- Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 31 Mei 2010 -
Baca: Kolose 1:24-29
“Aku telah menjadi pelayan jemaat itu sesuai dengan tugas yang dipercayakan Allah kepadaku untuk meneruskan firmanNya dengan sepenuhnya kepada kamu,” Kolose 1:25
Setiap perintah atau tugas yang kita terima pasti dapat kita kerjakan karena di dalam kita ada kuasa yang terbatas yaitu kuasa Roh Kudus. Intim dengan Tuhan adalah kunci untuk hidup kudus. Pemazmur berkata, “Tuhan bergaul karib dengan orang yang takut akan Dia, dan perjanjianNya diberitahukanNya kepada mereka.” (Mazmur 25:14).
Di zaman Perjanjian Lama Tuhan menyatakan kehendakNya kepada orang yang Ia percayai yaitu para nabiNya. Nabi adalah orang yang dipakai Tuhan menyampaikan isi hatiNya. Mengapa seorang nabi bisa dipercaya sebagai ‘penyambung lidah’ Tuhan? Karena mereka senantiasa menjaga hubungan yang karib dengan Tuhan, sehingga mereka sangat peka akan suaraNya. Ketika kita mendisiplinkan diri membangun keintiman dengan Tuhan kita sedang melatih kepekaan mendengarkan suaraNya. Melalui Roh Kudus Ia mengingatkan, menegur dan mengarahkan kita ketika jalan kita mulai serong.
Tuhan mempercayakan sesuatu kepada orang yang aktif, tekun dan setia, bukan kepada yang pasif dan bermalas-malasan. Untuk menjadi orang kepercayaan Tuhan ada harga yang harus kita bayar! Rasul Paulus berkata, “...aku melatih tubuhku dan menguasainya seluruhnya, supaya sesudah memberitakan Injil kepada orang lain, jangan aku sendiri ditolak.” (1 Korintus 9:27). Paulus melatih dan mendisiplinkan hidupnya agar ia bisa menjadi teladan bagi orang lain, sama seperti seorang atlit yang tiada hari tanpa berlatih dan bekerja keras. Practice makes perfect! Tanpa mau berjerih lelah mustahil kita memperoleh hasil maksimal.
Bagaimana Tuhan akan mempercayakan sesuatu pada kita, bila kita malas membaca, merenungkan dan mempraktekkan firmanNya, malas terlibat pelayanan dan tidak mau mengembangkan talenta yang ada? Ingat, setiap talenta yang ada di dalam diri orang percaya harus dikembangkan, bila tidak, ada konsekuensi yang harus kita tanggung (baca Matius 25:26-30). Jadi kita harus berani menolak semua jenis kopromi terhadap dosa supaya hidup kita bisa menjadi teladan.
Semakin hidup kita menjadi teladan, semakin besar pula kepercayaan yang Tuhan berikan kepada kita.
Monday, May 31, 2010
Sunday, May 30, 2010
DIPERCAYA TUHAN: Keharusan Hidup Kudus dan Benar
- Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 30 Mei 2010 -
Baca: 1 Korintus 4:1-5
“Demikianlah hendaknya orang memandang kami: sebagai hamba-hamba Kristus, yang kepadanya dipercayakan rahasia Allah.” 1 Korintus 4:1
Sebuah kepercayaan mahal harganya! Seorang pemimpin perusahaan tidak akan dengan serta merta memberikan kepercayaan atu tanggung jawab penuh kepada karyawan sebelum ia melihat kualitas orang itu. Seorang tuan dapat berkata kepada hambanya, “Baik sekali perbuatanmu itu hai hambaku yang baik dan setia, engkau telah setia memikul tanggung jawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu.” (Matius 25:23), adalah karena si tuan telah melihat ketekunan dan kesetiaan hambanya dalam perkara kecil sehingga ia memberikan kepercayaan atau tanggung jawab dalam perkara yang lebih besar. Jadi, ketekunan dan kesetiaan merupakan unsur penting dalam membangun sebuah kepercayaan.
Rasul Paulus dipakai Tuhan secara luar biasa untuk memberitakan Injil ke seluruh penjuru dunia. Meski menghadapi aniaya, tekanan dan penderitaan yang begitu hebat ia tidak pernah kecewa tawar hati apalagi sampai give up dalam pelayanan. Ia tetap setia dan taat mengerjakan panggilannya. Bagi Paulus, adalah suatu kehormatan bila ia beroleh kepercayaan dari Tuhan mewartakan Injil. Katanya, “Oleh kemurahan Allah kami telah menerima pelayanan ini. Karena itu kami tidak tawar hati.” (2 Korintus 4:1). Paulus juga berusaha agar hidupnya menjadi teladan bagi banyak orang, sehingga melalui hidupnya orang-orang dapat melihat bahwa ia benar-benar orang yang dipercayakan rahasia Allah.
Orang Kristen adalah juga hamba-hamba Kristus seperti Paulus, yang mengemban tugas dan tanggung jawab sebagai pemberita Injil. Namun tidak semua layak dan bisa dipercaya menjadi pemberita Injil karena hidupnya masih ‘setali tiga uang’ dengan orang-orang dunia. Syarat utama menjadi orang kepercayaan Tuhan bukan dari postur, kekayaan atau jabatannya, tetapi harus hidup kudus dan benar. Ini mutlak! Meskipun tidak mudah dilakukan, itulah yang harus kita penuhi. Asal kita mau taat dan bergantung sepenuhnya kepada Tuhan tidak ada perkara yang sukar. Yesus, dengan ketaatan dan hubunganNya dengan Bapa yang begitu erat, dapat hidup dalam kekudusan dan kebenaran. (Bersambung)
Baca: 1 Korintus 4:1-5
“Demikianlah hendaknya orang memandang kami: sebagai hamba-hamba Kristus, yang kepadanya dipercayakan rahasia Allah.” 1 Korintus 4:1
Sebuah kepercayaan mahal harganya! Seorang pemimpin perusahaan tidak akan dengan serta merta memberikan kepercayaan atu tanggung jawab penuh kepada karyawan sebelum ia melihat kualitas orang itu. Seorang tuan dapat berkata kepada hambanya, “Baik sekali perbuatanmu itu hai hambaku yang baik dan setia, engkau telah setia memikul tanggung jawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu.” (Matius 25:23), adalah karena si tuan telah melihat ketekunan dan kesetiaan hambanya dalam perkara kecil sehingga ia memberikan kepercayaan atau tanggung jawab dalam perkara yang lebih besar. Jadi, ketekunan dan kesetiaan merupakan unsur penting dalam membangun sebuah kepercayaan.
Rasul Paulus dipakai Tuhan secara luar biasa untuk memberitakan Injil ke seluruh penjuru dunia. Meski menghadapi aniaya, tekanan dan penderitaan yang begitu hebat ia tidak pernah kecewa tawar hati apalagi sampai give up dalam pelayanan. Ia tetap setia dan taat mengerjakan panggilannya. Bagi Paulus, adalah suatu kehormatan bila ia beroleh kepercayaan dari Tuhan mewartakan Injil. Katanya, “Oleh kemurahan Allah kami telah menerima pelayanan ini. Karena itu kami tidak tawar hati.” (2 Korintus 4:1). Paulus juga berusaha agar hidupnya menjadi teladan bagi banyak orang, sehingga melalui hidupnya orang-orang dapat melihat bahwa ia benar-benar orang yang dipercayakan rahasia Allah.
Orang Kristen adalah juga hamba-hamba Kristus seperti Paulus, yang mengemban tugas dan tanggung jawab sebagai pemberita Injil. Namun tidak semua layak dan bisa dipercaya menjadi pemberita Injil karena hidupnya masih ‘setali tiga uang’ dengan orang-orang dunia. Syarat utama menjadi orang kepercayaan Tuhan bukan dari postur, kekayaan atau jabatannya, tetapi harus hidup kudus dan benar. Ini mutlak! Meskipun tidak mudah dilakukan, itulah yang harus kita penuhi. Asal kita mau taat dan bergantung sepenuhnya kepada Tuhan tidak ada perkara yang sukar. Yesus, dengan ketaatan dan hubunganNya dengan Bapa yang begitu erat, dapat hidup dalam kekudusan dan kebenaran. (Bersambung)
Saturday, May 29, 2010
HATI BAPA
- Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 29 Mei 2010 -
Baca: Mazmur 8:1-10
“apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya?” Mazmur 8:5
Daud mengakui betapa baiknya hati Bapa sehingga Ia mengingat dan mengindahkan kita. Ini membuktikan kita mendapat tempat istimewa di hatiNya, padahal kita adalah debu; tetapi yang membedakan kita dengan ciptaanNya yang lain adalah diciptakanNya kita menurut rupa dan gambarNya: “...Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat. Engkau membuat dia berkuasa atas buatan tanganMu; segala-galanya telah Kauletakkan di bawah kakinya:” (ayat 6-7).
Inilah puncak kebaikan hati Bapa kepada kita: “...Ia telah menggaruniakan AnakNya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepadaNya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal. Sebab Allah mengutus AnakNya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia.” (Yohanes 3:16-17). Ini menunjukkan bahwa hati Bapa penuh kasih sehingga Ia memiliki rencana dan rancangan yang selalu baik kepada kita. Ada pun yang direncanakan Allah di dalam hatiNya adalah keselamatan seluruh umat manusia, dan Bapa telah menggenapinya melalui pengorbanan Yesus Kristus di atas kayu salib.
Adalah anugerah yang luar biasa bila kita dipilih dan diselamatkan oleh darah Kristus. Kita juga diangkat menjadi anak-anak Allah, dan “jikalau kamu anak maka kamu juga adalah ahli-ahli waris, oleh Allah.” (Galatia 4:7b). Namun tidak semua orang meresponsnya, banyak yang menolak Kristus. Meskipun demikian hati Bapa penuh kesabaran menantikan umatNya berbalik kepadaNya: “Tuhan tidak lalai menepati janjiNya, sekalipun ada orang yang menganggapnya sebagai kelalaian, tetapi Ia sabar terhadap kamu, karena Ia menghendaki supaya jangan ada yang binasa, melainkan supaya semua orang berbalik dan bertobat.” (2 Petrus 3:9).
Bapa di sorga sabar terhadap kita karena Dia tidak menghendaki anak-anakNya mengalami kebinasaan kekal. Sudah seharusnya sebagai anak-anakNya kita memiliki ‘hati bapa’, yaitu hati yang penuh kasih.
Dunia sedang menantikan kita menunjukkan ‘hati Bapa’ (kasih) itu, sehingga Tuhan dipermuliakan melalui kita!
Baca: Mazmur 8:1-10
“apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya?” Mazmur 8:5
Daud mengakui betapa baiknya hati Bapa sehingga Ia mengingat dan mengindahkan kita. Ini membuktikan kita mendapat tempat istimewa di hatiNya, padahal kita adalah debu; tetapi yang membedakan kita dengan ciptaanNya yang lain adalah diciptakanNya kita menurut rupa dan gambarNya: “...Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat. Engkau membuat dia berkuasa atas buatan tanganMu; segala-galanya telah Kauletakkan di bawah kakinya:” (ayat 6-7).
Inilah puncak kebaikan hati Bapa kepada kita: “...Ia telah menggaruniakan AnakNya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepadaNya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal. Sebab Allah mengutus AnakNya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia.” (Yohanes 3:16-17). Ini menunjukkan bahwa hati Bapa penuh kasih sehingga Ia memiliki rencana dan rancangan yang selalu baik kepada kita. Ada pun yang direncanakan Allah di dalam hatiNya adalah keselamatan seluruh umat manusia, dan Bapa telah menggenapinya melalui pengorbanan Yesus Kristus di atas kayu salib.
Adalah anugerah yang luar biasa bila kita dipilih dan diselamatkan oleh darah Kristus. Kita juga diangkat menjadi anak-anak Allah, dan “jikalau kamu anak maka kamu juga adalah ahli-ahli waris, oleh Allah.” (Galatia 4:7b). Namun tidak semua orang meresponsnya, banyak yang menolak Kristus. Meskipun demikian hati Bapa penuh kesabaran menantikan umatNya berbalik kepadaNya: “Tuhan tidak lalai menepati janjiNya, sekalipun ada orang yang menganggapnya sebagai kelalaian, tetapi Ia sabar terhadap kamu, karena Ia menghendaki supaya jangan ada yang binasa, melainkan supaya semua orang berbalik dan bertobat.” (2 Petrus 3:9).
Bapa di sorga sabar terhadap kita karena Dia tidak menghendaki anak-anakNya mengalami kebinasaan kekal. Sudah seharusnya sebagai anak-anakNya kita memiliki ‘hati bapa’, yaitu hati yang penuh kasih.
Dunia sedang menantikan kita menunjukkan ‘hati Bapa’ (kasih) itu, sehingga Tuhan dipermuliakan melalui kita!
Friday, May 28, 2010
DIDIKAN MENDATANGKAN KEBAIKAN
- Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 28 Mei 2010 -
Baca: Ibrani 12:5-11
“Memang tiap-tiap ganjaran pada waktu ia diberikan tidak mendatangkan sukacita, tetapi dukacita. Tetapi kemudian ia menghasilkan buah kebenaran yang memberikan damai kepada mereka yang dilatih olehnya” Ibrani 12:11
Adakah seorang anak yang tidak pernah dihajar atau dididik oleh orangtuanya? Setiap anak pasti mengalami didikan dari orangtua dengan harapan ia memiliki karakter yang baik seperti yang mereka harapkan dan suatu saat kelak menjadi seorang yang berhasil.
Adakalanya orangtua harus bertindak tegas dan kalau perlu menghajar anaknya bila mereka mulai memberontak atau keluar jalur. Kepada orangtua dituliskan: “Siapa tidak menggunakan tongkat, benci kepada anaknya; tetapi siapa mengasihi anaknya, menghajar dia pada waktunya.” (Amsal 13:24). Begitu pula dalam kehidupan rohani, sebagai anak-anakNya kita pun harus mau dididik oleh Tuhan. Kita tahu bahwa selain Pribadi yang Pengasih dan Penyayang, Tuhan adalah Pribadi yang Mahaadil. Dia akan menegur dan mendidik kita, bahkan tak segan-segan ‘menghajar’ kita apabila kita melakukan kesalahan atau doasa. TujuanNya mendidik dan menghajar kita adalah agar kita semakin bertumbuh ke arah yang benar-benar sesuai firmanNya. Maka “...janganlah putus asa apabila engkau diperingatkanNya; karena Tuhan menghajar orang yang dikasihiNya, dan ia menyesah orang yang diakuiNya sebagai anak.” (Ibrani 12:5b-6).
Ada banyak cara Tuhan mendidik dan menghajar kita, salah satunya melalui sakit penyakit, krisis keuangan atau toko sepi. Dengan diijinkanNya masalah itu terjadi kita semakin mengerti dan peka akan kesalahan yang kita perbuat, sehingga kita tidak akan mengulangi kesalahan yang sama dan segera berbalik ke jalanNya yang benar. Tuhan akan mendidik kita sedemikian rupa agar kita dapat tetap berada di dalam rencanaNya.
Jadi, jika saat ini kita menerima didikan Tuhan berupa hajaran-hajaran keras bukan berarti Tuhan tidak mengasihi kita, justru menunjukkan bahwa Dia menganggap kita sebagai anak yang sangat Ia kasihi. “Tetapi, jikalau kamu bebas dari ganjaran, yang harus diderita setiap orang, maka kamu bukanlah anak, tetapi anak-anak gampang.” (Ibrani 12:8).
Didikan dan hajaran Tuhan membuktikan Dia sangat mengasihi kita, maka dari itu jangan mengeluh dan memberontak!
Baca: Ibrani 12:5-11
“Memang tiap-tiap ganjaran pada waktu ia diberikan tidak mendatangkan sukacita, tetapi dukacita. Tetapi kemudian ia menghasilkan buah kebenaran yang memberikan damai kepada mereka yang dilatih olehnya” Ibrani 12:11
Adakah seorang anak yang tidak pernah dihajar atau dididik oleh orangtuanya? Setiap anak pasti mengalami didikan dari orangtua dengan harapan ia memiliki karakter yang baik seperti yang mereka harapkan dan suatu saat kelak menjadi seorang yang berhasil.
Adakalanya orangtua harus bertindak tegas dan kalau perlu menghajar anaknya bila mereka mulai memberontak atau keluar jalur. Kepada orangtua dituliskan: “Siapa tidak menggunakan tongkat, benci kepada anaknya; tetapi siapa mengasihi anaknya, menghajar dia pada waktunya.” (Amsal 13:24). Begitu pula dalam kehidupan rohani, sebagai anak-anakNya kita pun harus mau dididik oleh Tuhan. Kita tahu bahwa selain Pribadi yang Pengasih dan Penyayang, Tuhan adalah Pribadi yang Mahaadil. Dia akan menegur dan mendidik kita, bahkan tak segan-segan ‘menghajar’ kita apabila kita melakukan kesalahan atau doasa. TujuanNya mendidik dan menghajar kita adalah agar kita semakin bertumbuh ke arah yang benar-benar sesuai firmanNya. Maka “...janganlah putus asa apabila engkau diperingatkanNya; karena Tuhan menghajar orang yang dikasihiNya, dan ia menyesah orang yang diakuiNya sebagai anak.” (Ibrani 12:5b-6).
Ada banyak cara Tuhan mendidik dan menghajar kita, salah satunya melalui sakit penyakit, krisis keuangan atau toko sepi. Dengan diijinkanNya masalah itu terjadi kita semakin mengerti dan peka akan kesalahan yang kita perbuat, sehingga kita tidak akan mengulangi kesalahan yang sama dan segera berbalik ke jalanNya yang benar. Tuhan akan mendidik kita sedemikian rupa agar kita dapat tetap berada di dalam rencanaNya.
Jadi, jika saat ini kita menerima didikan Tuhan berupa hajaran-hajaran keras bukan berarti Tuhan tidak mengasihi kita, justru menunjukkan bahwa Dia menganggap kita sebagai anak yang sangat Ia kasihi. “Tetapi, jikalau kamu bebas dari ganjaran, yang harus diderita setiap orang, maka kamu bukanlah anak, tetapi anak-anak gampang.” (Ibrani 12:8).
Didikan dan hajaran Tuhan membuktikan Dia sangat mengasihi kita, maka dari itu jangan mengeluh dan memberontak!
Thursday, May 27, 2010
SIA-SIA DI LUAR TUHAN
- Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 27 Mei 2010 -
Baca: Mazmur 127:1-5
“Jikalau bukan Tuhan yang membangun rumah, sia-sialah usaha orang yang membangunnya;” Mazmur 127:1a
Secara umum dapat ditarik kesimpulan bahwa ada 3 hal yang dicari oleh semua orang di dunia ini, yaitu kebahagaiaan, keamanan dan kekayaan.
1. Kebahagiaan. Semua orang mendambakan kebahagiaan dalam hidup. Berbagai cara ditempuh untuk mendapatkan kebahagiaan. Orang berpikir kebahagiaan bisa didapat ketika punya uang, mobil, rumah mewah, istri cantik atau suami yang tampan. Kenyataannya banyak orang kaya hidupnya tidak bahagia dan merana, selebritis kawin-cerai karena perkawinannya tidak bahagia padahal mereka serba berkelimpahan. Ada juga yang mencari kebahagiaan dengan narkoba atau seks bebas. Adalah sia-sia bila kita mencari kebahagiaan di dunia ini karena kebahagiaan yang ditawarkan dunia adalah semu belaka. Salomo berkata, “Jikalau bukan Tuhan yang membangun rumah, sia-sialah usaha orang yang membangunnya.” Rumah melambangkan kebahagiaan, suatu tempat di mana kita merasa diterima dan dikasihi. Kita perlu membangun dan medasarkan kehidupan kita di dalam Tuhan. Itulah kunci memperoleh kebahagiaan.
2. Keamanan. Adakah tempat yang aman di dunia ini? Tidak ada! Perasaan aman dan damai ada di hati orang yang mempercayakan hidupnya kepada Tuhan. Rasa aman tidaklah ditentukan oleh sesuatu yang berada di luar kita, melainkan siapa yang ‘bertahta’ dalam hidup kita. Perihal rasa aman ini Salomo memiliki pengalaman: “Jikalau bukan Tuhan yang mengawal kita, sia-sialah pengawal berjaga-jaga.” (ayat 1b).
3. Kekayaan. Salomo adalah seorang raja yang sangat kaya, bahkan kekayaannya “...melebihi semua raja di bumi...” (1 Raja-Raja 10:23). Namun ia sadar bahwa kemampuan menikmati kekayaan dan menikmati hidup adalah karunia atau pemberian Tuhan. Adalah sia-sia bila kita memiliki kekayaan bilamana kita tidak dapat menikmatinya! (ayat 2a). Selalu ada rencanaNya di balik berkat yang Tuhan limpahkan atas hidup kita yaitu supaya kita juga menjadi berkat bagi orang lain. Tetapi jangan sampai kekayaan itu menjadi ‘ilah’ lain dalam hidup kita, sebaliknya “Muliakanlah Tuhan dengan hartamu...” (Amsal 3:9).
Kebahagiaan, rasa aman, berkat disediakan bagi orang yang mengandalkan Tuhan!
Baca: Mazmur 127:1-5
“Jikalau bukan Tuhan yang membangun rumah, sia-sialah usaha orang yang membangunnya;” Mazmur 127:1a
Secara umum dapat ditarik kesimpulan bahwa ada 3 hal yang dicari oleh semua orang di dunia ini, yaitu kebahagaiaan, keamanan dan kekayaan.
1. Kebahagiaan. Semua orang mendambakan kebahagiaan dalam hidup. Berbagai cara ditempuh untuk mendapatkan kebahagiaan. Orang berpikir kebahagiaan bisa didapat ketika punya uang, mobil, rumah mewah, istri cantik atau suami yang tampan. Kenyataannya banyak orang kaya hidupnya tidak bahagia dan merana, selebritis kawin-cerai karena perkawinannya tidak bahagia padahal mereka serba berkelimpahan. Ada juga yang mencari kebahagiaan dengan narkoba atau seks bebas. Adalah sia-sia bila kita mencari kebahagiaan di dunia ini karena kebahagiaan yang ditawarkan dunia adalah semu belaka. Salomo berkata, “Jikalau bukan Tuhan yang membangun rumah, sia-sialah usaha orang yang membangunnya.” Rumah melambangkan kebahagiaan, suatu tempat di mana kita merasa diterima dan dikasihi. Kita perlu membangun dan medasarkan kehidupan kita di dalam Tuhan. Itulah kunci memperoleh kebahagiaan.
2. Keamanan. Adakah tempat yang aman di dunia ini? Tidak ada! Perasaan aman dan damai ada di hati orang yang mempercayakan hidupnya kepada Tuhan. Rasa aman tidaklah ditentukan oleh sesuatu yang berada di luar kita, melainkan siapa yang ‘bertahta’ dalam hidup kita. Perihal rasa aman ini Salomo memiliki pengalaman: “Jikalau bukan Tuhan yang mengawal kita, sia-sialah pengawal berjaga-jaga.” (ayat 1b).
3. Kekayaan. Salomo adalah seorang raja yang sangat kaya, bahkan kekayaannya “...melebihi semua raja di bumi...” (1 Raja-Raja 10:23). Namun ia sadar bahwa kemampuan menikmati kekayaan dan menikmati hidup adalah karunia atau pemberian Tuhan. Adalah sia-sia bila kita memiliki kekayaan bilamana kita tidak dapat menikmatinya! (ayat 2a). Selalu ada rencanaNya di balik berkat yang Tuhan limpahkan atas hidup kita yaitu supaya kita juga menjadi berkat bagi orang lain. Tetapi jangan sampai kekayaan itu menjadi ‘ilah’ lain dalam hidup kita, sebaliknya “Muliakanlah Tuhan dengan hartamu...” (Amsal 3:9).
Kebahagiaan, rasa aman, berkat disediakan bagi orang yang mengandalkan Tuhan!
Wednesday, May 26, 2010
PENGHARAPAN PASTI DI DALAM TUHAN
- Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 26 Mei 2010 -
Baca: Roma 8:18-25
“Sebab kita diselamatkan dalam pengharapan.” Roma 8:24a
Semua orang pasti memiliki banyak keinginan dan juga harapan dalam hidupnya. Tak seorang pun mau menjalani hari-hari tanpa ada harapan yang hendak dicapai. Jika tanpa pengharapan orang akan menjalani hidupnya asal-asalan, monoton dan tanpa semangat.
Siapakah di antara kita yang tidak ingin menjadi orang yang sukses, mapan dan bermasa depan cerah? Itulah sebabnya kita mulai merancang/merencanakan segala sesuatunya sejak dini, agar apa yang kita harapkan menjadi kenyataan. Sebagai orangtua kita pasti memiliki pengharapan yang besar terhadap anak-anak kita: sukses dalam studi juga karir. Begitu juga bagi si lajang, ia memiliki harapan-harapan dalam hidupnya: pekerjaan yang mapan, punya rumah dan mobil, serta memiliki pasangan hidup sesuai yang diinginkan. Itu adalah gambaran pengharapan semua orang selama hidup di dunia ini, padahal kita tahu bahwa kehidupan di dunia ini hanyalah sementara (tidak kekal).
Maka dari itu adalah bijak bagi kita sebagai orang percaya untuk tidak menggantungkan pengharapan kepada hal-hal yang kelihatan, karena tidak ada satu hal pun yang bisa kita harapkan dan andalkan di dunia ini, “...sebab bagaimana orang masih mengharapkan apa yang dilihatnya? Tetapi jika kita mengharapkan apa yang tidak kita lihat, kita menantikannya dengan tekun.” (ayat 24b-25). Lalu kepada siapa kita menaruh pengharapan itu? Hanya satu saja yang bisa menjadi pengharapan kita yaitu pengharapan di dalam Yesus Kristus. Dia berkata, “Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan.” (Yohanes 10:10b). Jadi, “Jikalau kamu tinggal di dalam Aku dan firmanKu tinggal di dalam kamu, mintalah apa saja yang kamu kehendaki, dan kamu akan menerimanya.” (Yohanes 15:7).
Bila kita berharap kepada Yesus pengharapan itu tidak pernah mengecewakan (baca Roma 5:5), karena Dia tak pernah lalai menepati janjiNya! Dan saat kita menaruh pengharapan kita padaNya kita beroleh kekuatan dan semakin kokoh meski berada di tengah badai pencobaan, karena pengharapan itu seperti sauh yang kuat (baca Ibrani 6:19).
Jangan pernah sedikit pun melepaskan pengharapan kita kepada Tuhan, karena ada kemuliaan yang Ia sediakan (baca Efesus 1:18).
Baca: Roma 8:18-25
“Sebab kita diselamatkan dalam pengharapan.” Roma 8:24a
Semua orang pasti memiliki banyak keinginan dan juga harapan dalam hidupnya. Tak seorang pun mau menjalani hari-hari tanpa ada harapan yang hendak dicapai. Jika tanpa pengharapan orang akan menjalani hidupnya asal-asalan, monoton dan tanpa semangat.
Siapakah di antara kita yang tidak ingin menjadi orang yang sukses, mapan dan bermasa depan cerah? Itulah sebabnya kita mulai merancang/merencanakan segala sesuatunya sejak dini, agar apa yang kita harapkan menjadi kenyataan. Sebagai orangtua kita pasti memiliki pengharapan yang besar terhadap anak-anak kita: sukses dalam studi juga karir. Begitu juga bagi si lajang, ia memiliki harapan-harapan dalam hidupnya: pekerjaan yang mapan, punya rumah dan mobil, serta memiliki pasangan hidup sesuai yang diinginkan. Itu adalah gambaran pengharapan semua orang selama hidup di dunia ini, padahal kita tahu bahwa kehidupan di dunia ini hanyalah sementara (tidak kekal).
Maka dari itu adalah bijak bagi kita sebagai orang percaya untuk tidak menggantungkan pengharapan kepada hal-hal yang kelihatan, karena tidak ada satu hal pun yang bisa kita harapkan dan andalkan di dunia ini, “...sebab bagaimana orang masih mengharapkan apa yang dilihatnya? Tetapi jika kita mengharapkan apa yang tidak kita lihat, kita menantikannya dengan tekun.” (ayat 24b-25). Lalu kepada siapa kita menaruh pengharapan itu? Hanya satu saja yang bisa menjadi pengharapan kita yaitu pengharapan di dalam Yesus Kristus. Dia berkata, “Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan.” (Yohanes 10:10b). Jadi, “Jikalau kamu tinggal di dalam Aku dan firmanKu tinggal di dalam kamu, mintalah apa saja yang kamu kehendaki, dan kamu akan menerimanya.” (Yohanes 15:7).
Bila kita berharap kepada Yesus pengharapan itu tidak pernah mengecewakan (baca Roma 5:5), karena Dia tak pernah lalai menepati janjiNya! Dan saat kita menaruh pengharapan kita padaNya kita beroleh kekuatan dan semakin kokoh meski berada di tengah badai pencobaan, karena pengharapan itu seperti sauh yang kuat (baca Ibrani 6:19).
Jangan pernah sedikit pun melepaskan pengharapan kita kepada Tuhan, karena ada kemuliaan yang Ia sediakan (baca Efesus 1:18).
Tuesday, May 25, 2010
MEMBERI UNTUK MENJADI BERKAT
- Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 25 Mei 2010 -
Baca: 2 Korintus 8:1-15
“Sebab jika kamu rela untuk memberi, maka pemberianmu akan diterima, kalau pemberianmu itu berdasarkan apa yang ada padamu, bukan berdasarkan apa yang tidak ada padamu.” 2 Korintus 8:12
Memberi banyak sekali ragamnya, tapi pemberian yang berkenan di hati Tuhan adalah pemberian berdasarkan kerelaan, bukan karena keterpaksaan, apalagi ada motivasi terselubung di balik itu. Ada orang memberi dengan harapan diketahui orang lain sehingga ia beroleh pujian dan sebagainya.
Suatu ketika banyak orang berbondong-bondong mengikuti Yesus sampai jauh malam. Kira-kira ada lima ribu orang laki-laki tidak termasuk anak-anak dan wanita. Mereka pasti lapar; hari sudah larut malam, di manakah mereka bisa membeli roti? Tetapi “...ada seorang anak, yang mempunyai lima roti jelai dan dua ikan;” (Yohanes 6:9a). Umumnya anak-anak mempunyai hati polos dan bersih. Jika rela memberi dia pun akan memberi, sebaliknya jika dia sedang tidak ingin memberi, dengan terus terang dia tak memberi. Alkitab tidak mencatat bahwa anak itu keberatan atau menggerutu saat memberikan roti dan ikannya kepada murid-murid Yesus. Pasti ia rela hati menyerahkan perbekalannya walaupun hanya itu yang ia miliki. Ia pun tidak mengerti apa yang akan diperbuat Tuhan terhadap roti dan ikannya itu. Tetapi akhir kisah itu menceritakan roti dan ikan anak itu menjadi berkat ajaib bagi lima ribu orang lebih. Andai yang empunya roti dan ikan itu orang dewasa belum tentu ia rela menyerahkannya. Mungkin ia akan berkata, “Enak saja, ini kan perbekalanku sendiri. Untuk diri sendiri saja belum tentu cukup, masakan mau diminta dan dibagikan kepada orang lain? Apakah sudah gila?”
Di masa-masa sulit sekarang ini tidak mudah orang mau memberi atau membagi. Kebanyakan orang jadi egois dan kasihnya menjadi dingin. Ketika Tuhan meminta sesuatu dari kita, kita tak mengerti bahwa ketaatan kita itu akan membawa berkat bagi kita sendiri dan juga orang lain. Apabila kita rela memberikan apa yang kita miliki kepadaNya dan mempercayaiNya dengan iman yang tulus, Dia akan membuat milik kita menjadi berlimpah. Tuhan punya catatan secara rinci mengenai apa yang kita lakukan dengan setia dan taat, termasuk dalam hal memberi.
Karena itu, “Berilah dan kamu akan diberi...” (baca Lukas 6:38).
Baca: 2 Korintus 8:1-15
“Sebab jika kamu rela untuk memberi, maka pemberianmu akan diterima, kalau pemberianmu itu berdasarkan apa yang ada padamu, bukan berdasarkan apa yang tidak ada padamu.” 2 Korintus 8:12
Memberi banyak sekali ragamnya, tapi pemberian yang berkenan di hati Tuhan adalah pemberian berdasarkan kerelaan, bukan karena keterpaksaan, apalagi ada motivasi terselubung di balik itu. Ada orang memberi dengan harapan diketahui orang lain sehingga ia beroleh pujian dan sebagainya.
Suatu ketika banyak orang berbondong-bondong mengikuti Yesus sampai jauh malam. Kira-kira ada lima ribu orang laki-laki tidak termasuk anak-anak dan wanita. Mereka pasti lapar; hari sudah larut malam, di manakah mereka bisa membeli roti? Tetapi “...ada seorang anak, yang mempunyai lima roti jelai dan dua ikan;” (Yohanes 6:9a). Umumnya anak-anak mempunyai hati polos dan bersih. Jika rela memberi dia pun akan memberi, sebaliknya jika dia sedang tidak ingin memberi, dengan terus terang dia tak memberi. Alkitab tidak mencatat bahwa anak itu keberatan atau menggerutu saat memberikan roti dan ikannya kepada murid-murid Yesus. Pasti ia rela hati menyerahkan perbekalannya walaupun hanya itu yang ia miliki. Ia pun tidak mengerti apa yang akan diperbuat Tuhan terhadap roti dan ikannya itu. Tetapi akhir kisah itu menceritakan roti dan ikan anak itu menjadi berkat ajaib bagi lima ribu orang lebih. Andai yang empunya roti dan ikan itu orang dewasa belum tentu ia rela menyerahkannya. Mungkin ia akan berkata, “Enak saja, ini kan perbekalanku sendiri. Untuk diri sendiri saja belum tentu cukup, masakan mau diminta dan dibagikan kepada orang lain? Apakah sudah gila?”
Di masa-masa sulit sekarang ini tidak mudah orang mau memberi atau membagi. Kebanyakan orang jadi egois dan kasihnya menjadi dingin. Ketika Tuhan meminta sesuatu dari kita, kita tak mengerti bahwa ketaatan kita itu akan membawa berkat bagi kita sendiri dan juga orang lain. Apabila kita rela memberikan apa yang kita miliki kepadaNya dan mempercayaiNya dengan iman yang tulus, Dia akan membuat milik kita menjadi berlimpah. Tuhan punya catatan secara rinci mengenai apa yang kita lakukan dengan setia dan taat, termasuk dalam hal memberi.
Karena itu, “Berilah dan kamu akan diberi...” (baca Lukas 6:38).
Monday, May 24, 2010
SIAPA MASUK KERAJAAN SORGA?
- Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 24 Mei 2010 -
Baca: Matius 7:21-23
“Bukan setiap orang yang berseru kepadaKu: Tuhan, Tuhan! Akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak BapaKu di sorga.” Matius 7:21
Menjadi orang Kristen atau anggota jemaat gereja yang besar dan terkenal bukanlah jaminan seseorang masuk dalam Kerajaan Sorga, apabila syarat-syarat yang dikehendaki Tuhan tidak dikerjakannya, Dikatakan untuk dapat masuk dalam KerajaanNya yang kekal kita harus melakukan kehendak Bapa (menjadi pelaku firman), tidak cukup hanya dengan berseru: Tuhan, Tuhan! saja. Selain melakukan kehendak Bapa kita juga harus menantikan Dia yang akan datang kembali untuk menyatakan diriNya.
Simaklah firman ini: “demikian pula Kristus hanya satu kali saja mengorbankan diriNya untuk menanggung dosa banyak orang. Sesudah itu Ia akan menyatakan diriNya sekali lagi tanpa menanggung dosa untuk menganugerahkan keselamatan kepada mereka, yang menantikan Dia.” (Ibrani 9:28). Ayat ini berbicara mengenai kedatanganNya yang kedua kali untuk menganugerahkan keselamatan bagi orang yang setia menantikan Dia. Dalam menantikan Tuhan terkandung unsur berjaga-jaga, tekun dan setia. Jadi kesimpulannya, kerajaanNya disediakan bagi para pelaku firman dan yang setia menanti-nantikan Tuhan.
Agar bisa melakukan kehendak Bapa dan menantikan kedatanganNya kita harus mengadakan pemisahan hidup dengan dunia ini. FirmanNya keras berkata: “Keluarlah kamu dari antara mereka, dan pisahkanlah dirimu dari mereka, firman Tuhan, dan janganlah menjamah apa yang najis, maka Aku akan menerima kamu.” (2 Korintus 6:17). Memisahkan diri dari dunia bukan berarti mengadakan permusuhan dengan orang-orang ‘di luar’ Tuhan, tetapi memmisahkan diri dari pola hidup dunia sehingga hidup kita benar-benar berbeda dari orang dunia. Ada orang Kristen yang hidup mengabdi kepada Kristus dan juga dunia secara bersamaan. Berkata mengasihi Tuhan tapi juga masih mengasihi dunia! Tuhan berkata, “...karena engkau suam-suam kuku, dan tidak dingin atau panas, Aku memuntahkan engkau dari mulutKu.” (Wahyu 3:16).
Untuk dapat mewarisi Kerajaan Sorga kita harus mengabdi kepada Kristus dengan sepenuh hati, serta hidup di dalam ketaatan sampai akhir!
Baca: Matius 7:21-23
“Bukan setiap orang yang berseru kepadaKu: Tuhan, Tuhan! Akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak BapaKu di sorga.” Matius 7:21
Menjadi orang Kristen atau anggota jemaat gereja yang besar dan terkenal bukanlah jaminan seseorang masuk dalam Kerajaan Sorga, apabila syarat-syarat yang dikehendaki Tuhan tidak dikerjakannya, Dikatakan untuk dapat masuk dalam KerajaanNya yang kekal kita harus melakukan kehendak Bapa (menjadi pelaku firman), tidak cukup hanya dengan berseru: Tuhan, Tuhan! saja. Selain melakukan kehendak Bapa kita juga harus menantikan Dia yang akan datang kembali untuk menyatakan diriNya.
Simaklah firman ini: “demikian pula Kristus hanya satu kali saja mengorbankan diriNya untuk menanggung dosa banyak orang. Sesudah itu Ia akan menyatakan diriNya sekali lagi tanpa menanggung dosa untuk menganugerahkan keselamatan kepada mereka, yang menantikan Dia.” (Ibrani 9:28). Ayat ini berbicara mengenai kedatanganNya yang kedua kali untuk menganugerahkan keselamatan bagi orang yang setia menantikan Dia. Dalam menantikan Tuhan terkandung unsur berjaga-jaga, tekun dan setia. Jadi kesimpulannya, kerajaanNya disediakan bagi para pelaku firman dan yang setia menanti-nantikan Tuhan.
Agar bisa melakukan kehendak Bapa dan menantikan kedatanganNya kita harus mengadakan pemisahan hidup dengan dunia ini. FirmanNya keras berkata: “Keluarlah kamu dari antara mereka, dan pisahkanlah dirimu dari mereka, firman Tuhan, dan janganlah menjamah apa yang najis, maka Aku akan menerima kamu.” (2 Korintus 6:17). Memisahkan diri dari dunia bukan berarti mengadakan permusuhan dengan orang-orang ‘di luar’ Tuhan, tetapi memmisahkan diri dari pola hidup dunia sehingga hidup kita benar-benar berbeda dari orang dunia. Ada orang Kristen yang hidup mengabdi kepada Kristus dan juga dunia secara bersamaan. Berkata mengasihi Tuhan tapi juga masih mengasihi dunia! Tuhan berkata, “...karena engkau suam-suam kuku, dan tidak dingin atau panas, Aku memuntahkan engkau dari mulutKu.” (Wahyu 3:16).
Untuk dapat mewarisi Kerajaan Sorga kita harus mengabdi kepada Kristus dengan sepenuh hati, serta hidup di dalam ketaatan sampai akhir!
Sunday, May 23, 2010
PROSES PEMBENTUKAN TANAH HATI BARU
- Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 23 Mei 2010 -
Baca: Pengkotbah 3:1-15
“Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya.” Pengkotbah 3:1
Adalah perlu bagi orang percaya untuk bersungguh-sungguh memperhatikan dan merenungkan firman Tuhan setiap saat. Mengapa? Selain memang perintah Tuhan yang harus kita taati, hal itu juga dapat menolong kita sendiri di saat kita mengalami hal-hal yang tak menyenangkan. Jadi apabila hal-hal yang tidak mengenakkan terjadi dalam hidup kita, kita tidak lagi kecewa, frustasi dan menggerutu kepada Tuhan, sebab Alkitab sudah menyatakan dari semula bahwa “ada waktu untuk menangis, ada waktu untuk tertawa; ada waktu untuk meratap; ada waktu untuk menari;” (Pengkotbah 3:4).
Itulah sebabnya Tuhan memerintahkan bangsa Israel untuk membuka tanah baru: “Bukalah bagimu tanah baru, sebab sudah waktunya untuk mencari Tuhan, sampai Ia datang dan menghujani kamu dengan keadilan.” (Hosea 10:12b). Membuka tanah baru berarti harus terlebih dahulu membajak, menggali dan kemudian mengairi tanah itu. Lalu kerikil dan bebatuan yang ada harus disingkirkan, sehingga tanah yang keras menjadi lunak dan siap untuk ditaburi benih. Juga segala rumput-rumput liar (ilalang) yang semula tumbuh harus dibabat habis dan dibakar.
Begitu juga kehidupan kita. Hal-hal yang tidak baik dan dapat merusak harus dibersihkan sampai tuntas sehingga ‘tanah’ hati kita benar-benar dalam kondisi yang baik. Segala sifat dan kebiasaan buruk harus ditinggalkan, diganti dengan sifat dan karakter Kristus. Jadi “ada waktu merombak, ada waktu untuk membangun;” (Pengkotbah 3:3b). Setelah tanah hati kita dibuka, tiba waktunya mencari Tuhan sampai Ia datang dan menghujani kita dengan keadilanNya. Ini membutuhkan ‘waktu’. Dalam masa-masa penantian inilah kita harus bersabar dan bertekun sampai Tuhan menggenapi janjiNya.
Sekarang ini bukan saatnya membuang-buang waktu dengan percuma untuk hal-hal yang tak berguna. Setiap detik, menit, jam dan hari dari kehidupan kita harus kita pergunakan secermat mungkin untuk mencari perkara-perkara sorgawi yang berguna bagi keselamatan jiwa kita dan sesama.
Ingin menikmati keadilan dan janji-janji Tuhan? “Pikirkanlah perkara yang di atas, bukan yang di bumi.” (Kolose 3:2).
Baca: Pengkotbah 3:1-15
“Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya.” Pengkotbah 3:1
Adalah perlu bagi orang percaya untuk bersungguh-sungguh memperhatikan dan merenungkan firman Tuhan setiap saat. Mengapa? Selain memang perintah Tuhan yang harus kita taati, hal itu juga dapat menolong kita sendiri di saat kita mengalami hal-hal yang tak menyenangkan. Jadi apabila hal-hal yang tidak mengenakkan terjadi dalam hidup kita, kita tidak lagi kecewa, frustasi dan menggerutu kepada Tuhan, sebab Alkitab sudah menyatakan dari semula bahwa “ada waktu untuk menangis, ada waktu untuk tertawa; ada waktu untuk meratap; ada waktu untuk menari;” (Pengkotbah 3:4).
Itulah sebabnya Tuhan memerintahkan bangsa Israel untuk membuka tanah baru: “Bukalah bagimu tanah baru, sebab sudah waktunya untuk mencari Tuhan, sampai Ia datang dan menghujani kamu dengan keadilan.” (Hosea 10:12b). Membuka tanah baru berarti harus terlebih dahulu membajak, menggali dan kemudian mengairi tanah itu. Lalu kerikil dan bebatuan yang ada harus disingkirkan, sehingga tanah yang keras menjadi lunak dan siap untuk ditaburi benih. Juga segala rumput-rumput liar (ilalang) yang semula tumbuh harus dibabat habis dan dibakar.
Begitu juga kehidupan kita. Hal-hal yang tidak baik dan dapat merusak harus dibersihkan sampai tuntas sehingga ‘tanah’ hati kita benar-benar dalam kondisi yang baik. Segala sifat dan kebiasaan buruk harus ditinggalkan, diganti dengan sifat dan karakter Kristus. Jadi “ada waktu merombak, ada waktu untuk membangun;” (Pengkotbah 3:3b). Setelah tanah hati kita dibuka, tiba waktunya mencari Tuhan sampai Ia datang dan menghujani kita dengan keadilanNya. Ini membutuhkan ‘waktu’. Dalam masa-masa penantian inilah kita harus bersabar dan bertekun sampai Tuhan menggenapi janjiNya.
Sekarang ini bukan saatnya membuang-buang waktu dengan percuma untuk hal-hal yang tak berguna. Setiap detik, menit, jam dan hari dari kehidupan kita harus kita pergunakan secermat mungkin untuk mencari perkara-perkara sorgawi yang berguna bagi keselamatan jiwa kita dan sesama.
Ingin menikmati keadilan dan janji-janji Tuhan? “Pikirkanlah perkara yang di atas, bukan yang di bumi.” (Kolose 3:2).
Saturday, May 22, 2010
SIAP MENGHADAPI KEMATIAN
- Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 22 Mei 2010 -
Baca: Ibrani 11:13-16
“Tetapi sekarang mereka (saksi-saksi iman – red.) merindukan tanah air yang lebih baik, yaitu satu tanah air sorgawi. Sebab itu Allah tidak malu disebut Allah mereka, karena Ia telah mempersiapkan sebuah kota bagi mereka.” Ibrani 11:16
Teknologi tingkat tinggi, peralatan dokter supercanggih, obat-obatan atau ramuan yang berkhasiat dan secerdas apa pun manusia tak ada yang mampu menahan, membatasi dan menghentikan manusia untuk tidak mengalami proses yang namanya kematian, yang dialami semua manusia tanpa kecuali, tidak mengenal profesi, jenis kelamin dan usia.
“Dan sama seperti manusia ditetapkan untuk mati hanya satu kali saja, dan sesudah itu dihakimi,” (Ibrani 9:27). Jika pada saatnya Tuhan memanggil ‘pulang’ tak seorang pun dapat mengelak. Apa pun yang kita miliki saat itu (uang, deposito, perhiasan, mobil, rumah mewah dan lainnya) akan kita tinggalkan. Ayub berkata, “Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil,...” (Ayub 1:21). Akibatnya banyak orang tidak siap dan mengalami ketakutan luar biasa saat harus menghadapi kematian. Tetapi bagi kita orang percaya, kematian bukanlah akhir dari segalanya, melainkan awal dari kehidupan yang baru. Paulus berkata, “...jika kemah tempat kediaman kita di bumi ini dibongkar, Allah telah menyediakan suatu tempat kediaman di sorga bagi kita, suatu tempat kediaman yang kekal, yang tidak dibuat oleh tangan manusia.” (2 Korintus 5:1). Tuhan sendiri juga menegaskan, “Di rumah BapaKu banyak tempat tinggal. Jika tidak demikian, tentu Aku mengatakannya kepadamu. Sebab Aku pergi ke situ untuk menyediakan tempat bagimu.” (Yohanes 14:2).
Jadi, yang paling penting bukan bagaimana caranya menghindari kematian itu, melainkan bagaimana agar ketika kematian itu menjemput kita, kita dalam kondisi sudah siap. Apa yang harus kita lakukan agar kita siap menghadapi kematian? Pertama, kita harus percaya di dalam hati dan mengaku dengan mulut bahwa Yesus adalah Tuhan (baca Roma 10:9-10). Kedua, kita harus hidup dalam pertobatan setiap hari, karena “Barangsiapa menjadi milik Kristus Yesus, ia telah menyalibkan daging dengan segala hawa nafsu dan keinginannya.” (Galatia 5:24).
Ada kehidupan baru setelah kematian, siapakah kita?
Baca: Ibrani 11:13-16
“Tetapi sekarang mereka (saksi-saksi iman – red.) merindukan tanah air yang lebih baik, yaitu satu tanah air sorgawi. Sebab itu Allah tidak malu disebut Allah mereka, karena Ia telah mempersiapkan sebuah kota bagi mereka.” Ibrani 11:16
Teknologi tingkat tinggi, peralatan dokter supercanggih, obat-obatan atau ramuan yang berkhasiat dan secerdas apa pun manusia tak ada yang mampu menahan, membatasi dan menghentikan manusia untuk tidak mengalami proses yang namanya kematian, yang dialami semua manusia tanpa kecuali, tidak mengenal profesi, jenis kelamin dan usia.
“Dan sama seperti manusia ditetapkan untuk mati hanya satu kali saja, dan sesudah itu dihakimi,” (Ibrani 9:27). Jika pada saatnya Tuhan memanggil ‘pulang’ tak seorang pun dapat mengelak. Apa pun yang kita miliki saat itu (uang, deposito, perhiasan, mobil, rumah mewah dan lainnya) akan kita tinggalkan. Ayub berkata, “Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil,...” (Ayub 1:21). Akibatnya banyak orang tidak siap dan mengalami ketakutan luar biasa saat harus menghadapi kematian. Tetapi bagi kita orang percaya, kematian bukanlah akhir dari segalanya, melainkan awal dari kehidupan yang baru. Paulus berkata, “...jika kemah tempat kediaman kita di bumi ini dibongkar, Allah telah menyediakan suatu tempat kediaman di sorga bagi kita, suatu tempat kediaman yang kekal, yang tidak dibuat oleh tangan manusia.” (2 Korintus 5:1). Tuhan sendiri juga menegaskan, “Di rumah BapaKu banyak tempat tinggal. Jika tidak demikian, tentu Aku mengatakannya kepadamu. Sebab Aku pergi ke situ untuk menyediakan tempat bagimu.” (Yohanes 14:2).
Jadi, yang paling penting bukan bagaimana caranya menghindari kematian itu, melainkan bagaimana agar ketika kematian itu menjemput kita, kita dalam kondisi sudah siap. Apa yang harus kita lakukan agar kita siap menghadapi kematian? Pertama, kita harus percaya di dalam hati dan mengaku dengan mulut bahwa Yesus adalah Tuhan (baca Roma 10:9-10). Kedua, kita harus hidup dalam pertobatan setiap hari, karena “Barangsiapa menjadi milik Kristus Yesus, ia telah menyalibkan daging dengan segala hawa nafsu dan keinginannya.” (Galatia 5:24).
Ada kehidupan baru setelah kematian, siapakah kita?
Friday, May 21, 2010
TUHAN YANG MENYERTAI KITA
- Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 21 Mei 2010 -
Baca: 2 Tawarikh 32:1-23
“ ‘Yang menyertai dia (raja Asyur – red.) adalah tangan manusia, tetapi yang menyertai kita adalah Tuhan, Allah kita, yang membantu kita dan melakukan peperangan kita.’ Oleh kata-kata Hizkia, raja Yehuda itu, rakyat mendapat kepercayaannya kembali.” 2 Tawarikh 32:8
Tidak semua pemimpin bisa menjadi panutan bagi pengikutnya. Seringkali pemimpin hanya mengumbar ucapan dan memaksa bawahannya agar mau mengikuti kehendaknya. Tetapi pemimpin yang benar selalu memberi teladan terlebih dahulu kepada pengikutnya, sehingga tanpa dipaksa pun para pengikutnya akan mengikuti jejaknya.
Hizkia adalah seorang pemimpin yang patut menjadi panutan. “Ia melakukan apa yang baik, apa yang jujur, dan apa yang benar di hadapan Tuhan, Allahnya. Dalam setiap usaha yang dimulainya untuk pelayanannya terhadap rumah Allah, dan untuk pelaksanaan Taurat dan perintah Allah, ia mencari Allahnya. Semuanya dilakukannya dengan segenap hati, sehingga segala usahanya berhasil.” (2 Tawarikh 31:20b-21). Namun orang yang setia dan benar di hadapan Tuhan bukan berarti terbebas dari masalah, justru acapkali ia harus mengalami proses demi proses dari Tuhan, baik itu penderitaan atau kesesakan. Hal ini juga dialami Hizkia “Setelah peristiwa yang menunjukkan kesetiaan Hizkia itu datanglah Sanherib, raja Asyur, menyerbu Yehuda. Ia mengepung kota-kota berkubu, dan berniat merebutnya.” (2 Tawarikh 32:1). Di tengah kesesakan yang dialami, Hizkia tidak tawar hati. Sesuai arti namaya, Allah itu kuat, Hizkia memiliki sikap hati yang benar menanggapi serangan dan kepungan musuh. Ia tidak mengeluh atau pun menggerutu kepada Tuhan, sebaliknya ia sangat yakin Tuhan bisa diandalkan. Karena itulah dia mampu memberi semangat dan menenangkan hati para tentaranya dengan perkataan iman, “Kuatkanlah dan teguhkanlah hatimu! Janganlah takut dan terkejut terhadap raja Asyur serta seluruh laskar yang menyertainya, karena yang menyertai kita lebih banyak dari pada yang menyertai dia.” (2 Tawarikh 32:7).
Kalau saja kita dapat bersikap seperti Hizkia dalam menghadapi ‘peperangan’ hidup ini, kemenangan pasti akan kita raih. Namun masih banyak orang Kristen yang jadi pecundang karena tidak mengandalkan Tuhan sepenuhnya.
Hizkia meraih kemenangan yang gilang-gemilang karena penyertaan Tuhan!
Baca: 2 Tawarikh 32:1-23
“ ‘Yang menyertai dia (raja Asyur – red.) adalah tangan manusia, tetapi yang menyertai kita adalah Tuhan, Allah kita, yang membantu kita dan melakukan peperangan kita.’ Oleh kata-kata Hizkia, raja Yehuda itu, rakyat mendapat kepercayaannya kembali.” 2 Tawarikh 32:8
Tidak semua pemimpin bisa menjadi panutan bagi pengikutnya. Seringkali pemimpin hanya mengumbar ucapan dan memaksa bawahannya agar mau mengikuti kehendaknya. Tetapi pemimpin yang benar selalu memberi teladan terlebih dahulu kepada pengikutnya, sehingga tanpa dipaksa pun para pengikutnya akan mengikuti jejaknya.
Hizkia adalah seorang pemimpin yang patut menjadi panutan. “Ia melakukan apa yang baik, apa yang jujur, dan apa yang benar di hadapan Tuhan, Allahnya. Dalam setiap usaha yang dimulainya untuk pelayanannya terhadap rumah Allah, dan untuk pelaksanaan Taurat dan perintah Allah, ia mencari Allahnya. Semuanya dilakukannya dengan segenap hati, sehingga segala usahanya berhasil.” (2 Tawarikh 31:20b-21). Namun orang yang setia dan benar di hadapan Tuhan bukan berarti terbebas dari masalah, justru acapkali ia harus mengalami proses demi proses dari Tuhan, baik itu penderitaan atau kesesakan. Hal ini juga dialami Hizkia “Setelah peristiwa yang menunjukkan kesetiaan Hizkia itu datanglah Sanherib, raja Asyur, menyerbu Yehuda. Ia mengepung kota-kota berkubu, dan berniat merebutnya.” (2 Tawarikh 32:1). Di tengah kesesakan yang dialami, Hizkia tidak tawar hati. Sesuai arti namaya, Allah itu kuat, Hizkia memiliki sikap hati yang benar menanggapi serangan dan kepungan musuh. Ia tidak mengeluh atau pun menggerutu kepada Tuhan, sebaliknya ia sangat yakin Tuhan bisa diandalkan. Karena itulah dia mampu memberi semangat dan menenangkan hati para tentaranya dengan perkataan iman, “Kuatkanlah dan teguhkanlah hatimu! Janganlah takut dan terkejut terhadap raja Asyur serta seluruh laskar yang menyertainya, karena yang menyertai kita lebih banyak dari pada yang menyertai dia.” (2 Tawarikh 32:7).
Kalau saja kita dapat bersikap seperti Hizkia dalam menghadapi ‘peperangan’ hidup ini, kemenangan pasti akan kita raih. Namun masih banyak orang Kristen yang jadi pecundang karena tidak mengandalkan Tuhan sepenuhnya.
Hizkia meraih kemenangan yang gilang-gemilang karena penyertaan Tuhan!
Thursday, May 20, 2010
MAKIN TUA MAKIN MEMPERHATIKAN HAL ROHANI
- Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 20 Mei 2010 -
Baca: Amsal 16:20-33
“Rambut putih adalah mahkota yang indah, yang didapat pada jalan kebenaran.” Amsal 16:31
Banyak orang menjadi gelisah, panik dan takut ketika menghadapi kenyataan dirinya sudah menjadi tua. Seperti istilah ‘sudah tua’ menjadi momok bagi banyak orang. Mereka menganggap usia adalah sesuatu yang negatif. Oleh karenanya berbagai upaya ditempuh untuk mempertahankan kemudaannya. Ada yang melakukan operasi plastik atau tubuh dipermak di sana-sini; berapa pun biaya yang harus dikeluarkan tidak jadi masalah asal keinginannya terwujud dan memuaskan.
Mengapa harus takut ketika usia kita semakin tua? Padahal Alkitab menyatakan: “Hiasan orang muda ialah kekuatannya, dan keindahan orang tua ialah uban.” (Amsal 20:29). Usia tua dapat menjadi masa yang menyenangkan dari hidup ini, terlebih bagi kita yang telah menemukan ‘jalan sejati’ dan kepuasan batin karena kasih dan persekutuan yang karib dengan Allah Bapa melalui iman kepada PutraNya, Yesus Kristus. Bagi kita yang telah ‘ditagkap’ oleh Kristus, usia senja kita dapat lebih tepat disebut sebagai masa keemasan. Mengapa bisa demikian? Sebab kita telah memasuki masa tenang bersama Kristus, dan telah banyak memperoleh hikmat melalui pengalaman pahit dan manis dari kehidupan ini sebagai proses pembentukan dari Tuhan. Jadi di usia tua ini tidak seharusnya seseorang menjadi lemah, sebaliknya semakin hari justru harus semakin kuat di dalam roh. Hal ini dialami Paulus sehingga ia dapat berkata, “Sebab itu kami tidak tawar hati, tetapi meskipun manusia lahiriah kami semakin merosot, namun manusia batiniah kami dibaharui dari sehari ke sehari. Sebab penderitaan ringan yang sekarang ini, mengerjakan bagi kami kemuliaan kekal yang melebihi segala-galanya, jauh lebih besar dari pada penderitaan kami. Sebab kami tidak memperhatikan yang kelihatan, melainkan yang tak kelihatan, karena yang kelihatan adalah sementara, sedangkan yang tak kelihatan adalah kekal.” (2 Korintus 4:16-18).
Jadi di usia yang semakin tua seharusnya kita tidak lagi terlalu memperhatikan hal-hal lahiriah, tetapi semakin memperhatikan keadaan batin atau kerohanian kita.
Perhatikanlah: “Kamu telah mulai dengan Roh, maukah kamu sekarang mengakhirinya di dalam daging?” Galatia 3:3b
Baca: Amsal 16:20-33
“Rambut putih adalah mahkota yang indah, yang didapat pada jalan kebenaran.” Amsal 16:31
Banyak orang menjadi gelisah, panik dan takut ketika menghadapi kenyataan dirinya sudah menjadi tua. Seperti istilah ‘sudah tua’ menjadi momok bagi banyak orang. Mereka menganggap usia adalah sesuatu yang negatif. Oleh karenanya berbagai upaya ditempuh untuk mempertahankan kemudaannya. Ada yang melakukan operasi plastik atau tubuh dipermak di sana-sini; berapa pun biaya yang harus dikeluarkan tidak jadi masalah asal keinginannya terwujud dan memuaskan.
Mengapa harus takut ketika usia kita semakin tua? Padahal Alkitab menyatakan: “Hiasan orang muda ialah kekuatannya, dan keindahan orang tua ialah uban.” (Amsal 20:29). Usia tua dapat menjadi masa yang menyenangkan dari hidup ini, terlebih bagi kita yang telah menemukan ‘jalan sejati’ dan kepuasan batin karena kasih dan persekutuan yang karib dengan Allah Bapa melalui iman kepada PutraNya, Yesus Kristus. Bagi kita yang telah ‘ditagkap’ oleh Kristus, usia senja kita dapat lebih tepat disebut sebagai masa keemasan. Mengapa bisa demikian? Sebab kita telah memasuki masa tenang bersama Kristus, dan telah banyak memperoleh hikmat melalui pengalaman pahit dan manis dari kehidupan ini sebagai proses pembentukan dari Tuhan. Jadi di usia tua ini tidak seharusnya seseorang menjadi lemah, sebaliknya semakin hari justru harus semakin kuat di dalam roh. Hal ini dialami Paulus sehingga ia dapat berkata, “Sebab itu kami tidak tawar hati, tetapi meskipun manusia lahiriah kami semakin merosot, namun manusia batiniah kami dibaharui dari sehari ke sehari. Sebab penderitaan ringan yang sekarang ini, mengerjakan bagi kami kemuliaan kekal yang melebihi segala-galanya, jauh lebih besar dari pada penderitaan kami. Sebab kami tidak memperhatikan yang kelihatan, melainkan yang tak kelihatan, karena yang kelihatan adalah sementara, sedangkan yang tak kelihatan adalah kekal.” (2 Korintus 4:16-18).
Jadi di usia yang semakin tua seharusnya kita tidak lagi terlalu memperhatikan hal-hal lahiriah, tetapi semakin memperhatikan keadaan batin atau kerohanian kita.
Perhatikanlah: “Kamu telah mulai dengan Roh, maukah kamu sekarang mengakhirinya di dalam daging?” Galatia 3:3b
Wednesday, May 19, 2010
PUASA SANGGUP MENGUBAH
- Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 19 Mei 2010 -
Baca: Yoel 2:12-17
“...berbaliklah kepadaKu dengan segenap hatimu, dengan berpuasa, dengan menangis dan dengan mengaduh.” Yoel 2:12
Puasa yang benar sangat besar kuasanya. Puasa yang benar menggerakkan tangan Tuhan untuk bertindak sehingga segala perkara dapat terjadi, dari yang tidak mungkin menjadi sangat mungkin; dan dari hal yang mustahil menjadi ya dan amin.
Mari kita pelajari lebih teliti Yoel 1:1-20, yang mengisahkan keadaan orang Israel waktu itu yang sangat memprihatinkan. Secara manusia tidak ada lagi alasan untuk berharap, sampai-sampai “Para petani menjadi malu, tukang-tukang kebun anggur meratap karena gandum dan karena jelai, sebab sudah musnah panen ladang. Pohon anggur sudah kering dan pohon ara sudah merana; pohon delima, juga pohon korma dan pohon apel, segala pohon di padang sudah mengering. Sungguh, kegirangan melayu dari antara anak-anak manusia.” (Yoel 1:11-12). Bisa kita bayangkan betapa hebat penderitaan yang mereka alami. Hasil ladang mereka musnah. Tiada jalan lain selain datang dan berseru-seru kepada Tuhan memohon belas kasihanNya, dan inilah jalan untuk dapat dipulihkan, yaitu berpuasa dengan sungguh. “Adakanlah puasa yang kudus, maklumkanlah perkumpulan raya; kumpulkanlah para tua-tua dan seluruh penduduk negeri ke rumah Tuhan, Allahmu, dan berteriaklah kepada Tuhan.” (Yoel 1:14).
Bila mengalami sakit-penyakit yang begitu berat, keluarga hancur, gagal dalam bisnis dan studi yang secara manusia sudah tidak ada jalan atau menemui jalan buntu, jangan sekali-kali menyerah pada keadaan dan tawar hati! Selalu ada jalan dalam Tuhan. Hal pertama yang harus kita lakukan adalah mengoreksi diri, adakah hal-hal yang tidak berkenan dalam kehidupan kita. Tuhan menghendaki kita merendahkan diri dan berpuasa kudus agar kita berbalik padaNya. “...berbaliklah kepadaKu dengan segenap hatimu, dengan berpuasa, dengan menangis dan dengan mengaduh.” Menangis dan mengaduh mempunyai arti bertobat dengan penuh penyesalan atas segala dosa dan kesalahan yang telah kita perbuat. Jadi kita tidak hanya asal berpuasa, atau berpuasa tetapi dengan maksud yang tidak benar (agar dipuji orang atau karena kebiasaan saja).
Puasa yang disertai dengan pertobatan yang sungguh benar-benar membawa pemulihan bagi bangsa Israel (baca Yoel 2:23-27).
Baca: Yoel 2:12-17
“...berbaliklah kepadaKu dengan segenap hatimu, dengan berpuasa, dengan menangis dan dengan mengaduh.” Yoel 2:12
Puasa yang benar sangat besar kuasanya. Puasa yang benar menggerakkan tangan Tuhan untuk bertindak sehingga segala perkara dapat terjadi, dari yang tidak mungkin menjadi sangat mungkin; dan dari hal yang mustahil menjadi ya dan amin.
Mari kita pelajari lebih teliti Yoel 1:1-20, yang mengisahkan keadaan orang Israel waktu itu yang sangat memprihatinkan. Secara manusia tidak ada lagi alasan untuk berharap, sampai-sampai “Para petani menjadi malu, tukang-tukang kebun anggur meratap karena gandum dan karena jelai, sebab sudah musnah panen ladang. Pohon anggur sudah kering dan pohon ara sudah merana; pohon delima, juga pohon korma dan pohon apel, segala pohon di padang sudah mengering. Sungguh, kegirangan melayu dari antara anak-anak manusia.” (Yoel 1:11-12). Bisa kita bayangkan betapa hebat penderitaan yang mereka alami. Hasil ladang mereka musnah. Tiada jalan lain selain datang dan berseru-seru kepada Tuhan memohon belas kasihanNya, dan inilah jalan untuk dapat dipulihkan, yaitu berpuasa dengan sungguh. “Adakanlah puasa yang kudus, maklumkanlah perkumpulan raya; kumpulkanlah para tua-tua dan seluruh penduduk negeri ke rumah Tuhan, Allahmu, dan berteriaklah kepada Tuhan.” (Yoel 1:14).
Bila mengalami sakit-penyakit yang begitu berat, keluarga hancur, gagal dalam bisnis dan studi yang secara manusia sudah tidak ada jalan atau menemui jalan buntu, jangan sekali-kali menyerah pada keadaan dan tawar hati! Selalu ada jalan dalam Tuhan. Hal pertama yang harus kita lakukan adalah mengoreksi diri, adakah hal-hal yang tidak berkenan dalam kehidupan kita. Tuhan menghendaki kita merendahkan diri dan berpuasa kudus agar kita berbalik padaNya. “...berbaliklah kepadaKu dengan segenap hatimu, dengan berpuasa, dengan menangis dan dengan mengaduh.” Menangis dan mengaduh mempunyai arti bertobat dengan penuh penyesalan atas segala dosa dan kesalahan yang telah kita perbuat. Jadi kita tidak hanya asal berpuasa, atau berpuasa tetapi dengan maksud yang tidak benar (agar dipuji orang atau karena kebiasaan saja).
Puasa yang disertai dengan pertobatan yang sungguh benar-benar membawa pemulihan bagi bangsa Israel (baca Yoel 2:23-27).
Tuesday, May 18, 2010
MERENDAHKAN DIRI DI HADAPAN TUHAN
- Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 18 Mei 2010 -
Baca: Ezra 8:21-36
“Kemudian di sana, di tepi sungai Ahawa itu, aku memaklumkan puasa supaya kami merendahkan diri di hadapan Allah kami dan memohon kepadaNya jalan yang aman bagi kami, bagi anak2anak kami dan segala harta benda kami.” Ezra 8:21
Puasa sering dilakukan banyak orang Kristen, terutama ketika berada dalam kesesakan dan masalah yang berat. Tetapi tidak sedikit orang yang kurang mengerti arti puasa yang sesungguhnya. Bahkan ada orang yang berpuasa, tidak makan dan minum, karena ingin menguruskan badan atau diet.
Tujuan berpuasa sesungguhnya adalah untuk perkara-perkara rohani, terutama sekali adalah untuk merendahkan diri di hadapan Tuhan. FirmanNya berkata, “Karena itu, rendahkanlah dirimu di bawah tangan Tuhan yang kuat, supaya kamu ditinggikanNya pada waktunya.” (1 Petrus 5:6). Salah satu contoh puasa untuk merendahkan diri di hadapan Tuhan adalah seperti firman yang kita baca hari ini, ketika Ezra hendak mempersiapkan diri memimpin rombongan orang Israel kembali ke Yerusalem setelah ditawan Babilon. Mereka harus menempuh perjalanan yang sangat jauh dan tidak mudah, banyak sekali bahaya yang menghadang dan juga serangan musuh. Mereka sangat membutuhkan pertolongan. Ezra diperhadapkan pada dua pilihan yaitu meminta pertolongan manusia atau mempercayakan diri pada kuasa Tuhan sepenuhnya. Ezra memilih berlindung dan mencari pertolongan kepada Tuhan saja. Lalu ia memaklumkan puasa kepada orang-orang Israel dan agar merendahkan diri di hadapan Tuhan, katanya, “...aku malu meminta tentara dan orang-orang berkuda kepada raja untuk mengawal kami terhadap musuh di jalan; sebab kami telah berkata kepada raja, demikian: ‘Tangan Allah kami melindungi semua orang yang mencari Dia demi keselamatan mereka, tetapi kuasa murkaNya menimpa semua orang yang meninggalkan Dia.’ Jadi berpuasalah kami dan memohonkan hal itu kepada Allah dan Allah mengabulkan permohonan kami,” (Ezra 8:22-23).
Ezra tidak bertindak dengan akalnya sendiri atau bersandar pada kekuatan manusia/raja, tapi lebih mengandalkan Tuhan. Berarti ia merendahkan diri di hadapan Tuhan dan mengakui bahwa Tuhanlah yang lebih tahu akan apa yang ia perlukan.
Puasa yang didasari kerendahan hati pasti memperoleh jawaban dari Tuhan!
Baca: Ezra 8:21-36
“Kemudian di sana, di tepi sungai Ahawa itu, aku memaklumkan puasa supaya kami merendahkan diri di hadapan Allah kami dan memohon kepadaNya jalan yang aman bagi kami, bagi anak2anak kami dan segala harta benda kami.” Ezra 8:21
Puasa sering dilakukan banyak orang Kristen, terutama ketika berada dalam kesesakan dan masalah yang berat. Tetapi tidak sedikit orang yang kurang mengerti arti puasa yang sesungguhnya. Bahkan ada orang yang berpuasa, tidak makan dan minum, karena ingin menguruskan badan atau diet.
Tujuan berpuasa sesungguhnya adalah untuk perkara-perkara rohani, terutama sekali adalah untuk merendahkan diri di hadapan Tuhan. FirmanNya berkata, “Karena itu, rendahkanlah dirimu di bawah tangan Tuhan yang kuat, supaya kamu ditinggikanNya pada waktunya.” (1 Petrus 5:6). Salah satu contoh puasa untuk merendahkan diri di hadapan Tuhan adalah seperti firman yang kita baca hari ini, ketika Ezra hendak mempersiapkan diri memimpin rombongan orang Israel kembali ke Yerusalem setelah ditawan Babilon. Mereka harus menempuh perjalanan yang sangat jauh dan tidak mudah, banyak sekali bahaya yang menghadang dan juga serangan musuh. Mereka sangat membutuhkan pertolongan. Ezra diperhadapkan pada dua pilihan yaitu meminta pertolongan manusia atau mempercayakan diri pada kuasa Tuhan sepenuhnya. Ezra memilih berlindung dan mencari pertolongan kepada Tuhan saja. Lalu ia memaklumkan puasa kepada orang-orang Israel dan agar merendahkan diri di hadapan Tuhan, katanya, “...aku malu meminta tentara dan orang-orang berkuda kepada raja untuk mengawal kami terhadap musuh di jalan; sebab kami telah berkata kepada raja, demikian: ‘Tangan Allah kami melindungi semua orang yang mencari Dia demi keselamatan mereka, tetapi kuasa murkaNya menimpa semua orang yang meninggalkan Dia.’ Jadi berpuasalah kami dan memohonkan hal itu kepada Allah dan Allah mengabulkan permohonan kami,” (Ezra 8:22-23).
Ezra tidak bertindak dengan akalnya sendiri atau bersandar pada kekuatan manusia/raja, tapi lebih mengandalkan Tuhan. Berarti ia merendahkan diri di hadapan Tuhan dan mengakui bahwa Tuhanlah yang lebih tahu akan apa yang ia perlukan.
Puasa yang didasari kerendahan hati pasti memperoleh jawaban dari Tuhan!
Monday, May 17, 2010
DI ATAS BATU KARANG YANG TEGUH
- Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 17 Mei 2010 -
Baca: Matius 16:13-20
“Dan Akupun berkata kepadamu: Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaatKu dan alam maut tidak akan menguasainya.” Matius 16:18
Kita patut bersyukur karena saat ini banyak gedung gereja dibangun, mulai dari gereja yang besar dan megah sampai gereja sederhana yang ada di kampung-kampung atau pelosok. Namun sebelum kita membangun sebuah gedung gereja dalah penting bagi kita menyimak pertanyaan Tuhan: “Langit adalah takhtaKu dan bumi adalah tumpuan kakiKu; rumah apakah yang akan kamu dirikan bagiKu, dan tempat apakah yang akan menjadi perhentianKu?” (Yesaya 66:1).
Gedung gereja secara fisik adalah tempat berkumpulnya jemaat Tuhan untuk berbakti dan beribadah kepada Tuhan. Kumpulan jemaat inilah yang dimaksud Tuhan sebagai ‘gerejaNya’. Tuhan tidak mengingini rumah yang fana, yang hanya bertahan dalam kurun waktu tertentu, tetapi Dia ingin membangun rumah abadi, yang dibangun di atas fondasi yang kuat dan teguh, yang disediakan oleh Kristus sendiri sebagaimana dikatakanNya kepada Petrus: “...Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku mendirikan jemaatKu dan alam maut tidak akan menguasainya.”
Tuhan berkata Ia mendirikan ‘jemaatNya’ di atas batu karang. Adapun batu karang yang dimaksud adalah gambaran diriNya sendiri, yang disalibkan, mati lalu bangkit, kemudian naik ke sorga kembali kepada Allah Bapa. Jadi setiap ‘gereja’ harus didirikan di atas pengorbanan Kristus di kayu salib dengan cucuran darah. Tanpa dasar yang kuat ini ‘gereja’ sia-sia dan tak berarti sama sekali. ‘Gereja’ alias jemaat harus benar-benar menghargai curahan darah Kristus yang telah menebusnya. “Sebab kamu tahu, bahwa kamu telah ditebus dari cara hidupmu yang sia-sia kamu warisi dari nenek moyangmu itu bukan dengan barang yang fana, bukan pula dengan perak atau emas, melainkan dengan darah yang mahal, yaitu darah Kristus, yang sama seperti darah anak domba yang tak bernoda dan tak bercacat.” (1 Petrus 1:18-19). Gedung gereja secara prinsip harus didirikan di atas ‘Batu Karang Kristus’. Bila didirikan di atas motivasi lain (agar “wah” atau mencari nama) maka tak beda dengan gedung-gedung biasa.
Tanpa Roh Tuhan, ‘gereja’ tidak akan menghasilkan kuasa, jemaat pun tak mengalami apa-apa!
Baca: Matius 16:13-20
“Dan Akupun berkata kepadamu: Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaatKu dan alam maut tidak akan menguasainya.” Matius 16:18
Kita patut bersyukur karena saat ini banyak gedung gereja dibangun, mulai dari gereja yang besar dan megah sampai gereja sederhana yang ada di kampung-kampung atau pelosok. Namun sebelum kita membangun sebuah gedung gereja dalah penting bagi kita menyimak pertanyaan Tuhan: “Langit adalah takhtaKu dan bumi adalah tumpuan kakiKu; rumah apakah yang akan kamu dirikan bagiKu, dan tempat apakah yang akan menjadi perhentianKu?” (Yesaya 66:1).
Gedung gereja secara fisik adalah tempat berkumpulnya jemaat Tuhan untuk berbakti dan beribadah kepada Tuhan. Kumpulan jemaat inilah yang dimaksud Tuhan sebagai ‘gerejaNya’. Tuhan tidak mengingini rumah yang fana, yang hanya bertahan dalam kurun waktu tertentu, tetapi Dia ingin membangun rumah abadi, yang dibangun di atas fondasi yang kuat dan teguh, yang disediakan oleh Kristus sendiri sebagaimana dikatakanNya kepada Petrus: “...Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku mendirikan jemaatKu dan alam maut tidak akan menguasainya.”
Tuhan berkata Ia mendirikan ‘jemaatNya’ di atas batu karang. Adapun batu karang yang dimaksud adalah gambaran diriNya sendiri, yang disalibkan, mati lalu bangkit, kemudian naik ke sorga kembali kepada Allah Bapa. Jadi setiap ‘gereja’ harus didirikan di atas pengorbanan Kristus di kayu salib dengan cucuran darah. Tanpa dasar yang kuat ini ‘gereja’ sia-sia dan tak berarti sama sekali. ‘Gereja’ alias jemaat harus benar-benar menghargai curahan darah Kristus yang telah menebusnya. “Sebab kamu tahu, bahwa kamu telah ditebus dari cara hidupmu yang sia-sia kamu warisi dari nenek moyangmu itu bukan dengan barang yang fana, bukan pula dengan perak atau emas, melainkan dengan darah yang mahal, yaitu darah Kristus, yang sama seperti darah anak domba yang tak bernoda dan tak bercacat.” (1 Petrus 1:18-19). Gedung gereja secara prinsip harus didirikan di atas ‘Batu Karang Kristus’. Bila didirikan di atas motivasi lain (agar “wah” atau mencari nama) maka tak beda dengan gedung-gedung biasa.
Tanpa Roh Tuhan, ‘gereja’ tidak akan menghasilkan kuasa, jemaat pun tak mengalami apa-apa!
Sunday, May 16, 2010
JANGAN TAKUT SAAT DALAM MASALAH
- Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 16 Mei 2010 -
Baca: 2 Tawarikh 20:14-22
“Dalam peperangan ini tidak usah kamu bertempur. Hai Yehuda dan Yerusalem, tinggallah berdiri di tempatmu, dan lihatlah bagaimana Tuhan memberikan kemenangan kepadamu. Janganlah kamu takut dan terkejut.” 2 Tawarikh 20:17a-c
Setting bacaan hari ini adalah bangsa Yehuda yang berada dalam situasi sangat sulit karena dikepung musuh-musuhnya (bani Moab dan Amon). Adalah manusiawi bila raja Yosafat mengalami ketakutan. Bukankah kita juga demikian? Takut dan panik saat terhimpit masalah berat. Dalam keadaan kritis ini Yosafat “...mengambil keputusan untuk mencari Tuhan. Ia menyerukan kepada seluruh Yehuda supaya berpuasa.” (ayat 3).
Langkah yang tepat telah diambil oleh raja Yosafat dan rakyatnya, yaitu datang dan mencari pertolongan kepada Tuhan. Akhirnya Tuhan memberikan pertolongan, bahkan firmanNya menegaskan: “Janganlah kamu takut dan terkejut karena laskar yang besar ini, sebab bukan kamu yang akan berperang melainkan Allah.” (ayat 15b). Bangsa Yehuda tidak harus mengangkat senjata dan bermandi peluh di medan pertempuran; mereka hanya menaikkan pujian bagi Tuhan dan bersorak-sorai. Hasilnya: musuh dikalahkan dengan cara Tuhan yang ajaib ini!
Pujian membawa perubahan! Saat dalam masalah, kunci rapat-rapat mulutmu dari segala keluh kesah dan persungutan, sebaliknya buka mulutmu untuk pujian pengagungan bagi Tuhan. Banyak orang Kristen kalah dalam ‘peperangan’ karena mereka sendiri yang berperang. Mereka berusaha menyelesaikan setiap masalah dengan kekuatannya sendiri, tidak lagi bersandar dan mengandalkan Tuhan. “Terkutuklah orang yang mengandalkan manusia, yang mengandalkan kekuatannya sendiri, dan yang hatinya mejauh dari pada Tuhan!” (Yeremia 17:5), sebaliknya: “Diberkatilah orang yang mengandalkan Tuhan, yang menaruh harapannya pada Tuhan.” (Yeremia 17:7).
Ketahuilah, salah satu kesukaan Tuhan adalah mendemonstrasikan kemenanganNya dalam hidup kita. Jika kita menghadapi situasi sulit dan mustahil tetaplah tenang menantikanNya. Ketika kita bersabar menunggu kita sedang melatih iman kita. Pada saat yang tepat Dia akan bertindak dengan cara-caraNya yang ajaib.
Kemenangan disediakan Tuhan dalam setiap segi kehidupan kita, asal kita percaya penuh kepadaNya.
Baca: 2 Tawarikh 20:14-22
“Dalam peperangan ini tidak usah kamu bertempur. Hai Yehuda dan Yerusalem, tinggallah berdiri di tempatmu, dan lihatlah bagaimana Tuhan memberikan kemenangan kepadamu. Janganlah kamu takut dan terkejut.” 2 Tawarikh 20:17a-c
Setting bacaan hari ini adalah bangsa Yehuda yang berada dalam situasi sangat sulit karena dikepung musuh-musuhnya (bani Moab dan Amon). Adalah manusiawi bila raja Yosafat mengalami ketakutan. Bukankah kita juga demikian? Takut dan panik saat terhimpit masalah berat. Dalam keadaan kritis ini Yosafat “...mengambil keputusan untuk mencari Tuhan. Ia menyerukan kepada seluruh Yehuda supaya berpuasa.” (ayat 3).
Langkah yang tepat telah diambil oleh raja Yosafat dan rakyatnya, yaitu datang dan mencari pertolongan kepada Tuhan. Akhirnya Tuhan memberikan pertolongan, bahkan firmanNya menegaskan: “Janganlah kamu takut dan terkejut karena laskar yang besar ini, sebab bukan kamu yang akan berperang melainkan Allah.” (ayat 15b). Bangsa Yehuda tidak harus mengangkat senjata dan bermandi peluh di medan pertempuran; mereka hanya menaikkan pujian bagi Tuhan dan bersorak-sorai. Hasilnya: musuh dikalahkan dengan cara Tuhan yang ajaib ini!
Pujian membawa perubahan! Saat dalam masalah, kunci rapat-rapat mulutmu dari segala keluh kesah dan persungutan, sebaliknya buka mulutmu untuk pujian pengagungan bagi Tuhan. Banyak orang Kristen kalah dalam ‘peperangan’ karena mereka sendiri yang berperang. Mereka berusaha menyelesaikan setiap masalah dengan kekuatannya sendiri, tidak lagi bersandar dan mengandalkan Tuhan. “Terkutuklah orang yang mengandalkan manusia, yang mengandalkan kekuatannya sendiri, dan yang hatinya mejauh dari pada Tuhan!” (Yeremia 17:5), sebaliknya: “Diberkatilah orang yang mengandalkan Tuhan, yang menaruh harapannya pada Tuhan.” (Yeremia 17:7).
Ketahuilah, salah satu kesukaan Tuhan adalah mendemonstrasikan kemenanganNya dalam hidup kita. Jika kita menghadapi situasi sulit dan mustahil tetaplah tenang menantikanNya. Ketika kita bersabar menunggu kita sedang melatih iman kita. Pada saat yang tepat Dia akan bertindak dengan cara-caraNya yang ajaib.
Kemenangan disediakan Tuhan dalam setiap segi kehidupan kita, asal kita percaya penuh kepadaNya.
Saturday, May 15, 2010
BUKAN ORANG HUKUMAN
- Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 15 Mei 2010 -
Baca: Roma 8:1-17
“Demikianlah sekarang tidak ada penghukuman bagi mereka yang ada di dalam Kristus Yesus.” Roma 8:1
Mengapa seseorang harus dihukum? Tentunya karena melakukan pelanggaran terhadap hukum seperti korupsi, membunuh, mencuri atau merampok. Siapa pun pasti tidak ada yang mau menjadi pesakitan atau orang hukuman. Menjadi orang hukuman itu benar-benar menderita! Tinggal di hotel prodeo yang pengap, berdesakan, tiadak ada kebebasan, menanggung malu, dan terkadang harus mengalami kekerasan fisik (aniaya).
Penderitaan lahir batin harus dialami oleh orang hukuman. Begitu juga setiap pelanggaran terhadap hukum-hukum Tuhan adalah dosa, dan “...upah dosa ialah maut;” (Roma 6:23a). “...sama seperti dosa telah masuk ke dalam dunia oleh satu orang, dan oleh dosa itu juga maut, demikianlah maut itu telah menjalar kepada semua orang, karena semua orang telah berbuat dosa.” (Roma 5:12). Jadi seesungguhnya kita adalah orang-orang hukuman yang harus menerima murka Allah. Namun ada kabar baik bagi kita! “...sekarang tidak ada penghukuman bagi mereka yang seharusnya kita tanggung telah ditanggung oleh Yesus Kristus. “Ia sendiri telah memikul dosa kita di dalam tubuhNya di kayu salib,...” (1Petrus 2:24) dan “...darah Yesus, AnakNya itu, menyucikan kita dari pada segala dosa.” (1 Yohanes 1:7).
Saat kita menerima Kristus sebagai Juruselamat, kasih karunia dan pengampunan Allah dicurahkan atas kita. Jadi jika kita menaruh iman pada darah Yesus seluruh dosa kita dibersihkan dengan sempurna. Kini belenggu dosa telah dipatahkan! Tidak ada penghukuman di dalam Yesus! Kita terbebas dari segala ketakutan. “Sebab kamu tidak menerima roh perbudakan yang membuat kamu menjadi takut lagi, tetapi kamu telah menerima Roh yang menjadikan kamu anak Allah.” (Roma 8:15a). Sebaliknya, penghukuman tetap berlaku bagi orang-orang yang tidak percaya dan menolak pengampunan yang diberikan Allah di dalam AnakNya, Yesus Kristus. Menyedihkan masih banyak orang yang tidak mau menerima keselamatan cuma-cuma melalui Kristus.
Tidak ingin dihukum? Percayalah kepada Yesus, karena tidak ada keselamatan selain di dalam Dia! (baca Kisah 4:12).
Baca: Roma 8:1-17
“Demikianlah sekarang tidak ada penghukuman bagi mereka yang ada di dalam Kristus Yesus.” Roma 8:1
Mengapa seseorang harus dihukum? Tentunya karena melakukan pelanggaran terhadap hukum seperti korupsi, membunuh, mencuri atau merampok. Siapa pun pasti tidak ada yang mau menjadi pesakitan atau orang hukuman. Menjadi orang hukuman itu benar-benar menderita! Tinggal di hotel prodeo yang pengap, berdesakan, tiadak ada kebebasan, menanggung malu, dan terkadang harus mengalami kekerasan fisik (aniaya).
Penderitaan lahir batin harus dialami oleh orang hukuman. Begitu juga setiap pelanggaran terhadap hukum-hukum Tuhan adalah dosa, dan “...upah dosa ialah maut;” (Roma 6:23a). “...sama seperti dosa telah masuk ke dalam dunia oleh satu orang, dan oleh dosa itu juga maut, demikianlah maut itu telah menjalar kepada semua orang, karena semua orang telah berbuat dosa.” (Roma 5:12). Jadi seesungguhnya kita adalah orang-orang hukuman yang harus menerima murka Allah. Namun ada kabar baik bagi kita! “...sekarang tidak ada penghukuman bagi mereka yang seharusnya kita tanggung telah ditanggung oleh Yesus Kristus. “Ia sendiri telah memikul dosa kita di dalam tubuhNya di kayu salib,...” (1Petrus 2:24) dan “...darah Yesus, AnakNya itu, menyucikan kita dari pada segala dosa.” (1 Yohanes 1:7).
Saat kita menerima Kristus sebagai Juruselamat, kasih karunia dan pengampunan Allah dicurahkan atas kita. Jadi jika kita menaruh iman pada darah Yesus seluruh dosa kita dibersihkan dengan sempurna. Kini belenggu dosa telah dipatahkan! Tidak ada penghukuman di dalam Yesus! Kita terbebas dari segala ketakutan. “Sebab kamu tidak menerima roh perbudakan yang membuat kamu menjadi takut lagi, tetapi kamu telah menerima Roh yang menjadikan kamu anak Allah.” (Roma 8:15a). Sebaliknya, penghukuman tetap berlaku bagi orang-orang yang tidak percaya dan menolak pengampunan yang diberikan Allah di dalam AnakNya, Yesus Kristus. Menyedihkan masih banyak orang yang tidak mau menerima keselamatan cuma-cuma melalui Kristus.
Tidak ingin dihukum? Percayalah kepada Yesus, karena tidak ada keselamatan selain di dalam Dia! (baca Kisah 4:12).
Friday, May 14, 2010
MEMILIKI HATI NURANI YANG MURNI
- Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 14 Mei 2010 -
Baca: 2 Korintus 1:12-24
“Inilah yang kami megahkan, yaitu bahwa suara hati kami memberi kesaksian kepada kami, bahwa hidup kami di dunia ini, khususnya dalam hubungan kami dengan kamu, dikuasai oleh ketulusan dan kemurnian dari Allah bukan oleh hikmat duniawi, tetapi oleh kekuatan kasih karunia Allah.” 2 Korintus 1:12
Ada kalimat mengatakan: “Tiada badai dan gelombang yang dahsyat, tiada nahkoda yang handal.” Masalah, penderitaan dan krisis yang terjadi akan menghasilkan manusia-manusia yang berkualitas. Contohnya Rasul Paulus, hamba Tuhan yang telah malang melintang dalam pelayanan pemberitaan Injil. Karena Injil Kristus Paulus harus menanggung penderitaan. “Beban yang ditanggungkan atas kami adalah begitu besar dan begitu berat, sehingga kami telah putus asa juga akan hidup kami. Bahkan kami merasa, seolah-olah kami telah dijatuhi hukuman mati.” (ayat 8b-9a). Betapa pun hebatnya karakter dan pelayanan Paulus, ia tetaplah manusia biasa seperti kita, yang pada fase tertentu, bisa saja mengalami kelemahan. Namun hal ini tidak sampai membuat Paulus patah arang dan melarikan diri dari pelayanan yang dipercayakan Tuhan.
Apa rahasia kemenangan Paulus sehingga ia tidak sampai tergeletak? Paulus, bukan hanya berhasil mengatasi kesulitan-kesulitan yang ada, melainkan juga masih bisa menolong dan memberi kekuatan kepada orang-orang yang dilayaninya. Luar biasa! Salah satu kuncinya adalah memiliki hati nurani yang murni! Hati nurani atau suara hati adalah kemampuan batin untuk mengetahui dengan roh kita, memberi persetujuan ketika kita berbuat benar, tetapi menuduh ketika kita berbuat salah. Paulus berkata, “Sebab itu aku senantiasa berusaha untuk hidup dengan hati nurani yang murni di hadapan Allah dan manusia.” (Kisah 24:16).
Seseorang yang memiliki suara hati atau hati nurani yang baik dan murni dipastikan akan memiliki integritas, tidak munafik (bermuka dua) dan dapat dipercaya. Itulah sebabnya rasul Paulus dengan bersungguh hati melakukan apa yang menjadi kehendak Tuhan. Motivasinya tulus yaitu hanya ingin menyenangkan hati Tuhan, bukan manusia.
Paulus telah membuktikan ia setia menjalani ia setia menjalankan Amanat Agung Tuhan. Ia tidak berubah sikap meski harus mengalami penderitaan!
Baca: 2 Korintus 1:12-24
“Inilah yang kami megahkan, yaitu bahwa suara hati kami memberi kesaksian kepada kami, bahwa hidup kami di dunia ini, khususnya dalam hubungan kami dengan kamu, dikuasai oleh ketulusan dan kemurnian dari Allah bukan oleh hikmat duniawi, tetapi oleh kekuatan kasih karunia Allah.” 2 Korintus 1:12
Ada kalimat mengatakan: “Tiada badai dan gelombang yang dahsyat, tiada nahkoda yang handal.” Masalah, penderitaan dan krisis yang terjadi akan menghasilkan manusia-manusia yang berkualitas. Contohnya Rasul Paulus, hamba Tuhan yang telah malang melintang dalam pelayanan pemberitaan Injil. Karena Injil Kristus Paulus harus menanggung penderitaan. “Beban yang ditanggungkan atas kami adalah begitu besar dan begitu berat, sehingga kami telah putus asa juga akan hidup kami. Bahkan kami merasa, seolah-olah kami telah dijatuhi hukuman mati.” (ayat 8b-9a). Betapa pun hebatnya karakter dan pelayanan Paulus, ia tetaplah manusia biasa seperti kita, yang pada fase tertentu, bisa saja mengalami kelemahan. Namun hal ini tidak sampai membuat Paulus patah arang dan melarikan diri dari pelayanan yang dipercayakan Tuhan.
Apa rahasia kemenangan Paulus sehingga ia tidak sampai tergeletak? Paulus, bukan hanya berhasil mengatasi kesulitan-kesulitan yang ada, melainkan juga masih bisa menolong dan memberi kekuatan kepada orang-orang yang dilayaninya. Luar biasa! Salah satu kuncinya adalah memiliki hati nurani yang murni! Hati nurani atau suara hati adalah kemampuan batin untuk mengetahui dengan roh kita, memberi persetujuan ketika kita berbuat benar, tetapi menuduh ketika kita berbuat salah. Paulus berkata, “Sebab itu aku senantiasa berusaha untuk hidup dengan hati nurani yang murni di hadapan Allah dan manusia.” (Kisah 24:16).
Seseorang yang memiliki suara hati atau hati nurani yang baik dan murni dipastikan akan memiliki integritas, tidak munafik (bermuka dua) dan dapat dipercaya. Itulah sebabnya rasul Paulus dengan bersungguh hati melakukan apa yang menjadi kehendak Tuhan. Motivasinya tulus yaitu hanya ingin menyenangkan hati Tuhan, bukan manusia.
Paulus telah membuktikan ia setia menjalani ia setia menjalankan Amanat Agung Tuhan. Ia tidak berubah sikap meski harus mengalami penderitaan!
Thursday, May 13, 2010
YESUS NAIK KE SORGA: Perintah Memberitakan Injil
- Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 13 Mei 2010 -
Baca: Yohanes 16:16-33
“Aku datang dari Bapa dan Aku datang ke dalam dunia; Aku meninggalkan dunia pula dan pergi kepada Bapa.” Yohanes 16:28
Kenaikan Tuhan Yesus ke sorga merupakan klimaks kehidupan Kristus di dunia. KehidupanNya, kematianNya, kebangkitanNya serta kenaikanNya semakin menegaskan KetuhananNya. 40 hari setelah bangkit Dia harus naik ke sorga. Ini membuktikan Dia adalah Tuhan dan Juruselamat yang diututs Bapa dan kembali kepada Bapa.
Dalam ayat nas jelas terkandung makna bahwa Yesus datang dari kekekalan dan kembali pada kekekalan. Setelah bangkit dari kematian Ia secara khusus menampakkan diri kepada kedua belas muridNya, dan sebelum Ia naik ke sorga Ia memerintahkan para murid untuk menunggu janji Bapa di Yerusalem agar mereka siap menjadi saksi Kristus (baca Kisah 1:12-14). Apa janji Bapa itu? Ialah seperti kata Yesus, “Aku akan minta kepada Bapa, dan Ia menyertai kamu selama-lamanya, yaitu Roh Kebenaran. Dunia tidak dapat menerima Dia, sebab dunia tidak melihat Dia dan tidak mengenal Dia. Tetapi kamu mengenal Dia, sebab Ia menyertai kamu dan akan diam di dalam kamu.” (Yohanes 14:16-17). Di dalam Alkitab kita menemukan ribuan janji, tapi hanya satu janji tentang Roh Kudus yang disebut janji dari Bapa. Allah Bapa telah berjanji bahwa Ia akan mencurahkan RohNya ke atas semua orang (baca Yehezkiel 36:25-27 dan Yoel 2:28-29).
Sebelum terangkat ke sorga Tuhan memberikan perintah kepada muridNya agar pergi memberitakan Injil dan menjadikan segala bangsa muridNya. Namun, pergi saja tidak cukup, mereka harus memiliki kuasa agar dapat menjadi saksi Kristus di dunia. Kuasa ini sangat penting karena kita akan menghadapi peperangan. Ingat, peperangan itu bukanlah melawan darah dan daging, melainkan melawan penghulu-penghulu di udara yaitu roh-roh jahat yang sekarang sedang bekerja di antara orang-orang durhaka. Tanpa kuasa dari Allah bagaimana kita dapat membebaskan orang lain yang masih berada di bawah kuasa si jahat? Kuasa itu Roh Kudus. Tanpa penyertaan Roh Kudus pelayanan apa pun yang kita lakukan tidak akan berdampak apa-apa bagi orang lain.
“Sesudah Tuhan Yesus berbicara demikian kepada mereka, terangkatlah Ia ke sorga, lalu duduk di sebelah kanan Allah.” Markus 16:19
Baca: Yohanes 16:16-33
“Aku datang dari Bapa dan Aku datang ke dalam dunia; Aku meninggalkan dunia pula dan pergi kepada Bapa.” Yohanes 16:28
Kenaikan Tuhan Yesus ke sorga merupakan klimaks kehidupan Kristus di dunia. KehidupanNya, kematianNya, kebangkitanNya serta kenaikanNya semakin menegaskan KetuhananNya. 40 hari setelah bangkit Dia harus naik ke sorga. Ini membuktikan Dia adalah Tuhan dan Juruselamat yang diututs Bapa dan kembali kepada Bapa.
Dalam ayat nas jelas terkandung makna bahwa Yesus datang dari kekekalan dan kembali pada kekekalan. Setelah bangkit dari kematian Ia secara khusus menampakkan diri kepada kedua belas muridNya, dan sebelum Ia naik ke sorga Ia memerintahkan para murid untuk menunggu janji Bapa di Yerusalem agar mereka siap menjadi saksi Kristus (baca Kisah 1:12-14). Apa janji Bapa itu? Ialah seperti kata Yesus, “Aku akan minta kepada Bapa, dan Ia menyertai kamu selama-lamanya, yaitu Roh Kebenaran. Dunia tidak dapat menerima Dia, sebab dunia tidak melihat Dia dan tidak mengenal Dia. Tetapi kamu mengenal Dia, sebab Ia menyertai kamu dan akan diam di dalam kamu.” (Yohanes 14:16-17). Di dalam Alkitab kita menemukan ribuan janji, tapi hanya satu janji tentang Roh Kudus yang disebut janji dari Bapa. Allah Bapa telah berjanji bahwa Ia akan mencurahkan RohNya ke atas semua orang (baca Yehezkiel 36:25-27 dan Yoel 2:28-29).
Sebelum terangkat ke sorga Tuhan memberikan perintah kepada muridNya agar pergi memberitakan Injil dan menjadikan segala bangsa muridNya. Namun, pergi saja tidak cukup, mereka harus memiliki kuasa agar dapat menjadi saksi Kristus di dunia. Kuasa ini sangat penting karena kita akan menghadapi peperangan. Ingat, peperangan itu bukanlah melawan darah dan daging, melainkan melawan penghulu-penghulu di udara yaitu roh-roh jahat yang sekarang sedang bekerja di antara orang-orang durhaka. Tanpa kuasa dari Allah bagaimana kita dapat membebaskan orang lain yang masih berada di bawah kuasa si jahat? Kuasa itu Roh Kudus. Tanpa penyertaan Roh Kudus pelayanan apa pun yang kita lakukan tidak akan berdampak apa-apa bagi orang lain.
“Sesudah Tuhan Yesus berbicara demikian kepada mereka, terangkatlah Ia ke sorga, lalu duduk di sebelah kanan Allah.” Markus 16:19
Wednesday, May 12, 2010
KEKESALAN HATI TUHAN
- Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 12 Mei 2010 -
Baca: Bilangan 14:1-19
“Berapa lami lagi bangsa ini menista Aku, dan berapa lami lagi mereka tidak mau percaya kepadaKu, sekalipun sudah ada segala tanda mujizat yang Kulakukan di tengah-tengah mereka!” Bilangan 14:11
Tidak selamanya kasih Tuhan menyenangkan, menyanjung, membelai kita. Adakalanya kasih Tuhan keras berupa teguran dan hajaran, namun semuanya mendatangkan kebaikan bagi kita. Itulah sebabnya Salomo menasihati, “Hai anakku, janganlah engkau menolak didikan Tuhan, dan janganlah engkau bosan akan peringatanNya.” (Amsal 3:11).
Perlukah kasih Tuhan yang ‘keras’ ini kita alami? Sangat perlu! Sebab bila kita tak pernah mengalami kasihNya yang keras berupa didikan, kita akan menjadi orang-orang Kristen yang manja, cengeng, mengasihi diri sendiri, selalu mengeluh, menggerutu dan tak mau menyadari kesalahan. Kasih Tuhan yang ‘keras’ ini merupakan proses untuk menguji dan membentuk kehidupan kita sebagai anak-anakNya. Tanpa kasih yang keras ini kita cenderung akan selalu melakukan hal-hal jahat dan memberontak kepada Tuhan, contohnya bangsa Israel. Di sepanjang perjalanan menuju Kanaan mereka tidak pernah berhenti mengeluh dan bersungut-sungut, padahal di setiap langkah hidup mereka, tapak demi tapak, Tuhan selalu menyatakan kebaikan dan pertolonganNya yang ajaib. Tetapi apa respon mereka? “Mengapakah Tuhan membawa kami ke negeri ini, supaya kami tewas oleh pedang, dan istri serta anak-anak kami menjadi tawanan? Bukankah lebih baik kami pulang ke Mesir?” (Bilangan 14:3). Mereka menganggap Tuhan berlaku tidak adil dan membuat mereka makin sengsara. Bahkan ketika Tuhan membawa mereka sampai ke Kadesy, di padang gurun Paran, mereka tetap tidak berhenti menista Tuhan padalah Kadesy adalah jalan masuk terdekat menuju Kanaan.
Hati Tuhan benar-benar kesal melihat pemberontakan mereka, akibatnya Ia memproses mereka dalam kurun waktu yang sangat lama yaitu 40 tahun di padang gurun, sehingga akhirnya mereka harus mengubur impiannya untuk dapat masuk ke Tanah Perjanjian. Hanya Kaleb dan Yosua, yang sepenuh hati percaya akan rencana Tuhan, dapat menikmati Kanaan.
Bila sedang dididik Tuhan jangan sekali-sekali memberontak, Dia tahu yang berbaik bagi kita.
Baca: Bilangan 14:1-19
“Berapa lami lagi bangsa ini menista Aku, dan berapa lami lagi mereka tidak mau percaya kepadaKu, sekalipun sudah ada segala tanda mujizat yang Kulakukan di tengah-tengah mereka!” Bilangan 14:11
Tidak selamanya kasih Tuhan menyenangkan, menyanjung, membelai kita. Adakalanya kasih Tuhan keras berupa teguran dan hajaran, namun semuanya mendatangkan kebaikan bagi kita. Itulah sebabnya Salomo menasihati, “Hai anakku, janganlah engkau menolak didikan Tuhan, dan janganlah engkau bosan akan peringatanNya.” (Amsal 3:11).
Perlukah kasih Tuhan yang ‘keras’ ini kita alami? Sangat perlu! Sebab bila kita tak pernah mengalami kasihNya yang keras berupa didikan, kita akan menjadi orang-orang Kristen yang manja, cengeng, mengasihi diri sendiri, selalu mengeluh, menggerutu dan tak mau menyadari kesalahan. Kasih Tuhan yang ‘keras’ ini merupakan proses untuk menguji dan membentuk kehidupan kita sebagai anak-anakNya. Tanpa kasih yang keras ini kita cenderung akan selalu melakukan hal-hal jahat dan memberontak kepada Tuhan, contohnya bangsa Israel. Di sepanjang perjalanan menuju Kanaan mereka tidak pernah berhenti mengeluh dan bersungut-sungut, padahal di setiap langkah hidup mereka, tapak demi tapak, Tuhan selalu menyatakan kebaikan dan pertolonganNya yang ajaib. Tetapi apa respon mereka? “Mengapakah Tuhan membawa kami ke negeri ini, supaya kami tewas oleh pedang, dan istri serta anak-anak kami menjadi tawanan? Bukankah lebih baik kami pulang ke Mesir?” (Bilangan 14:3). Mereka menganggap Tuhan berlaku tidak adil dan membuat mereka makin sengsara. Bahkan ketika Tuhan membawa mereka sampai ke Kadesy, di padang gurun Paran, mereka tetap tidak berhenti menista Tuhan padalah Kadesy adalah jalan masuk terdekat menuju Kanaan.
Hati Tuhan benar-benar kesal melihat pemberontakan mereka, akibatnya Ia memproses mereka dalam kurun waktu yang sangat lama yaitu 40 tahun di padang gurun, sehingga akhirnya mereka harus mengubur impiannya untuk dapat masuk ke Tanah Perjanjian. Hanya Kaleb dan Yosua, yang sepenuh hati percaya akan rencana Tuhan, dapat menikmati Kanaan.
Bila sedang dididik Tuhan jangan sekali-sekali memberontak, Dia tahu yang berbaik bagi kita.
Tuesday, May 11, 2010
BERKAT BAGI PELAYAN TUHAN
- Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 11 Mei 2010 -
Baca: Yosua 21:1:3
“Tuhan telah memerintahkan dengan perantaraan Musa, supaya diberikan kepada kami kota-kota untuk didiami dan tanah-tanah penggembalaannya untuk ternak kami.” Yosua 21:2
Bangsa Israel terdiri atas 12 suku yaitu: suku Ruben, suku Simeon, suku Yehuda, suku Isakhar, suku Zebulon, suku Efraim, suku Manasye, suku Benjamin, suku Dan, suku Asyer, suku Gad dan suku Naftali. Ketika mencapai Tanah perjanjian masing-masing suku memperoleh tanah warisan, kecuali suku Lewi. Jadi satu-satunya suku dari dua belas suku di Israel yang tidak memperoleh tanah warisan adalah suku Lewi. Mengapa? Tuhan berfirman, “Demikianlah harus engkau mentahirkan mereka dari tengah-tengah orang Israel, supaya orang Lewi itu menjadi kepunyaanKu.” (Bilangan 8:14).
Suku Lewi tidak memperoleh tanah warisan karena Tuhan sudah memilih dan menetapkan suku ini secara khusus untuk melayani di Tabernakel atau Rumah Tuhan. Dengan demikian kehidupan suku Lewi dan keluarganya sangat bergantung pada berkat yang mereka terima dari persembahan yang dibawa oleh bangsa Israel ke rumah Tuhan ini, di mana besar kecilnya berkat itu sangat ditentukan oleh ketaatan atau ketidaktaatan bangsa Israel. Namun bukan berarti Tuhan membiarkan mereka, karena Tuhan juga memberkati mereka dengan memberikan kota-kota untuk mereka diami, plus tanah-tanah penggembalaan bagi ternak mereka.
Hari ini Tuhan hendak menegaskan Ia tidak pernah membiarkan orang-orang pilihanNya. Pengorbanan waktu, tenaga atau pun materi yang kita lakukan untuk melayani Tuhan, apa pun jenis pelayanan kita, pasti akan diperhitungkan oleh Tuhan. Jadi jerih payah kita untuk Tuhan itu tidak pernah sia-sia. Alkitab menyatakan, “Dalam tiap jerih payah ada keuntungan,” (Amsal 14:23a) dan Tuhan punya seribu satu macam cara untuk menolong dan mencukupi kebutuhan kita, contoh Elia dipelihara oleh Tuhan dengan caraNya yang sangat ajaib (baca 1 Raja-Raja 17:1-6). Akan halnya rasul Paulus, selain menjalankan tuganya sebagai pemberita Injil, ia juga masih bekerja untuk memenuhi kebutuhannya sehingga ia tidak membebani orang lain.
Jangan sampai kita melayani Tuhan karena sedang ‘mengejar setoran’. Asal kita melayaniNya dengan sungguh, berkatNya pasti disediakan untuk kita.
Baca: Yosua 21:1:3
“Tuhan telah memerintahkan dengan perantaraan Musa, supaya diberikan kepada kami kota-kota untuk didiami dan tanah-tanah penggembalaannya untuk ternak kami.” Yosua 21:2
Bangsa Israel terdiri atas 12 suku yaitu: suku Ruben, suku Simeon, suku Yehuda, suku Isakhar, suku Zebulon, suku Efraim, suku Manasye, suku Benjamin, suku Dan, suku Asyer, suku Gad dan suku Naftali. Ketika mencapai Tanah perjanjian masing-masing suku memperoleh tanah warisan, kecuali suku Lewi. Jadi satu-satunya suku dari dua belas suku di Israel yang tidak memperoleh tanah warisan adalah suku Lewi. Mengapa? Tuhan berfirman, “Demikianlah harus engkau mentahirkan mereka dari tengah-tengah orang Israel, supaya orang Lewi itu menjadi kepunyaanKu.” (Bilangan 8:14).
Suku Lewi tidak memperoleh tanah warisan karena Tuhan sudah memilih dan menetapkan suku ini secara khusus untuk melayani di Tabernakel atau Rumah Tuhan. Dengan demikian kehidupan suku Lewi dan keluarganya sangat bergantung pada berkat yang mereka terima dari persembahan yang dibawa oleh bangsa Israel ke rumah Tuhan ini, di mana besar kecilnya berkat itu sangat ditentukan oleh ketaatan atau ketidaktaatan bangsa Israel. Namun bukan berarti Tuhan membiarkan mereka, karena Tuhan juga memberkati mereka dengan memberikan kota-kota untuk mereka diami, plus tanah-tanah penggembalaan bagi ternak mereka.
Hari ini Tuhan hendak menegaskan Ia tidak pernah membiarkan orang-orang pilihanNya. Pengorbanan waktu, tenaga atau pun materi yang kita lakukan untuk melayani Tuhan, apa pun jenis pelayanan kita, pasti akan diperhitungkan oleh Tuhan. Jadi jerih payah kita untuk Tuhan itu tidak pernah sia-sia. Alkitab menyatakan, “Dalam tiap jerih payah ada keuntungan,” (Amsal 14:23a) dan Tuhan punya seribu satu macam cara untuk menolong dan mencukupi kebutuhan kita, contoh Elia dipelihara oleh Tuhan dengan caraNya yang sangat ajaib (baca 1 Raja-Raja 17:1-6). Akan halnya rasul Paulus, selain menjalankan tuganya sebagai pemberita Injil, ia juga masih bekerja untuk memenuhi kebutuhannya sehingga ia tidak membebani orang lain.
Jangan sampai kita melayani Tuhan karena sedang ‘mengejar setoran’. Asal kita melayaniNya dengan sungguh, berkatNya pasti disediakan untuk kita.
Monday, May 10, 2010
YESUS: Ungkapan Kasih Bapa
- Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 10 Mei 2010 -
Baca: Lukas 13:31-35
“Berkali-kali Aku rindu mengumpulkan anak-anakmu, sama seperti induk ayam mengumpulkan anak-anaknya di bawah sayapnya,...” Lukas 13:34b
Dalam pelayananNya di bumi Tuhan Yesus telah merefleksikan kasih Bapa setiap saat: membebakan orang-orang yang tertindas dan terbelenggu oleh kuasa-kuasa kegelapan, mencelikkan mata yang buta, serta menyembuhkan berbagai macam penyakit yang diderit aoleh manusia. Selain itu Dia juga mengajar dan memberitakan firman tentang Kerajaan Allah bagi siapa saja yang rindu, haus dan lapar akan kebenaran.
Yesus Kristus merupakan ujud Allah Bapa di bumi, dan melalui Kristus Bapa menjalankan misi penyelamatan bagi manusia ciptaanNya. Tuhan Yesus dengan sepenuhnya mendemonstrasikan kasih Bapa bagi manusia dan mewujudkan keinginNya memberkati kita. Ungkapan atau ekspresi kasih Bapa bagi semua manusia dapat terlihat dari pernyataan Yesus kepada Yerusalem, “Yerusalem, Yerusalem, engkau yang membunuh nabi-nabi dan melempari dengan batu orang-orang yang diutus kepadamu! Berkali-kali aku rindu mengumpulkan anak-anakmu, sama seperti induk ayam mengumpulkan anak-anaknya di bawah sayapnya, tetapi kamu tidak mau.” (ayat 34). Ayat ini menegaskan bahwa Allah Bapa masih tetap mengekspresikan kemauan dan keinginan yang keras untuk menyelamatkan dan memberkati kita.
Sesungguhnya Tuhan masih tetap dan rindu mengusahakan agar manusia terlepas dari belenggu-belenggu dosa dan mau kembali ke Rumah Bapa. Tetapi sampai sekarang ini masih banyak orang Farisi yang menghalagi kasih Bapa dengan berbagai-bagai batasan dan peraturan-peraturan yang dibuatnya, sehingga kelancaran pertolongan Bapa menjadi terhambat. Orang-orang Farisi sangat membenci Yesus dan tidak senang apabila Yesus menyembuhkan orang sakit pada hari Sabat sehingga Tuhan Yesus berkata, “Siapakah di antara kamu yang tidak segera menarik ke luar anaknya dan lembunya kalau terperosok ke dalam sebuah sumur, meskipun pada hari Sabat?” (Lukas 14:5).
Bila saat ini masih ada hal-hal yang menjadi kendala bagi ibadah kita kepada Tuhan, misalnya peraturan-peraturan manusia, adat-istiadat atau tradisi nenek moyang, mari mohon Roh Kudus mematahkan belenggu-belenggu ini.
Baca: Lukas 13:31-35
“Berkali-kali Aku rindu mengumpulkan anak-anakmu, sama seperti induk ayam mengumpulkan anak-anaknya di bawah sayapnya,...” Lukas 13:34b
Dalam pelayananNya di bumi Tuhan Yesus telah merefleksikan kasih Bapa setiap saat: membebakan orang-orang yang tertindas dan terbelenggu oleh kuasa-kuasa kegelapan, mencelikkan mata yang buta, serta menyembuhkan berbagai macam penyakit yang diderit aoleh manusia. Selain itu Dia juga mengajar dan memberitakan firman tentang Kerajaan Allah bagi siapa saja yang rindu, haus dan lapar akan kebenaran.
Yesus Kristus merupakan ujud Allah Bapa di bumi, dan melalui Kristus Bapa menjalankan misi penyelamatan bagi manusia ciptaanNya. Tuhan Yesus dengan sepenuhnya mendemonstrasikan kasih Bapa bagi manusia dan mewujudkan keinginNya memberkati kita. Ungkapan atau ekspresi kasih Bapa bagi semua manusia dapat terlihat dari pernyataan Yesus kepada Yerusalem, “Yerusalem, Yerusalem, engkau yang membunuh nabi-nabi dan melempari dengan batu orang-orang yang diutus kepadamu! Berkali-kali aku rindu mengumpulkan anak-anakmu, sama seperti induk ayam mengumpulkan anak-anaknya di bawah sayapnya, tetapi kamu tidak mau.” (ayat 34). Ayat ini menegaskan bahwa Allah Bapa masih tetap mengekspresikan kemauan dan keinginan yang keras untuk menyelamatkan dan memberkati kita.
Sesungguhnya Tuhan masih tetap dan rindu mengusahakan agar manusia terlepas dari belenggu-belenggu dosa dan mau kembali ke Rumah Bapa. Tetapi sampai sekarang ini masih banyak orang Farisi yang menghalagi kasih Bapa dengan berbagai-bagai batasan dan peraturan-peraturan yang dibuatnya, sehingga kelancaran pertolongan Bapa menjadi terhambat. Orang-orang Farisi sangat membenci Yesus dan tidak senang apabila Yesus menyembuhkan orang sakit pada hari Sabat sehingga Tuhan Yesus berkata, “Siapakah di antara kamu yang tidak segera menarik ke luar anaknya dan lembunya kalau terperosok ke dalam sebuah sumur, meskipun pada hari Sabat?” (Lukas 14:5).
Bila saat ini masih ada hal-hal yang menjadi kendala bagi ibadah kita kepada Tuhan, misalnya peraturan-peraturan manusia, adat-istiadat atau tradisi nenek moyang, mari mohon Roh Kudus mematahkan belenggu-belenggu ini.
Sunday, May 9, 2010
PERCAYA SEPENUHNYA KEPADA TUHAN
- Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 9 Mei 2010 -
Baca: 2 Korintus 1:3-11
“Tetapi hal itu terjadi, supaya kami jangan menaruh kepercayaahn pada diri sendiri, tetapi hanya kepada Allah yang membangkitkan orang-orang mati.” 2 Korintus 1:9b
Sebagai hamba Tuhan Paulus telah mengalami berbagai kesulitan dan penderitaan. Tuhan ijinkan hal ini terjadi karena Dia ingin agar Paulus bertumbuh lebih mendalam dalam Kristus.
Seringkali kita berpikir bahwa hamba Tuhan atau setiap orang yang terlibat dalam pelayanan pekerjaan Tuhan, baik itu full timer atau pun part timer, pasti akan terluput dari masalah atau kesulitan, hidupnya akan lancar-lancar saja. Tidak! Namun yang pasti, di setiap pergumulan yang kita alami Tuhan turut bekerja dan selalu memberikan pertolongan dan jalan ke luar, sebab “Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya.” (1 Korintus 10:13).
Perihal penderitaan dan masalah yang dialami, Paulus menuturkan pengalamannya, “...saudara-saudara, supaya kamu tahu akan penderitaan yang kami alami di Asia Kecil. Beban yang ditanggungkan atas kami adalah begitu besar dan begitu berat, sehingga kami telah putus asa juga akan hidup kami. Bahkan kami merasa, seolah-olah kami telah dijatuhi hukuman mati.” (2 Korintus 1:8-9a). Beban yang begitu besar dan berat tidak membuat Paulus hilang pengharapan, sebaliknya ia mempunyai alasan yang kuat untuk menaruh kepercayaannya pada Tuhan karena hanya Tuhan saja yang sanggup menolong dan menyelamatkannya. Paulus menambahkan, “Dari kematian yang begitu ngeri Ia telah dan akan menyelamatkan kami: kepadaNya kami menaruh pengharapan kami, bahwa Ia akan menyelamatkan kami lagi,” (2 Korintus 1:10).
Mungkin kita berpikir Paulus telah ke luar ‘jalur’ dari rencana Tuhan sehingga harus mengalami berbagai macam kesulitan. Tidak sama sekali! Justru ia berada dalam rencana Tuhan sepenuhnya dan sedang mengerjakan tugasnya sebagai pemberita Injil.
DiijinkanNya Paulus masuk dalam situasi sulit dengan maksud agar ia jangan menaruh kepercayaan kepada diri sendiri, melainkan hanya kepada Tuhan.
Baca: 2 Korintus 1:3-11
“Tetapi hal itu terjadi, supaya kami jangan menaruh kepercayaahn pada diri sendiri, tetapi hanya kepada Allah yang membangkitkan orang-orang mati.” 2 Korintus 1:9b
Sebagai hamba Tuhan Paulus telah mengalami berbagai kesulitan dan penderitaan. Tuhan ijinkan hal ini terjadi karena Dia ingin agar Paulus bertumbuh lebih mendalam dalam Kristus.
Seringkali kita berpikir bahwa hamba Tuhan atau setiap orang yang terlibat dalam pelayanan pekerjaan Tuhan, baik itu full timer atau pun part timer, pasti akan terluput dari masalah atau kesulitan, hidupnya akan lancar-lancar saja. Tidak! Namun yang pasti, di setiap pergumulan yang kita alami Tuhan turut bekerja dan selalu memberikan pertolongan dan jalan ke luar, sebab “Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya.” (1 Korintus 10:13).
Perihal penderitaan dan masalah yang dialami, Paulus menuturkan pengalamannya, “...saudara-saudara, supaya kamu tahu akan penderitaan yang kami alami di Asia Kecil. Beban yang ditanggungkan atas kami adalah begitu besar dan begitu berat, sehingga kami telah putus asa juga akan hidup kami. Bahkan kami merasa, seolah-olah kami telah dijatuhi hukuman mati.” (2 Korintus 1:8-9a). Beban yang begitu besar dan berat tidak membuat Paulus hilang pengharapan, sebaliknya ia mempunyai alasan yang kuat untuk menaruh kepercayaannya pada Tuhan karena hanya Tuhan saja yang sanggup menolong dan menyelamatkannya. Paulus menambahkan, “Dari kematian yang begitu ngeri Ia telah dan akan menyelamatkan kami: kepadaNya kami menaruh pengharapan kami, bahwa Ia akan menyelamatkan kami lagi,” (2 Korintus 1:10).
Mungkin kita berpikir Paulus telah ke luar ‘jalur’ dari rencana Tuhan sehingga harus mengalami berbagai macam kesulitan. Tidak sama sekali! Justru ia berada dalam rencana Tuhan sepenuhnya dan sedang mengerjakan tugasnya sebagai pemberita Injil.
DiijinkanNya Paulus masuk dalam situasi sulit dengan maksud agar ia jangan menaruh kepercayaan kepada diri sendiri, melainkan hanya kepada Tuhan.
Saturday, May 8, 2010
MUJIZAT TUHAN TAK PERNAH BERAKHIR
- Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 8 Mei 2010 -
Baca: Lukas 9:37-43a
“Maka takjublah semua orang itu karena kebesaran Allah.” Lukas 9:43a
Sekarang ini adalah era modernisasi. Semua serba modern. Ilmu pengetahuan dan teknologi semakin canggih. Bermunculan pula pakar dan ilmuwan di bidangnya masing-masing dengan kemampuan luar biasa yang tak perlu disangsikan lagi. Akhirnya banyak orang yang menjadi sangat bergantung pada kepintaran dan kecanggihan teknologi yang ada. Rasa-rasanya mujizat Tuhan mulai diabaikan, orang lebih percaya kepada pengetahuan dan cara berpikir para pakar atau ilmuwan yang mengandalkan logika. Tetapi sesungguhnya mujizat Tuhan tak pernah berakhir dan tetap ada bagi orang percaya.
Pada suatu hari Yesus bertemu seorang bapak yang anaknya kerasukan setan sehingga menjadi bisu dan sangat tersiksa. Bapak itu ingin anaknya sembuh, namun ia ragu-ragu apakah Yesus dapat menyembuhkannya karena katanya, “...aku telah meminta kepada murid-muridMu supaya mereka mengusir roh itu, tetapi mereka tidak dapat.” (ayat 40). Lalu ia berkata kepada Yesus, “ ‘Sebab itu jika Engkau dapat berbuat sesuatu, tolonglah kami dan kasihanilah kami’. Jawab Yesus: ‘Katamu: Jika Engkau dapat? Tidak ada yang mustahil bagi orang percaya!’ “ (Markus 9:22b-23).
Pada kesempatan lain Yesus membuat suatu pernyataan luar biasa, “Apa yang tidak mungkin bagi manusia, mungkin bagi Allah.” (Lukas 18:27). Apabila Tuhan mengerjakan sesuatu yang tak bisa dilakukan manusia, itulah yang dinamakan mujizat. Perbuatan Tuhan merupakan mujizat bagi kita, tapi bagi Tuhan hal itu bukanlah mujizat sebab Dia dapat mengerjakan segala perkara dan apa saja. Bahkan dari yang tidak ada Tuhan sanggup mengadakan. Bumi diciptakan dari yang tidak ada, hanya oleh firmanNya saja. Jadi, tidak ada sesuatu pun yang sukar bagi Tuhan. Bila manusia dapat terbang, itu merupakan mujizat; tetapi bagi seekor burung, terbang itu bukanlah mujizat, tapi merupakan hal yang biasa dilakukannya. Demikian juga perbuatan-perbuatan besar Tuhan, bagiNya bukanlah apa-apa, namun bagi manusia merupakan suatu keajaiban.
Selama Tuhan masih ada, mujizat masih selalu berlaku. Bila ada manusia yang berkata bahwa zaman mujizat sudah berlalu, pastilah manusia itu sudah ‘tak waras’, karena bila mujizat tak ada, berarti Tuhan juga tidak ada.
Mujizat selalu tersedia bagi orang yang percaya kepadanya!
Baca: Lukas 9:37-43a
“Maka takjublah semua orang itu karena kebesaran Allah.” Lukas 9:43a
Sekarang ini adalah era modernisasi. Semua serba modern. Ilmu pengetahuan dan teknologi semakin canggih. Bermunculan pula pakar dan ilmuwan di bidangnya masing-masing dengan kemampuan luar biasa yang tak perlu disangsikan lagi. Akhirnya banyak orang yang menjadi sangat bergantung pada kepintaran dan kecanggihan teknologi yang ada. Rasa-rasanya mujizat Tuhan mulai diabaikan, orang lebih percaya kepada pengetahuan dan cara berpikir para pakar atau ilmuwan yang mengandalkan logika. Tetapi sesungguhnya mujizat Tuhan tak pernah berakhir dan tetap ada bagi orang percaya.
Pada suatu hari Yesus bertemu seorang bapak yang anaknya kerasukan setan sehingga menjadi bisu dan sangat tersiksa. Bapak itu ingin anaknya sembuh, namun ia ragu-ragu apakah Yesus dapat menyembuhkannya karena katanya, “...aku telah meminta kepada murid-muridMu supaya mereka mengusir roh itu, tetapi mereka tidak dapat.” (ayat 40). Lalu ia berkata kepada Yesus, “ ‘Sebab itu jika Engkau dapat berbuat sesuatu, tolonglah kami dan kasihanilah kami’. Jawab Yesus: ‘Katamu: Jika Engkau dapat? Tidak ada yang mustahil bagi orang percaya!’ “ (Markus 9:22b-23).
Pada kesempatan lain Yesus membuat suatu pernyataan luar biasa, “Apa yang tidak mungkin bagi manusia, mungkin bagi Allah.” (Lukas 18:27). Apabila Tuhan mengerjakan sesuatu yang tak bisa dilakukan manusia, itulah yang dinamakan mujizat. Perbuatan Tuhan merupakan mujizat bagi kita, tapi bagi Tuhan hal itu bukanlah mujizat sebab Dia dapat mengerjakan segala perkara dan apa saja. Bahkan dari yang tidak ada Tuhan sanggup mengadakan. Bumi diciptakan dari yang tidak ada, hanya oleh firmanNya saja. Jadi, tidak ada sesuatu pun yang sukar bagi Tuhan. Bila manusia dapat terbang, itu merupakan mujizat; tetapi bagi seekor burung, terbang itu bukanlah mujizat, tapi merupakan hal yang biasa dilakukannya. Demikian juga perbuatan-perbuatan besar Tuhan, bagiNya bukanlah apa-apa, namun bagi manusia merupakan suatu keajaiban.
Selama Tuhan masih ada, mujizat masih selalu berlaku. Bila ada manusia yang berkata bahwa zaman mujizat sudah berlalu, pastilah manusia itu sudah ‘tak waras’, karena bila mujizat tak ada, berarti Tuhan juga tidak ada.
Mujizat selalu tersedia bagi orang yang percaya kepadanya!
Friday, May 7, 2010
JANGAN SAMPAI LUPA DIRI
- Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 7 Mei 2010 -
Baca: 1 Tawarikh 29:10-19
“Sebab kekayaan dan kemuliaan berasal dari padaMu dan Engkaulah yang berkuasa atas segala-galanya; dalam tanganMulah kekuatan dan kejayaan; dalam tanganMulah kuasa membesarkan dan mengokohkan segala-galanya.” 1 Tawarikh 29:12
Daud adalah raja Israel yang besar dan di berkati Tuhan. Selain kekayaan melimpah ia juga memiliki prajurit/pasukan yang kuat. Secara materi ia punya alasan membanggakan diri. Namun tidaklah demikian dengannya. Ia sadar semuanya karena campur tangan Tuhan semata, bukan karena kekuatan dan kegagahannya sehingga ia tidak merasa perlu bersikap sombong atau meninggikan diri, sebaliknya ia berkata, “...Tuhan, punyamulah kebesaran dan kejayaan, kehormatan, kemasyhuran dan keagungan, ya, segala-galanya yang ada di langit dan di bumi! Ya Tuhan, punyaMulah kerajaan dan Engkau yang tertinggi itu melebihi segala-galanya sebagai kepala.” (ayat 11).
Tuhan sungguh tak senang pada kecongkakan! Betapa pun megah, besar dan populernya kita, bila kesombongan mulai merajai hati kita, Tuhan akan menurunkan dan mempermalukan kita. Di akhir zaman ini roh kesombongan kian melanda manusia. Tidak banyak yang menyadarinya dan tetap merasa wajar-wajar saja, padahal ketika karir, studi, bisnis atau pelayanan mulai sukses, dada kita mulai membusung dan saat berjalan pun kepala tegak mendongak ke atas. Dalam bersosialisasi pun kita mulai pilih-pilih teman. Kita tidak mau bergaul dengan sembarang orang melainkan hanya dengan teman-teman ‘selevel’; yang semula rendah hati, pandai bergaul, ramah, sopan, serta murah hati terhadap semua orang, setelah memiliki segala-galanya menjadi seperti ‘alien’ (orang aneh). Kesombongan mulai merajai hati kita dan kita pun lupa kepada Sang Pemberi berkat. Kita menganggap apa yang kita raih adalah buah jerih payah kita sendiri.
Perhatikanlah ini: semua keberhasilan yang kita miliki datangnya dari Tuhan dan semuanya adalah kepunyaanNya. Walaupun raja Daud demikian terkenal, dia tetap mengakui bahwa segala sesuatu datangnya dari Tuhan dan milik Tuhan. Oleh sebab itu jangan sekali-kali menyombongkan diri!.
“Sekalipun engkau terbang tinggi seperti burung rajawali, bahkan, sekalipun sarangmu ditempatkan di antara bintang-bintang, dari sanapun Aku akan menurunkan engkau,...” Obaja 4
Baca: 1 Tawarikh 29:10-19
“Sebab kekayaan dan kemuliaan berasal dari padaMu dan Engkaulah yang berkuasa atas segala-galanya; dalam tanganMulah kekuatan dan kejayaan; dalam tanganMulah kuasa membesarkan dan mengokohkan segala-galanya.” 1 Tawarikh 29:12
Daud adalah raja Israel yang besar dan di berkati Tuhan. Selain kekayaan melimpah ia juga memiliki prajurit/pasukan yang kuat. Secara materi ia punya alasan membanggakan diri. Namun tidaklah demikian dengannya. Ia sadar semuanya karena campur tangan Tuhan semata, bukan karena kekuatan dan kegagahannya sehingga ia tidak merasa perlu bersikap sombong atau meninggikan diri, sebaliknya ia berkata, “...Tuhan, punyamulah kebesaran dan kejayaan, kehormatan, kemasyhuran dan keagungan, ya, segala-galanya yang ada di langit dan di bumi! Ya Tuhan, punyaMulah kerajaan dan Engkau yang tertinggi itu melebihi segala-galanya sebagai kepala.” (ayat 11).
Tuhan sungguh tak senang pada kecongkakan! Betapa pun megah, besar dan populernya kita, bila kesombongan mulai merajai hati kita, Tuhan akan menurunkan dan mempermalukan kita. Di akhir zaman ini roh kesombongan kian melanda manusia. Tidak banyak yang menyadarinya dan tetap merasa wajar-wajar saja, padahal ketika karir, studi, bisnis atau pelayanan mulai sukses, dada kita mulai membusung dan saat berjalan pun kepala tegak mendongak ke atas. Dalam bersosialisasi pun kita mulai pilih-pilih teman. Kita tidak mau bergaul dengan sembarang orang melainkan hanya dengan teman-teman ‘selevel’; yang semula rendah hati, pandai bergaul, ramah, sopan, serta murah hati terhadap semua orang, setelah memiliki segala-galanya menjadi seperti ‘alien’ (orang aneh). Kesombongan mulai merajai hati kita dan kita pun lupa kepada Sang Pemberi berkat. Kita menganggap apa yang kita raih adalah buah jerih payah kita sendiri.
Perhatikanlah ini: semua keberhasilan yang kita miliki datangnya dari Tuhan dan semuanya adalah kepunyaanNya. Walaupun raja Daud demikian terkenal, dia tetap mengakui bahwa segala sesuatu datangnya dari Tuhan dan milik Tuhan. Oleh sebab itu jangan sekali-kali menyombongkan diri!.
“Sekalipun engkau terbang tinggi seperti burung rajawali, bahkan, sekalipun sarangmu ditempatkan di antara bintang-bintang, dari sanapun Aku akan menurunkan engkau,...” Obaja 4
Thursday, May 6, 2010
ISILAH PIKIRANMU DENGAN FIRMAN
- Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 6 Mei 2010 -
Baca: Filipi 4:8-9
“Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu.” Filipi 4:8
Tidak semua orang dapat menguasai pikirannya jika tak punya landasan yang kuat dalam firman Tuhan. Pikiran yang tak dipenuhi firman Tuhan akan mudah dikenadalikan Iblis, karena Iblis tau betul bahwa apa yang kita pikirkan dan renungkan itu akan menjadi kenyataan. Ituah sebabnya Iblis selalu berusaha keras mempengaruhi agar pikiran kita hanya dipenuhi hal-hal yang buruk (permasalahan) lebih daripada firman Tuhan. Apabila kita lengah sedikit saja dan terkena siasat Iblis, serta mengijinkan pikiran kita terpaku pada permasalahan yang ada, maka masalah itu takkan terselesaikan, bahkan akan makin rumit dan bertambah berat. Akhirnya kita pun bimbang, putus asa dan tawar hati.
Penulis Amsal mengatakan, “Jika engkau tawar hati pada masa kesesakan, kecillah kekuatanmu.” (Amsal 24:10). Bila kita bimbang bisa dipastikan doa-doa kita tidak akan beroleh jawaban, “...sebab orang yang bimbang sama dengan gelombang laut, yang diombang-ambingkan kian ke mari oleh angin. Orang yang demikian janganlah mengira, bahwa ia akan menerima sesuatu dari Tuhan.” (Yakobus 1:6-7). Sebaliknya apabila kita mau melakukan apa yang dikatakan firman Tuhan dan merenungkan segala sesuatu dengan baik, kita akan memperoleh janji-janjiNya dalam hidup kita. Jangan sekali pun memikirkan hal-hal negatif, sebaliknya pikirkanlah: “...semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu.”
Jadi sangatlah penting mengisi pikiran dengan firman Tuhan setiap hari, karena apa yang ada di pikiran akan trefleksikan dalam tindakan kita. Apa yang ada di pikiran kita saat ini: kebimbangan, ketakutan, kekuatiran, sakit hati, atau kebencian, semuanya akan membawa kita kepada kegagalan. Hari ini kita diingatkan, buanglah semua itu!
“Janganlah engkau lupa memperkatakan kitab Taurat ini, tetapi renungkanlah itu siang dan malam,...sebab dengan demikian perjalananmu akan berhasil dan engkau akan beruntung.” Yosua 1:8
Baca: Filipi 4:8-9
“Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu.” Filipi 4:8
Tidak semua orang dapat menguasai pikirannya jika tak punya landasan yang kuat dalam firman Tuhan. Pikiran yang tak dipenuhi firman Tuhan akan mudah dikenadalikan Iblis, karena Iblis tau betul bahwa apa yang kita pikirkan dan renungkan itu akan menjadi kenyataan. Ituah sebabnya Iblis selalu berusaha keras mempengaruhi agar pikiran kita hanya dipenuhi hal-hal yang buruk (permasalahan) lebih daripada firman Tuhan. Apabila kita lengah sedikit saja dan terkena siasat Iblis, serta mengijinkan pikiran kita terpaku pada permasalahan yang ada, maka masalah itu takkan terselesaikan, bahkan akan makin rumit dan bertambah berat. Akhirnya kita pun bimbang, putus asa dan tawar hati.
Penulis Amsal mengatakan, “Jika engkau tawar hati pada masa kesesakan, kecillah kekuatanmu.” (Amsal 24:10). Bila kita bimbang bisa dipastikan doa-doa kita tidak akan beroleh jawaban, “...sebab orang yang bimbang sama dengan gelombang laut, yang diombang-ambingkan kian ke mari oleh angin. Orang yang demikian janganlah mengira, bahwa ia akan menerima sesuatu dari Tuhan.” (Yakobus 1:6-7). Sebaliknya apabila kita mau melakukan apa yang dikatakan firman Tuhan dan merenungkan segala sesuatu dengan baik, kita akan memperoleh janji-janjiNya dalam hidup kita. Jangan sekali pun memikirkan hal-hal negatif, sebaliknya pikirkanlah: “...semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu.”
Jadi sangatlah penting mengisi pikiran dengan firman Tuhan setiap hari, karena apa yang ada di pikiran akan trefleksikan dalam tindakan kita. Apa yang ada di pikiran kita saat ini: kebimbangan, ketakutan, kekuatiran, sakit hati, atau kebencian, semuanya akan membawa kita kepada kegagalan. Hari ini kita diingatkan, buanglah semua itu!
“Janganlah engkau lupa memperkatakan kitab Taurat ini, tetapi renungkanlah itu siang dan malam,...sebab dengan demikian perjalananmu akan berhasil dan engkau akan beruntung.” Yosua 1:8
Wednesday, May 5, 2010
KEMULIAAN TUHAN MENGUBAHKAN
- Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 5 Mei 2010 -
Baca: Yesaya 6:1-13
“Celakalah aku! aku binasa! Sebab aku ini seorang yang najis bibir, dan aku tinggal di tengah-tengah bangsa yang najis bibir,...” Yesaya 6:5
Sebelum Tuhan mengutus Yesaya sebagai nabiNya ke tengah-tengah bangsa yang penuh kejahatan, Dia memperlihatkan kemuliaanNya. Melihat kemuliaan Tuhan yang luar biasa Yesaya gemetar sehingga dia hanya dapat berteriak dalam keputusasaannya, “Celakalah aku! aku binasa! Sebab aku ini seorang yang najis bibir, ...namun mataku telah meihat Sang Raja, yakni Tuhan semesta alam.” (Yesaya 6:5).
Sebelum melihat kemuliaan Tuhan bibir Yesaya masih najis, apalagi dia juga berada di tengah-tengah bangsa yang najis bibir pula, tetapi waktu itu dia belum menyadarinya; mungkin saja ia menganggap sudah layak menjadi nabi Tuhan yang dapat diutus melayani bangsa-bangsa, sampai suatu ketika cahaya kemuliaan Tuhan turun menyinari. Saat itu pula Yesaya mendengar para Serafim menyerukan, “Kudus, kudus, kuduslah Tuhan semesta alam, seluruh bumi penuh kemuliaanNya!” (ayat 3). Peristiwa itu benar-benar menyentuh hatinya dan menyadarkan keberadaannya di hadapan Tuhan.
Bagaimana bibir najis dapat menjadi alat penyambung bibir Tuhan yang Mahakudus? Yaitu dengan kesadaran yang mendalam dan persiapan diri Yesaya untuk menyambut kedatangan serafim dari mezbah untuk menyucikan dan membakar bibirnya. Akhirnya bibir Yesaya disentuh dengan bara api. “Lihat, ini telah menyentuh bibirmu, maka kesalahanmu telah dihapus dan dosamu telah diampuni.” (ayat 7). Setelah bibirnya dikuduskan dengan ‘api’ yang berbicara tentang kuasa api Roh Kudus siaplah Yesaya diutus Tuhan. Ia tidak lagi melihat hal-hal negatif dan tidak lagi menghiraukan bagaimana nasib dirinya nanti saat berada di antara bangsa durhaka itu. Yang dilihatnya hanya kemuliaan Tuhan sehingga dengan mantap dia berseru kepadaNya, “Ini aku, utuslah aku!” (ayat 8b)
Adalah perlu bagi para pelayan Tuhan menerima jamahan api Roh Kudus pada bibirnya, agar dalam setiap tugasnya bibir mereka sanggup memperkatakan kebenaran firmanNya saja: perkataan yang membangun, menguatkan dan memberkati banyak orang.
Karena jamahan Roh Kudus Yesaya dipulihkan dan menjadi utusan Tuhan untuk menyatakan kebenaran di antara bangsa-bangsa.
Baca: Yesaya 6:1-13
“Celakalah aku! aku binasa! Sebab aku ini seorang yang najis bibir, dan aku tinggal di tengah-tengah bangsa yang najis bibir,...” Yesaya 6:5
Sebelum Tuhan mengutus Yesaya sebagai nabiNya ke tengah-tengah bangsa yang penuh kejahatan, Dia memperlihatkan kemuliaanNya. Melihat kemuliaan Tuhan yang luar biasa Yesaya gemetar sehingga dia hanya dapat berteriak dalam keputusasaannya, “Celakalah aku! aku binasa! Sebab aku ini seorang yang najis bibir, ...namun mataku telah meihat Sang Raja, yakni Tuhan semesta alam.” (Yesaya 6:5).
Sebelum melihat kemuliaan Tuhan bibir Yesaya masih najis, apalagi dia juga berada di tengah-tengah bangsa yang najis bibir pula, tetapi waktu itu dia belum menyadarinya; mungkin saja ia menganggap sudah layak menjadi nabi Tuhan yang dapat diutus melayani bangsa-bangsa, sampai suatu ketika cahaya kemuliaan Tuhan turun menyinari. Saat itu pula Yesaya mendengar para Serafim menyerukan, “Kudus, kudus, kuduslah Tuhan semesta alam, seluruh bumi penuh kemuliaanNya!” (ayat 3). Peristiwa itu benar-benar menyentuh hatinya dan menyadarkan keberadaannya di hadapan Tuhan.
Bagaimana bibir najis dapat menjadi alat penyambung bibir Tuhan yang Mahakudus? Yaitu dengan kesadaran yang mendalam dan persiapan diri Yesaya untuk menyambut kedatangan serafim dari mezbah untuk menyucikan dan membakar bibirnya. Akhirnya bibir Yesaya disentuh dengan bara api. “Lihat, ini telah menyentuh bibirmu, maka kesalahanmu telah dihapus dan dosamu telah diampuni.” (ayat 7). Setelah bibirnya dikuduskan dengan ‘api’ yang berbicara tentang kuasa api Roh Kudus siaplah Yesaya diutus Tuhan. Ia tidak lagi melihat hal-hal negatif dan tidak lagi menghiraukan bagaimana nasib dirinya nanti saat berada di antara bangsa durhaka itu. Yang dilihatnya hanya kemuliaan Tuhan sehingga dengan mantap dia berseru kepadaNya, “Ini aku, utuslah aku!” (ayat 8b)
Adalah perlu bagi para pelayan Tuhan menerima jamahan api Roh Kudus pada bibirnya, agar dalam setiap tugasnya bibir mereka sanggup memperkatakan kebenaran firmanNya saja: perkataan yang membangun, menguatkan dan memberkati banyak orang.
Karena jamahan Roh Kudus Yesaya dipulihkan dan menjadi utusan Tuhan untuk menyatakan kebenaran di antara bangsa-bangsa.
Tuesday, May 4, 2010
ALLAH ADALAH PENCEMBURU
- Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 4 Mei 2010 -
Baca: Bilangan 25:1-18
“Perempuan-perempuan ini mengajak bangsa itu (Israel) ke korban sembelihan bagi allah mereka, lalu bangsa itu turut makan dari korban itu dan menyembah allah orang-orang itu” Bilangan 25:2
Pernahkah Saudara merasa cemburu? Ketika suami atau isteri kita lebih memperhatikan, mengagumi atau bahkan mencintai orang lain hati kita pasti terbakar api cemburu. Rasa cemburu yang dipendam lambat laun akan menjadi ‘bom waktu’ yang sewaktu-waktu bisa meledak. Di televisi atau di surat kabar banyak berita kejahatan terjadi akibat tersulut rasa cemburu: suami nekat membunuh isterinya atau sebaliknya, karena mendapati pasangannya telah berselingkuh dengan orang lain, memiliki pria atau wanita idaman lain dan sebagainya. Cemburu buta mendorong seseorang untuk melakukan perbuatan yang nekat, yang tidak hanya berdampak buruk bagi diri sendiri, tetapi juga orang lain.
Begitu juga Tuhan kita adalah Allah yang pencemburu! Ia menjadi sangat murka ketika melihat bangsa Israel telah berzinah dengan perempuan-perempuan Moab seperti tertulis: “Sementara Israel tinggal di Sitim, mulailah bangsa itu berzinah dengan perempuan-perempuan Moab.” (ayat 1). Tidak hanya itu, mereka juga turut serta dalam memberi persembahan dan menyembah allah orang-orang itu. Akibatnya Tuhan menghukum bangsa Israel sehingga “Orang yang mati karena tulah itu ada dua puluh empat ribu orang banyaknya.” (ayat 9). Tuhan sangat benci kepada orang Kristen yang ‘mendua hati’: mengasihi Tuhan dan juga masih mengasihi dunia. Tuhan menghendaki agar kita memusatkan seluruh perhatian dan hidup kita hanya kepada Dia saja. Ia ingin agar kita mengasihi, meninggikan, mengagungkan dan menyembah Dia saja, jangan sampai ada allah lain dalam hidup kita.
Apakah benar kita berkata, “Aku mengasihi Tuhan” tetapi kita masih saja mencari pertolongan kepada ‘allah’ lain saat berada dalam kesesakan? Tuhan tidak lagi menjadi yang utama dalam hidup kita. Begitu banyak ‘allah’ lain dalam hidup kita: pekerjaan, hobi, televisi, surat kabar dan sebagainya yang lebih menyita waktu dan perhatian kita sehingga kita mulai mengabaikan Tuhan.
“Sebab janganlah engkau sujud menyembah kepada allah lain, karena Tuhan, yang namaNya Cemburuan, adalah Allah yang cemburu.” Keluaran 34:14
Baca: Bilangan 25:1-18
“Perempuan-perempuan ini mengajak bangsa itu (Israel) ke korban sembelihan bagi allah mereka, lalu bangsa itu turut makan dari korban itu dan menyembah allah orang-orang itu” Bilangan 25:2
Pernahkah Saudara merasa cemburu? Ketika suami atau isteri kita lebih memperhatikan, mengagumi atau bahkan mencintai orang lain hati kita pasti terbakar api cemburu. Rasa cemburu yang dipendam lambat laun akan menjadi ‘bom waktu’ yang sewaktu-waktu bisa meledak. Di televisi atau di surat kabar banyak berita kejahatan terjadi akibat tersulut rasa cemburu: suami nekat membunuh isterinya atau sebaliknya, karena mendapati pasangannya telah berselingkuh dengan orang lain, memiliki pria atau wanita idaman lain dan sebagainya. Cemburu buta mendorong seseorang untuk melakukan perbuatan yang nekat, yang tidak hanya berdampak buruk bagi diri sendiri, tetapi juga orang lain.
Begitu juga Tuhan kita adalah Allah yang pencemburu! Ia menjadi sangat murka ketika melihat bangsa Israel telah berzinah dengan perempuan-perempuan Moab seperti tertulis: “Sementara Israel tinggal di Sitim, mulailah bangsa itu berzinah dengan perempuan-perempuan Moab.” (ayat 1). Tidak hanya itu, mereka juga turut serta dalam memberi persembahan dan menyembah allah orang-orang itu. Akibatnya Tuhan menghukum bangsa Israel sehingga “Orang yang mati karena tulah itu ada dua puluh empat ribu orang banyaknya.” (ayat 9). Tuhan sangat benci kepada orang Kristen yang ‘mendua hati’: mengasihi Tuhan dan juga masih mengasihi dunia. Tuhan menghendaki agar kita memusatkan seluruh perhatian dan hidup kita hanya kepada Dia saja. Ia ingin agar kita mengasihi, meninggikan, mengagungkan dan menyembah Dia saja, jangan sampai ada allah lain dalam hidup kita.
Apakah benar kita berkata, “Aku mengasihi Tuhan” tetapi kita masih saja mencari pertolongan kepada ‘allah’ lain saat berada dalam kesesakan? Tuhan tidak lagi menjadi yang utama dalam hidup kita. Begitu banyak ‘allah’ lain dalam hidup kita: pekerjaan, hobi, televisi, surat kabar dan sebagainya yang lebih menyita waktu dan perhatian kita sehingga kita mulai mengabaikan Tuhan.
“Sebab janganlah engkau sujud menyembah kepada allah lain, karena Tuhan, yang namaNya Cemburuan, adalah Allah yang cemburu.” Keluaran 34:14
Monday, May 3, 2010
KUTUK DAN KELEPASANNYA
- Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 3 Mei 2010 -
Baca: Kejadian 3:14-24
“Ia (Tuhan Allah) menghalau manusia itu dan di sebelah timur taman Eden ditempatkanNyalah beberapa kerub dengan pedang yang bernyala-nyala dan menyambar-nyambar, untuk menjaga jalan ke pohon kehidupan” Kejadian 3:24
Pelanggaran terhadap hukum Alah menyebabkan terjadinya kutuk atau kematian. Dari awal Allah telah memperingatkan manusia pertama (Adam) untuk taat kepadaNya agar tidak terjadi ‘kematian’. Namun Adam dan Hawa telah melanggar, itulah permulaan terjadinya kutuk.
Dalam Kejadian 3 kita baca akibat dari kutuk: penderitaan, rejeki yang harus susah payah dicari, tanah-tanah mengeluarkan semak duri, penyakit bermunculan dan lain-lain; kematian menguasai manusia. Kematian ada dua macam: kematian jasmani, dan kematian kekal (kematian kedua) yaitu apabila setelah tubuh jasmani mati, roh dicampakkan ke dalam lautan api neraka kekal. Kematian yang sesungguhnya ialah kematian yang menimpa roh, bukan tubuh. Ketika Adam berbuat dosa dia ‘mati’; bukan mati tubuhnya, melainkan rohnya, walaupun akhirnya tubuh jasmaninya juga mengalami kematian saat ia berusia 930 tahun (baca Kejadian 5:5). Ketika roh Adam ‘mati’ karena dosa, hubungannya dengan Allah terputus. Manusia pun mempunyai ‘tuan’ baru yaitu Iblis si penipu yang telah membujuknya berbuat dosa. Manusia menjadi ‘budak’ dosa.
Manusia tak mungkin memperoleh keselamatan melalui perbuatan baik semata. Roh manusia telah mati itu harus dihidupkan kembali oleh Roh Allah apabila ingin selamat. Manusia harus mengalami ‘kelahiran baru’ melalui Kristus yang menebusnya dari segala dosa dengan darahNya. Jika tidak, perbuatan baik apa pun akan sia-sia, tak akan mampu mengubah nasibnya dari api neraka dan penghukuman kekal karena “Upah dosa ialah maut;” (Roma 6:23). Perbuatan alim dan baik belaka tak mampu menyelamatkan roh manusia karena dosa tetap melekat. Dan Allah sangat jijik melihat dosa-dosa itu. Hanya ada satu orang yang tak bercacat cela yaitu Yesus Kristus, Putra Allah, yang dapat berkorban ganti manusia yang seharusnya dihukum. Para nabi pun tak mampu menebus dosa karena mereka juga manusia biasa.
Satu-satunya jalan yang melepaskan kita dari kutuk dosa adalah iman percaya kepada Yesus Kristus.
Baca: Kejadian 3:14-24
“Ia (Tuhan Allah) menghalau manusia itu dan di sebelah timur taman Eden ditempatkanNyalah beberapa kerub dengan pedang yang bernyala-nyala dan menyambar-nyambar, untuk menjaga jalan ke pohon kehidupan” Kejadian 3:24
Pelanggaran terhadap hukum Alah menyebabkan terjadinya kutuk atau kematian. Dari awal Allah telah memperingatkan manusia pertama (Adam) untuk taat kepadaNya agar tidak terjadi ‘kematian’. Namun Adam dan Hawa telah melanggar, itulah permulaan terjadinya kutuk.
Dalam Kejadian 3 kita baca akibat dari kutuk: penderitaan, rejeki yang harus susah payah dicari, tanah-tanah mengeluarkan semak duri, penyakit bermunculan dan lain-lain; kematian menguasai manusia. Kematian ada dua macam: kematian jasmani, dan kematian kekal (kematian kedua) yaitu apabila setelah tubuh jasmani mati, roh dicampakkan ke dalam lautan api neraka kekal. Kematian yang sesungguhnya ialah kematian yang menimpa roh, bukan tubuh. Ketika Adam berbuat dosa dia ‘mati’; bukan mati tubuhnya, melainkan rohnya, walaupun akhirnya tubuh jasmaninya juga mengalami kematian saat ia berusia 930 tahun (baca Kejadian 5:5). Ketika roh Adam ‘mati’ karena dosa, hubungannya dengan Allah terputus. Manusia pun mempunyai ‘tuan’ baru yaitu Iblis si penipu yang telah membujuknya berbuat dosa. Manusia menjadi ‘budak’ dosa.
Manusia tak mungkin memperoleh keselamatan melalui perbuatan baik semata. Roh manusia telah mati itu harus dihidupkan kembali oleh Roh Allah apabila ingin selamat. Manusia harus mengalami ‘kelahiran baru’ melalui Kristus yang menebusnya dari segala dosa dengan darahNya. Jika tidak, perbuatan baik apa pun akan sia-sia, tak akan mampu mengubah nasibnya dari api neraka dan penghukuman kekal karena “Upah dosa ialah maut;” (Roma 6:23). Perbuatan alim dan baik belaka tak mampu menyelamatkan roh manusia karena dosa tetap melekat. Dan Allah sangat jijik melihat dosa-dosa itu. Hanya ada satu orang yang tak bercacat cela yaitu Yesus Kristus, Putra Allah, yang dapat berkorban ganti manusia yang seharusnya dihukum. Para nabi pun tak mampu menebus dosa karena mereka juga manusia biasa.
Satu-satunya jalan yang melepaskan kita dari kutuk dosa adalah iman percaya kepada Yesus Kristus.
Sunday, May 2, 2010
KITALAH ORANG-ORANG YANG MENANG
- Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 2 Mei 2010 -
Baca: 1 Korintus 15:55-58
“Tetapi syukur kepada Allah, yang telah memberikan kepada kita kemenangan oleh Yesus Kristus, Tuhan kita.” 1 Korintus 15:57
Salib adalah puncak ketaatan Yesus melaksanakan kehendak Bapa dan puncak rencana Allah menyelamatkan manusia saat Yesus berkata, “Sudah selesai.” (Yohanes 19:30a). KematianNya adalah kemenangan bagi manusia; seiring itu belenggu dosa pun dihacurkan. Dosa yang mencengkeram manusia, sehingga manusia tidak mungkin selamat, telah dipatahkan melalui pengorbanan Kristus. “...syukur kepada Allah, yang telah memberikan kepada kita kemenangan oleh Yesus Kristus, Tuhan kita.” (1 Korintus 15:57). Mari tanamkan kebenaran yang penuh kuasa ini dalam hati, jiwa dan tubuh kita. Kemenangan sejati telah diberikan kepada kita dalam setiap aspek kehidupan atas segala kuasa musuh sehingga kita dapat berkata, “Hai maut di manakah kemenanganmu? Hai maut, di manakah sengatmu?” (1 Korintus 15:55).
Saat kita menerima Kristus sebagai Juruselamat, kita juga menerima kemenangan mutlak yang bukan ditentukan oleh tingginya tingkat pendidikan kita, lulus dari aneka ‘sekolah melayani’, atau pun padatnya jadwal pelayanan kita. Kemenangan adalah milik kita karena karyaNya di kayu salib. Melalui penderitaan, kematian dan kebangkitanNya, Kristus telah menebus kita. Marilah mengimani kemenangan itu setiap hari.
FirmanNya penuh dengan janji berkat bagi kehidupan kita dan apabila kita secara terus-menerus memenuhi pikiran kita dengan firman Tuhan, kita akan menjalani hidup tidak dengan kepala tertunduk, tapi penuh pengharapan. Pengakuan iman yang terus-menerus akan apa yang kita miliki dalam Kristus akan membangun benteng dalam pikiran kita. Ini akan membentuk sikap hati yang benar menghadapi berbagai situasi dan keadaan di sekitar kita. Bila kita memperkatakan firmanNya dengan iman, Tuhan pasti melaksanakannya bagi kita (baca Yeremia 1:12). Apa pun yang kita lakukan melalui Yesus akan berhasil. Tuhan memberikan kemenangan ke mana pun kita pergi.
“Dan inilah kemenangan yang mengalahkan dunia: Iman kita. Siapakah yang mengalahkan dunia, selain dari pada dia yang percaya, bahwa Yesus adalah Anak Allah?” 1 Yohanes 5:4b-5
Baca: 1 Korintus 15:55-58
“Tetapi syukur kepada Allah, yang telah memberikan kepada kita kemenangan oleh Yesus Kristus, Tuhan kita.” 1 Korintus 15:57
Salib adalah puncak ketaatan Yesus melaksanakan kehendak Bapa dan puncak rencana Allah menyelamatkan manusia saat Yesus berkata, “Sudah selesai.” (Yohanes 19:30a). KematianNya adalah kemenangan bagi manusia; seiring itu belenggu dosa pun dihacurkan. Dosa yang mencengkeram manusia, sehingga manusia tidak mungkin selamat, telah dipatahkan melalui pengorbanan Kristus. “...syukur kepada Allah, yang telah memberikan kepada kita kemenangan oleh Yesus Kristus, Tuhan kita.” (1 Korintus 15:57). Mari tanamkan kebenaran yang penuh kuasa ini dalam hati, jiwa dan tubuh kita. Kemenangan sejati telah diberikan kepada kita dalam setiap aspek kehidupan atas segala kuasa musuh sehingga kita dapat berkata, “Hai maut di manakah kemenanganmu? Hai maut, di manakah sengatmu?” (1 Korintus 15:55).
Saat kita menerima Kristus sebagai Juruselamat, kita juga menerima kemenangan mutlak yang bukan ditentukan oleh tingginya tingkat pendidikan kita, lulus dari aneka ‘sekolah melayani’, atau pun padatnya jadwal pelayanan kita. Kemenangan adalah milik kita karena karyaNya di kayu salib. Melalui penderitaan, kematian dan kebangkitanNya, Kristus telah menebus kita. Marilah mengimani kemenangan itu setiap hari.
FirmanNya penuh dengan janji berkat bagi kehidupan kita dan apabila kita secara terus-menerus memenuhi pikiran kita dengan firman Tuhan, kita akan menjalani hidup tidak dengan kepala tertunduk, tapi penuh pengharapan. Pengakuan iman yang terus-menerus akan apa yang kita miliki dalam Kristus akan membangun benteng dalam pikiran kita. Ini akan membentuk sikap hati yang benar menghadapi berbagai situasi dan keadaan di sekitar kita. Bila kita memperkatakan firmanNya dengan iman, Tuhan pasti melaksanakannya bagi kita (baca Yeremia 1:12). Apa pun yang kita lakukan melalui Yesus akan berhasil. Tuhan memberikan kemenangan ke mana pun kita pergi.
“Dan inilah kemenangan yang mengalahkan dunia: Iman kita. Siapakah yang mengalahkan dunia, selain dari pada dia yang percaya, bahwa Yesus adalah Anak Allah?” 1 Yohanes 5:4b-5
Saturday, May 1, 2010
HANYALAH HAMBA
- Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 1 Mei 2010 -
Baca: Lukas 17:7-10
“Apabila kamu telah melakukan segala sesuatu yang ditugaskan kepadamu, hendaklah kamu berkata: Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan.” Lukas 17:10b
Mendengar kata hamba, yang terlintas adalah sosok yang terlihat kumal, tak berpendidikan, hina, tidak punya hak, hidup menderita dan tidak merdeka. Itulah gambaran umum seorang hamba. Sebagai orang percaya kita adalah hamba-hamba Kristus!
Sadar akan hal ini, Rasul Paulus berkata, “...hendaknya orang memandang kami: sebagai hamba-hamba Kristus, yang kepadanya dipercayakan rahasia Allah.” (1 Korintus 4:1). Karena kita hamba Kristus, kita harus membaktikan setiap nafas kehidupan kita untukNya, mau melepaskan kemerdekaan pribadi, serta tunduk kepada pemerintahan sorgawi. Namun kenyataannya sering kita tidak mau melepaskan kemerdekaan pribadi.
Bila menyadari kita adalah hamba, kita harus membekali diri dengan pola pikir yang benar. Fokus seorang hamba adalah bagaimana ia dapat menyenangkan hati tuannya. Jadi ia tidak memikirkan kenyamanan bagi dirinya sendiri. Namun banyak yang terlibat pelayanan bukan untuk menyenangkan hati Tuhan, melainkan bertujuan mencari keuntungan diri sendiri: ingin dikenal orang, diakui, dilayani, diutamakan atau dihormati. Alkitab menulis, “Barangsiapa yang ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu;” (Matius 20:26b-27).
Mari camkan baik-baik! Apa pun yang kita miliki saat ini dan jenis pelayanan apa saja yang dipercayakan Tuhan kepada kita, biarlah kita berpikir bahwa hal itu adalah sebuah kepercayaan (penatalayanan), bukan hak milik. Kita bukanlah pemilik, tapi hanyalah pengelola sehingga kita harus mengerjakannya sesuai kehendak Tuhan. Tuhan tidak tertarik dengan hasil atau semaraknya pelayanan kita, yang Dia perhatikan adalah motivasi atau alasan kita melayani. Karena Ia “...menyelidiki segala hati dan mengerti segala niat dan cita-cita.” (1 Tawarikh 28:9a).
Oleh karena itu kita harus dapat berkata, “Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil” Yohanes 3:30
Baca: Lukas 17:7-10
“Apabila kamu telah melakukan segala sesuatu yang ditugaskan kepadamu, hendaklah kamu berkata: Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan.” Lukas 17:10b
Mendengar kata hamba, yang terlintas adalah sosok yang terlihat kumal, tak berpendidikan, hina, tidak punya hak, hidup menderita dan tidak merdeka. Itulah gambaran umum seorang hamba. Sebagai orang percaya kita adalah hamba-hamba Kristus!
Sadar akan hal ini, Rasul Paulus berkata, “...hendaknya orang memandang kami: sebagai hamba-hamba Kristus, yang kepadanya dipercayakan rahasia Allah.” (1 Korintus 4:1). Karena kita hamba Kristus, kita harus membaktikan setiap nafas kehidupan kita untukNya, mau melepaskan kemerdekaan pribadi, serta tunduk kepada pemerintahan sorgawi. Namun kenyataannya sering kita tidak mau melepaskan kemerdekaan pribadi.
Bila menyadari kita adalah hamba, kita harus membekali diri dengan pola pikir yang benar. Fokus seorang hamba adalah bagaimana ia dapat menyenangkan hati tuannya. Jadi ia tidak memikirkan kenyamanan bagi dirinya sendiri. Namun banyak yang terlibat pelayanan bukan untuk menyenangkan hati Tuhan, melainkan bertujuan mencari keuntungan diri sendiri: ingin dikenal orang, diakui, dilayani, diutamakan atau dihormati. Alkitab menulis, “Barangsiapa yang ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu;” (Matius 20:26b-27).
Mari camkan baik-baik! Apa pun yang kita miliki saat ini dan jenis pelayanan apa saja yang dipercayakan Tuhan kepada kita, biarlah kita berpikir bahwa hal itu adalah sebuah kepercayaan (penatalayanan), bukan hak milik. Kita bukanlah pemilik, tapi hanyalah pengelola sehingga kita harus mengerjakannya sesuai kehendak Tuhan. Tuhan tidak tertarik dengan hasil atau semaraknya pelayanan kita, yang Dia perhatikan adalah motivasi atau alasan kita melayani. Karena Ia “...menyelidiki segala hati dan mengerti segala niat dan cita-cita.” (1 Tawarikh 28:9a).
Oleh karena itu kita harus dapat berkata, “Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil” Yohanes 3:30
Subscribe to:
Posts (Atom)