Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 30 November 2014
Baca: 2 Korintus 8:16-24
"Memang ia menyambut anjuran kami, tetapi dalam kesungguhannya yang besar itu ia dengan sukarela pergi kepada kamu." 2 Korintus 8:17
Masihkah kita bersemangat menjalani hari-hari kita? Akhir-akhir ini banyak orang Kristen kehilangan semangat dan gairah hidup. Terbukti mereka melakukan segala sesuatu dengan berat hati, asal-asalan, penuh keterpaksaan dan tidak sukarela. Mengapa bisa begitu? Karena pikirannya hanya terfokus kepada kegagalan, masalah, kekecewaan dan luka-luka hati lainnya. Apa pun yang menjadi tugas kita, entah itu tugas keseharian di kantor, rumah tangga, sekolah, kampus, terlebih-lebih tugas pelayanan, sudah selayaknya kita lakukan dengan sukarela, tidak setengah hati, hitung-hitungan, apalagi terpaksa disertai persungutan. Alkitab menasihatkan: "Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia." (Kolose 3:23).
Ketika dipercaya oleh rasul Paulus untuk sebuah tugas pelayanan di tengah-tengah jemaat di Korintus Titus meresponsnya dengan penuh antusias. Ia melakukan tugasnya dengan kesungguhan dan sukarela. Kata sukarela berarti dengan kemauan sendiri, rela hati, atas kehendak sendiri. Ini berkenaan dengan ketulusan dan keikhlasan hati seseorang, bukan karena terpaksa, nggrundel, ngedumel atau hanya sungkan karena didorong-dorong oleh pihak lain. Segala sesuatu yang dikerjakan dengan sukarela pasti akan menghasilkan dampak yang positif bagi diri si pelaku dan juga orang lain. Hasilnya pun pasti akan jauh berbeda dibandingkan dengan orang yang mengerjakan tugas-tugasnya setengah hati dan tidak rela. Karena itulah rasul Paulus menyebut Titus sebagai orang yang terpuji dalam pekerjaannya dan juga komitmennya (ayat 18 dan 22).
Kalau kita melakukan segala sesuatu dengan sukarela dan penuh semangat, sebesar apa pun tugas dan tanggung jawab kita akan terasa ringan dan menyenangkan. Sebaliknya kalau kita tidak dengan rela hati mengerjakannya, sekecil apa pun tugas akan terasa berat dan menyiksa. "Orang yang bersemangat dapat menanggung penderitaannya, tetapi siapa akan memulihkan semangat yang patah?" (Amsal 18:14).
Mari kerjakan apa pun tugas-tugas yang dipercayakan kepada kita dengan sukarela, sebab "...dari Tuhanlah kamu akan menerima bagian yang ditentukan bagimu sebagai upah." Kolose 3:24
Sunday, November 30, 2014
Saturday, November 29, 2014
TIDAK HITUNG-HITUNGAN: Untuk Tuhan dan Sesama
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 29 November 2014
Baca: Matius 25:31-46
"Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku." Matius 25:40
Bagaimana bisa memberi dan memberkati orang lain jika kita sendiri tidak memiliki sesuatu? "Sebab jika kamu rela untuk memberi, maka pemberianmu akan diterima, kalau pemberianmu itu berdasarkan apa yang ada padamu, bukan berdasarkan apa yang tidak ada padamu." (2 Korintus 8:12). Namun kita masih bisa memberikan perhatian, ucapan terima kasih, pujian atas pekerjaan baik, meluangkan waktu mendengar, mencurahkan pikiran dan tenaga; itu cukup membuat orang lain tersenyum dan diubahkan. Memberi tidak bisa dipisahkan dari sikap hati si pemberi. Masalah hati adalah sisi terpenting bagi Tuhan, sebab "...menyelidiki segala hati dan mengerti segala niat dan cita-cita." (1 Tawarikh 28:9), artinya Tuhan selalu melihat motivasi di balik semua tindakan kita.
Yeremia memperingatkan, "Bersihkanlah hatimu dari kejahatan, hai Yerusalem, supaya engkau diselamatkan! Berapa lama lagi tinggal di dalam hatimu rancangan-rancang kedurjanaanmu?" (Yeremia 4:14). Jadi, sebersit motivasi yang salah dan niat jahat setitik pun pasti diketahui Tuhan. Sekecil apa pun pemberian kita "Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita." (2 Korintus 9:7). Memberi dengan sukcita berarti tidak ada keterpaksaan dan sedih hati, namun sukarela; dan ketika kita rela hati melepaskan apa yang ada di tangan kita, Tuhan akan rela juga melepaskan apa pun yang di tangan-Nya untuk kita.
Daud mengakui, "...dari pada-Mulah segala-galanya dan dari tangan-Mu sendirilah persembahan yang kami berikan kepada-Mu." (1 Tawarikh 29:14). Jika menyadari ini kita tidak akan menjadi orang egois, hitung-hitungan dalam memberi, baik untuk Tuhan dan juga sesama. Sebaliknya hati kita akan terbeban untuk mendukung pekerjaan Tuhan, dipenuhi empati terhadap orang lain yang membutuhkan pertolongan.
Memberi adalah perintah Tuhan, dan "...sesungguhnya segala sesuatu yang tidak kamu lakukan untuk salah seorang dari yang paling hina ini, kamu tidak melakukannya juga untuk Aku." Matius 25:45
Baca: Matius 25:31-46
"Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku." Matius 25:40
Bagaimana bisa memberi dan memberkati orang lain jika kita sendiri tidak memiliki sesuatu? "Sebab jika kamu rela untuk memberi, maka pemberianmu akan diterima, kalau pemberianmu itu berdasarkan apa yang ada padamu, bukan berdasarkan apa yang tidak ada padamu." (2 Korintus 8:12). Namun kita masih bisa memberikan perhatian, ucapan terima kasih, pujian atas pekerjaan baik, meluangkan waktu mendengar, mencurahkan pikiran dan tenaga; itu cukup membuat orang lain tersenyum dan diubahkan. Memberi tidak bisa dipisahkan dari sikap hati si pemberi. Masalah hati adalah sisi terpenting bagi Tuhan, sebab "...menyelidiki segala hati dan mengerti segala niat dan cita-cita." (1 Tawarikh 28:9), artinya Tuhan selalu melihat motivasi di balik semua tindakan kita.
Yeremia memperingatkan, "Bersihkanlah hatimu dari kejahatan, hai Yerusalem, supaya engkau diselamatkan! Berapa lama lagi tinggal di dalam hatimu rancangan-rancang kedurjanaanmu?" (Yeremia 4:14). Jadi, sebersit motivasi yang salah dan niat jahat setitik pun pasti diketahui Tuhan. Sekecil apa pun pemberian kita "Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita." (2 Korintus 9:7). Memberi dengan sukcita berarti tidak ada keterpaksaan dan sedih hati, namun sukarela; dan ketika kita rela hati melepaskan apa yang ada di tangan kita, Tuhan akan rela juga melepaskan apa pun yang di tangan-Nya untuk kita.
Daud mengakui, "...dari pada-Mulah segala-galanya dan dari tangan-Mu sendirilah persembahan yang kami berikan kepada-Mu." (1 Tawarikh 29:14). Jika menyadari ini kita tidak akan menjadi orang egois, hitung-hitungan dalam memberi, baik untuk Tuhan dan juga sesama. Sebaliknya hati kita akan terbeban untuk mendukung pekerjaan Tuhan, dipenuhi empati terhadap orang lain yang membutuhkan pertolongan.
Memberi adalah perintah Tuhan, dan "...sesungguhnya segala sesuatu yang tidak kamu lakukan untuk salah seorang dari yang paling hina ini, kamu tidak melakukannya juga untuk Aku." Matius 25:45
Friday, November 28, 2014
BANYAK DIBERKATI: Banyak Memberkati
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 28 November 2014
Baca: 2 Korintus 8:12-15
"Maka hendaklah sekarang ini kelebihan kamu mencukupkan kekurangan mereka," 2 Korintus 8:14
Tuhan berkata, "Pencuri datang hanya untuk mencuri dan membunuh dan membinasakan; Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan." (Yohanes 10:10). Jelaslah bahwa pekerjaan Iblis adalah mencuri, membunuh, membinasakan. Sedangkan Tuhan adalah pemberi: memberi kehidupan dan kelimpahan; Ia tidak pernah setengah-setengah dalam memberi. "Allahku akan memenuhi segala keperluanmu menurut kekayaan dan kemuliaan-Nya dalam Kristus Yesus." (Filipi 4:19). Tuhan sangat bermurah hati memberi supaya anak-anak-Nya hidup dalam berkelimpahan.
Sebagai anak-anak Tuhan kita tidak perlu takut menjadi kaya, sebab hidup berkelimpahan adalah Alkitabiah. Tetapi yang harus dijaga adalah sikap hati sehingga kita mampu mengelola berkat Tuhan itu secara benar, sebab kita ini hanyalah pengelola berkat. Segala sesuatu adalah milik Tuhan yang dipercayakan kepada kita, Dia adalah pemilik. Mengapa ini perlu dipertegas? Sebab banyak sekali orang jatuh dalam dosa justru saat berkelimpahan. Kekayaan membuat mereka lupa diri dan hidup menjauh dari Tuhan. Agur bin Yake, salah satu penulis kitab Amsal menulis, "Jangan berikan kepadaku kemiskinan atau kekayaan. Biarkanlah aku menikmati makanan yang menjadi bagianku. Supaya, kalau aku kenyang, aku tidak menyangkal-Mu dan berkata: Siapa TUHAN itu? Atau, kalau aku miskin, aku mencuri, dan mencemarkan nama Allahku." (Amsal 30:8).
Tuhan pasti memiliki tujuan di balik berkat yang Ia limpahkan. Pada waktu Tuhan menyampaikan perjanjian berkat-Nya kepada Abraham Dia berkata, "Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar, dan memberkati engkau serta membuat namamu masyhur; dan engkau akan menjadi berkat." (Kejadian 12:2). Tuhan memberkati Abraham supaya semua bangsa di bumi mendapatkan berkat. Jadi Tuhan memberkati kita bukan untuk dinikmati sendiri dan menjadi terkenal, tapi Tuhan rindu supaya bangsa-bangsa lain diberkati melalui umat perjanjian-Nya. Dengan memiliki standar hidup yang lebih baik Tuhan mau semakin meningkat pula standar pemberian kita kepada orang lain.
Semakin diberkati Tuhan haruslah semakin bertambah kemampuan kita memberkati orang lain, sehingga nama Tuhan juga semakin dipermuliakan!
Baca: 2 Korintus 8:12-15
"Maka hendaklah sekarang ini kelebihan kamu mencukupkan kekurangan mereka," 2 Korintus 8:14
Tuhan berkata, "Pencuri datang hanya untuk mencuri dan membunuh dan membinasakan; Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan." (Yohanes 10:10). Jelaslah bahwa pekerjaan Iblis adalah mencuri, membunuh, membinasakan. Sedangkan Tuhan adalah pemberi: memberi kehidupan dan kelimpahan; Ia tidak pernah setengah-setengah dalam memberi. "Allahku akan memenuhi segala keperluanmu menurut kekayaan dan kemuliaan-Nya dalam Kristus Yesus." (Filipi 4:19). Tuhan sangat bermurah hati memberi supaya anak-anak-Nya hidup dalam berkelimpahan.
Sebagai anak-anak Tuhan kita tidak perlu takut menjadi kaya, sebab hidup berkelimpahan adalah Alkitabiah. Tetapi yang harus dijaga adalah sikap hati sehingga kita mampu mengelola berkat Tuhan itu secara benar, sebab kita ini hanyalah pengelola berkat. Segala sesuatu adalah milik Tuhan yang dipercayakan kepada kita, Dia adalah pemilik. Mengapa ini perlu dipertegas? Sebab banyak sekali orang jatuh dalam dosa justru saat berkelimpahan. Kekayaan membuat mereka lupa diri dan hidup menjauh dari Tuhan. Agur bin Yake, salah satu penulis kitab Amsal menulis, "Jangan berikan kepadaku kemiskinan atau kekayaan. Biarkanlah aku menikmati makanan yang menjadi bagianku. Supaya, kalau aku kenyang, aku tidak menyangkal-Mu dan berkata: Siapa TUHAN itu? Atau, kalau aku miskin, aku mencuri, dan mencemarkan nama Allahku." (Amsal 30:8).
Tuhan pasti memiliki tujuan di balik berkat yang Ia limpahkan. Pada waktu Tuhan menyampaikan perjanjian berkat-Nya kepada Abraham Dia berkata, "Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar, dan memberkati engkau serta membuat namamu masyhur; dan engkau akan menjadi berkat." (Kejadian 12:2). Tuhan memberkati Abraham supaya semua bangsa di bumi mendapatkan berkat. Jadi Tuhan memberkati kita bukan untuk dinikmati sendiri dan menjadi terkenal, tapi Tuhan rindu supaya bangsa-bangsa lain diberkati melalui umat perjanjian-Nya. Dengan memiliki standar hidup yang lebih baik Tuhan mau semakin meningkat pula standar pemberian kita kepada orang lain.
Semakin diberkati Tuhan haruslah semakin bertambah kemampuan kita memberkati orang lain, sehingga nama Tuhan juga semakin dipermuliakan!
Thursday, November 27, 2014
MENGASIHI PASTI AKAN MEMBERI
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 27 November 2014
Baca: Matius 7:7-11
"Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan yang baik kepada mereka yang meminta kepada-Nya." Matius 7:11
Tuhan yang kita sembah adalah kasih adanya. Karena Dia adalah kasih, Ia bukan hanya merancangkan yang baik untuk umat-Nya tapi juga memberikan yang terbaik. Bukti pemberian terbesar adalah: "Ia, yang tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri, tetapi yang menyerahkan-Nya bagi kita semua, bagaimanakah mungkin Ia tidak mengaruniakan segala sesuatu kepada kita bersama-sama dengan Dia?" (Roma 8:32).
Karena Bapa kita adalah Bapa yang suka memberi, maka sebagai anak-anak-Nya kita pun harus memiliki karakter seperti Bapa: "...dan setiap orang yang mengasihi, lahir dari Allah dan mengenal Allah. Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih." (1 Yohanes 4:7-8). Memberi adalah karakter utama dari kasih. Meski demikian tidak semua tindakan memberi menunjukkan bahwa seseorang memiliki kasih, karena ada banyak orang yang memberi hanya sebatas kegiatan musiman saja, atau memberi pada saat momen-momen tertentu seperti acara ulang tahun atau kegiatan amal, itu pun di bawah sorotan kamera sehingga jutaan orang dapat melihatnya. Jangan sampai kita memberi karena terpaksa atau memiliki tendensi dan motivasi yang salah: supaya dianggap baik dan pemurah, beroleh pujian dan sanjungan orang lain, untuk mendongkrak popularitas. "Tetapi jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu. Hendaklah sedekahmu itu diberikan dengan tersembunyi, maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu." (Matius 6:3-4). William Wordsworth, penyair terkenal Inggir menulis: "Bagian terbaik dari hidup seseorang adalah perbuatan-perbuatan baiknya dan kasihnya yang tidak diketahui orang lain". Mother Theresa pun berpendapat, "Bukan berapa banyak pemberian kita, tapi berapa besar kasih yang kita taruh dalam pemberian itu".
Tuhan menginginkan kita memberi dengan sukacita dan dilandasi oleh kasih yang tulus dan murni; jika tidak, pemberian kita itu tidak akan mendatangkan upah dari Tuhan.
Inilah kiat bahagia raja Salomo, "...berbahagialah orang yang menaruh belas kasihan kepada orang yang menderita." Amsal 14:21
Baca: Matius 7:7-11
"Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan yang baik kepada mereka yang meminta kepada-Nya." Matius 7:11
Tuhan yang kita sembah adalah kasih adanya. Karena Dia adalah kasih, Ia bukan hanya merancangkan yang baik untuk umat-Nya tapi juga memberikan yang terbaik. Bukti pemberian terbesar adalah: "Ia, yang tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri, tetapi yang menyerahkan-Nya bagi kita semua, bagaimanakah mungkin Ia tidak mengaruniakan segala sesuatu kepada kita bersama-sama dengan Dia?" (Roma 8:32).
Karena Bapa kita adalah Bapa yang suka memberi, maka sebagai anak-anak-Nya kita pun harus memiliki karakter seperti Bapa: "...dan setiap orang yang mengasihi, lahir dari Allah dan mengenal Allah. Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih." (1 Yohanes 4:7-8). Memberi adalah karakter utama dari kasih. Meski demikian tidak semua tindakan memberi menunjukkan bahwa seseorang memiliki kasih, karena ada banyak orang yang memberi hanya sebatas kegiatan musiman saja, atau memberi pada saat momen-momen tertentu seperti acara ulang tahun atau kegiatan amal, itu pun di bawah sorotan kamera sehingga jutaan orang dapat melihatnya. Jangan sampai kita memberi karena terpaksa atau memiliki tendensi dan motivasi yang salah: supaya dianggap baik dan pemurah, beroleh pujian dan sanjungan orang lain, untuk mendongkrak popularitas. "Tetapi jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu. Hendaklah sedekahmu itu diberikan dengan tersembunyi, maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu." (Matius 6:3-4). William Wordsworth, penyair terkenal Inggir menulis: "Bagian terbaik dari hidup seseorang adalah perbuatan-perbuatan baiknya dan kasihnya yang tidak diketahui orang lain". Mother Theresa pun berpendapat, "Bukan berapa banyak pemberian kita, tapi berapa besar kasih yang kita taruh dalam pemberian itu".
Tuhan menginginkan kita memberi dengan sukacita dan dilandasi oleh kasih yang tulus dan murni; jika tidak, pemberian kita itu tidak akan mendatangkan upah dari Tuhan.
Inilah kiat bahagia raja Salomo, "...berbahagialah orang yang menaruh belas kasihan kepada orang yang menderita." Amsal 14:21
Wednesday, November 26, 2014
SEGALA SESUATU ADA BATASNYA (2)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 26 November 2014
Baca: Mazmur 74:1-23
"Engkaulah yang menetapkan segala batas bumi, musim kemarau dan musim hujan Engkaulah yang membuat-Nya." Mazmur 74:17
Melalui keterbatasan-keterbatasan yang ada Tuhan juga hendak mengajarkan kita untuk: 2. Tidak berharap dan mengandalkan sesamanya. Ketika mengalami masalah, besar atau kecil, seringkali kita berusaha mengatasinya dengan kekuatan sendiri, mencari pertolongan kepada manusia dan berharap kepadanya. Bahkan ketika mengalami jalan buntu kita menempuh cara instan, lari kepada dukun, orang pintar dan ilah-ilah lain. Jika kita mau selamat jangan sekali-kali melakukan hal itu, sebab Tuhan sangat menentang orang-orang yang demikian. "Terkutuklah orang yang mengandalkan manusia, yang mengandalkan kekuatannya sendiri, dan yang hatinya menjauh dari pada TUHAN! Ia akan seperti semak bulus di padang belantara, ia tidak akan mengalami datangnya keadaan baik; ia akan tinggal di tanah angus di padang gurun, di negeri padang asin yang tidak berpenduduk." (Yeremia 17:5). Orang yang mengandalkan sesamanya disebut sebagai orang yang terkutuk.
Tetapi orang yang mengandalkan Tuhan dalam segala hal akan menerima berkat dan segala yang baik dari Tuhan. "Ia akan seperti pohon yang ditanam di tepi air, yang merambatkan akar-akarnya ke tepi batang air, dan yang tidak mengalami datangnya panas terik, yang daunnya tetap hijau, yang tidak kuatir dalam tahun kering, dan yang tidak berhenti menghasilkan buah." (Yeremia 17:8). Juga tidak sedikit orang yang mempercayakan hidupnya kepada harta kekayaan. Ada tertulis: "Pada hari kemurkaan harta tidak berguna, tetapi kebenaran melepaskan orang dari maut." (Amsal 11:4), artinya harta kekayaan dunia ini tidak bisa menolong dan menyelamatkan kita.
3. Belajar hidup takut akan Tuhan dan menghormati Dia. Orang akan takut akan Tuhan dan menghormati Dia saat sadar akan keterbatasannya. Milikilah hati yang takut akan Tuhan dan hormati Dia melalui ketaatan kita melakukan firman-Nya, sebab hidup kita benar-benar bergantung kepada perkataan Tuhan dan firman-Nya. Kita benar-benar tidak berkuasa menentukan jalan dan langkah hidup kita (baca Yeremia 10:23).
Takutlah akan Tuhan dan akuilah Dia sebagai segala-galanya, karena hanya Dia yang tak terbatas.
Baca: Mazmur 74:1-23
"Engkaulah yang menetapkan segala batas bumi, musim kemarau dan musim hujan Engkaulah yang membuat-Nya." Mazmur 74:17
Melalui keterbatasan-keterbatasan yang ada Tuhan juga hendak mengajarkan kita untuk: 2. Tidak berharap dan mengandalkan sesamanya. Ketika mengalami masalah, besar atau kecil, seringkali kita berusaha mengatasinya dengan kekuatan sendiri, mencari pertolongan kepada manusia dan berharap kepadanya. Bahkan ketika mengalami jalan buntu kita menempuh cara instan, lari kepada dukun, orang pintar dan ilah-ilah lain. Jika kita mau selamat jangan sekali-kali melakukan hal itu, sebab Tuhan sangat menentang orang-orang yang demikian. "Terkutuklah orang yang mengandalkan manusia, yang mengandalkan kekuatannya sendiri, dan yang hatinya menjauh dari pada TUHAN! Ia akan seperti semak bulus di padang belantara, ia tidak akan mengalami datangnya keadaan baik; ia akan tinggal di tanah angus di padang gurun, di negeri padang asin yang tidak berpenduduk." (Yeremia 17:5). Orang yang mengandalkan sesamanya disebut sebagai orang yang terkutuk.
Tetapi orang yang mengandalkan Tuhan dalam segala hal akan menerima berkat dan segala yang baik dari Tuhan. "Ia akan seperti pohon yang ditanam di tepi air, yang merambatkan akar-akarnya ke tepi batang air, dan yang tidak mengalami datangnya panas terik, yang daunnya tetap hijau, yang tidak kuatir dalam tahun kering, dan yang tidak berhenti menghasilkan buah." (Yeremia 17:8). Juga tidak sedikit orang yang mempercayakan hidupnya kepada harta kekayaan. Ada tertulis: "Pada hari kemurkaan harta tidak berguna, tetapi kebenaran melepaskan orang dari maut." (Amsal 11:4), artinya harta kekayaan dunia ini tidak bisa menolong dan menyelamatkan kita.
3. Belajar hidup takut akan Tuhan dan menghormati Dia. Orang akan takut akan Tuhan dan menghormati Dia saat sadar akan keterbatasannya. Milikilah hati yang takut akan Tuhan dan hormati Dia melalui ketaatan kita melakukan firman-Nya, sebab hidup kita benar-benar bergantung kepada perkataan Tuhan dan firman-Nya. Kita benar-benar tidak berkuasa menentukan jalan dan langkah hidup kita (baca Yeremia 10:23).
Takutlah akan Tuhan dan akuilah Dia sebagai segala-galanya, karena hanya Dia yang tak terbatas.
Tuesday, November 25, 2014
SEGALA SESUATU ADA BATASNYA (1)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 25 November 2014
Baca: Mazmur 104:1-9
"Batas Kautentukan, takkan mereka lewati, takkan kembali mereka menyelubungi bumi." mazmur 104:9
Setinggi-tingginya langit pasti ada batasnya, selebar-lebarnya daratan ada batasnya, sedalam-dalamnya lautan dan samudra juga ada batasnya, juga luasnya bumi ada batasnya. Tak terkecuali dengan manusia, ia memiliki kekuatan dan kemampuan yang sangat terbatas, termasuk umur dan masa hidup pun ada batasnya. Semua hanya tinggal menunggu giliran waktu saja, "...seperti suatu giliran jaga di waktu malam." (Mazmur 90:4). Hal ini disadari oleh Musa: "Masa hidup kami tujuh puluh tahun dan jika kami kuat, delapan puluh tahun, dan kebanggaannya adalah kesukaran dan penderitaan; sebab berlalunya buru-buru, dan kami melayang lenyap." (Mazmur 90:10).
Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa untuk segala sesuatu yang ada di dunia ini memang ada batasnya. Pengkotbah pun menyatakan, "Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya." (Pengkhotbah 3:1). Siapakah yang membatasi semua yang ada di bawah langit ini? Ialah Tuhan, tiada yang lain, karena Dia adalah "...Allah segala allah dan Tuhan segala tuhan, Allah yang besar, kuat dan dahsyat," (Ulangan 10:17). Sungguh, Dia adalah Tuhan yang tiada tandingan-Nya, Ia lebih besar dari apa pun dan siapa pun. Jadi jika kita menyadari bahwa segala sesuatu ada batasnya, maka kita harus: 1. Belajar bergantung penuh kepada Tuhan, percaya kepada-Nya dan mengandalkan Dia dalam segala hal. Siapakah kita ini sehingga tidak hidup bergantung kepada Tuhan, melupakan Dia dan lebih mengandalkan kekuatan, kemampuan dan kepintaran diri sendiri? Seringkali kita merasa diri hebat, pintar, bijak dan mampu. Ingatlah kita ini hanyalah debu (Kejadian 3:19), tak lebih daripada embusan nafas (Yesaya 2:22), dan "seperti rumput yang bertumbuh, di waktu pagi berkembang dan bertumbuh, di waktu petang lisut dan layu." (Mazmur 90:5-6).
Jadi, "Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu. Janganlah engkau menganggap dirimu sendiri bijak," (Amsal 3:5-7). Yesus berkata, "...di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa." (Yohanes 15:5b).
Jika demikian, masihkah kita membangga-banggakan diri sendiri?
Baca: Mazmur 104:1-9
"Batas Kautentukan, takkan mereka lewati, takkan kembali mereka menyelubungi bumi." mazmur 104:9
Setinggi-tingginya langit pasti ada batasnya, selebar-lebarnya daratan ada batasnya, sedalam-dalamnya lautan dan samudra juga ada batasnya, juga luasnya bumi ada batasnya. Tak terkecuali dengan manusia, ia memiliki kekuatan dan kemampuan yang sangat terbatas, termasuk umur dan masa hidup pun ada batasnya. Semua hanya tinggal menunggu giliran waktu saja, "...seperti suatu giliran jaga di waktu malam." (Mazmur 90:4). Hal ini disadari oleh Musa: "Masa hidup kami tujuh puluh tahun dan jika kami kuat, delapan puluh tahun, dan kebanggaannya adalah kesukaran dan penderitaan; sebab berlalunya buru-buru, dan kami melayang lenyap." (Mazmur 90:10).
Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa untuk segala sesuatu yang ada di dunia ini memang ada batasnya. Pengkotbah pun menyatakan, "Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya." (Pengkhotbah 3:1). Siapakah yang membatasi semua yang ada di bawah langit ini? Ialah Tuhan, tiada yang lain, karena Dia adalah "...Allah segala allah dan Tuhan segala tuhan, Allah yang besar, kuat dan dahsyat," (Ulangan 10:17). Sungguh, Dia adalah Tuhan yang tiada tandingan-Nya, Ia lebih besar dari apa pun dan siapa pun. Jadi jika kita menyadari bahwa segala sesuatu ada batasnya, maka kita harus: 1. Belajar bergantung penuh kepada Tuhan, percaya kepada-Nya dan mengandalkan Dia dalam segala hal. Siapakah kita ini sehingga tidak hidup bergantung kepada Tuhan, melupakan Dia dan lebih mengandalkan kekuatan, kemampuan dan kepintaran diri sendiri? Seringkali kita merasa diri hebat, pintar, bijak dan mampu. Ingatlah kita ini hanyalah debu (Kejadian 3:19), tak lebih daripada embusan nafas (Yesaya 2:22), dan "seperti rumput yang bertumbuh, di waktu pagi berkembang dan bertumbuh, di waktu petang lisut dan layu." (Mazmur 90:5-6).
Jadi, "Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu. Janganlah engkau menganggap dirimu sendiri bijak," (Amsal 3:5-7). Yesus berkata, "...di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa." (Yohanes 15:5b).
Jika demikian, masihkah kita membangga-banggakan diri sendiri?
Monday, November 24, 2014
ORANG KAYA: Sukar Masuk Sorga (2)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 24 November 2014
Baca: Markus 10:17-27
"...pergilah, juallah apa yang kaumiliki dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku." Markus 10:21
Alkitab dengan tegas menyatakan: "Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri." (Efesus 2:8). Kita diselamatkan bukan karena usaha kita melainkan karena kasih karunia "...yang telah dikaruniakan kepada kita dalam Kristus Yesus..." (2 Timotius 1:9). Tuhan Yesus adalah satu-satunya jalan keselamatan, tidak ada yang lain, sebab "...keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan." (Kisah 4:12). Jadi untuk memperoleh kehidupan kekal syarat utamanya adalah percaya kepada Tuhan Yesus dan mengikut Dia.
Tuhan Yesus berkata, "Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku." (Markus 8:34). Artinya kita harus menempatkan Tuhan Yesus sebagai prioritas utama dalam hidup kita, mengasihi Dia lebih dari segala yang kita miliki, termasuk harta kekayaan kita. Jadi, benarkah orang kaya itu mengasihi Tuhan lebih dari segalanya? Karena untuk mengikut Tuhan ada harga yang harus dibayar, yaitu penyangkalan diri. Menyangkal diri terhadap segala kenyamanan, kesenangan, hobi, kedudukan, popularitas dan juga kekayaan. Ketika Tuhan Yesus memerintahkan orang kaya itu untuk menjual segala yang dimiliki dan membagikannya kepada orang-orang miskin, "...ia menjadi kecewa, lalu pergi dengan sedih, sebab banyak hartanya." (Markus 10:22). Terbukti jelas bahawa orang kaya itu lebih mengasihi hartanya dari pada mengasihi Tuhan. Hatinya telah terpaut kepada harta kekayaannya. Ia tidak bisa menuruti perintah Tuhan Yesus karena satu hal, yaitu harta kekayaannya.
Sungguh benar, "...di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada." (Matius 6:21). Harta kekayaan ternyata bisa menjadi penghalang bagi seseorang untuk mengasihi Tuhan; dan semakin hati kita berpaut kepada harta, Kerajaan Sorga semakin jauh dari kita!
"Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya?" Matius 16:26
Baca: Markus 10:17-27
"...pergilah, juallah apa yang kaumiliki dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku." Markus 10:21
Alkitab dengan tegas menyatakan: "Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri." (Efesus 2:8). Kita diselamatkan bukan karena usaha kita melainkan karena kasih karunia "...yang telah dikaruniakan kepada kita dalam Kristus Yesus..." (2 Timotius 1:9). Tuhan Yesus adalah satu-satunya jalan keselamatan, tidak ada yang lain, sebab "...keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan." (Kisah 4:12). Jadi untuk memperoleh kehidupan kekal syarat utamanya adalah percaya kepada Tuhan Yesus dan mengikut Dia.
Tuhan Yesus berkata, "Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku." (Markus 8:34). Artinya kita harus menempatkan Tuhan Yesus sebagai prioritas utama dalam hidup kita, mengasihi Dia lebih dari segala yang kita miliki, termasuk harta kekayaan kita. Jadi, benarkah orang kaya itu mengasihi Tuhan lebih dari segalanya? Karena untuk mengikut Tuhan ada harga yang harus dibayar, yaitu penyangkalan diri. Menyangkal diri terhadap segala kenyamanan, kesenangan, hobi, kedudukan, popularitas dan juga kekayaan. Ketika Tuhan Yesus memerintahkan orang kaya itu untuk menjual segala yang dimiliki dan membagikannya kepada orang-orang miskin, "...ia menjadi kecewa, lalu pergi dengan sedih, sebab banyak hartanya." (Markus 10:22). Terbukti jelas bahawa orang kaya itu lebih mengasihi hartanya dari pada mengasihi Tuhan. Hatinya telah terpaut kepada harta kekayaannya. Ia tidak bisa menuruti perintah Tuhan Yesus karena satu hal, yaitu harta kekayaannya.
Sungguh benar, "...di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada." (Matius 6:21). Harta kekayaan ternyata bisa menjadi penghalang bagi seseorang untuk mengasihi Tuhan; dan semakin hati kita berpaut kepada harta, Kerajaan Sorga semakin jauh dari kita!
"Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya?" Matius 16:26
Sunday, November 23, 2014
ORANG KAYA: Sukar Masuk Sorga (1)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 23 November 2014
Baca: Markus 10:17-27
"Alangkah sukarnya orang yang beruang masuk ke dalam Kerajaan Allah." Markus 10:23
Judul perikop hari ini orang kaya yang sukar masuk sorga. Adakah yang salah dengan orang kaya? Ataukah kita harus menjadi miskin dahulu supaya layak masuk sorga?
Perhatikan kebenaran firman Tuhan ini. Markus menceritakan, ketika mendengar Yesus sedang lewat dalam rangka tour pelayanan-Nya, segerlah seorang kaya menyongsong Yesus, ia "...berlari-lari mendapatkan Dia dan sambil bertelut di hadapan-Nya" (ayat 17). Dari tindakannya, orang kaya ini menunjukkan kesungguhannya untuk bertemu Yesus dan memiliki kerendahan hati. Umumnya orang kaya memiliki sifat sombong/tinggi hati, ia pasti tidak akan mau berlari menyambut Tuhan Yesus, apalagi sampai berlutut di bawah kakinya, semata-mata demi menjaga gengsi atau pamornya.
Mari kita bandingkan dalam Matius 19:16-28 yang menyebutkan bahwa orang kaya itu masih berusia muda. Bukan hanya itu, ia juga orang yang sangat rohani, terbukti dari ketaatannya melakukan hukum Taurat. "Semuanya itu telah kuturuti, apa lagi yang masih kurang?" (Matius 19:20). Sedangkan di dalam Lukas 18:18-27 dicatat bahwa selain kaya, ia adalah seorang pemimpin rohani atau dengan kata lain orang yang sudah melayani pekerjaan Tuhan. Perihal melakukan hukum Taurat sudah tidak perlu diragukan lagi. "Semuanya itu telah kuturuti sejak masa mudaku." (Lukas 18:21). Orang yang demikian sepertinya sudah jarang ditemukan di zaman sekarang ini. Itulah sebabnya ia sangat percaya diri bahwa kelak ia pasti masuk ke dalam Kerajaan Sorga. Mengapa? Karena orang-orang Yahudi di zaman Tuhan Yesus memiliki alasan kuat yaitu mereka memiliki garis keturunan secara langsung dari bapa leluhurnya, Abraham. Mereka juga taat melakukan hukum Taurat sebagai tradisi turun-temurun.
Itulah sebabnya ketika bertemu dengan Tuhan Yesus orang muda ini memanfaatkan momen secara tepat untuk mengajukan pertanyaan kepada-Nya: "Guru yang baik, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?" (Markus 10:17; Matius 19:16; Lukas 18:18). Di balik pertanyaan tersebut sesungguhnya orang kaya tersebut hendak mencari konfirmasi bahwa apa yang sudah diperbuatnya itu pasti berkenan kepada Tuhan dan menjaminnya masuk Kerajaan Sorga. Benarkah demikian?
Baca: Markus 10:17-27
"Alangkah sukarnya orang yang beruang masuk ke dalam Kerajaan Allah." Markus 10:23
Judul perikop hari ini orang kaya yang sukar masuk sorga. Adakah yang salah dengan orang kaya? Ataukah kita harus menjadi miskin dahulu supaya layak masuk sorga?
Perhatikan kebenaran firman Tuhan ini. Markus menceritakan, ketika mendengar Yesus sedang lewat dalam rangka tour pelayanan-Nya, segerlah seorang kaya menyongsong Yesus, ia "...berlari-lari mendapatkan Dia dan sambil bertelut di hadapan-Nya" (ayat 17). Dari tindakannya, orang kaya ini menunjukkan kesungguhannya untuk bertemu Yesus dan memiliki kerendahan hati. Umumnya orang kaya memiliki sifat sombong/tinggi hati, ia pasti tidak akan mau berlari menyambut Tuhan Yesus, apalagi sampai berlutut di bawah kakinya, semata-mata demi menjaga gengsi atau pamornya.
Mari kita bandingkan dalam Matius 19:16-28 yang menyebutkan bahwa orang kaya itu masih berusia muda. Bukan hanya itu, ia juga orang yang sangat rohani, terbukti dari ketaatannya melakukan hukum Taurat. "Semuanya itu telah kuturuti, apa lagi yang masih kurang?" (Matius 19:20). Sedangkan di dalam Lukas 18:18-27 dicatat bahwa selain kaya, ia adalah seorang pemimpin rohani atau dengan kata lain orang yang sudah melayani pekerjaan Tuhan. Perihal melakukan hukum Taurat sudah tidak perlu diragukan lagi. "Semuanya itu telah kuturuti sejak masa mudaku." (Lukas 18:21). Orang yang demikian sepertinya sudah jarang ditemukan di zaman sekarang ini. Itulah sebabnya ia sangat percaya diri bahwa kelak ia pasti masuk ke dalam Kerajaan Sorga. Mengapa? Karena orang-orang Yahudi di zaman Tuhan Yesus memiliki alasan kuat yaitu mereka memiliki garis keturunan secara langsung dari bapa leluhurnya, Abraham. Mereka juga taat melakukan hukum Taurat sebagai tradisi turun-temurun.
Itulah sebabnya ketika bertemu dengan Tuhan Yesus orang muda ini memanfaatkan momen secara tepat untuk mengajukan pertanyaan kepada-Nya: "Guru yang baik, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?" (Markus 10:17; Matius 19:16; Lukas 18:18). Di balik pertanyaan tersebut sesungguhnya orang kaya tersebut hendak mencari konfirmasi bahwa apa yang sudah diperbuatnya itu pasti berkenan kepada Tuhan dan menjaminnya masuk Kerajaan Sorga. Benarkah demikian?
Saturday, November 22, 2014
HARTA KEKAYAAN: Bersumber dari Tuhan
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 22 November 2014
Baca: Ulangan 8:11-20
"Tetapi haruslah engkau ingat kepada TUHAN, Allahmu, sebab Dialah yang memberikan kepadamu kekuatan untuk memperoleh kekayaan, dengan maksud meneguhkan perjanjian yang diikrarkan-Nya dengan sumpah kepada nenek moyangmu, seperti sekarang ini." Ulangan 8:18
Penting sekali kita sadari bahwa Tuhan adalah pemilik dan pemberi segala kekayaan. "Sebab kekayaan dan kemuliaan berasal dari pada-Mu dan Engkaulah yang berkuasa atas segala-galanya; dalam tangan-Mulah kekuatan dan kejayaan; dalam tangan-Mulah kuasa membesarkan dan mengokohkan segala-galanya." (1 Tawarikh 29:12).
Tuhan memberikan kita segala sesuatu dengan tujuan untuk kebaikan kita, sebab pemberian yang baik dan sempurna pasti datangnya dari Tuhan. Tuhan tidak pernah memberikan sesuatu yang jahat kepada anak-anak-Nya. Namun penggunaan dan pemanfaatan harta kekayaan dengan cara yang salahlah yang dapat merusak hidup kita dan sesama, bukan harta kekayaan itu sendiri. Sering terjadi ketika seseorang diberkati Tuhan secara melimpah ia tidak semakin dekat kepada Tuhan dan mengasihi-Nya, malah makin menjauh dan meninggalkan Tuhan. Acapkali harta kekayaan juga membuat kita kurang berserah kepada Tuhan. Harta kekayaan begitu memikat hati dan teramat penting, dan akhirnya menjadi 'tuan' yang baru, melebihi Tuhan yang adalah pemberi berkat. "Tak seorangpun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon." (Matius 6:24). Inilah yang membawa seseorang kepada kehancuran dan kebinasaan kekal.
Kalau kita menyadari kesia-siaan harta kekayaan, kita tidak akan menjadikannya sebagai tujuan hidup, sandaran hidup dan tuan dalam hidup ini. Sebaliknya kita akan menempatkan Tuhan sebagai segala-galanya bagi kita, karena Dialah harta yang sesungguhnya. "Siapa gerangan ada padaku di sorga selain Engkau? Selain Engkau tidak ada yang kuingini di bumi." (Mazmur 73:25). Mari berkomitmen menggunakan berkat Tuhan tersebut bukan untuk diri sendiri, melainkan untuk memberkati orang lain dan melayani Tuhan.
"Muliakanlah TUHAN dengan hartamu..." Amsal 3:9
Baca: Ulangan 8:11-20
"Tetapi haruslah engkau ingat kepada TUHAN, Allahmu, sebab Dialah yang memberikan kepadamu kekuatan untuk memperoleh kekayaan, dengan maksud meneguhkan perjanjian yang diikrarkan-Nya dengan sumpah kepada nenek moyangmu, seperti sekarang ini." Ulangan 8:18
Penting sekali kita sadari bahwa Tuhan adalah pemilik dan pemberi segala kekayaan. "Sebab kekayaan dan kemuliaan berasal dari pada-Mu dan Engkaulah yang berkuasa atas segala-galanya; dalam tangan-Mulah kekuatan dan kejayaan; dalam tangan-Mulah kuasa membesarkan dan mengokohkan segala-galanya." (1 Tawarikh 29:12).
Tuhan memberikan kita segala sesuatu dengan tujuan untuk kebaikan kita, sebab pemberian yang baik dan sempurna pasti datangnya dari Tuhan. Tuhan tidak pernah memberikan sesuatu yang jahat kepada anak-anak-Nya. Namun penggunaan dan pemanfaatan harta kekayaan dengan cara yang salahlah yang dapat merusak hidup kita dan sesama, bukan harta kekayaan itu sendiri. Sering terjadi ketika seseorang diberkati Tuhan secara melimpah ia tidak semakin dekat kepada Tuhan dan mengasihi-Nya, malah makin menjauh dan meninggalkan Tuhan. Acapkali harta kekayaan juga membuat kita kurang berserah kepada Tuhan. Harta kekayaan begitu memikat hati dan teramat penting, dan akhirnya menjadi 'tuan' yang baru, melebihi Tuhan yang adalah pemberi berkat. "Tak seorangpun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon." (Matius 6:24). Inilah yang membawa seseorang kepada kehancuran dan kebinasaan kekal.
Kalau kita menyadari kesia-siaan harta kekayaan, kita tidak akan menjadikannya sebagai tujuan hidup, sandaran hidup dan tuan dalam hidup ini. Sebaliknya kita akan menempatkan Tuhan sebagai segala-galanya bagi kita, karena Dialah harta yang sesungguhnya. "Siapa gerangan ada padaku di sorga selain Engkau? Selain Engkau tidak ada yang kuingini di bumi." (Mazmur 73:25). Mari berkomitmen menggunakan berkat Tuhan tersebut bukan untuk diri sendiri, melainkan untuk memberkati orang lain dan melayani Tuhan.
"Muliakanlah TUHAN dengan hartamu..." Amsal 3:9
Friday, November 21, 2014
HARTA KEKAYAAN: Bukanlah Sandaran Hidup
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 21 November 2014
Baca: 1 Timotius 6:17-21
"Peringatkanlah kepada orang-orang kaya di dunia ini agar mereka jangan tinggi hati dan jangan berharap pada sesuatu yang tak tentu seperti kekayaan, melainkan pada Allah yang dalam kekayaan-Nya memberikan kepada kita segala sesuatu untuk dinikmati." 1 Timotius 6:17
Kerinduan Tuhan adalah memberkati umat-Nya sebagaimana yang Ia katakan, "Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan." (Yohanes 10:10b). Dengan berkat yang Ia curahkan Tuhan menghendaki anak-anakNya hidup dalam kebahagiaan, dipenuhi ucapan syukur dan tidak melupakan kebaikan-Nya. "Kecaplah dan lihatlah, betapa baiknya TUHAN itu!" (Mazmur 34:9a). Kata kecaplah (Ibrani, ta'am) artinya merasakan. Sedangkan kata lihatlah (Ibrani, ra'ah) artinya memperhatikan atau memeriksa. Daud mengingatkan agar setiap kita senantiasa mengingat dan memperhatikan kebaikan-kebaikan yang telah kita terima dan rasakan.
Adapun kebaikan Tuhan itu tidak pernah habis dan tak berkesudahan, bahkan "...selalu baru tiap pagi; besar kesetiaan-Mu!" (Ratapan 3:22-23). Jadi berkat Tuhan adalah untuk dinikmati sehingga kita merasakan bahagia dan sukacita. "Setiap orang yang dikaruniai Allah kekayaan dan harta benda dan kuasa untuk menikmatinya, untuk menerima bahagiannya, dan untuk bersukacita dalam jerih payahnya--juga itupun karunia Allah." (Pengkotbah 5:18). Namun seringkali harta kekayaan yang melimpah justru menjadi bumerang bagi banyak orang. Mengapa? Karena mereka memiliki sikap yang salah dalam 'memperlakukan' harta kekayaan tersebut. Mereka telah menempatkan harta atau kekayaan sebagai sandaran hidup, mereka "...percaya akan harta bendanya, dan memegahkan diri dengan banyaknya kekayaan mereka..." (Mazmur 49:7). Harta kekayaan yang telah mereka jadikan ilah baru menggantikan posisi Tuhan, yang sesungguhnya adalah Sang pemberi berkat.
Alkitab menegaskan bahwa harta kekayaan adalah sesuatu yang tidak pasti dan sewaktu-waktu bisa lenyap. "Kalau engkau mengamat-amatinya, lenyaplah ia, karena tiba-tiba ia bersayap, lalu terbang ke angkasa seperti rajawali." (Amsal 23:5).
Adalah sia-sia jika seseorang menyandarkan hidupnya kepada harta kekayaan, "Karena harta benda tidaklah abadi." (Amsal 27:24a) dan tidak dapat menyelamatkan!
Baca: 1 Timotius 6:17-21
"Peringatkanlah kepada orang-orang kaya di dunia ini agar mereka jangan tinggi hati dan jangan berharap pada sesuatu yang tak tentu seperti kekayaan, melainkan pada Allah yang dalam kekayaan-Nya memberikan kepada kita segala sesuatu untuk dinikmati." 1 Timotius 6:17
Kerinduan Tuhan adalah memberkati umat-Nya sebagaimana yang Ia katakan, "Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan." (Yohanes 10:10b). Dengan berkat yang Ia curahkan Tuhan menghendaki anak-anakNya hidup dalam kebahagiaan, dipenuhi ucapan syukur dan tidak melupakan kebaikan-Nya. "Kecaplah dan lihatlah, betapa baiknya TUHAN itu!" (Mazmur 34:9a). Kata kecaplah (Ibrani, ta'am) artinya merasakan. Sedangkan kata lihatlah (Ibrani, ra'ah) artinya memperhatikan atau memeriksa. Daud mengingatkan agar setiap kita senantiasa mengingat dan memperhatikan kebaikan-kebaikan yang telah kita terima dan rasakan.
Adapun kebaikan Tuhan itu tidak pernah habis dan tak berkesudahan, bahkan "...selalu baru tiap pagi; besar kesetiaan-Mu!" (Ratapan 3:22-23). Jadi berkat Tuhan adalah untuk dinikmati sehingga kita merasakan bahagia dan sukacita. "Setiap orang yang dikaruniai Allah kekayaan dan harta benda dan kuasa untuk menikmatinya, untuk menerima bahagiannya, dan untuk bersukacita dalam jerih payahnya--juga itupun karunia Allah." (Pengkotbah 5:18). Namun seringkali harta kekayaan yang melimpah justru menjadi bumerang bagi banyak orang. Mengapa? Karena mereka memiliki sikap yang salah dalam 'memperlakukan' harta kekayaan tersebut. Mereka telah menempatkan harta atau kekayaan sebagai sandaran hidup, mereka "...percaya akan harta bendanya, dan memegahkan diri dengan banyaknya kekayaan mereka..." (Mazmur 49:7). Harta kekayaan yang telah mereka jadikan ilah baru menggantikan posisi Tuhan, yang sesungguhnya adalah Sang pemberi berkat.
Alkitab menegaskan bahwa harta kekayaan adalah sesuatu yang tidak pasti dan sewaktu-waktu bisa lenyap. "Kalau engkau mengamat-amatinya, lenyaplah ia, karena tiba-tiba ia bersayap, lalu terbang ke angkasa seperti rajawali." (Amsal 23:5).
Adalah sia-sia jika seseorang menyandarkan hidupnya kepada harta kekayaan, "Karena harta benda tidaklah abadi." (Amsal 27:24a) dan tidak dapat menyelamatkan!
Thursday, November 20, 2014
HARTA KEKAYAAN: Bukan Sumber Kebahagiaan
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 20 November 2014
Baca: Pengkotbah 8:9-17
"...orang yang takut akan Allah akan beroleh kebahagiaan, sebab mereka takut terhadap hadirat-Nya." Pengkotbah 8:12
Pada tanggal 11 Agustus 2014 lalu dunia hiburan dikejutkan dengan kematian tragis Robin Williams, aktor terkenal Hollywood. Spekulasi pun bermunculan terkait penyebab sang aktor mengakhiri hidupnya. Ada gosip yang menyebutkan bahwa aktor yang tewas di usia 63 tahun itu frustasi karena kecanduan narkoba. Spekulasi lain mengungkapkan bahwa aktor yang berperan dalam film Jumanji ini beberapan bulan belakangan sedang mengalami krisis keuangan. Menurut salah seorang sumber, Robin Williams pernah curhat kepada teman dekatnya bahwa ia sedang collapse sehingga ia merasa sangat khawatir dengan masa depan dan kebahagiaan keluarganya.
Kebahagiaan adalah tujuan terbesar dalam hidup manusia. Banyak orang berpikir bahwa uang dan kekayaan adalah sumber kebahagiaan itu, karenanya mereka menggantungkan hidupnya kepada uang dan kekayaan. Akhirnya, "...di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada." (Matius 6:21). Benarkah demikian? Dengan uang kita dapat membeli tiket pesawat untuk bisa bepergian menjelajah belahan bumi mana pun, tapi dapatkan uang menjamin keselamatan dan melindungi kita dalam perjalanan? Bila isi kantong kita tebal, alias punya uang, kita pun dapat membeli makanan apa saja, mulai yang dijual di warteg sampai di restoran yang berkelas, tetapi uang tidak akan pernah sanggup membeli rasa nikmat itu sendiri. Dengan uang yang kita miliki kita bisa saja membeli obat semahal apapun, tapi uang tidak dapat membeli kesehatan. Semua ini membuktikan bahwa keselamatan, kebahagiaan, ketenangan, sukacita dan damai sejahtera tidak dapat dibeli dengan uang atau digantikan dengan kekayaan.
Euripides, salah satu dari tiga penulis drama tragedi terbaik di Athena klasik, mengatakan, "Mengenai uang, tidak ada seorang pun yang merasa bahagia karena kecukupan uang, hingga mereka meninggal dunia." Riset membuktikan: banyak orang kaya dan terkenal berlimpah uang dan kekayaan, namun hatinya tetap saja kosong, hampa dan tidak bahagia, bahkan mereka menjadi sangat frustasi sampai-sampai nekat mengakhiri hidupnya. Ternyata, uang dan kekayaan bukanlah segala-galanya!
Kebahagiaan sejati hanya kita dapatkan di dalam Tuhan Yesus!
Baca: Pengkotbah 8:9-17
"...orang yang takut akan Allah akan beroleh kebahagiaan, sebab mereka takut terhadap hadirat-Nya." Pengkotbah 8:12
Pada tanggal 11 Agustus 2014 lalu dunia hiburan dikejutkan dengan kematian tragis Robin Williams, aktor terkenal Hollywood. Spekulasi pun bermunculan terkait penyebab sang aktor mengakhiri hidupnya. Ada gosip yang menyebutkan bahwa aktor yang tewas di usia 63 tahun itu frustasi karena kecanduan narkoba. Spekulasi lain mengungkapkan bahwa aktor yang berperan dalam film Jumanji ini beberapan bulan belakangan sedang mengalami krisis keuangan. Menurut salah seorang sumber, Robin Williams pernah curhat kepada teman dekatnya bahwa ia sedang collapse sehingga ia merasa sangat khawatir dengan masa depan dan kebahagiaan keluarganya.
Kebahagiaan adalah tujuan terbesar dalam hidup manusia. Banyak orang berpikir bahwa uang dan kekayaan adalah sumber kebahagiaan itu, karenanya mereka menggantungkan hidupnya kepada uang dan kekayaan. Akhirnya, "...di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada." (Matius 6:21). Benarkah demikian? Dengan uang kita dapat membeli tiket pesawat untuk bisa bepergian menjelajah belahan bumi mana pun, tapi dapatkan uang menjamin keselamatan dan melindungi kita dalam perjalanan? Bila isi kantong kita tebal, alias punya uang, kita pun dapat membeli makanan apa saja, mulai yang dijual di warteg sampai di restoran yang berkelas, tetapi uang tidak akan pernah sanggup membeli rasa nikmat itu sendiri. Dengan uang yang kita miliki kita bisa saja membeli obat semahal apapun, tapi uang tidak dapat membeli kesehatan. Semua ini membuktikan bahwa keselamatan, kebahagiaan, ketenangan, sukacita dan damai sejahtera tidak dapat dibeli dengan uang atau digantikan dengan kekayaan.
Euripides, salah satu dari tiga penulis drama tragedi terbaik di Athena klasik, mengatakan, "Mengenai uang, tidak ada seorang pun yang merasa bahagia karena kecukupan uang, hingga mereka meninggal dunia." Riset membuktikan: banyak orang kaya dan terkenal berlimpah uang dan kekayaan, namun hatinya tetap saja kosong, hampa dan tidak bahagia, bahkan mereka menjadi sangat frustasi sampai-sampai nekat mengakhiri hidupnya. Ternyata, uang dan kekayaan bukanlah segala-galanya!
Kebahagiaan sejati hanya kita dapatkan di dalam Tuhan Yesus!
Wednesday, November 19, 2014
MENABUR DI LADANG KEHIDUPAN (2)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 19 November 2014
Baca: Pengkotbah 11:1-8
"Siapa senantiasa memperhatikan angin tidak akan menabur; dan siapa senantiasa melihat awan tidak akan menuai." Pengkotbah 11:4
Keberadaan kita di dunia ini bukan untuk selamanya, tapi terbatas waktunya. Mari kita pergunakan untuk mengerjakan perkara-perkara yang baik dan berguna, sebab ketika kita menabur kemurahan hati, kasih dan empati, kelak kita akan menuai kebaikan, sebab "Orang yang murah hati berbuat baik kepada diri sendiri," (Amsal 11:7a).
Bila kita rindu diberkati Tuhan dengan "...kekayaan, kehormatan dan kehidupan." (Amsal 22:4), mari taburlah benih hati yang takut akan Tuhan dan kerendahan hati. Firman Tuhan menegaskan: "Dalam tiap jerih payah ada keuntungan," (Amsal 14:23). Yakinlah bahwa harga yang kita bayar untuk semua itu tidak akan pernah sia-sia! Sebaliknya bila yang kita tabur adalah benih-benih yang buruk dan tidak berkualitas, jangan menyalahkan orang lain apalagi sampai menyalahkan Tuhan ketika hal-hal buruk pula yang menghampiri kita. "Sebab barangsiapa menabur dalam dagingnya, ia akan menuai kebinasaan dari dagingnya, tetapi barangsiapa menabur dalam Roh, ia akan menuai hidup yang kekal dari Roh itu." (Galatia 6:8). Banyak pula di antara kita yang menunda-nunda waktu untuk menabur atau bahkan tidak mau menabur dengan berbagai alasan. Sama artinya kita ini orang yang malas. Kemalasan adalah salah satu hal yang membedakan orang berhasil dari orang gagal. Kelambanan dan kemalasan merupakan penyebab dari kegagalan, sebab orang yang malas suka sekali menyia-nyiakan waktu dan kesempatan yang ada. "Pada musim dingin si pemalas tidak membajak; jikalau ia mencari pada musim menuai, maka tidak ada apa-apa." (Amsal 20:4).
Mungkin saat menabur kita akan merasakan sakit yang tak terperi, tidak dianggap oleh orang lain, dan sepertinya si-sia apa yang telah kita perbuat. Perasaan yang sama juga pernah dirasakan oleh pemazmur, "Sia-sia sama sekali aku mempertahankan hati yang bersih, dan membasuh tanganku, tanda tak bersalah. Namun sepanjang hari aku kena tulah, dan kena hukum setiap pagi." (Mazmur 73:13-14). Tetapi Tuhan memberikan janji-Nya yang indah.
"Orang-orang yang menabur dengan mencucurkan air mata, akan menuai dengan bersorak-sorai." Mazmur 126:5
Baca: Pengkotbah 11:1-8
"Siapa senantiasa memperhatikan angin tidak akan menabur; dan siapa senantiasa melihat awan tidak akan menuai." Pengkotbah 11:4
Keberadaan kita di dunia ini bukan untuk selamanya, tapi terbatas waktunya. Mari kita pergunakan untuk mengerjakan perkara-perkara yang baik dan berguna, sebab ketika kita menabur kemurahan hati, kasih dan empati, kelak kita akan menuai kebaikan, sebab "Orang yang murah hati berbuat baik kepada diri sendiri," (Amsal 11:7a).
Bila kita rindu diberkati Tuhan dengan "...kekayaan, kehormatan dan kehidupan." (Amsal 22:4), mari taburlah benih hati yang takut akan Tuhan dan kerendahan hati. Firman Tuhan menegaskan: "Dalam tiap jerih payah ada keuntungan," (Amsal 14:23). Yakinlah bahwa harga yang kita bayar untuk semua itu tidak akan pernah sia-sia! Sebaliknya bila yang kita tabur adalah benih-benih yang buruk dan tidak berkualitas, jangan menyalahkan orang lain apalagi sampai menyalahkan Tuhan ketika hal-hal buruk pula yang menghampiri kita. "Sebab barangsiapa menabur dalam dagingnya, ia akan menuai kebinasaan dari dagingnya, tetapi barangsiapa menabur dalam Roh, ia akan menuai hidup yang kekal dari Roh itu." (Galatia 6:8). Banyak pula di antara kita yang menunda-nunda waktu untuk menabur atau bahkan tidak mau menabur dengan berbagai alasan. Sama artinya kita ini orang yang malas. Kemalasan adalah salah satu hal yang membedakan orang berhasil dari orang gagal. Kelambanan dan kemalasan merupakan penyebab dari kegagalan, sebab orang yang malas suka sekali menyia-nyiakan waktu dan kesempatan yang ada. "Pada musim dingin si pemalas tidak membajak; jikalau ia mencari pada musim menuai, maka tidak ada apa-apa." (Amsal 20:4).
Mungkin saat menabur kita akan merasakan sakit yang tak terperi, tidak dianggap oleh orang lain, dan sepertinya si-sia apa yang telah kita perbuat. Perasaan yang sama juga pernah dirasakan oleh pemazmur, "Sia-sia sama sekali aku mempertahankan hati yang bersih, dan membasuh tanganku, tanda tak bersalah. Namun sepanjang hari aku kena tulah, dan kena hukum setiap pagi." (Mazmur 73:13-14). Tetapi Tuhan memberikan janji-Nya yang indah.
"Orang-orang yang menabur dengan mencucurkan air mata, akan menuai dengan bersorak-sorai." Mazmur 126:5
Tuesday, November 18, 2014
MENABUR DI LADANG KEHIDUPAN (1)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 18 November 2014
Baca: Yakobus 1:12-18
"Setiap pemberian yang baik dan setiap anugerah yang sempurna, datangnya dari atas, diturunkan dari Bapa segala terang; pada-Nya tidak ada perubahan atau bayangan karena pertukaran." Yakobus 1:17
Setiap orang mempunyai 'ladang-ladang' dalam kehidupannya masing-masing, artinya setiap kita memiliki kesempatan yang sama untuk menabur benih sebanyak-banyaknya hingga pada saatnya kita akan menuai sesuai dengan apa yang kita tabur. Karena itu "Taburkanlah benihmu pagi-pagi hari, dan janganlah memberi istirahat kepada tanganmu pada petang hari, karena engkau tidak mengetahui apakah ini atau itu yang akan berhasil, atau kedua-duanya sama baik." (Pengkotbah 11:6).
Sudahkah kita menggarap ladang kita dengan sungguh-sungguh, ataukah kita biarkan terbengkalai dan ditumbuhi ilalang, semak duri dan rerumputan? Selagi ada waktu dan kesempatan jangan malas menggarap ladang kita. Mari mengerjakan ladang kita secara maksimal. "Segala sesuatu yang dijumpai tanganmu untuk dikerjakan, kerjakanlah itu sekuat tenaga, karena tak ada pekerjaan, pertimbangan, pengetahuan dan hikmat dalam dunia orang mati, ke mana engkau akan pergi." (Pengkotbah 9:10). Benih apa saja yang sudah kita tabur dan tanam di ladang kehidupan kita? Jika yang kita tanam adalah benih kejujuran, kita akan menuai berkat-berkat Tuhan. "...siapa yang jujur jalannya, keselamatan yang dari Allah akan Kuperlihatkan kepadanya." (Mazmur 50:23b). Tuhan bergaul erat dengan orang yang jujur (baca Amsal 3:32). Ketika kita menabur kesetiaan, maka kita akan menuai sebuah kepercayaan. Karena itu kerjakan segala sesuatu dengan setia, sebab kesetiaan terhadap perkara kecil adalah pintu gerbang menuju perkara yang lebih besar. Terhadap orang yang setia Tuhan berkata, "hai hambaku yang baik dan setia, engkau telah setia memikul tanggung jawab dalam perkara yang kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar." (Matius 25:23).
Apabila kita menabur benih ketekunan dalam hal apapun yang seharusnya kita kerjakan, pada saat yang tepat kita akan menuai upahnya. Tertulis: "Sebab kamu memerlukan ketekunan, supaya sesudah kamu melakukan kehendak Allah, kamu memperoleh apa yang dijanjikan itu." (Ibrani 10:36).
Benih apa yang kita tabur di ladang, akan menentukan tuaian kita!
Baca: Yakobus 1:12-18
"Setiap pemberian yang baik dan setiap anugerah yang sempurna, datangnya dari atas, diturunkan dari Bapa segala terang; pada-Nya tidak ada perubahan atau bayangan karena pertukaran." Yakobus 1:17
Setiap orang mempunyai 'ladang-ladang' dalam kehidupannya masing-masing, artinya setiap kita memiliki kesempatan yang sama untuk menabur benih sebanyak-banyaknya hingga pada saatnya kita akan menuai sesuai dengan apa yang kita tabur. Karena itu "Taburkanlah benihmu pagi-pagi hari, dan janganlah memberi istirahat kepada tanganmu pada petang hari, karena engkau tidak mengetahui apakah ini atau itu yang akan berhasil, atau kedua-duanya sama baik." (Pengkotbah 11:6).
Sudahkah kita menggarap ladang kita dengan sungguh-sungguh, ataukah kita biarkan terbengkalai dan ditumbuhi ilalang, semak duri dan rerumputan? Selagi ada waktu dan kesempatan jangan malas menggarap ladang kita. Mari mengerjakan ladang kita secara maksimal. "Segala sesuatu yang dijumpai tanganmu untuk dikerjakan, kerjakanlah itu sekuat tenaga, karena tak ada pekerjaan, pertimbangan, pengetahuan dan hikmat dalam dunia orang mati, ke mana engkau akan pergi." (Pengkotbah 9:10). Benih apa saja yang sudah kita tabur dan tanam di ladang kehidupan kita? Jika yang kita tanam adalah benih kejujuran, kita akan menuai berkat-berkat Tuhan. "...siapa yang jujur jalannya, keselamatan yang dari Allah akan Kuperlihatkan kepadanya." (Mazmur 50:23b). Tuhan bergaul erat dengan orang yang jujur (baca Amsal 3:32). Ketika kita menabur kesetiaan, maka kita akan menuai sebuah kepercayaan. Karena itu kerjakan segala sesuatu dengan setia, sebab kesetiaan terhadap perkara kecil adalah pintu gerbang menuju perkara yang lebih besar. Terhadap orang yang setia Tuhan berkata, "hai hambaku yang baik dan setia, engkau telah setia memikul tanggung jawab dalam perkara yang kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar." (Matius 25:23).
Apabila kita menabur benih ketekunan dalam hal apapun yang seharusnya kita kerjakan, pada saat yang tepat kita akan menuai upahnya. Tertulis: "Sebab kamu memerlukan ketekunan, supaya sesudah kamu melakukan kehendak Allah, kamu memperoleh apa yang dijanjikan itu." (Ibrani 10:36).
Benih apa yang kita tabur di ladang, akan menentukan tuaian kita!
Monday, November 17, 2014
SUKA MEMBERI AKAN BANYAK DIBERI
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 17 November 2014
Baca: 2 Korintus 9:6-15
"dan orang yang menabur banyak, akan menuai banyak juga." 2 Korintus 9:6
Di tengah persaingan hidup yang kian berat semua orang dituntut untuk berjuang keras demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Sudah wajar jika tiap orang melakukan tindakan ekonomi dan prinsip ekonomi supaya tetap survive.
Tindakan ekonomi adalah tindakan yang didorong oleh usaha memenuhi kebutuhan hidup dengan mempertimbangkan antara pengorbanan dan hasil, serta dapat melakukan pilihan yang tepat dalam memenuhi kebutuhan mana yang harus didahulukan dan yang sesuai dengan kemampuan. Sedangkan prinsip ekonomi dapat diartikan pengorbanan yang sekecil-kecilnya untuk mendapatkan hasil yang semaksimal mungkin. Kondisi inilah yang mendorong orang menghemat begitu rupa sehingga akan berpikir seribu kali bila hendak memberi. Hidup hemat, irit dan tidak boros bukanlah tindakan yang salah atau melanggar Alkitab. Tapi jika kita berhemat begitu rupa hingga menjadi orang kikir, pelit dan selalu hitung-hitungan bila hendak memberi adalah masalah besar! Sebab prinsip ekonomi sorga justru mengajarkan hal yang berbeda: "Adalah lebih berbahagia memberi dari pada menerima." (Kisah 20:35b). Seorang pujangga Kanada, Henry Drummond berkata, "Tidak ada kebahagiaan dalam memiliki atau mendapatkan, kebahagiaan hanya ada dalam memberi. " Alkitab menyatakan, "Ada yang menyebar harta, tetapi bertambah kaya, ada yang menghemat secara luar biasa, namun selalu berkekurangan. Siapa banyak memberi berkat, diberi kelimpahan, siapa memberi minum, ia sendiri akan diberi minum." (Amsal 11:24-25). Suka tidak suka kita harus mengikuti prinsip Alkitab. Ternyata untuk mengalami hidup berkelimpahan kita harus banyak memberi: "Berilah dan kamu akan diberi: suatu takaran yang baik, yang dipadatkan, yang digoncang dan yang tumpah ke luar akan dicurahkan ke dalam ribaanmu. Sebab ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu." (Lukas 6:38).
Jika kita menginginkan hasil panen yang berlimpah-limpah, tidak ada jalan lain selain menabur. Petani yang memiliki lahan luas sekali pun jika hanya menanam satu pohon saja di lahannya, sampai kapan pun hanya akan memanen sebanyak buah yang ada di pohon itu saja, tidak lebih.
Ingin diberkati Tuhan melimpah? Kuncinya adalah banyak memberi.
Baca: 2 Korintus 9:6-15
"dan orang yang menabur banyak, akan menuai banyak juga." 2 Korintus 9:6
Di tengah persaingan hidup yang kian berat semua orang dituntut untuk berjuang keras demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Sudah wajar jika tiap orang melakukan tindakan ekonomi dan prinsip ekonomi supaya tetap survive.
Tindakan ekonomi adalah tindakan yang didorong oleh usaha memenuhi kebutuhan hidup dengan mempertimbangkan antara pengorbanan dan hasil, serta dapat melakukan pilihan yang tepat dalam memenuhi kebutuhan mana yang harus didahulukan dan yang sesuai dengan kemampuan. Sedangkan prinsip ekonomi dapat diartikan pengorbanan yang sekecil-kecilnya untuk mendapatkan hasil yang semaksimal mungkin. Kondisi inilah yang mendorong orang menghemat begitu rupa sehingga akan berpikir seribu kali bila hendak memberi. Hidup hemat, irit dan tidak boros bukanlah tindakan yang salah atau melanggar Alkitab. Tapi jika kita berhemat begitu rupa hingga menjadi orang kikir, pelit dan selalu hitung-hitungan bila hendak memberi adalah masalah besar! Sebab prinsip ekonomi sorga justru mengajarkan hal yang berbeda: "Adalah lebih berbahagia memberi dari pada menerima." (Kisah 20:35b). Seorang pujangga Kanada, Henry Drummond berkata, "Tidak ada kebahagiaan dalam memiliki atau mendapatkan, kebahagiaan hanya ada dalam memberi. " Alkitab menyatakan, "Ada yang menyebar harta, tetapi bertambah kaya, ada yang menghemat secara luar biasa, namun selalu berkekurangan. Siapa banyak memberi berkat, diberi kelimpahan, siapa memberi minum, ia sendiri akan diberi minum." (Amsal 11:24-25). Suka tidak suka kita harus mengikuti prinsip Alkitab. Ternyata untuk mengalami hidup berkelimpahan kita harus banyak memberi: "Berilah dan kamu akan diberi: suatu takaran yang baik, yang dipadatkan, yang digoncang dan yang tumpah ke luar akan dicurahkan ke dalam ribaanmu. Sebab ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu." (Lukas 6:38).
Jika kita menginginkan hasil panen yang berlimpah-limpah, tidak ada jalan lain selain menabur. Petani yang memiliki lahan luas sekali pun jika hanya menanam satu pohon saja di lahannya, sampai kapan pun hanya akan memanen sebanyak buah yang ada di pohon itu saja, tidak lebih.
Ingin diberkati Tuhan melimpah? Kuncinya adalah banyak memberi.
Sunday, November 16, 2014
MEMAHAMI CARA TUHAN BEKERJA
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 16 November 2014
Baca: Yesaya 55:8-13
"Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN." Yesaya 55:8
Situasi dan kondisi sekitar kita seringkali membentuk sikap hati dan pikiran kita, bahkan turut menentukan besar kecilnya iman kita kepada Tuhan. Mengapa? Karena dengan melihat, ukuran yang kita pakai adalah sudut pandang manusia, sehingga pancaindera kita yang berbicara: ia mengendalikan sukacita kita, mengendalikan ketenangan kita, mengendalikan damai sejahtera kita, mengendalikan semangat dan motivasi kita. Akhirnya banyak orang Kristen menjalani hidupnya dengan letih lesu, keluh-kesah, persungutan, muram dan penuh omelan.
Hugh Downs (produser, penulis dan pembaca berita kenamaan Amerika) berkata, "Orang bahagia bukanlah orang pada lingkungan tertentu, melainkan pada sikap-sikap tertentu." Ketika menderita sakit parah kita menyerah dan putus asa; ketika rumah tangga goncang, hubungan suami-isteri tidak harmonis, secepat kilat kita memutuskan bercerai; ketika ekonomi sulit dan mengalami krisis kita pun berusaha mencari pertolongan kepada dunia, tidak peduli jalan itu sesat. Rasul Paulus mengingatkan seharusnya kita "...hidup karena percaya, bukan karena melihat..." (2 Korintus 5:7).
Selama fokus kita kepada apa yang terlihat oleh mata, maka kita akan menjalani hari-hari dengan penuh ketakutan, kekuatiran dan kecemasan. Ayub berkata, "...yang kutakutkan, itulah yang menimpa aku, dan yang kucemaskan, itulah yang mendatangi aku. Aku tidak mendapat ketenangan dan ketenteraman; aku tidak mendapat istirahat, tetapi kegelisahanlah yang timbul." (Ayub 3:25-26). Namun jika kita hidup karena percaya, maka kita akan memahami cara Tuhan bekerja. Dan cara Tuhan itu selalu heran dan ajaib. "Adakah sesuatu apapun yang mustahil untuk TUHAN?" (Kejadian 18:14a). Semakin kita memahami cara Tuhan bekerja, semakin kita berjalan dalam iman dan memiliki penyerahan diri penuh kepada-Nya. Dengan iman kita beroleh kemampuan Ilahi untuk melihat apa yang tidak sanggup dilihat oleh mata jasmani. Hal itu menjadikan kita tetap sabar dan terus bertekun menantikan-nantikan Tuhan.
Tuhan selalu punya cara untuk menolong kita, karena itu jangan batasi dengan logika kita!
Baca: Yesaya 55:8-13
"Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN." Yesaya 55:8
Situasi dan kondisi sekitar kita seringkali membentuk sikap hati dan pikiran kita, bahkan turut menentukan besar kecilnya iman kita kepada Tuhan. Mengapa? Karena dengan melihat, ukuran yang kita pakai adalah sudut pandang manusia, sehingga pancaindera kita yang berbicara: ia mengendalikan sukacita kita, mengendalikan ketenangan kita, mengendalikan damai sejahtera kita, mengendalikan semangat dan motivasi kita. Akhirnya banyak orang Kristen menjalani hidupnya dengan letih lesu, keluh-kesah, persungutan, muram dan penuh omelan.
Hugh Downs (produser, penulis dan pembaca berita kenamaan Amerika) berkata, "Orang bahagia bukanlah orang pada lingkungan tertentu, melainkan pada sikap-sikap tertentu." Ketika menderita sakit parah kita menyerah dan putus asa; ketika rumah tangga goncang, hubungan suami-isteri tidak harmonis, secepat kilat kita memutuskan bercerai; ketika ekonomi sulit dan mengalami krisis kita pun berusaha mencari pertolongan kepada dunia, tidak peduli jalan itu sesat. Rasul Paulus mengingatkan seharusnya kita "...hidup karena percaya, bukan karena melihat..." (2 Korintus 5:7).
Selama fokus kita kepada apa yang terlihat oleh mata, maka kita akan menjalani hari-hari dengan penuh ketakutan, kekuatiran dan kecemasan. Ayub berkata, "...yang kutakutkan, itulah yang menimpa aku, dan yang kucemaskan, itulah yang mendatangi aku. Aku tidak mendapat ketenangan dan ketenteraman; aku tidak mendapat istirahat, tetapi kegelisahanlah yang timbul." (Ayub 3:25-26). Namun jika kita hidup karena percaya, maka kita akan memahami cara Tuhan bekerja. Dan cara Tuhan itu selalu heran dan ajaib. "Adakah sesuatu apapun yang mustahil untuk TUHAN?" (Kejadian 18:14a). Semakin kita memahami cara Tuhan bekerja, semakin kita berjalan dalam iman dan memiliki penyerahan diri penuh kepada-Nya. Dengan iman kita beroleh kemampuan Ilahi untuk melihat apa yang tidak sanggup dilihat oleh mata jasmani. Hal itu menjadikan kita tetap sabar dan terus bertekun menantikan-nantikan Tuhan.
Tuhan selalu punya cara untuk menolong kita, karena itu jangan batasi dengan logika kita!
Saturday, November 15, 2014
MEMBALAS KASIH TUHAN: Hidup yang Berbuah
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 15 November 2014
Baca: Filipi 1:20-26
"Tetapi jika aku harus hidup di dunia ini, itu berarti bagiku bekerja memberi buah." Filipi 1:22a
Matius 20:28: "...Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani" Itulah sebabnya pikiran Kristus dipenuhi kerinduan untuk melayani jiwa-jiwa dengan penuh belas kasihan, artinya Ia selalu berbuat sesuatu untuk menyelamatkan orang lain, "Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu." (Matius 11:28).
Selain harus hidup dalam ketaatan, membalas kasih Tuhan yang teramat besar adalah melalui komitmen kita untuk hidup menghasilkan buah, seperti komitmen rasul Paulus, "...jika aku harus hidup di dunia ini, itu berarti bagiku bekerja memberi buah." Hidup yang berbuah menjadi berkat dan kesaksian bagi orang lain. Untuk bisa berbuah kita harus melekat kepada Tuhan Yesus, karena Dia adalah satu-satunya pokok anggur, tempat ranting-ranting dapat melekat dan berbuah. Melalui 'buah' yang dihasilkan, orang dunia akan melihat kita. "Jadi dari buahnyalah kamu akan mengenal mereka." (Matius 7:20). Jadi, "Dalam hal inilah Bapa-Ku dipermuliakan, yaitu jika kamu berbuah banyak dan dengan demikian kamu adalah murid-murid-Ku." (Yohanes 15:8). Buah apa saja yang harus kita hasilkan? 1. Buah Jiwa. Orang lain akan rindu mengenal Kristus lebih dalam karena dampak positif yang memancar dari kehidupan orang percaya. Keteladanan hidup seseorang berbicara lebih tajam daripada sekedar teori. Karena itu kita harus berusaha menjadi teladan dalam segala hal. "Jadilah teladan...dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu." (1 Timotius 4:12b). 2. Buah Pelayanan. Tuhan memberi kita talenta: ada yang diberikan lima, dua dan satu talenta. Talenta itu harus kita kembangkan dan maksimalkan.
Apapun pengorbanan yang kita berikan kepada Tuhan: waktu, tenaga, pikiran dan materi, sangat berarti untuk mendukung pekabaran Injil, sehingga "...Injil itu berbuah dan berkembang di seluruh dunia," (Kolose 1:6b). Jerih lelah kita untuk melayani Tuhan tidak akan pernah sia-sia!
Waktu dan kesempatan kita untuk berkarya di dunia ada batasnya, maka jangan sia-siakan dan menunda-nunda waktu lagi untuk membalas kasih Tuhan.
Baca: Filipi 1:20-26
"Tetapi jika aku harus hidup di dunia ini, itu berarti bagiku bekerja memberi buah." Filipi 1:22a
Matius 20:28: "...Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani" Itulah sebabnya pikiran Kristus dipenuhi kerinduan untuk melayani jiwa-jiwa dengan penuh belas kasihan, artinya Ia selalu berbuat sesuatu untuk menyelamatkan orang lain, "Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu." (Matius 11:28).
Selain harus hidup dalam ketaatan, membalas kasih Tuhan yang teramat besar adalah melalui komitmen kita untuk hidup menghasilkan buah, seperti komitmen rasul Paulus, "...jika aku harus hidup di dunia ini, itu berarti bagiku bekerja memberi buah." Hidup yang berbuah menjadi berkat dan kesaksian bagi orang lain. Untuk bisa berbuah kita harus melekat kepada Tuhan Yesus, karena Dia adalah satu-satunya pokok anggur, tempat ranting-ranting dapat melekat dan berbuah. Melalui 'buah' yang dihasilkan, orang dunia akan melihat kita. "Jadi dari buahnyalah kamu akan mengenal mereka." (Matius 7:20). Jadi, "Dalam hal inilah Bapa-Ku dipermuliakan, yaitu jika kamu berbuah banyak dan dengan demikian kamu adalah murid-murid-Ku." (Yohanes 15:8). Buah apa saja yang harus kita hasilkan? 1. Buah Jiwa. Orang lain akan rindu mengenal Kristus lebih dalam karena dampak positif yang memancar dari kehidupan orang percaya. Keteladanan hidup seseorang berbicara lebih tajam daripada sekedar teori. Karena itu kita harus berusaha menjadi teladan dalam segala hal. "Jadilah teladan...dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu." (1 Timotius 4:12b). 2. Buah Pelayanan. Tuhan memberi kita talenta: ada yang diberikan lima, dua dan satu talenta. Talenta itu harus kita kembangkan dan maksimalkan.
Apapun pengorbanan yang kita berikan kepada Tuhan: waktu, tenaga, pikiran dan materi, sangat berarti untuk mendukung pekabaran Injil, sehingga "...Injil itu berbuah dan berkembang di seluruh dunia," (Kolose 1:6b). Jerih lelah kita untuk melayani Tuhan tidak akan pernah sia-sia!
Waktu dan kesempatan kita untuk berkarya di dunia ada batasnya, maka jangan sia-siakan dan menunda-nunda waktu lagi untuk membalas kasih Tuhan.
Friday, November 14, 2014
MEMBALAS KASIH TUHAN: Melakukan Perintah-Nya
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 14 November 2014
Baca: Mazmur 116:1-19
"Bagaimana akan kubalas kepada TUHAN segala kebajikan-Nya kepadaku?" Mazmur 116:12
Sebelum memasuki hari baru ini mari renungkan sejenak kebaikan dan kemurahan Tuhan dalam hidup Saudara: berapa kali Tuhan menolong Saudara? Berapa kali Tuhan menyembuhkan Saudara? Berapa kali Saudara jatuh tetapi tangan Tuhan menopang Saudara? Berapa kali Tuhan menjawab doa-doa Saudara? Jawabnya: tak terhitung. Sampai kapan pun kita tidak akan sanggup menghitung kebaikan dan kesetiaan Tuhan yang terjadi di sepanjang perjalanan hidup kita, seperti lagu 'Kasih Tuhan' yang dinyanyikan oleh Maria Shandy: "Bagaikan langit yang membentang begitu luas kasih Tuhan, tiada terhitung pertolongan-Mu dalam hidupku. Bagaikan dalamnya samudra begitu dalam kasih Tuhan, tiada terhitung kesetiaan-Mu dalam hidupku."
Setelah mengalami begitu banyak kebaikan dan kemurahan Tuhan, adakah dalam hati kita timbul pertanyaan: "Bagaimana akan kubalas kepada TUHAN segala kebajikan-Nya kepadaku?" (ayat nas). Cukupkah kita mengucap syukur kepada Tuhan lewat bibir atau ucapan saja, tanpa melakukan sesuatu sebagai wujud respons kita atas kebaikan-Nya? Rasul Paulus menasihatkan, "Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus," (Filipi 2:5). Apa yang ada di dalam pikiran Tuhan Yesus? Pikiran Tuhan Yesus dipenuhi oleh keinginan dan kerinduan-Nya untuk senantiasa menyenangkan hati Bapa. Tuhan Yesus menyenangkan hati Bapa melalui ketaatan-Nya melakukan kehendak Bapa. Tuhan Yesus berkata, "Makanan-Ku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya." (Yohanes 4:34). Karena itu, "...dalam keadaan sebagai manusia, Ia (Yesus) telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib." (Filipi 2:8). Bukti nyata ketaatan Tuhan Yesus adalah Ia rela memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang melalui kematian-Nya di atas kayu salib.
Hati Tuhan akan disenangkan apabila kita menaati firman-Nya dengan sepenuh hati. Ketika kita taat artinya kita mengasihi Tuhan, "Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintah-Ku." (Yohanes 14:15).
Sudahkah kita membalas kebaikan Tuhan melalui ketaatan kita?
Baca: Mazmur 116:1-19
"Bagaimana akan kubalas kepada TUHAN segala kebajikan-Nya kepadaku?" Mazmur 116:12
Sebelum memasuki hari baru ini mari renungkan sejenak kebaikan dan kemurahan Tuhan dalam hidup Saudara: berapa kali Tuhan menolong Saudara? Berapa kali Tuhan menyembuhkan Saudara? Berapa kali Saudara jatuh tetapi tangan Tuhan menopang Saudara? Berapa kali Tuhan menjawab doa-doa Saudara? Jawabnya: tak terhitung. Sampai kapan pun kita tidak akan sanggup menghitung kebaikan dan kesetiaan Tuhan yang terjadi di sepanjang perjalanan hidup kita, seperti lagu 'Kasih Tuhan' yang dinyanyikan oleh Maria Shandy: "Bagaikan langit yang membentang begitu luas kasih Tuhan, tiada terhitung pertolongan-Mu dalam hidupku. Bagaikan dalamnya samudra begitu dalam kasih Tuhan, tiada terhitung kesetiaan-Mu dalam hidupku."
Setelah mengalami begitu banyak kebaikan dan kemurahan Tuhan, adakah dalam hati kita timbul pertanyaan: "Bagaimana akan kubalas kepada TUHAN segala kebajikan-Nya kepadaku?" (ayat nas). Cukupkah kita mengucap syukur kepada Tuhan lewat bibir atau ucapan saja, tanpa melakukan sesuatu sebagai wujud respons kita atas kebaikan-Nya? Rasul Paulus menasihatkan, "Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus," (Filipi 2:5). Apa yang ada di dalam pikiran Tuhan Yesus? Pikiran Tuhan Yesus dipenuhi oleh keinginan dan kerinduan-Nya untuk senantiasa menyenangkan hati Bapa. Tuhan Yesus menyenangkan hati Bapa melalui ketaatan-Nya melakukan kehendak Bapa. Tuhan Yesus berkata, "Makanan-Ku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya." (Yohanes 4:34). Karena itu, "...dalam keadaan sebagai manusia, Ia (Yesus) telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib." (Filipi 2:8). Bukti nyata ketaatan Tuhan Yesus adalah Ia rela memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang melalui kematian-Nya di atas kayu salib.
Hati Tuhan akan disenangkan apabila kita menaati firman-Nya dengan sepenuh hati. Ketika kita taat artinya kita mengasihi Tuhan, "Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintah-Ku." (Yohanes 14:15).
Sudahkah kita membalas kebaikan Tuhan melalui ketaatan kita?
Thursday, November 13, 2014
ANUGERAH TUHAN: Jangan Disia-siakan (2)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 13 November 2014
Baca: Galatia 2:15-21
"Aku tidak menolak kasih karunia Allah." Galatia 2:21a
Bukti lain menyia-nyiakan kasih karunia Tuhan adalah "...jika kita sengaja berbuat dosa, sesudah memperoleh pengetahuan tentang kebenaran," (Ibrani 10:26). Orang yang tidak mempraktekkan firman yang sudah dibaca dan didengarnya telah menipu diri sendiri. Inilah penyebab kegagalan kita mengalami penggenapan janji Tuhan dalam hidup ini. Firman seperti ini diibaratkan benih yang ditabur di tanah yang berbatu-batu dan di tengah semak duri, "...ia tidak berakar dan tahan sebentar saja. Apabila datang penindasan atau penganiayaan karena firman itu, orang itupun segera murtad....lalu kekuatiran dunia ini dan tipu daya kekayaan menghimpit firman itu sehingga tidak berbuah." (Matius 13:20-22). Kalau kita mau tinggal di dalam firman-Nya kita akan mengerti hak-hak kita sebagai orang percaya, mengetahui janji-janji Tuhan dan semakin memahami, "...betapa lebarnya dan panjangnya dan tingginya dan dalamnya kasih Kristus,.. Bagi Dialah, yang dapat melakukan jauh lebih banyak dari pada yang kita doakan atau pikirkan," (Efesus 3:18, 20). Jadi bukan karena Tuhan tidak mau mengerjakan mujizat-Nya, melainkan karena kita sendiri tidak taat dan tidak mau mempraktekkan firman-Nya.
Kita disebut pula telah menyia-nyiakan kasih karunia Tuhan ketika kita tidak bisa mengucap syukur di segala keadaan. Pemazmur memperingatkan, "Siapa yang mempersembahkan syukur sebagai korban, ia memuliakan Aku;" (Mazmur 50:23). Karena itu "...hendaklah hatimu melimpah dengan syukur." (Kolose 2:7). Jangan sampai kita seperti 9 orang kusta yang pergi meninggalkan Yesus begitu saja setelah mereka disembuhkan. Tidak pernahkah kita disembuhkan, diberkati, dipulihkan dan ditolong oleh Tuhan di sepanjang hidup ini sehingga mulut kita serasa terkunci untuk bersyukur? Rasul Paulus berkata, "...karena kasih karunia Allah aku adalah sebagaimana aku ada sekarang," (1 Korintus 15:10).
Jangan sekali-kali melupakan kasih dan kebaikan Tuhan! Ucapan syukur itu kuasa yang mendatangkan kekuatan. Ketika kita tahu bersyukur kepada Tuhan, maka tantangan seberat apa pun pasti dapat kita lalui bersama Roh Kudus.
"Sebab Engkaulah yang memberkati orang benar, ya TUHAN; Engkau memagari dia dengan anugerah-Mu seperti perisai." Mazmur 5:13
Baca: Galatia 2:15-21
"Aku tidak menolak kasih karunia Allah." Galatia 2:21a
Bukti lain menyia-nyiakan kasih karunia Tuhan adalah "...jika kita sengaja berbuat dosa, sesudah memperoleh pengetahuan tentang kebenaran," (Ibrani 10:26). Orang yang tidak mempraktekkan firman yang sudah dibaca dan didengarnya telah menipu diri sendiri. Inilah penyebab kegagalan kita mengalami penggenapan janji Tuhan dalam hidup ini. Firman seperti ini diibaratkan benih yang ditabur di tanah yang berbatu-batu dan di tengah semak duri, "...ia tidak berakar dan tahan sebentar saja. Apabila datang penindasan atau penganiayaan karena firman itu, orang itupun segera murtad....lalu kekuatiran dunia ini dan tipu daya kekayaan menghimpit firman itu sehingga tidak berbuah." (Matius 13:20-22). Kalau kita mau tinggal di dalam firman-Nya kita akan mengerti hak-hak kita sebagai orang percaya, mengetahui janji-janji Tuhan dan semakin memahami, "...betapa lebarnya dan panjangnya dan tingginya dan dalamnya kasih Kristus,.. Bagi Dialah, yang dapat melakukan jauh lebih banyak dari pada yang kita doakan atau pikirkan," (Efesus 3:18, 20). Jadi bukan karena Tuhan tidak mau mengerjakan mujizat-Nya, melainkan karena kita sendiri tidak taat dan tidak mau mempraktekkan firman-Nya.
Kita disebut pula telah menyia-nyiakan kasih karunia Tuhan ketika kita tidak bisa mengucap syukur di segala keadaan. Pemazmur memperingatkan, "Siapa yang mempersembahkan syukur sebagai korban, ia memuliakan Aku;" (Mazmur 50:23). Karena itu "...hendaklah hatimu melimpah dengan syukur." (Kolose 2:7). Jangan sampai kita seperti 9 orang kusta yang pergi meninggalkan Yesus begitu saja setelah mereka disembuhkan. Tidak pernahkah kita disembuhkan, diberkati, dipulihkan dan ditolong oleh Tuhan di sepanjang hidup ini sehingga mulut kita serasa terkunci untuk bersyukur? Rasul Paulus berkata, "...karena kasih karunia Allah aku adalah sebagaimana aku ada sekarang," (1 Korintus 15:10).
Jangan sekali-kali melupakan kasih dan kebaikan Tuhan! Ucapan syukur itu kuasa yang mendatangkan kekuatan. Ketika kita tahu bersyukur kepada Tuhan, maka tantangan seberat apa pun pasti dapat kita lalui bersama Roh Kudus.
"Sebab Engkaulah yang memberkati orang benar, ya TUHAN; Engkau memagari dia dengan anugerah-Mu seperti perisai." Mazmur 5:13
Wednesday, November 12, 2014
ANUGERAH TUHAN: Jangan Disia-siakan (1)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 12 November 2014
Baca: 2 Korintus 6:1-10
"Sebagai teman-teman sekerja, kami menasihatkan kamu, supaya kamu jangan membuat menjadi sia-sia kasih karunia Allah, yang telah kamu terima." 2 Korintus 6:1
Rasul Paulus menegaskan bahwa orang percaya adalah teman-teman sekerja, mitra kerja untuk menggenapi rencana Tuhan di atas muka bumi ini. Karena itulah kasih karunia yang sedemikian besar kita terima dari Tuhan jangan pernah disia-siakan. Kapan kita disebut menyia-nyiakan dan melupakan kasih karunia atau anugerah Tuhan? Ketika kita dengan sengaja memilih untuk bersahabat dengan dunia dan hidup menurut cara-cara dunia. Yakobus mengingatkan, "Hai kamu, orang-orang yang tidak setia! Tidakkah kamu tahu, bahwa persahabatan dengan dunia adalah permusuhan dengan Allah? Jadi barangsiapa hendak menjadi sahabat dunia ini, ia menjadikan dirinya musuh Allah." (Yakobus 4:4).
Saat ini dunia sedang mengarah dan bergerak ke arah kesudahan zaman, dan ini benar-benar dimanfaatkan Iblis untuk mempengaruhi setiap segi kehidupan manusia supaya makin menjauh dari Tuhan. Iblis memberikan pengaruh melalui berbagai bentuk kesenangan daging, akhirnya banyak orang terpedaya dan masuk dalam perangkapnya. Ditambah beratnya beban hidup dan masalah yang datang bertubi-tubi membuat banyak orang tidak tahan dan tidak lagi mau bersabar menantikan Tuhan. Lalu mereka bersungut-sungut, mengeluh, kecewa, berani menyalahkan Tuhan dan akhirnya menyerah kepada keadaan yang ada. Mereka pun terdorong untuk mencari pertolongan kepada dunia ini: lari kepada dukun, paranormal, ke gunung Kawi, kuburan dan sebagainya.
Mereka melupakan kasih karunia yang Tuhan berikan, padahal firman-Nya menegaskan: "Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya." (1 Korintus 10:13). Sebagai orang percaya, apa pun tantangannya jangan pernah menyerah dan putus asa. "Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku." (Filipi 4:13).
"Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna." 2 Korintus 12:9
Baca: 2 Korintus 6:1-10
"Sebagai teman-teman sekerja, kami menasihatkan kamu, supaya kamu jangan membuat menjadi sia-sia kasih karunia Allah, yang telah kamu terima." 2 Korintus 6:1
Rasul Paulus menegaskan bahwa orang percaya adalah teman-teman sekerja, mitra kerja untuk menggenapi rencana Tuhan di atas muka bumi ini. Karena itulah kasih karunia yang sedemikian besar kita terima dari Tuhan jangan pernah disia-siakan. Kapan kita disebut menyia-nyiakan dan melupakan kasih karunia atau anugerah Tuhan? Ketika kita dengan sengaja memilih untuk bersahabat dengan dunia dan hidup menurut cara-cara dunia. Yakobus mengingatkan, "Hai kamu, orang-orang yang tidak setia! Tidakkah kamu tahu, bahwa persahabatan dengan dunia adalah permusuhan dengan Allah? Jadi barangsiapa hendak menjadi sahabat dunia ini, ia menjadikan dirinya musuh Allah." (Yakobus 4:4).
Saat ini dunia sedang mengarah dan bergerak ke arah kesudahan zaman, dan ini benar-benar dimanfaatkan Iblis untuk mempengaruhi setiap segi kehidupan manusia supaya makin menjauh dari Tuhan. Iblis memberikan pengaruh melalui berbagai bentuk kesenangan daging, akhirnya banyak orang terpedaya dan masuk dalam perangkapnya. Ditambah beratnya beban hidup dan masalah yang datang bertubi-tubi membuat banyak orang tidak tahan dan tidak lagi mau bersabar menantikan Tuhan. Lalu mereka bersungut-sungut, mengeluh, kecewa, berani menyalahkan Tuhan dan akhirnya menyerah kepada keadaan yang ada. Mereka pun terdorong untuk mencari pertolongan kepada dunia ini: lari kepada dukun, paranormal, ke gunung Kawi, kuburan dan sebagainya.
Mereka melupakan kasih karunia yang Tuhan berikan, padahal firman-Nya menegaskan: "Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya." (1 Korintus 10:13). Sebagai orang percaya, apa pun tantangannya jangan pernah menyerah dan putus asa. "Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku." (Filipi 4:13).
"Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna." 2 Korintus 12:9
Tuesday, November 11, 2014
BERLIMPAH KASIH KARUNIA
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 11 November 2014
Baca: 1 Timotius 1:12-17
"Malah kasih karunia Tuhan kita itu telah dikaruniakan dengan limpahnya kepadaku dengan iman dan kasih dalam Kristus Yesus." 1 Timotius 1:14
Hidup orang percaya adalah hidup yang dipenuhi kasih karunia Allah. Kasih karunia atau disebut juga anugerah adalah: pemberian Allah yang tidak pantas kita terima, kebaikan Allah yang tanpa pamrih, walaupun kita merupakan orang berdosa yang selayaknya menerima hukuman, namun Ia memandang kita dengan penuh kasih dan mengampuni kita. Yesus adalah anugerah terbesar dari Allah! "Sebab, jika oleh dosa satu orang, maut telah berkuasa oleh satu orang itu, maka lebih benar lagi mereka, yang telah menerima kelimpahan kasih karunia dan anugerah kebenaran, akan hidup dan berkuasa oleh karena satu orang itu, yaitu Yesus Kristus." (Roma 5:17).
Melalui karya Kristus di Kalvari kita beroleh pengampunan dosa sehingga pintu-pintu berkat terbuka bagi kita. "Terpujilah Allah dan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus yang dalam Kristus telah mengaruniakan kepada kita segala berkat rohani di dalam sorga." (Efesus 1:3), artinya sorga dan segala berkat yang terkandung di dalamnya menjadi suatu kepastian bagi kita, "...oleh karena iman dalam Yesus Kristus janji itu diberikan kepada mereka yang percaya." (Galatia 3:22). Kita bisa mengenal Tuhan dan percaya kepada-Nya adalah juga karena kasih karunia, sebab "Tidak ada seorangpun yang dapat datang kepada-Ku, jikalau ia tidak ditarik oleh Bapa yang mengutus Aku, dan ia akan Kubangkitkan pada akhir zaman." (Yohanes 6:44). Kita datang dalam keadaan kotor dan tidak layak, tetapi Bapa mau menerima pertobatan kita.
"...di dalam Dia kamu juga, ketika kamu percaya, dimeteraikan dengan Roh Kudus, yang dijanjikan-Nya itu. Dan Roh Kudus itu adalah jaminan bagian kita sampai kita memperoleh seluruhnya," (Efesus 1:13-14). Roh Kudus inilah yang menyertai perjalanan hidup orang percaya, dan penyertaan-Nya atas kita bukan hanya semusim dua musim, tapi sampai kepada akhir zaman. Bersama-Nya kita beroleh kekuatan dan kemampuan untuk melewati segala sesuatu, karena Ia adalah Roh yang lebih besar dari pada roh yang ada di dalam dunia (baca 1 Yohanes 4:4b).
Kasih karunia Tuhan yang teramat besar dan mulia telah dicurahkan atas hidup orang percaya, sudah selayaknya kita berlimpah syukur dan menghargainya!
Baca: 1 Timotius 1:12-17
"Malah kasih karunia Tuhan kita itu telah dikaruniakan dengan limpahnya kepadaku dengan iman dan kasih dalam Kristus Yesus." 1 Timotius 1:14
Hidup orang percaya adalah hidup yang dipenuhi kasih karunia Allah. Kasih karunia atau disebut juga anugerah adalah: pemberian Allah yang tidak pantas kita terima, kebaikan Allah yang tanpa pamrih, walaupun kita merupakan orang berdosa yang selayaknya menerima hukuman, namun Ia memandang kita dengan penuh kasih dan mengampuni kita. Yesus adalah anugerah terbesar dari Allah! "Sebab, jika oleh dosa satu orang, maut telah berkuasa oleh satu orang itu, maka lebih benar lagi mereka, yang telah menerima kelimpahan kasih karunia dan anugerah kebenaran, akan hidup dan berkuasa oleh karena satu orang itu, yaitu Yesus Kristus." (Roma 5:17).
Melalui karya Kristus di Kalvari kita beroleh pengampunan dosa sehingga pintu-pintu berkat terbuka bagi kita. "Terpujilah Allah dan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus yang dalam Kristus telah mengaruniakan kepada kita segala berkat rohani di dalam sorga." (Efesus 1:3), artinya sorga dan segala berkat yang terkandung di dalamnya menjadi suatu kepastian bagi kita, "...oleh karena iman dalam Yesus Kristus janji itu diberikan kepada mereka yang percaya." (Galatia 3:22). Kita bisa mengenal Tuhan dan percaya kepada-Nya adalah juga karena kasih karunia, sebab "Tidak ada seorangpun yang dapat datang kepada-Ku, jikalau ia tidak ditarik oleh Bapa yang mengutus Aku, dan ia akan Kubangkitkan pada akhir zaman." (Yohanes 6:44). Kita datang dalam keadaan kotor dan tidak layak, tetapi Bapa mau menerima pertobatan kita.
"...di dalam Dia kamu juga, ketika kamu percaya, dimeteraikan dengan Roh Kudus, yang dijanjikan-Nya itu. Dan Roh Kudus itu adalah jaminan bagian kita sampai kita memperoleh seluruhnya," (Efesus 1:13-14). Roh Kudus inilah yang menyertai perjalanan hidup orang percaya, dan penyertaan-Nya atas kita bukan hanya semusim dua musim, tapi sampai kepada akhir zaman. Bersama-Nya kita beroleh kekuatan dan kemampuan untuk melewati segala sesuatu, karena Ia adalah Roh yang lebih besar dari pada roh yang ada di dalam dunia (baca 1 Yohanes 4:4b).
Kasih karunia Tuhan yang teramat besar dan mulia telah dicurahkan atas hidup orang percaya, sudah selayaknya kita berlimpah syukur dan menghargainya!
Monday, November 10, 2014
PEMBERITA INJIL: Harus Mau Berproses
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 10 November 2014
Baca: 1 Korintus 9:15-23
"Karena jika aku memberitakan Injil, aku tidak mempunyai alasan untuk memegahkan diri. Sebab itu adalah keharusan bagiku." 1 Korintus 9:16
Syarat pertama menjadi pemberita Injil adalah percaya kepada Tuhan Yesus. "Inilah pekerjaan yang dikehendaki Allah, yaitu hendaklah kamu percaya kepada Dia yang telah diutus Allah." (Yohanes 6:29). Bagaimana mungkin kita memberitakan Injil kepada orang lain dan melayani Tuhan dengan benar, sementara kita sendiri belum percaya kepada Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat pribadi? Mungkinkah orang buta menuntun orang buta? Tidak mungkin! Nah, selain percaya kepada Tuhan Yesus, berikutnya adalah harus hidup dalam pertobatan. Tuhan berkata, "Keluarlah kamu dari antara mereka, dan pisahkanlah dirimu dari mereka, firman Tuhan, dan janganlah menjamah apa yang najis, maka Aku akan menerima kamu." (1 Korintus 6:17). Jadi, bukan berarti kita menunggu sempurna dulu baru mau melibatkan diri dalam pelayanan.
Memberitakan Injil berkenaan dengan komitmen: komitmen hidup benar (penyangkalan diri) dan komitmen untuk berkorban (waktu, tenaga, pikiran, bahkan materi). Karena itu kita harus punya kerelaan untuk di proses, dibentuk dan diperbaharui oleh Tuhan. Proses itu berlangsung seumur hidup, hingga "...roh, jiwa dan tubuhmu terpelihara sempurna dengan tak bercacat pada kedatangan Yesus Kristus, Tuhan kita." (1 Tesalonika 5:23), dan proses itu laksana tanah liat di tangan tukang periuk. "Apabila bejana, yang sedang dibuatnya dari tanah liat di tangannya itu, rusak, maka tukang periuk itu mengerjakannya kembali menjadi bejana lain menurut apa yang baik pada pemandangannya. Masakan Aku tidak dapat bertindak kepada kamu seperti tukang periuk ini, hai kaum Israel!, demikianlah firman TUHAN. Sungguh, seperti tanah liat di tangan tukang periuk, demikianlah kamu di tangan-Ku," (Yeremia 18:4, 6).
Proses pasti terasa sakit dan butuh waktu yang tidak singkat. Cara Tuhan membentuk dan memroses kita adalah melalui firman-Nya, "Bukankah firman-Ku seperti api, demikianlah firman TUHAN dan seperti palu yang menghancurkan bukit batu?" (Yeremia 23:29), dan melalui peristiwa-peristiwa yang diijinkanNya terjadi.
Percaya kepada Tuhan Yesus dan hidup dalam pertobatan adalah syarat menjadi pemberita Injil!
Baca: 1 Korintus 9:15-23
"Karena jika aku memberitakan Injil, aku tidak mempunyai alasan untuk memegahkan diri. Sebab itu adalah keharusan bagiku." 1 Korintus 9:16
Syarat pertama menjadi pemberita Injil adalah percaya kepada Tuhan Yesus. "Inilah pekerjaan yang dikehendaki Allah, yaitu hendaklah kamu percaya kepada Dia yang telah diutus Allah." (Yohanes 6:29). Bagaimana mungkin kita memberitakan Injil kepada orang lain dan melayani Tuhan dengan benar, sementara kita sendiri belum percaya kepada Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat pribadi? Mungkinkah orang buta menuntun orang buta? Tidak mungkin! Nah, selain percaya kepada Tuhan Yesus, berikutnya adalah harus hidup dalam pertobatan. Tuhan berkata, "Keluarlah kamu dari antara mereka, dan pisahkanlah dirimu dari mereka, firman Tuhan, dan janganlah menjamah apa yang najis, maka Aku akan menerima kamu." (1 Korintus 6:17). Jadi, bukan berarti kita menunggu sempurna dulu baru mau melibatkan diri dalam pelayanan.
Memberitakan Injil berkenaan dengan komitmen: komitmen hidup benar (penyangkalan diri) dan komitmen untuk berkorban (waktu, tenaga, pikiran, bahkan materi). Karena itu kita harus punya kerelaan untuk di proses, dibentuk dan diperbaharui oleh Tuhan. Proses itu berlangsung seumur hidup, hingga "...roh, jiwa dan tubuhmu terpelihara sempurna dengan tak bercacat pada kedatangan Yesus Kristus, Tuhan kita." (1 Tesalonika 5:23), dan proses itu laksana tanah liat di tangan tukang periuk. "Apabila bejana, yang sedang dibuatnya dari tanah liat di tangannya itu, rusak, maka tukang periuk itu mengerjakannya kembali menjadi bejana lain menurut apa yang baik pada pemandangannya. Masakan Aku tidak dapat bertindak kepada kamu seperti tukang periuk ini, hai kaum Israel!, demikianlah firman TUHAN. Sungguh, seperti tanah liat di tangan tukang periuk, demikianlah kamu di tangan-Ku," (Yeremia 18:4, 6).
Proses pasti terasa sakit dan butuh waktu yang tidak singkat. Cara Tuhan membentuk dan memroses kita adalah melalui firman-Nya, "Bukankah firman-Ku seperti api, demikianlah firman TUHAN dan seperti palu yang menghancurkan bukit batu?" (Yeremia 23:29), dan melalui peristiwa-peristiwa yang diijinkanNya terjadi.
Percaya kepada Tuhan Yesus dan hidup dalam pertobatan adalah syarat menjadi pemberita Injil!
Sunday, November 9, 2014
URGEN: Beritakan Injil!
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 9 November 2014
Baca: Matius 24:3-14
"Dan Injil Kerajaan ini akan diberitakan di seluruh dunia menjadi kesaksian bagi semua bangsa, sesudah itu barulah tiba kesudahannya." Matius 24:14
Pemberitaan Injil adalah aktivitas yang sangat penting dan utama sebelum hari kedatangan Tuhan Yesus yang kedua kalinya. Karena itu selagi kita masih bernafas, diberi kesehatan dan memiliki banyak waktu dan kesempatan, mari kita maksimalkan setiap talenta untuk mengerjakan Amanat Agung ini. Tuhan Yesus mengingatkan, "Lihatlah sekelilingmu dan pandanglah ladang-ladang yang sudah menguning dan matang untuk dituai." (Yohanes 4:35). Kita tidak harus menjadi pendeta terlebih dahulu untuk memberitakan Injil!
Semua orang percaya tanpa terkecuali: tua atau muda, jemaat baru atau sudah lama, para pendeta atau jemaat awam dapat mengerjakan bagiannya untuk melayani Tuhan dengan tingkat pelayanan yang berbeda-beda, mulai dari yang paling kecil/sederhana sampai kepada hal-hal yang besar. Pelayanan dasar memberitakan Injil kepada orang lain adalah melalui kesaksian hidup kita. Inilah pelayanan yang sangat efektif yang dapat menjangkau semua orang. "Jadilah teladan bagi orang-orang percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu." (1 Timotius 4:12b). Karena itu kita tidak perlu ragu, takut atau berkecil hati untuk melayani Tuhan karena Tuhan tidak pernah memberikan perintah kepada kita tanpa terlebih dahulu memperlengkapi dan membekali kita. "...kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi." (Kisah 1:8). Kuasa Roh Kudus inilah yang akan menyertai, menguatkan dan memampukan kita untuk mengerjakan tugas ini.
Karena penyertaan Roh Tuhan, Musa yang sebelumnya minder dan merasa tidak mampu, dipakai Tuhan memimpin bangsa Israel keluar dari perbudakan Mesir. Begitu pula dengan kedua belas orang yang dipilih Tuhan untuk menjadi murid-murid-Nya, mereka adalah orang-orang biasa dan tidak terpelajar. Mungkin di pemandangan manusia kita ini tidak kaya, tidak terkenal dan bahkan mungkin kita dianggap bodoh oleh dunia, tapi Tuhan mau dan sanggup memakai kita untuk menjadi penjala jiwa di akhir zaman ini.
"Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit." Matius 9:37
Baca: Matius 24:3-14
"Dan Injil Kerajaan ini akan diberitakan di seluruh dunia menjadi kesaksian bagi semua bangsa, sesudah itu barulah tiba kesudahannya." Matius 24:14
Pemberitaan Injil adalah aktivitas yang sangat penting dan utama sebelum hari kedatangan Tuhan Yesus yang kedua kalinya. Karena itu selagi kita masih bernafas, diberi kesehatan dan memiliki banyak waktu dan kesempatan, mari kita maksimalkan setiap talenta untuk mengerjakan Amanat Agung ini. Tuhan Yesus mengingatkan, "Lihatlah sekelilingmu dan pandanglah ladang-ladang yang sudah menguning dan matang untuk dituai." (Yohanes 4:35). Kita tidak harus menjadi pendeta terlebih dahulu untuk memberitakan Injil!
Semua orang percaya tanpa terkecuali: tua atau muda, jemaat baru atau sudah lama, para pendeta atau jemaat awam dapat mengerjakan bagiannya untuk melayani Tuhan dengan tingkat pelayanan yang berbeda-beda, mulai dari yang paling kecil/sederhana sampai kepada hal-hal yang besar. Pelayanan dasar memberitakan Injil kepada orang lain adalah melalui kesaksian hidup kita. Inilah pelayanan yang sangat efektif yang dapat menjangkau semua orang. "Jadilah teladan bagi orang-orang percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu." (1 Timotius 4:12b). Karena itu kita tidak perlu ragu, takut atau berkecil hati untuk melayani Tuhan karena Tuhan tidak pernah memberikan perintah kepada kita tanpa terlebih dahulu memperlengkapi dan membekali kita. "...kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi." (Kisah 1:8). Kuasa Roh Kudus inilah yang akan menyertai, menguatkan dan memampukan kita untuk mengerjakan tugas ini.
Karena penyertaan Roh Tuhan, Musa yang sebelumnya minder dan merasa tidak mampu, dipakai Tuhan memimpin bangsa Israel keluar dari perbudakan Mesir. Begitu pula dengan kedua belas orang yang dipilih Tuhan untuk menjadi murid-murid-Nya, mereka adalah orang-orang biasa dan tidak terpelajar. Mungkin di pemandangan manusia kita ini tidak kaya, tidak terkenal dan bahkan mungkin kita dianggap bodoh oleh dunia, tapi Tuhan mau dan sanggup memakai kita untuk menjadi penjala jiwa di akhir zaman ini.
"Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit." Matius 9:37
Saturday, November 8, 2014
MELAYANI sebagai GAYA HIDUP
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 8 November 2014
Baca: Matius 4:23-25
"Yesus pun berkeliling di seluruh Galilea; Ia mengajar dalam rumah-rumah ibadat dan memberitakan Injil Kerajaan Allah serta melenyapkan segala penyakit dan kelemahan di antara bangsa itu." Matius 4:23
Ayat nas di atas menyatakan bahwa selama berada di bumi Yesus tidak pernah berhenti bekerja. Mengapa? Karena "Bapa-Ku bekerja sampai sekarang, maka Akupun bekerja juga." Yohanes 5:17). Sebagai pengikut Kristus mutlak bagi kita meneladani Dia. Sebagaimana "...Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani" (Matius 20:28) maka kita pun memiliki tugas dan tanggung jawab yang sama yaitu menjadikan pelayanan sebagai gaya hidup. Karena itu kita harus menjadi anak-anak Tuhan yang aktif, artinya selalu dapat menggunakan kesempatan sebaik mungkin untuk melayani Tuhan dan juga sesama.
Mengapa kita harus terlibat aktif dalam pelayanan? Karena ini adalah sebuah perintah dari Tuhan: "Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk." (Markus 16:15). Injil harus diberitakan ke seluruh penjuru bumi ini "...karena Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya," (Roma 1:16). Keselamatan manusia ditentukan oleh iman kepada Yesus, sebab "...keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan." (Kisah 4:12). Yesus menegaskan, "Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku." (Yohanes 16:6b). Itulah sebabnya tugas memberitkan Injil adalah tugas yang tidak dapat ditawar-tawar lagi.
Sungguh disayangkan, di hari-hari menjelang kedatangan Tuhan yang sudah semakin dekat ini masih banyak sekali orang Kristen yang tidak peka rohaninya, sehingga mereka menganggap remeh tugas pemberitaan Injil ini. Jangankan memberitakan Injil, turut terlibat dalam pelayanan di gereja lokal saja kita enggan. Kita maunya hanya dilayani, tapi tidak mau melayani.
Sampai kapan kita mengeraskan hati untuk tidak merespons panggilan Tuhan ini?
Baca: Matius 4:23-25
"Yesus pun berkeliling di seluruh Galilea; Ia mengajar dalam rumah-rumah ibadat dan memberitakan Injil Kerajaan Allah serta melenyapkan segala penyakit dan kelemahan di antara bangsa itu." Matius 4:23
Ayat nas di atas menyatakan bahwa selama berada di bumi Yesus tidak pernah berhenti bekerja. Mengapa? Karena "Bapa-Ku bekerja sampai sekarang, maka Akupun bekerja juga." Yohanes 5:17). Sebagai pengikut Kristus mutlak bagi kita meneladani Dia. Sebagaimana "...Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani" (Matius 20:28) maka kita pun memiliki tugas dan tanggung jawab yang sama yaitu menjadikan pelayanan sebagai gaya hidup. Karena itu kita harus menjadi anak-anak Tuhan yang aktif, artinya selalu dapat menggunakan kesempatan sebaik mungkin untuk melayani Tuhan dan juga sesama.
Mengapa kita harus terlibat aktif dalam pelayanan? Karena ini adalah sebuah perintah dari Tuhan: "Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk." (Markus 16:15). Injil harus diberitakan ke seluruh penjuru bumi ini "...karena Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya," (Roma 1:16). Keselamatan manusia ditentukan oleh iman kepada Yesus, sebab "...keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan." (Kisah 4:12). Yesus menegaskan, "Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku." (Yohanes 16:6b). Itulah sebabnya tugas memberitkan Injil adalah tugas yang tidak dapat ditawar-tawar lagi.
Sungguh disayangkan, di hari-hari menjelang kedatangan Tuhan yang sudah semakin dekat ini masih banyak sekali orang Kristen yang tidak peka rohaninya, sehingga mereka menganggap remeh tugas pemberitaan Injil ini. Jangankan memberitakan Injil, turut terlibat dalam pelayanan di gereja lokal saja kita enggan. Kita maunya hanya dilayani, tapi tidak mau melayani.
Sampai kapan kita mengeraskan hati untuk tidak merespons panggilan Tuhan ini?
Friday, November 7, 2014
MENGHADAPI UJIAN: Latihan dan Kesetiaan
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 7 November 2014
Baca: Zakharia 13:7-9
"Aku akan menguji mereka, seperti orang menguji emas." Zakharia 13:9b
Agar kita benar-benar siap menghadapi ujian kehidupan kita harus melatih diri. Rasul Paulus menasihati, "Latihlah dirimu beribadah. Latihan badani terbatas gunanya, tetapi ibadah itu berguna dalam segala hal, karena mengandung janji, baik untuk hidup ini maupun untuk hidup yang akan datang. Perkataan ini benar dan patut diterima sepenuhnya. Itulah sebabnya kita berjerih payah dan berjuang, karena kita menaruh pengharapan kita kepada Allah yang hidup, Juruselamat semua manusia, terutama mereka yang percaya." (1 Timotius 4:7b-10). Karena itu jangan sekali-kali kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah (baca Ibrani 10:25). Semakin kita melatih diri dalam ibadah semakin kita kuat berakar di dalam Tuhan.
Banyak orang Kristen berkeinginan hidup dalam kebenaran: berkarakter seperti Kristus, ingin menjadi suami atau isteri yang baik, ingin menjadi pelayan Tuhan yang setia dan menjadi berkat bagi orang lain. Kesemuanya adalah keinginan yang mulia. Tapi jika kita tidak mau melatih diri, keinginan tersebut sulit untuk terwujud. Dalam istilah kekristenan tidak ada istilah karbitan atau cara instan. Untuk mencapainya ada harga yang harus dibayar! Kita harus bertekun mengerjakan bagian kita, karena tidak ada perkara-perkara besar akan dinyatakan sebelum kita lulus ujian, termasuk ujian 'kesetiaan dalam perkara-perkara kecil', Memang setiap ujian dan pencobaan itu sakit, berat dan memahitkan hati, tapi melalui ujian kita belajar untuk menghargai sebuah mujizat.
Melalui ujian pula Tuhan hendak mengajar kita memiliki kerendahan hati. Banyak orang ketika berhasil dan berlimpah materi menjadi tinggi hati. Namun ketika berada di situasi-situasi sulit mereka baru belajar rendah hati dan menyadari akan keterbatasan diri. Ujian dan masalah mengajar seseorang bergantung penuh kepada Tuhan, sebab kekayaan dan uang tidak dapat menolong dan menyelamatkan kita. Itulah sebabnya bila tidak disikapi dengan benar, ujian dan masalah seringkali membawa kita makin jauh dari Tuhan, tapi ketika kita punya sikap hati yang benar kita selalu dapat mengambil sikap positif dari setiap ujian yang datang.
"Karena Ia tahu jalan hidupku; seandainya Ia menguji aku, aku akan timbul seperti emas." Ayub 23:10
Baca: Zakharia 13:7-9
"Aku akan menguji mereka, seperti orang menguji emas." Zakharia 13:9b
Agar kita benar-benar siap menghadapi ujian kehidupan kita harus melatih diri. Rasul Paulus menasihati, "Latihlah dirimu beribadah. Latihan badani terbatas gunanya, tetapi ibadah itu berguna dalam segala hal, karena mengandung janji, baik untuk hidup ini maupun untuk hidup yang akan datang. Perkataan ini benar dan patut diterima sepenuhnya. Itulah sebabnya kita berjerih payah dan berjuang, karena kita menaruh pengharapan kita kepada Allah yang hidup, Juruselamat semua manusia, terutama mereka yang percaya." (1 Timotius 4:7b-10). Karena itu jangan sekali-kali kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah (baca Ibrani 10:25). Semakin kita melatih diri dalam ibadah semakin kita kuat berakar di dalam Tuhan.
Banyak orang Kristen berkeinginan hidup dalam kebenaran: berkarakter seperti Kristus, ingin menjadi suami atau isteri yang baik, ingin menjadi pelayan Tuhan yang setia dan menjadi berkat bagi orang lain. Kesemuanya adalah keinginan yang mulia. Tapi jika kita tidak mau melatih diri, keinginan tersebut sulit untuk terwujud. Dalam istilah kekristenan tidak ada istilah karbitan atau cara instan. Untuk mencapainya ada harga yang harus dibayar! Kita harus bertekun mengerjakan bagian kita, karena tidak ada perkara-perkara besar akan dinyatakan sebelum kita lulus ujian, termasuk ujian 'kesetiaan dalam perkara-perkara kecil', Memang setiap ujian dan pencobaan itu sakit, berat dan memahitkan hati, tapi melalui ujian kita belajar untuk menghargai sebuah mujizat.
Melalui ujian pula Tuhan hendak mengajar kita memiliki kerendahan hati. Banyak orang ketika berhasil dan berlimpah materi menjadi tinggi hati. Namun ketika berada di situasi-situasi sulit mereka baru belajar rendah hati dan menyadari akan keterbatasan diri. Ujian dan masalah mengajar seseorang bergantung penuh kepada Tuhan, sebab kekayaan dan uang tidak dapat menolong dan menyelamatkan kita. Itulah sebabnya bila tidak disikapi dengan benar, ujian dan masalah seringkali membawa kita makin jauh dari Tuhan, tapi ketika kita punya sikap hati yang benar kita selalu dapat mengambil sikap positif dari setiap ujian yang datang.
"Karena Ia tahu jalan hidupku; seandainya Ia menguji aku, aku akan timbul seperti emas." Ayub 23:10
Thursday, November 6, 2014
MENGHADAPI UJIAN: Menguji Diri Sendiri
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 6 November 2014
Baca: Yakobus 1:2-8
"sebab kamu tahu, bahwa ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan." Yakobus 1:3
Semua orang pasti tidak suka mendengar kata ujian, masalah atau pergumulan. Umumnya kita lebih suka mendengar kata-kata tentang berkat, mujizat, kemenangan dan perkara-perkara besar lainnya, karena hal-hal itulah yang sedang dicari dan diinginkan oleh manusia. Namun kita lupa bahwa setiap berkat, mujizat, kemenangan, kesembuhan dan perkara-perkara besar selalu didahului dan diawali oleh ujian, masalah dan juga pergumulan yang tidak mudah. Namun justru di balik hal-hal yang tidak menyenangkan inilah terkandung berkat, mujizat dan kemenangan besar.
Kata ujian memiliki arti sesuatu yang dipakai untuk menguji kualitas sesuatu, misal kepandaian, kemampuan, hasil belajar dari seseorang. Karena itu dalam dunia pendidikan ada yang namanya ujian akhir yaitu ujian untuk menentukan kenaikan tingkat atau kelulusan seorang siswa; ada pula ujian masuk perguruan tinggi negeri yaitu ujian memasuki suatu universitas negeri. Bagi seorang siswa ujian adalah sesuatu yang tidak menyenangkan, menegangkan, tapi sangat menentukan, sebab di balik ujian pasti ada hasil; dan untuk mencapai hasil maksimal, yang sesuai dengan harapan dan keinginan, setiap siswa pasti akan mempersiapkan diri begitu rupa: ada yang rajin mengikuti try out; bagi yang berkantong tebal akan mengikuti bimbingan belajar atau memanggil guru private. Orang yang mampu menghadapi ujian dengan baik pasti mendapatkan hasil yang baik pula. Sebaliknya, yang tidak mempersiapkan diri dengan baik sedari awal, yang hanya belajar keras saat menjelang ujian dengan 'SKS' (sistem kebut semalam), akan mendapatkan hasil yang pasti tidak akan pernah maksimal, mengecewakan dan mungkin akan gagal.
Jadi sebelum menghadapi ujian perlu sekali kita menguji diri sendiri terlebih dahulu, artinya mengukur dan menilai sejauh mana kesiapan kita dalam menghadapi ujian. Mungkin secara mental kita sudah siap, tapi ketika kita diuji ternyata banyak materi yang belum kita ketahui. Atau sebaliknya kita sudah tahu materi, tapi ketika ujian datang ternyata kita secara mental belum siap: panik, was-was, kuatir dan takut.
"Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik." 1 Tesalonika 5:21
Baca: Yakobus 1:2-8
"sebab kamu tahu, bahwa ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan." Yakobus 1:3
Semua orang pasti tidak suka mendengar kata ujian, masalah atau pergumulan. Umumnya kita lebih suka mendengar kata-kata tentang berkat, mujizat, kemenangan dan perkara-perkara besar lainnya, karena hal-hal itulah yang sedang dicari dan diinginkan oleh manusia. Namun kita lupa bahwa setiap berkat, mujizat, kemenangan, kesembuhan dan perkara-perkara besar selalu didahului dan diawali oleh ujian, masalah dan juga pergumulan yang tidak mudah. Namun justru di balik hal-hal yang tidak menyenangkan inilah terkandung berkat, mujizat dan kemenangan besar.
Kata ujian memiliki arti sesuatu yang dipakai untuk menguji kualitas sesuatu, misal kepandaian, kemampuan, hasil belajar dari seseorang. Karena itu dalam dunia pendidikan ada yang namanya ujian akhir yaitu ujian untuk menentukan kenaikan tingkat atau kelulusan seorang siswa; ada pula ujian masuk perguruan tinggi negeri yaitu ujian memasuki suatu universitas negeri. Bagi seorang siswa ujian adalah sesuatu yang tidak menyenangkan, menegangkan, tapi sangat menentukan, sebab di balik ujian pasti ada hasil; dan untuk mencapai hasil maksimal, yang sesuai dengan harapan dan keinginan, setiap siswa pasti akan mempersiapkan diri begitu rupa: ada yang rajin mengikuti try out; bagi yang berkantong tebal akan mengikuti bimbingan belajar atau memanggil guru private. Orang yang mampu menghadapi ujian dengan baik pasti mendapatkan hasil yang baik pula. Sebaliknya, yang tidak mempersiapkan diri dengan baik sedari awal, yang hanya belajar keras saat menjelang ujian dengan 'SKS' (sistem kebut semalam), akan mendapatkan hasil yang pasti tidak akan pernah maksimal, mengecewakan dan mungkin akan gagal.
Jadi sebelum menghadapi ujian perlu sekali kita menguji diri sendiri terlebih dahulu, artinya mengukur dan menilai sejauh mana kesiapan kita dalam menghadapi ujian. Mungkin secara mental kita sudah siap, tapi ketika kita diuji ternyata banyak materi yang belum kita ketahui. Atau sebaliknya kita sudah tahu materi, tapi ketika ujian datang ternyata kita secara mental belum siap: panik, was-was, kuatir dan takut.
"Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik." 1 Tesalonika 5:21
Wednesday, November 5, 2014
SETIA SETIAP SAAT (2)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 5 November 2014
Baca: Titus 3:1-14
"...taat dan siap untuk melakukan setiap pekerjaan yang baik." Titus 3:1
Seseorang dalam keadaan siap sedia dapat terlihat dari setiap tindakan dan perbuatannya. Ia bukanlah pemalas tapi orang yang tekun mengerjakan tugas dan tanggung jawabnya; tak pernah berhenti mengisi hati dan pikirannya dengan firman Tuhan setiap hari, seperti yang diperbuat Daud: "Betapa kucintai Taurat-Mu! Aku merenungkannya sepanjang hari." (Mazmur 119:97), sebab "Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku." (Mazmur 119:105), sehingga kita tidak akan menyimpang ke kanan atau ke kiri.
Orang yang siap sedia pasti akan menggunakan waktu dan kesempatan yang ada sebaik mungkin, sebab sadar bahwa "...akan datang malam, di mana tidak ada seorangpun yang dapat bekerja." (Yohanes 9:4). Karenanya ia terus bersemangat dan memiliki roh yang menyala-nyala dalam melayani Tuhan di tengah situasi yang tidak mendukung sekalipun. Nasihat Paulus kepada Timotius, "Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya, nyatakanlah apa yang salah, tegorlah dan nasihatilah dengan segala kesabaran dan pengajaran." (2 Timotius 4:2). Didasari oleh hati yang berbeban terhadap jiwa-jiwa yang belum diselamatkan membuat orang tidak bisa menahan diri untuk selalu bersaksi dan memberitakan Injil kepada orang lain, entah itu di lingkungan tempat tinggal, sekolah, kantor, di pabrik dan lain-lain. Inilah yang kurang disadari bahwa sesungguhnya dunia ini adalah ladang pelayanan bagi orang percaya.
Orang yang siap sedia pasti memiliki hati yang takut akan Tuhan, sehingga akan berpikir seribu kali untuk berbuat dosa, sebab sadar bahwa "...setiap pelanggaran dan ketidaktaatan mendapat balasan yang setimpal, bagaimanakah kita akan luput, jikalau kita menyia-nyiakan keselamatan yang sebesar itu," (Ibrani 2:2-3). Sehingga tidak mau lagi berkompromi dengan dosa sekecil apa pun. Dosa membuat hidup seseorang dihantui oleh rasa bersalah, takut, kuatir, gelisah dan tertekan. Berbeda bila kita memiliki hati yang takut akan Tuhan, artinya kita terus melekat kepada Tuhan, kita akan beroleh kekuatan menghadapi segala perkara karena selalu dalam keadaan siap sedia setiap saat!
Orang yang siap sedia akan mampu berdiri meski berada di tengah badai!
Baca: Titus 3:1-14
"...taat dan siap untuk melakukan setiap pekerjaan yang baik." Titus 3:1
Seseorang dalam keadaan siap sedia dapat terlihat dari setiap tindakan dan perbuatannya. Ia bukanlah pemalas tapi orang yang tekun mengerjakan tugas dan tanggung jawabnya; tak pernah berhenti mengisi hati dan pikirannya dengan firman Tuhan setiap hari, seperti yang diperbuat Daud: "Betapa kucintai Taurat-Mu! Aku merenungkannya sepanjang hari." (Mazmur 119:97), sebab "Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku." (Mazmur 119:105), sehingga kita tidak akan menyimpang ke kanan atau ke kiri.
Orang yang siap sedia pasti akan menggunakan waktu dan kesempatan yang ada sebaik mungkin, sebab sadar bahwa "...akan datang malam, di mana tidak ada seorangpun yang dapat bekerja." (Yohanes 9:4). Karenanya ia terus bersemangat dan memiliki roh yang menyala-nyala dalam melayani Tuhan di tengah situasi yang tidak mendukung sekalipun. Nasihat Paulus kepada Timotius, "Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya, nyatakanlah apa yang salah, tegorlah dan nasihatilah dengan segala kesabaran dan pengajaran." (2 Timotius 4:2). Didasari oleh hati yang berbeban terhadap jiwa-jiwa yang belum diselamatkan membuat orang tidak bisa menahan diri untuk selalu bersaksi dan memberitakan Injil kepada orang lain, entah itu di lingkungan tempat tinggal, sekolah, kantor, di pabrik dan lain-lain. Inilah yang kurang disadari bahwa sesungguhnya dunia ini adalah ladang pelayanan bagi orang percaya.
Orang yang siap sedia pasti memiliki hati yang takut akan Tuhan, sehingga akan berpikir seribu kali untuk berbuat dosa, sebab sadar bahwa "...setiap pelanggaran dan ketidaktaatan mendapat balasan yang setimpal, bagaimanakah kita akan luput, jikalau kita menyia-nyiakan keselamatan yang sebesar itu," (Ibrani 2:2-3). Sehingga tidak mau lagi berkompromi dengan dosa sekecil apa pun. Dosa membuat hidup seseorang dihantui oleh rasa bersalah, takut, kuatir, gelisah dan tertekan. Berbeda bila kita memiliki hati yang takut akan Tuhan, artinya kita terus melekat kepada Tuhan, kita akan beroleh kekuatan menghadapi segala perkara karena selalu dalam keadaan siap sedia setiap saat!
Orang yang siap sedia akan mampu berdiri meski berada di tengah badai!
Tuesday, November 4, 2014
SETIA SETIAP SAAT (1)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 4 November 2014
Baca: Markus 13:33-37
"Hati-hatilah dan berjaga-jagalah! Sebab kamu tidak tahu bilamanakah waktunya tiba." Markus 13:33
Saat berada di taman Getsemani Tuhan Yesus menegur murid-murid-Nya yang sedang tertidur, "Tidakkah kamu sanggup berjaga-jaga satu jam dengan Aku? Berjaga-jagalah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan: roh memang penurut, tetapi daging lemah." (Matius 26:40-41). Tuhan Yesus memperingatkan agar di segala situasi jangan sampai kita dikalahkan oleh kedagingan kita sehingga kita enggan beranjak dari comfort zone dan mengabaikan perkara-perkara rohani.
Di tengah situasi dunia yang kian tidak menentu mau tidak mau kita harus siap menghadapinya. Belum lagi kecerobohan dan kelengahan sendiri juga dapat mengantarkan kita kepada pencobaan demi pencobaan, seperti tertulis: "Tetapi tiap-tiap orang dicobai oleh keinginannya sendiri, karena ia diseret dan dipikat olehnya. Dan apabila keinginan itu telah dibuahi, ia melahirkan dosa; dan apabila dosa itu sudah matang, ia melahirkan maut." (Yakobus 1:14). Orang yang berjaga-jaga akan selalu dalam keadaan siap sedia menghadapi segala kemungkinan yang terjadi dengan hati tenang, sebab ia tahu bahwa, "...dalam tinggal tenang dan percaya terletak kekuatanmu." (Yesaya 30:15). Kita tenang bukan karena kita merasa diri kuat dan mampu, tapi karena kita percaya dan senantiasa mengandalkan Tuhan. "Diberkatilah orang yang mengandalkan TUHAN, yang menaruh harapannya pada TUHAN! Ia akan seperti pohon yang ditanam di tepi air, yang merambatkan akar-akarnya ke tepi batang air, dan yang tidak mengalami datangnya panas terik, yang daunnya tetap hijau, yang tidak kuatir dalam tahun kering, dan yang tidak berhenti menghasilkan buah." (Yeremia 17:7-8).
Saat kita mengandalkan Tuhan, tangan-Nya yang kuat itu akan menopang dan menuntun langkah-langkah kita. Berbeda sekali dengan orang yang hatinya menjauh dari pada Tuhan, hari-harinya akan diwarnai ketakutan dan kekuatiran, dan ketika masalah datang secara tiba-tiba ia dalam kondisi tidak siap sedia.
Bertekun dalam doa adalah tanda bahwa seseorang dalam keadaan yang selalu siap sedia!
Baca: Markus 13:33-37
"Hati-hatilah dan berjaga-jagalah! Sebab kamu tidak tahu bilamanakah waktunya tiba." Markus 13:33
Saat berada di taman Getsemani Tuhan Yesus menegur murid-murid-Nya yang sedang tertidur, "Tidakkah kamu sanggup berjaga-jaga satu jam dengan Aku? Berjaga-jagalah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan: roh memang penurut, tetapi daging lemah." (Matius 26:40-41). Tuhan Yesus memperingatkan agar di segala situasi jangan sampai kita dikalahkan oleh kedagingan kita sehingga kita enggan beranjak dari comfort zone dan mengabaikan perkara-perkara rohani.
Di tengah situasi dunia yang kian tidak menentu mau tidak mau kita harus siap menghadapinya. Belum lagi kecerobohan dan kelengahan sendiri juga dapat mengantarkan kita kepada pencobaan demi pencobaan, seperti tertulis: "Tetapi tiap-tiap orang dicobai oleh keinginannya sendiri, karena ia diseret dan dipikat olehnya. Dan apabila keinginan itu telah dibuahi, ia melahirkan dosa; dan apabila dosa itu sudah matang, ia melahirkan maut." (Yakobus 1:14). Orang yang berjaga-jaga akan selalu dalam keadaan siap sedia menghadapi segala kemungkinan yang terjadi dengan hati tenang, sebab ia tahu bahwa, "...dalam tinggal tenang dan percaya terletak kekuatanmu." (Yesaya 30:15). Kita tenang bukan karena kita merasa diri kuat dan mampu, tapi karena kita percaya dan senantiasa mengandalkan Tuhan. "Diberkatilah orang yang mengandalkan TUHAN, yang menaruh harapannya pada TUHAN! Ia akan seperti pohon yang ditanam di tepi air, yang merambatkan akar-akarnya ke tepi batang air, dan yang tidak mengalami datangnya panas terik, yang daunnya tetap hijau, yang tidak kuatir dalam tahun kering, dan yang tidak berhenti menghasilkan buah." (Yeremia 17:7-8).
Saat kita mengandalkan Tuhan, tangan-Nya yang kuat itu akan menopang dan menuntun langkah-langkah kita. Berbeda sekali dengan orang yang hatinya menjauh dari pada Tuhan, hari-harinya akan diwarnai ketakutan dan kekuatiran, dan ketika masalah datang secara tiba-tiba ia dalam kondisi tidak siap sedia.
Bertekun dalam doa adalah tanda bahwa seseorang dalam keadaan yang selalu siap sedia!
Monday, November 3, 2014
TETAPLAH WASPADA!
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 3 November 2014
Baca: 2 Yohanes 1:4-11
"Waspadalah, supaya kamu jangan kehilangan apa yang telah kami kerjakan itu, tetapi supaya kamu mendapat upahmu sepenuhnya." 2 Yohanes 1:8
Sampai hari ini di dunia ini selalu diwarnai goncangan-goncangan: ada bencana, teror bom, ada konflik di mana-mana, bahkan peperangan. Dunia benar-benar tidak aman. Karena itu semua orang benar-benar harus ekstra waspada. Untuk mengantisipasi segala kemungkinan buruk terjadi, akhirnya semua orang berusaha membentengi diri dengan menggunakan alat penangkal. Pemeriksaan, pengawasan dan penjagaan keamanan di berbagai tempat pun semakin diperketat. Di hotel, mall, bandara atau tempat-tempat umum lainnya petugas keamanan dilengkapi dengan detektor logam, yaitu alat pendeteksi logam, untuk memastikan setiap orang yang akan memasuki area tertentu bebas dari benda berbahaya, seperti pistol, senjata tajam dan juga bom.
Pengawasan dan pengamanan secara fisik saja begitu sangat penting, terlebih-lebih pengawasan dan pengamanan secara roh bagi orang percaya, karena "Kita tahu, bahwa kita berasal dari Allah dan seluruh dunia berada di bawah kuasa si jahat." (1 Yohanes 5:19), di mana "...si Iblis, berjalan keliling sama seperti singa yang mengaum-aum dan mencari orang yang dapat ditelannya." (1 Petrus 5:8). Agar tetap berada dalam kewaspadaan, kita harus makin mendekat kepada Tuhan, sebab "Hanya dekat Allah saja aku tenang, dari pada-Nyalah keselamatanku." (Mazmur 62:2). Daud menyadari, "...lebih baik satu hari di pelataran-Mu dari pada seribu hari di tempat lain; lebih baik berdiri di ambang pintu rumah Allahku dari pada diam di kemah-kemah orang fasik." (Mazmur 84:11). Karena itu "Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita, seperti dibiasakan oleh beberapa orang, tetapi marilah kita saling menasihati, dan semakin giat melakukannya menjelang hari Tuhan yang mendekat." (Ibrani 10:25).
Di tengah situasi-situasi sulit yang menghimpit dunia jangan sekali-kali kita menjauh dari Tuhan, karena saat kita dekat dengan Dia pasti ada perlindungan, pertolongan, mujizat dan kemenangan. "Jika Allah di pihak kita, siapakah yang akan melawan kita?" (Roma 8:31)
Tanpa kewaspadaan tinggi kita tidak akan sanggup bertahan, karena itu melekatlah kepada Tuhan!
Baca: 2 Yohanes 1:4-11
"Waspadalah, supaya kamu jangan kehilangan apa yang telah kami kerjakan itu, tetapi supaya kamu mendapat upahmu sepenuhnya." 2 Yohanes 1:8
Sampai hari ini di dunia ini selalu diwarnai goncangan-goncangan: ada bencana, teror bom, ada konflik di mana-mana, bahkan peperangan. Dunia benar-benar tidak aman. Karena itu semua orang benar-benar harus ekstra waspada. Untuk mengantisipasi segala kemungkinan buruk terjadi, akhirnya semua orang berusaha membentengi diri dengan menggunakan alat penangkal. Pemeriksaan, pengawasan dan penjagaan keamanan di berbagai tempat pun semakin diperketat. Di hotel, mall, bandara atau tempat-tempat umum lainnya petugas keamanan dilengkapi dengan detektor logam, yaitu alat pendeteksi logam, untuk memastikan setiap orang yang akan memasuki area tertentu bebas dari benda berbahaya, seperti pistol, senjata tajam dan juga bom.
Pengawasan dan pengamanan secara fisik saja begitu sangat penting, terlebih-lebih pengawasan dan pengamanan secara roh bagi orang percaya, karena "Kita tahu, bahwa kita berasal dari Allah dan seluruh dunia berada di bawah kuasa si jahat." (1 Yohanes 5:19), di mana "...si Iblis, berjalan keliling sama seperti singa yang mengaum-aum dan mencari orang yang dapat ditelannya." (1 Petrus 5:8). Agar tetap berada dalam kewaspadaan, kita harus makin mendekat kepada Tuhan, sebab "Hanya dekat Allah saja aku tenang, dari pada-Nyalah keselamatanku." (Mazmur 62:2). Daud menyadari, "...lebih baik satu hari di pelataran-Mu dari pada seribu hari di tempat lain; lebih baik berdiri di ambang pintu rumah Allahku dari pada diam di kemah-kemah orang fasik." (Mazmur 84:11). Karena itu "Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita, seperti dibiasakan oleh beberapa orang, tetapi marilah kita saling menasihati, dan semakin giat melakukannya menjelang hari Tuhan yang mendekat." (Ibrani 10:25).
Di tengah situasi-situasi sulit yang menghimpit dunia jangan sekali-kali kita menjauh dari Tuhan, karena saat kita dekat dengan Dia pasti ada perlindungan, pertolongan, mujizat dan kemenangan. "Jika Allah di pihak kita, siapakah yang akan melawan kita?" (Roma 8:31)
Tanpa kewaspadaan tinggi kita tidak akan sanggup bertahan, karena itu melekatlah kepada Tuhan!
Sunday, November 2, 2014
MENGAPA TIDAK BERJAGA-JAGA? (2)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 2 November 2014
Baca: 1 Tesalonika 5:1-11
"Apabila mereka mengatakan: Semuanya damai dan aman--maka tiba-tiba mereka ditimpa oleh kebinasaan, seperti seorang perempuan yang hamil ditimpa oleh sakit bersalin--mereka pasti tidak akan luput." 1 Tesalonika 5:3
Kurangnya pengenalan yang benar tentang Tuhan adalah akibat dangkalnya pengenalan kita tentang firmanNya. Kita pun menjadi kurang peka secara rohani. Kita tidak menyadari bahwa hari-hari yang sedang kita jalani ini sedang berada di penghujung zaman, artinya kedatangan Tuhan sudah teramat dekat.
Dibutuhkan sikap berjaga-jaga setiap waktu, sebab "...hari Tuhan datang seperti pencuri pada malam." (1 Tesalonika 5:2). Kita berpikir bahwa situasi dan keadaan tampak baik-baik saja dan tidak ada sesuatu yang perlu dikuatirkan, "Semuanya damai dan aman..." (ayat nas). Alkitab memperingatkan: "Karena manusia tidak mengetahui waktunya. Seperti ikan yang tertangkap dalam jala yang mencelakakan, dan seperti burung yang tertangkap dalam jerat, begitulah anak-anak manusia terjerat pada waktu yang malang, kalau hal itu menimpa mereka secara tiba-tiba." (Pengkotbah 9:12). Namun bila kita senantiasa tinggal di dalam firman Tuhan (membaca, merenungkan siang-malam dan melakukannya) maka kita akan semakin menyadari bahwa kekuatan kita sangat terbatas. Keamanan, ketenangan dan ketenteraman sejati hanya dapat kita temukan di dalam Tuhan. Tidak ada jalan lain yang membuat kita tegak berdiri di masa-masa akhir selain kita harus berjaga-jaga senantiasa di dalam Tuhan dan tidak lagi hidup semborono, sebab kita tahu nasihat Alkitab: "Karena itu, perhatikanlah dengan saksama, bagaimana kamu hidup, janganlah seperti orang bebal, tetapi seperti orang arif, dan pergunakanlah waktu yang ada, karena hari-hari ini adalah jahat." (Efesus 5:15-16).
3. Ketika kita salah dalam bergaul. "Pergaulan yang buruk merusakkan kebiasaan yang baik." (1 Korintus 15:33b). Penulis Amsal juga mengingatkan, "Siapa bergaul dengan orang bijak menjadi bijak, tetapi siapa berteman dengan orang bebal menjadi malang." (Amsal 13:20). Pergaulan salah membawa seseorang makin terbawa arus dunia ini sehingga lebih menuruti keinginan daging.
Berjaga-jagalah senantiasa karena tak seorang pun tahu apa yang akan terjadi esok, sebab hari-hari ini adalah jahat!
Baca: 1 Tesalonika 5:1-11
"Apabila mereka mengatakan: Semuanya damai dan aman--maka tiba-tiba mereka ditimpa oleh kebinasaan, seperti seorang perempuan yang hamil ditimpa oleh sakit bersalin--mereka pasti tidak akan luput." 1 Tesalonika 5:3
Kurangnya pengenalan yang benar tentang Tuhan adalah akibat dangkalnya pengenalan kita tentang firmanNya. Kita pun menjadi kurang peka secara rohani. Kita tidak menyadari bahwa hari-hari yang sedang kita jalani ini sedang berada di penghujung zaman, artinya kedatangan Tuhan sudah teramat dekat.
Dibutuhkan sikap berjaga-jaga setiap waktu, sebab "...hari Tuhan datang seperti pencuri pada malam." (1 Tesalonika 5:2). Kita berpikir bahwa situasi dan keadaan tampak baik-baik saja dan tidak ada sesuatu yang perlu dikuatirkan, "Semuanya damai dan aman..." (ayat nas). Alkitab memperingatkan: "Karena manusia tidak mengetahui waktunya. Seperti ikan yang tertangkap dalam jala yang mencelakakan, dan seperti burung yang tertangkap dalam jerat, begitulah anak-anak manusia terjerat pada waktu yang malang, kalau hal itu menimpa mereka secara tiba-tiba." (Pengkotbah 9:12). Namun bila kita senantiasa tinggal di dalam firman Tuhan (membaca, merenungkan siang-malam dan melakukannya) maka kita akan semakin menyadari bahwa kekuatan kita sangat terbatas. Keamanan, ketenangan dan ketenteraman sejati hanya dapat kita temukan di dalam Tuhan. Tidak ada jalan lain yang membuat kita tegak berdiri di masa-masa akhir selain kita harus berjaga-jaga senantiasa di dalam Tuhan dan tidak lagi hidup semborono, sebab kita tahu nasihat Alkitab: "Karena itu, perhatikanlah dengan saksama, bagaimana kamu hidup, janganlah seperti orang bebal, tetapi seperti orang arif, dan pergunakanlah waktu yang ada, karena hari-hari ini adalah jahat." (Efesus 5:15-16).
3. Ketika kita salah dalam bergaul. "Pergaulan yang buruk merusakkan kebiasaan yang baik." (1 Korintus 15:33b). Penulis Amsal juga mengingatkan, "Siapa bergaul dengan orang bijak menjadi bijak, tetapi siapa berteman dengan orang bebal menjadi malang." (Amsal 13:20). Pergaulan salah membawa seseorang makin terbawa arus dunia ini sehingga lebih menuruti keinginan daging.
Berjaga-jagalah senantiasa karena tak seorang pun tahu apa yang akan terjadi esok, sebab hari-hari ini adalah jahat!
Saturday, November 1, 2014
MENGAPA TIDAK BERJAGA-JAGA? (1)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 1 November 2014
Baca: Kolose 4:1-6
"Bertekunlah dalam doa dan dalam pada itu berjaga-jagalah sambil mengucap syukur." Kolose 4:2
Berjaga-jaga berarti waspada terhadap segala kemungkinan, terutama dalam hal-hal negatif. Berjaga-jaga juga berarti sikap bersiap-siap, awas atau berhati-hati. Mengapa kita harus selalu berjaga-jaga? Karena hari-hari yang kita jalani ini penuh kejutan, perubahan, percepatan atau hal-hal tak terduga yang bisa saja terjadi sewaktu-waktu. Tak ada seorang pun tahu apa yang akan terjadi di kemudian hari, karena itu "Janganlah memuji diri karena esok hari, karena engkau tidak tahu apa yang akan terjadi hari itu." (Amsal 27:1). Samuel Taylor Coleridge dengan sangat bijak berkata, "Kita tidak tahu bagaimana hari esok, yang bisa kita lakukan ialah berbuat sebaik-baiknya dan berbahagia pada hari ini."
Ada beberapa faktor mengapa orang tidak berjaga-jaga: 1. Terlalu percaya diri atau over confidence. Rasa percaya diri yang berlebihan membuat orang merasa dirinya cukup kuat sehingga dalam segala hal mengandalkan kekuatan sendiri. Orang yang demikian sulit sekali menerima nasihat dan teguran orang lain. Alkitab memperingatkan: "...janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri... Janganlah engkau menganggap dirimu sendiri bijak," (Amsal 3:5, 7). Rasul Paulus juga memperingatkan, "...siapa yang menyangka, bahwa ia teguh berdiri, hati-hatilah supaya ia jangan jatuh!" (1 Korintus 10:12); "Baiklah tiap-tiap orang menguji pekerjaannya sendiri;" (Galatia 6:4). Jika saat ini kita tegak berdiri dan menang atas pencobaan, jangan takabur, sebab Iblis tidak akan pernah menghentikan usahanya sebelum misinya berhasil yaitu mencuri, membunuh dan membinasakan (baca Yohanes 10:10a). 2. Kurangnya pengenalan akan Tuhan dan firman-Nya. "Umat-Ku binasa karena tidak mengenal Allah; karena engkaulah yang menolak pengenalan itu maka Aku menolak engkau menjadi imam-Ku; dan karena engkau melupakan pengajaran Allahmu, maka Aku juga akan melupakan anak-anakmu." (Hosea 4:6). Seseorang yang tidak memiliki pengenalan yang benar tentang Tuhan (pribadi, kuasa, kasih, kehendak-Nya dan sebaginya) akan cenderung mengisi hari-harinya dengan perbuatan-perbuatan sia-sia. Ia lupa bahwa setiap tindakan ada konsekuensinya.
Jangan merasa diri kuat, tapi makin mendekatlah kepada Tuhan supaya kita dapat bertahan!
Baca: Kolose 4:1-6
"Bertekunlah dalam doa dan dalam pada itu berjaga-jagalah sambil mengucap syukur." Kolose 4:2
Berjaga-jaga berarti waspada terhadap segala kemungkinan, terutama dalam hal-hal negatif. Berjaga-jaga juga berarti sikap bersiap-siap, awas atau berhati-hati. Mengapa kita harus selalu berjaga-jaga? Karena hari-hari yang kita jalani ini penuh kejutan, perubahan, percepatan atau hal-hal tak terduga yang bisa saja terjadi sewaktu-waktu. Tak ada seorang pun tahu apa yang akan terjadi di kemudian hari, karena itu "Janganlah memuji diri karena esok hari, karena engkau tidak tahu apa yang akan terjadi hari itu." (Amsal 27:1). Samuel Taylor Coleridge dengan sangat bijak berkata, "Kita tidak tahu bagaimana hari esok, yang bisa kita lakukan ialah berbuat sebaik-baiknya dan berbahagia pada hari ini."
Ada beberapa faktor mengapa orang tidak berjaga-jaga: 1. Terlalu percaya diri atau over confidence. Rasa percaya diri yang berlebihan membuat orang merasa dirinya cukup kuat sehingga dalam segala hal mengandalkan kekuatan sendiri. Orang yang demikian sulit sekali menerima nasihat dan teguran orang lain. Alkitab memperingatkan: "...janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri... Janganlah engkau menganggap dirimu sendiri bijak," (Amsal 3:5, 7). Rasul Paulus juga memperingatkan, "...siapa yang menyangka, bahwa ia teguh berdiri, hati-hatilah supaya ia jangan jatuh!" (1 Korintus 10:12); "Baiklah tiap-tiap orang menguji pekerjaannya sendiri;" (Galatia 6:4). Jika saat ini kita tegak berdiri dan menang atas pencobaan, jangan takabur, sebab Iblis tidak akan pernah menghentikan usahanya sebelum misinya berhasil yaitu mencuri, membunuh dan membinasakan (baca Yohanes 10:10a). 2. Kurangnya pengenalan akan Tuhan dan firman-Nya. "Umat-Ku binasa karena tidak mengenal Allah; karena engkaulah yang menolak pengenalan itu maka Aku menolak engkau menjadi imam-Ku; dan karena engkau melupakan pengajaran Allahmu, maka Aku juga akan melupakan anak-anakmu." (Hosea 4:6). Seseorang yang tidak memiliki pengenalan yang benar tentang Tuhan (pribadi, kuasa, kasih, kehendak-Nya dan sebaginya) akan cenderung mengisi hari-harinya dengan perbuatan-perbuatan sia-sia. Ia lupa bahwa setiap tindakan ada konsekuensinya.
Jangan merasa diri kuat, tapi makin mendekatlah kepada Tuhan supaya kita dapat bertahan!
Subscribe to:
Posts (Atom)