Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 29 Februari 2020
Baca: Kolose 1:15-23
" ...oleh Dialah Ia memperdamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya, baik yang
ada di bumi, maupun yang ada di sorga, sesudah Ia mengadakan pendamaian
oleh darah salib Kristus." Kolose 1:20
Kata 'damai' dalam bahasa Ibrani: shalom, memiliki makna: sejahtera, tidak ada yang hilang, tidak ada perpecahan, sehat, kaya, bahagia dan keadaan baik. Tuhan adalah penyelenggara damai itu sendiri. Dengan kata lain Tuhan adalah sumber damai itu, karena Dia adalah Raja damai (Yesaya 9:5). Ketika Kristus lahir ke dunia, malaikat-malaikat di sorga memproklamirkan damai sejahtera di bumi. "Dan tiba-tiba tampaklah bersama-sama dengan malaikat itu sejumlah besar bala tentara sorga yang memuji Allah, katanya: 'Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya.'" (Lukas 2:13-14).
Apakah sebelum Kristus lahir tidak ada damai di bumi? Sebelum Kristus menjadi korban pendamaian, manusia hidup dalam perseteruan dengan Bapa oleh karena dosa dan kejahatan yang diperbuatnya. Hal ini ditegaskan oleh rasul Paulus, "Karena Dialah damai sejahtera kita, yang telah mempersatukan kedua pihak
dan yang telah merubuhkan tembok pemisah, yaitu perseteruan," (Efesus 2:14). Tidak bisa dibayangkan, selama ribuan tahun manusia hidup dalam perseteruan dengan Bapa di sorga.
Ketika Kristus menjadi korban yang menyenangkan hati Bapa, damai sejahtera Bapa yang melampaui segala akal diberikan kepada setiap orang yang mau percaya dan menerima Putera-Nya sebagai Tuhan dan Juruselamat. Damai akan kita miliki dan alami hanya apabila kita menerima pengampunan dan diperdamaikan dengan Bapa melalui darah Kristus. Tanpa pencurahan darah Kristus di Kalvari tak akan pernah ada perdamaian dengan Bapa bagi kita. "Sebab Allah mendamaikan dunia dengan diri-Nya oleh Kristus dengan tidak memperhitungkan pelanggaran mereka." (2 Korintus 5:19a). Bapalah yang berinisiatif mendamaikan umat manusia dengan diri-Nya sendiri, "Sebab itu, kita yang dibenarkan karena iman, kita hidup dalam damai sejahtera..." (Roma 5:1).
"Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku
Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan
oleh dunia kepadamu. Janganlah gelisah dan gentar hatimu." Yohanes 14:27
Saturday, February 29, 2020
Friday, February 28, 2020
JANGAN SAMPAI LUPA DARATAN
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 28 Februari 2020
Baca: Tawarikh 12:1-16
"Oleh sebab raja merendahkan diri, surutlah murka TUHAN dari padanya, sehingga ia tidak dimusnahkan-Nya sama sekali. Lagipula masih terdapat hal-hal yang baik di Yehuda." 2 Tawarikh 12:12
Saat berada di puncak karir, sukses dan hidup dalam kelimpahan, banyak orang menjadi lupa diri, tak lagi ingat asal usulnya, seperti istilahnya 'kacang lupa kulitnya'. Berbeda sekali saat masih dalam keadaan minim atau pas-pasan, mereka begitu rajin beribadah hingga secara perlahan hidupnya mulai berubah, dipulihkan dan diberkati Tuhan. Sayang secepat kilat pula orang mulai berubah, mereka tidak lagi memprioritaskan Tuhan.
Hal ini terjadi pada Rehabeam, raja Yehuda. Alkitab mencatat: "Rehabeam beserta seluruh Israel meninggalkan hukum TUHAN, ketika kerajaannya menjadi kokoh dan kekuasaannya menjadi teguh." (2 Tawarikh 12:1). Setelah kerajaannya kokoh dan kekuasaannya menjadi teguh Rehabeam dan rakyatnya mulai meninggalkan Tuhan dan tak lagi hidup mengandalkan Dia, karena merasa diri kuat dan hebat. Berada di puncak kejayaan membuat Rehabeam lupa diri dan tidak lagi setia kepada Tuhan. Mereka meninggalkan hukum Tuhan, alias tidak lagi taat. Ia terlalu membanggakan kekuatan pasukan perangnya dan juga hidup mengandalkan kekayaan negerinya yang melimpah ruah. Tuhan tidak lagi mereka butuhkan! Firman Tuhan memperingatkan, "Celakalah orang-orang...yang mengandalkan kuda-kuda, yang percaya kepada keretanya yang begitu banyak, dan kepada pasukan berkuda yang begitu besar jumlahnya, tetapi tidak memandang kepada Yang Mahakudus," (Yesaya 31:1). Apa yang terjadi kemudian? Ketika negerinya sedang terancam karena musuh yang datang dari kerajaan Mesir, Rehabeam menjadi takut dan mulai sadar bahwa ia sangat membutuhkan pertolongan dari Tuhan. Ternyata, tanpa Tuhan mereka tidak ada apa-apanya.
Rehabeam pun merendahkan diri di hadapan Tuhan dan mengakui segala dosa dan kesalahan yang telah ia dan rakyatnya perbuat. Melihat kesungguhan hati Rehabeam ini hati Tuhan pun tergerak oleh belas kasihan. Tuhan mengurungkan niat-Nya untuk menghukum dan memusnahkan kerajaan Yehuda (ayat nas).
Hati Tuhan tergerak oleh belas kasihan ketika melihat seseorang merendahkan diri di hadapan-Nya dan mau bertobat dengan sungguh-sungguh!
Baca: Tawarikh 12:1-16
"Oleh sebab raja merendahkan diri, surutlah murka TUHAN dari padanya, sehingga ia tidak dimusnahkan-Nya sama sekali. Lagipula masih terdapat hal-hal yang baik di Yehuda." 2 Tawarikh 12:12
Saat berada di puncak karir, sukses dan hidup dalam kelimpahan, banyak orang menjadi lupa diri, tak lagi ingat asal usulnya, seperti istilahnya 'kacang lupa kulitnya'. Berbeda sekali saat masih dalam keadaan minim atau pas-pasan, mereka begitu rajin beribadah hingga secara perlahan hidupnya mulai berubah, dipulihkan dan diberkati Tuhan. Sayang secepat kilat pula orang mulai berubah, mereka tidak lagi memprioritaskan Tuhan.
Hal ini terjadi pada Rehabeam, raja Yehuda. Alkitab mencatat: "Rehabeam beserta seluruh Israel meninggalkan hukum TUHAN, ketika kerajaannya menjadi kokoh dan kekuasaannya menjadi teguh." (2 Tawarikh 12:1). Setelah kerajaannya kokoh dan kekuasaannya menjadi teguh Rehabeam dan rakyatnya mulai meninggalkan Tuhan dan tak lagi hidup mengandalkan Dia, karena merasa diri kuat dan hebat. Berada di puncak kejayaan membuat Rehabeam lupa diri dan tidak lagi setia kepada Tuhan. Mereka meninggalkan hukum Tuhan, alias tidak lagi taat. Ia terlalu membanggakan kekuatan pasukan perangnya dan juga hidup mengandalkan kekayaan negerinya yang melimpah ruah. Tuhan tidak lagi mereka butuhkan! Firman Tuhan memperingatkan, "Celakalah orang-orang...yang mengandalkan kuda-kuda, yang percaya kepada keretanya yang begitu banyak, dan kepada pasukan berkuda yang begitu besar jumlahnya, tetapi tidak memandang kepada Yang Mahakudus," (Yesaya 31:1). Apa yang terjadi kemudian? Ketika negerinya sedang terancam karena musuh yang datang dari kerajaan Mesir, Rehabeam menjadi takut dan mulai sadar bahwa ia sangat membutuhkan pertolongan dari Tuhan. Ternyata, tanpa Tuhan mereka tidak ada apa-apanya.
Rehabeam pun merendahkan diri di hadapan Tuhan dan mengakui segala dosa dan kesalahan yang telah ia dan rakyatnya perbuat. Melihat kesungguhan hati Rehabeam ini hati Tuhan pun tergerak oleh belas kasihan. Tuhan mengurungkan niat-Nya untuk menghukum dan memusnahkan kerajaan Yehuda (ayat nas).
Hati Tuhan tergerak oleh belas kasihan ketika melihat seseorang merendahkan diri di hadapan-Nya dan mau bertobat dengan sungguh-sungguh!
Wednesday, February 26, 2020
KETIDAKSABARAN MENUNGGU: Menghambat Jawaban
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 26 Februari 2020
Baca: Mazmur 130:1-8
"Jiwaku mengharapkan Tuhan lebih dari pada pengawal mengharapkan pagi, lebih dari pada pengawal mengharapkan pagi." Mazmur 130:6
Menunggu memang tak mudah dilakukan, terlebih-lebih saat kita menginginkan sesuatu, maunya keinginan kita terpenuhi seketika itu juga tanpa harus menunggu. Adakah saat ini doa-doa Saudara kepada Tuhan tak kunjung beroleh jawaban? Kesembuhan, jodoh, terbebas dari krisis keuangan, atau apa pun yang menjadi pokok doa Saudara, sabarlah menunggu. Ketidaksabaran menunggu jawaban dari Tuhan justru akan menjadi faktor penghalang untuk kita mengalami penggenapan janji-janji Tuhan.
Penantian yang panjang terkadang membuat orang gampang menyerah dan putus asa, tapi tidak demikian dengan Hana (1 Samuel 1). Penantian panjang justru semakin mengobarkan semangatnya untuk mencari Tuhan dengan sungguh-sungguh dan semakin tekun. Meskipun tidak mengetahui kapan jawaban dari Tuhan itu datang, Hana tetap menguatkan imannya kepada Tuhan. Ia percaya bahwa janji Tuhan adalah ya dan amin. Karena itu sekalipun situasi sangat sulit, sikap hatinya tak berubah, ia terus bertekun di dalam Tuhan. Apa yang kita doakan memang berada dalam rencana Tuhan, namun karena kita tidak sejalan dengan agenda dan waktu-Nya, maka kelihatannya Tuhan tidak menjawab doa-doa kita, atau menunda-nunda untuk memberikan jawaban.
Ketika jawaban itu belum kunjung tiba, ketika Tuhan tidak menjawab seperti yang kita harapkan, sangatlah mudah kita bersungut-sungut dan kecewa. Ketika Tuhan tampaknya berdiam diri, kita kecewa dan tidak lagi bersemangat mencari Dia. Semangat yang terus mengendur akan berujung kepada keputusasaan. "Orang yang bersemangat dapat menanggung penderitaannya, tetapi siapa akan memulihkan semangat yang patah?" (Amsal 18:14). Meski pergumulan yang dilaluinya teramat berat, Hana tetap setia menjalani 'proses', yaitu terus berdoa dan taat melakukan kehendak Tuhan. "...orang-orang yang menanti-nantikan TUHAN mendapat kekuatan baru: mereka seumpama rajawali yang naik terbang dengan kekuatan sayapnya; mereka berlari dan tidak menjadi lesu, mereka berjalan dan tidak menjadi lelah." (Yesaya 40:31).
"Percayalah kepada-Nya setiap waktu, hai umat, curahkanlah isi hatimu di hadapan-Nya;" Mazmur 62:9
Baca: Mazmur 130:1-8
"Jiwaku mengharapkan Tuhan lebih dari pada pengawal mengharapkan pagi, lebih dari pada pengawal mengharapkan pagi." Mazmur 130:6
Menunggu memang tak mudah dilakukan, terlebih-lebih saat kita menginginkan sesuatu, maunya keinginan kita terpenuhi seketika itu juga tanpa harus menunggu. Adakah saat ini doa-doa Saudara kepada Tuhan tak kunjung beroleh jawaban? Kesembuhan, jodoh, terbebas dari krisis keuangan, atau apa pun yang menjadi pokok doa Saudara, sabarlah menunggu. Ketidaksabaran menunggu jawaban dari Tuhan justru akan menjadi faktor penghalang untuk kita mengalami penggenapan janji-janji Tuhan.
Penantian yang panjang terkadang membuat orang gampang menyerah dan putus asa, tapi tidak demikian dengan Hana (1 Samuel 1). Penantian panjang justru semakin mengobarkan semangatnya untuk mencari Tuhan dengan sungguh-sungguh dan semakin tekun. Meskipun tidak mengetahui kapan jawaban dari Tuhan itu datang, Hana tetap menguatkan imannya kepada Tuhan. Ia percaya bahwa janji Tuhan adalah ya dan amin. Karena itu sekalipun situasi sangat sulit, sikap hatinya tak berubah, ia terus bertekun di dalam Tuhan. Apa yang kita doakan memang berada dalam rencana Tuhan, namun karena kita tidak sejalan dengan agenda dan waktu-Nya, maka kelihatannya Tuhan tidak menjawab doa-doa kita, atau menunda-nunda untuk memberikan jawaban.
Ketika jawaban itu belum kunjung tiba, ketika Tuhan tidak menjawab seperti yang kita harapkan, sangatlah mudah kita bersungut-sungut dan kecewa. Ketika Tuhan tampaknya berdiam diri, kita kecewa dan tidak lagi bersemangat mencari Dia. Semangat yang terus mengendur akan berujung kepada keputusasaan. "Orang yang bersemangat dapat menanggung penderitaannya, tetapi siapa akan memulihkan semangat yang patah?" (Amsal 18:14). Meski pergumulan yang dilaluinya teramat berat, Hana tetap setia menjalani 'proses', yaitu terus berdoa dan taat melakukan kehendak Tuhan. "...orang-orang yang menanti-nantikan TUHAN mendapat kekuatan baru: mereka seumpama rajawali yang naik terbang dengan kekuatan sayapnya; mereka berlari dan tidak menjadi lesu, mereka berjalan dan tidak menjadi lelah." (Yesaya 40:31).
"Percayalah kepada-Nya setiap waktu, hai umat, curahkanlah isi hatimu di hadapan-Nya;" Mazmur 62:9
Monday, February 24, 2020
SUDAHKAH KITA BERMURAH HATI?
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 24 Februari 2020
Baca: 1 Yohanes 3:11-18
"Barangsiapa mempunyai harta duniawi dan melihat saudaranya menderita kekurangan tetapi menutup pintu hatinya terhadap saudaranya itu, bagaimanakah kasih Allah dapat tetap di dalam dirinya?" 1 Yohanes 3:17
Salah satu karakter yang harus dimiliki setiap orang percaya adalah murah hati. "Hendaklah kamu murah hati, sama seperti Bapamu adalah murah hati." (Lukas 6:36). Kristus menegaskan hal ini saat Ia mengajar orang banyak di atas bukit: "Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan." (Matius 5:7). Murah hati berarti memperhatikan orang lain yang sedang dalam kekurangan, menawarkan bantuan kepada mereka yang terluka dan menderita. Murah hati bukan hanya perasaan kasihan terhadap orang yang dalam kesulitan, bukan perasaan simpati yang diberikan dari luar saja, tetapi berusaha mengerti lebih dalam, sehingga dapat melihat dan merasakan apa yang orang lain rasakan. Rasul Yohanes mengatakan jika seseorang memiliki harta lebih, tapi tetap menutup mata atau berpura-pura tidak tahu terhadap saudaranya yang kekurangan, di dalam dirinya tidak ada kasih Tuhan, barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Tuhan, sebab Tuhan adalah kasih (1 Yohanes 4:8).
Mempunyai kemurahan hati berarti punya kepedulian tinggi terhadap orang lain dan mau terlibat. Ia tidak hanya menawarkan kata-kata nasihat atau mengupas panjang lebar ayat-ayat Alkitab di hadapan orang yang sedang dalam kesulitan tanpa berbuat apa-apa, melainkan ada sebuah tindakan: "Jika seorang saudara atau saudari tidak mempunyai pakaian dan kekurangan makanan sehari-hari, dan seorang dari antara kamu berkata: 'Selamat jalan, kenakanlah kain panas dan makanlah sampai kenyang!', tetapi ia tidak memberikan kepadanya apa yang perlu bagi tubuhnya, apakah gunanya itu? Demikian juga halnya dengan iman: Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati." (Yakobus 2:15-17).
Apa upah bagi seorang pemurah? Tuhan berjanji bahwa mereka yang memperhatikan orang lain dan menunjukkan kemurahan hati akan beroleh kemurahan juga sebagai balasannya, baik dari sesama maupun dari Tuhan sendiri.
"Dan sebagaimana kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah juga demikian kepada mereka." Lukas 6:31
Baca: 1 Yohanes 3:11-18
"Barangsiapa mempunyai harta duniawi dan melihat saudaranya menderita kekurangan tetapi menutup pintu hatinya terhadap saudaranya itu, bagaimanakah kasih Allah dapat tetap di dalam dirinya?" 1 Yohanes 3:17
Salah satu karakter yang harus dimiliki setiap orang percaya adalah murah hati. "Hendaklah kamu murah hati, sama seperti Bapamu adalah murah hati." (Lukas 6:36). Kristus menegaskan hal ini saat Ia mengajar orang banyak di atas bukit: "Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan." (Matius 5:7). Murah hati berarti memperhatikan orang lain yang sedang dalam kekurangan, menawarkan bantuan kepada mereka yang terluka dan menderita. Murah hati bukan hanya perasaan kasihan terhadap orang yang dalam kesulitan, bukan perasaan simpati yang diberikan dari luar saja, tetapi berusaha mengerti lebih dalam, sehingga dapat melihat dan merasakan apa yang orang lain rasakan. Rasul Yohanes mengatakan jika seseorang memiliki harta lebih, tapi tetap menutup mata atau berpura-pura tidak tahu terhadap saudaranya yang kekurangan, di dalam dirinya tidak ada kasih Tuhan, barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Tuhan, sebab Tuhan adalah kasih (1 Yohanes 4:8).
Mempunyai kemurahan hati berarti punya kepedulian tinggi terhadap orang lain dan mau terlibat. Ia tidak hanya menawarkan kata-kata nasihat atau mengupas panjang lebar ayat-ayat Alkitab di hadapan orang yang sedang dalam kesulitan tanpa berbuat apa-apa, melainkan ada sebuah tindakan: "Jika seorang saudara atau saudari tidak mempunyai pakaian dan kekurangan makanan sehari-hari, dan seorang dari antara kamu berkata: 'Selamat jalan, kenakanlah kain panas dan makanlah sampai kenyang!', tetapi ia tidak memberikan kepadanya apa yang perlu bagi tubuhnya, apakah gunanya itu? Demikian juga halnya dengan iman: Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati." (Yakobus 2:15-17).
Apa upah bagi seorang pemurah? Tuhan berjanji bahwa mereka yang memperhatikan orang lain dan menunjukkan kemurahan hati akan beroleh kemurahan juga sebagai balasannya, baik dari sesama maupun dari Tuhan sendiri.
"Dan sebagaimana kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah juga demikian kepada mereka." Lukas 6:31
Sunday, February 23, 2020
JANDA MISKIN: Memberi Dari Kekurangan
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 23 Februari 2020
Baca: Markus 12:41-44
"Sebab mereka semua memberi dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya, semua yang ada padanya, yaitu seluruh nafkahnya." Markus 12:44
Tuhan mengetahui setiap persembahan umat-Nya: besar atau kecil, banyak atau sedikit, sekalipun orang lain tidak mengetahuinya. Terlebih-lebih motivasi orang dalam memberi persembahan, Tuhan tahu secara persis (1 Tawarikh 28:9). Banyak terjadi justru orang-orang yang ekonominya lemah dan hidup dalam kekuranganlah yang terbeban untuk memberi/mendukung pekerjaan Tuhan. Mereka memberi persembahan dari kekurangannya, seperti "...seorang janda yang miskin dan ia memasukkan dua peser, yaitu satu duit." (Markus 12:42). Peser adalah mata uang tembaga Yahudi yang paling kecil, sama dengan setengah duit. Persembahan janda miskin ini menjadi perhatian Kristus karena Dia melihat betapa besar pengorbanan wanita itu, sebab ia memberi dari kekurangannya, semua yang ada padanya, yaitu seluruh nafkahnya ia berikan (ayat nas).
Pada waktu itu ada banyak orang memberikan persembahan, bahkan murid-murid Tuhan melihat ada orang-orang yang memberikan persembahan dalam jumlah yang besar, tapi mata Tuhan justru tertuju kepada persembahan seorang janda miskin tersebut. Ini menunjukkan bahwa penilaian Tuhan itu berbeda dengan penilaian manusia. Bagi orang-orang yang kaya tentunya tidak terlalu sulit untuk memberikan persembahan, berapa pun jumlahnya. Namun kenyataannya tidak sedikit orang kaya yang justru enggan dan berat hati untuk menyisihkan sedikit uang dari perbendaharaan hartanya, kecuali bila persembahan tersebut membawa keuntungan bagi dirinya atau reputasinya. Adalah sangat mudah memberikan bantuan atau persembahan bila pemberian tersebut dilihat oleh orang lain, apalagi bila disiarkan, diliput atau diumumkan lewat media.
Lain halnya dengan orang miskin yang justru memberi dengan sembunyi-sembunyi karena merasa persembahannya sangat sedikit dan tidak berarti, namun mereka memberi dengan hati yang tulus dan rela. "Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita." (2 Korintus 9:7).
Tuhan tidak melihat seberapa besar persembahan kita, tapi Dia melihat motivasi hati kita saat memberi.
Baca: Markus 12:41-44
"Sebab mereka semua memberi dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya, semua yang ada padanya, yaitu seluruh nafkahnya." Markus 12:44
Tuhan mengetahui setiap persembahan umat-Nya: besar atau kecil, banyak atau sedikit, sekalipun orang lain tidak mengetahuinya. Terlebih-lebih motivasi orang dalam memberi persembahan, Tuhan tahu secara persis (1 Tawarikh 28:9). Banyak terjadi justru orang-orang yang ekonominya lemah dan hidup dalam kekuranganlah yang terbeban untuk memberi/mendukung pekerjaan Tuhan. Mereka memberi persembahan dari kekurangannya, seperti "...seorang janda yang miskin dan ia memasukkan dua peser, yaitu satu duit." (Markus 12:42). Peser adalah mata uang tembaga Yahudi yang paling kecil, sama dengan setengah duit. Persembahan janda miskin ini menjadi perhatian Kristus karena Dia melihat betapa besar pengorbanan wanita itu, sebab ia memberi dari kekurangannya, semua yang ada padanya, yaitu seluruh nafkahnya ia berikan (ayat nas).
Pada waktu itu ada banyak orang memberikan persembahan, bahkan murid-murid Tuhan melihat ada orang-orang yang memberikan persembahan dalam jumlah yang besar, tapi mata Tuhan justru tertuju kepada persembahan seorang janda miskin tersebut. Ini menunjukkan bahwa penilaian Tuhan itu berbeda dengan penilaian manusia. Bagi orang-orang yang kaya tentunya tidak terlalu sulit untuk memberikan persembahan, berapa pun jumlahnya. Namun kenyataannya tidak sedikit orang kaya yang justru enggan dan berat hati untuk menyisihkan sedikit uang dari perbendaharaan hartanya, kecuali bila persembahan tersebut membawa keuntungan bagi dirinya atau reputasinya. Adalah sangat mudah memberikan bantuan atau persembahan bila pemberian tersebut dilihat oleh orang lain, apalagi bila disiarkan, diliput atau diumumkan lewat media.
Lain halnya dengan orang miskin yang justru memberi dengan sembunyi-sembunyi karena merasa persembahannya sangat sedikit dan tidak berarti, namun mereka memberi dengan hati yang tulus dan rela. "Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita." (2 Korintus 9:7).
Tuhan tidak melihat seberapa besar persembahan kita, tapi Dia melihat motivasi hati kita saat memberi.
Saturday, February 22, 2020
MENJAGA KESUCIAN HIDUP
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 22 Februari 2020
Baca: 1 Korintus 6:12-20
"Jauhkanlah dirimu dari percabulan! Setiap dosa lain yang dilakukan manusia, terjadi di luar dirinya. Tetapi orang yang melakukan percabulan berdosa terhadap dirinya sendiri." 1 Korintus 6:18
Percabulan menjadi salah satu senjata yang paling ampuh yang dipakai Iblis untuk merusak dan menghancurkan hidup manusia di zaman akhir. Bukankah sekarang ini percabulan, perzinahan, perselingkuhan, pemerkosaan, prostitusi atau dosa seksual lainnya begitu merajalela, terjadi di mana-mana, kapan saja, menyerang siapa saja tanpa mengenal faktor usia? Pengaruh pornografi melalui internet atau medsos semakin memudahkan orang jatuh dalam dosa jenis ini, bahkan orang tak lagi malu melakukan perbuatan mesum. Keadaan ini tak jauh berbeda dengan manusia di zaman Nuh dan Sodom Gomora! "Saudara-saudaraku yang kekasih, karena kita sekarang memiliki janji-janji itu, marilah kita menyucikan diri kita dari semua pencemaran jasmani dan rohani, dan dengan demikian menyempurnakan kekudusan kita dalam takut akan Allah." (2 Korintus 7:1).
Ditegaskan, setiap dosa yang dilakukan manusia terjadi di luar dirinya, tetapi orang yang melakukan percabulan atau dosa seksual berdosa terhadap dirinya sendiri, sebab ia telah mencemarkan tubuhnya yang adalah bait Roh Kudus. Berhati-hatilah! Iblis seringkali menggunakan perangkap atau jebakan melalui dosa seks untuk menjatuhkan iman seseorang. Jangan membuka celah sedikit pun kepada Iblis! Dan jangan pernah merasa diri kuat. Sekalipun kita sudah terlibat dalam pelayanan dan menyandang predikat hamba Tuhan atau pemimpin rohani, bukan berarti kita kebal terhadap dosa. Bagaimana pun juga kita masih hidup dalam daging, "Sebab itu siapa yang menyangka, bahwa ia teguh berdiri, hati-hatilah supaya ia jangan jatuh!" (1 Korintus 10:12).
Ada beberapa contoh tokoh di Alkitab yang juga pernah jatuh dalam dosa percabulan: 1. Simson. Seorang nazir Tuhan, harus mengalami akhir hidup yang sangat tragis (Hakim-Hakim 16). Pertemuannya dengan Delia (gadis Filistin) membuat Simson jatuh dalam dosa percabulan. 2. Daud. Ia terjebak dalam dosa perzinahan dengan Batsyeba. Kurang apa dengan Daud? Seorang yang dikenal sangat karib dengan Tuhan pun, jatuh dalam dosa, karena tak bisa menguasai diri terhadap hawa nafsunya.
"Karena itu matikanlah dalam dirimu segala sesuatu yang duniawi," Kolose 3:5
Baca: 1 Korintus 6:12-20
"Jauhkanlah dirimu dari percabulan! Setiap dosa lain yang dilakukan manusia, terjadi di luar dirinya. Tetapi orang yang melakukan percabulan berdosa terhadap dirinya sendiri." 1 Korintus 6:18
Percabulan menjadi salah satu senjata yang paling ampuh yang dipakai Iblis untuk merusak dan menghancurkan hidup manusia di zaman akhir. Bukankah sekarang ini percabulan, perzinahan, perselingkuhan, pemerkosaan, prostitusi atau dosa seksual lainnya begitu merajalela, terjadi di mana-mana, kapan saja, menyerang siapa saja tanpa mengenal faktor usia? Pengaruh pornografi melalui internet atau medsos semakin memudahkan orang jatuh dalam dosa jenis ini, bahkan orang tak lagi malu melakukan perbuatan mesum. Keadaan ini tak jauh berbeda dengan manusia di zaman Nuh dan Sodom Gomora! "Saudara-saudaraku yang kekasih, karena kita sekarang memiliki janji-janji itu, marilah kita menyucikan diri kita dari semua pencemaran jasmani dan rohani, dan dengan demikian menyempurnakan kekudusan kita dalam takut akan Allah." (2 Korintus 7:1).
Ditegaskan, setiap dosa yang dilakukan manusia terjadi di luar dirinya, tetapi orang yang melakukan percabulan atau dosa seksual berdosa terhadap dirinya sendiri, sebab ia telah mencemarkan tubuhnya yang adalah bait Roh Kudus. Berhati-hatilah! Iblis seringkali menggunakan perangkap atau jebakan melalui dosa seks untuk menjatuhkan iman seseorang. Jangan membuka celah sedikit pun kepada Iblis! Dan jangan pernah merasa diri kuat. Sekalipun kita sudah terlibat dalam pelayanan dan menyandang predikat hamba Tuhan atau pemimpin rohani, bukan berarti kita kebal terhadap dosa. Bagaimana pun juga kita masih hidup dalam daging, "Sebab itu siapa yang menyangka, bahwa ia teguh berdiri, hati-hatilah supaya ia jangan jatuh!" (1 Korintus 10:12).
Ada beberapa contoh tokoh di Alkitab yang juga pernah jatuh dalam dosa percabulan: 1. Simson. Seorang nazir Tuhan, harus mengalami akhir hidup yang sangat tragis (Hakim-Hakim 16). Pertemuannya dengan Delia (gadis Filistin) membuat Simson jatuh dalam dosa percabulan. 2. Daud. Ia terjebak dalam dosa perzinahan dengan Batsyeba. Kurang apa dengan Daud? Seorang yang dikenal sangat karib dengan Tuhan pun, jatuh dalam dosa, karena tak bisa menguasai diri terhadap hawa nafsunya.
"Karena itu matikanlah dalam dirimu segala sesuatu yang duniawi," Kolose 3:5
Friday, February 21, 2020
KEBAHAGIAAN DI DUNIA ITU SEMU
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 21 Februari 2020
Baca: Mazmur 25:1-22
"Siapakah orang yang takut akan TUHAN? Kepadanya TUHAN menunjukkan jalan yang harus dipilihnya. Orang itu sendiri akan menetap dalam kebahagiaan dan anak cucunya akan mewarisi bumi." Mazmur 25:12-13
Sudah menjadi hal yang biasa bila manusia membangun kebahagiaan hidupnya berlandaskan materi atau kekayaan duniawi. Mereka berpandangan bahwa memiliki yang dan kekayaan materi berarti kebahagiaan pasti bisa diraih; memiliki uang dan kekayaan materi akan dapat melakukan apa saja yang sesuai yang diinginkan. Tak mengherankan bila pikiran manusia di zaman sekarang ini hanya tertuju pada uang dan kekayaan, bagaimana caranya dapat mengumpulkan uang dan kekayaan sebanyak-banyaknya. Benarkah uang dan kekayaan materi adalah sumber kebahagiaan bagi manusia?
Tidak ada kebahagiaan sejati di dunia ini! Sebab kebahagiaan yang dunia tawarkan adalah semu, tak abadi. Sekalipun memiliki semuanya (uang, harta, popularitas, pangkat), tak menjamin seseorang hidup bahagia. Bukankah sering kita baca dan dengar berita ada banyak public figure yang notabene punya segalanya, tapi kedapatan frustasi dan terjebak dalam kehidupan malam, seks bebas, narkoba dan sebagainya? Apa alasannya? Mereka merasakan kehampaan dalam hidup, ada sesuatu yang kosong. Maka, ingin menemukan kebahagiaan sejati? Carilah Tuhan dengan segenap hati, dan hiduplah seturut dengan kehendak-Nya. Sebab bila kita hidup menyimpang dari jalan-jalan Tuhan kita akan terpisah dari Dia, itu artinya hidup kita akan semakin jauh dari sumber kebahagiaan itu, sebab dosalah yang membuat manusia kehilangan kebahagiaan, seperti manusia pertama yang harus terusir dari taman Eden oleh karena ketidaktaatannya (Kejadian 3).
Jadi siapa pun yang ingin mengalami dan menikmati kebahagiaan dalam hidupnya, tidak ada jalan lain selain harus datang kepada Tuhan dan punya hati yang takut akan Dia. "...orang yang takut akan Allah akan beroleh kebahagiaan, sebab mereka takut terhadap hadirat-Nya." (Pengkhotbah 8:12). Firman Tuhan adalah kebenaran yang akan menuntun kita untuk menemukan jalan kebahagiaan itu. "...dan ikutilah seluruh jalan yang Kuperintahkan kepadamu, supaya kamu berbahagia!" (Yeremia 7:23).
"Engkau memberitahukan kepadaku jalan kehidupan; di hadapan-Mu ada sukacita berlimpah-limpah, di tangan kanan-Mu ada nikmat senantiasa." Mazmur 16:11
Baca: Mazmur 25:1-22
"Siapakah orang yang takut akan TUHAN? Kepadanya TUHAN menunjukkan jalan yang harus dipilihnya. Orang itu sendiri akan menetap dalam kebahagiaan dan anak cucunya akan mewarisi bumi." Mazmur 25:12-13
Sudah menjadi hal yang biasa bila manusia membangun kebahagiaan hidupnya berlandaskan materi atau kekayaan duniawi. Mereka berpandangan bahwa memiliki yang dan kekayaan materi berarti kebahagiaan pasti bisa diraih; memiliki uang dan kekayaan materi akan dapat melakukan apa saja yang sesuai yang diinginkan. Tak mengherankan bila pikiran manusia di zaman sekarang ini hanya tertuju pada uang dan kekayaan, bagaimana caranya dapat mengumpulkan uang dan kekayaan sebanyak-banyaknya. Benarkah uang dan kekayaan materi adalah sumber kebahagiaan bagi manusia?
Tidak ada kebahagiaan sejati di dunia ini! Sebab kebahagiaan yang dunia tawarkan adalah semu, tak abadi. Sekalipun memiliki semuanya (uang, harta, popularitas, pangkat), tak menjamin seseorang hidup bahagia. Bukankah sering kita baca dan dengar berita ada banyak public figure yang notabene punya segalanya, tapi kedapatan frustasi dan terjebak dalam kehidupan malam, seks bebas, narkoba dan sebagainya? Apa alasannya? Mereka merasakan kehampaan dalam hidup, ada sesuatu yang kosong. Maka, ingin menemukan kebahagiaan sejati? Carilah Tuhan dengan segenap hati, dan hiduplah seturut dengan kehendak-Nya. Sebab bila kita hidup menyimpang dari jalan-jalan Tuhan kita akan terpisah dari Dia, itu artinya hidup kita akan semakin jauh dari sumber kebahagiaan itu, sebab dosalah yang membuat manusia kehilangan kebahagiaan, seperti manusia pertama yang harus terusir dari taman Eden oleh karena ketidaktaatannya (Kejadian 3).
Jadi siapa pun yang ingin mengalami dan menikmati kebahagiaan dalam hidupnya, tidak ada jalan lain selain harus datang kepada Tuhan dan punya hati yang takut akan Dia. "...orang yang takut akan Allah akan beroleh kebahagiaan, sebab mereka takut terhadap hadirat-Nya." (Pengkhotbah 8:12). Firman Tuhan adalah kebenaran yang akan menuntun kita untuk menemukan jalan kebahagiaan itu. "...dan ikutilah seluruh jalan yang Kuperintahkan kepadamu, supaya kamu berbahagia!" (Yeremia 7:23).
"Engkau memberitahukan kepadaku jalan kehidupan; di hadapan-Mu ada sukacita berlimpah-limpah, di tangan kanan-Mu ada nikmat senantiasa." Mazmur 16:11
Thursday, February 20, 2020
BERLAKU SEBAGAI ORANG BIJAK
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 20 Februari 2020
Baca: Amsal 22:1-16
"Kalau orang bijak melihat malapetaka, bersembunyilah ia, tetapi orang yang tak berpengalaman berjalan terus, lalu kena celaka." Amsal 22:3
Berbicara tentang orang bijak, Alkitab selalu mengaitkannya dengan orang yang takut akan Tuhan (orang benar). Orang yang bijak adalah orang yang mampu melihat dan menyikapi segala sesuatu dari sudut pandang rohani sehingga ia tahu bagaimana harus bertindak. Kebijaksanaan dalam diri seseorang itu tidak diperoleh melalui pendidikan formal, ilmu pengetahuan, filosofi atau ide manusia, melainkan melalui ketekunannya dalam merenungkan firman Tuhan: "Permulaan hikmat adalah takut akan TUHAN, dan mengenal Yang Mahakudus adalah pengertian." (Amsal 9:10).
Secara etimologi bahasa, orang bijak adalah orang yang memiliki sikap yang tepat dalam menyikapinya setiap keadaan, situasi dan peristiwa. Ini terjadi karena ia memiliki pancaindera yang terlatih (dewasa rohani) sehingga ia mampu membedakan mana yang menjadi kehendak Tuhan dan yang berkenan kepada-Nya, sehingga ia menaruh sikap hormat akan Tuhan dalam setiap perkataan dan perbuatannya. Banyak orang kurang peka melihat hal-hal yang tidak baik atau jahat yang ada di sekitarnya, sehingga cepat atau lambat mereka akan jatuh dan terbawa arus yang ada. Firman Tuhan memperingatkan, "Keluarlah kamu dari antara mereka, dan pisahkanlah dirimu dari mereka, firman Tuhan, dan janganlah menjamah apa yang najis, maka Aku akan menerima kamu." (2 Korintus 6:17). Ketidakmampuan untuk melihat hal-hal yang jahat atau perkara-perkara dosa adalah suatu kebutaan rohani. Hal ini disebabkan karena orang tidak tinggal (berakar kuat) di dalam firman Tuhan atau tidak membangun fondasi hidup yang kuat.
Matius 7:24-25 menyatakan bahwa orang menjadi bijak ketika ia tekun mendengar ajaran firman Tuhan dan juga melakukannya. Itulah sebabnya, kita membutuhkan firman Tuhan setiap hari, sebab "Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku." (Mazmur 119:105). Firman Tuhan akan menuntun langkah kaki kita kepada jalan kebenaran-Nya. Ada tertulis: "Orang yang tak berpengalaman percaya kepada setiap perkataan, tetapi orang yang bijak memperhatikan langkahnya." (Amsal 14:15).
Seorang yang bijak bila melihat ada hal-hal yang bertentangan dengan kehendak Tuhan, dengan sigap menghindar dan meninggalkannya.
Baca: Amsal 22:1-16
"Kalau orang bijak melihat malapetaka, bersembunyilah ia, tetapi orang yang tak berpengalaman berjalan terus, lalu kena celaka." Amsal 22:3
Berbicara tentang orang bijak, Alkitab selalu mengaitkannya dengan orang yang takut akan Tuhan (orang benar). Orang yang bijak adalah orang yang mampu melihat dan menyikapi segala sesuatu dari sudut pandang rohani sehingga ia tahu bagaimana harus bertindak. Kebijaksanaan dalam diri seseorang itu tidak diperoleh melalui pendidikan formal, ilmu pengetahuan, filosofi atau ide manusia, melainkan melalui ketekunannya dalam merenungkan firman Tuhan: "Permulaan hikmat adalah takut akan TUHAN, dan mengenal Yang Mahakudus adalah pengertian." (Amsal 9:10).
Secara etimologi bahasa, orang bijak adalah orang yang memiliki sikap yang tepat dalam menyikapinya setiap keadaan, situasi dan peristiwa. Ini terjadi karena ia memiliki pancaindera yang terlatih (dewasa rohani) sehingga ia mampu membedakan mana yang menjadi kehendak Tuhan dan yang berkenan kepada-Nya, sehingga ia menaruh sikap hormat akan Tuhan dalam setiap perkataan dan perbuatannya. Banyak orang kurang peka melihat hal-hal yang tidak baik atau jahat yang ada di sekitarnya, sehingga cepat atau lambat mereka akan jatuh dan terbawa arus yang ada. Firman Tuhan memperingatkan, "Keluarlah kamu dari antara mereka, dan pisahkanlah dirimu dari mereka, firman Tuhan, dan janganlah menjamah apa yang najis, maka Aku akan menerima kamu." (2 Korintus 6:17). Ketidakmampuan untuk melihat hal-hal yang jahat atau perkara-perkara dosa adalah suatu kebutaan rohani. Hal ini disebabkan karena orang tidak tinggal (berakar kuat) di dalam firman Tuhan atau tidak membangun fondasi hidup yang kuat.
Matius 7:24-25 menyatakan bahwa orang menjadi bijak ketika ia tekun mendengar ajaran firman Tuhan dan juga melakukannya. Itulah sebabnya, kita membutuhkan firman Tuhan setiap hari, sebab "Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku." (Mazmur 119:105). Firman Tuhan akan menuntun langkah kaki kita kepada jalan kebenaran-Nya. Ada tertulis: "Orang yang tak berpengalaman percaya kepada setiap perkataan, tetapi orang yang bijak memperhatikan langkahnya." (Amsal 14:15).
Seorang yang bijak bila melihat ada hal-hal yang bertentangan dengan kehendak Tuhan, dengan sigap menghindar dan meninggalkannya.
Wednesday, February 19, 2020
HAJARAN TUHAN UNTUK KEBAIKAN
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 19 Februari 2020
Baca: Mazmur 39:1-14
"Engkau menghajar seseorang dengan hukuman karena kesalahannya, dan menghancurkan keelokannya sama seperti gegat (ngengat - Red.);" Mazmur 39:12
Salah satu gelar dan sebutan yang ditujukan kepada Kristus saat Ia masih berada di bumi dan melayani jiwa-jiwa adalah Guru. Di hadapan murid-murid-Nya Kristus berkata, "Kamu menyebut Aku Guru dan Tuhan, dan katamu itu tepat, sebab memang Akulah Guru dan Tuhan." (Yohanes 13:13). Membahas tentang guru dan murid berarti kita juga membahas hal mengajar dan diajar. Ajaran Kristus bersifat Alkitabiah, artinya semua yang Dia ajarkan berasal dari Kitab Suci, yaitu firman yang hidup dan kuat dan lebih tajam dari pada pedang bermata dua mana pun (Ibrani 4:12a). Dalam proses pendidikan ini Tuhan mengajar kita melalui firman-Nya dan juga melalui tuntunan Roh Kudus.
Kalau kita taat pada apa yang Tuhan ajarkan kita pasti akan menerima reward (berkat) dari-Nya. Sebaliknya bila kita tidak mau taat Tuhan pasti akan menegur dan menasihati kita. Apabila sudah ditegor dan dinasihati tetap saja mengeraskan hati dan memberontak, maka tiba waktunya bagi Tuhan untuk menghajar. Hajaran dari Tuhan bisa datang dalam bentuk masalah, kesulitan, kesesakan atau penderitaan. Jika saat ini kita sedang mengalami hajaran dari Tuhan, hal pertama yang harus kita lakukan adalah koreksi diri. Banyak orang Kristen ketika mengalami masalah atau penderitaan langsung berontak, marah atau kecewa kepada Tuhan. Kita seharusnya bersyukur jika Tuhan menghajar kita, itu artinya Tuhan sangat peduli dan mengasihi kita.
Pemazmur menulis: "Berbahagialah orang yang Kauhajar, ya TUHAN, dan yang Kauajari dari Taurat-Mu," (Mazmur 94:12), "karena Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak." (Ibrani 12:6). Dalam hajaran Tuhan kita diberi kesempatan untuk dipulihkan. Jika tidak mau menerima hajaran Tuhan kehancuran yang akan terjadi. Ketika Tuhan menghajar kita Dia tidak menghajar kita dengan kebencian dan dendam yang tersulut, tapi hajaran itu bermuatan kasih. Tuhan tidak ingin kita binasa dan sengsara, karena itu Tuhan harus menghajar kita.
Hajaran Tuhan bertujuan supaya kita bertobat! Ini demi kebaikan kita.
Baca: Mazmur 39:1-14
"Engkau menghajar seseorang dengan hukuman karena kesalahannya, dan menghancurkan keelokannya sama seperti gegat (ngengat - Red.);" Mazmur 39:12
Salah satu gelar dan sebutan yang ditujukan kepada Kristus saat Ia masih berada di bumi dan melayani jiwa-jiwa adalah Guru. Di hadapan murid-murid-Nya Kristus berkata, "Kamu menyebut Aku Guru dan Tuhan, dan katamu itu tepat, sebab memang Akulah Guru dan Tuhan." (Yohanes 13:13). Membahas tentang guru dan murid berarti kita juga membahas hal mengajar dan diajar. Ajaran Kristus bersifat Alkitabiah, artinya semua yang Dia ajarkan berasal dari Kitab Suci, yaitu firman yang hidup dan kuat dan lebih tajam dari pada pedang bermata dua mana pun (Ibrani 4:12a). Dalam proses pendidikan ini Tuhan mengajar kita melalui firman-Nya dan juga melalui tuntunan Roh Kudus.
Kalau kita taat pada apa yang Tuhan ajarkan kita pasti akan menerima reward (berkat) dari-Nya. Sebaliknya bila kita tidak mau taat Tuhan pasti akan menegur dan menasihati kita. Apabila sudah ditegor dan dinasihati tetap saja mengeraskan hati dan memberontak, maka tiba waktunya bagi Tuhan untuk menghajar. Hajaran dari Tuhan bisa datang dalam bentuk masalah, kesulitan, kesesakan atau penderitaan. Jika saat ini kita sedang mengalami hajaran dari Tuhan, hal pertama yang harus kita lakukan adalah koreksi diri. Banyak orang Kristen ketika mengalami masalah atau penderitaan langsung berontak, marah atau kecewa kepada Tuhan. Kita seharusnya bersyukur jika Tuhan menghajar kita, itu artinya Tuhan sangat peduli dan mengasihi kita.
Pemazmur menulis: "Berbahagialah orang yang Kauhajar, ya TUHAN, dan yang Kauajari dari Taurat-Mu," (Mazmur 94:12), "karena Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak." (Ibrani 12:6). Dalam hajaran Tuhan kita diberi kesempatan untuk dipulihkan. Jika tidak mau menerima hajaran Tuhan kehancuran yang akan terjadi. Ketika Tuhan menghajar kita Dia tidak menghajar kita dengan kebencian dan dendam yang tersulut, tapi hajaran itu bermuatan kasih. Tuhan tidak ingin kita binasa dan sengsara, karena itu Tuhan harus menghajar kita.
Hajaran Tuhan bertujuan supaya kita bertobat! Ini demi kebaikan kita.
Tuesday, February 18, 2020
TAK TAHU KAPAN WAKTUNYA
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 18 Februari 2020
Baca: Pengkhotbah 9:1-12
"Karena manusia tidak mengetahui waktunya. Seperti ikan yang tertangkap dalam jala yang mencelakakan, dan seperti burung yang tertangkap dalam jerat, begitulah anak-anak manusia terjerat pada waktu yang malang, kalau hal itu menimpa mereka secara tiba-tiba." Pengkhotbah 9:12a
Seberapa berhargakah waktu bagi Saudara? Orang yang menghargai waktu pasti tidak akan pernah menyia-nyiakan kesempatan yang datang kepadanya, mengisi waktu dengan hal-hal yang berguna/bermanfaat. Salah satu contoh sederhana menyia-nyiakan waktu adalah suka sekali menunda-nunda untuk mengerjakan sesuatu, misal pekerjaan.
Menunda-nunda pekerjaan (procrastination) merupakan masalah yang dimiliki oleh hampir semua orang. Sesuatu yang seharusnya bisa dikerjakan pada hari ini sering kita tunda untuk esok hari: "Ah besok saja, masih banyak kesempatan.", padahal tak seorang pun tahu apa yang akan terjadi esok hari. Kita tak tahu secara pasti apakah kita masih beroleh kesempatan untuk menikmati hari esok. "Janganlah memuji diri karena esok hari, karena engkau tidak tahu apa yang akan terjadi hari itu." (Amsal 27:1). Semakin kita menunda-nunda waktu untuk mengerjakan sesuatu, semakin menumpuklah pekerjaan yang harus kita kerjakan, semakin malas pula kita untuk mengerjakannya. Apa yang Tuhan percayakan kepada Saudara untuk dikerjakan? Apabila Tuhan mengutus Saudara untuk turut ambil bagian dalam pelayanan, sekarang adalah waktunya, bukan besok. Bila Tuhan mengutus Saudara untuk bersaksi dan memberitakan Injil kepada orang-orang lain, sekarang adalah waktunya, bukan besok. "Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya, nyatakanlah apa yang salah, tegorlah dan nasihatilah dengan segala kesabaran dan pengajaran." (2 Timotius 4:2).
Jangan suka mengulur-ulur waktu lagi, siapa tahu di kemudian hari kita tidak punya kesempatan lagi. Bila menyadari bahwa kerohanian kita masih kerdil, mengapa kita tidak segera berbenah diri dan membuat komitmen untuk lebih serius lagi mencari Tuhan? Ini saatnya kita 'berlari' dan mengejar ketertinggalan kita. Bila saat ini kita hidup jauh dari Tuhan dan tenggelam dalam dosa, ini waktunya untuk segera bertobat.
"Pada hari ini, jika kamu mendengar suara-Nya, janganlah keraskan hatimu seperti dalam kegeraman" Ibrani 3:15
Baca: Pengkhotbah 9:1-12
"Karena manusia tidak mengetahui waktunya. Seperti ikan yang tertangkap dalam jala yang mencelakakan, dan seperti burung yang tertangkap dalam jerat, begitulah anak-anak manusia terjerat pada waktu yang malang, kalau hal itu menimpa mereka secara tiba-tiba." Pengkhotbah 9:12a
Seberapa berhargakah waktu bagi Saudara? Orang yang menghargai waktu pasti tidak akan pernah menyia-nyiakan kesempatan yang datang kepadanya, mengisi waktu dengan hal-hal yang berguna/bermanfaat. Salah satu contoh sederhana menyia-nyiakan waktu adalah suka sekali menunda-nunda untuk mengerjakan sesuatu, misal pekerjaan.
Menunda-nunda pekerjaan (procrastination) merupakan masalah yang dimiliki oleh hampir semua orang. Sesuatu yang seharusnya bisa dikerjakan pada hari ini sering kita tunda untuk esok hari: "Ah besok saja, masih banyak kesempatan.", padahal tak seorang pun tahu apa yang akan terjadi esok hari. Kita tak tahu secara pasti apakah kita masih beroleh kesempatan untuk menikmati hari esok. "Janganlah memuji diri karena esok hari, karena engkau tidak tahu apa yang akan terjadi hari itu." (Amsal 27:1). Semakin kita menunda-nunda waktu untuk mengerjakan sesuatu, semakin menumpuklah pekerjaan yang harus kita kerjakan, semakin malas pula kita untuk mengerjakannya. Apa yang Tuhan percayakan kepada Saudara untuk dikerjakan? Apabila Tuhan mengutus Saudara untuk turut ambil bagian dalam pelayanan, sekarang adalah waktunya, bukan besok. Bila Tuhan mengutus Saudara untuk bersaksi dan memberitakan Injil kepada orang-orang lain, sekarang adalah waktunya, bukan besok. "Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya, nyatakanlah apa yang salah, tegorlah dan nasihatilah dengan segala kesabaran dan pengajaran." (2 Timotius 4:2).
Jangan suka mengulur-ulur waktu lagi, siapa tahu di kemudian hari kita tidak punya kesempatan lagi. Bila menyadari bahwa kerohanian kita masih kerdil, mengapa kita tidak segera berbenah diri dan membuat komitmen untuk lebih serius lagi mencari Tuhan? Ini saatnya kita 'berlari' dan mengejar ketertinggalan kita. Bila saat ini kita hidup jauh dari Tuhan dan tenggelam dalam dosa, ini waktunya untuk segera bertobat.
"Pada hari ini, jika kamu mendengar suara-Nya, janganlah keraskan hatimu seperti dalam kegeraman" Ibrani 3:15
Monday, February 17, 2020
BERMEGAHLAH KARENA TUHAN, BUKAN YANG LAIN
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 17 Februari 2020
Baca: Galatia 6:11-18
"Tetapi aku sekali-kali tidak mau bermegah, selain dalam salib Tuhan kita Yesus Kristus, sebab olehnya dunia telah disalibkan bagiku dan aku bagi dunia." Galatia 6:14
Harta kekayaan, jabatan, gelar atau popularitas adalah hal-hal yang seringkali menjadi alasan bagi orang untuk bermegah, karena dengan memiliki semuanya itu orang tak lagi dipandang remeh oleh sesamanya. Sebaliknya, orang yang tak memiliki apa-apa, keberadaannya di tengah lingkungan dipandang sebelah mata atau tak dianggap.
Bermegah artinya membangga-banggakan diri. Orang percaya tak sepatutnya bermegah atau membangga-banggakan diri tentang hal-hal yang lahiriah atau materi. Kepada jemaat di Galatia rasul Paulus menegaskan bahwa ia sekali-kali tidak mau bermegah selain di dalam Tuhan? Kita bermegah di dalam Tuhan karena status kita sebagai ciptaan baru di dalam Kristus: "Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang." (2 Korintus 5:17). Maka dari itu "...bersunat atau tidak bersunat tidak ada artinya, tetapi menjadi ciptaan baru, itulah yang ada artinya." (Galatia 6:15). Apakah kita benar-benar sudah mengalami kelahiran baru di dalam Kristus? Harta kekayaan yang melimpah, memiliki seluruh dunia ini sekalipun, takkan berarti apa-bapa bila kita masih hidup sebagai 'manusia lama'.
Kita patut bermegah di dalam Tuhan karena kita memenuhi standar atau patokan. "Dan semua orang, yang memberi dirinya dipimpin oleh patokan ini, turunlah kiranya damai sejahtera dan rahmat atas mereka dan atas Israel milik Allah." (Galatia 6:16). Standar atau patokannya apa? Keselamatan. Dinyatakan bahwa jika kita mengaku dengan mulut bahwa Kristus adalah Tuhan dan percaya dalam hati, bahwa Bapa telah membangkitkan Dia dari antara orang mati, kita akan diselamatkan (Roma 10:9). "Karena dengan hati orang percaya dan dibenarkan, dan dengan mulut orang mengaku dan diselamatkan." (Roma 10:10). Melalui iman kepada Kristus kita diselamatkan. Jadi keselamatan itu bukan karena usaha kita, melainkan karena kasih karunia dari Bapa semata. Inilah yang seharusnya membuat orang percaya bangga dan bermegah!
"Orang ini memegahkan kereta dan orang itu memegahkan kuda, tetapi kita bermegah dalam nama TUHAN..." Mazmur 20:8
Baca: Galatia 6:11-18
"Tetapi aku sekali-kali tidak mau bermegah, selain dalam salib Tuhan kita Yesus Kristus, sebab olehnya dunia telah disalibkan bagiku dan aku bagi dunia." Galatia 6:14
Harta kekayaan, jabatan, gelar atau popularitas adalah hal-hal yang seringkali menjadi alasan bagi orang untuk bermegah, karena dengan memiliki semuanya itu orang tak lagi dipandang remeh oleh sesamanya. Sebaliknya, orang yang tak memiliki apa-apa, keberadaannya di tengah lingkungan dipandang sebelah mata atau tak dianggap.
Bermegah artinya membangga-banggakan diri. Orang percaya tak sepatutnya bermegah atau membangga-banggakan diri tentang hal-hal yang lahiriah atau materi. Kepada jemaat di Galatia rasul Paulus menegaskan bahwa ia sekali-kali tidak mau bermegah selain di dalam Tuhan? Kita bermegah di dalam Tuhan karena status kita sebagai ciptaan baru di dalam Kristus: "Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang." (2 Korintus 5:17). Maka dari itu "...bersunat atau tidak bersunat tidak ada artinya, tetapi menjadi ciptaan baru, itulah yang ada artinya." (Galatia 6:15). Apakah kita benar-benar sudah mengalami kelahiran baru di dalam Kristus? Harta kekayaan yang melimpah, memiliki seluruh dunia ini sekalipun, takkan berarti apa-bapa bila kita masih hidup sebagai 'manusia lama'.
Kita patut bermegah di dalam Tuhan karena kita memenuhi standar atau patokan. "Dan semua orang, yang memberi dirinya dipimpin oleh patokan ini, turunlah kiranya damai sejahtera dan rahmat atas mereka dan atas Israel milik Allah." (Galatia 6:16). Standar atau patokannya apa? Keselamatan. Dinyatakan bahwa jika kita mengaku dengan mulut bahwa Kristus adalah Tuhan dan percaya dalam hati, bahwa Bapa telah membangkitkan Dia dari antara orang mati, kita akan diselamatkan (Roma 10:9). "Karena dengan hati orang percaya dan dibenarkan, dan dengan mulut orang mengaku dan diselamatkan." (Roma 10:10). Melalui iman kepada Kristus kita diselamatkan. Jadi keselamatan itu bukan karena usaha kita, melainkan karena kasih karunia dari Bapa semata. Inilah yang seharusnya membuat orang percaya bangga dan bermegah!
"Orang ini memegahkan kereta dan orang itu memegahkan kuda, tetapi kita bermegah dalam nama TUHAN..." Mazmur 20:8
Sunday, February 16, 2020
TELADAN HIDUP JEMAAT MULA-MULA
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 16 Februari 2020
Baca: Kisah Para Rasul 2:41-47
"Dan mereka disukai semua orang. Dan tiap-tiap hari Tuhan menambah jumlah mereka dengan orang yang diselamatkan." Kisah 2:47b
Gereja mula-mula saat itu dimulai dari suatu tempat di Yerusalem. Jemaat mula-mula berkumpul dan mengadakan persekutuan di Bait Tuhan. Cara hidup jemaat mula-mula begitu luar biasa karena mereka menunjukkan kualitas hidup yang 'berbeda' sekalipun berada di tengah situasi yang tidak baik dan penuh tekanan, sehingga keberadaan mereka benar-benar menjadi kesaksian: "...mereka disukai semua orang." (ayat nas).
Mengapa mereka disukai semua orang? Karena jemaat mula-mula menjadikan kasih sebagai pola hidup setiap hari. Mereka senantiasa sehati sepikir dan sangat peka terhadap kebutuhan orang lain, dengan berprinsip: "...segala kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama, dan selalu ada dari mereka yang menjual harta miliknya, lalu membagi-bagikannya kepada semua orang sesuai dengan keperluan masing-masing." (Kisah 2:44-45). Yang paling menonjol dari jemaat mula-mula adalah mereka hidup dalam persekutuan yang kuat dan memiliki rasa haus dan lapar akan firman Tuhan. Bila jemaat gereja mula-mula sangat peka terhadap kebutuhan orang lain, ini sangat kontradiktif bila dibandingkan dengan keadaan manusia di zaman sekarang yang cenderung bersikap egois, karena kasih kebanyakan orang sudah menjadi dingin. Pola hidup jemaat gereja mula-mula ini seperti sebuah tamparan keras bagi jemaat masa kini, yang suka membangun kubu-kubu dan sengaja menutup mata terhadap saudara seiman yang membutuhkan. Menyedihkan sekali bila orang Kristen tak punya kasih dalam wujud nyata. Itu artinya mereka tak melakukan apa yang Tuhan perintahkan!
Bagaimana orang percaya menjadi saksi-saksi Kristus di tengah dunia bila tak punya kasih? Sebab orang lain menilai kita bukan dari apa yang kita ucapkan atau teori yang muluk-muluk tentang Alkitab, tapi dari apa yang telah kita perbuat bagi mereka. Bagaimana kenyataannya? Banyak orang Kristen yang enggan menabur kebaikan kepada sesamanya. "Janganlah menahan kebaikan dari pada orang-orang yang berhak menerimanya, padahal engkau mampu melakukannya." (Amsal 3:27). Ini adalah tantangan bagi gereja Tuhan untuk menjalankan perannya sebagai terang dunia!
Kita harus ingat bahwa "... dari buahnya pohon itu dikenal." Matius 12:33b
Baca: Kisah Para Rasul 2:41-47
"Dan mereka disukai semua orang. Dan tiap-tiap hari Tuhan menambah jumlah mereka dengan orang yang diselamatkan." Kisah 2:47b
Gereja mula-mula saat itu dimulai dari suatu tempat di Yerusalem. Jemaat mula-mula berkumpul dan mengadakan persekutuan di Bait Tuhan. Cara hidup jemaat mula-mula begitu luar biasa karena mereka menunjukkan kualitas hidup yang 'berbeda' sekalipun berada di tengah situasi yang tidak baik dan penuh tekanan, sehingga keberadaan mereka benar-benar menjadi kesaksian: "...mereka disukai semua orang." (ayat nas).
Mengapa mereka disukai semua orang? Karena jemaat mula-mula menjadikan kasih sebagai pola hidup setiap hari. Mereka senantiasa sehati sepikir dan sangat peka terhadap kebutuhan orang lain, dengan berprinsip: "...segala kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama, dan selalu ada dari mereka yang menjual harta miliknya, lalu membagi-bagikannya kepada semua orang sesuai dengan keperluan masing-masing." (Kisah 2:44-45). Yang paling menonjol dari jemaat mula-mula adalah mereka hidup dalam persekutuan yang kuat dan memiliki rasa haus dan lapar akan firman Tuhan. Bila jemaat gereja mula-mula sangat peka terhadap kebutuhan orang lain, ini sangat kontradiktif bila dibandingkan dengan keadaan manusia di zaman sekarang yang cenderung bersikap egois, karena kasih kebanyakan orang sudah menjadi dingin. Pola hidup jemaat gereja mula-mula ini seperti sebuah tamparan keras bagi jemaat masa kini, yang suka membangun kubu-kubu dan sengaja menutup mata terhadap saudara seiman yang membutuhkan. Menyedihkan sekali bila orang Kristen tak punya kasih dalam wujud nyata. Itu artinya mereka tak melakukan apa yang Tuhan perintahkan!
Bagaimana orang percaya menjadi saksi-saksi Kristus di tengah dunia bila tak punya kasih? Sebab orang lain menilai kita bukan dari apa yang kita ucapkan atau teori yang muluk-muluk tentang Alkitab, tapi dari apa yang telah kita perbuat bagi mereka. Bagaimana kenyataannya? Banyak orang Kristen yang enggan menabur kebaikan kepada sesamanya. "Janganlah menahan kebaikan dari pada orang-orang yang berhak menerimanya, padahal engkau mampu melakukannya." (Amsal 3:27). Ini adalah tantangan bagi gereja Tuhan untuk menjalankan perannya sebagai terang dunia!
Kita harus ingat bahwa "... dari buahnya pohon itu dikenal." Matius 12:33b
Subscribe to:
Posts (Atom)