Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 31 Oktober 2011 -
Baca: Lukas 18:1-8
"Tidakkah Allah akan membenarkan orang-orang pilihan-Nya yang siang malam berseru kepada-Nya? Dan adakah Ia mengulur-ulur waktu sebelum menolong mereka?" Lukas 18:7
Sebagai manusia kita cenderung mudah putus asa dan tidak sabar menantikan jawaban doa kita. Itulah sebabnya Yesus mengajar kita berdoa tak putus-putusnya. "Yesus mengatakan suatu perumpamaan kepada mereka untuk menegaskan, bahwa mereka harus selalu berdoa dengan tidak jemu-jemu." (ayat 1). Kita wajib berdoa setiap hari dan setiap saat, karena jika tidak, kita tidak akan memiliki hubungan harmonis dengan Bapa. Kadangkala kita kecewa dan kehilangan semangat, kita berpikir seolah-olah doa kita tidak akan didengar Bapa. Sorga nampak seolah-olah mempunyai pintu baja yang menghalangi doa kita mencapai Allah. Tetapi Yesus menghendaki kita senantiasa berdoa sekalipun belum ada tanda-tanda jawaban atas doa kita.
Jika kita menyerahkan hidup dalam tangan Yesus, Bapa kita bukan hanya mendengar doa-doa kita, tetapi Ia juga akan menjawab doa-doa kita. "Tidakkah Allah akan membenarkan orang-orang pilihan-Nya yang siang malam berseru kepada-Nya? Dan adakah Ia mengulur-ulur waktu sebelum menolong mereka?" Allah Bapa kita tidak berlambat-lambat dalam membalas doa kita, tetapi kitalah yang harus bersabar dan belajar menerima segala sesuatunya sejalan dengan rencana dan jadwal Allah. Sesungguhnya apa yang kita butuhkan telah tersedia, tetapi hal itu akan dinyatakan kepada kita pada waktu yang tepat. Ketika kita menabur benih, benih itu tidak bertumbuh dalam waktu semalam; ia membutuhkan waktu beberapa hari untuk tumbuh. Dan kita akan menuainya setelah beberapa bulan atau bahkan beberapa tahun kemudian. Demikian juga dengan doa-doa kita. Kadang kita harus berdoa untuk jangka waktu yang lama baru kita dapat menikmati hasilnya.
Janganlah tawar hati karena Yesus berkata, "Karena setiap orang yang meminta, menerima dan setiap orang yang mencari, mendapat dan setiap orang yang mengetok, baginya pintu dibukakan." (Lukas 11:10). Jadi barangsiapa belum juga menerima jawaban doa-doanya, bersabarlah dan nantikanlah waktuNya. Mungkin Ia menghendaki engkau membuktikan kesetiaan dan kesabaranmu dalam masa-masa kesukaranmu. Atau mungkin saja Allah ingin membangun karaktermu melalui ujian yang kauhadapi sehingga engkau memiliki karakter Anak.
Setiap permasalahan pasti ada jalan keluarnya; dan tak peduli apa masalahmu, bagi Allah, jawabannya amat mudah! Jadi, jangan berhenti berdoa!
Monday, October 31, 2011
Sunday, October 30, 2011
SASARAN KEKRISTENAN: Mencapai Kedewasaan Penuh!
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 30 Oktober 2011 -
Baca: Efesus 4:1-16
"sampai kita semua telah mencapai kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus." Efesus 4:13
Berbicara tentang kedewasaan adalah berkenaan dengan karakter, cara berpikir, berperilaku dan sikap hati alam merespons segala hal. Mengukur kedewasaan rohani seseorang berbeda dengan jika menerka atau menduga berapa usia orang tersebut. Mungkin kita akan lebih mudah menebak usia seseorang dilihat dari tampilan fisik dan juga ciri-ciri biologis lainnya, apakah dia masih tergolong kanak-kanak, remaja atau sudah berusia lanjut. Namun untuk melihat kedewasaan rohani seseorang itu tidaklah gampang, kita harus mengenal pribadi orang itu lebih dalam dan bergaul dekat dengan dia dalam kurun waktu yang tidak singkat, itu pun belum bisa menjamin sepenuhnya kita bisa tahu kedewasaan rohaninya; jadi membutuhkan banyak waktu.
Menduga usia kedewasaan rohani seseorang memang tidaklah mudah karena kehidupan kekristenan adalah dinamis, bukan statis; harus terus bertumbuh dari hari ke sehari. Tuhan menghendaki, setiap orang percaya mencapai kedewasaan penuh, "...bukan lagi anak-anak yang diombang-ambingkan oleh rupa-rupa angin pengajaran, oleh permainan palsu manusia dalam kelicikan mereka yang menyesatkan," (ayat 14).
Kedewasaan dalam hal apa yang harus menjadi target hidup kita? Salah satunya adalah harus dewasa dalam firman. "...makanan keras adalah untuk orang-orang dewasa, yang karena mempunyai pancaindera yang terlatih untuk membedakan yang baik dari pada yang jahat." (Ibrani 5:14). Orang yang dewasa rohani pasti mencintai firman Tuhan, hatinya terus merasa haus dan lapar terhadap firman Tuhan. Segala pikiran dan tindakan terarah kepada firman Tuhan yang direnungkannya dengan sungguh-sungguh. Ia tidak akan mudah tersinggung atau marah jika tertegur oleh firman Tuhan yang keras. Jika kita masih marah, menyalahkan hamba Tuhan dan mogok ke gereja hanya karena firman, berarti kita masih Kristen kanak-kanak. Simak pernyataan Paulus: "Ketika aku kanak-kanak, aku berkata-kata seperti kanak-kanak, aku merasa seperti kanak-kanak, aku berpikir seperti kanak-kanak. Sekarang sesudah aku menjadi dewasa, aku meninggalkan sifat kanak-kanak itu." (1 Korintus 13:11).
Dewasa berarti tidak lagi seperti kanak-kanak, tetapi berubah dan hidup seturut dengan firman Tuhan!
Baca: Efesus 4:1-16
"sampai kita semua telah mencapai kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus." Efesus 4:13
Berbicara tentang kedewasaan adalah berkenaan dengan karakter, cara berpikir, berperilaku dan sikap hati alam merespons segala hal. Mengukur kedewasaan rohani seseorang berbeda dengan jika menerka atau menduga berapa usia orang tersebut. Mungkin kita akan lebih mudah menebak usia seseorang dilihat dari tampilan fisik dan juga ciri-ciri biologis lainnya, apakah dia masih tergolong kanak-kanak, remaja atau sudah berusia lanjut. Namun untuk melihat kedewasaan rohani seseorang itu tidaklah gampang, kita harus mengenal pribadi orang itu lebih dalam dan bergaul dekat dengan dia dalam kurun waktu yang tidak singkat, itu pun belum bisa menjamin sepenuhnya kita bisa tahu kedewasaan rohaninya; jadi membutuhkan banyak waktu.
Menduga usia kedewasaan rohani seseorang memang tidaklah mudah karena kehidupan kekristenan adalah dinamis, bukan statis; harus terus bertumbuh dari hari ke sehari. Tuhan menghendaki, setiap orang percaya mencapai kedewasaan penuh, "...bukan lagi anak-anak yang diombang-ambingkan oleh rupa-rupa angin pengajaran, oleh permainan palsu manusia dalam kelicikan mereka yang menyesatkan," (ayat 14).
Kedewasaan dalam hal apa yang harus menjadi target hidup kita? Salah satunya adalah harus dewasa dalam firman. "...makanan keras adalah untuk orang-orang dewasa, yang karena mempunyai pancaindera yang terlatih untuk membedakan yang baik dari pada yang jahat." (Ibrani 5:14). Orang yang dewasa rohani pasti mencintai firman Tuhan, hatinya terus merasa haus dan lapar terhadap firman Tuhan. Segala pikiran dan tindakan terarah kepada firman Tuhan yang direnungkannya dengan sungguh-sungguh. Ia tidak akan mudah tersinggung atau marah jika tertegur oleh firman Tuhan yang keras. Jika kita masih marah, menyalahkan hamba Tuhan dan mogok ke gereja hanya karena firman, berarti kita masih Kristen kanak-kanak. Simak pernyataan Paulus: "Ketika aku kanak-kanak, aku berkata-kata seperti kanak-kanak, aku merasa seperti kanak-kanak, aku berpikir seperti kanak-kanak. Sekarang sesudah aku menjadi dewasa, aku meninggalkan sifat kanak-kanak itu." (1 Korintus 13:11).
Dewasa berarti tidak lagi seperti kanak-kanak, tetapi berubah dan hidup seturut dengan firman Tuhan!
Saturday, October 29, 2011
MERENUNGKAN FIRMAN: Kunci Keberhasilan Dalam Segala Hal!
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 29 Oktober 2011 -
Baca: Mazmur 1:1-6
"tetapi yang kesukaannya ialah Taurat Tuhan dan yang merenungkan Taurat itu siang dan malam." Mazmur 1:2
Apakah Saudara membaca Alkitab setiap hari? Masih banyak orang Kristen yang menjawab, "Jujur, saya jarang baca Alkitab. Mana sempat? Pulang kerja sudah larut malam, jadi cuma sempat berdoa saja. Saya membaca Alkitab kalau pas hari Minggu di gereja. Untung di tas kerja saya ada AIR HIDUP, bisa dibawa kemana-mana. Itu saja yang kubaca." Membaca firman Tuhan melalui renungan-renungan harian memang bagus karena di situ ada tuntunan ayat-ayat yang kita baca, tapi kita tidak boleh melupakan sumbernya yaitu Alkitab (firman Tuhan).
Seseorang yang memiliki kehidupan doa pribadi setiap hari pasti hidupnya tidak dapat dipisahkan dari firman Tuhan, karena ia sadar bahwa "Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah." (Matius 4:4). Oleh karena itu kita harus menyediakan waktu secara khusus untuk membaca, mendengar dan merenungkan firman Tuhan setiap hari. Sebagaimana tubuh jasmani kita membutuhkan makanan setiap hari, begitu pula dengan manusia roh kita, harus makan makanan rohani (firman Tuhan) secara teratur setiap hari. Orang yang suka merenungkan firman siang dan malam adalah orang yang memiliki kekariban dengan Tuhan. Dan terhadap orang yang karib, "...perjanjian-Nya diberitahukan-Nya kepada mereka." (Mazmur 25:14). Pentingkah firman Tuhan bagi kehidupan Saudara? Kita harus menyadari bahwa firman Tuhan adalah pegangan dan pedoman hidup orang percaya, karena itu "Janganlah engkau lupa memperkatakan kitab Taurat ini, tetapi renungkanlah itu siang dan malam, supaya engkau bertindak hati-hati sesuai dengan segala yang tertulis di dalamnya, sebab dengan demikian perjalananmu akan berhasil dan engkau akan beruntung." (Yosua 1:8).
Jika kita rindu mengalami kuasa Tuhan, rindu pelayanan kita berhasil, rindu mengalami berkat-berkat Tuhan, kita pun harus mencintai firman Tuhan setiap hari. Sayang, masih banyak orang Kristen yang menyepelekan firman Tuhan, Alkitab yang adalah buku kehidupan yang cuma dijadikan pajangan di dalam lemari, padahal isi Alkitab itu benih hidup yang kekal dan perkataan Tuhan sendiri yang penuh kuasa.
Tidaklah mengherankan banyak orang Kristen mengalami kegagalan dalam hidup dan menjadi seperti tanah kering karena mereka tidak suka firman Tuhan!
Baca: Mazmur 1:1-6
"tetapi yang kesukaannya ialah Taurat Tuhan dan yang merenungkan Taurat itu siang dan malam." Mazmur 1:2
Apakah Saudara membaca Alkitab setiap hari? Masih banyak orang Kristen yang menjawab, "Jujur, saya jarang baca Alkitab. Mana sempat? Pulang kerja sudah larut malam, jadi cuma sempat berdoa saja. Saya membaca Alkitab kalau pas hari Minggu di gereja. Untung di tas kerja saya ada AIR HIDUP, bisa dibawa kemana-mana. Itu saja yang kubaca." Membaca firman Tuhan melalui renungan-renungan harian memang bagus karena di situ ada tuntunan ayat-ayat yang kita baca, tapi kita tidak boleh melupakan sumbernya yaitu Alkitab (firman Tuhan).
Seseorang yang memiliki kehidupan doa pribadi setiap hari pasti hidupnya tidak dapat dipisahkan dari firman Tuhan, karena ia sadar bahwa "Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah." (Matius 4:4). Oleh karena itu kita harus menyediakan waktu secara khusus untuk membaca, mendengar dan merenungkan firman Tuhan setiap hari. Sebagaimana tubuh jasmani kita membutuhkan makanan setiap hari, begitu pula dengan manusia roh kita, harus makan makanan rohani (firman Tuhan) secara teratur setiap hari. Orang yang suka merenungkan firman siang dan malam adalah orang yang memiliki kekariban dengan Tuhan. Dan terhadap orang yang karib, "...perjanjian-Nya diberitahukan-Nya kepada mereka." (Mazmur 25:14). Pentingkah firman Tuhan bagi kehidupan Saudara? Kita harus menyadari bahwa firman Tuhan adalah pegangan dan pedoman hidup orang percaya, karena itu "Janganlah engkau lupa memperkatakan kitab Taurat ini, tetapi renungkanlah itu siang dan malam, supaya engkau bertindak hati-hati sesuai dengan segala yang tertulis di dalamnya, sebab dengan demikian perjalananmu akan berhasil dan engkau akan beruntung." (Yosua 1:8).
Jika kita rindu mengalami kuasa Tuhan, rindu pelayanan kita berhasil, rindu mengalami berkat-berkat Tuhan, kita pun harus mencintai firman Tuhan setiap hari. Sayang, masih banyak orang Kristen yang menyepelekan firman Tuhan, Alkitab yang adalah buku kehidupan yang cuma dijadikan pajangan di dalam lemari, padahal isi Alkitab itu benih hidup yang kekal dan perkataan Tuhan sendiri yang penuh kuasa.
Tidaklah mengherankan banyak orang Kristen mengalami kegagalan dalam hidup dan menjadi seperti tanah kering karena mereka tidak suka firman Tuhan!
Friday, October 28, 2011
MENJADI BERKAT OLEH ANUGERAHNYA
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 28 Oktober 2011 -
Baca: Roma 4
"Karena itulah kebenaran berdasarkan iman supaya merupakan kasih karunia, sehingga janji itu berlaku bagi semua keturunan Abraham,..." Roma 4:16a
Alkitab mencatat, "Dahulu kala di seberang sungai Efrat, di situlah diam nenek moyangmu, yakni Terah, ayah Abraham dan ayah Nahor, dan mereka beribadah kepada allah lain." (Yosua 24:2). Melalui ayat ini jelas dinyatakan bahwa Terah, ayah Abraham, adalah penyembah berhala. Ini menunjukkan bahwa pada awalnya Abraham bukanlah orang percaya. Seperti orang-orang sezamannya, ia adalah penyembah berhala yang memuja berhala di Ur-Kasdim. Namun dalam Kejadian 12:1 Tuhan mengatakan padanya, "Pergilah dari negerimu dan dari sanak saudaramu dan dari rumah bapamu ini ke negeri yang akan Kutunjukkan kepadamu;" (Kejadian 12:1). Inilah awal Abraham menjadi orang percaya.
Tuhan menyatakan diriNya secara pribadi kepada Abraham karena Dia memiliki rencana besar atas kehidupan Abraham, hendak menjadikannya bapa bagi bangsa-bangsa. Hidup Abraham dipakai Tuhan bukan karena ia orang benar, tetapi karena anugerahNya semata. "Dialah yang menyelamatkan kita dan memanggil kita dengan panggilan kudus, bukan berdasarkan perbuatan kita, melainkan berdasarkan maksud dan kasih karunia-Nya sendiri,..." (2 Timotius 1:9). Abraham merespons panggilan Tuhan ini dengan ketaatan. Ketika diperintahkan pergi ke suatu negeri yang belum diketahuinya, dengan konsekuensi harus meninggalkan sanak keluarga dan tanah leluhurnya, Abraham taat. Ini bukanlah perkara mudah, apalagi perintah itu ia terima dari Tuhan yang baru saja dikenalnya. Namun respons Abraham telah menghasilkan keselamatan bagi seluruh umat manusia, di mana melalui keturunan Abraham inilah Allah menggenapi janjiNya dengan mengutus Yesus Kristus datang ke dunia.
Prinsip pemilihan Tuhan terhadap Abraham sama dengan prinsip Tuhan memilih kita. Kita yang sebelumnya adalah orang-orang berdosa, ditebus melalui darah Kristus yang kudus sehingga kita menjadi orang-orang yang dibenarkan, lalu diangkat sebagai anak-anakNya, artinya kita juga ahli waris Kerajaan Allah.
Mari introspeksi diri: adakah kita memiliki ketaatan seperti Abraham? Berani mengambil keputusan untuk mengikuti dan melayani Tuhan dengan segenap hati serta rela meninggalkan segala kenyamanan yang ada selama ini?
Baca: Roma 4
"Karena itulah kebenaran berdasarkan iman supaya merupakan kasih karunia, sehingga janji itu berlaku bagi semua keturunan Abraham,..." Roma 4:16a
Alkitab mencatat, "Dahulu kala di seberang sungai Efrat, di situlah diam nenek moyangmu, yakni Terah, ayah Abraham dan ayah Nahor, dan mereka beribadah kepada allah lain." (Yosua 24:2). Melalui ayat ini jelas dinyatakan bahwa Terah, ayah Abraham, adalah penyembah berhala. Ini menunjukkan bahwa pada awalnya Abraham bukanlah orang percaya. Seperti orang-orang sezamannya, ia adalah penyembah berhala yang memuja berhala di Ur-Kasdim. Namun dalam Kejadian 12:1 Tuhan mengatakan padanya, "Pergilah dari negerimu dan dari sanak saudaramu dan dari rumah bapamu ini ke negeri yang akan Kutunjukkan kepadamu;" (Kejadian 12:1). Inilah awal Abraham menjadi orang percaya.
Tuhan menyatakan diriNya secara pribadi kepada Abraham karena Dia memiliki rencana besar atas kehidupan Abraham, hendak menjadikannya bapa bagi bangsa-bangsa. Hidup Abraham dipakai Tuhan bukan karena ia orang benar, tetapi karena anugerahNya semata. "Dialah yang menyelamatkan kita dan memanggil kita dengan panggilan kudus, bukan berdasarkan perbuatan kita, melainkan berdasarkan maksud dan kasih karunia-Nya sendiri,..." (2 Timotius 1:9). Abraham merespons panggilan Tuhan ini dengan ketaatan. Ketika diperintahkan pergi ke suatu negeri yang belum diketahuinya, dengan konsekuensi harus meninggalkan sanak keluarga dan tanah leluhurnya, Abraham taat. Ini bukanlah perkara mudah, apalagi perintah itu ia terima dari Tuhan yang baru saja dikenalnya. Namun respons Abraham telah menghasilkan keselamatan bagi seluruh umat manusia, di mana melalui keturunan Abraham inilah Allah menggenapi janjiNya dengan mengutus Yesus Kristus datang ke dunia.
Prinsip pemilihan Tuhan terhadap Abraham sama dengan prinsip Tuhan memilih kita. Kita yang sebelumnya adalah orang-orang berdosa, ditebus melalui darah Kristus yang kudus sehingga kita menjadi orang-orang yang dibenarkan, lalu diangkat sebagai anak-anakNya, artinya kita juga ahli waris Kerajaan Allah.
Mari introspeksi diri: adakah kita memiliki ketaatan seperti Abraham? Berani mengambil keputusan untuk mengikuti dan melayani Tuhan dengan segenap hati serta rela meninggalkan segala kenyamanan yang ada selama ini?
Thursday, October 27, 2011
HIDUP KEKRISTENAN: Terpisah dari Dosa!
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 27 Oktober 2011 -
Baca: Keluaran 19
"Kamu akan menjadi bagi-Ku kerajaan imam dan bangsa yang kudus. Inilah semuanya firman yang harus kaukatakan kepada orang Israel." Keluaran 19:6
"Kekudusan lagi! Topik itu melulu, bosan ahh!" Mungkin itu reaksi kita. Kekudusan adalah topik yang sangat tidak disukai dan sebisa mungkin dihindari oleh orang Kristen. Mengapa? Karena berbicara tentang kekudusan berarti jemaat akan ditegur, dikoreksi, di 'ditelanjangi' dosa-dosanya. Namun, mau tidak mau, suka tidak suka, topik itu harus tetap disampaikan kepada orang percaya sampai Tuhan datang kali kedua, karena kekudusan adalah syarat mutlak untuk dapat melihat Tuhan. "...kejarlah kekudusan, sebab tanpa kekudusan tidak seorang pun akan melihat Tuhan." (Ibrani 12:14). Jadi kekudusan adalah sasaran hidup setiap orang percaya.
Apakah sebenarnya kekudusan itu? Secara umum kudus berarti tak berdosa. Siapa manusia yang tidak berdosa, selain Yesus? Kata kudus dalam bahasa Ibrani adalah qodosh, yang memiliki arti dasar pemisahan. Kepada Musa Tuhan berfirman demikian: "Berbicaralah kepada segenap jemaah Israel dan katakan kepada mereka: Kuduslah kamu, sebab Aku, Tuhan, Allahmu, kudus." (Imamat 19:2). Ini menunjukkan bahwa keberadaan Tuhan adalah kudus dan tidak bisa diganggu gugat! Dia tidak bisa disamakan dengan ilah-ilah lain. Karena itu Tuhan melarang bangsa Israel menyembah ilah-ilah lain karena hanya Tuhan saja yang layak disembah. Tuhan memanggil bangsa Israel untuk dikuduskan atau dipisahkan dari bangsa-bangsa lain dan diangkat menjadi umat pilihanNya. Begitu juga Tuhan Yesus datang ke dunia untuk mencari dan menyelamatkan kita orang-orang berdosa dan memisahkan kita dari dunia ini, serta menjadikan kita sebagai "...bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil keluar dai kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib;" (1 Petrus 2:9).
Alkitab menyatakan bahwa melalui karya kudusNya di kayu salib Yesus membenarkan, meneguduskan, menebus kita (baca 1 Korintus 1:30). Karena telah dipisahkan dari dosa, Tuhan menghendaki kita juga 'berbeda' dari dunia dan tidak turut dalam perbuatan-perbuatan mereka.
"Keluarlah kamu dari antara mereka, dan pisahkanlah dirimu dari mereka, firman Tuhan, dan janganlah menjamah apa yang najis, maka Aku akan menerima kamu." (2 Korintus 6:17).
Baca: Keluaran 19
"Kamu akan menjadi bagi-Ku kerajaan imam dan bangsa yang kudus. Inilah semuanya firman yang harus kaukatakan kepada orang Israel." Keluaran 19:6
"Kekudusan lagi! Topik itu melulu, bosan ahh!" Mungkin itu reaksi kita. Kekudusan adalah topik yang sangat tidak disukai dan sebisa mungkin dihindari oleh orang Kristen. Mengapa? Karena berbicara tentang kekudusan berarti jemaat akan ditegur, dikoreksi, di 'ditelanjangi' dosa-dosanya. Namun, mau tidak mau, suka tidak suka, topik itu harus tetap disampaikan kepada orang percaya sampai Tuhan datang kali kedua, karena kekudusan adalah syarat mutlak untuk dapat melihat Tuhan. "...kejarlah kekudusan, sebab tanpa kekudusan tidak seorang pun akan melihat Tuhan." (Ibrani 12:14). Jadi kekudusan adalah sasaran hidup setiap orang percaya.
Apakah sebenarnya kekudusan itu? Secara umum kudus berarti tak berdosa. Siapa manusia yang tidak berdosa, selain Yesus? Kata kudus dalam bahasa Ibrani adalah qodosh, yang memiliki arti dasar pemisahan. Kepada Musa Tuhan berfirman demikian: "Berbicaralah kepada segenap jemaah Israel dan katakan kepada mereka: Kuduslah kamu, sebab Aku, Tuhan, Allahmu, kudus." (Imamat 19:2). Ini menunjukkan bahwa keberadaan Tuhan adalah kudus dan tidak bisa diganggu gugat! Dia tidak bisa disamakan dengan ilah-ilah lain. Karena itu Tuhan melarang bangsa Israel menyembah ilah-ilah lain karena hanya Tuhan saja yang layak disembah. Tuhan memanggil bangsa Israel untuk dikuduskan atau dipisahkan dari bangsa-bangsa lain dan diangkat menjadi umat pilihanNya. Begitu juga Tuhan Yesus datang ke dunia untuk mencari dan menyelamatkan kita orang-orang berdosa dan memisahkan kita dari dunia ini, serta menjadikan kita sebagai "...bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil keluar dai kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib;" (1 Petrus 2:9).
Alkitab menyatakan bahwa melalui karya kudusNya di kayu salib Yesus membenarkan, meneguduskan, menebus kita (baca 1 Korintus 1:30). Karena telah dipisahkan dari dosa, Tuhan menghendaki kita juga 'berbeda' dari dunia dan tidak turut dalam perbuatan-perbuatan mereka.
"Keluarlah kamu dari antara mereka, dan pisahkanlah dirimu dari mereka, firman Tuhan, dan janganlah menjamah apa yang najis, maka Aku akan menerima kamu." (2 Korintus 6:17).
Wednesday, October 26, 2011
JANGAN BIARKAN KESEMPATAN ITU LEWAT!
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 26 Oktober 2011 -
Baca: Galatia 6:1-10
"Karena itu, selama masih ada kesempatan bagi kita, marilah kita berbuat baik kepada semua orang, tetapi terutama kepada kawan-kawan kita seiman." Galatia 6:10
Ada kata bijak yang menyatakan bahwa kesempatan tidak datang untuk kedua kalinya. Oleh karena itu jangan pernah sia-siakan setiap kesempatan yang ada. Banyak orang yang menyesal begitu rupa saat kesempatan itu tidak digunakan dengan baik. Yang ada tinggallah penyesalan.
Tuhan memberikan kesempatan kepada orang-orang di zaman Nuh selama 120 tahun untuk bertobat, tapi mereka tidak mempergunakannya dengan baik dan akhirnya penyesalan pun tiada guna. Dan saat Tuhan menenggelamkan bumi dengan air bah, binasalah mereka semua kecuali Nuh dan keluarganya yang selamat. Begitu juga seluruh penduduk kota Sodam dan Gomora yang dibumihanguskan oleh Tuhan. Selama masih hidup mereka menyia-nyiakan kesempatan yang ada dan tetap hidup di dalam dosa. Juga kisah orang kaya dan Lazarus (baca Lukas 16:19-31). Saat di dunia si kaya hidup dalam gelimang harta, tapi ia lupa diri dan tidak pernah menabur atau memperhatikan orang-orang lemah. Akhirnya ia mengalami kebinasaan kekal. Ia lupa bahwa hidup di dunia ini adalah kesempatan bagi kita untuk mempersiapkan hidup di dalam kekekalan.
Berapa lama kita memiliki kesempatan hidup di dunia ini? Selamanyakah? Dalam mazmurnya Daud berkata, "Masa hidup kami tujuh puluh tahun dan jika kami kuat, delapan puluh tahun, dan kebanggaannya adalah kesukaran dan penderitaan; sebab berlalunya buru-buru, dan kami melayang lenyap." (Mazmur 90:10). Menyadari bahwa kesempatan itu sangatlah terbatas, Daud pun berdoa, "Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana." (Mazmur 90:12). Jadi tugas kita menemukan kesempata dalam setiap situasi yang ada, sebab jika hidup ini berakhir tidak ada lagi kesempatan untuk bertobat. Sesudah mati tidak ada lagi kesempatan untuk berbuat baik bagi diri sendiri atau sesama sehingga raja Salomo menasihati, "Segala sesuatu yang dijumpai tanganmu untuk dikerjakan, kerjakanlah itu sekuat tenaga, karena tak ada pekerjaan, pertimbangan, pengetahuan dan hikmat dalam dunia orang mati, kemana engkau akan pergi." (Pengkotbah 9:10).
Selagi Tuhan memberi kesempatan, gunakan sebaik mungkin supaya tidak ada penyesalan di kemudian hari!
Baca: Galatia 6:1-10
"Karena itu, selama masih ada kesempatan bagi kita, marilah kita berbuat baik kepada semua orang, tetapi terutama kepada kawan-kawan kita seiman." Galatia 6:10
Ada kata bijak yang menyatakan bahwa kesempatan tidak datang untuk kedua kalinya. Oleh karena itu jangan pernah sia-siakan setiap kesempatan yang ada. Banyak orang yang menyesal begitu rupa saat kesempatan itu tidak digunakan dengan baik. Yang ada tinggallah penyesalan.
Tuhan memberikan kesempatan kepada orang-orang di zaman Nuh selama 120 tahun untuk bertobat, tapi mereka tidak mempergunakannya dengan baik dan akhirnya penyesalan pun tiada guna. Dan saat Tuhan menenggelamkan bumi dengan air bah, binasalah mereka semua kecuali Nuh dan keluarganya yang selamat. Begitu juga seluruh penduduk kota Sodam dan Gomora yang dibumihanguskan oleh Tuhan. Selama masih hidup mereka menyia-nyiakan kesempatan yang ada dan tetap hidup di dalam dosa. Juga kisah orang kaya dan Lazarus (baca Lukas 16:19-31). Saat di dunia si kaya hidup dalam gelimang harta, tapi ia lupa diri dan tidak pernah menabur atau memperhatikan orang-orang lemah. Akhirnya ia mengalami kebinasaan kekal. Ia lupa bahwa hidup di dunia ini adalah kesempatan bagi kita untuk mempersiapkan hidup di dalam kekekalan.
Berapa lama kita memiliki kesempatan hidup di dunia ini? Selamanyakah? Dalam mazmurnya Daud berkata, "Masa hidup kami tujuh puluh tahun dan jika kami kuat, delapan puluh tahun, dan kebanggaannya adalah kesukaran dan penderitaan; sebab berlalunya buru-buru, dan kami melayang lenyap." (Mazmur 90:10). Menyadari bahwa kesempatan itu sangatlah terbatas, Daud pun berdoa, "Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana." (Mazmur 90:12). Jadi tugas kita menemukan kesempata dalam setiap situasi yang ada, sebab jika hidup ini berakhir tidak ada lagi kesempatan untuk bertobat. Sesudah mati tidak ada lagi kesempatan untuk berbuat baik bagi diri sendiri atau sesama sehingga raja Salomo menasihati, "Segala sesuatu yang dijumpai tanganmu untuk dikerjakan, kerjakanlah itu sekuat tenaga, karena tak ada pekerjaan, pertimbangan, pengetahuan dan hikmat dalam dunia orang mati, kemana engkau akan pergi." (Pengkotbah 9:10).
Selagi Tuhan memberi kesempatan, gunakan sebaik mungkin supaya tidak ada penyesalan di kemudian hari!
Tuesday, October 25, 2011
TETAP KOKOH BERDIRI MESKI DI TENGAH BADAI
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 25 Oktober 2011 -
Baca: Matius 7:24-27
"Kemudian turunlah hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu, tetapi rumah itu tidak rubuh sebab didirikan di atas batu." Matius 7:25
Meski berada di tengah badai persoalan, jika kehidupan rohani kita dibangun di atas pondasi yang kuat, kita akan tetap kokoh berdiri. Sebaliknya, orang Kristen yag kehidupan rohaninya dibangun di atas pasir akan mudah hancur saat diterpa badai: stres, frustasi, menyalahkan Tuhan dan lalu meninggalkan Tuhan.
Membangun di atas batu (pondasi yang kuat) artinya mendengarkan firman dan juga melakukan firman itu. Sedangkan orang yang membangun di atas pasir adalah orang yang mendengarkan firman tetapi tidak melakukannya. Itulah sebabnya mengapa Tuhan mengijinkan kita berada di 'padang gurun' atau mengalami badai persoalan, yaitu untuk membuktikan apakah kita sudah tinggal dalam firmanNya atau belum. Dengan adanya masalah atau badai persoalan kehidupa rohani seseorang akan terlihat kualitasnya.
Orang Kristen yang hidup dalam firman pasti akan tetap teguh berdiri meski berada di tengah badai, karena ia tahu benar bahwa jika Tuhan mengijinkan hal itu terjadi pasti tidak melebihi kekuatan dan Dia selalu menyediakan jalan ke luar. Ada tertulis: "Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya." (1 Korintus 10:13). Namun jika kehidupan rohani kita dibangun di atas pasir kita akan mudah terhempas ketika badai persoalan datang, karena kita tidak berakar kuat di dalam firman seperti yang dikatakan Ayub, "Mereka menjadi seperti jerami di depan angin, seperti sekam yag diterbangkan badai." (Ayub 21:18). Kita tak ubahnya seperti sekam. Apa itu sekam? Sekam adalah kulit padi. Sekam akan bertebaran ke mana-mana jika diterpa angin karena tidak memiliki berat (ringan), tidak berbobot. Oleh karena itu mari terus melekat kepada Tuhan dan hidup seturut akan firmanNya. Badai kehidupan boleh terjadi, tetapi bagi setiap orang percaya ada jaminan pertolongan dari Tuhan.
"Sampai masa tuamu Aku tetap Dia dan sampai masa putih rambutmu Aku menggendong kamu. Aku telah melakukannya dan mau menanggung kamu terus; Aku mau memikul kamu dan menyelamatkan kamu." Yesaya 46:4
Baca: Matius 7:24-27
"Kemudian turunlah hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu, tetapi rumah itu tidak rubuh sebab didirikan di atas batu." Matius 7:25
Meski berada di tengah badai persoalan, jika kehidupan rohani kita dibangun di atas pondasi yang kuat, kita akan tetap kokoh berdiri. Sebaliknya, orang Kristen yag kehidupan rohaninya dibangun di atas pasir akan mudah hancur saat diterpa badai: stres, frustasi, menyalahkan Tuhan dan lalu meninggalkan Tuhan.
Membangun di atas batu (pondasi yang kuat) artinya mendengarkan firman dan juga melakukan firman itu. Sedangkan orang yang membangun di atas pasir adalah orang yang mendengarkan firman tetapi tidak melakukannya. Itulah sebabnya mengapa Tuhan mengijinkan kita berada di 'padang gurun' atau mengalami badai persoalan, yaitu untuk membuktikan apakah kita sudah tinggal dalam firmanNya atau belum. Dengan adanya masalah atau badai persoalan kehidupa rohani seseorang akan terlihat kualitasnya.
Orang Kristen yang hidup dalam firman pasti akan tetap teguh berdiri meski berada di tengah badai, karena ia tahu benar bahwa jika Tuhan mengijinkan hal itu terjadi pasti tidak melebihi kekuatan dan Dia selalu menyediakan jalan ke luar. Ada tertulis: "Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya." (1 Korintus 10:13). Namun jika kehidupan rohani kita dibangun di atas pasir kita akan mudah terhempas ketika badai persoalan datang, karena kita tidak berakar kuat di dalam firman seperti yang dikatakan Ayub, "Mereka menjadi seperti jerami di depan angin, seperti sekam yag diterbangkan badai." (Ayub 21:18). Kita tak ubahnya seperti sekam. Apa itu sekam? Sekam adalah kulit padi. Sekam akan bertebaran ke mana-mana jika diterpa angin karena tidak memiliki berat (ringan), tidak berbobot. Oleh karena itu mari terus melekat kepada Tuhan dan hidup seturut akan firmanNya. Badai kehidupan boleh terjadi, tetapi bagi setiap orang percaya ada jaminan pertolongan dari Tuhan.
"Sampai masa tuamu Aku tetap Dia dan sampai masa putih rambutmu Aku menggendong kamu. Aku telah melakukannya dan mau menanggung kamu terus; Aku mau memikul kamu dan menyelamatkan kamu." Yesaya 46:4
Monday, October 24, 2011
TUHAN MENOPANG: Di Segala Perjalanan Hidup Kita!
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 24 Oktober 2011 -
Baca: Ulangan 1:19-33
"dan di padang gurun, di mana engkau melihat bahwa Tuhan, Allahmu, mendukung engkau, seperti seseorang mendukung anaknya, sepanjang jalan yang kamu tempuh, sampai kamu tiba di tempat ini." Ulangan 1:31
Empat puluh tahun bukanlah waktu yang singkat, tapi begitu lama dan sangat melelahkan. Itulah yang dialami oleh bangsa Israel: selama 40 tahun mereka harus melintasi padang gurun itu, mulai dari tanah Mesir sampai ke Kanaan, hanya dalam waktu beberapa hari saja. Sebuah perjalanan yang tidak mudah karena di padang gurun hampir tidak akan kita jumpai tanaman, kecuali di tempat-tempat tertentu. Belum lagi perbedaan suhu yang ekstrim antara siang dan malam, serta banyaknya binatang buas yang berkeliaran di padang gurun. Mengapa bangsa Israel begitu lama berada di padang gurun? Itu akibat dari ketidakpercayaan bangsa Israel sendiri sehingga Tuhan membiarkan mereka berputar-putar mengelilingi padang gurun tersebut selama 40 tahun hingga generasi pertama dari bangsa itu tidak ada lagi, hanya Kaleb dan Yosua saja dari generasi pertama bangsa itu yang memasuki Tanah Perjanjian.
Dalam perjalanan hidup ini terkadang kita juga harus mengalami seolah-olah sedang berada di padang gurun. Tetapi ada hal yang hendak Tuhan sampaikan kepada kita: "Sebab Tuhan, Allahmu, memberkati engkau dalam segala pekerjaan tanganmu. Ia memperhatikan perjalananmu melalui padang gurun yang besar ini; keempat puluh tahun ini Tuhan, Allahmu, menyertai engkau, dan engkau tidak kekuarangan apa pun." (Ulangan 2:7). Di tengah badai kehidupan yang seberat apa pun janganlah sampai kita melupakan segala kebaikan Tuhan. Pengalaman hidup bangsa Israel ini menjadi bukti nyata betapa sempurna penyertaan Tuhan terhadap mereka. Namun meskipun berada di padang gurun selama bertahun-tahun bangsa Israel tetap berada dalam pemeliharaan Tuhan, sehingga mereka tidak kekurangan suatu apa pun juga.
Seringkali ketika permasalah datang menerpa hidup ini kita bertanya: di manakah Tuhan? Kita merasa Tuhan tidak mempedulikan kita dan membiarkan kita bergumul sendirian. Akibatnya kita menjadi lemah dan tak berdaya. Ibarat sebuah bangunan, 'rumah rohani' kita hancur berkeping-keping dan tinggal puing-puing berserakan. Mengapa bisa terjadi?
Sesungguhnya ada banyak orang percaya yang tetap kuat dan mampu bertahan di tengah persoalan.
Baca: Ulangan 1:19-33
"dan di padang gurun, di mana engkau melihat bahwa Tuhan, Allahmu, mendukung engkau, seperti seseorang mendukung anaknya, sepanjang jalan yang kamu tempuh, sampai kamu tiba di tempat ini." Ulangan 1:31
Empat puluh tahun bukanlah waktu yang singkat, tapi begitu lama dan sangat melelahkan. Itulah yang dialami oleh bangsa Israel: selama 40 tahun mereka harus melintasi padang gurun itu, mulai dari tanah Mesir sampai ke Kanaan, hanya dalam waktu beberapa hari saja. Sebuah perjalanan yang tidak mudah karena di padang gurun hampir tidak akan kita jumpai tanaman, kecuali di tempat-tempat tertentu. Belum lagi perbedaan suhu yang ekstrim antara siang dan malam, serta banyaknya binatang buas yang berkeliaran di padang gurun. Mengapa bangsa Israel begitu lama berada di padang gurun? Itu akibat dari ketidakpercayaan bangsa Israel sendiri sehingga Tuhan membiarkan mereka berputar-putar mengelilingi padang gurun tersebut selama 40 tahun hingga generasi pertama dari bangsa itu tidak ada lagi, hanya Kaleb dan Yosua saja dari generasi pertama bangsa itu yang memasuki Tanah Perjanjian.
Dalam perjalanan hidup ini terkadang kita juga harus mengalami seolah-olah sedang berada di padang gurun. Tetapi ada hal yang hendak Tuhan sampaikan kepada kita: "Sebab Tuhan, Allahmu, memberkati engkau dalam segala pekerjaan tanganmu. Ia memperhatikan perjalananmu melalui padang gurun yang besar ini; keempat puluh tahun ini Tuhan, Allahmu, menyertai engkau, dan engkau tidak kekuarangan apa pun." (Ulangan 2:7). Di tengah badai kehidupan yang seberat apa pun janganlah sampai kita melupakan segala kebaikan Tuhan. Pengalaman hidup bangsa Israel ini menjadi bukti nyata betapa sempurna penyertaan Tuhan terhadap mereka. Namun meskipun berada di padang gurun selama bertahun-tahun bangsa Israel tetap berada dalam pemeliharaan Tuhan, sehingga mereka tidak kekurangan suatu apa pun juga.
Seringkali ketika permasalah datang menerpa hidup ini kita bertanya: di manakah Tuhan? Kita merasa Tuhan tidak mempedulikan kita dan membiarkan kita bergumul sendirian. Akibatnya kita menjadi lemah dan tak berdaya. Ibarat sebuah bangunan, 'rumah rohani' kita hancur berkeping-keping dan tinggal puing-puing berserakan. Mengapa bisa terjadi?
Sesungguhnya ada banyak orang percaya yang tetap kuat dan mampu bertahan di tengah persoalan.
Sunday, October 23, 2011
PENTINGNYA KERENDAHAN HATI DALAM DOA (2)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 23 Oktober 2011 -
Baca: Mazmur 34
"Tuhan itu dekat kepada orang-orang yang patah hati, dan Ia menyelamatkan orang-orang yang remuk jiwanya." Mazmur 34:19
Petrus menasihati dalam 1 Petrus 5:5b-6, "Dan kamu semua, rendahkanlah dirimu seorang terhadap yang lain, sebab: 'Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihani orang yang rendah hati.' Karena itu rendahkanlah dirimu di bawah tangan Tuhan yang kuat, supaya kamu ditinggikan-Nya pada waktunya." (1 Petrus 5:5b-6).
Penting bagi setiap orang percaya memiliki kerendahan hati. Perhatikan sikap dari seorang Farisi saat ia datang kepada Tuhan. Orang Farisi itu berdiri dan berdoa dalam hatinya begini: "Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini; aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku." (Lukas 18:11-12). Orang Farisi tersebut datang kepada Tuhan tanpa kerendahan hati, ia memamerkan kebenaran dan kesucian hidupnya. Siapakah kita ini di hadapan Tuhan, sehingga kita bersikap tinggi hati?
Jangan pernah membanggakan diri oleh karena kita kaya, terpandang, sudah menjadi Kristen selama bertahun-tahun atau sudah melayani Tuhan. Semuanya itu tidak boleh menjadi alasan untuk merasa sombong atau bermegah di hadapan Tuhan. Ayat nas di atas menyatakan bahwa Tuhan begitu dekat dengan orang-orang yang memiliki hati hancur. Inilah wujud kerendahan hati yang benar: hati yang hancur disertai dengan linangan air mata, lalu tersungkur di bawah kaki Tuhan Yesus, memohon belas kasih dan kemurahanNya. Hati yang hancur adalah suatu korban yang menyenangkan hati Tuhan; tak ada sesuatu yang lebih berharga di mata Tuhan kecuali hati yang hancur. Orang-orang yang patah, jiwa yang remuk, hati yang benar-benar merindukan Tuhan adalah modal bagi Tuhan untuk menjadikan mereka alat yang berguna bagi kemuliaanNya, karena hati yang hancur (kerendahan hati) adalah syarat yang penting untuk menghampiri Tuhan. Dan doa yang dinaikkan kepada Tuhan dengan hati yang hancur selalu didengar dan dijawab oleh Tuhan. Oleh karena itu jangan keraskan hatimu!
Tuhan Yesus sendiri juga banyak mencucurkan air mata dalam doaNya seperti tertulis: "Dalam hidup-Nya sebagai manusia, Ia telah mempersembahkan doa dan permohonan dengan ratap tangis dan keluhan kepada Dia,..." (Ibrani 5:7).
Baca: Mazmur 34
"Tuhan itu dekat kepada orang-orang yang patah hati, dan Ia menyelamatkan orang-orang yang remuk jiwanya." Mazmur 34:19
Petrus menasihati dalam 1 Petrus 5:5b-6, "Dan kamu semua, rendahkanlah dirimu seorang terhadap yang lain, sebab: 'Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihani orang yang rendah hati.' Karena itu rendahkanlah dirimu di bawah tangan Tuhan yang kuat, supaya kamu ditinggikan-Nya pada waktunya." (1 Petrus 5:5b-6).
Penting bagi setiap orang percaya memiliki kerendahan hati. Perhatikan sikap dari seorang Farisi saat ia datang kepada Tuhan. Orang Farisi itu berdiri dan berdoa dalam hatinya begini: "Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini; aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku." (Lukas 18:11-12). Orang Farisi tersebut datang kepada Tuhan tanpa kerendahan hati, ia memamerkan kebenaran dan kesucian hidupnya. Siapakah kita ini di hadapan Tuhan, sehingga kita bersikap tinggi hati?
Jangan pernah membanggakan diri oleh karena kita kaya, terpandang, sudah menjadi Kristen selama bertahun-tahun atau sudah melayani Tuhan. Semuanya itu tidak boleh menjadi alasan untuk merasa sombong atau bermegah di hadapan Tuhan. Ayat nas di atas menyatakan bahwa Tuhan begitu dekat dengan orang-orang yang memiliki hati hancur. Inilah wujud kerendahan hati yang benar: hati yang hancur disertai dengan linangan air mata, lalu tersungkur di bawah kaki Tuhan Yesus, memohon belas kasih dan kemurahanNya. Hati yang hancur adalah suatu korban yang menyenangkan hati Tuhan; tak ada sesuatu yang lebih berharga di mata Tuhan kecuali hati yang hancur. Orang-orang yang patah, jiwa yang remuk, hati yang benar-benar merindukan Tuhan adalah modal bagi Tuhan untuk menjadikan mereka alat yang berguna bagi kemuliaanNya, karena hati yang hancur (kerendahan hati) adalah syarat yang penting untuk menghampiri Tuhan. Dan doa yang dinaikkan kepada Tuhan dengan hati yang hancur selalu didengar dan dijawab oleh Tuhan. Oleh karena itu jangan keraskan hatimu!
Tuhan Yesus sendiri juga banyak mencucurkan air mata dalam doaNya seperti tertulis: "Dalam hidup-Nya sebagai manusia, Ia telah mempersembahkan doa dan permohonan dengan ratap tangis dan keluhan kepada Dia,..." (Ibrani 5:7).
Saturday, October 22, 2011
PENTINGNYA KERENDAHAN HATI DALAM DOA (1)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 22 Oktober 2011 -
Baca: Yakobus 4:1-10
"Atau kamu berdoa juga, tetapi kamu tidak menerima apa-apa, karena kamu salah berdoa, sebab yang kamu minta itu hendak kamu habiskan untuk memuaskan hawa nafsumu." Yakobus 4:3
Pernahkah doa Saudara tidak dijawab oleh Tuhan? Sebagian besar dari kita pasti akan menjawab, "Wah, sudah tak terhitung banyaknya doa saya tidak dijawab oleh Tuhan." Dan ujung dari semua itu adalah kita menjadi kecewa dan kemudian menyalahkan Tuhan. Namun jarang sekali kita mau mengevaluasi diri mengapa doa kita sampai tidak dijawab oleh Tuhan, tidak pernah mengintrospeksi diri kita mengapa doa kita itu tidak dijawabNya.
Ternyata sikap seseorang dalam berdoa juga sangat menentukan apakah doanya akan dijawab atau tidak oleh Tuhan. Bila kita memiliki sikap hati yang benar dalam berdoa, apa saja yang kita minta dari Tuhan dalam nama Yesus Kristus, kita pasti akan menerimanya. Kita harus ingat bahwa berdoa itu bukan hanya mengucapkan perkataan-perkataan yang teratur di hadapan Tuhan, melainkan suatu pernyataan dari tubuh, jiwa dan roh kita kepada Tuhan. Hal ini berkenaan dengan hati kita. Kita harus menyadari bahwa sesungguhnya Tuhan memandang hati kita, "Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang ada di depan mata, tetapi Tuhan melihat hati." (1 Samuel 16:7b), sebab suatu doa yang keluar dari dasar hati yang benar, walau diucapkan hanya dengan sederhana atau hanya melalui linangan air mata, akan sampai ke telinga Tuhan dan Dia pasti bertindak.
Ada tertulis: "Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi." (Matius 5:5). Kata lemah lembut ini berbicara tentang kerendahan hati. Kerendahan hati dapat diartikan sebagai kemurnian atau kelemahlembutan. Dalam bahasa Yunani kerendahan hati dituliskan dengan kata 'praios' yang berarti juga lemah lembut, bisa diartikan seseorang yang memiliki penyerahan atau ketergantungan total kepada Tuhan. Rasul Paulus juga menulis bahwa kerendahan hati atau kelemahlembutan adalah salah satu dari buah Roh. Mengapa kita harus memiliki kerendahan hati? Firman Tuhan menegaskan, "Tinggi hati mendahului kehancuran, tetapi kerendahan hati mendahului kehormatan." (Amsal 18:12).
Kerendahan hati adalah syarat yang mutlak yang Tuhan tetapkan untuk setiap orang yang rindu doa-doanya beroleh jawaban, sebab pintu hati Tuhan terbuka bagi orang-orang yang memiliki kerendahan hati.
Baca: Yakobus 4:1-10
"Atau kamu berdoa juga, tetapi kamu tidak menerima apa-apa, karena kamu salah berdoa, sebab yang kamu minta itu hendak kamu habiskan untuk memuaskan hawa nafsumu." Yakobus 4:3
Pernahkah doa Saudara tidak dijawab oleh Tuhan? Sebagian besar dari kita pasti akan menjawab, "Wah, sudah tak terhitung banyaknya doa saya tidak dijawab oleh Tuhan." Dan ujung dari semua itu adalah kita menjadi kecewa dan kemudian menyalahkan Tuhan. Namun jarang sekali kita mau mengevaluasi diri mengapa doa kita sampai tidak dijawab oleh Tuhan, tidak pernah mengintrospeksi diri kita mengapa doa kita itu tidak dijawabNya.
Ternyata sikap seseorang dalam berdoa juga sangat menentukan apakah doanya akan dijawab atau tidak oleh Tuhan. Bila kita memiliki sikap hati yang benar dalam berdoa, apa saja yang kita minta dari Tuhan dalam nama Yesus Kristus, kita pasti akan menerimanya. Kita harus ingat bahwa berdoa itu bukan hanya mengucapkan perkataan-perkataan yang teratur di hadapan Tuhan, melainkan suatu pernyataan dari tubuh, jiwa dan roh kita kepada Tuhan. Hal ini berkenaan dengan hati kita. Kita harus menyadari bahwa sesungguhnya Tuhan memandang hati kita, "Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang ada di depan mata, tetapi Tuhan melihat hati." (1 Samuel 16:7b), sebab suatu doa yang keluar dari dasar hati yang benar, walau diucapkan hanya dengan sederhana atau hanya melalui linangan air mata, akan sampai ke telinga Tuhan dan Dia pasti bertindak.
Ada tertulis: "Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi." (Matius 5:5). Kata lemah lembut ini berbicara tentang kerendahan hati. Kerendahan hati dapat diartikan sebagai kemurnian atau kelemahlembutan. Dalam bahasa Yunani kerendahan hati dituliskan dengan kata 'praios' yang berarti juga lemah lembut, bisa diartikan seseorang yang memiliki penyerahan atau ketergantungan total kepada Tuhan. Rasul Paulus juga menulis bahwa kerendahan hati atau kelemahlembutan adalah salah satu dari buah Roh. Mengapa kita harus memiliki kerendahan hati? Firman Tuhan menegaskan, "Tinggi hati mendahului kehancuran, tetapi kerendahan hati mendahului kehormatan." (Amsal 18:12).
Kerendahan hati adalah syarat yang mutlak yang Tuhan tetapkan untuk setiap orang yang rindu doa-doanya beroleh jawaban, sebab pintu hati Tuhan terbuka bagi orang-orang yang memiliki kerendahan hati.
Friday, October 21, 2011
MENJADI PENDOA SYAFAAT: Tugas yang Sangat Mulia!
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 21 Oktober 2011 -
Baca: Kolose 1:1-14
"Sebab itu sejak waktu kami (Paulus dan rekan) mendengarnya, kami tiada berhenti-henti berdoa untuk kamu." Kolose 1:9a
Doa syafaat adalah doa yang dinaikkan oleh seorang anak Tuhan atau hamba Tuhan untuk kepentingan orang lain. Dalam berdoa syafaat orang berdiri sebagai imam-imam Tuhan untuk kepentingan orang lain. Tuhan Yesus adalah figur seorang pendoa syafaat sejati. Yohanes pasal 17 adalah doa yang dinaikkan oleh Tuhan Yesus kepada Bapa di sorga untuk murid-muridNya (orang percaya) sebelum Ia terpisah dari dunia ini. Ayat nas di atas juga menunjukkan bahwa rasul Paulus adalah seorang pendoa syafaat. Kepada jemaat di Kolose Paulus menyatakan, "...kami tiada berhenti-henti berdoa untuk kamu. Kami meminta, supaya kamu menerima segala hikmat dan pengertian yang benar, untuk mengetahui kehendak Tuhan dengan sempurna, sehingga hidupmu layak di hadapanNya serta berkenan kepadaNya dalam segala hal, dan kamu memberi buah dalam segala pekerjaan yang baik dan bertumbuh dalam pengetahuan yang benar tentang Allah," (ayat 9-10).
Berdoa syafaat adalah wujud nyata tali pengikat yang kuat diantara sesama anak Tuhan. Mendoakan orang lain dan sesama saudara seiman adalah hak istimewa yang diberikan Tuhan kepada setiap orang percaya. Namun menjadi seorang pendoa syafaat adalah tidak mudah karena tidak semua orang mau berdoa untuk orang lain. Adalah lebih mudah berdoa untuk diri sendiri. Itulah sebabnya banyak orang Kristen kurang memahami dan menyadari arti doa syafaat sehingga mereka pun menolak dan menghindarkan diri dari berdoa syafaat. Berdoa untuk diri sendiri adalah hal yang biasa, tetapi berdoa untuk orang lain adalah luar biasa.
Alkitab menyatakan bahwa semua anak Tuhan harus melakukan doa syafaat: berdoa untuk keselamatan orang lain, kesembuhan saudara seiman yang sakit, berdoa untuk bangsa dan negara, berdoa untuk para hamba Tuhan dan sebagainya. Terlebih lagi para hamba Tuhan harus banyak berdoa untuk setiap anggota jemaatnya. Tetapi untuk menjadi seorang pendoa syafaat kita harus hidup dalam kekudusan karena Tuhan adalah kudus; maka hendaknya kita juga kudus dalam seluruh aspek kehidupan kita (baca 1 Petrus 1:14-16).
Hanya orang-orang yang hidup dalam kekudusan dan yang memiliki kekariban dengan Tuhan yang akan berdiri sebagai imam-imam Tuhan dan berdoa bersyafaat untuk keselamatan orang lain.
Baca: Kolose 1:1-14
"Sebab itu sejak waktu kami (Paulus dan rekan) mendengarnya, kami tiada berhenti-henti berdoa untuk kamu." Kolose 1:9a
Doa syafaat adalah doa yang dinaikkan oleh seorang anak Tuhan atau hamba Tuhan untuk kepentingan orang lain. Dalam berdoa syafaat orang berdiri sebagai imam-imam Tuhan untuk kepentingan orang lain. Tuhan Yesus adalah figur seorang pendoa syafaat sejati. Yohanes pasal 17 adalah doa yang dinaikkan oleh Tuhan Yesus kepada Bapa di sorga untuk murid-muridNya (orang percaya) sebelum Ia terpisah dari dunia ini. Ayat nas di atas juga menunjukkan bahwa rasul Paulus adalah seorang pendoa syafaat. Kepada jemaat di Kolose Paulus menyatakan, "...kami tiada berhenti-henti berdoa untuk kamu. Kami meminta, supaya kamu menerima segala hikmat dan pengertian yang benar, untuk mengetahui kehendak Tuhan dengan sempurna, sehingga hidupmu layak di hadapanNya serta berkenan kepadaNya dalam segala hal, dan kamu memberi buah dalam segala pekerjaan yang baik dan bertumbuh dalam pengetahuan yang benar tentang Allah," (ayat 9-10).
Berdoa syafaat adalah wujud nyata tali pengikat yang kuat diantara sesama anak Tuhan. Mendoakan orang lain dan sesama saudara seiman adalah hak istimewa yang diberikan Tuhan kepada setiap orang percaya. Namun menjadi seorang pendoa syafaat adalah tidak mudah karena tidak semua orang mau berdoa untuk orang lain. Adalah lebih mudah berdoa untuk diri sendiri. Itulah sebabnya banyak orang Kristen kurang memahami dan menyadari arti doa syafaat sehingga mereka pun menolak dan menghindarkan diri dari berdoa syafaat. Berdoa untuk diri sendiri adalah hal yang biasa, tetapi berdoa untuk orang lain adalah luar biasa.
Alkitab menyatakan bahwa semua anak Tuhan harus melakukan doa syafaat: berdoa untuk keselamatan orang lain, kesembuhan saudara seiman yang sakit, berdoa untuk bangsa dan negara, berdoa untuk para hamba Tuhan dan sebagainya. Terlebih lagi para hamba Tuhan harus banyak berdoa untuk setiap anggota jemaatnya. Tetapi untuk menjadi seorang pendoa syafaat kita harus hidup dalam kekudusan karena Tuhan adalah kudus; maka hendaknya kita juga kudus dalam seluruh aspek kehidupan kita (baca 1 Petrus 1:14-16).
Hanya orang-orang yang hidup dalam kekudusan dan yang memiliki kekariban dengan Tuhan yang akan berdiri sebagai imam-imam Tuhan dan berdoa bersyafaat untuk keselamatan orang lain.
Thursday, October 20, 2011
TERLALU SIBUK: Tidak Ada Waktu Untuk Berdoa!
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 20 Oktober 2011 -
Baca: Matius 9:35-38
"Demikianlah Yesus berkeliling ke semua kota dan desa; Ia mengajar dalam rumah-rumah ibadat dan memberitakan Injil Kerajaan Sorga serta melenyapkan segala penyakit dan kelemahan." Matius 9:35
Saat berada di bumi Tuhan Yesus tidak pernah berhenti untuk bekerja. Dia berkata, "Bapa-Ku bekerja sampai sekarang, maka Aku pun bekerja juga." (Yohanes 5:17). Alkitab pun menyatakan bahwa Yesus datang ke dunia bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani semua orang (baca Matius 20:28). Ayat nas di atas menunjukkan betapa sibuknya Yesus melayani jiwa-jiwa; Ia berjalan berkeliling ke semua kota dan desa sambil mengajar, memberitakan Injil serta menyembuhkan segala penyakit. Demikian sibuknya sampai-sampai Yesus tidak mempunyai tempat untuk sekedar meletakkan kepalaNya (baca Matius 8:20). Walaupun demikian Yesus tidak pernah mengabaikan jam-jam doa; Ia selalu mempunyai waktu untuk berdoa. Di waktu pagi sebelum fajar merekah Yesus bangun dan mengasingkan diriNya untuk berdoa (baca Markus 1:35), bahkan pada waktu malam Ia juga mencari tempat yang sunyi senyap untuk berdoa sepanjang malam (Baca Lukas 6:12).
Ada peribahasa yang mengatakan, 'Time is money'. Banyak orang yang sangat memperhitungkan waktunya secara mendetil. Waktu yang ada sebisa mungkin dipergunakan sebaik-baiknya. Bagi mereka, membuang waktu sama artinya kehilangan keuntungan; semua diukur dengan uang. Dari sekian waktu yang digunakan untuk bekerja (mencari uang), adakah yang mereka gunakan untuk berdoa dan mencari hadirat Tuhan? Tak terkecuali orang Kristen dan mungkin para hamba Tuhan terlalu disibukkan dengan banyak pekerjaan dan juga jadwal pelayanan, sehingga malah tidak punya waktu untuk berdoa. Kita bisa menyediakan waktu berjalan-jalan dengan keluarga, menyalurkan hobi memasak dan berkebun, berolahraga, nonton konser musik dan lain-lain, tetapi kita sulit menyediakan waktu untuk berdoa 1 jam sama. Untuk perkara-perkara rohani kita tidak bisa mengatur dan membagi waktu! Tapi untuk perkara-perkara duniawi (daging), apa pun itu pasti kita sempat-sempatkan. Sibuk! Sibuk! Itu yang kita katakan. Kita tidak ada waktu untuk berdoa. Iblis akan bersorak-sorai bila kita melalaikan doa. Semakin kita meninggalkan doa semakin mudah Iblis menghancurkan hidup kita.
Jangan hanya berdoa saat dalam masalah saja, tapi berdoalah setiap waktu!
Baca: Matius 9:35-38
"Demikianlah Yesus berkeliling ke semua kota dan desa; Ia mengajar dalam rumah-rumah ibadat dan memberitakan Injil Kerajaan Sorga serta melenyapkan segala penyakit dan kelemahan." Matius 9:35
Saat berada di bumi Tuhan Yesus tidak pernah berhenti untuk bekerja. Dia berkata, "Bapa-Ku bekerja sampai sekarang, maka Aku pun bekerja juga." (Yohanes 5:17). Alkitab pun menyatakan bahwa Yesus datang ke dunia bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani semua orang (baca Matius 20:28). Ayat nas di atas menunjukkan betapa sibuknya Yesus melayani jiwa-jiwa; Ia berjalan berkeliling ke semua kota dan desa sambil mengajar, memberitakan Injil serta menyembuhkan segala penyakit. Demikian sibuknya sampai-sampai Yesus tidak mempunyai tempat untuk sekedar meletakkan kepalaNya (baca Matius 8:20). Walaupun demikian Yesus tidak pernah mengabaikan jam-jam doa; Ia selalu mempunyai waktu untuk berdoa. Di waktu pagi sebelum fajar merekah Yesus bangun dan mengasingkan diriNya untuk berdoa (baca Markus 1:35), bahkan pada waktu malam Ia juga mencari tempat yang sunyi senyap untuk berdoa sepanjang malam (Baca Lukas 6:12).
Ada peribahasa yang mengatakan, 'Time is money'. Banyak orang yang sangat memperhitungkan waktunya secara mendetil. Waktu yang ada sebisa mungkin dipergunakan sebaik-baiknya. Bagi mereka, membuang waktu sama artinya kehilangan keuntungan; semua diukur dengan uang. Dari sekian waktu yang digunakan untuk bekerja (mencari uang), adakah yang mereka gunakan untuk berdoa dan mencari hadirat Tuhan? Tak terkecuali orang Kristen dan mungkin para hamba Tuhan terlalu disibukkan dengan banyak pekerjaan dan juga jadwal pelayanan, sehingga malah tidak punya waktu untuk berdoa. Kita bisa menyediakan waktu berjalan-jalan dengan keluarga, menyalurkan hobi memasak dan berkebun, berolahraga, nonton konser musik dan lain-lain, tetapi kita sulit menyediakan waktu untuk berdoa 1 jam sama. Untuk perkara-perkara rohani kita tidak bisa mengatur dan membagi waktu! Tapi untuk perkara-perkara duniawi (daging), apa pun itu pasti kita sempat-sempatkan. Sibuk! Sibuk! Itu yang kita katakan. Kita tidak ada waktu untuk berdoa. Iblis akan bersorak-sorai bila kita melalaikan doa. Semakin kita meninggalkan doa semakin mudah Iblis menghancurkan hidup kita.
Jangan hanya berdoa saat dalam masalah saja, tapi berdoalah setiap waktu!
Wednesday, October 19, 2011
DOA PRIBADI: Sebagai Kebutuhan Utama
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 19 Oktober 2011 -
Baca: Markus 1:35-39
"Pagi-pagi benar, waktu hari masih gelap, Ia bangun dan pergi ke luar. Ia pergi ke tempat yang sunyi dan berdoa di sana." Markus 1:35
Sebagai orang percaya, terlebih lagi kita yang sudah terlibat dalam pelayanan pekerjaan Tuhan, pasti dengan sendirinya juga memiliki doa pribadi di rumah setiap hari. Bukankah demikian? Kenyataannya masih banyak dari kita yang kurang menyadari betapa pentingnya doa itu. Selama kita belum menjadikan doa sebagai kebutuhan utama kita seperti makan, minum, tidur atau bekerja, kita belum memiliki kehidupan doa. Rahasia kehidupan seorang Kristen yang berhasil dan diberkati adalah memiliki doa pribadi setiap hari. Doa pribadi bukan hanya berlaku bagi para hamba Tuhan atau pengerja gereja namun untuk semua orang Kristen tanpa terkecuali. Doa pribadi bukanlah suatu kewajiban agama, tetapi harus menjadi bagian hidup kita yang terus-menerus mengalir seperti sungai. Tidak ada orang yang terlalu pintar, terlalu payah, terlalu susah atau terlalu repot yang tidak dapat melakukan doa secara pribadi.
Tuhan Yesus mengajar agar kita melakukan doa pribadi dengan cara demikian: "...masuklah ke dalam kamarmu, tutuplah pintu dan berdoalah kepada Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu." (Matius 6:6), dan bertekun di dalam doa sampai kita menerima apa yang kita butuhkan. Tertulis: "Tidakkah Allah akan membenarkan orang-orang pilihan-Nya yang siang malam berseru kepada-Nya? Dan adakah Ia mengulur-ulur waktu sebelum menolong mereka?" (Lukas 18:7). Keberhasilan Rasul Paulus menjungkirbalikkan dunia dengan Injil bukanlah karena kepintarannya, tapi karena kekuatan doanya. Itulah sebabnya Rasul Paulus menasihati, "Tetaplah berdoa." (1 Tesalonika 5:17).
Sudahkah kita memiliki kehidupan doa secara pribadi setiap hari dan melakukannya dengan penuh ketekunan? Masihkah kita ogah-ogahan berdoa dan merasa tidak yakin dengan doa kita sendiri, sehingga selalu berharap kepada pendeta atau hamba Tuhan besar yang berdoa bagi kita? Ataukah kita mengucapkan doa dengan sungguh hanya saat berada di gereja, sedangkan saat di rumah kita lebih banyak berada di depan televisi atau tidur mendengkur? Kemalasan kita dalam berdoa adalah akar dari segala kelemahan dan kegagalan kita.
Jika kita ingin menerima yang baik dari Tuhan dan rindu dipakaiNya secara luar biasa, kita harus meningkatkan intensitas doa kita!
Baca: Markus 1:35-39
"Pagi-pagi benar, waktu hari masih gelap, Ia bangun dan pergi ke luar. Ia pergi ke tempat yang sunyi dan berdoa di sana." Markus 1:35
Sebagai orang percaya, terlebih lagi kita yang sudah terlibat dalam pelayanan pekerjaan Tuhan, pasti dengan sendirinya juga memiliki doa pribadi di rumah setiap hari. Bukankah demikian? Kenyataannya masih banyak dari kita yang kurang menyadari betapa pentingnya doa itu. Selama kita belum menjadikan doa sebagai kebutuhan utama kita seperti makan, minum, tidur atau bekerja, kita belum memiliki kehidupan doa. Rahasia kehidupan seorang Kristen yang berhasil dan diberkati adalah memiliki doa pribadi setiap hari. Doa pribadi bukan hanya berlaku bagi para hamba Tuhan atau pengerja gereja namun untuk semua orang Kristen tanpa terkecuali. Doa pribadi bukanlah suatu kewajiban agama, tetapi harus menjadi bagian hidup kita yang terus-menerus mengalir seperti sungai. Tidak ada orang yang terlalu pintar, terlalu payah, terlalu susah atau terlalu repot yang tidak dapat melakukan doa secara pribadi.
Tuhan Yesus mengajar agar kita melakukan doa pribadi dengan cara demikian: "...masuklah ke dalam kamarmu, tutuplah pintu dan berdoalah kepada Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu." (Matius 6:6), dan bertekun di dalam doa sampai kita menerima apa yang kita butuhkan. Tertulis: "Tidakkah Allah akan membenarkan orang-orang pilihan-Nya yang siang malam berseru kepada-Nya? Dan adakah Ia mengulur-ulur waktu sebelum menolong mereka?" (Lukas 18:7). Keberhasilan Rasul Paulus menjungkirbalikkan dunia dengan Injil bukanlah karena kepintarannya, tapi karena kekuatan doanya. Itulah sebabnya Rasul Paulus menasihati, "Tetaplah berdoa." (1 Tesalonika 5:17).
Sudahkah kita memiliki kehidupan doa secara pribadi setiap hari dan melakukannya dengan penuh ketekunan? Masihkah kita ogah-ogahan berdoa dan merasa tidak yakin dengan doa kita sendiri, sehingga selalu berharap kepada pendeta atau hamba Tuhan besar yang berdoa bagi kita? Ataukah kita mengucapkan doa dengan sungguh hanya saat berada di gereja, sedangkan saat di rumah kita lebih banyak berada di depan televisi atau tidur mendengkur? Kemalasan kita dalam berdoa adalah akar dari segala kelemahan dan kegagalan kita.
Jika kita ingin menerima yang baik dari Tuhan dan rindu dipakaiNya secara luar biasa, kita harus meningkatkan intensitas doa kita!
Tuesday, October 18, 2011
PENGENALAN AKAN TUHAN: Menyadari Panggilan Kita!
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 18 Oktober 2011 -
Baca: Hosea 6:1-6
"Sebab Aku menyukai kasih setia, dan bukan korban sembelihan, dan menyukai pengenalan akan Allah, lebih dari pada korban-korban bakaran." Hosea 6:6
Memiliki pengenalan yang benar akan Tuhan adalah sangat penting bagi orang percaya, karena tanpa pengenalan yang benar akan Tuhan iman kita tidak akan bertumbuh. Memiliki pengenalan yang benar akan Tuhan membuat kita semakin memahami rencana-rencanaNya dan juga keberadaan kita di dalam Dia. Oleh karena itu rasul Paulus berdoa untuk jemaat di Efesus: "...meminta kepada Allah Tuhan kita Yesus Kristus, yaitu Bapa yang mulia itu, supaya Ia memberikan kepadamu Roh hikmat dan wahyu untuk mengenal Dia dengan benar." (Efesus 1:17). Itulah yang disukai dan dirindukan Tuhan.
Mengenal Tuhan berbeda dengan sekedar tahu akan Tuhan. Dalam pengenalan akan Tuhan terkandung suatu hubungan yang erat, penyerahan diri penuh dan juga kepercayaan. Semakin kita mengenal Tuhan semakin kita memahami panggilan Tuhan, dan semakin menyadari keberadaan kita di hadapanNya. Tuhan berkata, "...engkau berharga di mata-Ku dan mulia, dan aku ini mengasihi engkau,..." (Yesaya 43:4a). Pengenalan akan Tuhan membuat kita dapat mengerti panggilanNya sehingga kita sadar betapa mulianya bagian yang ditentukan Tuhan bagi kita. Namun ada banyak orang percaya yang belum menyadari bagian yang mulia yang disediakan Tuhan bagi mereka, karena tidak mengerti panggilan Tuhan di dalam hidupnya. Panggilan berbeda dari karunia, karena panggilan berbicara tentang suatu tempat atau posisi di mana kita berada yang dikehendaki oleh Tuhan. Alkitab menyatakan, "Dahulu memang kamu hamba dosa,... Kamu telah dimerdekakan dari dosa dan menjadi hamba kebenaran." (Roma 6:17b-18). Tuhan memanggil kita sebagai hambaNya, bukan hamba dosa, melainkan menjadi hamba kebenaran. Salah satu ciri hamba adalah tidak punya hak berbicara, hanya tunduk dan wajib menaati segala perintah tuannya.
Sebagai umat yang telah dimerdekakan dari dosa, kita wajib hidup dalam kebenaran, tidak lagi hidup menurut keinginan daging. Dikatakan, "Barangsiapa mengatakan, bahwa ia ada di dalam Dia, ia wajib hidup sama seperti Kristus telah hidup." (1 Yohanes 2:6). Sudahkah kita menjadi hamba-hamba Tuhan yang taat dan mengabdikan hidup sepenuhnya bagi Tuhan?
Paulus berkata, "Sekiranya aku masih mau mencoba berkenan kepada manusia, maka aku bukanlah hamba Kristus." Galatia 1:10c
Baca: Hosea 6:1-6
"Sebab Aku menyukai kasih setia, dan bukan korban sembelihan, dan menyukai pengenalan akan Allah, lebih dari pada korban-korban bakaran." Hosea 6:6
Memiliki pengenalan yang benar akan Tuhan adalah sangat penting bagi orang percaya, karena tanpa pengenalan yang benar akan Tuhan iman kita tidak akan bertumbuh. Memiliki pengenalan yang benar akan Tuhan membuat kita semakin memahami rencana-rencanaNya dan juga keberadaan kita di dalam Dia. Oleh karena itu rasul Paulus berdoa untuk jemaat di Efesus: "...meminta kepada Allah Tuhan kita Yesus Kristus, yaitu Bapa yang mulia itu, supaya Ia memberikan kepadamu Roh hikmat dan wahyu untuk mengenal Dia dengan benar." (Efesus 1:17). Itulah yang disukai dan dirindukan Tuhan.
Mengenal Tuhan berbeda dengan sekedar tahu akan Tuhan. Dalam pengenalan akan Tuhan terkandung suatu hubungan yang erat, penyerahan diri penuh dan juga kepercayaan. Semakin kita mengenal Tuhan semakin kita memahami panggilan Tuhan, dan semakin menyadari keberadaan kita di hadapanNya. Tuhan berkata, "...engkau berharga di mata-Ku dan mulia, dan aku ini mengasihi engkau,..." (Yesaya 43:4a). Pengenalan akan Tuhan membuat kita dapat mengerti panggilanNya sehingga kita sadar betapa mulianya bagian yang ditentukan Tuhan bagi kita. Namun ada banyak orang percaya yang belum menyadari bagian yang mulia yang disediakan Tuhan bagi mereka, karena tidak mengerti panggilan Tuhan di dalam hidupnya. Panggilan berbeda dari karunia, karena panggilan berbicara tentang suatu tempat atau posisi di mana kita berada yang dikehendaki oleh Tuhan. Alkitab menyatakan, "Dahulu memang kamu hamba dosa,... Kamu telah dimerdekakan dari dosa dan menjadi hamba kebenaran." (Roma 6:17b-18). Tuhan memanggil kita sebagai hambaNya, bukan hamba dosa, melainkan menjadi hamba kebenaran. Salah satu ciri hamba adalah tidak punya hak berbicara, hanya tunduk dan wajib menaati segala perintah tuannya.
Sebagai umat yang telah dimerdekakan dari dosa, kita wajib hidup dalam kebenaran, tidak lagi hidup menurut keinginan daging. Dikatakan, "Barangsiapa mengatakan, bahwa ia ada di dalam Dia, ia wajib hidup sama seperti Kristus telah hidup." (1 Yohanes 2:6). Sudahkah kita menjadi hamba-hamba Tuhan yang taat dan mengabdikan hidup sepenuhnya bagi Tuhan?
Paulus berkata, "Sekiranya aku masih mau mencoba berkenan kepada manusia, maka aku bukanlah hamba Kristus." Galatia 1:10c
Monday, October 17, 2011
SARA: Tuhan Tak Pernah Mengecewakan!
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 17 Oktober 2011 -
Baca: Kejadian 12:10-20
"dan ketika punggawa-punggawa Firaun melihat Sarai, mereka memuji-mujinya di hadapan Firaun, sehingga perempuan itu dibawa ke istananya." Kejadian 12:15
Sejak dari semula Tuhan memiliki rencana yang indah atas kehidupan Sara. Dia merancang kehidupan Sara begitu istimewa: dianugerahi kecantikan yang luar biasa dan menjadi isteri Abraham, seorang yang dipilih Tuhan untuk menjadi berkat bagi bangsa-bangsa; bahkan kecantikan Sara tidak luntur di usianya yang sudah lanjut sehingga Abraham pun merasa was-was saat memutuskan untuk pergi ke Mesir. Tertulis, "Memang aku tahu, bahwa engkau adalah perempuan yang cantik parasnya. Apabila orang Mesir melihat engkau, mereka akan berkata: Itu isterinya. Jadi mereka akan membunuh aku dan membiarkan engkau hidup." (ayat 11-12).
Sedemikian cantiknya, sampai-sampai Firaun berniat untuk meminang Sara; dan Abraham mengkompromikan hal ini. Sesungguhnya hati Sara begitu pilu ketika Abraham, suami yang sangat ia sayangi dan percayai dalam hidupnya, tega 'menjualnya' pada Firaun. Dari 'transaksi' ini Abraham "...mendapat kambing domba, lembu sapi, keledai jantan, budak laki-laki dan perempuan, keledai betina dan unta." (ayat 16). Hal ini menunjukkan betapa Abraham lebih mementingkan dirinya sendiri daripada menjaga perasaan isterinya.
Bagaimana pun juga Abraham adalah manusia biasa, yang bisa saja membuat kesalahan dan juga mengecewakan. Namun ada satu Pribadi yang tidak pernah mengecewakan yaitu Tuhan. Itulah sebabnya firman Tuhan mengingatkan, "Jangan berharap pada manusia, sebab ia tidak lebih dari pada embusan nafas, dan sebagai apakah ia dapat dianggap?" (Yesaya 2:22). Tidak ada janji yang tidak ditepatiNya! Alkitab menyatakan, "Tetapi TUHAN menimpakan tulah yang hebat kepada Firaun, demikian juga kepada seisi istananya, karena Sarai, isteri Abram itu." (Kejadian 12:17). Tuhan memberi tulah tersebut bukan sekedar untuk menghukum Firaun. Bisa dikatakan bahwa Firaun merupakan korban ketidakjujuran Abraham. Tuhan memberi tulah tersebut juga bukan sekedar untuk mengembalikan Sara pada Abraham, sebab Dia tidak membenarkan perbuatan suami yang 'menjual' isterinya. Tuhan memberi tulah tersebut untuk menunjukkan tidak ada rencanaNya yang gagal.
Tuhan yang menjanjikan keturunan kepada Sara adalah Tuhan yang tidak pernah mengecewakan, sekali pun orang yang paling kita kasihi mengecewakan. (NK)
Baca: Kejadian 12:10-20
"dan ketika punggawa-punggawa Firaun melihat Sarai, mereka memuji-mujinya di hadapan Firaun, sehingga perempuan itu dibawa ke istananya." Kejadian 12:15
Sejak dari semula Tuhan memiliki rencana yang indah atas kehidupan Sara. Dia merancang kehidupan Sara begitu istimewa: dianugerahi kecantikan yang luar biasa dan menjadi isteri Abraham, seorang yang dipilih Tuhan untuk menjadi berkat bagi bangsa-bangsa; bahkan kecantikan Sara tidak luntur di usianya yang sudah lanjut sehingga Abraham pun merasa was-was saat memutuskan untuk pergi ke Mesir. Tertulis, "Memang aku tahu, bahwa engkau adalah perempuan yang cantik parasnya. Apabila orang Mesir melihat engkau, mereka akan berkata: Itu isterinya. Jadi mereka akan membunuh aku dan membiarkan engkau hidup." (ayat 11-12).
Sedemikian cantiknya, sampai-sampai Firaun berniat untuk meminang Sara; dan Abraham mengkompromikan hal ini. Sesungguhnya hati Sara begitu pilu ketika Abraham, suami yang sangat ia sayangi dan percayai dalam hidupnya, tega 'menjualnya' pada Firaun. Dari 'transaksi' ini Abraham "...mendapat kambing domba, lembu sapi, keledai jantan, budak laki-laki dan perempuan, keledai betina dan unta." (ayat 16). Hal ini menunjukkan betapa Abraham lebih mementingkan dirinya sendiri daripada menjaga perasaan isterinya.
Bagaimana pun juga Abraham adalah manusia biasa, yang bisa saja membuat kesalahan dan juga mengecewakan. Namun ada satu Pribadi yang tidak pernah mengecewakan yaitu Tuhan. Itulah sebabnya firman Tuhan mengingatkan, "Jangan berharap pada manusia, sebab ia tidak lebih dari pada embusan nafas, dan sebagai apakah ia dapat dianggap?" (Yesaya 2:22). Tidak ada janji yang tidak ditepatiNya! Alkitab menyatakan, "Tetapi TUHAN menimpakan tulah yang hebat kepada Firaun, demikian juga kepada seisi istananya, karena Sarai, isteri Abram itu." (Kejadian 12:17). Tuhan memberi tulah tersebut bukan sekedar untuk menghukum Firaun. Bisa dikatakan bahwa Firaun merupakan korban ketidakjujuran Abraham. Tuhan memberi tulah tersebut juga bukan sekedar untuk mengembalikan Sara pada Abraham, sebab Dia tidak membenarkan perbuatan suami yang 'menjual' isterinya. Tuhan memberi tulah tersebut untuk menunjukkan tidak ada rencanaNya yang gagal.
Tuhan yang menjanjikan keturunan kepada Sara adalah Tuhan yang tidak pernah mengecewakan, sekali pun orang yang paling kita kasihi mengecewakan. (NK)
Sunday, October 16, 2011
HAL YANG TIDAK MENYENANGKAN
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 16 Oktober 2011 -
Baca: Mazmur 54
"Sesungguhnya, Allah adalah penolongku; Tuhanlah yang menopang aku." Mazmur 54:6
Saudara pernah mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan? Semua orang tanpa terkecuali pasti pernah merasakan hal-hal yang tidak menyenangkan. Pertengkaran dalam rumah tangga, diputus oleh pacar, tidak naik kelas atau tidak lulus sekolah, ditolak saat melamar pekerjaan, diusir dari kontrakan karena tidak bisa bayar ketika jatuh tempo, terbaring sakit dan sebagainya adalah contoh hal-hal yang tidak menyenangkan. Suatu saat Tuhan ijinkan kita melewati masa-masa sukar dalam hidup ini. Perkara yang tidak enak itu bisa saja datang dari keluarga, teman, rekan pelayanan, pekerjaan dan lain-lain. Bagaimana reaksi kita menghadapi hal-hal yang tidak menyenangkan tersebut? Biasanya kita langsung naik pitam (marah), stress, kecewa, sedih, putus asa, menyalahkan Tuhan dan lalu meninggalkan Dia.
Daud pun tak luput dari situasi-situasi yang tidak menyenangkan. Daud harus tinggal di padang gurun atau di tempat-tempat perlindungan karena dikejar-kejar oleh Saul yang hendak membunuhnya. Tertulis: "Ia tinggal di pegunungan, di padang gurun Zif. Dan selama waktu itu Saul mencari dia, tetapi Allah tidak menyerahkan dia ke dalam tangannya." (1 Samuel 23:14b). Bisa dibayangkan bagaimana perasaan Daud pada waktu itu: takut, cemas, kuatir, was-was berkecamuk jadi satu. Namun, Yonatan sahabatnya menguatkan Daud (baca 1 Samuel 23:17). Inilah yang mendasari Daud menuangkan gejolak hatinya dalam Mazmur 54 ini. Seru Daud, "Ya Allah, selamatkanlah aku karena nama-Mu, berilah keadilan kepadaku karena keperkasaan-Mu! Ya Allah, dengarkanlah doaku, berilah telinga kepada ucapan mulutku!" (Mazmur 54:3-4).
Ketika mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan marilah kita belajar untuk menguatkan hati kepada Tuhan. Berhentilah untuk mengeluh dan menyalahkan Tuhan. Stop memperkatakan hal yang negatif karena ini adalah siasat yang digunakan Iblis untuk menghancurkan dan melemahkan iman kita. Hal-hal yang tidak menyenangka bisa terjadi oleh karena kesalahan kita atau karena Tuhan hendak melatih dan mendewasakan iman kita.
Daud sadar masalah yang ia alami adalah bagian rencana Tuhan; Dia sedang memproses dan mempersiapkan dirinya menjadi seorang pemimpin!
Baca: Mazmur 54
"Sesungguhnya, Allah adalah penolongku; Tuhanlah yang menopang aku." Mazmur 54:6
Saudara pernah mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan? Semua orang tanpa terkecuali pasti pernah merasakan hal-hal yang tidak menyenangkan. Pertengkaran dalam rumah tangga, diputus oleh pacar, tidak naik kelas atau tidak lulus sekolah, ditolak saat melamar pekerjaan, diusir dari kontrakan karena tidak bisa bayar ketika jatuh tempo, terbaring sakit dan sebagainya adalah contoh hal-hal yang tidak menyenangkan. Suatu saat Tuhan ijinkan kita melewati masa-masa sukar dalam hidup ini. Perkara yang tidak enak itu bisa saja datang dari keluarga, teman, rekan pelayanan, pekerjaan dan lain-lain. Bagaimana reaksi kita menghadapi hal-hal yang tidak menyenangkan tersebut? Biasanya kita langsung naik pitam (marah), stress, kecewa, sedih, putus asa, menyalahkan Tuhan dan lalu meninggalkan Dia.
Daud pun tak luput dari situasi-situasi yang tidak menyenangkan. Daud harus tinggal di padang gurun atau di tempat-tempat perlindungan karena dikejar-kejar oleh Saul yang hendak membunuhnya. Tertulis: "Ia tinggal di pegunungan, di padang gurun Zif. Dan selama waktu itu Saul mencari dia, tetapi Allah tidak menyerahkan dia ke dalam tangannya." (1 Samuel 23:14b). Bisa dibayangkan bagaimana perasaan Daud pada waktu itu: takut, cemas, kuatir, was-was berkecamuk jadi satu. Namun, Yonatan sahabatnya menguatkan Daud (baca 1 Samuel 23:17). Inilah yang mendasari Daud menuangkan gejolak hatinya dalam Mazmur 54 ini. Seru Daud, "Ya Allah, selamatkanlah aku karena nama-Mu, berilah keadilan kepadaku karena keperkasaan-Mu! Ya Allah, dengarkanlah doaku, berilah telinga kepada ucapan mulutku!" (Mazmur 54:3-4).
Ketika mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan marilah kita belajar untuk menguatkan hati kepada Tuhan. Berhentilah untuk mengeluh dan menyalahkan Tuhan. Stop memperkatakan hal yang negatif karena ini adalah siasat yang digunakan Iblis untuk menghancurkan dan melemahkan iman kita. Hal-hal yang tidak menyenangka bisa terjadi oleh karena kesalahan kita atau karena Tuhan hendak melatih dan mendewasakan iman kita.
Daud sadar masalah yang ia alami adalah bagian rencana Tuhan; Dia sedang memproses dan mempersiapkan dirinya menjadi seorang pemimpin!
Saturday, October 15, 2011
BUKTIKAN KALAU SAUDARA MENGASIHI TUHAN!
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 15 Oktober 2011 -
Baca: Yohanes 14:15-24
"Jika seorang mengasihi Aku, ia akan menuruti firman-Ku dan Bapa-Ku akan mengasihi dia dan Kami akan datang kepadanya dan diam bersama-sama dengan dia." Yohanes 14:23
Sebagai orang percaya kita pasti akan tersinggung dan marah jika ada yang mengatakan, "Kamu tidak mengasihi Tuhan!" Dengan berbagai alasan kita akan menegaskan bahwa kita ini sangat mengasihi Tuhan, plus menyertakan 'bukti-bukti' untuk menunjukkan bahwa kita benar-benar mengasihi Tuhan: "Aku sudah melayani Tuhan sebagai guru sekolah Minggu, Worship Leader, singer, tim penginjilan, tim musik di gereja, aktif di persekutuan-persekutuan doa, donatur gereja." dan sebagainya. Bukankah ini sudah lebih dari cukup untuk membuktikan bahwa kita mengasihi Tuhan?
Tidak sedikit orang Kristen terlibat dalam pelayanan bukan karena ia mengasihi Tuhan, tapi karena ada motivasi lain di balik itu: ingin mencari nama (popularitas) diri sendiri, uang, rutinitas atau juga karena terpaksa. Ada tertulis: "Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku." (Matius 15:8). Mengasihi Tuhan tidaklah cukup hanya sekedar diucapkan atau sebatas melalui kegiatan kerohanian yang kita lakukan. Kita harus membuktikan kasih kita kepada Tuhan melalui perbuatan dan tindakan nyata. FirmanNya menegaskan, "Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintah-Ku." (Yohanes 14:15).
Ada beberapa hal yang menunjukkan bahwa seseorang mengasihi Tuhan: 1. Ia bersukacita melakukan firman Tuhan. Kita menaati firman Tuhan bukan karena terpaksa atau dengan sedih hati, tapi penuh sukacita. 2. Ia memiliki hubungan yang karib dengan Tuhan. Jika kita mengasihi seseorang, kita akan menyediakan waktu terbaik untuk dia walau hanya sekedar untuk ngobrol atau jalan-jalan. Tertulis: "...Kami akan datang kepadanya dan diam bersama-sama dengan dia." 3. Ia tetap kuat di tengah pencobaan. Seberat apa pun masalah yang dialami, sikap hatinya tetap positif karena dia tahu persis bahwa "...Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia,..." (Roma 8:28). 4. Ia memiliki kehidupan dalam kasih. Dikatakan, "Barangsiapa mengasihi Allah, ia harus juga mengasihi saudaranya." (1 Yohanes 4:21).
Kasih yang berkenan kepada Tuhan bukan sekedar diucapkan di mulut saja, tetapi dibuktikan melalui sikap hidup kita yaitu ketaatan.
Baca: Yohanes 14:15-24
"Jika seorang mengasihi Aku, ia akan menuruti firman-Ku dan Bapa-Ku akan mengasihi dia dan Kami akan datang kepadanya dan diam bersama-sama dengan dia." Yohanes 14:23
Sebagai orang percaya kita pasti akan tersinggung dan marah jika ada yang mengatakan, "Kamu tidak mengasihi Tuhan!" Dengan berbagai alasan kita akan menegaskan bahwa kita ini sangat mengasihi Tuhan, plus menyertakan 'bukti-bukti' untuk menunjukkan bahwa kita benar-benar mengasihi Tuhan: "Aku sudah melayani Tuhan sebagai guru sekolah Minggu, Worship Leader, singer, tim penginjilan, tim musik di gereja, aktif di persekutuan-persekutuan doa, donatur gereja." dan sebagainya. Bukankah ini sudah lebih dari cukup untuk membuktikan bahwa kita mengasihi Tuhan?
Tidak sedikit orang Kristen terlibat dalam pelayanan bukan karena ia mengasihi Tuhan, tapi karena ada motivasi lain di balik itu: ingin mencari nama (popularitas) diri sendiri, uang, rutinitas atau juga karena terpaksa. Ada tertulis: "Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku." (Matius 15:8). Mengasihi Tuhan tidaklah cukup hanya sekedar diucapkan atau sebatas melalui kegiatan kerohanian yang kita lakukan. Kita harus membuktikan kasih kita kepada Tuhan melalui perbuatan dan tindakan nyata. FirmanNya menegaskan, "Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintah-Ku." (Yohanes 14:15).
Ada beberapa hal yang menunjukkan bahwa seseorang mengasihi Tuhan: 1. Ia bersukacita melakukan firman Tuhan. Kita menaati firman Tuhan bukan karena terpaksa atau dengan sedih hati, tapi penuh sukacita. 2. Ia memiliki hubungan yang karib dengan Tuhan. Jika kita mengasihi seseorang, kita akan menyediakan waktu terbaik untuk dia walau hanya sekedar untuk ngobrol atau jalan-jalan. Tertulis: "...Kami akan datang kepadanya dan diam bersama-sama dengan dia." 3. Ia tetap kuat di tengah pencobaan. Seberat apa pun masalah yang dialami, sikap hatinya tetap positif karena dia tahu persis bahwa "...Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia,..." (Roma 8:28). 4. Ia memiliki kehidupan dalam kasih. Dikatakan, "Barangsiapa mengasihi Allah, ia harus juga mengasihi saudaranya." (1 Yohanes 4:21).
Kasih yang berkenan kepada Tuhan bukan sekedar diucapkan di mulut saja, tetapi dibuktikan melalui sikap hidup kita yaitu ketaatan.
Friday, October 14, 2011
ORANG KRISTEN ADALAH TERANG DUNIA
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 14 Oktober 2011 -
Baca: Matius 5:13-16
"Kamu adalah terang dunia. Kota yang terletak di atas gunung tidak mungkin tersembunyi." Matius 5:14
Di zaman Tuhan Yesus orang-orang memakai pelita sebagai alat penerangan. Ada unsur-unsur dalam sebuah pelita yang membuatnya bisa menyala: harus ada bejana, entah terbuat dari emas, perak atau pun besi, minyak, sumbu dan juga sumber api. Masing-masing unsur itu melengkapi satu sama lain sehingga menghasilkan cahaya atau terang. Jika hanya ada sumbu saja tanpa ada bejana atau minyak maka pelita itu tidak akan bisa menyala, bahkan tidak bisa disebut pelita.
2. Terang Dunia. Itulah keberadaan orang percaya, harus bisa menjadi terang bagi dunia. Dikatakan, "...orang tidak menyalakan pelita lalu meletakkannya di bawah gantang, melainkan di atas kaki dian sehingga menerangi semua orang di dalam rumah itu." (Matius 5:15). Artinya terang dari Tuhan itu tidak boleh ditutupi, disembunyikan, terlebih lagi dipadamkan. Terang dari Tuhan harus dinyatakan kepada seluruh orang, harus diangkat ke tempat yang lebih tinggi sehingga memberi terang kepada dunia sekitar laksana kota yang letaknya di atas bukit, di mana keberadaannya jelas terlihat dan tidak mungkin disembunyikan. Itulah keberaaan kita sebagai orang percaya yang adalah terang di tengah kegelapan dunia ini. Orang lain akan melihat kita dengan jelas. Tuhan Yesus sendiri mengatakan bahwa pelita itu tidak boleh ditaruh di bawah gantang, yang artinya dimatikan, sehingga sama sekali tidak memiliki fungsi sebagai pelita lagi. Atau ditaruh di bawah tempat tidur, artinya disembunyikan, sehingga pelita itu pun tidak akan bisa menerangi seluruh rumah.
Hidup kita tidak boleh menjadi hidup yang ditutupi oleh gantang, melainkan harus transparan, sehingga bisa terlihat oleh orang lain. Alkitab menyatakan, "Memang dahulu kamu adalah kegelapan, tetapi sekarang kamu adalah terang di dalam Tuhan. Sebab itu hiduplah sebagai anak-anak terang, karena terang hanya berbuahkan kebaikan dan keadilan dan kebenaran," (Efesus 5:8-9). Menjadi terang berarti hidup kita menjadi kesaksian bagi orang lain. Kesaksian hidup kita berbicara lebih tajam dari perkataan kita. Kesaksian hidup kita lebih penting daripada kotbah yang kita sampaikan. Bila di dalam kita ada Kristus, tanpa harus digembar-gemborkan, orang lain akan tahu dari perbuatan kita.
Sudahkah kita menjadi pelita yang menyala dan menjadi kesaksian yang hidup bagi orang-orang di sekitar kita?
Baca: Matius 5:13-16
"Kamu adalah terang dunia. Kota yang terletak di atas gunung tidak mungkin tersembunyi." Matius 5:14
Di zaman Tuhan Yesus orang-orang memakai pelita sebagai alat penerangan. Ada unsur-unsur dalam sebuah pelita yang membuatnya bisa menyala: harus ada bejana, entah terbuat dari emas, perak atau pun besi, minyak, sumbu dan juga sumber api. Masing-masing unsur itu melengkapi satu sama lain sehingga menghasilkan cahaya atau terang. Jika hanya ada sumbu saja tanpa ada bejana atau minyak maka pelita itu tidak akan bisa menyala, bahkan tidak bisa disebut pelita.
2. Terang Dunia. Itulah keberadaan orang percaya, harus bisa menjadi terang bagi dunia. Dikatakan, "...orang tidak menyalakan pelita lalu meletakkannya di bawah gantang, melainkan di atas kaki dian sehingga menerangi semua orang di dalam rumah itu." (Matius 5:15). Artinya terang dari Tuhan itu tidak boleh ditutupi, disembunyikan, terlebih lagi dipadamkan. Terang dari Tuhan harus dinyatakan kepada seluruh orang, harus diangkat ke tempat yang lebih tinggi sehingga memberi terang kepada dunia sekitar laksana kota yang letaknya di atas bukit, di mana keberadaannya jelas terlihat dan tidak mungkin disembunyikan. Itulah keberaaan kita sebagai orang percaya yang adalah terang di tengah kegelapan dunia ini. Orang lain akan melihat kita dengan jelas. Tuhan Yesus sendiri mengatakan bahwa pelita itu tidak boleh ditaruh di bawah gantang, yang artinya dimatikan, sehingga sama sekali tidak memiliki fungsi sebagai pelita lagi. Atau ditaruh di bawah tempat tidur, artinya disembunyikan, sehingga pelita itu pun tidak akan bisa menerangi seluruh rumah.
Hidup kita tidak boleh menjadi hidup yang ditutupi oleh gantang, melainkan harus transparan, sehingga bisa terlihat oleh orang lain. Alkitab menyatakan, "Memang dahulu kamu adalah kegelapan, tetapi sekarang kamu adalah terang di dalam Tuhan. Sebab itu hiduplah sebagai anak-anak terang, karena terang hanya berbuahkan kebaikan dan keadilan dan kebenaran," (Efesus 5:8-9). Menjadi terang berarti hidup kita menjadi kesaksian bagi orang lain. Kesaksian hidup kita berbicara lebih tajam dari perkataan kita. Kesaksian hidup kita lebih penting daripada kotbah yang kita sampaikan. Bila di dalam kita ada Kristus, tanpa harus digembar-gemborkan, orang lain akan tahu dari perbuatan kita.
Sudahkah kita menjadi pelita yang menyala dan menjadi kesaksian yang hidup bagi orang-orang di sekitar kita?
Thursday, October 13, 2011
ORANG KRISTEN ADALAH GARAM DUNIA
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 13 Oktober 2011 -
Baca: Matius 5:13-16
"Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang." Matius 5:13
Saat mengajar orang banyak terkadang Yesus menggunkan perumpamaan sederhana dengan menggunakan hal-hal yang mudah dipahami oleh orang-orang Yahudi, yaitu sesuatu yang biasa mereka jumpai dalam kehidupan sehari-hari agar mereka dapat menangkap makna kebenaran firman yang disampaikanNya itu lebih jelas lagi.
Pada suatu kesempatan Yesus menyampaikan dua hal penting yang harus dipahami oleh setiap orang percaya tentang keberadaannya sebagai garam dunia dan terang dunia. 1. Garam Dunia. Pulau Madura di Jawa Timur mendapat julukan sebagai pulau garam. Mengapa? Karena di pulau ini dihasilkan banyak garam. Siapa yang tidak tahu garam? Dapat dipastikan semua orang, besar kecil, tua muda, kaya miskin, di mana pun mereka tinggal, pernah menggunakan dan mengenal rasa garam, sebab garam selalu tersedia di dapur rumah setiap orang. Mungkin di rumah kita tidak ada mobil, tidak ada AC, tidak ada kulkas, tetapi minimal pasti ada garam. Benda ini kelihatannya sangat sepele, berharga murah, tetapi sangat dibutuhkan oleh semua orang.
Apa maksud Tuhan Yesus menyatakan bahwa setiap orang percaya adalah garam dunia? Pertanyaan Yesus ini adalah sebagai penegasan, bukan himbauan atau perintah, melainkan suatu penegasan bahwa keberadaan orang percaya itu bernilai dan mempunyai fungsi penting bagi lingkungan mereka. Namun, "Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang." Kita tahu bahwa garam itu baru ada gunanya kalau ada rasa asinnya sehingga makanan yang hambar menjadi berasa, bisa pula membunuh kuman dan mencegah pembusukan. Namun untuk menjadi garam dunia ada harga yang harus dibayar, diperlukan pengorbanan sebagaimana garam pun mengorbankan dirinya. Garam harus meleleh, melebur dan tidak terlihat lagi wujudnya, yang tinggal hanya rasanya. Sanggupkah kita? Sampai saat ini masih banyak orang Kristen yang belum bisa menjalankan fungsinya sebagai garam dunia karena memiliki hidup yang tak jauh berbeda dari orang-orang di luar Tuhan.
Jika kita tidak bisa menjadi garam dunia atau berkat bagi orang lain, berarti kita telah gagal menjalankan hidup kekristenan kita.
Baca: Matius 5:13-16
"Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang." Matius 5:13
Saat mengajar orang banyak terkadang Yesus menggunkan perumpamaan sederhana dengan menggunakan hal-hal yang mudah dipahami oleh orang-orang Yahudi, yaitu sesuatu yang biasa mereka jumpai dalam kehidupan sehari-hari agar mereka dapat menangkap makna kebenaran firman yang disampaikanNya itu lebih jelas lagi.
Pada suatu kesempatan Yesus menyampaikan dua hal penting yang harus dipahami oleh setiap orang percaya tentang keberadaannya sebagai garam dunia dan terang dunia. 1. Garam Dunia. Pulau Madura di Jawa Timur mendapat julukan sebagai pulau garam. Mengapa? Karena di pulau ini dihasilkan banyak garam. Siapa yang tidak tahu garam? Dapat dipastikan semua orang, besar kecil, tua muda, kaya miskin, di mana pun mereka tinggal, pernah menggunakan dan mengenal rasa garam, sebab garam selalu tersedia di dapur rumah setiap orang. Mungkin di rumah kita tidak ada mobil, tidak ada AC, tidak ada kulkas, tetapi minimal pasti ada garam. Benda ini kelihatannya sangat sepele, berharga murah, tetapi sangat dibutuhkan oleh semua orang.
Apa maksud Tuhan Yesus menyatakan bahwa setiap orang percaya adalah garam dunia? Pertanyaan Yesus ini adalah sebagai penegasan, bukan himbauan atau perintah, melainkan suatu penegasan bahwa keberadaan orang percaya itu bernilai dan mempunyai fungsi penting bagi lingkungan mereka. Namun, "Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang." Kita tahu bahwa garam itu baru ada gunanya kalau ada rasa asinnya sehingga makanan yang hambar menjadi berasa, bisa pula membunuh kuman dan mencegah pembusukan. Namun untuk menjadi garam dunia ada harga yang harus dibayar, diperlukan pengorbanan sebagaimana garam pun mengorbankan dirinya. Garam harus meleleh, melebur dan tidak terlihat lagi wujudnya, yang tinggal hanya rasanya. Sanggupkah kita? Sampai saat ini masih banyak orang Kristen yang belum bisa menjalankan fungsinya sebagai garam dunia karena memiliki hidup yang tak jauh berbeda dari orang-orang di luar Tuhan.
Jika kita tidak bisa menjadi garam dunia atau berkat bagi orang lain, berarti kita telah gagal menjalankan hidup kekristenan kita.
Wednesday, October 12, 2011
UANG DAN KEKAYAAN: Tak Dapat Memuaskan!
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 12 Oktober 2011 -
Baca: Pengkotbah 5:7-19
"Siapa mencintai uang tidak akan puas dengan uang, dan siapa mencintai kekayaan tidak akan puas dengan penghasilannya." Pengkotbah 5:9a
Banyak orang mengukur dan menilai keberhasilan dan kebahagiaan dengan uang atau kekayaan yang dimiliki. Bisa dimaklumi, karena dengan memiliki uang seseorang bisa mendapatkan segalanya: tidur di hotel berbintang, berkeliling dunia, beli rumah di kawasan elite, beli mobil mewah, mendapatkan isteri cantik dan sebagainya. Apakah dengan uang dan kekayaan orang benar-benar berbahagia dan puas? Ayat nas jelas menyatakan bahwa "Siapa mencintai uang tidak akan puas dengan uang, dan siapa mencintai kekayaan tiadak akan puas dengan penghasilannya."
Orang yang memiliki banyak uang sampai kapan pun tidak akan pernah puas dengan uang yang dimilikinya. Begitu pula orang kaya, tidak pernah puas akan kekayaannya. Seringkali kita menganggap bahwa ada hubungan erat antara kepuasan dengan jumlah uang atau kekayaan yang dimiliki oleh seseorang. Kita mengira jika orang mempunyai uang dalam jumlah besar ia akan merasa puas dan berbahagia. Ketika seseorang mendapatkan gaji 1 juta rupiah/bulan, ia berpikir bahwa hidupnya akan lebih dari cukup dan berbahagia jika gajinya 3 juta rupiah/bulan. Anggapan ini kelihatannya benar, tapi ketika ia mendapatkan gaji 3 juta rupiah/bulan ia merasakan bahwa masih banyak hal yang tidak bisa dipenuhi dengan gajinya tersebut. Kita selalu merasa masih kurang dan tidak pernah merasa cukup.
Bolehkah kita memiliki banyak uang dan menjadi kaya? Tentu saja setiap orang percaya boleh memiliki banyak uang dan menikmati kekayaan yang diperolehnya, hanya saja dengan cara yang bekenan kepada Tuhan. Dan jangan sampai kita menjadi tamak akan uang! Uang dan kekayaan itu sendiri tidak membahayakan, tetapi cinta uang dan kekayaan itulah yang berbahaya, "Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka." (1 Timotius 6:10b). Alkitab tidak mengatakan bahwa uang adalah akar segala kejahatan, tetapi cinta uang itu adalah akar segala kejahatan. Uang adalah baik, tidak jahat, tetapi manusia yang terperangkap ke dalam ketamakan, kikir, iri hati dan sebagainya inilah yang menyimpang dari firman Tuhan, karena saat ini banyak orang ingin cepat kaya dengan cara yang salah.
Sebanyak apa pun harta kita, tidak sepeser pun kita bawa saat kita meninggalkan dunia ini!
Baca: Pengkotbah 5:7-19
"Siapa mencintai uang tidak akan puas dengan uang, dan siapa mencintai kekayaan tidak akan puas dengan penghasilannya." Pengkotbah 5:9a
Banyak orang mengukur dan menilai keberhasilan dan kebahagiaan dengan uang atau kekayaan yang dimiliki. Bisa dimaklumi, karena dengan memiliki uang seseorang bisa mendapatkan segalanya: tidur di hotel berbintang, berkeliling dunia, beli rumah di kawasan elite, beli mobil mewah, mendapatkan isteri cantik dan sebagainya. Apakah dengan uang dan kekayaan orang benar-benar berbahagia dan puas? Ayat nas jelas menyatakan bahwa "Siapa mencintai uang tidak akan puas dengan uang, dan siapa mencintai kekayaan tiadak akan puas dengan penghasilannya."
Orang yang memiliki banyak uang sampai kapan pun tidak akan pernah puas dengan uang yang dimilikinya. Begitu pula orang kaya, tidak pernah puas akan kekayaannya. Seringkali kita menganggap bahwa ada hubungan erat antara kepuasan dengan jumlah uang atau kekayaan yang dimiliki oleh seseorang. Kita mengira jika orang mempunyai uang dalam jumlah besar ia akan merasa puas dan berbahagia. Ketika seseorang mendapatkan gaji 1 juta rupiah/bulan, ia berpikir bahwa hidupnya akan lebih dari cukup dan berbahagia jika gajinya 3 juta rupiah/bulan. Anggapan ini kelihatannya benar, tapi ketika ia mendapatkan gaji 3 juta rupiah/bulan ia merasakan bahwa masih banyak hal yang tidak bisa dipenuhi dengan gajinya tersebut. Kita selalu merasa masih kurang dan tidak pernah merasa cukup.
Bolehkah kita memiliki banyak uang dan menjadi kaya? Tentu saja setiap orang percaya boleh memiliki banyak uang dan menikmati kekayaan yang diperolehnya, hanya saja dengan cara yang bekenan kepada Tuhan. Dan jangan sampai kita menjadi tamak akan uang! Uang dan kekayaan itu sendiri tidak membahayakan, tetapi cinta uang dan kekayaan itulah yang berbahaya, "Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka." (1 Timotius 6:10b). Alkitab tidak mengatakan bahwa uang adalah akar segala kejahatan, tetapi cinta uang itu adalah akar segala kejahatan. Uang adalah baik, tidak jahat, tetapi manusia yang terperangkap ke dalam ketamakan, kikir, iri hati dan sebagainya inilah yang menyimpang dari firman Tuhan, karena saat ini banyak orang ingin cepat kaya dengan cara yang salah.
Sebanyak apa pun harta kita, tidak sepeser pun kita bawa saat kita meninggalkan dunia ini!
Tuesday, October 11, 2011
DUDUK DIAM DI BAWAH KAKI YESUS!
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 11 Oktober 2011 -
Baca: Lukas 10:38-42
"Maria ini duduk dekat kaki Tuhan dan terus mendengarkan perkataan-Nya." Lukas 10:39b
Adalah lebih mudah bagi seseorang untuk tampil di muka, berbicara, tampak sibuk dan dikenal oleh banyak orang, karena hampir semua orang ingin pekerjaannya dipuji dan dihargai oleh orang lain. Tetapi tidak mudah bagi kita untuk duduk di tempat yang 'rendah' dan mau menjadi seorang pendengar yang baik.
Inilah yang dilakukan Maria, memilih duduk diam di bawah kaki Tuhan untuk mendengarkan perkataanNya. Maria menyadari bahwa "...iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus." (Roma 10:17). Ini menunjukkan bahwa Maria telah terbiasa merendahkan diri mencari Tuhan dengan sepenuh hati dalam doa, sehingga mudah baginya duduk tenang berjam-jam mendengarkan apa yang Yesus ajarkan. Berbeda dengan saudaranya, Marta, yang lebih memilih menyibukkan diri sampai-sampai Yesus menegurnya, "Marta, Marta, engkau kuatir dan menyusahkan diri dengan banyak perkara," (ayat 41). Orang yang senang duduk diam di bawah kaki Tuhan dan mencari wajahNya adalah orang yang tekun berdoa, bukan hanya berdoa untuk kepentingan diri sendiri, tapi juga tipe orang yang terbeban.
Sesibuk apakah kita sehingga tidak memiliki waktu untuk duduk diam di bawah kaki Tuhan? Jangankan berdoa syafaat, berdoa untuk diri sendiri saja mungkin kita jarang melakukannya. Berdoa adalah membangun hubungan dengan Tuhan, sedangkan bersyafaat artinya menghubungkan orang lain dengan Tuhan, atau berdoa untuk kepentingan orang lain. Mengapa kita harus mendoakan orang lain? Karena kita ada sebagaimana saat ini juga tidak terlepas dari doa syafaat yang dipanjatkan saudara seiman lainnya. Yakobus 5:16 mengatakan, "Karena itu hendaklah kamu saling mengaku dosamu dan saling mendoakan, supaya kamu sembuh. Doa orang yang benar, bila dengan yakin didoakan, sangat besar kuasanya." Jadi Tuhan hanya mendengar doa yang dinaikkan oleh orang benar. Siapa orang benar itu? Orang yang hidup dalam ketaatan (melakukan firmanNya). Ada pun kata dengan yakin berarti percaya dengan sungguh dan tidak ragu. Alkitab menyatakan bahwa Tuhan "...melimpahkan kekuatan-Nya kepada mereka yang bersungguh hati terhadap Dia." (2 Tawarikh 16:9a).
Ketekunan Maria dalam doa menghasilkan dampak yang luar biasa: Tuhan mendengar doanya sehingga Lazarus yang sudah mati selama 4 hari dihidupkan kembali.
Baca: Lukas 10:38-42
"Maria ini duduk dekat kaki Tuhan dan terus mendengarkan perkataan-Nya." Lukas 10:39b
Adalah lebih mudah bagi seseorang untuk tampil di muka, berbicara, tampak sibuk dan dikenal oleh banyak orang, karena hampir semua orang ingin pekerjaannya dipuji dan dihargai oleh orang lain. Tetapi tidak mudah bagi kita untuk duduk di tempat yang 'rendah' dan mau menjadi seorang pendengar yang baik.
Inilah yang dilakukan Maria, memilih duduk diam di bawah kaki Tuhan untuk mendengarkan perkataanNya. Maria menyadari bahwa "...iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus." (Roma 10:17). Ini menunjukkan bahwa Maria telah terbiasa merendahkan diri mencari Tuhan dengan sepenuh hati dalam doa, sehingga mudah baginya duduk tenang berjam-jam mendengarkan apa yang Yesus ajarkan. Berbeda dengan saudaranya, Marta, yang lebih memilih menyibukkan diri sampai-sampai Yesus menegurnya, "Marta, Marta, engkau kuatir dan menyusahkan diri dengan banyak perkara," (ayat 41). Orang yang senang duduk diam di bawah kaki Tuhan dan mencari wajahNya adalah orang yang tekun berdoa, bukan hanya berdoa untuk kepentingan diri sendiri, tapi juga tipe orang yang terbeban.
Sesibuk apakah kita sehingga tidak memiliki waktu untuk duduk diam di bawah kaki Tuhan? Jangankan berdoa syafaat, berdoa untuk diri sendiri saja mungkin kita jarang melakukannya. Berdoa adalah membangun hubungan dengan Tuhan, sedangkan bersyafaat artinya menghubungkan orang lain dengan Tuhan, atau berdoa untuk kepentingan orang lain. Mengapa kita harus mendoakan orang lain? Karena kita ada sebagaimana saat ini juga tidak terlepas dari doa syafaat yang dipanjatkan saudara seiman lainnya. Yakobus 5:16 mengatakan, "Karena itu hendaklah kamu saling mengaku dosamu dan saling mendoakan, supaya kamu sembuh. Doa orang yang benar, bila dengan yakin didoakan, sangat besar kuasanya." Jadi Tuhan hanya mendengar doa yang dinaikkan oleh orang benar. Siapa orang benar itu? Orang yang hidup dalam ketaatan (melakukan firmanNya). Ada pun kata dengan yakin berarti percaya dengan sungguh dan tidak ragu. Alkitab menyatakan bahwa Tuhan "...melimpahkan kekuatan-Nya kepada mereka yang bersungguh hati terhadap Dia." (2 Tawarikh 16:9a).
Ketekunan Maria dalam doa menghasilkan dampak yang luar biasa: Tuhan mendengar doanya sehingga Lazarus yang sudah mati selama 4 hari dihidupkan kembali.
Monday, October 10, 2011
JANGAN TAKUT: Tuhan Sanggup Membuka Jalan!
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 10 Oktober 2011 -
Baca: Yesaya 43:8-21
"Lihat, Aku hendak membuat sesuatu yang baru, yang sekarang sudah tumbuh, belumkah kamu mengetahuinya? Ya, Aku hendak membuat jalan di padang gurun dan sungai-sungai di padang belantara." Yesaya 43:19
Pernahkah Saudara mengalami jalan buntu dalam permasalahan? Apa yang dilakukan seseorang ketika sedang mengahdapi jalan buntu? Pada umumnya mereka menjadi putus asa dan cenderung mengandalkan kekuatan lain, baik itu kekuatan manusia atau bahkan lari kepada kuasa gelap, yang penting masalahnya segera mendapatkan jalan keluar.
Bangsa Israel juga pernah mengalami jalan buntu. Tatkala keluar dari Mesir untuk menuju tanah Perjanjian, mereka dikejar-kejar pasukan Firaun. Sementara di depan mereka terbentang Laut Teberau, dari kanan kiri mereka terhimpit gugusan gunung-gunung. Secara logika, bangsa Israel benar-benar mengalami jalan buntu. Bangsa Israel yang adalah bangsa pilihan Tuhan juga diijinkan mengalami masalah, oleh karena itu jgangan heran bila kita pun menghadapi masalah meski dalam bentuk berbeda. Namun Tuhan tidak pernah mengajarkan kita untuk lari dari masalah itu, melainkan berani menghadapinya karena Ia menyertai kita. "Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku." (Filipi 4:13). Saat menghadapi jalan buntu, bangsa Israel menjadi sangat takut, sepertinya mustahil lepas dari kejaran tentara Firaun. Saat terdesak inilah mereka berseru-seru kepada Tuhan dan Ia menyelamatkan mereka dengan caraNya yang ajaib. Sungguh benar firmanNya, "Berserulah kepada-Ku pada waktu kesesakan, Aku akan meluputkan engkau, dan engkau akan memuliakan Aku." (Mazmur 50:15). Milikilah penyerahan diri penuh kepada Tuhan dan andalkan Dia dalam segala hal. Jangan menunggu sampai kita berada dalam masalah. Yakinlah bahwa Tuhan pasti sanggup membuka jalan baru untuk setiap permasalahan yang kita alami. Reaksi pertama bangsa Israel ketika mengalami jalan buntu adalah ingin kembali ke Mesir. Mereka berpikir lebih menjadi budak di Mesir daripada harus mati sia-sia di padang gurun.
Adakalanya kita harus mengalami persoalan. Bukan berarti Tuhan tidak mengasihi kita, justru Dia ingin membentuk dan melatih iman kita supaya makin berakar kuat di dalamNya. "...Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak." (Ibrani 12:6). Masalah justru menjadi alat bagi Tuhan menyatakan kuasaNya atas kita.
Selalu ada jalan buat persoalan kita!
Baca: Yesaya 43:8-21
"Lihat, Aku hendak membuat sesuatu yang baru, yang sekarang sudah tumbuh, belumkah kamu mengetahuinya? Ya, Aku hendak membuat jalan di padang gurun dan sungai-sungai di padang belantara." Yesaya 43:19
Pernahkah Saudara mengalami jalan buntu dalam permasalahan? Apa yang dilakukan seseorang ketika sedang mengahdapi jalan buntu? Pada umumnya mereka menjadi putus asa dan cenderung mengandalkan kekuatan lain, baik itu kekuatan manusia atau bahkan lari kepada kuasa gelap, yang penting masalahnya segera mendapatkan jalan keluar.
Bangsa Israel juga pernah mengalami jalan buntu. Tatkala keluar dari Mesir untuk menuju tanah Perjanjian, mereka dikejar-kejar pasukan Firaun. Sementara di depan mereka terbentang Laut Teberau, dari kanan kiri mereka terhimpit gugusan gunung-gunung. Secara logika, bangsa Israel benar-benar mengalami jalan buntu. Bangsa Israel yang adalah bangsa pilihan Tuhan juga diijinkan mengalami masalah, oleh karena itu jgangan heran bila kita pun menghadapi masalah meski dalam bentuk berbeda. Namun Tuhan tidak pernah mengajarkan kita untuk lari dari masalah itu, melainkan berani menghadapinya karena Ia menyertai kita. "Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku." (Filipi 4:13). Saat menghadapi jalan buntu, bangsa Israel menjadi sangat takut, sepertinya mustahil lepas dari kejaran tentara Firaun. Saat terdesak inilah mereka berseru-seru kepada Tuhan dan Ia menyelamatkan mereka dengan caraNya yang ajaib. Sungguh benar firmanNya, "Berserulah kepada-Ku pada waktu kesesakan, Aku akan meluputkan engkau, dan engkau akan memuliakan Aku." (Mazmur 50:15). Milikilah penyerahan diri penuh kepada Tuhan dan andalkan Dia dalam segala hal. Jangan menunggu sampai kita berada dalam masalah. Yakinlah bahwa Tuhan pasti sanggup membuka jalan baru untuk setiap permasalahan yang kita alami. Reaksi pertama bangsa Israel ketika mengalami jalan buntu adalah ingin kembali ke Mesir. Mereka berpikir lebih menjadi budak di Mesir daripada harus mati sia-sia di padang gurun.
Adakalanya kita harus mengalami persoalan. Bukan berarti Tuhan tidak mengasihi kita, justru Dia ingin membentuk dan melatih iman kita supaya makin berakar kuat di dalamNya. "...Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak." (Ibrani 12:6). Masalah justru menjadi alat bagi Tuhan menyatakan kuasaNya atas kita.
Selalu ada jalan buat persoalan kita!
Sunday, October 9, 2011
JEMUKAH KITA MENANTIKAN JANJI TUHAN
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 9 Oktober 2011 -
Baca: Mazmur 27
"Nantikanlah Tuhan! Kuatkanlah dan teguhkanlah hatimu! Ya, nantikanlah Tuhan!" Mazmur 27:14
Di sepanjang perjalanan hidup ini kita tak pernah lepas dari kata menanti. Sepasang suami isteri sedang berdebar-debar menanti kelahiran bayinya; seorang gadis menantikan kedatangan suami yang lama merantau ke luar negeri dan tak pulang-pulang. Harus kita akui bahwa menanti adalah sesuatu yang tidak menyenangkan dan sangat membosankan. Juga dalam hal menantikan janji Tuhan digenapi, banyak orang Kristen yang sudah merasa jemu dan bosan sehingga mereka tidak lagi berharap kepada Tuhan, bukannya menguatkan iman dan bersabar. Alkitab dengan tegas menyatakan bahwa janji Tuhan itu ya dan amin. "apabila berlambat-lambat, nantikanlah itu, sebab itu sungguh-sungguh akan datang dan tidak akan bertangguh." (Habakuk 2:3b). Jadi kita tidak boleh jemu, sebaliknya kita harus tetap sabar dan tekun. Melalui kesabaran dan ketekunan seseorang akan menerima apa yang telah dijanjikanNya sebab segala sesuatu yang dijanjikan Tuhan yang telah dijanjikanNya sebab segala sesuatu yang dijanjikan Tuhan itu tidak terlambat; Tuhan memberkati tepat pada waktuNya.
Mari belajar dari kehidupan Kaleb. Ketika menerima janji Tuhan melalui Musa, Kaleb berusia 40 tahun dan akhirnya janji Tuhan itu digenapi ketika Kaleb berusia 85 tahun. Kita tahu bahwa 45 tahun bukanlah waktu yang pendek melainkan sangat panjang. Namun dalam kurun waktu yang cukup lama ini Kaleb tidak pernah putus asa, apalagi sampai undur dari Tuhan, tetap sungguh-sungguh dan sepenuh hati melayani Tuhan. Kaleb begitu sabar dan tekun sampai janji Tuhan tergenapi dalam hidupnya.
Sudah berapa lama Saudara berdoa meminta sesuatu dari Tuhan? Seringkali ketika belum ada tanda jawaban dari Tuhan kita sudah tidak lagi bertekun; ketika permohonan kita belum dijawab Tuhan kita undur dan kecewa, lalu kita mulai mengandalkan kekuatan sendiri untuk mencapai apa yang kita inginkan. Dikatakan, "Sesungguhnya, orang yang membusungkan dada, tidak lurus hatinya, tetapi orang yang benar itu akan hidup oleh percayanya." (Habakuk 2:4). Maunya segala sesuatu kita dapatkan secara cepat atau instan tanpa mau melewati proses yang panjang. Di zaman sekarang ini jarang sekali orang mau sabar dan tekun. Tetapi Tuhan menghendaki agar kita senantiasa sabar dan tekun dalam menantikan janjiNya.
Waktu Tuhan adalah yang terbaik, karena itu tetaplah sabar dan tekun menantikan Dia!
Baca: Mazmur 27
"Nantikanlah Tuhan! Kuatkanlah dan teguhkanlah hatimu! Ya, nantikanlah Tuhan!" Mazmur 27:14
Di sepanjang perjalanan hidup ini kita tak pernah lepas dari kata menanti. Sepasang suami isteri sedang berdebar-debar menanti kelahiran bayinya; seorang gadis menantikan kedatangan suami yang lama merantau ke luar negeri dan tak pulang-pulang. Harus kita akui bahwa menanti adalah sesuatu yang tidak menyenangkan dan sangat membosankan. Juga dalam hal menantikan janji Tuhan digenapi, banyak orang Kristen yang sudah merasa jemu dan bosan sehingga mereka tidak lagi berharap kepada Tuhan, bukannya menguatkan iman dan bersabar. Alkitab dengan tegas menyatakan bahwa janji Tuhan itu ya dan amin. "apabila berlambat-lambat, nantikanlah itu, sebab itu sungguh-sungguh akan datang dan tidak akan bertangguh." (Habakuk 2:3b). Jadi kita tidak boleh jemu, sebaliknya kita harus tetap sabar dan tekun. Melalui kesabaran dan ketekunan seseorang akan menerima apa yang telah dijanjikanNya sebab segala sesuatu yang dijanjikan Tuhan yang telah dijanjikanNya sebab segala sesuatu yang dijanjikan Tuhan itu tidak terlambat; Tuhan memberkati tepat pada waktuNya.
Mari belajar dari kehidupan Kaleb. Ketika menerima janji Tuhan melalui Musa, Kaleb berusia 40 tahun dan akhirnya janji Tuhan itu digenapi ketika Kaleb berusia 85 tahun. Kita tahu bahwa 45 tahun bukanlah waktu yang pendek melainkan sangat panjang. Namun dalam kurun waktu yang cukup lama ini Kaleb tidak pernah putus asa, apalagi sampai undur dari Tuhan, tetap sungguh-sungguh dan sepenuh hati melayani Tuhan. Kaleb begitu sabar dan tekun sampai janji Tuhan tergenapi dalam hidupnya.
Sudah berapa lama Saudara berdoa meminta sesuatu dari Tuhan? Seringkali ketika belum ada tanda jawaban dari Tuhan kita sudah tidak lagi bertekun; ketika permohonan kita belum dijawab Tuhan kita undur dan kecewa, lalu kita mulai mengandalkan kekuatan sendiri untuk mencapai apa yang kita inginkan. Dikatakan, "Sesungguhnya, orang yang membusungkan dada, tidak lurus hatinya, tetapi orang yang benar itu akan hidup oleh percayanya." (Habakuk 2:4). Maunya segala sesuatu kita dapatkan secara cepat atau instan tanpa mau melewati proses yang panjang. Di zaman sekarang ini jarang sekali orang mau sabar dan tekun. Tetapi Tuhan menghendaki agar kita senantiasa sabar dan tekun dalam menantikan janjiNya.
Waktu Tuhan adalah yang terbaik, karena itu tetaplah sabar dan tekun menantikan Dia!
Saturday, October 8, 2011
JANGAN SEDIH HATI, BERGEMBIRALAH!
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 8 Oktober 2011 -
Baca: Amsal 17
"Hati yang gembira adalah obat yang manjur, tetapi semangat yang patah mengeringkan tulang." Amsal 17:22
Dalam versi The Amplified Bible ayat nas di atas berbunyi demikian: "Hati yang gembira adalah obat yang manjur dan pikiran yang ceria memberikan kesembuhan." Ternyata hati yang gembira dan pikiran yang ceria (positif) bisa menjadi obat yang mujarab dan menyembuhkan. Karena itulah rasul Paulus juga menasihati jemaat di Filipi, "Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah!" (Filipi 4:4).
Mengapa kita harus bersukacita senantiasa? Karena dengan bersukacita hati kita akan tetap terjaga dalam kondisi yang baik sehingga pikiran dan perkataan kita pun akan positif, "karena yang diucapkan mulut meluap dari hati." (Matius 12:34b). Kapan Saudara memiliki hati yang gembira? Ketika hutang-hutangku sudah terbayar lunas, hati jadi gembira; hatiku bergembira kala melihat anak-anak tumbuh dengan sehat dan pintar; hatiku bergembira karena aku lulus dengan nilai memuaskan dan diterima di sekolah favorit. Bergembira saat kita mengalami dan merasakan hal-hal yang menyenangkan, itu wajar. Bagaimana jika kita sedang menghadapi masalah, terbaring lemah karena sakit, dapatkah hati kita bergembira?
Banyak cara dilakukan orang untuk menjaga hatinya agar bergembira, salah satunya adalah dengan mendengarkan musik. Ketika kita mendengarkan musik kita turut bersenandung dan hati pun terhibur. Jika kita memiliki hati yang gembira tugas yag berat pun terasa ringan untuk dikerjakan, sepertinya ada energi baru yang mengalir. Sebaliknya jika hati kita suntuk, sedih dan stres, seringan apa pun pekerjaan, terasa berat untuk dikerjakan. Kita menjadi lemah dan tak berdaya. Mana yang Saudara pilih: terus menggerutu dengan muka masam selama menghadapi masalah, atau menghadapi masalah dengan hati tetap gembira? Jika hati kita semakin gembira kita akan menjadi semakin sehat. Bahkan di dalam Amsal 15:13 dikatakan: "Hati yang gembira membuat muka berseri-seri, tetapi kepedihan hati mematahkan semangat." Ternyata selain menjadi obat yang manjur, hati yang gembira membuat muka kita menjadi berseri-seri, dan orang lain pun akan senang melihatnya.
Mari belajar tetap bergembira di segala keadaan sehingga orang di sekeliling kita juga terkena dampak positifnya. Belajarlah menikmati apa pun yang sedang kita kerjakan dan alami.
Yakinlah bahwa kita tidak sendirian, ada Yesus yang selalu peduli.
Baca: Amsal 17
"Hati yang gembira adalah obat yang manjur, tetapi semangat yang patah mengeringkan tulang." Amsal 17:22
Dalam versi The Amplified Bible ayat nas di atas berbunyi demikian: "Hati yang gembira adalah obat yang manjur dan pikiran yang ceria memberikan kesembuhan." Ternyata hati yang gembira dan pikiran yang ceria (positif) bisa menjadi obat yang mujarab dan menyembuhkan. Karena itulah rasul Paulus juga menasihati jemaat di Filipi, "Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah!" (Filipi 4:4).
Mengapa kita harus bersukacita senantiasa? Karena dengan bersukacita hati kita akan tetap terjaga dalam kondisi yang baik sehingga pikiran dan perkataan kita pun akan positif, "karena yang diucapkan mulut meluap dari hati." (Matius 12:34b). Kapan Saudara memiliki hati yang gembira? Ketika hutang-hutangku sudah terbayar lunas, hati jadi gembira; hatiku bergembira kala melihat anak-anak tumbuh dengan sehat dan pintar; hatiku bergembira karena aku lulus dengan nilai memuaskan dan diterima di sekolah favorit. Bergembira saat kita mengalami dan merasakan hal-hal yang menyenangkan, itu wajar. Bagaimana jika kita sedang menghadapi masalah, terbaring lemah karena sakit, dapatkah hati kita bergembira?
Banyak cara dilakukan orang untuk menjaga hatinya agar bergembira, salah satunya adalah dengan mendengarkan musik. Ketika kita mendengarkan musik kita turut bersenandung dan hati pun terhibur. Jika kita memiliki hati yang gembira tugas yag berat pun terasa ringan untuk dikerjakan, sepertinya ada energi baru yang mengalir. Sebaliknya jika hati kita suntuk, sedih dan stres, seringan apa pun pekerjaan, terasa berat untuk dikerjakan. Kita menjadi lemah dan tak berdaya. Mana yang Saudara pilih: terus menggerutu dengan muka masam selama menghadapi masalah, atau menghadapi masalah dengan hati tetap gembira? Jika hati kita semakin gembira kita akan menjadi semakin sehat. Bahkan di dalam Amsal 15:13 dikatakan: "Hati yang gembira membuat muka berseri-seri, tetapi kepedihan hati mematahkan semangat." Ternyata selain menjadi obat yang manjur, hati yang gembira membuat muka kita menjadi berseri-seri, dan orang lain pun akan senang melihatnya.
Mari belajar tetap bergembira di segala keadaan sehingga orang di sekeliling kita juga terkena dampak positifnya. Belajarlah menikmati apa pun yang sedang kita kerjakan dan alami.
Yakinlah bahwa kita tidak sendirian, ada Yesus yang selalu peduli.
Friday, October 7, 2011
MEMILIKI HATI HAMBA: Mau Merendahkan Hati dan Melayani
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 7 Oktober 2011 -
Baca: Markus 9:33-37
"Kata-Nya kepada mereka (para murid): 'Jika seseorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya.'" Markus 9:35
Ada suatu tradisi atau adat bangsa Yahudi yang dapat kita jadikan pelajaran yang baik dan berharga, di mana biasanya seorang hamba dalam keluarga harus membasuh kaki para tamu tuannya.
Membasuh kaki adalah tugas dan pekerjaan seorang hamba. Pantaskah jika tugas ini dilakukan oleh seorang raja atau tuan? Seorang raja biasanya hanya duduk di atas singgasana, memerintah rakyatnya dan dilayani para hamba. Adalah mustahil raja mau turun melakukan pekerjaan yang layak dilakukan oleh seorang hamba (budak), apalagi sampai membasuh kaki seseorang. Tetapi inilah yang dilakukan oleh Yesus, Raja di atas segala raja, Putera Tunggal Allah, yang "...telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia." (Filipi 2:7). Yesus rela turun ke bumi mengambil rupa seorang hamba dengan membasuh kaki murid-muridNya. "Lalu bangunlah Yesus dan menanggalkan jubah-Nya. Ia mengambil sehelai kain lenan dan mengikatkannya pada pinggang-Nya, kemudian Ia menuangkan air ke dalam sebuah basi, dan mulai membasuh kaki murid-muridNya lalu menyekanya dengan kain yang terikat pada pinggang-Nya." (Yohanes 13:4-5). Dalam hal ini Yesus memberikan satu teladan hidup supaya setiap orang percaya memiliki kerendahan hati dan mau melayani satu sama lain. Apa yang dilakukan Yesus ini menjadi suatu peringatan bagi kita agar mau melakukan pekerjaan yang diangap paling hina oleh orang lain, tetapi di hadapan Tuhan pekerjaan itu sangat berarti. Tuhan Yesus berkata, "Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu;" (Matius 20:26b-27).
Jadi kita ini adalah hamba yang bertugas melayani, bukan dilayani. Saat ini banyak orang yang sudah dipakai Tuhan sebagai alatNya dan berhasil di dalam pelayanannya justru tidak lagi memiliki 'hati hamba', sebaliknya justru menjadi sombong dan semakin tinggi hati. Mereka lebih mempertahankan harga dirinya dan menganggap diri lebih dari orang lain. Inikah yang diajarkan Yesus? Ia mengajar kita untuk selalu ingat siapa sebenarnya diri kita di hadapanNya.
Jika sampai saat ini kita dipercaya melayani Tuhan, bahkan dengan karunia atau talenta yang luar biasa, itu semata-mata karena anugerahNya, bukan karena kuat dan gagah kita!
Baca: Markus 9:33-37
"Kata-Nya kepada mereka (para murid): 'Jika seseorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya.'" Markus 9:35
Ada suatu tradisi atau adat bangsa Yahudi yang dapat kita jadikan pelajaran yang baik dan berharga, di mana biasanya seorang hamba dalam keluarga harus membasuh kaki para tamu tuannya.
Membasuh kaki adalah tugas dan pekerjaan seorang hamba. Pantaskah jika tugas ini dilakukan oleh seorang raja atau tuan? Seorang raja biasanya hanya duduk di atas singgasana, memerintah rakyatnya dan dilayani para hamba. Adalah mustahil raja mau turun melakukan pekerjaan yang layak dilakukan oleh seorang hamba (budak), apalagi sampai membasuh kaki seseorang. Tetapi inilah yang dilakukan oleh Yesus, Raja di atas segala raja, Putera Tunggal Allah, yang "...telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia." (Filipi 2:7). Yesus rela turun ke bumi mengambil rupa seorang hamba dengan membasuh kaki murid-muridNya. "Lalu bangunlah Yesus dan menanggalkan jubah-Nya. Ia mengambil sehelai kain lenan dan mengikatkannya pada pinggang-Nya, kemudian Ia menuangkan air ke dalam sebuah basi, dan mulai membasuh kaki murid-muridNya lalu menyekanya dengan kain yang terikat pada pinggang-Nya." (Yohanes 13:4-5). Dalam hal ini Yesus memberikan satu teladan hidup supaya setiap orang percaya memiliki kerendahan hati dan mau melayani satu sama lain. Apa yang dilakukan Yesus ini menjadi suatu peringatan bagi kita agar mau melakukan pekerjaan yang diangap paling hina oleh orang lain, tetapi di hadapan Tuhan pekerjaan itu sangat berarti. Tuhan Yesus berkata, "Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu;" (Matius 20:26b-27).
Jadi kita ini adalah hamba yang bertugas melayani, bukan dilayani. Saat ini banyak orang yang sudah dipakai Tuhan sebagai alatNya dan berhasil di dalam pelayanannya justru tidak lagi memiliki 'hati hamba', sebaliknya justru menjadi sombong dan semakin tinggi hati. Mereka lebih mempertahankan harga dirinya dan menganggap diri lebih dari orang lain. Inikah yang diajarkan Yesus? Ia mengajar kita untuk selalu ingat siapa sebenarnya diri kita di hadapanNya.
Jika sampai saat ini kita dipercaya melayani Tuhan, bahkan dengan karunia atau talenta yang luar biasa, itu semata-mata karena anugerahNya, bukan karena kuat dan gagah kita!
Thursday, October 6, 2011
MEMBANGUN IMAN DENGAN ORANG TERDEKAT
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 6 Oktober 2011 -
Baca: Mazmur 119:57-64
"Aku (Daud - Red.) bersekutu dengan semua orang yang takut kepada-Mu, dan dengan orang-orang yang berpegang pada titah-titahMu." Mazmur 119:63
Alkitab mencatat bahwa Abraham adalah orang yang sangat kaya dan diberkati Tuhan. Janji Tuhan yang mengatakan, "Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar, dan memberkati engkau serta membuat namamu masyur; dan engkau akan menjadi berkat." (Kejadian 12:2) benar-benar tergenapi dalam kehidupan Abraham. Saat Abraham meninggalkan negerinya, "...Lot pun ikut bersama-sama dengan dia;" (Kejadian 12:4).
Keberadaan Abraham benar-benar membawa dampak luar biasa bagi kehidupan Lot. Abraham menjadi berkat bagi Lot. Karena mengikuti Abrahamlah Lot turut diberkati dan memiliki banyak harta; ini merupakan anugerah Tuhan oleh karena Abraham. Semua berkat yang Lot terima adalah karena kedekatannya dengan Abraham. Lot bukanlah orang pilihan Tuhan seperti Abraham, namun Lot bisa menikmati kekayaan dan berkat Tuhan karena dia tinggal dekat dengan Abraham. Dampak kekariban Abraham dan Tuhanlah yang menyebabkan semua orang yaang ada bersama dengannya turut diberkati. Namun keputusan Lot berpisah dari Abraham adalah awal kehancurannya. Seluruh kekayaan Lot turut musnah terbakar bersama kota Sodom dan Gomora yang dibumihanguskan Tuhan; isterinya pun menjadi tiang garam.
Melalui Lot ini kita dapat belajar bahwa dengan siapa kita membangun hubungan akan menentukan hari depan kita. Kesalahan dalam menentukan pertemanan akan mempengaruhi kehidupan rohani kita. Pemazmur menasihatkan agar orang percaya "...tidak berjalan menurut nasihat orang fasik, ...tidak berdiri di jalan orang berdosa, dan ...tidak duduk dalam kumpulan pencemooh," (Mazmur 1:1), karena "Pergaulan yang buruk merusakkan kebiasaan yang baik." (1 Korintus 15:33b). Kita harus membangun pergaulan dengan orang-orang yang sama-sama haus dan lapar akan Tuhan. Bukan berarti kita tidak boleh bergaul dengan orang-orang dunia, tapi untuk membangun manusia roh, kita membutuhkan rekan-rekan yang lebih rohani. Pergaulan kita akan menyatakan siapa kita sebenarnya. Daud memilih bersekutu dengan orang-orang yang tahut akan Tuhan (ayat nas) sehingga imannya terbangun; ketika lemah ada yang menguatkan, ketika mulai menyimpang dari firman ada yang menegur.
Milikilah hubungan karib dengan orang-orang yang mengasihi Tuhan supaya iman kita semakin kuat!
Baca: Mazmur 119:57-64
"Aku (Daud - Red.) bersekutu dengan semua orang yang takut kepada-Mu, dan dengan orang-orang yang berpegang pada titah-titahMu." Mazmur 119:63
Alkitab mencatat bahwa Abraham adalah orang yang sangat kaya dan diberkati Tuhan. Janji Tuhan yang mengatakan, "Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar, dan memberkati engkau serta membuat namamu masyur; dan engkau akan menjadi berkat." (Kejadian 12:2) benar-benar tergenapi dalam kehidupan Abraham. Saat Abraham meninggalkan negerinya, "...Lot pun ikut bersama-sama dengan dia;" (Kejadian 12:4).
Keberadaan Abraham benar-benar membawa dampak luar biasa bagi kehidupan Lot. Abraham menjadi berkat bagi Lot. Karena mengikuti Abrahamlah Lot turut diberkati dan memiliki banyak harta; ini merupakan anugerah Tuhan oleh karena Abraham. Semua berkat yang Lot terima adalah karena kedekatannya dengan Abraham. Lot bukanlah orang pilihan Tuhan seperti Abraham, namun Lot bisa menikmati kekayaan dan berkat Tuhan karena dia tinggal dekat dengan Abraham. Dampak kekariban Abraham dan Tuhanlah yang menyebabkan semua orang yaang ada bersama dengannya turut diberkati. Namun keputusan Lot berpisah dari Abraham adalah awal kehancurannya. Seluruh kekayaan Lot turut musnah terbakar bersama kota Sodom dan Gomora yang dibumihanguskan Tuhan; isterinya pun menjadi tiang garam.
Melalui Lot ini kita dapat belajar bahwa dengan siapa kita membangun hubungan akan menentukan hari depan kita. Kesalahan dalam menentukan pertemanan akan mempengaruhi kehidupan rohani kita. Pemazmur menasihatkan agar orang percaya "...tidak berjalan menurut nasihat orang fasik, ...tidak berdiri di jalan orang berdosa, dan ...tidak duduk dalam kumpulan pencemooh," (Mazmur 1:1), karena "Pergaulan yang buruk merusakkan kebiasaan yang baik." (1 Korintus 15:33b). Kita harus membangun pergaulan dengan orang-orang yang sama-sama haus dan lapar akan Tuhan. Bukan berarti kita tidak boleh bergaul dengan orang-orang dunia, tapi untuk membangun manusia roh, kita membutuhkan rekan-rekan yang lebih rohani. Pergaulan kita akan menyatakan siapa kita sebenarnya. Daud memilih bersekutu dengan orang-orang yang tahut akan Tuhan (ayat nas) sehingga imannya terbangun; ketika lemah ada yang menguatkan, ketika mulai menyimpang dari firman ada yang menegur.
Milikilah hubungan karib dengan orang-orang yang mengasihi Tuhan supaya iman kita semakin kuat!
Wednesday, October 5, 2011
MELEKAT PADA TUHAN: Syarat Utama Berbuah
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 5 Oktober 2011 -
Baca: Yohanes 15:1-8
"Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal pada pokok anggur,..." Yohanes 15:4b
Pohon dan ranting atau carang merupakan simbol dari hubungan yang erat. Carang tidak akan mungkin hidup, apalagi menghasilkan buah, jika tidak menyatu dengan pokoknya. Pokok menjadi sumber utama dan tempat hidup bagi carang. Demikian pula hubungan orang percaya dengan Kristus, dapat bertumbuh dan menghasilkan buah hanya jika melekat kepada Tuhan, "...sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa." (ayat 5b). Jadi Tuhan Yesus Kristus adalah sumber hidup bagi kita, dan di luar Kristus kita tidak akan hidup alias mati.
Tuhan menghendaki kehidupan orang percaya adalah kehidupan yang berbuah dan itu adalah proses. Dalam dunia pertanian ada istilah yang disebut dengan pemangkasan. Ada pun tujuan pemangkasan adalah untuk menyingkirkan daun dan carang kering yang tidak berguna atau berpenyakit yang dapat mengurangi kemampuan pohon untuk berbuah. Oleh karena itu kita harus mengijinkan Tuhan membentuk kita, karena Dia memanggil kita untuk dijadikan 'orang-orang yang berbeda' dan untuk melakukan perkara yang besar bersama Dia. Firman Tuhan adalah alat untuk membentuk kita: sebagai gunting pemangkas sifat dan kebiasaan buruk kita yang menghalangi kita berbuah. Tertulis: "Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran." (2 Timotius 3:16). Orang Kristen yang sudah mengalami proses pemangkasan akan meghasilkan buah. Memang, dipangkas berarti sakit dan terluka, tapi semua itu mendatangkan kebaikan bagi kita, "Karena Dialah yang melukai, tetapi juga yang membebat; Dia yang memukuli, tetapi yang tangan-Nya menyembuhkan pula." (Ayub 5:18).
Ada pun buah yang dimaksud pada renungan hari ini adalah karakter Kristiani atau disebut pula dengan sembilan buah-buah Roh (Galatia 5:22-23). Buah Roh bersifat utuh (tunggal) tetapi memiliki sifat yang berbeda. Jadi tidak ada alasan bagi kita untuk mementingkan salah satu atau beberapa sifat tertentu dan menolak sifat lainnya dengan alasan apa pun. Dalam arti lain, buah yang dihasilkan dapat pula mengacu pada jiwa-jiwa baru yang dibawa keapda Tuhan (baca Filipi 1:22).
Jika kita tinggal di dalam Kristus, Ia juga akan tinggal di dalam kita, artinya Ia akan memimpin dan menuntun hidup kita.
Baca: Yohanes 15:1-8
"Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal pada pokok anggur,..." Yohanes 15:4b
Pohon dan ranting atau carang merupakan simbol dari hubungan yang erat. Carang tidak akan mungkin hidup, apalagi menghasilkan buah, jika tidak menyatu dengan pokoknya. Pokok menjadi sumber utama dan tempat hidup bagi carang. Demikian pula hubungan orang percaya dengan Kristus, dapat bertumbuh dan menghasilkan buah hanya jika melekat kepada Tuhan, "...sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa." (ayat 5b). Jadi Tuhan Yesus Kristus adalah sumber hidup bagi kita, dan di luar Kristus kita tidak akan hidup alias mati.
Tuhan menghendaki kehidupan orang percaya adalah kehidupan yang berbuah dan itu adalah proses. Dalam dunia pertanian ada istilah yang disebut dengan pemangkasan. Ada pun tujuan pemangkasan adalah untuk menyingkirkan daun dan carang kering yang tidak berguna atau berpenyakit yang dapat mengurangi kemampuan pohon untuk berbuah. Oleh karena itu kita harus mengijinkan Tuhan membentuk kita, karena Dia memanggil kita untuk dijadikan 'orang-orang yang berbeda' dan untuk melakukan perkara yang besar bersama Dia. Firman Tuhan adalah alat untuk membentuk kita: sebagai gunting pemangkas sifat dan kebiasaan buruk kita yang menghalangi kita berbuah. Tertulis: "Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran." (2 Timotius 3:16). Orang Kristen yang sudah mengalami proses pemangkasan akan meghasilkan buah. Memang, dipangkas berarti sakit dan terluka, tapi semua itu mendatangkan kebaikan bagi kita, "Karena Dialah yang melukai, tetapi juga yang membebat; Dia yang memukuli, tetapi yang tangan-Nya menyembuhkan pula." (Ayub 5:18).
Ada pun buah yang dimaksud pada renungan hari ini adalah karakter Kristiani atau disebut pula dengan sembilan buah-buah Roh (Galatia 5:22-23). Buah Roh bersifat utuh (tunggal) tetapi memiliki sifat yang berbeda. Jadi tidak ada alasan bagi kita untuk mementingkan salah satu atau beberapa sifat tertentu dan menolak sifat lainnya dengan alasan apa pun. Dalam arti lain, buah yang dihasilkan dapat pula mengacu pada jiwa-jiwa baru yang dibawa keapda Tuhan (baca Filipi 1:22).
Jika kita tinggal di dalam Kristus, Ia juga akan tinggal di dalam kita, artinya Ia akan memimpin dan menuntun hidup kita.
Tuesday, October 4, 2011
PENDERITAAN: Ujian Menuju Keberkatan!
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 4 Oktober 2011 -
Baca: Ayub 7
"Bukankah manusia harus bergumul di bumi, dan hari-harinya seperti hari-hari orang upahan?" Ayub 7:1
Sejak jatuh dalam dosa manusia harus menanggung akibatnya: terusir dari taman Eden dan harus mengalami penderitaan serta kesulitan. Namun di balik penderitaan yang harus dialami oleh manusia akibat dosa tercipta kesempatan bagi Allah untuk menyatakan kasih dan karyaNya yang agung melalui Yesus Kristus. "Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal." (Yohanes 3:16). Yesus Kristus rela menderita di atas kayu salib demi menebus dosa umat manusia. Dan karena ketaatannya melakukan kehendak Bapa sampai mati di kayu salib itu Yesus beroleh peninggian. Dikatakan, "Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama," (Filipi 2:9). Di balik penderitaan ada kemuliaan!
Kita harus memahami bahwa setiap masalah atau penderitaan yang terjadi dalam hidup ini pada dasarnya mendatangkan kebaikan bagi diri kita. Begitu pula karakter yang ada dalam diri seseorang (ketaatan, ketekunan, kesetiaan, iman dan sebagainya) dikembangkan melalui proses ujian dan penderitaan. Selama kita hidup tak henti-hentinya kita akan diuji dan diproses seperti tanah liat di tangan Penjunan. "Apabila bejana, yang sedang dibuatnya dari tanah liat di tangannya itu, rusak, maka tukang periuk itu mengerjakannya kembali menjadi bejana lain menurut apa yang baik pada pemandangannya." (Yeremia 18:4). Jadi sadarilah bahwa setiap saat kita berada dalam perhatian dan pengawasanNya.
Mengapa Tuhan tidak pernah berhenti menguji kita? Tuhan hendak mengetahui sejauh mana kesetiaan dan ketekunan kita mengiring Dia. Banyak orang tidak tahan saat berada dalam ujian dan akhirnya berubah sikap terhadap Tuhan: tidak lagi setia beribadah, tidak lagi tekun berdoa dan tidak lagi menempatkan Tuhan sebagai yang utama dalam hidupnya.
Untuk mengetahui kesetiaan kita melakukan perkara-perkara yang dipercayakanNya pada kita, untuk mengetahui kemurnian hati kita melayaniNya, dan untuk membuat kehidupan kita semakin berkenan dan indah di hadapanNya, kita terus diujiNya!
Baca: Ayub 7
"Bukankah manusia harus bergumul di bumi, dan hari-harinya seperti hari-hari orang upahan?" Ayub 7:1
Sejak jatuh dalam dosa manusia harus menanggung akibatnya: terusir dari taman Eden dan harus mengalami penderitaan serta kesulitan. Namun di balik penderitaan yang harus dialami oleh manusia akibat dosa tercipta kesempatan bagi Allah untuk menyatakan kasih dan karyaNya yang agung melalui Yesus Kristus. "Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal." (Yohanes 3:16). Yesus Kristus rela menderita di atas kayu salib demi menebus dosa umat manusia. Dan karena ketaatannya melakukan kehendak Bapa sampai mati di kayu salib itu Yesus beroleh peninggian. Dikatakan, "Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama," (Filipi 2:9). Di balik penderitaan ada kemuliaan!
Kita harus memahami bahwa setiap masalah atau penderitaan yang terjadi dalam hidup ini pada dasarnya mendatangkan kebaikan bagi diri kita. Begitu pula karakter yang ada dalam diri seseorang (ketaatan, ketekunan, kesetiaan, iman dan sebagainya) dikembangkan melalui proses ujian dan penderitaan. Selama kita hidup tak henti-hentinya kita akan diuji dan diproses seperti tanah liat di tangan Penjunan. "Apabila bejana, yang sedang dibuatnya dari tanah liat di tangannya itu, rusak, maka tukang periuk itu mengerjakannya kembali menjadi bejana lain menurut apa yang baik pada pemandangannya." (Yeremia 18:4). Jadi sadarilah bahwa setiap saat kita berada dalam perhatian dan pengawasanNya.
Mengapa Tuhan tidak pernah berhenti menguji kita? Tuhan hendak mengetahui sejauh mana kesetiaan dan ketekunan kita mengiring Dia. Banyak orang tidak tahan saat berada dalam ujian dan akhirnya berubah sikap terhadap Tuhan: tidak lagi setia beribadah, tidak lagi tekun berdoa dan tidak lagi menempatkan Tuhan sebagai yang utama dalam hidupnya.
Untuk mengetahui kesetiaan kita melakukan perkara-perkara yang dipercayakanNya pada kita, untuk mengetahui kemurnian hati kita melayaniNya, dan untuk membuat kehidupan kita semakin berkenan dan indah di hadapanNya, kita terus diujiNya!
Monday, October 3, 2011
KETAATAN ELIA DI TENGAH KRISIS
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 3 Oktober 2011 -
Baca: 1 Raja-Raja 17
"Tetapi sesudah beberapa waktu, sungai itu menjadi kering, sebab hujan tiada turun di negeri itu." 1 Raja-Raja 17:7
Tahun 1998 lalu adalah awal masa-masa sulit bagi bangsa Indonesia karena pada waktu itu terjadi krisis moneter. Tentunya hal ini berdampak buruk di segala aspek kehidupan; tidak hanya dialami oleh orang-orang di luar Tuhan, tetapi orang percaya pun juga mengalami akibat dari krisis tersebut. Meski demikian ada berita baiknya: walaupun semua orang mengalami masalah yang sama, anak-anak Tuhan tetap berada dalam pemeliharaan Tuhan. Pemazmur berkata, "Kemalangan orang benar banyak, tetapi Tuhan melepaskan dia dari semua itu;" (Mazmur 34:20).
Ketika seluruh negeri mengalami masa-masa sukar karena dilanda bencana kekeringan, Tuhan tetap memperhatikan dan memelihara Elia dengan caraNya yang ajaib. Tuhan membawa Elia ke sungai Kerit, di "...sebelah timur sungai Yordan." (1 Raja-Raja 17:6). Dan ketika sungai itu mulai mengering dan sepertinya sudah tidak ada harapan lagi, Tuhan terus melanjutkan karyaNya atas Elia. Ia diperintahkan Tuhan untuk pergi ke Sarfat karena Tuhan telah memerintahkan seorang janda, untuk memberinya makan.
Untuk bisa mengalami perkara-perkara dahsyat seperti Elia kita harus: 1. Taat terhadap perintah Tuhan. Ketika 'sungai Kerit' menjadi kering, banyak orang percaya yang akhirnya putus asa dan menyerah pada keadaan. Sungai Kerit adalah zona nyaman bagi Elia, di situ segala kebutuhannya dicukupi Tuhan. Namun ketika Tuhan memerintahkan Elia untuk meninggalkan zona itu, Elia tetap taat. Selama kita tidak mau bayar harga dan tetap menikmati 'zona nyaman' yang selama ini meninabobokan kita, kita tidak akan mengalami perubahan. 2. Jangan takut dan kuatir. Sesungguhnya Elia punya alasan untuk takut dan kuatir karena ia diperintahkan pergi ke Sarfat, padahal Sarfat berada di wilayah Sidon. Raja Sidon adalah orangtua Izebel, isteri Ahab yang pernah mengancam hidup Elia. Meski demikian Elia tetap mengikuti cara Tuhan karena ia tahu bahwa Tuhan menyertainya. Dan ketika Elia mengikuti cara Tuhan, melalui janda Sarfat yang sederhana, ternyata Tuhan sanggup melakukan perkara yang ajaib!
Tidak hanya diberkati, Elia juga menjadi saluran berkat bagi orang lain.
Baca: 1 Raja-Raja 17
"Tetapi sesudah beberapa waktu, sungai itu menjadi kering, sebab hujan tiada turun di negeri itu." 1 Raja-Raja 17:7
Tahun 1998 lalu adalah awal masa-masa sulit bagi bangsa Indonesia karena pada waktu itu terjadi krisis moneter. Tentunya hal ini berdampak buruk di segala aspek kehidupan; tidak hanya dialami oleh orang-orang di luar Tuhan, tetapi orang percaya pun juga mengalami akibat dari krisis tersebut. Meski demikian ada berita baiknya: walaupun semua orang mengalami masalah yang sama, anak-anak Tuhan tetap berada dalam pemeliharaan Tuhan. Pemazmur berkata, "Kemalangan orang benar banyak, tetapi Tuhan melepaskan dia dari semua itu;" (Mazmur 34:20).
Ketika seluruh negeri mengalami masa-masa sukar karena dilanda bencana kekeringan, Tuhan tetap memperhatikan dan memelihara Elia dengan caraNya yang ajaib. Tuhan membawa Elia ke sungai Kerit, di "...sebelah timur sungai Yordan." (1 Raja-Raja 17:6). Dan ketika sungai itu mulai mengering dan sepertinya sudah tidak ada harapan lagi, Tuhan terus melanjutkan karyaNya atas Elia. Ia diperintahkan Tuhan untuk pergi ke Sarfat karena Tuhan telah memerintahkan seorang janda, untuk memberinya makan.
Untuk bisa mengalami perkara-perkara dahsyat seperti Elia kita harus: 1. Taat terhadap perintah Tuhan. Ketika 'sungai Kerit' menjadi kering, banyak orang percaya yang akhirnya putus asa dan menyerah pada keadaan. Sungai Kerit adalah zona nyaman bagi Elia, di situ segala kebutuhannya dicukupi Tuhan. Namun ketika Tuhan memerintahkan Elia untuk meninggalkan zona itu, Elia tetap taat. Selama kita tidak mau bayar harga dan tetap menikmati 'zona nyaman' yang selama ini meninabobokan kita, kita tidak akan mengalami perubahan. 2. Jangan takut dan kuatir. Sesungguhnya Elia punya alasan untuk takut dan kuatir karena ia diperintahkan pergi ke Sarfat, padahal Sarfat berada di wilayah Sidon. Raja Sidon adalah orangtua Izebel, isteri Ahab yang pernah mengancam hidup Elia. Meski demikian Elia tetap mengikuti cara Tuhan karena ia tahu bahwa Tuhan menyertainya. Dan ketika Elia mengikuti cara Tuhan, melalui janda Sarfat yang sederhana, ternyata Tuhan sanggup melakukan perkara yang ajaib!
Tidak hanya diberkati, Elia juga menjadi saluran berkat bagi orang lain.
Sunday, October 2, 2011
MENGASIHI TUHAN ATAU HARTA?
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 2 Oktober 2011 -
Baca: Matius 19:16-26
"Ketika orang muda itu mendengar perkataan itu, pergilah ia dengan sedih, sebab banyak hartanya." Matius 19:22
Saat ini pikiran banyak orang tertuju kepada materi, bagaimana cara menumpuk harta dan kekayaan. Siang dan malam membanting tulang demi mewujudkan keinginannya itu. Tak jarang pula orang menempuh jalan sesat guna mendapatkan uang atau kekayaan dengan cara instan. Adalah perkara yang sukar bagi manusia untuk merasa puas dengan apa yang dimiliki. Berapa banyak uang yang harus dimiliki agar kita terpuaskan dan merasa bahagia? Sampai kapan pun uang tidak pernah dapat membeli kepuasan atau pun kebahagiaan. Tentunya tidak ada yang salah dengan mencari uang, selama kegiatan mencari uang itu tidak melanggar hukum negara dan prinsip-prinsip firman Tuhan. Memang, kekayaan bisa menjadi tanda seseorang diberkati Tuhan, tetapi juga bisa menjadi penghalang bagi seseorang untuk beribadah kepada Tuhan.
Ada seorang anak muda yang hebat sekaligus kaya. Ia datang kepada Yesus dan bertanya bagaimana supaya bisa masuk ke dalam Kerajaan Allah. Orang muda ini sekaligus ingin mencari penegasan apakah semua yang sudah dilakukannya selama ini dapat menjamin dia memperoleh hidup kekal. "Semuanya itu telah kuturuti, apa lagi yang masih kurang?" (ayat 20). Ia berpikir bahwa keselamatan kekal dapat diperoleh melalui usaha manusia, yaitu dengan berbuat baik dan sebagainya. Alkitab jelas menyatakan bahwa "Dialah yang menyelamatkan kita dan memanggil kita dengan panggilan kudus, bukan berdasarkan perbuatan kita,..." (2 Timotius 1:9). Karena harta kekayaan melimpah, anak muda ini pun memilih bergantung pada apa yang ia miliki, bukannya menjadi saluran berkat seperti perintah Tuhan, sehingga ketika Tuhan memerintahkan: "...pergilah, juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin,..." (Matius 21:22) pergilah ia dengan sedih. Ia mencintai hartanya daripada harus mengikut Kristus.
Manakah yang Saudara pilih: menumpuk kekayaan yang bersifat sementara di dunia ataukah mempersiapkan kekayaan rohani untuk kehidupan kekal mendatang? Rasul Paulus berpesan kepada Timotius agar ia memperingatkan orang-orang kaya supaya "...mereka itu berbuat baik, menjadi kaya dalam kebajikan, suka memberi dan membagi (1 Timotius 6:18).
Tuhan memberkati kita supaya kita bisa menjadi saluran berkat bagi orang lain, bukannya semakin mencondongkan hati kita menjauh dari Tuhan.
Baca: Matius 19:16-26
"Ketika orang muda itu mendengar perkataan itu, pergilah ia dengan sedih, sebab banyak hartanya." Matius 19:22
Saat ini pikiran banyak orang tertuju kepada materi, bagaimana cara menumpuk harta dan kekayaan. Siang dan malam membanting tulang demi mewujudkan keinginannya itu. Tak jarang pula orang menempuh jalan sesat guna mendapatkan uang atau kekayaan dengan cara instan. Adalah perkara yang sukar bagi manusia untuk merasa puas dengan apa yang dimiliki. Berapa banyak uang yang harus dimiliki agar kita terpuaskan dan merasa bahagia? Sampai kapan pun uang tidak pernah dapat membeli kepuasan atau pun kebahagiaan. Tentunya tidak ada yang salah dengan mencari uang, selama kegiatan mencari uang itu tidak melanggar hukum negara dan prinsip-prinsip firman Tuhan. Memang, kekayaan bisa menjadi tanda seseorang diberkati Tuhan, tetapi juga bisa menjadi penghalang bagi seseorang untuk beribadah kepada Tuhan.
Ada seorang anak muda yang hebat sekaligus kaya. Ia datang kepada Yesus dan bertanya bagaimana supaya bisa masuk ke dalam Kerajaan Allah. Orang muda ini sekaligus ingin mencari penegasan apakah semua yang sudah dilakukannya selama ini dapat menjamin dia memperoleh hidup kekal. "Semuanya itu telah kuturuti, apa lagi yang masih kurang?" (ayat 20). Ia berpikir bahwa keselamatan kekal dapat diperoleh melalui usaha manusia, yaitu dengan berbuat baik dan sebagainya. Alkitab jelas menyatakan bahwa "Dialah yang menyelamatkan kita dan memanggil kita dengan panggilan kudus, bukan berdasarkan perbuatan kita,..." (2 Timotius 1:9). Karena harta kekayaan melimpah, anak muda ini pun memilih bergantung pada apa yang ia miliki, bukannya menjadi saluran berkat seperti perintah Tuhan, sehingga ketika Tuhan memerintahkan: "...pergilah, juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin,..." (Matius 21:22) pergilah ia dengan sedih. Ia mencintai hartanya daripada harus mengikut Kristus.
Manakah yang Saudara pilih: menumpuk kekayaan yang bersifat sementara di dunia ataukah mempersiapkan kekayaan rohani untuk kehidupan kekal mendatang? Rasul Paulus berpesan kepada Timotius agar ia memperingatkan orang-orang kaya supaya "...mereka itu berbuat baik, menjadi kaya dalam kebajikan, suka memberi dan membagi (1 Timotius 6:18).
Tuhan memberkati kita supaya kita bisa menjadi saluran berkat bagi orang lain, bukannya semakin mencondongkan hati kita menjauh dari Tuhan.
Saturday, October 1, 2011
RELAKAH KITA MENUNAIKAN AMANAT TUHAN?
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 1 Oktober 2011 -
Baca: 2 Timotius 4:1-8
"Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya, nyatakanlah apa yang salah, tegorlah dan nasihatilah dengan segala kesabaran dan pengajaran." 2 Timotius 4:2
Sebagaimana dinyatakan dalam renungan kemarin, Yesus "...datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa." (Matius 9:13). Jadi Yesus turun ke dunia dengan tujuan untuk menyelamatkan jiwa manusia. Inilah amanat yang harus diemban oleh Yesus.
Dengan kesadaran penuh Dia menyelesaikan tugas dari Bapa ini sampai tuntas tanpa keluh kesah atau persungutan. "Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib." (Filipi 2:8). Tanpa keraguan sedikit pun Yesus mengorbankan nyawaNya, karena Ia tahu bahwa tidak ada jalan lain bagi manusia untuk masuk ke dalam Kerajaan Sorga. Hanya melalui kematianNya di atas kayu salib inilah manusia memiliki pengharapan hidup kekal karena kutuk maut telah dipatahkan! Ketika Yesus naik ke sorga, amanat itu pun diserahterimakan kepada murid-muridNya. Yesus berkata, "Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk. Siapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan, tetapi siapa yang tidak percaya akan dihukum." (Markus 16:15-16), dan "...kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi." (Kisah 1:8). Perkataan Yesus ini bukan sekedar kata-kata perpisahanNya kepada para muridNya, melainkan suatu Amanat Agung yang harus dilaksanakan.
Saat ini tidak semua orang Kristen terpanggil untuk mengerjakan amanat ini. Mereka pasti berpikir bahwa memberitakan Injil Keselamatan itu penuh resiko: menantang segala macam kesukaran, penderitaan, penolakan, ejekan, cemoohan dan mungkin juga aniaya. Berbeda dengan hamba-hamba Tuhan di masa lalu yang dengan gigih berjuang memberitakan Injil Kristus; mereka rela mempertaruhkan hidup demi Injil. Dan tak terbilang banyaknya jumlah orang yang bertobat, percaya dan dipulihkan hidupnya melalui pelayanan mereka. Bagaimana kita? Ingatlah, memberitakan Injil tidak selalu harus pergi ke tempat yang jauh, terpencil, ke pelosok atau di pedalaman. Memberitakan Injil bisa dilakukan di lingkungan terdekat kita sendiri. Maukah kita melakukannya?
Tuhan mengukur keberhasilan pemberitaan Injil kita bukan pada jumlah orang yang diselamatkan, tetapi pada seberapa besar kerelaan hati kita.
Baca: 2 Timotius 4:1-8
"Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya, nyatakanlah apa yang salah, tegorlah dan nasihatilah dengan segala kesabaran dan pengajaran." 2 Timotius 4:2
Sebagaimana dinyatakan dalam renungan kemarin, Yesus "...datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa." (Matius 9:13). Jadi Yesus turun ke dunia dengan tujuan untuk menyelamatkan jiwa manusia. Inilah amanat yang harus diemban oleh Yesus.
Dengan kesadaran penuh Dia menyelesaikan tugas dari Bapa ini sampai tuntas tanpa keluh kesah atau persungutan. "Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib." (Filipi 2:8). Tanpa keraguan sedikit pun Yesus mengorbankan nyawaNya, karena Ia tahu bahwa tidak ada jalan lain bagi manusia untuk masuk ke dalam Kerajaan Sorga. Hanya melalui kematianNya di atas kayu salib inilah manusia memiliki pengharapan hidup kekal karena kutuk maut telah dipatahkan! Ketika Yesus naik ke sorga, amanat itu pun diserahterimakan kepada murid-muridNya. Yesus berkata, "Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk. Siapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan, tetapi siapa yang tidak percaya akan dihukum." (Markus 16:15-16), dan "...kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi." (Kisah 1:8). Perkataan Yesus ini bukan sekedar kata-kata perpisahanNya kepada para muridNya, melainkan suatu Amanat Agung yang harus dilaksanakan.
Saat ini tidak semua orang Kristen terpanggil untuk mengerjakan amanat ini. Mereka pasti berpikir bahwa memberitakan Injil Keselamatan itu penuh resiko: menantang segala macam kesukaran, penderitaan, penolakan, ejekan, cemoohan dan mungkin juga aniaya. Berbeda dengan hamba-hamba Tuhan di masa lalu yang dengan gigih berjuang memberitakan Injil Kristus; mereka rela mempertaruhkan hidup demi Injil. Dan tak terbilang banyaknya jumlah orang yang bertobat, percaya dan dipulihkan hidupnya melalui pelayanan mereka. Bagaimana kita? Ingatlah, memberitakan Injil tidak selalu harus pergi ke tempat yang jauh, terpencil, ke pelosok atau di pedalaman. Memberitakan Injil bisa dilakukan di lingkungan terdekat kita sendiri. Maukah kita melakukannya?
Tuhan mengukur keberhasilan pemberitaan Injil kita bukan pada jumlah orang yang diselamatkan, tetapi pada seberapa besar kerelaan hati kita.
Subscribe to:
Posts (Atom)