan tidak terbawa arus yang ada.
Kehidupan orang-orang percaya di Korintus ternyata tidak jauh berbeda dari kehidupan orang-orang di luar Tuhan. Secara jasmaniah mereka tampak aktif menjalankan ibadah dan pelayanan, tetapi perbuatan mereka sangat duniawi dan tidak menunjukkan kualitas hidup sebagai ciptaan baru di dalam Kristus (2 Korintus 5:17).
"Sebab itu: Keluarlah kamu dari antara mereka, dan pisahkanlah dirimu dari mereka, firman Tuhan, dan janganlah menjamah apa yang najis, maka Aku akan menerima kamu." 2 Korintus 6:17
Baca: 1 Korintus 1:1-3
"...yaitu mereka yang dikuduskan dalam Kristus Yesus dan yang dipanggil menjadi orang-orang kudus, dengan semua orang di segala tempat, yang berseru kepada nama Tuhan kita Yesus Kristus, yaitu Tuhan mereka dan Tuhan kita." 1 Korintus 1:2
Kita diciptakan Tuhan bukan karena suatu kebetulan, tetapi semua berada dalam rencana-Nya untuk suatu tujuan, artinya di dalam diri kita ada suatu panggilan Tuhan yang harus kita kerjakan. Jika kita mencermati apa yang disampaikan rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Korintus ini, ada hal-hal penting yang harus dipahami oleh setiap orang percaya berkaitan dengan panggilan Tuhan. Adapun panggilan Tuhan bagi setiap orang percaya antara lain adalah panggilan untuk hidup dalam kekudusan (ayat nas).
Di dalam 1 Petrus 1:15-16 dikatakan, "...hendaklah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu sama seperti Dia yang kudus, yang telah memanggil kamu, sebab ada tertulis: Kuduslah kamu, sebab Aku kudus." Karena Tuhan kita adalah kudus, maka sebagai anak-anak-Nya kita pun harus hidup dalam kekudusan, "Sebab di dalam Dia Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya." (Efesus 1:4). Secara etimologi, kata kudus memiliki pengertian dipisahkan dari dosa, diasingkan dari hal-hal yang duniawi, disendirikan, dikhususkan secara total untuk dipersembahkan kepada Tuhan. Oleh karena itu firman Tuhan memperingatkan: "Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna." (Roma 12:2). Dengan kata lain, sebagai orang-orang yang telah diselamatkan kita tidak boleh mengikuti pola hidup dunia ini dan tidak terbawa arus yang ada.
Kehidupan orang-orang percaya di Korintus ternyata tidak jauh berbeda dari kehidupan orang-orang di luar Tuhan. Secara jasmaniah mereka tampak aktif menjalankan ibadah dan pelayanan, tetapi perbuatan mereka sangat duniawi dan tidak menunjukkan kualitas hidup sebagai ciptaan baru di dalam Kristus (2 Korintus 5:17).
"Sebab itu: Keluarlah kamu dari antara mereka, dan pisahkanlah dirimu dari mereka, firman Tuhan, dan janganlah menjamah apa yang najis, maka Aku akan menerima kamu." 2 Korintus 6:17
Sunday, March 1, 2015
MEMAHAMI PANGGILAN TUHAN
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 1 Maret 2015
Baca: 1 Korintus 1:1-17
"Sebab, saudara-saudaraku, aku telah diberitahukan oleh orang-orang dari keluarga Kloe tentang kamu, bahwa ada perselisihan di antara kamu." 1 Korintus 1:11
Jemaat Korintus adalah jemaat yang didirikan oleh rasul Paulus bersama dengan Akwila dan Priskila dalam perjalanan misinya yang kedua. Alkitab mencatat: "...mereka melakukan pekerjaan yang sama, ia tinggal bersama-sama dengan mereka. Mereka bekerja bersama-sama, karena mereka sama-sama tukang kemah. Dan setiap hari Sabat Paulus berbicara dalam rumah ibadat dan berusaha meyakinkan orang-orang Yahudi dan orang-orang Yunani." (Kisah 18:3-4). Setelah melayani jiwa-jiwa di Korintus untuk beberapa waktu lamanya Paulus melanjutkan perjalanan misinya ke Efesus.
Saat berada di Efesus inilah Paulus mendapat berita yang kurang mengenakkan dan sekaligus mengejutkan dari keluarga Kloe, bahwa pasca kepergian Paulus ternyata ada banyak permasalahan yang terjadi di antara jemaat di Korintus. Mengapa bisa terjadi? Ternyata masalah timbul karena kurangnya pemahaman jemaat tentang panggilan Tuhan dalam hidup mereka, padahal panggilan hidup adalah hal yang sangat mendasar dalam kehidupan orang percaya. Mungkin kita tampak sibuk dengan aktivitas-aktivitas rohani atau pelayanan, begitu bangga dengan talenta dan karunia-karunia yang kita miliki, atau bangga dengan kemahiran kita dalam mempelajari isi Alkitab dan sebagainya. Namun apalah arti semuanya itu jika dalam kehidupan sehari-hari atau dalam prakteknya kita tidak memiliki buah-buah pertobatan atau karakter yang mencerminkan diri sebagai pengikut Kristus. Karena itu rasul Paulus mengingatkan, "...supaya hidupmu sebagai orang-orang yang telah dipanggil berpadanan dengan panggilan itu." (Efesus 4:1).
Panggilan berarti seruan yang membuat seseorang mengarahkan pandangan dan menyendengkan telinganya kepada si pemanggil; panggilan hidup berarti seruan yang membuat seseorang mengarahkan hidupnya kepada suatu titik atau sasaran tertentu. Bila dihubungkan dengan panggilan Tuhan, maka panggilan hidup berarti seruan Tuhan kepada setiap orang percaya supaya mereka mengarahkan hidup mereka kepada apa yang menjadi kehendak dan rencana Tuhan. Contoh: Tuhan memanggil Abraham untuk ke luar dari negerinya dan dari sanak saudaranya ke suatu negeri yang hendak ditunjukkan-Nya.
Sudahkah kita memiliki kehidupan yang berpadanan dengan panggilan Tuhan?
Baca: 1 Korintus 1:1-17
"Sebab, saudara-saudaraku, aku telah diberitahukan oleh orang-orang dari keluarga Kloe tentang kamu, bahwa ada perselisihan di antara kamu." 1 Korintus 1:11
Jemaat Korintus adalah jemaat yang didirikan oleh rasul Paulus bersama dengan Akwila dan Priskila dalam perjalanan misinya yang kedua. Alkitab mencatat: "...mereka melakukan pekerjaan yang sama, ia tinggal bersama-sama dengan mereka. Mereka bekerja bersama-sama, karena mereka sama-sama tukang kemah. Dan setiap hari Sabat Paulus berbicara dalam rumah ibadat dan berusaha meyakinkan orang-orang Yahudi dan orang-orang Yunani." (Kisah 18:3-4). Setelah melayani jiwa-jiwa di Korintus untuk beberapa waktu lamanya Paulus melanjutkan perjalanan misinya ke Efesus.
Saat berada di Efesus inilah Paulus mendapat berita yang kurang mengenakkan dan sekaligus mengejutkan dari keluarga Kloe, bahwa pasca kepergian Paulus ternyata ada banyak permasalahan yang terjadi di antara jemaat di Korintus. Mengapa bisa terjadi? Ternyata masalah timbul karena kurangnya pemahaman jemaat tentang panggilan Tuhan dalam hidup mereka, padahal panggilan hidup adalah hal yang sangat mendasar dalam kehidupan orang percaya. Mungkin kita tampak sibuk dengan aktivitas-aktivitas rohani atau pelayanan, begitu bangga dengan talenta dan karunia-karunia yang kita miliki, atau bangga dengan kemahiran kita dalam mempelajari isi Alkitab dan sebagainya. Namun apalah arti semuanya itu jika dalam kehidupan sehari-hari atau dalam prakteknya kita tidak memiliki buah-buah pertobatan atau karakter yang mencerminkan diri sebagai pengikut Kristus. Karena itu rasul Paulus mengingatkan, "...supaya hidupmu sebagai orang-orang yang telah dipanggil berpadanan dengan panggilan itu." (Efesus 4:1).
Panggilan berarti seruan yang membuat seseorang mengarahkan pandangan dan menyendengkan telinganya kepada si pemanggil; panggilan hidup berarti seruan yang membuat seseorang mengarahkan hidupnya kepada suatu titik atau sasaran tertentu. Bila dihubungkan dengan panggilan Tuhan, maka panggilan hidup berarti seruan Tuhan kepada setiap orang percaya supaya mereka mengarahkan hidup mereka kepada apa yang menjadi kehendak dan rencana Tuhan. Contoh: Tuhan memanggil Abraham untuk ke luar dari negerinya dan dari sanak saudaranya ke suatu negeri yang hendak ditunjukkan-Nya.
Sudahkah kita memiliki kehidupan yang berpadanan dengan panggilan Tuhan?
Subscribe to:
Posts (Atom)