Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 24 April 2016
Baca: Yudas 1:3-16
"Juga tentang mereka Henokh, keturunan ketujuh dari Adam, telah
bernubuat, katanya: 'Sesungguhnya Tuhan datang dengan beribu-ribu orang
kudus-Nya, hendak menghakimi semua orang dan menjatuhkan hukuman atas orang-orang fasik karena semua perbuatan fasik, yang mereka lakukan...'" Yudas 1:14-15
Melalui kelahiran Metusalah Tuhan memperingatkan Henokh tentang adanya peristiwa besar yang akan membinasakan seluruh bumi. Ketika menerima nubuatan dari Tuhan tentang rencana-Nya untuk menghukum dunia Henokh meresponsnya dengan hati yang takut akan Tuhan, sehingga ia pun membuat keputusan hidup yang benar dan bergaul karib dengan Tuhan. "TUHAN bergaul karib dengan orang yang takut akan Dia, dan perjanjian-Nya diberitahukan-Nya kepada mereka." (Mazmur 25:14). Berbagai hal Tuhan singkapkan kepada orang yang mau bergaul karib dengan-Nya sehingga kehendak-Nya, rencana-Nya, perjanjian-Nya diberitahukan kepada orang itu.
Nubuatan ini tergenapi melalui cucu Metusalah atau cicit Henokh yaitu Nuh, di mana Tuhan mendatangkan air bah yang menenggelamkan seluruh bumi. "Ketika dilihat TUHAN, bahwa kejahatan manusia besar di bumi dan bahwa
segala kecenderungan hatinya selalu membuahkan kejahatan semata-mata, maka menyesallah TUHAN, bahwa Ia telah menjadikan manusia di bumi, dan hal itu memilukan hati-Nya. Berfirmanlah TUHAN: 'Aku akan menghapuskan manusia yang telah Kuciptakan
itu dari muka bumi, baik manusia maupun hewan dan binatang-binatang
melata dan burung-burung di udara, sebab Aku menyesal, bahwa Aku telah
menjadikan mereka.'" (Kejadian 6:5-7).
Hidup bergaul karib dengan Tuhan berarti hidup menyenangkan hati Tuhan, hidup seturut kehendak Tuhan, hidup seirama dengan hati Tuhan, hidup seperti yang Tuhan mau. Hidup bergaul karib dengan Tuhan berarti berjalan dengan Tuhan setiap hari. Selama kita masih menuruti keinginan daging dan hidup menurut kehendak sendiri kita belum berjalan bersama Tuhan. "Berjalankah dua orang bersama-sama, jika mereka belum berjanji?" (Amos 3:3). Bila ingin mencapai taraf menyenangkan hati Tuhan tidak ada jalan lain selain kita berkomitmen untuk bersekutu dan bergaul karib dengan Dia secara terus-menerus dan konsisten.
Iman dan penundukan diri adalah langkah untuk bergaul karib dengan Tuhan!
Sunday, April 24, 2016
Saturday, April 23, 2016
HENOKH: Karib Dengan Tuhan (1)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 23 April 2016
Baca: Kejadian 5:1-32
"Dan Henokh hidup bergaul dengan Allah, lalu ia tidak ada lagi, sebab ia telah diangkat oleh Allah." Kejadian 5:24
Jika kita baca secara teliti Kejadian pasal 5 ini yang perikopnya tentang keturunan Adam, ada suatu pola hidup manusia yang terjadi berulang-ulang yaitu manusia lahir, beranak cucu, kemudian mati. Dari garis keturunan Adam semuanya selalu diakhiri dengan satu kata yang sama yaitu kematian. Namun hal ini tidak terjadi pada diri Henokh, yang adalah keturunan ke-7 dari Adam: ia tidak mengalami kematian, tetapi mengalami rapture, diangkat hidup-hidup oleh Tuhan. Ia pun menjadi manusia pertama yang tidak pernah mati, "...sebab ia telah diangkat oleh Allah." (Kejadian 5:24).
Henokh mempunyai banyak anak laki-laki dan perempuan, salah satunya adalah Metusalah. Artinya kehidupan Henokh tidak jauh berbeda dengan manusia lainnya yaitu mempunyai keluarga dan juga kesibukan. Meski demikian ada karakter yang mencolok dari diri Henokh, yang tidak dimiliki oleh banyak orang, yang membuatnya begitu istimewa dan spesial yaitu kekaribannya dengan Tuhan. Ketika orang-orang sejamannya memilih hidup menjauh dari Tuhan, memuaskan hawa nafsu dan mengesampingkan perkara-perkara rohani, Henokh justru membuat pilihan hidup yang berbeda yaitu hidup dalam persekutuan yang karib dengan Tuhan, bukti bahwa ia tidak terbawa oleh arus dunia dan berani tampil beda. Bahkan Alkitab menulis 2 kali untuk menyatakan bahwa Henokh hidup bergaul dengan Tuhan (baca Kejadian 5:22, 24). Henokh bergaul karib dengan Tuhan bukan dalam waktu yang singkat atau sesaat, melainkan dalam kurun waktu yang sangat lama yaitu selama 300 tahun, yang berakhir dengan pengangkatan (usia 365).
Nama Henokh memiliki arti dedicated (dipersembahkan). Sesuai dengan namanya, Henokh mempersembahkan seluruh hidupnya kepada Tuhan sehingga ia pun termasuk salah satu di antara saksi-saksi iman yang mampu memelihara imannya sampai akhir. Henokh membuat keputusan bergaul karib dengan Tuhan setelah anaknya yang bernama Metusalah lahir ketika ia berumur 65 tahun. Sedangkan nama Metusalah memiliki pengertian bahwa Tuhan hendak mendatangkan penghukuman bagi dunia oleh karena kejahatan manusia. Peringatan Tuhan inilah yang menjadi titik balik dalam kehidupan Henokh! (Bersambung)
Baca: Kejadian 5:1-32
"Dan Henokh hidup bergaul dengan Allah, lalu ia tidak ada lagi, sebab ia telah diangkat oleh Allah." Kejadian 5:24
Jika kita baca secara teliti Kejadian pasal 5 ini yang perikopnya tentang keturunan Adam, ada suatu pola hidup manusia yang terjadi berulang-ulang yaitu manusia lahir, beranak cucu, kemudian mati. Dari garis keturunan Adam semuanya selalu diakhiri dengan satu kata yang sama yaitu kematian. Namun hal ini tidak terjadi pada diri Henokh, yang adalah keturunan ke-7 dari Adam: ia tidak mengalami kematian, tetapi mengalami rapture, diangkat hidup-hidup oleh Tuhan. Ia pun menjadi manusia pertama yang tidak pernah mati, "...sebab ia telah diangkat oleh Allah." (Kejadian 5:24).
Henokh mempunyai banyak anak laki-laki dan perempuan, salah satunya adalah Metusalah. Artinya kehidupan Henokh tidak jauh berbeda dengan manusia lainnya yaitu mempunyai keluarga dan juga kesibukan. Meski demikian ada karakter yang mencolok dari diri Henokh, yang tidak dimiliki oleh banyak orang, yang membuatnya begitu istimewa dan spesial yaitu kekaribannya dengan Tuhan. Ketika orang-orang sejamannya memilih hidup menjauh dari Tuhan, memuaskan hawa nafsu dan mengesampingkan perkara-perkara rohani, Henokh justru membuat pilihan hidup yang berbeda yaitu hidup dalam persekutuan yang karib dengan Tuhan, bukti bahwa ia tidak terbawa oleh arus dunia dan berani tampil beda. Bahkan Alkitab menulis 2 kali untuk menyatakan bahwa Henokh hidup bergaul dengan Tuhan (baca Kejadian 5:22, 24). Henokh bergaul karib dengan Tuhan bukan dalam waktu yang singkat atau sesaat, melainkan dalam kurun waktu yang sangat lama yaitu selama 300 tahun, yang berakhir dengan pengangkatan (usia 365).
Nama Henokh memiliki arti dedicated (dipersembahkan). Sesuai dengan namanya, Henokh mempersembahkan seluruh hidupnya kepada Tuhan sehingga ia pun termasuk salah satu di antara saksi-saksi iman yang mampu memelihara imannya sampai akhir. Henokh membuat keputusan bergaul karib dengan Tuhan setelah anaknya yang bernama Metusalah lahir ketika ia berumur 65 tahun. Sedangkan nama Metusalah memiliki pengertian bahwa Tuhan hendak mendatangkan penghukuman bagi dunia oleh karena kejahatan manusia. Peringatan Tuhan inilah yang menjadi titik balik dalam kehidupan Henokh! (Bersambung)
Friday, April 22, 2016
HIDUP TIDAK BERCELA: Berpegang Pada Peringatan Tuhan
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 22 April 2016
Baca: Mazmur 119:97-112
"Peringatan-peringatan-Mu adalah milik pusakaku untuk selama-lamanya, sebab semuanya itu kegirangan hatiku." Mazmur 119:111
Setiap orang percaya harus berjuang memiliki kehidupan yang memenuhi standar Tuhan yaitu hidup tak bercela. Mengapa? Karena selama kita masih hidup dalam dosa, noda dan cela, dan terus berkutat dalam perbuatan-perbuatan gelap, Iblis akan terus mendakwa kita siang dan malam (baca Wahyu 12:10), dan menjadikan kita sebagai mainannya.
Hidup tidak bercela adalah juga hidup yang berpegang pada peringatan-peringatan Tuhan. Namun bukan berarti selama hidup orang tidak pernah gagal atau jatuh, tetapi ia terus mau berproses untuk hidup seturut dengan firman Tuhan. Kalaupun gagal ia akan cepat bangkit lagi, dan kemudian menjadikan kegagalan tersebut sebagai pengalaman berharga dan guru yang terbaik. Jangan sekali-kali kita ngambek, marah atau tersinggung ketika menerima firman Tuhan yang keras, "Sebab barangsiapa masih memerlukan susu ia tidak memahami ajaran tentang kebenaran, sebab ia adalah anak kecil. Tetapi makanan keras adalah untuk orang-orang dewasa, yang karena mempunyai pancaindera yang terlatih untuk membedakan yang baik dari pada yang jahat." (Ibrani 5:13-14). Bagaimana kita bisa memiliki kepekaan rohani jika kita tidak mau dilatih, dibersihkan dan dimurnikan oleh firman Tuhan setiap hari? "Bukankah firman-Ku seperti api, demikianlah firman TUHAN dan seperti palu yang menghancurkan bukit batu?" (Yeremia 23:29). Ini adalah langkah menuju kehidupan tak bercela, sebab "Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran." (2 Timotius 3:16).
Jadi, semakin kita berpegang kepada peringatan-peringatan Tuhan semakin kita memiliki pengenalan yang benar tentang Tuhan dan kehendak-Nya, dan semakin kita disadarkan akan janji-janji-Nya yang besar bagi orang-orang yang hidup tidak bercela. Ini akan mendorong kita untuk bersungguh-sungguh lagi menjaga kualitas hidup kita. "...aku berlaku tidak bercela di hadapan-Nya, dan menjaga diri terhadap kesalahan." (Mazmur 18:24).
"Ia tidak menahan kebaikan dari orang yang hidup tidak bercela." Mazmur 84:12. Inilah janji Tuhan.
Baca: Mazmur 119:97-112
"Peringatan-peringatan-Mu adalah milik pusakaku untuk selama-lamanya, sebab semuanya itu kegirangan hatiku." Mazmur 119:111
Setiap orang percaya harus berjuang memiliki kehidupan yang memenuhi standar Tuhan yaitu hidup tak bercela. Mengapa? Karena selama kita masih hidup dalam dosa, noda dan cela, dan terus berkutat dalam perbuatan-perbuatan gelap, Iblis akan terus mendakwa kita siang dan malam (baca Wahyu 12:10), dan menjadikan kita sebagai mainannya.
Hidup tidak bercela adalah juga hidup yang berpegang pada peringatan-peringatan Tuhan. Namun bukan berarti selama hidup orang tidak pernah gagal atau jatuh, tetapi ia terus mau berproses untuk hidup seturut dengan firman Tuhan. Kalaupun gagal ia akan cepat bangkit lagi, dan kemudian menjadikan kegagalan tersebut sebagai pengalaman berharga dan guru yang terbaik. Jangan sekali-kali kita ngambek, marah atau tersinggung ketika menerima firman Tuhan yang keras, "Sebab barangsiapa masih memerlukan susu ia tidak memahami ajaran tentang kebenaran, sebab ia adalah anak kecil. Tetapi makanan keras adalah untuk orang-orang dewasa, yang karena mempunyai pancaindera yang terlatih untuk membedakan yang baik dari pada yang jahat." (Ibrani 5:13-14). Bagaimana kita bisa memiliki kepekaan rohani jika kita tidak mau dilatih, dibersihkan dan dimurnikan oleh firman Tuhan setiap hari? "Bukankah firman-Ku seperti api, demikianlah firman TUHAN dan seperti palu yang menghancurkan bukit batu?" (Yeremia 23:29). Ini adalah langkah menuju kehidupan tak bercela, sebab "Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran." (2 Timotius 3:16).
Jadi, semakin kita berpegang kepada peringatan-peringatan Tuhan semakin kita memiliki pengenalan yang benar tentang Tuhan dan kehendak-Nya, dan semakin kita disadarkan akan janji-janji-Nya yang besar bagi orang-orang yang hidup tidak bercela. Ini akan mendorong kita untuk bersungguh-sungguh lagi menjaga kualitas hidup kita. "...aku berlaku tidak bercela di hadapan-Nya, dan menjaga diri terhadap kesalahan." (Mazmur 18:24).
"Ia tidak menahan kebaikan dari orang yang hidup tidak bercela." Mazmur 84:12. Inilah janji Tuhan.
Thursday, April 21, 2016
HIDUP TIDAK BERCELA: Mau Dikoreksi
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 21 April 2016
Baca: Mazmur 119:1-8
"Berbahagialah orang-orang yang hidupnya tidak bercela, yang hidup menurut Taurat TUHAN." Mazmur 119:1
Hidup dalam kesalehan adalah kehendak Tuhan bagi setiap orang percaya. Hidup dalam kesalehan bisa disebut pula hidup yang tidak bercela. Inilah salah satu tanggung jawab orang Kristen yang dianggap paling berat, bahkan sebagian besar orang menganggapnya sebagai sesuatu yang mustahil untuk dijalani, karena mereka berpikir bahwa hidup yang tak bercela berarti hidup yang tidak pernah membuat satu pun kesalahan. Adakah orang yang tidak pernah membuat kesalahan dalam hidupnya? Hidup tidak bercela bukan berarti tidak pernah membuat kesalahan, tetapi hidup yang senantiasa mau dikoreksi oleh Tuhan.
Daud, seorang raja besar Israel dan juga penulis sebagian besar kitab Mazmur, bukanlah orang yang tidak pernah melakukan kesalahan. Salah satu kesalahan fatal yang pernah diperbuatnya adalah melakukan perzinahan dan Batsyeba (baca 2 Samuel 11:1-27). Namun setelah ditegur dan diperingatkan oleh nabi Natan Daud pun segera menyesali perbuatannya dan kemudian bertobat. Inilah pengakuan Daud, "Sebab aku sendiri sadar akan pelanggaranku, aku senantiasa bergumul dengan dosaku. Terhadap Engkau, terhadap Engkau sajalah aku telah berdosa dan melakukan apa yang Kauanggap jahat, supaya ternyata Engkau adil dalam putusan-Mu, bersih dalam penghukuman-Mu...Jadikanlah hatiku tahir, ya Allah, dan perbaharuilah batinku dengan roh yang teguh! Janganlah membuang aku dari hadapan-Mu, dan janganlah mengambil roh-Mu yang kudus dari padaku!" (Mazmur 51:5, 6, 12, 13).
Daud merelakan diri untuk dikoreksi dan dibersihkan oleh Tuhan seperti ranting yang harus mengalami proses pemangkasan supaya dapat berbuah lebat. Berbeda sekali dengan Saul, sekalipun melakukan banyak kesalahan tidak pernah mau mengakui kesalahannya dan bertobat, tetapi selalu mencari-cari alasan atau dalih. Itulah sebabnya "Setelah Saul disingkirkan, Allah mengangkat Daud menjadi raja mereka. Tentang Daud Allah telah menyatakan: Aku telah mendapat Daud bin Isai, seorang yang berkenan di hati-Ku dan yang melakukan segala kehendak-Ku." (Kisah 13:22).
Kerelaan untuk dikoreksi dan dibersihkan adalah awal menuju hidup yang tak bercela!
Baca: Mazmur 119:1-8
"Berbahagialah orang-orang yang hidupnya tidak bercela, yang hidup menurut Taurat TUHAN." Mazmur 119:1
Hidup dalam kesalehan adalah kehendak Tuhan bagi setiap orang percaya. Hidup dalam kesalehan bisa disebut pula hidup yang tidak bercela. Inilah salah satu tanggung jawab orang Kristen yang dianggap paling berat, bahkan sebagian besar orang menganggapnya sebagai sesuatu yang mustahil untuk dijalani, karena mereka berpikir bahwa hidup yang tak bercela berarti hidup yang tidak pernah membuat satu pun kesalahan. Adakah orang yang tidak pernah membuat kesalahan dalam hidupnya? Hidup tidak bercela bukan berarti tidak pernah membuat kesalahan, tetapi hidup yang senantiasa mau dikoreksi oleh Tuhan.
Daud, seorang raja besar Israel dan juga penulis sebagian besar kitab Mazmur, bukanlah orang yang tidak pernah melakukan kesalahan. Salah satu kesalahan fatal yang pernah diperbuatnya adalah melakukan perzinahan dan Batsyeba (baca 2 Samuel 11:1-27). Namun setelah ditegur dan diperingatkan oleh nabi Natan Daud pun segera menyesali perbuatannya dan kemudian bertobat. Inilah pengakuan Daud, "Sebab aku sendiri sadar akan pelanggaranku, aku senantiasa bergumul dengan dosaku. Terhadap Engkau, terhadap Engkau sajalah aku telah berdosa dan melakukan apa yang Kauanggap jahat, supaya ternyata Engkau adil dalam putusan-Mu, bersih dalam penghukuman-Mu...Jadikanlah hatiku tahir, ya Allah, dan perbaharuilah batinku dengan roh yang teguh! Janganlah membuang aku dari hadapan-Mu, dan janganlah mengambil roh-Mu yang kudus dari padaku!" (Mazmur 51:5, 6, 12, 13).
Daud merelakan diri untuk dikoreksi dan dibersihkan oleh Tuhan seperti ranting yang harus mengalami proses pemangkasan supaya dapat berbuah lebat. Berbeda sekali dengan Saul, sekalipun melakukan banyak kesalahan tidak pernah mau mengakui kesalahannya dan bertobat, tetapi selalu mencari-cari alasan atau dalih. Itulah sebabnya "Setelah Saul disingkirkan, Allah mengangkat Daud menjadi raja mereka. Tentang Daud Allah telah menyatakan: Aku telah mendapat Daud bin Isai, seorang yang berkenan di hati-Ku dan yang melakukan segala kehendak-Ku." (Kisah 13:22).
Kerelaan untuk dikoreksi dan dibersihkan adalah awal menuju hidup yang tak bercela!
Wednesday, April 20, 2016
BERUSAHA HIDUP SALEH (2)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 20 April 2016
Baca: Mazmur 37:18-20
"TUHAN mengetahui hari-hari orang yang saleh, dan milik pusaka mereka akan tetap selama-lamanya;" Mazmur 37:18
Untuk memiliki kehidupan saleh ada hal yang harus kita kembangkan. Kita harus meng-upgrade diri setiap hari, sebab hidup saleh tidak terbentuk otomatis; setelah menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat pun kita tidak langsung menjadi orang saleh.
Kesalehan terbentuk melalui suatu proses day by day. Kita harus mau dibentuk dan diproses, seperti tanah liat di tangan tukang periuk. "Apabila bejana, yang sedang dibuatnya dari tanah liat di tangannya itu, rusak, maka tukang periuk itu mengerjakannya kembali menjadi bejana lain menurut apa yang baik pada pemandangannya." (Yeremia 18:4). Apa saja yang harus kita kembangkan? Rasul Petrus mengatakan, "...kamu harus dengan sungguh-sungguh berusaha untuk menambahkan kepada imanmu kebajikan, dan kepada kebajikan pengetahuan, dan kepada pengetahuan penguasaan diri, kepada penguasaan diri ketekunan, dan kepada ketekunan kesalehan, dan kepada kesalehan kasih akan saudara-saudara, dan kepada kasih akan saudara-saudara kasih akan semua orang." (2 Petrus 1:5-7).
Namun semua faktor yang menunjang kehidupan saleh tersebut tidak akan bertumbuh jika kita sendiri tidak mau terlibat secara aktif mengembangkannya. Ingat! Hidup dalam kesalehan adalah hal yang sangat serius di hadapan Tuhan, karena itu kita pun harus merespons dengan tindakan yang serius pula. Tidak ada istilah main-main! Ayub, meskipun mengalami penderitaan yang teramat berat: harta bendanya ludes dan semua anaknya mati, ia tetap berjuang untuk menjaga kesalehan hidupnya. Bahkan isterinya sampai berkata, "'Masih bertekunkah engkau dalam kesalehanmu? Kutukilah Allahmu dan matilah!' Tetapi jawab Ayub kepadanya: 'Engkau berbicara seperti perempuan gila! Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?' Dalam kesemuanya itu Ayub tidak berbuat dosa dengan bibirnya." (Ayub 2:9-10). Ketika sedang dihadapkan pada masalah, kesesakan, kesukaran dan penderitaan, saat itulah kesalehan seseorang sedang diuji.
Terhadap orang yang tetap kokoh dalam kesalehannya di segala situasi Tuhan pasti akan menyatakan pembelaan-Nya!
Baca: Mazmur 37:18-20
"TUHAN mengetahui hari-hari orang yang saleh, dan milik pusaka mereka akan tetap selama-lamanya;" Mazmur 37:18
Untuk memiliki kehidupan saleh ada hal yang harus kita kembangkan. Kita harus meng-upgrade diri setiap hari, sebab hidup saleh tidak terbentuk otomatis; setelah menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat pun kita tidak langsung menjadi orang saleh.
Kesalehan terbentuk melalui suatu proses day by day. Kita harus mau dibentuk dan diproses, seperti tanah liat di tangan tukang periuk. "Apabila bejana, yang sedang dibuatnya dari tanah liat di tangannya itu, rusak, maka tukang periuk itu mengerjakannya kembali menjadi bejana lain menurut apa yang baik pada pemandangannya." (Yeremia 18:4). Apa saja yang harus kita kembangkan? Rasul Petrus mengatakan, "...kamu harus dengan sungguh-sungguh berusaha untuk menambahkan kepada imanmu kebajikan, dan kepada kebajikan pengetahuan, dan kepada pengetahuan penguasaan diri, kepada penguasaan diri ketekunan, dan kepada ketekunan kesalehan, dan kepada kesalehan kasih akan saudara-saudara, dan kepada kasih akan saudara-saudara kasih akan semua orang." (2 Petrus 1:5-7).
Namun semua faktor yang menunjang kehidupan saleh tersebut tidak akan bertumbuh jika kita sendiri tidak mau terlibat secara aktif mengembangkannya. Ingat! Hidup dalam kesalehan adalah hal yang sangat serius di hadapan Tuhan, karena itu kita pun harus merespons dengan tindakan yang serius pula. Tidak ada istilah main-main! Ayub, meskipun mengalami penderitaan yang teramat berat: harta bendanya ludes dan semua anaknya mati, ia tetap berjuang untuk menjaga kesalehan hidupnya. Bahkan isterinya sampai berkata, "'Masih bertekunkah engkau dalam kesalehanmu? Kutukilah Allahmu dan matilah!' Tetapi jawab Ayub kepadanya: 'Engkau berbicara seperti perempuan gila! Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?' Dalam kesemuanya itu Ayub tidak berbuat dosa dengan bibirnya." (Ayub 2:9-10). Ketika sedang dihadapkan pada masalah, kesesakan, kesukaran dan penderitaan, saat itulah kesalehan seseorang sedang diuji.
Terhadap orang yang tetap kokoh dalam kesalehannya di segala situasi Tuhan pasti akan menyatakan pembelaan-Nya!
Tuesday, April 19, 2016
BERUSAHA HIDUP SALEH (1)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 19 April 2016
Baca: 2 Petrus 1:3-5
"Karena kuasa ilahi-Nya telah menganugerahkan kepada kita segala sesuatu yang berguna untuk hidup yang saleh oleh pengenalan kita akan Dia, yang telah memanggil kita oleh kuasa-Nya yang mulia dan ajaib." 2 Petrus 1:3
Kebanyakan orang beranggapan bahwa hidup saleh di masa sekarang ini ibarat menegakkan benang basah, sesuatu yang mustahil dilakukan. Mengapa demikian? Karena dunia sudah begitu rusak dan penuh kejahatan di segala bidang kehidupan.
Apa itu hidup saleh? Kata saleh memiliki pengertian: taat, sungguh-sungguh menjalankan ibadah, suci dan beriman. Bagi orang-orang dunia menjalani hidup saleh mungkin hal yang mustahil, tetapi bagi orang percaya adalah sangat mungkin, karena Tuhan telah memberikan Roh kudus-Nya kepada kita dan menganugerahkan segala sesuatu yang berguna untuk hidup saleh (ayat nas). Alkitab menyatakan bahwa Roh Kudus, disebut pula Roh Kebenaran, "...akan memimpin kamu ke dalam seluruh kebenaran;" (Yohanes 16:13). Oleh karena itu rasul Paulus menasihati, "Maksudku ialah: hiduplah oleh Roh, maka kamu tidak akan menuruti keinginan daging. Sebab keinginan daging berlawanan dengan keinginan Roh dan keinginan Roh berlawanan dengan keinginan daging--karena keduanya bertentangan--sehingga kamu setiap kali tidak melakukan apa yang kamu kehendaki." (Galatia 5:16-17). Asal kita mau dipimpin oleh Roh Kudus setiap hari maka hidup saleh bukan sekedar impian, tapi bisa terwujud. Hidup saleh adalah sebuah perintah, bukan sekedar saran atau himbauan, karena itu kita harus berusaha dan berjuang sedemikian rupa. "...hendaklah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu sama seperti Dia yang kudus, yang telah memanggil kamu, sebab ada tertulis: Kuduslah kamu, sebab Aku kudus." (1 Petrus 1:15-16).
Jadi hidup saleh adalah kehidupan yang mencerminkan karakter Kristus secara nyata. Terhadap orang-orang yang hidup dalam kesalehan Tuhan menganugerahkan janji-janji yang berharga dan besar. Sungguh, Tuhan kita adalah Tuhan yang sangat baik dan teramat baik, sebab ia bukan hanya memberikan perintah untuk hidup dalam kesalehan, namun Ia juga tahu persis sampai di mana batas kekuatan kita, karena itu Roh Kudus-Nya diutus untuk menyertai, menolong dan menuntun kita kepada segala kebenaran. (Bersambung)
Baca: 2 Petrus 1:3-5
"Karena kuasa ilahi-Nya telah menganugerahkan kepada kita segala sesuatu yang berguna untuk hidup yang saleh oleh pengenalan kita akan Dia, yang telah memanggil kita oleh kuasa-Nya yang mulia dan ajaib." 2 Petrus 1:3
Kebanyakan orang beranggapan bahwa hidup saleh di masa sekarang ini ibarat menegakkan benang basah, sesuatu yang mustahil dilakukan. Mengapa demikian? Karena dunia sudah begitu rusak dan penuh kejahatan di segala bidang kehidupan.
Apa itu hidup saleh? Kata saleh memiliki pengertian: taat, sungguh-sungguh menjalankan ibadah, suci dan beriman. Bagi orang-orang dunia menjalani hidup saleh mungkin hal yang mustahil, tetapi bagi orang percaya adalah sangat mungkin, karena Tuhan telah memberikan Roh kudus-Nya kepada kita dan menganugerahkan segala sesuatu yang berguna untuk hidup saleh (ayat nas). Alkitab menyatakan bahwa Roh Kudus, disebut pula Roh Kebenaran, "...akan memimpin kamu ke dalam seluruh kebenaran;" (Yohanes 16:13). Oleh karena itu rasul Paulus menasihati, "Maksudku ialah: hiduplah oleh Roh, maka kamu tidak akan menuruti keinginan daging. Sebab keinginan daging berlawanan dengan keinginan Roh dan keinginan Roh berlawanan dengan keinginan daging--karena keduanya bertentangan--sehingga kamu setiap kali tidak melakukan apa yang kamu kehendaki." (Galatia 5:16-17). Asal kita mau dipimpin oleh Roh Kudus setiap hari maka hidup saleh bukan sekedar impian, tapi bisa terwujud. Hidup saleh adalah sebuah perintah, bukan sekedar saran atau himbauan, karena itu kita harus berusaha dan berjuang sedemikian rupa. "...hendaklah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu sama seperti Dia yang kudus, yang telah memanggil kamu, sebab ada tertulis: Kuduslah kamu, sebab Aku kudus." (1 Petrus 1:15-16).
Jadi hidup saleh adalah kehidupan yang mencerminkan karakter Kristus secara nyata. Terhadap orang-orang yang hidup dalam kesalehan Tuhan menganugerahkan janji-janji yang berharga dan besar. Sungguh, Tuhan kita adalah Tuhan yang sangat baik dan teramat baik, sebab ia bukan hanya memberikan perintah untuk hidup dalam kesalehan, namun Ia juga tahu persis sampai di mana batas kekuatan kita, karena itu Roh Kudus-Nya diutus untuk menyertai, menolong dan menuntun kita kepada segala kebenaran. (Bersambung)
Monday, April 18, 2016
TUHAN TETAP SANG PENYEMBUH
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 18 April 2016
Baca: Mazmur 30:1-13
"TUHAN, Allahku, kepada-Mu aku berteriak minta tolong, dan Engkau telah menyembuhkan aku." Mazmur 30:3
Setiap orang pasti memiliki banyak pergumulan dalam hidupnya, dan pergumulan tiap-tiap orang pasti berbeda. Salah satu pergumulan yang kita hadapi dalam hidup ini adalah berkenaan dengan sakit-penyakit. Ada banyak orang yang mungkin merasa lelah dan putus asa karena harus bergumul dengan sakit-penyakitnya yang tak kunjung sembuh. Ketika menghadapi pergumulan seperti itu pemazmur berteriak minta tolong, dan "...Engkau telah menyembuhkan aku." (ayat nas).
Perhatikan apa yang Tuhan janjikan kepada umat Israel ketika membawa mereka keluar dari Mesir: "Jika kamu sungguh-sungguh mendengarkan suara TUHAN, Allahmu, dan melakukan apa yang benar di mata-Nya, dan memasang telingamu kepada perintah-perintah-Nya dan tetap mengikuti segala ketetapan-Nya, maka Aku tidak akan menimpakan kepadamu penyakit manapun, yang telah Kutimpakan kepada orang Mesir; sebab Aku Tuhanlah yang menyembuhkan engkau." (Keluaran 15:26). Artinya, sejak dari semula sifat Tuhan adalah menyembuhkan dan selalu merancangkan hal yang baik. Terbukti selama menempuh perjalanan 40 tahun di padang gurun kaki mereka tidak menjadi bengkak (baca Ulangan 8:4), alias sehat. Dengan kata lain Tuhan bukan hanya menyembuhkan, Ia juga memberikan jaminan kesehatan untuk tubuh mereka asalkan taat.
Semasa pelayanan-Nya di bumi Yesus juga melakukan pelayanan kesembuhan, Ia "...menyembuhkan banyak orang yang menderita bermacam-macam penyakit dan mengusir banyak setan;" (Matius 1:34). Tak diragukan lagi bahwa Ia berkuasa menyembuhkan siapa pun sesuai dengan kehendak-Nya. Tidak satu penyakit pun yang tidak dapat disembuhkan oleh Tuhan. Mungkin ada yang bertanya mengapa Tuhan belum menjawab doanya dan menyembuhkan sakitnya. Menyembuhkan sakit kita atau tidak, bukan berarti Tuhan tidak punya kuasa, atau Dia ingkar janji. Dari dahulu, sekarang dan sampai selama-lamanya Tuhan tetaplah Sang Penyembuh, Jehovah Rapha. Selalu ada maksud dan rencana-Nya di balik masalah kita.
Kesembuhan hanya diberikan berdasarkan waktu dan kehendak Tuhan, tetaplah mengucap syukur dan jangan berubah sikap!
Baca: Mazmur 30:1-13
"TUHAN, Allahku, kepada-Mu aku berteriak minta tolong, dan Engkau telah menyembuhkan aku." Mazmur 30:3
Setiap orang pasti memiliki banyak pergumulan dalam hidupnya, dan pergumulan tiap-tiap orang pasti berbeda. Salah satu pergumulan yang kita hadapi dalam hidup ini adalah berkenaan dengan sakit-penyakit. Ada banyak orang yang mungkin merasa lelah dan putus asa karena harus bergumul dengan sakit-penyakitnya yang tak kunjung sembuh. Ketika menghadapi pergumulan seperti itu pemazmur berteriak minta tolong, dan "...Engkau telah menyembuhkan aku." (ayat nas).
Perhatikan apa yang Tuhan janjikan kepada umat Israel ketika membawa mereka keluar dari Mesir: "Jika kamu sungguh-sungguh mendengarkan suara TUHAN, Allahmu, dan melakukan apa yang benar di mata-Nya, dan memasang telingamu kepada perintah-perintah-Nya dan tetap mengikuti segala ketetapan-Nya, maka Aku tidak akan menimpakan kepadamu penyakit manapun, yang telah Kutimpakan kepada orang Mesir; sebab Aku Tuhanlah yang menyembuhkan engkau." (Keluaran 15:26). Artinya, sejak dari semula sifat Tuhan adalah menyembuhkan dan selalu merancangkan hal yang baik. Terbukti selama menempuh perjalanan 40 tahun di padang gurun kaki mereka tidak menjadi bengkak (baca Ulangan 8:4), alias sehat. Dengan kata lain Tuhan bukan hanya menyembuhkan, Ia juga memberikan jaminan kesehatan untuk tubuh mereka asalkan taat.
Semasa pelayanan-Nya di bumi Yesus juga melakukan pelayanan kesembuhan, Ia "...menyembuhkan banyak orang yang menderita bermacam-macam penyakit dan mengusir banyak setan;" (Matius 1:34). Tak diragukan lagi bahwa Ia berkuasa menyembuhkan siapa pun sesuai dengan kehendak-Nya. Tidak satu penyakit pun yang tidak dapat disembuhkan oleh Tuhan. Mungkin ada yang bertanya mengapa Tuhan belum menjawab doanya dan menyembuhkan sakitnya. Menyembuhkan sakit kita atau tidak, bukan berarti Tuhan tidak punya kuasa, atau Dia ingkar janji. Dari dahulu, sekarang dan sampai selama-lamanya Tuhan tetaplah Sang Penyembuh, Jehovah Rapha. Selalu ada maksud dan rencana-Nya di balik masalah kita.
Kesembuhan hanya diberikan berdasarkan waktu dan kehendak Tuhan, tetaplah mengucap syukur dan jangan berubah sikap!
Sunday, April 17, 2016
KEUTUHAN DALAM KELUARGA (2)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 17 April 2016
Baca: Titus 3:1-8
"pada waktu itu Dia telah menyelamatkan kita, bukan karena perbuatan baik yang telah kita lakukan, tetapi karena rahmat-Nya oleh permandian kelahiran kembali dan oleh pembaharuan yang dikerjakan oleh Roh Kudus," Titus 3:5
Keutuhan keluarga akan semakin terancam apabila masing-masing anggota keluarga tidak mampu menguasai diri atau mengendalikan emosinya. "Janganlah mereka memfitnah, janganlah mereka bertengkar, hendaklah mereka selalu ramah dan bersikap lemah lembut terhadap semua orang." (Titus 3:2).
Sering dijumpai ada suami-suami yang mudah sekali naik pitam dan terpancing emosinya, bahkan sampai melakukan tindakan kekerasan secara fisik: memukul anak dan isteri. Ada pula isteri-isteri yang tidak mampu mengendalikan lidahnya, begitu cerewet, suka sekali marah dan kurang menghormati suami dengan melontarkan kata-kata kasar. Perilaku isteri yang demikian akan semakin membuat suami tidak betah di rumah. Ada tertulis: "Lebih baik tinggal pada sudut sotoh rumah dari pada diam serumah dengan perempuan yang suka bertengkar." (Amsal 21:9). Penting sekali kita menggunakan lidah kita dengan benar. "...alangkah baiknya perkataan yang tepat pada waktunya!" (Amsal 21:9). Inilah yang akan menciptakan sebuah kerukunan dalam rumah tangga! Pemazmur menyatakan, "...apabila saudara-saudara diam bersama dengan rukun! ...ke sanalah TUHAN memerintahkan berkat, kehidupan untuk selama-lamanya." (Mazmur 133:1-3).
Rasul Paulus berkata, "Karena dahulu kita juga hidup dalam kejahilan: tidak taat, sesat, menjadi hamba berbagai-bagai nafsu dan keinginan, hidup dalam kejahatan dan kedengkian, keji, saling membenci." (Titus 3:3), namun kini keberadaan kita di dalam Kristus "...adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang." (2 Korintus 5:17). Oleh karena itu kita harus benar-benar menjadi pribadi yang berubah, yaitu meninggalkan semua tabiat lama atau kebiasaan-kebiasaan lama yang tidak berkenan kepada Tuhan, dan tidak lagi hidup seperti orang-orang yang belum mengenal Tuhan; setiap anggota keluarga juga harus punya tekad untuk saling melayani satu sama lain dan melakukan pekerjaan yang baik.
Keluarga akan terjaga keutuhannya dan semakin diberkati Tuhan bila masing-masing anggota keluarga menjalankan hidupnya sebagai manusia baru.
Baca: Titus 3:1-8
"pada waktu itu Dia telah menyelamatkan kita, bukan karena perbuatan baik yang telah kita lakukan, tetapi karena rahmat-Nya oleh permandian kelahiran kembali dan oleh pembaharuan yang dikerjakan oleh Roh Kudus," Titus 3:5
Keutuhan keluarga akan semakin terancam apabila masing-masing anggota keluarga tidak mampu menguasai diri atau mengendalikan emosinya. "Janganlah mereka memfitnah, janganlah mereka bertengkar, hendaklah mereka selalu ramah dan bersikap lemah lembut terhadap semua orang." (Titus 3:2).
Sering dijumpai ada suami-suami yang mudah sekali naik pitam dan terpancing emosinya, bahkan sampai melakukan tindakan kekerasan secara fisik: memukul anak dan isteri. Ada pula isteri-isteri yang tidak mampu mengendalikan lidahnya, begitu cerewet, suka sekali marah dan kurang menghormati suami dengan melontarkan kata-kata kasar. Perilaku isteri yang demikian akan semakin membuat suami tidak betah di rumah. Ada tertulis: "Lebih baik tinggal pada sudut sotoh rumah dari pada diam serumah dengan perempuan yang suka bertengkar." (Amsal 21:9). Penting sekali kita menggunakan lidah kita dengan benar. "...alangkah baiknya perkataan yang tepat pada waktunya!" (Amsal 21:9). Inilah yang akan menciptakan sebuah kerukunan dalam rumah tangga! Pemazmur menyatakan, "...apabila saudara-saudara diam bersama dengan rukun! ...ke sanalah TUHAN memerintahkan berkat, kehidupan untuk selama-lamanya." (Mazmur 133:1-3).
Rasul Paulus berkata, "Karena dahulu kita juga hidup dalam kejahilan: tidak taat, sesat, menjadi hamba berbagai-bagai nafsu dan keinginan, hidup dalam kejahatan dan kedengkian, keji, saling membenci." (Titus 3:3), namun kini keberadaan kita di dalam Kristus "...adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang." (2 Korintus 5:17). Oleh karena itu kita harus benar-benar menjadi pribadi yang berubah, yaitu meninggalkan semua tabiat lama atau kebiasaan-kebiasaan lama yang tidak berkenan kepada Tuhan, dan tidak lagi hidup seperti orang-orang yang belum mengenal Tuhan; setiap anggota keluarga juga harus punya tekad untuk saling melayani satu sama lain dan melakukan pekerjaan yang baik.
Keluarga akan terjaga keutuhannya dan semakin diberkati Tuhan bila masing-masing anggota keluarga menjalankan hidupnya sebagai manusia baru.
Saturday, April 16, 2016
KEUTUHAN DALAM KELUARGA (1)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 16 April 2016
Baca: Titus 3:1-8
"Ingatkanlah mereka supaya mereka tunduk pada pemerintah dan orang-orang yang berkuasa, taat dan siap untuk melakukan setiap pekerjaan yang baik." Titus 3:1
Saat ini banyak sekali terjadi goncangan dalam kehidupan rumah tangga atau keluarga. Keluarga menjadi sasaran atau bidikan Iblis. Bila keluarga terpecah-belah dan hancur akan berdampak kepada gereja, sebab keluarga adalah gereja inti.
Ada banyak masalah yang bermunculan dalam keluarga sehingga menimbulkan keretakan dan percekcokan di antara anggota keluarga. Kita sering membaca berita di surat kabar atau melihat dan mendengar berita di layar kaca, banyak sekali keluarga yang awalnya begitu harmonis berubah menjadi porak-poranda dan berujung perceraian. Kita tahu perceraian adalah perkara yang sangat dibenci Tuhan. "Sebab Aku membenci perceraian, firman TUHAN, Allah Israel..." (Maleakhi 2:16), karena "...apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia." (Matius 19:6). Menurut hasil survei statistik, Amerika Serikat adalah satu dari sepuluh negara dengan angka perceraian tertinggi di dunia, di mana sebagian besar keluarga di Amerika Serikat adalah keluarga-keluarga Kristen. Banyak faktor yang menjadi penyebab terjadinya perceraian dalam sebuah keluarga, di antaranya: ketidakharmonisan, kehadiran orang ke-3 dikarenakan suami atau isteri yang selingkuh, KDRT dan juga faktor ekonomi.
Melalui suratnya yang ditujukan kepada Titus, rasul Paulus memberikan nasihat bagaimana supaya kehidupan keluarga tetap kokoh dan senantiasa berada dalam pemeliharaan Tuhan. Hal utama yang harus ada dalam kehidupan keluarga atau rumah tangga adalah penundukan diri (ayat nas). Percekcokan seringkali terjadi dalam kehidupan keluarga ketika masing-masing tidak mau menundukkan diri kepada otoritas yang seharusnya. Mereka bersikeras mempertahankan ego masing-masing dan tidak mau mengalah. Seorang anak tidak mau tunduk kepada orangtuanya, seorang isteri tidak mau tunduk kepada suami yang adalah kepala keluarga, ia adalah "...kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat." (Efesus 5:23). Begitu juga suami tidak mau menundukkan diri kepada Kristus. Sikap mau menang sendiri akan hilang dengan sendirinya apabila tiap-tiap anggota keluarga (anak, isteri, suami) memiliki penundukan diri.
(Bersambung)
Baca: Titus 3:1-8
"Ingatkanlah mereka supaya mereka tunduk pada pemerintah dan orang-orang yang berkuasa, taat dan siap untuk melakukan setiap pekerjaan yang baik." Titus 3:1
Saat ini banyak sekali terjadi goncangan dalam kehidupan rumah tangga atau keluarga. Keluarga menjadi sasaran atau bidikan Iblis. Bila keluarga terpecah-belah dan hancur akan berdampak kepada gereja, sebab keluarga adalah gereja inti.
Ada banyak masalah yang bermunculan dalam keluarga sehingga menimbulkan keretakan dan percekcokan di antara anggota keluarga. Kita sering membaca berita di surat kabar atau melihat dan mendengar berita di layar kaca, banyak sekali keluarga yang awalnya begitu harmonis berubah menjadi porak-poranda dan berujung perceraian. Kita tahu perceraian adalah perkara yang sangat dibenci Tuhan. "Sebab Aku membenci perceraian, firman TUHAN, Allah Israel..." (Maleakhi 2:16), karena "...apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia." (Matius 19:6). Menurut hasil survei statistik, Amerika Serikat adalah satu dari sepuluh negara dengan angka perceraian tertinggi di dunia, di mana sebagian besar keluarga di Amerika Serikat adalah keluarga-keluarga Kristen. Banyak faktor yang menjadi penyebab terjadinya perceraian dalam sebuah keluarga, di antaranya: ketidakharmonisan, kehadiran orang ke-3 dikarenakan suami atau isteri yang selingkuh, KDRT dan juga faktor ekonomi.
Melalui suratnya yang ditujukan kepada Titus, rasul Paulus memberikan nasihat bagaimana supaya kehidupan keluarga tetap kokoh dan senantiasa berada dalam pemeliharaan Tuhan. Hal utama yang harus ada dalam kehidupan keluarga atau rumah tangga adalah penundukan diri (ayat nas). Percekcokan seringkali terjadi dalam kehidupan keluarga ketika masing-masing tidak mau menundukkan diri kepada otoritas yang seharusnya. Mereka bersikeras mempertahankan ego masing-masing dan tidak mau mengalah. Seorang anak tidak mau tunduk kepada orangtuanya, seorang isteri tidak mau tunduk kepada suami yang adalah kepala keluarga, ia adalah "...kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat." (Efesus 5:23). Begitu juga suami tidak mau menundukkan diri kepada Kristus. Sikap mau menang sendiri akan hilang dengan sendirinya apabila tiap-tiap anggota keluarga (anak, isteri, suami) memiliki penundukan diri.
(Bersambung)
Friday, April 15, 2016
MENGHORMATI DAN MENGASIHI ORANG TUA
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 15 April 2016
Baca: Amsal 10:1-10
"Anak yang bijak mendatangkan sukacita kepada ayahnya, tetapi anak yang bebal adalah kedukaan bagi ibunya." Amsal 10:1
Di zaman sekarang ini sering kita jumpai anak muda yang kurang menghormati orangtuanya. Mereka suka sekali melawan dan menentang nasihat orangtua yang dianggap kuno, lalu mereka pun memilih menjalani hidup sekehendak hati karena merasa diri sudah besar. Akibatnya? Tidak sedikit yang salah pergaulan: terlibat narkoba, seks bebas, dugem dan sebagainya. Firman Tuhan sudah memperingatkan, "Janganlah kamu sesat: Pergaulan yang buruk merusakkan kebiasaan yang baik." (1 Korintus 15:33).
Bagi seorang anak, menghormati orangtua adalah wajib, dan merupakan perintah Tuhan yang harus ditaati, bahkan termasuk dalam satu dari sepuluh hukum Tuhan. "Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu." (Keluaran 20:12). Terhadap anak yang menghormati orangtuanya saja Tuhan menyediakan berkat-berkat-Nya, terlebih-lebih terhadap anak yang mau membalas budi dan berbuat baik kepada orangtuanya. Karena itu selagi orangtua kita masih hidup hormatilah dan perlakukan mereka dengan dilandasi oleh kasih Kristus.
Kalau ada orang Kristen yang tidak menghormati orangtuanya, berlaku kurang ajar, apalagi sampai menelantarkan orangtuanya, ia telah melanggar firman Tuhan. Kita menghormati orangtua bukan semata-mata karena mereka telah mencukupi semua yang kita butuhkan, atau dengan harapan supaya mendapatkan warisan. Kalau demikian maka kasih seperti itu adalah kasih yang tidak tulus karena disertai dengan motivasi terselubung. Menghormati orangtua harus dengan kasih yang tulus di segala keadaan. Sekalipun mereka tidak mampu memberikan apa yang kita perlukan sepenuhnya, sebagai anak, kita harus tetap menghormati dan mengasihi orangtua kita. Mengapa? Mereka adalah wakil Tuhan, dan keberadaan anak hampir seluruhnya bergantung penuh kepada orangtua sampai beranjak dewasa. "Karena bukan anak-anak yang harus mengumpulkan harta untuk orang tuanya, melainkan orang tualah untuk anak-anaknya." (2 Korintus 12:14b).
Seorang anak yang menghormati dan membalas kasih orangtua Tuhan pasti akan membalas perbuatan baiknya, sekalipun orangtua tidak mampu membalas sang anak.
Baca: Amsal 10:1-10
"Anak yang bijak mendatangkan sukacita kepada ayahnya, tetapi anak yang bebal adalah kedukaan bagi ibunya." Amsal 10:1
Di zaman sekarang ini sering kita jumpai anak muda yang kurang menghormati orangtuanya. Mereka suka sekali melawan dan menentang nasihat orangtua yang dianggap kuno, lalu mereka pun memilih menjalani hidup sekehendak hati karena merasa diri sudah besar. Akibatnya? Tidak sedikit yang salah pergaulan: terlibat narkoba, seks bebas, dugem dan sebagainya. Firman Tuhan sudah memperingatkan, "Janganlah kamu sesat: Pergaulan yang buruk merusakkan kebiasaan yang baik." (1 Korintus 15:33).
Bagi seorang anak, menghormati orangtua adalah wajib, dan merupakan perintah Tuhan yang harus ditaati, bahkan termasuk dalam satu dari sepuluh hukum Tuhan. "Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu." (Keluaran 20:12). Terhadap anak yang menghormati orangtuanya saja Tuhan menyediakan berkat-berkat-Nya, terlebih-lebih terhadap anak yang mau membalas budi dan berbuat baik kepada orangtuanya. Karena itu selagi orangtua kita masih hidup hormatilah dan perlakukan mereka dengan dilandasi oleh kasih Kristus.
Kalau ada orang Kristen yang tidak menghormati orangtuanya, berlaku kurang ajar, apalagi sampai menelantarkan orangtuanya, ia telah melanggar firman Tuhan. Kita menghormati orangtua bukan semata-mata karena mereka telah mencukupi semua yang kita butuhkan, atau dengan harapan supaya mendapatkan warisan. Kalau demikian maka kasih seperti itu adalah kasih yang tidak tulus karena disertai dengan motivasi terselubung. Menghormati orangtua harus dengan kasih yang tulus di segala keadaan. Sekalipun mereka tidak mampu memberikan apa yang kita perlukan sepenuhnya, sebagai anak, kita harus tetap menghormati dan mengasihi orangtua kita. Mengapa? Mereka adalah wakil Tuhan, dan keberadaan anak hampir seluruhnya bergantung penuh kepada orangtua sampai beranjak dewasa. "Karena bukan anak-anak yang harus mengumpulkan harta untuk orang tuanya, melainkan orang tualah untuk anak-anaknya." (2 Korintus 12:14b).
Seorang anak yang menghormati dan membalas kasih orangtua Tuhan pasti akan membalas perbuatan baiknya, sekalipun orangtua tidak mampu membalas sang anak.
Thursday, April 14, 2016
MENJADI ORANG JUJUR (2)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 14 April 2016
Baca: Mazmur 50:1-23
"siapa yang jujur jalannya, keselamatan yang dari Allah akan Kuperlihatkan kepadanya." Mazmur 50:23b
Kebanyakan orang cenderung berani berdusta atau berkata tidak jujur karena mereka lebih memilih untuk takut kepada manusia, sekedar menyenangkan hati orang lain, daripada takut kepada Tuhan. Mereka berpikir lebih mudah berdusta kepada Tuhan yang tak dilihatnya daripada berdusta di hadapan manusia yang terlihat secara kasat mata. Kalau sampai ketahuan berdusta di hadapan manusia resiko yang langsung diterimanya adalah malu, dimarahi, didamprat atau mungkin dipecat.
Cepat atau lambat setiap ketidakjujuran atau kebohongan pasti akan terungkap. Manusia mungkin saja tidak tahu dan bisa dikelabui dengan kebohongan kita, tetapi Tuhan yang duduk di atas takhta-Nya adalah Mahatahu, bahkan "...TUHAN menyelidiki segala hati dan mengerti segala niat dan cita-cita." (1 Tawarikh 28:9). Apa pun yang kita pikirkan, rancangkan, cita-citakan, Tuhan tahu secara persis. "Dan tidak ada suatu makhlukpun yang tersembunyi di hadapan-Nya, sebab segala sesuatu telanjang dan terbuka di depan mata Dia, yang kepada-Nya kita harus memberikan pertanggungan jawab." (Ibrani 4:13). Berhentilah berkata dusta, jadilah orang yang jujur, sebab "Orang yang dusta bibirnya adalah kekejian bagi TUHAN, tetapi orang yang berlaku setia dikenan-Nya." (Amsal 12:22).
Di masa sekarang ini dunia penuh dosa dan kejahatan yang begitu merajalela sehingga semakin sulit hidup dalam kejujuran. Haruskah orang percaya mengikuti arus dunia ini untuk hidup dalam ketidakjujuran? "...siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang." (2 Korintus 5:17). Sebagai ciptaan baru di dalam Kristus kita harus meninggalkan tabiat lama. Karakter lama harus kita buang dan hidup menurut pimpinan Roh Kudus. Hidup menurut kehendak Tuhan berarti harus menjadi orang jujur. Rugikah hidup jujur? Daud menulis: "...orang-orang benar akan memuji nama-Mu, orang-orang yang jujur akan diam di hadapan-Mu." (Mazmur 140:14). Berhenti dari kebiasaan berdusta tidak mudah, tetapi dengan pertolongan Roh Kudus kita pasti bisa terlepas dari dusta asal ada kemauan dan tekad yang kuat.
"Menjauhi kejahatan itulah jalan orang jujur;" Amsal 16:17
Baca: Mazmur 50:1-23
"siapa yang jujur jalannya, keselamatan yang dari Allah akan Kuperlihatkan kepadanya." Mazmur 50:23b
Kebanyakan orang cenderung berani berdusta atau berkata tidak jujur karena mereka lebih memilih untuk takut kepada manusia, sekedar menyenangkan hati orang lain, daripada takut kepada Tuhan. Mereka berpikir lebih mudah berdusta kepada Tuhan yang tak dilihatnya daripada berdusta di hadapan manusia yang terlihat secara kasat mata. Kalau sampai ketahuan berdusta di hadapan manusia resiko yang langsung diterimanya adalah malu, dimarahi, didamprat atau mungkin dipecat.
Cepat atau lambat setiap ketidakjujuran atau kebohongan pasti akan terungkap. Manusia mungkin saja tidak tahu dan bisa dikelabui dengan kebohongan kita, tetapi Tuhan yang duduk di atas takhta-Nya adalah Mahatahu, bahkan "...TUHAN menyelidiki segala hati dan mengerti segala niat dan cita-cita." (1 Tawarikh 28:9). Apa pun yang kita pikirkan, rancangkan, cita-citakan, Tuhan tahu secara persis. "Dan tidak ada suatu makhlukpun yang tersembunyi di hadapan-Nya, sebab segala sesuatu telanjang dan terbuka di depan mata Dia, yang kepada-Nya kita harus memberikan pertanggungan jawab." (Ibrani 4:13). Berhentilah berkata dusta, jadilah orang yang jujur, sebab "Orang yang dusta bibirnya adalah kekejian bagi TUHAN, tetapi orang yang berlaku setia dikenan-Nya." (Amsal 12:22).
Di masa sekarang ini dunia penuh dosa dan kejahatan yang begitu merajalela sehingga semakin sulit hidup dalam kejujuran. Haruskah orang percaya mengikuti arus dunia ini untuk hidup dalam ketidakjujuran? "...siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang." (2 Korintus 5:17). Sebagai ciptaan baru di dalam Kristus kita harus meninggalkan tabiat lama. Karakter lama harus kita buang dan hidup menurut pimpinan Roh Kudus. Hidup menurut kehendak Tuhan berarti harus menjadi orang jujur. Rugikah hidup jujur? Daud menulis: "...orang-orang benar akan memuji nama-Mu, orang-orang yang jujur akan diam di hadapan-Mu." (Mazmur 140:14). Berhenti dari kebiasaan berdusta tidak mudah, tetapi dengan pertolongan Roh Kudus kita pasti bisa terlepas dari dusta asal ada kemauan dan tekad yang kuat.
"Menjauhi kejahatan itulah jalan orang jujur;" Amsal 16:17
Wednesday, April 13, 2016
MENJADI ORANG JUJUR (1)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 13 April 2016
Baca: Mazmur 140:1-4
"Sungguh, orang-orang benar akan memuji nama-Mu, orang-orang yang jujur akan diam di hadapan-Mu." Mazmur 140:14
Dalam kehidupan sehari-hari kita seringkali mendengar orang berkata, "Zaman sekarang ini mana ada orang jujur? Orang jujur akan hancur!" Demikianlah kejujuran seperti barang langka dan teramat mahal harganya sekarang ini. Mikha pun mengeluhkan hal yang sama, "Orang saleh sudah hilang dari negeri, dan tiada lagi orang jujur di antara manusia. Mereka semuanya mengincar darah, yang seorang mencoba menangkap yang lain dengan jaring. Tangan mereka sudah cekatan berbuat jahat;" (Mikha 7:2-3). Karena tuntutan ekonomi orang mengorbankan nilai-nilai kejujuran dalam hidupnya. Karena ingin mengeruk laba sebesar-besarnya orang memilih tidak jujur daripada harus berbuat benar.
Arti kata jujur adalah lurus hati, tidak berbohong, tidak curang (dalam permainan atau mengikuti aturan yang berlaku). Jujur berarti ya adalah ya, atau tidak adalah tidak. Sedangkan lawan dari jujur adalah dusta atau bohong. Berkata dusta berarti apa yang dikatakan bibir berbeda dengan isi hatinya, alias berkata 'ya' padahal di dalam hatinya berkata 'tidak'. Alkitab dengan tegas mengajarkan: "Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat." (Matius 5:37). Sebagai orang percaya berkata jujur atau menjadi orang yang jujur adalah harga mutlak. Kalau dalam hati 'tidak' tetapi yang keluar dari mulut 'ya' berarti kita sudah tidak jujur, alias berdusta. Alkitab dengan jelas menyatakan bahwa dusta adalah sifat dan perbuatan dari Iblis. "Iblislah yang menjadi bapamu dan kamu ingin melakukan keinginan-keinginan bapamu. Ia adalah pembunuh manusia sejak semula dan tidak hidup dalam kebenaran, sebab di dalam dia tidak ada kebenaran. Apabila ia berkata dusta, ia berkata atas kehendaknya sendiri, sebab ia adalah pendusta dan bapa segala dusta." (Yohanes 8:44).
Kalau kita tetap saja suka berdusta atau berbohong berarti kita sedang meneladani Iblis dan mengikuti jejaknya, karena dusta adalah karakter Iblis yang adalah bapa dari pendusta.
Maukah kita ini disebut sebagai anak-anak Iblis? Tentu saja tidak! Oleh karena itu berusahalah untuk selalu berkata jujur dan benar mulai dari sekarang.
Baca: Mazmur 140:1-4
"Sungguh, orang-orang benar akan memuji nama-Mu, orang-orang yang jujur akan diam di hadapan-Mu." Mazmur 140:14
Dalam kehidupan sehari-hari kita seringkali mendengar orang berkata, "Zaman sekarang ini mana ada orang jujur? Orang jujur akan hancur!" Demikianlah kejujuran seperti barang langka dan teramat mahal harganya sekarang ini. Mikha pun mengeluhkan hal yang sama, "Orang saleh sudah hilang dari negeri, dan tiada lagi orang jujur di antara manusia. Mereka semuanya mengincar darah, yang seorang mencoba menangkap yang lain dengan jaring. Tangan mereka sudah cekatan berbuat jahat;" (Mikha 7:2-3). Karena tuntutan ekonomi orang mengorbankan nilai-nilai kejujuran dalam hidupnya. Karena ingin mengeruk laba sebesar-besarnya orang memilih tidak jujur daripada harus berbuat benar.
Arti kata jujur adalah lurus hati, tidak berbohong, tidak curang (dalam permainan atau mengikuti aturan yang berlaku). Jujur berarti ya adalah ya, atau tidak adalah tidak. Sedangkan lawan dari jujur adalah dusta atau bohong. Berkata dusta berarti apa yang dikatakan bibir berbeda dengan isi hatinya, alias berkata 'ya' padahal di dalam hatinya berkata 'tidak'. Alkitab dengan tegas mengajarkan: "Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat." (Matius 5:37). Sebagai orang percaya berkata jujur atau menjadi orang yang jujur adalah harga mutlak. Kalau dalam hati 'tidak' tetapi yang keluar dari mulut 'ya' berarti kita sudah tidak jujur, alias berdusta. Alkitab dengan jelas menyatakan bahwa dusta adalah sifat dan perbuatan dari Iblis. "Iblislah yang menjadi bapamu dan kamu ingin melakukan keinginan-keinginan bapamu. Ia adalah pembunuh manusia sejak semula dan tidak hidup dalam kebenaran, sebab di dalam dia tidak ada kebenaran. Apabila ia berkata dusta, ia berkata atas kehendaknya sendiri, sebab ia adalah pendusta dan bapa segala dusta." (Yohanes 8:44).
Kalau kita tetap saja suka berdusta atau berbohong berarti kita sedang meneladani Iblis dan mengikuti jejaknya, karena dusta adalah karakter Iblis yang adalah bapa dari pendusta.
Maukah kita ini disebut sebagai anak-anak Iblis? Tentu saja tidak! Oleh karena itu berusahalah untuk selalu berkata jujur dan benar mulai dari sekarang.
Tuesday, April 12, 2016
RANCANGAN YANG TERGENAPI
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 12 April 2016
Baca: Mazmur 92:1-16
"Betapa besarnya pekerjaan-pekerjaan-Mu, ya TUHAN, dan sangat dalamnya rancangan-rancangan-Mu." Mazmur 92:6
Alkitab menyatakan bahwa rancangan Tuhan bagi umat-Nya adalah "...rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan." (Yeremia 29:11). Rancangan Tuhan ini akan tergenapi apabila setiap orang percaya juga bertindak aktif meresponsnya. Kita tidak bisa hanya duduk termenung, berpangku tangan dan bersikap pasif seperti menunggu durian jatuh, melainkan harus aktif dan produktif. Artinya kita harus mau membayar harga! Tidak pernah kita temukan dalam kamus bahwa kunci meraih keberhasilan dan kesuksesan adalah santai, bermalas-malasan, apalagi menggantungkan hidup pada orang lain atau menjadi benalu bagi orang lain. Ada tertulis: "Tangan yang lamban membuat miskin, tetapi tangan orang rajin menjadikan kaya." (Amsal 10:4). Adapun orang yang malas kesukaannya "Tidur sebentar lagi, mengantuk sebentar lagi, melipat tangan sebentar lagi untuk tinggal berbaring, maka datanglah kemiskinan seperti seorang penyerbu, dan kekurangan seperti orang yang bersenjata." (Amsal 24:33-34).
Supaya rancangan Tuhan tergenapi dalam hidup ini, selain harus bekerja keras, kita juga harus mengandalkan Tuhan, artinya mempercayakan seluruh hidup ini dalam pimpinan Tuhan, juga hidup menurut firman-Nya. Tuhan menasihati Yosua, "Janganlah engkau lupa memperkatakan kitab Taurat ini, tetapi renungkanlah itu siang dan malam, supaya engkau bertindak hati-hati sesuai dengan segala yang tertulis di dalamnya, sebab dengan demikian perjalananmu akan berhasil dan engkau akan beruntung." (Yosua 1:8).
Jadi, orang Kristen sejati adalah mereka yang mau membayar harga dan senantiasa mengandalkan Tuhan. Juga jangan pernah gengsi belajar dari orang lain. Bukan berarti kita mengekor orang lain atau tidak berprinsip, melainkan belajar dari pengalaman orang-orang yang berhasil. Jangan lupa pula untuk membangun hubungan dengan orang yang dapat memberikan energi positif, dan jangan salah bergaul, sebab "Pergaulan yang buruk merusakkan kebiasaan yang baik." (1 Korintus 15:33).
Rancangan Tuhan akan tergenapi asal kita mau meresponsnya dengan tindakan!
Baca: Mazmur 92:1-16
"Betapa besarnya pekerjaan-pekerjaan-Mu, ya TUHAN, dan sangat dalamnya rancangan-rancangan-Mu." Mazmur 92:6
Alkitab menyatakan bahwa rancangan Tuhan bagi umat-Nya adalah "...rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan." (Yeremia 29:11). Rancangan Tuhan ini akan tergenapi apabila setiap orang percaya juga bertindak aktif meresponsnya. Kita tidak bisa hanya duduk termenung, berpangku tangan dan bersikap pasif seperti menunggu durian jatuh, melainkan harus aktif dan produktif. Artinya kita harus mau membayar harga! Tidak pernah kita temukan dalam kamus bahwa kunci meraih keberhasilan dan kesuksesan adalah santai, bermalas-malasan, apalagi menggantungkan hidup pada orang lain atau menjadi benalu bagi orang lain. Ada tertulis: "Tangan yang lamban membuat miskin, tetapi tangan orang rajin menjadikan kaya." (Amsal 10:4). Adapun orang yang malas kesukaannya "Tidur sebentar lagi, mengantuk sebentar lagi, melipat tangan sebentar lagi untuk tinggal berbaring, maka datanglah kemiskinan seperti seorang penyerbu, dan kekurangan seperti orang yang bersenjata." (Amsal 24:33-34).
Supaya rancangan Tuhan tergenapi dalam hidup ini, selain harus bekerja keras, kita juga harus mengandalkan Tuhan, artinya mempercayakan seluruh hidup ini dalam pimpinan Tuhan, juga hidup menurut firman-Nya. Tuhan menasihati Yosua, "Janganlah engkau lupa memperkatakan kitab Taurat ini, tetapi renungkanlah itu siang dan malam, supaya engkau bertindak hati-hati sesuai dengan segala yang tertulis di dalamnya, sebab dengan demikian perjalananmu akan berhasil dan engkau akan beruntung." (Yosua 1:8).
Jadi, orang Kristen sejati adalah mereka yang mau membayar harga dan senantiasa mengandalkan Tuhan. Juga jangan pernah gengsi belajar dari orang lain. Bukan berarti kita mengekor orang lain atau tidak berprinsip, melainkan belajar dari pengalaman orang-orang yang berhasil. Jangan lupa pula untuk membangun hubungan dengan orang yang dapat memberikan energi positif, dan jangan salah bergaul, sebab "Pergaulan yang buruk merusakkan kebiasaan yang baik." (1 Korintus 15:33).
Rancangan Tuhan akan tergenapi asal kita mau meresponsnya dengan tindakan!
Monday, April 11, 2016
MENCIPTAKAN CITA RASA
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 11 April 2016
Baca: Matius 5:13-16
"Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang." Matius 5:13
Pameo "ibarat sayur tanpa garam" seolah-olah menggambarkan pentingnya penggunaan garam dalam setiap masakan. Dengan dibumbui garam, makanan akan terasa nikmat dan tidak hambar. Garam benar-benar menciptakan cita rasa pada makanan. Garam, yang memiliki nama senyawa kimia natrium chlorida (NaCl), merupakan bagian dari sodium yang sangat diperlukan oleh tubuh. Sodium membantu tubuh menjaga konsentrasi cairan di dalam tubuh dan juga membantu sel-sel tubuh membentuk nutrisi.
Untuk dapat memberi cita rasa, garam haruslah berkualitas. Jika garam menjadi tawar tidak ada lagi gunanya selain akan dibuang dan diinjak-injak orang. Garam akan berfungsi dengan benar apabila dicampurkan atau dituang pada masakan. Apalah artinya mempunyai garam di dapur apabila garam tersebut tetap kita simpan di dalam plastik atau botol. Tidak ada gunanya! Begitu pula, kita akan menjadi 'garam' bagi dunia ini apabila kita mau membaur dan membangun hubungan dengan orang lain. Memiliki hubungan yang dekat, menjadi teman dan sahabat bagi orang lain adalah awal sebuah pengaruh. Pengaruh yang dimaksudkan adalah pengaruh positif, menjadi kesaksian dan berkat bagi orang lain. Namun sering dijumpai ada banyak orang Kristen yang enggan bergaul, mengekslusifkan diri, menjaga jarak dan tidak mau berhubungan dengan orang-orang di luar Tuhan, hanya mau bergaul dengan teman seiman saja, padahal Tuhan memanggil kita untuk menjadi garam bagi dunia.
Membangun hubungan dengan orang lain, termasuk dengan orang-orang dunia, adalah hal yang sangat penting. Yesus pun berteman dengan semua orang, melayani jiwa-jiwa tanpa memandang bulu: nelayan, pemungut cukai, bahkan pelacur sekali pun. Ketika ahli-ahli Taurat dan orng-orang Farisi menjauhi dan memusuhi orang-orang berdosa Yesus justru sangat dekat dengan mereka, sehingga orang-orang seringkali menyebut-Nya sebagai "...sahabat pemungut cukai dan orang berdosa." (Lukas 7:34) meski Ia sendiri tidak berbuat dosa. Kehadiran Tuhan Yesus di tengah-tengah dunia menghadirkan 'cita rasa' berbeda karena Ia mampu menjadi berkat kapan pun dan di mana pun berada.
Sudahkah kita menjadi 'garam' bagi orang-orang di sekitar kita?
Baca: Matius 5:13-16
"Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang." Matius 5:13
Pameo "ibarat sayur tanpa garam" seolah-olah menggambarkan pentingnya penggunaan garam dalam setiap masakan. Dengan dibumbui garam, makanan akan terasa nikmat dan tidak hambar. Garam benar-benar menciptakan cita rasa pada makanan. Garam, yang memiliki nama senyawa kimia natrium chlorida (NaCl), merupakan bagian dari sodium yang sangat diperlukan oleh tubuh. Sodium membantu tubuh menjaga konsentrasi cairan di dalam tubuh dan juga membantu sel-sel tubuh membentuk nutrisi.
Untuk dapat memberi cita rasa, garam haruslah berkualitas. Jika garam menjadi tawar tidak ada lagi gunanya selain akan dibuang dan diinjak-injak orang. Garam akan berfungsi dengan benar apabila dicampurkan atau dituang pada masakan. Apalah artinya mempunyai garam di dapur apabila garam tersebut tetap kita simpan di dalam plastik atau botol. Tidak ada gunanya! Begitu pula, kita akan menjadi 'garam' bagi dunia ini apabila kita mau membaur dan membangun hubungan dengan orang lain. Memiliki hubungan yang dekat, menjadi teman dan sahabat bagi orang lain adalah awal sebuah pengaruh. Pengaruh yang dimaksudkan adalah pengaruh positif, menjadi kesaksian dan berkat bagi orang lain. Namun sering dijumpai ada banyak orang Kristen yang enggan bergaul, mengekslusifkan diri, menjaga jarak dan tidak mau berhubungan dengan orang-orang di luar Tuhan, hanya mau bergaul dengan teman seiman saja, padahal Tuhan memanggil kita untuk menjadi garam bagi dunia.
Membangun hubungan dengan orang lain, termasuk dengan orang-orang dunia, adalah hal yang sangat penting. Yesus pun berteman dengan semua orang, melayani jiwa-jiwa tanpa memandang bulu: nelayan, pemungut cukai, bahkan pelacur sekali pun. Ketika ahli-ahli Taurat dan orng-orang Farisi menjauhi dan memusuhi orang-orang berdosa Yesus justru sangat dekat dengan mereka, sehingga orang-orang seringkali menyebut-Nya sebagai "...sahabat pemungut cukai dan orang berdosa." (Lukas 7:34) meski Ia sendiri tidak berbuat dosa. Kehadiran Tuhan Yesus di tengah-tengah dunia menghadirkan 'cita rasa' berbeda karena Ia mampu menjadi berkat kapan pun dan di mana pun berada.
Sudahkah kita menjadi 'garam' bagi orang-orang di sekitar kita?
Sunday, April 10, 2016
HIDUP YANG BERDAMPAK BAGI SEKITAR
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 10 April 2016
Baca: Matius 5:13-16
"Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga." Matius 5:16
Setiap orang memiliki potensi memengaruhi orang lain di sekitarnya. Pengaruh tersebut bisa positif maupun negatif. Orang yang membawa pengaruh positif kita sebut motivator atau inspirator, di mana keberadaannya mampu memotivasi orang lain mengikuti jejaknya atau menjadi inspirasi bagi orang lain. Sementara orang yang membawa pengaruh negatif atau buruk terhadap orang lain biasanya disebut provokator: ia memrovokasi orang lain untuk melakukan tindakan yang negatif.
Begitu pula dalam kehidupan kekristenan. Tuhan menginginkan setiap orang percaya memiliki kehidupan yang berdampak atau berpengaruh bagi dunia. Dampak atau pengaruh yang dimaksudkan adalah positif, bukan negatif. Dengan kata lain kita harus bisa memengaruhi orang-orang sekitar melalui teladan hidup yang positif dan menjadi berkat bagi mereka. Supaya kita dapat memberi dampak positif bagi orang-orang di sekitar dan lingkungan, kita harus memiliki karakter yang baik. Apa itu karakter? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, karakter adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang menjadi ciri khas seseorang. Karakter menunjukkan siapa diri kita yang sesungguhnya, apa yang Tuhan katakan tentang kita. Tentang Daud Tuhan berkata, "Aku telah mendapat Daud bin Isai, seorang yang berkenan di hati-Ku dan yang melakukan segala kehendak-Ku." (Kisah 3:22). Orang Kristen yang berkarakter berarti orang yang tetap menjaga kualitas hidupnya dengan baik sekalipun tidak ada orang yang melihatnya, karena ia tahu Tuhan melihat setiap perbuatannya.
Inilah yang sedang Tuhan cari: orang Kristen yang memiliki karakter baik, yang tampak nyata dalam setiap perkataan dan perbuatan, karena keberadaan orang percaya di tengah dunia ini adalah sebagai surat Kristus yang terbuka, yang dapat dibaca dan dilihat oleh semua orang. "...kamu adalah surat Kristus, yang ditulis oleh pelayanan kami, ditulis bukan dengan tinta, tetapi dengan Roh dari Allah yang hidup, bukan pada loh-loh batu, melainkan pada loh-loh daging, yaitu di dalam hati manusia." (2 Korintus 3:3).
Jadilah orang Kristen yang memiliki karakter baik; itulah yang berdampak!
Baca: Matius 5:13-16
"Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga." Matius 5:16
Setiap orang memiliki potensi memengaruhi orang lain di sekitarnya. Pengaruh tersebut bisa positif maupun negatif. Orang yang membawa pengaruh positif kita sebut motivator atau inspirator, di mana keberadaannya mampu memotivasi orang lain mengikuti jejaknya atau menjadi inspirasi bagi orang lain. Sementara orang yang membawa pengaruh negatif atau buruk terhadap orang lain biasanya disebut provokator: ia memrovokasi orang lain untuk melakukan tindakan yang negatif.
Begitu pula dalam kehidupan kekristenan. Tuhan menginginkan setiap orang percaya memiliki kehidupan yang berdampak atau berpengaruh bagi dunia. Dampak atau pengaruh yang dimaksudkan adalah positif, bukan negatif. Dengan kata lain kita harus bisa memengaruhi orang-orang sekitar melalui teladan hidup yang positif dan menjadi berkat bagi mereka. Supaya kita dapat memberi dampak positif bagi orang-orang di sekitar dan lingkungan, kita harus memiliki karakter yang baik. Apa itu karakter? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, karakter adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang menjadi ciri khas seseorang. Karakter menunjukkan siapa diri kita yang sesungguhnya, apa yang Tuhan katakan tentang kita. Tentang Daud Tuhan berkata, "Aku telah mendapat Daud bin Isai, seorang yang berkenan di hati-Ku dan yang melakukan segala kehendak-Ku." (Kisah 3:22). Orang Kristen yang berkarakter berarti orang yang tetap menjaga kualitas hidupnya dengan baik sekalipun tidak ada orang yang melihatnya, karena ia tahu Tuhan melihat setiap perbuatannya.
Inilah yang sedang Tuhan cari: orang Kristen yang memiliki karakter baik, yang tampak nyata dalam setiap perkataan dan perbuatan, karena keberadaan orang percaya di tengah dunia ini adalah sebagai surat Kristus yang terbuka, yang dapat dibaca dan dilihat oleh semua orang. "...kamu adalah surat Kristus, yang ditulis oleh pelayanan kami, ditulis bukan dengan tinta, tetapi dengan Roh dari Allah yang hidup, bukan pada loh-loh batu, melainkan pada loh-loh daging, yaitu di dalam hati manusia." (2 Korintus 3:3).
Jadilah orang Kristen yang memiliki karakter baik; itulah yang berdampak!
Saturday, April 9, 2016
HIDUP YANG MENGHASILKAN BUAH (2)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 9 April 2016
Baca: Lukas 6:43-45
"Sebab setiap pohon dikenal pada buahnya." Lukas 6:44a
Lamanya orang menjadi Kristen atau berapa lama orang terlibat dalam pelayanan pekerjaan Tuhan tidak menjamin 100% hidupnya berbuah bagi Tuhan. Buah berbicara tentang hidup yang menjadi berkat bagi orang lain, hidup yang berguna atau berdampak bagi orang lain. Buah itulah yang ingin Tuhan lihat dalam kehidupan setiap orang Kristen, sebab "Dalam hal inilah Bapa-Ku dipermuliakan, yaitu jika kamu berbuah banyak dan dengan demikian kamu adalah murid-murid-Ku." (Yohanes 15:8). Sebaliknya, jika sudah bertahun-tahun mengikut Tuhan tetap saja tidak berbuah, maka "Kapak sudah tersedia pada akar pohon dan setiap pohon yang tidak menghasilkan buah yang baik, pasti ditebang dan dibuang ke dalam api." (Matius 3:10). Oleh karena itu "...hasilkanlah buah yang sesuai dengan pertobatan." (Matius 3:8).
Mengapa setiap orang percaya harus menghasilkan buah? Buah merupakan sesuatu yang alamiah yang dihasilkan oleh tanaman atau pohon. Adakah kita mendapati buah pada tanaman atau pohon yang sudah kering dan mati? Tidak. Jadi buah adalah salah satu tanda bahwa di dalam tanaman atau pohon itu ada kehidupan. Selain itu buah juga sebagai pertanda bahwa tanaman atau pohon mengalami pertumbuhan yang baik. Semakin kita bertumbuh secara rohani semakin kita mencapai "...kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus," (Efesus 4:13). Kita tahu bahwa tanaman atau pohon tidak akan pernah menghasilkan buah jika ia belum dewasa. Jadi kekristenan yang dewasa rohaninya pasti akan menghasilkan buah. Sayangnya ada banyak orang kristen yang sudah bertahun-tahun mengikut Tuhan kerohaniannya masih saja kanak-kanak atau kerdil. "Sebab sekalipun kamu, ditinjau dari sudut waktu, sudah seharusnya menjadi pengajar, kamu masih perlu lagi diajarkan asas-asas pokok dari penyataan Allah, dan kamu masih memerlukan susu, bukan makanan keras." (Ibrani 5:12). Itulah sebabnya hidupnya tidak menghasilkan buah.
Bagaimana agar berbuah bagi Tuhan? Kuncinya adalah tinggal di dalam Tuhan; melekat kepada Pokok Anggur yang benar, "sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa." (Yohanes 15:5b); rela dibersihkan/dipangkas oleh firman Tuhan setiap saat.
Berbuah adalah pertanda bahwa kekristenan kita hidup dan bertumbuh dewasa!
Baca: Lukas 6:43-45
"Sebab setiap pohon dikenal pada buahnya." Lukas 6:44a
Lamanya orang menjadi Kristen atau berapa lama orang terlibat dalam pelayanan pekerjaan Tuhan tidak menjamin 100% hidupnya berbuah bagi Tuhan. Buah berbicara tentang hidup yang menjadi berkat bagi orang lain, hidup yang berguna atau berdampak bagi orang lain. Buah itulah yang ingin Tuhan lihat dalam kehidupan setiap orang Kristen, sebab "Dalam hal inilah Bapa-Ku dipermuliakan, yaitu jika kamu berbuah banyak dan dengan demikian kamu adalah murid-murid-Ku." (Yohanes 15:8). Sebaliknya, jika sudah bertahun-tahun mengikut Tuhan tetap saja tidak berbuah, maka "Kapak sudah tersedia pada akar pohon dan setiap pohon yang tidak menghasilkan buah yang baik, pasti ditebang dan dibuang ke dalam api." (Matius 3:10). Oleh karena itu "...hasilkanlah buah yang sesuai dengan pertobatan." (Matius 3:8).
Mengapa setiap orang percaya harus menghasilkan buah? Buah merupakan sesuatu yang alamiah yang dihasilkan oleh tanaman atau pohon. Adakah kita mendapati buah pada tanaman atau pohon yang sudah kering dan mati? Tidak. Jadi buah adalah salah satu tanda bahwa di dalam tanaman atau pohon itu ada kehidupan. Selain itu buah juga sebagai pertanda bahwa tanaman atau pohon mengalami pertumbuhan yang baik. Semakin kita bertumbuh secara rohani semakin kita mencapai "...kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus," (Efesus 4:13). Kita tahu bahwa tanaman atau pohon tidak akan pernah menghasilkan buah jika ia belum dewasa. Jadi kekristenan yang dewasa rohaninya pasti akan menghasilkan buah. Sayangnya ada banyak orang kristen yang sudah bertahun-tahun mengikut Tuhan kerohaniannya masih saja kanak-kanak atau kerdil. "Sebab sekalipun kamu, ditinjau dari sudut waktu, sudah seharusnya menjadi pengajar, kamu masih perlu lagi diajarkan asas-asas pokok dari penyataan Allah, dan kamu masih memerlukan susu, bukan makanan keras." (Ibrani 5:12). Itulah sebabnya hidupnya tidak menghasilkan buah.
Bagaimana agar berbuah bagi Tuhan? Kuncinya adalah tinggal di dalam Tuhan; melekat kepada Pokok Anggur yang benar, "sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa." (Yohanes 15:5b); rela dibersihkan/dipangkas oleh firman Tuhan setiap saat.
Berbuah adalah pertanda bahwa kekristenan kita hidup dan bertumbuh dewasa!
Friday, April 8, 2016
HIDUP YANG MENGHASILKAN BUAH (1)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 8 April 2016
Baca: Kolose 1:1-14
"sehingga hidupmu layak di hadapan-Nya serta berkenan kepada-Nya dalam segala hal, dan kamu memberi buah dalam segala pekerjaan yang baik dan bertumbuh dalam pengetahuan yang benar tentang Allah," Kolose 1:10
Kita sering diingatkan bahwa kehidupan kekristenan itu harus berbuah. Buah yang dikehendaki Tuhan untuk kita hasilkan bukanlah sekedar bisa membawa orang datang ke gereja dan menjadi anggota gereja tersebut. Yang terutama sekali adalah bagaimana membuat orang lain terpengaruh dan tergiring untuk memiliki karakter seperti Tuhan Yesus. Apalah artinya tampak sibuk keluar masuk gedung gereja, atau memiliki jadwal pelayanan yang superpadat, jika karakter hidup kita tidak mengalami perubahan.
Sebuah pelayanan yang benar-benar berdampak dan dapat diteladani orang lain adalah jika para pelayan Tuhan memiliki karakter seperti Kristus. Ingat, tidak ada khotbah yang lebih 'keras' suaranya selain dari perbuatan hamba Tuhan itu sendiri. Ironis sekali jika banyak orang Kristen, terlebih-lebih yang berstatus pelayan Tuhan, hidupnya tidak berbuah. Jika ini yang terjadi, berarti standar hidup kita masih jauh dari standar yang ditetapkan Tuhan. Kita tidak memenuhi kehendak Tuhan yaitu hidup yang berbuah.
Keberadaan kita ini digambarkan sebagai carang-carang liar yang dicangkokkan ke satu batang pohon. Kalau carang asli, yaitu bangsa Israel, bisa tidak berbuah bisa dipotong dan dibuang, apalagi kita yang adalah carang liar. "Sebab kalau Allah tidak menyayangkan cabang-cabang asli, Ia juga tidak akan menyayangkan kamu. Sebab itu perhatikanlah kemurahan Allah dan juga kekerasan-Nya, yaitu kekerasan atas orang-orang yang telah jatuh, tetapi atas kamu kemurahan-Nya, yaitu jika kamu tetap dalam kemurahan-Nya; jika tidak, kamupun akan dipotong juga." (Roma 11:21-22). Untuk menghasilkan buah 'harganya' sangat mahal, yaitu harus rela kehilangan segala kesenangan daging, meninggalkan segala kenyamanan dan menjadikan Tuhan sebagai kesenangan satu-satunya. Artinya kita selalu berusaha untuk bisa menyenangkan hati Tuhan setiap saat dan hidup sebagaimana Kristus hidup, dan menjadi penurut-penurut Allah (baca Efesus 5:1).
Hidup yang memenuhi standar Tuhan adalah hidup yang berbuah! Kunci untuk menghasilkan buah adalah melekat kepada Tuhan dan mau membayar harga!
Baca: Kolose 1:1-14
"sehingga hidupmu layak di hadapan-Nya serta berkenan kepada-Nya dalam segala hal, dan kamu memberi buah dalam segala pekerjaan yang baik dan bertumbuh dalam pengetahuan yang benar tentang Allah," Kolose 1:10
Kita sering diingatkan bahwa kehidupan kekristenan itu harus berbuah. Buah yang dikehendaki Tuhan untuk kita hasilkan bukanlah sekedar bisa membawa orang datang ke gereja dan menjadi anggota gereja tersebut. Yang terutama sekali adalah bagaimana membuat orang lain terpengaruh dan tergiring untuk memiliki karakter seperti Tuhan Yesus. Apalah artinya tampak sibuk keluar masuk gedung gereja, atau memiliki jadwal pelayanan yang superpadat, jika karakter hidup kita tidak mengalami perubahan.
Sebuah pelayanan yang benar-benar berdampak dan dapat diteladani orang lain adalah jika para pelayan Tuhan memiliki karakter seperti Kristus. Ingat, tidak ada khotbah yang lebih 'keras' suaranya selain dari perbuatan hamba Tuhan itu sendiri. Ironis sekali jika banyak orang Kristen, terlebih-lebih yang berstatus pelayan Tuhan, hidupnya tidak berbuah. Jika ini yang terjadi, berarti standar hidup kita masih jauh dari standar yang ditetapkan Tuhan. Kita tidak memenuhi kehendak Tuhan yaitu hidup yang berbuah.
Keberadaan kita ini digambarkan sebagai carang-carang liar yang dicangkokkan ke satu batang pohon. Kalau carang asli, yaitu bangsa Israel, bisa tidak berbuah bisa dipotong dan dibuang, apalagi kita yang adalah carang liar. "Sebab kalau Allah tidak menyayangkan cabang-cabang asli, Ia juga tidak akan menyayangkan kamu. Sebab itu perhatikanlah kemurahan Allah dan juga kekerasan-Nya, yaitu kekerasan atas orang-orang yang telah jatuh, tetapi atas kamu kemurahan-Nya, yaitu jika kamu tetap dalam kemurahan-Nya; jika tidak, kamupun akan dipotong juga." (Roma 11:21-22). Untuk menghasilkan buah 'harganya' sangat mahal, yaitu harus rela kehilangan segala kesenangan daging, meninggalkan segala kenyamanan dan menjadikan Tuhan sebagai kesenangan satu-satunya. Artinya kita selalu berusaha untuk bisa menyenangkan hati Tuhan setiap saat dan hidup sebagaimana Kristus hidup, dan menjadi penurut-penurut Allah (baca Efesus 5:1).
Hidup yang memenuhi standar Tuhan adalah hidup yang berbuah! Kunci untuk menghasilkan buah adalah melekat kepada Tuhan dan mau membayar harga!
Thursday, April 7, 2016
TUHAN YESUS SEBAGAI BIJI GANDUM
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 7 April 2016
Baca: Yohanes 12:20-36
"Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah." Yohanes 12:24
Tak seorang pun akan menikmati tuaian bila ia membiarkan biji gandum yang dimilikinya tetap disimpan dan tidak ditanam. Jelas untuk dapat berbuah maka sebuah biji gandum harus terlebih dahulu jatuh ke tanah (ditanam) dan mati.
Dalam pembacaan firman hari ini biji gandum yang dimaksudkan Tuhan Yesus dalam ayat nas menggambarkan diri-Nya sendiri. Kalau Tuhan Yesus tidak taat sampai mati di kayu salib Ia tidak akan berbuah, tidak ada korban penebusan dosa, dan tidak ada keselamatan. Dengan kata lain manusia berdosa akan tetap menanggung akibat dari dosa seperti tertulis: "Sebab upah dosa ialah maut; tetapi karunia Allah ialah hidup yang kekal dalam Kristus Yesus, Tuhan kita." (Roma 6:23). Tetapi oleh karena Tuhan Yesus mau taat sampai mati, bahkan mati di kayu salib, maka ada buah yang dihasilkan, yaitu orang yang percaya kepada-Nya diselamatkan dan diperdamaikan dengan Allah. Tuhan Yesus yang telah menjadi biji gandum yang jatuh ke tanah dan mati akhirnya menghasilkan tuaian yaitu jiwa-jiwa yang diselamatkan.
Cukupkah kita hanya mengucap syukur saja kepada Tuhan atas segala pengorbanan-Nya? Tidak. Sebagai umat tebusan-Nya kita juga harus mengerti kehendak Tuhan di balik pengorbanan-Nya itu, karena "...Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap," (Yohanes 15:16). Kehendak Tuhan bagi orang percaya adalah menghasilkan buah! Agar dapat berbuah maka kita pun harus mengikuti jejak Tuhan Yesus yaitu menjadi seperti gandum yang jatuh ke tanah dan mati. Seperti biji gandum yang jatuh ke tanah dan mati, kita pun harus bersedia meninggalkan kehidupan lama dan sepenuhnya mengenakan kehidupan Kristus. "Aku telah disalibkan dengan Kristus; namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku." (Galatia 2:19b-20).
Karena pengorbanan Kristus, setiap kita yang percaya kepada-Nya diselamatkan dan memiliki tanggung jawab untuk hidup sama seperti Kristus hidup!
Baca: Yohanes 12:20-36
"Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah." Yohanes 12:24
Tak seorang pun akan menikmati tuaian bila ia membiarkan biji gandum yang dimilikinya tetap disimpan dan tidak ditanam. Jelas untuk dapat berbuah maka sebuah biji gandum harus terlebih dahulu jatuh ke tanah (ditanam) dan mati.
Dalam pembacaan firman hari ini biji gandum yang dimaksudkan Tuhan Yesus dalam ayat nas menggambarkan diri-Nya sendiri. Kalau Tuhan Yesus tidak taat sampai mati di kayu salib Ia tidak akan berbuah, tidak ada korban penebusan dosa, dan tidak ada keselamatan. Dengan kata lain manusia berdosa akan tetap menanggung akibat dari dosa seperti tertulis: "Sebab upah dosa ialah maut; tetapi karunia Allah ialah hidup yang kekal dalam Kristus Yesus, Tuhan kita." (Roma 6:23). Tetapi oleh karena Tuhan Yesus mau taat sampai mati, bahkan mati di kayu salib, maka ada buah yang dihasilkan, yaitu orang yang percaya kepada-Nya diselamatkan dan diperdamaikan dengan Allah. Tuhan Yesus yang telah menjadi biji gandum yang jatuh ke tanah dan mati akhirnya menghasilkan tuaian yaitu jiwa-jiwa yang diselamatkan.
Cukupkah kita hanya mengucap syukur saja kepada Tuhan atas segala pengorbanan-Nya? Tidak. Sebagai umat tebusan-Nya kita juga harus mengerti kehendak Tuhan di balik pengorbanan-Nya itu, karena "...Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap," (Yohanes 15:16). Kehendak Tuhan bagi orang percaya adalah menghasilkan buah! Agar dapat berbuah maka kita pun harus mengikuti jejak Tuhan Yesus yaitu menjadi seperti gandum yang jatuh ke tanah dan mati. Seperti biji gandum yang jatuh ke tanah dan mati, kita pun harus bersedia meninggalkan kehidupan lama dan sepenuhnya mengenakan kehidupan Kristus. "Aku telah disalibkan dengan Kristus; namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku." (Galatia 2:19b-20).
Karena pengorbanan Kristus, setiap kita yang percaya kepada-Nya diselamatkan dan memiliki tanggung jawab untuk hidup sama seperti Kristus hidup!
Wednesday, April 6, 2016
SUKU LEWI: Mendapatkan Kasih Setia
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 6 April 2016
Baca: Keluaran 32:1-35
"maka berdirilah Musa di pintu gerbang perkemahan itu serta berkata: 'Siapa yang memihak kepada TUHAN datanglah kepadaku!' Lalu berkumpullah kepadanya seluruh bani Lewi." Keluaran 32:26
Ketika Musa berada di atas Gunung Sinai untuk menerima hukum Tuhan, orang-orang Israel tidak sabar menunggu. Mereka berpikir Musa mengulur-ulur waktu untuk turun.
Orang-orang Israel mendesak Harun untuk membuatkan bagi mereka patung untuk disembah sebagai pengganti Tuhan yang hidup. Mereka bersepakat melepaskan semua perhiasan emas mereka dan meleburnya menjadi sebuah patung anak lembu emas untuk disembah. Hal ini menimbulkan murka Tuhan sehingga Ia menyebut mereka bangsa yang tegar tengkuk (ayat 9). Ketika Musa turun dari gunung Sinai sambil membawa kedua loh batu yang berisi hukum Tuhan yang ditulis oleh Tuhan sendiri, ia melihat orang-orang Israel menari-nari sambil menyembah patung anak lembu emas buatan tangan manusia. Mereka begitu mudahnya melupakan Tuhan yang hidup dan berpaling kepada berhala. Dengan kemarahan besar Musa pun menghancurkan patung anak lembu emas itu di hadapan orang Israel. Pada kesempatan itu pula berdirilah Musa di pintu gerbang perkemahan menantang bangsa Israel untuk membuat pilihan hidup! "Siapa yang memihak kepada TUHAN datanglah kepadaku!" Dari ke-12 suku yang ada di Israel hanya ada satu suku yang memihak kepada Tuhan yaitu dari kaum Lewi. "...berkumpullah kepadanya seluruh bani Lewi." Karena suku Lewi memilih untuk taat kepada Tuhan dan tidak mengikuti arus mereka pun mendapatkan kasih setia Tuhan. Suku Lewi ini pun menjadi 'istimewa' dan dikhususkan oleh Tuhan yaitu menjadi imam bagi Tuhan, padahal Lewi bukanlah anak pertama dari keturunan Israel (Yakub).
Memihak Tuhan berarti tetap berada on the right track, hidup di jalur-Nya Tuhan, hidup benar dan tidak terbawa arus. Biasanya orang akan memilih suara mayoritas daripada minoritas, atau memilih untuk berkompromi dengan dosa karena takut dimusuhi, dikucilkan atau dicap sok rohani.
Karena memilih untuk hidup takut akan Tuhan suku lewi mendapatkan kasih setia-Nya. "Demikianlah harus engkau mentahirkan mereka dari tengah-tengah orang Israel, supaya orang Lewi itu menjadi kepunyaan-Ku." Bilangan 8:14
Baca: Keluaran 32:1-35
"maka berdirilah Musa di pintu gerbang perkemahan itu serta berkata: 'Siapa yang memihak kepada TUHAN datanglah kepadaku!' Lalu berkumpullah kepadanya seluruh bani Lewi." Keluaran 32:26
Ketika Musa berada di atas Gunung Sinai untuk menerima hukum Tuhan, orang-orang Israel tidak sabar menunggu. Mereka berpikir Musa mengulur-ulur waktu untuk turun.
Orang-orang Israel mendesak Harun untuk membuatkan bagi mereka patung untuk disembah sebagai pengganti Tuhan yang hidup. Mereka bersepakat melepaskan semua perhiasan emas mereka dan meleburnya menjadi sebuah patung anak lembu emas untuk disembah. Hal ini menimbulkan murka Tuhan sehingga Ia menyebut mereka bangsa yang tegar tengkuk (ayat 9). Ketika Musa turun dari gunung Sinai sambil membawa kedua loh batu yang berisi hukum Tuhan yang ditulis oleh Tuhan sendiri, ia melihat orang-orang Israel menari-nari sambil menyembah patung anak lembu emas buatan tangan manusia. Mereka begitu mudahnya melupakan Tuhan yang hidup dan berpaling kepada berhala. Dengan kemarahan besar Musa pun menghancurkan patung anak lembu emas itu di hadapan orang Israel. Pada kesempatan itu pula berdirilah Musa di pintu gerbang perkemahan menantang bangsa Israel untuk membuat pilihan hidup! "Siapa yang memihak kepada TUHAN datanglah kepadaku!" Dari ke-12 suku yang ada di Israel hanya ada satu suku yang memihak kepada Tuhan yaitu dari kaum Lewi. "...berkumpullah kepadanya seluruh bani Lewi." Karena suku Lewi memilih untuk taat kepada Tuhan dan tidak mengikuti arus mereka pun mendapatkan kasih setia Tuhan. Suku Lewi ini pun menjadi 'istimewa' dan dikhususkan oleh Tuhan yaitu menjadi imam bagi Tuhan, padahal Lewi bukanlah anak pertama dari keturunan Israel (Yakub).
Memihak Tuhan berarti tetap berada on the right track, hidup di jalur-Nya Tuhan, hidup benar dan tidak terbawa arus. Biasanya orang akan memilih suara mayoritas daripada minoritas, atau memilih untuk berkompromi dengan dosa karena takut dimusuhi, dikucilkan atau dicap sok rohani.
Karena memilih untuk hidup takut akan Tuhan suku lewi mendapatkan kasih setia-Nya. "Demikianlah harus engkau mentahirkan mereka dari tengah-tengah orang Israel, supaya orang Lewi itu menjadi kepunyaan-Ku." Bilangan 8:14
Tuesday, April 5, 2016
RAHAB: Mendapatkan Kasih Setia (2)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 5 April 2016
Baca: Yosua 6:1-27
"Maka diamlah perempuan itu di tengah-tengah orang Israel sampai sekarang, karena ia telah menyembunyikan orang suruhan yang disuruh Yosua mengintai Yerikho." Yosua 6:25b
Rahab adalah perempuan sundal yang tinggal di kota Yerikho, kota yang dikutuk Yosua sehingga seisi kota itu dihancurkan Tuhan. Menurut pandangan manusia, dapatkah perempuan 'najis' diselamatkan, ditolong dan diubah hidupnya? Namun Rahab dan keluarganya beroleh kasih setia dari Tuhan karena tindakan imannya adalah bukti bahwa ia berpihak kepada Tuhan. Ketika kedua pengintai suruhan Yosua memerintahkan Rahab mengikatkan tali kirmizi merah di jendela rumahnya, ia taat melakukannya. Selalu ada upah untuk ketaatan: Rahab dan keluarganya diselamatkan ketika kota Yerikho hancur.
Keselamatan yang diterima Rahab adalah bukti bahwa Tuhan tidak pernah pandang bulu terhadap orang-orang yang Ia berikan kemurahan-Nya: "Aku akan menaruh belas kasihan kepada siapa Aku mau menaruh belas kasihan dan Aku akan bermurah hati kepada siapa Aku mau bermurah hati." (Roma 9:15). Rahab, seorang perempuan berdosa dengan latar belakang bangsa kafir, mengalami kemurahan Tuhan karena tanda merah yang ia pasang. Tanda merah adalah bayangan dari keselamatan sejati yaitu tanda darah Kristus. Melalui pencurahan darah Kristus di kayu salib kita beroleh keselamatan dan pengampunan dosa. "Sebab di dalam Dia dan oleh darah-Nya kita beroleh penebusan, yaitu pengampunan dosa, menurut kekayaan kasih karunia-Nya," (Efesus 1:7). Karena ia bersedia menyembunyikan dua orang pengintai utusan Yosua dan imannya kepada Tuhan Israel, Alkitab pun mencatat Rahab sebagai salah satu saksi iman.
Rahab, wanita berdosa yang dipandang rendah sesamanya, mendapatkan posisi sederajat dengan tokoh-tokoh iman lainnya seperti Abraham, Nuh, Henokh, Musa dan sebagainya. "Karena iman maka Rahab, perempuan sundal itu, tidak turut binasa bersama-sama dengan orang-orang durhaka, karena ia telah menyambut pengintai-pengintai itu dengan baik." (Ibrani 11:31).
Karena imannya Rahab beroleh kasih setia Tuhan, diselamatkan dan diangkat status hidupnya: dari perempuan sundal tidak berharga di mata manusia masuk dalam garis silsilah Yesus Kristus (baca Matius 1:1-17).
Baca: Yosua 6:1-27
"Maka diamlah perempuan itu di tengah-tengah orang Israel sampai sekarang, karena ia telah menyembunyikan orang suruhan yang disuruh Yosua mengintai Yerikho." Yosua 6:25b
Rahab adalah perempuan sundal yang tinggal di kota Yerikho, kota yang dikutuk Yosua sehingga seisi kota itu dihancurkan Tuhan. Menurut pandangan manusia, dapatkah perempuan 'najis' diselamatkan, ditolong dan diubah hidupnya? Namun Rahab dan keluarganya beroleh kasih setia dari Tuhan karena tindakan imannya adalah bukti bahwa ia berpihak kepada Tuhan. Ketika kedua pengintai suruhan Yosua memerintahkan Rahab mengikatkan tali kirmizi merah di jendela rumahnya, ia taat melakukannya. Selalu ada upah untuk ketaatan: Rahab dan keluarganya diselamatkan ketika kota Yerikho hancur.
Keselamatan yang diterima Rahab adalah bukti bahwa Tuhan tidak pernah pandang bulu terhadap orang-orang yang Ia berikan kemurahan-Nya: "Aku akan menaruh belas kasihan kepada siapa Aku mau menaruh belas kasihan dan Aku akan bermurah hati kepada siapa Aku mau bermurah hati." (Roma 9:15). Rahab, seorang perempuan berdosa dengan latar belakang bangsa kafir, mengalami kemurahan Tuhan karena tanda merah yang ia pasang. Tanda merah adalah bayangan dari keselamatan sejati yaitu tanda darah Kristus. Melalui pencurahan darah Kristus di kayu salib kita beroleh keselamatan dan pengampunan dosa. "Sebab di dalam Dia dan oleh darah-Nya kita beroleh penebusan, yaitu pengampunan dosa, menurut kekayaan kasih karunia-Nya," (Efesus 1:7). Karena ia bersedia menyembunyikan dua orang pengintai utusan Yosua dan imannya kepada Tuhan Israel, Alkitab pun mencatat Rahab sebagai salah satu saksi iman.
Rahab, wanita berdosa yang dipandang rendah sesamanya, mendapatkan posisi sederajat dengan tokoh-tokoh iman lainnya seperti Abraham, Nuh, Henokh, Musa dan sebagainya. "Karena iman maka Rahab, perempuan sundal itu, tidak turut binasa bersama-sama dengan orang-orang durhaka, karena ia telah menyambut pengintai-pengintai itu dengan baik." (Ibrani 11:31).
Karena imannya Rahab beroleh kasih setia Tuhan, diselamatkan dan diangkat status hidupnya: dari perempuan sundal tidak berharga di mata manusia masuk dalam garis silsilah Yesus Kristus (baca Matius 1:1-17).
Monday, April 4, 2016
RAHAB: Mendapatkan Kasih Setia (1)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 4 April 2016
Baca: Yosua 2:1-24
"'Seperti yang telah kamu katakan, demikianlah akan terjadi.' Sesudah itu dilepasnyalah orang-orang itu pergi, maka berangkatlah mereka. Kemudian perempuan itu mengikatkan tali kirmizi itu pada jendela." Yosua 2:21
Kalau kita perhatikan di pasal 2 dari kitab Yosua ini, yang menjadi tokoh utamanya adalah Rahab dan kedua pengintai suruhan Yosua. Siapa Rahab? Alkitab menulis bahwa ia adalah seorang perempuan sundal, yang rumahnya terletak di atas tembok kota, sehingga sangat strategis sebagai tempat penginapan para pengembara. Predikat, sebutan atau profesi yang disandang Rahab sebagai perempuan sundal bukanlah hal yang baik di mata orang, bahkan dipandang rendah, hina dan menjijikkan. Orang mengklasifikasikan Rahab ini sebagai 'sampah' masyarakat. Ada pun nama Rahab memiliki arti orang yang angkuh, sombong. Ia adalah gambaran orang yang hidup di balik kokohnya tembok Yerikho.
Namun di balik kehidupannya yang hitam kelam ada hal luar biasa yang kita temukan dalam diri Rahab yaitu keberaniannya mengambil resiko dengan menyembunyikan dua orang pengintai di dalam rumahnya. Tindakan yang diambil oleh Rahab bukanlah tindakan nekad tanpa dasar. Apalagi jika hal tersebut diketahui oleh orang-orang Yerikho, nyawa Rahab menjadi taruhannya. Tetapi imanlah yang mendasari Rahab untuk bertindak. Inilah iman yang hidup yaitu iman yang disertai dengan perbuatan. Padahal Rahab berasal dari bangsa yang menyembah kepada berhala atau bangsa kafir, tetapi ia memiliki pengenalan yang benar akan Tuhan bangsa Israel. "Aku tahu, bahwa TUHAN telah memberikan negeri ini kepada kamu dan bahwa kengerian terhadap kamu telah menghinggapi kami dan segala penduduk negeri ini gemetar menghadapi kamu. Sebab kami mendengar, bahwa TUHAN telah mengeringkan air Laut Teberau di depan kamu, ketika kamu berjalan keluar dari Mesir, dan apa yang kamu lakukan kepada kedua raja orang Amori yang di seberang sungai Yordan itu, yakni kepada Sihon dan Og, yang telah kamu tumpas...sebab TUHAN, Allahmu, ialah Allah di langit di atas dan di bumi di bawah." (Yosua 2:9-11).
Ini menunjukkan bahwa Rahab lebih takut kepada Tuhan daripada kepada raja Yerikho, karena ia tahu bahwa Tuhan bangsa Israel adalah Tuhan yang hidup dan berkuasa atas langit dan bumi. (Bersambung)
Baca: Yosua 2:1-24
"'Seperti yang telah kamu katakan, demikianlah akan terjadi.' Sesudah itu dilepasnyalah orang-orang itu pergi, maka berangkatlah mereka. Kemudian perempuan itu mengikatkan tali kirmizi itu pada jendela." Yosua 2:21
Kalau kita perhatikan di pasal 2 dari kitab Yosua ini, yang menjadi tokoh utamanya adalah Rahab dan kedua pengintai suruhan Yosua. Siapa Rahab? Alkitab menulis bahwa ia adalah seorang perempuan sundal, yang rumahnya terletak di atas tembok kota, sehingga sangat strategis sebagai tempat penginapan para pengembara. Predikat, sebutan atau profesi yang disandang Rahab sebagai perempuan sundal bukanlah hal yang baik di mata orang, bahkan dipandang rendah, hina dan menjijikkan. Orang mengklasifikasikan Rahab ini sebagai 'sampah' masyarakat. Ada pun nama Rahab memiliki arti orang yang angkuh, sombong. Ia adalah gambaran orang yang hidup di balik kokohnya tembok Yerikho.
Namun di balik kehidupannya yang hitam kelam ada hal luar biasa yang kita temukan dalam diri Rahab yaitu keberaniannya mengambil resiko dengan menyembunyikan dua orang pengintai di dalam rumahnya. Tindakan yang diambil oleh Rahab bukanlah tindakan nekad tanpa dasar. Apalagi jika hal tersebut diketahui oleh orang-orang Yerikho, nyawa Rahab menjadi taruhannya. Tetapi imanlah yang mendasari Rahab untuk bertindak. Inilah iman yang hidup yaitu iman yang disertai dengan perbuatan. Padahal Rahab berasal dari bangsa yang menyembah kepada berhala atau bangsa kafir, tetapi ia memiliki pengenalan yang benar akan Tuhan bangsa Israel. "Aku tahu, bahwa TUHAN telah memberikan negeri ini kepada kamu dan bahwa kengerian terhadap kamu telah menghinggapi kami dan segala penduduk negeri ini gemetar menghadapi kamu. Sebab kami mendengar, bahwa TUHAN telah mengeringkan air Laut Teberau di depan kamu, ketika kamu berjalan keluar dari Mesir, dan apa yang kamu lakukan kepada kedua raja orang Amori yang di seberang sungai Yordan itu, yakni kepada Sihon dan Og, yang telah kamu tumpas...sebab TUHAN, Allahmu, ialah Allah di langit di atas dan di bumi di bawah." (Yosua 2:9-11).
Ini menunjukkan bahwa Rahab lebih takut kepada Tuhan daripada kepada raja Yerikho, karena ia tahu bahwa Tuhan bangsa Israel adalah Tuhan yang hidup dan berkuasa atas langit dan bumi. (Bersambung)
Sunday, April 3, 2016
SISI LAIN ORANG KAYA (2)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 3 April 2016
Baca: Matius 19:16-26
"Aku berkata kepadamu, sesungguhnya sukar sekali bagi seorang kaya untuk masuk ke dalam Kerajaan Sorga." Matius 19:23
Rasul Paulus memberikan perintah kepada Timotius untuk memperingatkan orang kaya, "...agar mereka jangan tinggi hati dan jangan berharap pada sesuatu yang tak tentu seperti kekayaan, melainkan pada Allah yang dalam kekayaan-Nya memberikan kepada kita segala sesuatu untuk dinikmati. Peringatkanlah agar mereka itu berbuat baik, menjadi kaya dalam kebajikan, suka memberi dan membagi" (1 Timotius 6:17-18).
Mengapa orang kaya perlu diperingatkan? Karena mereka mudah sekali lupa diri dengan segala materi yang dimiliki. Benar apa kata firman Tuhan: "Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada." (Matius 6:21). Rasa cukup yang bersumber dari banyaknya uang atau harta menyebabkan mereka lebih berharap dan mengandalkan pada apa yang dimiliki daripada berharap dan mengandalkan Tuhan, sehingga mereka cenderung bermegah dengan kekayaan yang dimiliki. Mereka berpikir bahwa tanpa Tuhan sekali pun mereka dapat hidup, akibatnya rasa membutuhkan Tuhan lama kelamaan akan hilang. Tuhan bukan lagi menjadi prioritas utama dalam hidup. Dengan kata lain orang kaya akan lebih mudah mengabaikan dan melupakan Tuhan karena mereka mempunyai sesuatu yang bisa diandalkan. Padahal harta kekayaan itu sifatnya hanya semu dan mudah sekali lenyap. "...sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah tergantung dari pada kekayaannya itu." (Lukas 12:15). Mereka mengira bahwa jika memiliki uang dalam jumlah banyak dan kekayaan yang berlimpah, kepuasan akan diraih. Akhirnya mereka akan semakin keras berusaha untuk mendapatkan lebih banyak lagi, bahkan mereka rela melakukan apa saja. Orang seperti ini rakus dan tamak.
Salomo, salah seorang terkaya yang pernah hidup di muka bumi ini, menyatakan: "Siapa mencintai uang tidak akan puas dengan uang, dan siapa mencintai kekayaan tidak akan puas dengan penghasilannya. Inipun sia-sia." (Pengkhotbah 5:9). Tuhan tidak pernah menilai seseorang berdasarkan apa yang diraih atau apa yang dipunyai, tetapi berdasarkan siapa diri kita sebenarnya.
"Pada hari kemurkaan harta tidak berguna, tetapi kebenaran melepaskan orang dari maut." Amsal 11:4
Baca: Matius 19:16-26
"Aku berkata kepadamu, sesungguhnya sukar sekali bagi seorang kaya untuk masuk ke dalam Kerajaan Sorga." Matius 19:23
Rasul Paulus memberikan perintah kepada Timotius untuk memperingatkan orang kaya, "...agar mereka jangan tinggi hati dan jangan berharap pada sesuatu yang tak tentu seperti kekayaan, melainkan pada Allah yang dalam kekayaan-Nya memberikan kepada kita segala sesuatu untuk dinikmati. Peringatkanlah agar mereka itu berbuat baik, menjadi kaya dalam kebajikan, suka memberi dan membagi" (1 Timotius 6:17-18).
Mengapa orang kaya perlu diperingatkan? Karena mereka mudah sekali lupa diri dengan segala materi yang dimiliki. Benar apa kata firman Tuhan: "Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada." (Matius 6:21). Rasa cukup yang bersumber dari banyaknya uang atau harta menyebabkan mereka lebih berharap dan mengandalkan pada apa yang dimiliki daripada berharap dan mengandalkan Tuhan, sehingga mereka cenderung bermegah dengan kekayaan yang dimiliki. Mereka berpikir bahwa tanpa Tuhan sekali pun mereka dapat hidup, akibatnya rasa membutuhkan Tuhan lama kelamaan akan hilang. Tuhan bukan lagi menjadi prioritas utama dalam hidup. Dengan kata lain orang kaya akan lebih mudah mengabaikan dan melupakan Tuhan karena mereka mempunyai sesuatu yang bisa diandalkan. Padahal harta kekayaan itu sifatnya hanya semu dan mudah sekali lenyap. "...sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah tergantung dari pada kekayaannya itu." (Lukas 12:15). Mereka mengira bahwa jika memiliki uang dalam jumlah banyak dan kekayaan yang berlimpah, kepuasan akan diraih. Akhirnya mereka akan semakin keras berusaha untuk mendapatkan lebih banyak lagi, bahkan mereka rela melakukan apa saja. Orang seperti ini rakus dan tamak.
Salomo, salah seorang terkaya yang pernah hidup di muka bumi ini, menyatakan: "Siapa mencintai uang tidak akan puas dengan uang, dan siapa mencintai kekayaan tidak akan puas dengan penghasilannya. Inipun sia-sia." (Pengkhotbah 5:9). Tuhan tidak pernah menilai seseorang berdasarkan apa yang diraih atau apa yang dipunyai, tetapi berdasarkan siapa diri kita sebenarnya.
"Pada hari kemurkaan harta tidak berguna, tetapi kebenaran melepaskan orang dari maut." Amsal 11:4
Saturday, April 2, 2016
SISI LAIN ORANG KAYA (1)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 2 April 2016
Baca: Amsal 28:20-28
"tetapi orang yang ingin cepat menjadi kaya, tidak akan luput dari hukuman." Amsal 28:20
Menjadi orang kaya adalah keinginan hampir semua manusia di dunia ini. Mengapa? Karena dunia selalu mengukur dan menilai kesuksesan seseorang dari apa yang diraih dan dipunyainya. Itulah sebabnya semua orang berlomba-lomba dan berusaha sedemikian rupa mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya demi mewujudkan keinginan tersebut. Celakanya banyak orang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan harta atau kekayaan.
Mengapa banyak orang berhasrat menjadi kaya? Karena dengan semakin kaya maka status sosial seseorang akan terdongkrak naik. Mereka semakin dihormati dan dihargai. Dengan kata lain orang kaya mempunyai posisi lebih tinggi dibandingkan orang biasa, apalagi orang miskin; dan semakin kaya seseorang semakin banyak pula teman atau sahabat, seperti tertulis: "Kekayaan menambah banyak sahabat, tetapi orang miskin ditinggalkan sahabatnya." (Amsal 19:4). Kebanyakan orang lebih senang berada di sekitar orang kaya daripada berada di dekat orang miskin. Salah satu alasannya adalah mereka berharap turut menikmati kekayaan dan nebeng ketenaran dari si kaya.
Faktor lain yang mendorong orang lain menjadi kaya adalah bahwa dengan posisinya yang tinggi dan terhormat mereka dapat bersikap semena-mena dan menguasai orang lain, karena beranggapan bahwa dengan uang yang dimiliki mereka bisa melakukan apa saja. "Orang kaya menguasai orang miskin, yang berhutang menjadi budak dari yang menghutangi." (Amsal 22:7), sehingga "Orang miskin berbicara dengan memohon-mohon, tetapi orang kaya menjawab dengan kasar." (Amsal 18:23). Sedangkan sisi lain yang tidak disadari oleh si kaya yaitu mereka cenderung menganggap diri lebih bijak, lebih hebat, dan lebih segala-galanya dari orang lain. "Orang kaya menganggap dirinya bijak, tetapi orang miskin yang berpengertian mengenal dia." (Amsal 28:11). Jika orang sudah merasa diri 'lebih' dari orang lain secara otomatis mereka telah meremehkan dan merendahkan orang yang dianggapnya memiliki derajat lebih rendah. Ini adalah awal dari kesombongan, padahal Tuhan sangat benci dengan orang sombong, pada saatnya mereka akan "...ditundukkan dan ...direndahkan; (Yesaya 2:17). (Bersambung)
Baca: Amsal 28:20-28
"tetapi orang yang ingin cepat menjadi kaya, tidak akan luput dari hukuman." Amsal 28:20
Menjadi orang kaya adalah keinginan hampir semua manusia di dunia ini. Mengapa? Karena dunia selalu mengukur dan menilai kesuksesan seseorang dari apa yang diraih dan dipunyainya. Itulah sebabnya semua orang berlomba-lomba dan berusaha sedemikian rupa mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya demi mewujudkan keinginan tersebut. Celakanya banyak orang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan harta atau kekayaan.
Mengapa banyak orang berhasrat menjadi kaya? Karena dengan semakin kaya maka status sosial seseorang akan terdongkrak naik. Mereka semakin dihormati dan dihargai. Dengan kata lain orang kaya mempunyai posisi lebih tinggi dibandingkan orang biasa, apalagi orang miskin; dan semakin kaya seseorang semakin banyak pula teman atau sahabat, seperti tertulis: "Kekayaan menambah banyak sahabat, tetapi orang miskin ditinggalkan sahabatnya." (Amsal 19:4). Kebanyakan orang lebih senang berada di sekitar orang kaya daripada berada di dekat orang miskin. Salah satu alasannya adalah mereka berharap turut menikmati kekayaan dan nebeng ketenaran dari si kaya.
Faktor lain yang mendorong orang lain menjadi kaya adalah bahwa dengan posisinya yang tinggi dan terhormat mereka dapat bersikap semena-mena dan menguasai orang lain, karena beranggapan bahwa dengan uang yang dimiliki mereka bisa melakukan apa saja. "Orang kaya menguasai orang miskin, yang berhutang menjadi budak dari yang menghutangi." (Amsal 22:7), sehingga "Orang miskin berbicara dengan memohon-mohon, tetapi orang kaya menjawab dengan kasar." (Amsal 18:23). Sedangkan sisi lain yang tidak disadari oleh si kaya yaitu mereka cenderung menganggap diri lebih bijak, lebih hebat, dan lebih segala-galanya dari orang lain. "Orang kaya menganggap dirinya bijak, tetapi orang miskin yang berpengertian mengenal dia." (Amsal 28:11). Jika orang sudah merasa diri 'lebih' dari orang lain secara otomatis mereka telah meremehkan dan merendahkan orang yang dianggapnya memiliki derajat lebih rendah. Ini adalah awal dari kesombongan, padahal Tuhan sangat benci dengan orang sombong, pada saatnya mereka akan "...ditundukkan dan ...direndahkan; (Yesaya 2:17). (Bersambung)
Friday, April 1, 2016
JANGAN BERPIKIRAN NEGATIF!
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 1 April 2016
Baca: Matius 9:1-8
"Mengapa kamu memikirkan hal-hal yang jahat di dalam hatimu?" Matius 9:4
Semua orang pasti mengakui bahwa pikiran adalah medan peperangan yang sesungguhnya. Setiap detik, setiap menit, setiap jam, setiap hari, kita selalu diperhadapkan dengan pergumulan yang berat berkenaan dengan pilihan hidup yang tidak mudah: berpikiran positif atau berpikiran negatif. Berdasarkan pengalaman hidup sehari-hari orang lebih cenderung memikirkan hal-hal yang negatif daripada berpikiran positif.
Ketika melihat Tuhan Yesus melakukan mujizat menyembuhkan orang yang lumpuh, semestinya orang akan memuliakan nama Tuhan dan imannya semakin teguh, tetapi para ahli Taurat justru langsung berpikiran negatif terhadap Tuhan Yesus. "Ia menghujat Allah." (ayat 3). Bukankah kita juga seringkali berpikiran negatif terhadap Tuhan dan menuduh-Nya berlaku tidak adil dan jahat, ketika doa-doa kita belum beroleh jawaban, ketika sakit kita belum juga sembuh, ketika masalah kita belum juga ada jalan keluar, padahal kita sudah berdoa? Dalam hubungan dengan sesama kita pun mudah sekali berpikiran negatif dan selalu menaruh curiga terhadap orang lain. Jika kita selalu berpikiran negatif setiap hari, berhati-hatilah!
Darimanakah datangnya pikiran negatif? Iblis selalu menawarkan hal-hal negatif ketika manusia berada pada suatu kebutuhan. Contoh: ketika Tuhan Yesus lapar setelah berpuasa 40 hari 40 malam, Iblis menawarkan solusi untuk mengubah batu menjadi roti. Iblis juga menawarkan kebanggaan, kehebatan dan kemegahan yang merupakan impian dan keinginan setiap manusia (baca Matius 4:1-11), namun Tuhan Yesus dapat berkata 'tidak' terhadap semua tawaran Iblis. Pikiran negatif juga datang dari keinginan kita sendiri yang sewaktu-waktu muncul. "...tiap-tiap orang dicobai oleh keinginannya sendiri, karena ia diseret dan dipikat olehnya." (Yakobus 1:14). Apa yang kita pikirkan menentukan arah hidup kita dan membawa kita kepada kesukaran. Karena itu Rasul Paulus menasihatkan, "Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu." (Filipi 4:8).
Kita akan menang atas pikiran negatif jika kita memakai pedang roh yaitu firman Tuhan, dan senantiasa hidup dalam persekutuan dengan Tuhan setiap hari.
Baca: Matius 9:1-8
"Mengapa kamu memikirkan hal-hal yang jahat di dalam hatimu?" Matius 9:4
Semua orang pasti mengakui bahwa pikiran adalah medan peperangan yang sesungguhnya. Setiap detik, setiap menit, setiap jam, setiap hari, kita selalu diperhadapkan dengan pergumulan yang berat berkenaan dengan pilihan hidup yang tidak mudah: berpikiran positif atau berpikiran negatif. Berdasarkan pengalaman hidup sehari-hari orang lebih cenderung memikirkan hal-hal yang negatif daripada berpikiran positif.
Ketika melihat Tuhan Yesus melakukan mujizat menyembuhkan orang yang lumpuh, semestinya orang akan memuliakan nama Tuhan dan imannya semakin teguh, tetapi para ahli Taurat justru langsung berpikiran negatif terhadap Tuhan Yesus. "Ia menghujat Allah." (ayat 3). Bukankah kita juga seringkali berpikiran negatif terhadap Tuhan dan menuduh-Nya berlaku tidak adil dan jahat, ketika doa-doa kita belum beroleh jawaban, ketika sakit kita belum juga sembuh, ketika masalah kita belum juga ada jalan keluar, padahal kita sudah berdoa? Dalam hubungan dengan sesama kita pun mudah sekali berpikiran negatif dan selalu menaruh curiga terhadap orang lain. Jika kita selalu berpikiran negatif setiap hari, berhati-hatilah!
Darimanakah datangnya pikiran negatif? Iblis selalu menawarkan hal-hal negatif ketika manusia berada pada suatu kebutuhan. Contoh: ketika Tuhan Yesus lapar setelah berpuasa 40 hari 40 malam, Iblis menawarkan solusi untuk mengubah batu menjadi roti. Iblis juga menawarkan kebanggaan, kehebatan dan kemegahan yang merupakan impian dan keinginan setiap manusia (baca Matius 4:1-11), namun Tuhan Yesus dapat berkata 'tidak' terhadap semua tawaran Iblis. Pikiran negatif juga datang dari keinginan kita sendiri yang sewaktu-waktu muncul. "...tiap-tiap orang dicobai oleh keinginannya sendiri, karena ia diseret dan dipikat olehnya." (Yakobus 1:14). Apa yang kita pikirkan menentukan arah hidup kita dan membawa kita kepada kesukaran. Karena itu Rasul Paulus menasihatkan, "Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu." (Filipi 4:8).
Kita akan menang atas pikiran negatif jika kita memakai pedang roh yaitu firman Tuhan, dan senantiasa hidup dalam persekutuan dengan Tuhan setiap hari.
Thursday, March 31, 2016
MEMBAJAK TANAH HATI
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 31 Maret 2016
Baca: Amos 9:11-15
"'Sesungguhnya, waktu akan datang,' demikianlah firman TUHAN, 'bahwa pembajak akan tepat menyusul penuai dan pengirik buah anggur penabur benih; gunung-gunung akan meniriskan anggur baru dan segala bukit akan kebanjiran.'" Amos 9:13
Seorang hamba Tuhan atau pemberita Injil adalah sama seperti seorang petani yang sedang membajak tanah. Mengapa tanah harus dibajak lebih dahulu? Karena tidak semua tanah itu baik dan siap pakai, ada tanah keras, ada pula yang berbatu. Tujuan membajak adalah untuk menggemburkan tanah atau melembutkan tanah yang akan ditaburi benih.
Begitu pula tugas pemberita Injil. Sebelum menyampaikan firman atau menabur benih ia harus memersiapkan tanah hati pendengar melalui doa, memohon campur tangan Tuhan, karena hanya kuasa Roh Kudus yang sanggup menjamah, menggerakkan, membasahi, meluluhkan dan melembutkan setiap hati yang keras. "Sebab firman Allah hidup dan kuat dan lebih tajam dari pada pedang bermata dua manapun; ia menusuk amat dalam sampai memisahkan jiwa dan roh, sendi-sendi dan sumsum; ia sanggup membedakan pertimbangan dan pikiran hati kita." (Ibrani 4:12). Tindakan membajak ini harus dilakukan terus-menerus, tidak ada waktu untuk berhenti jika kita mengharapkan tuaian. "Pada musim dingin si pemalas tidak membajak; jikalau ia mencari pada musim menuai, maka tidak ada apa-apa." (Amsal 20:4). Dalam membajak 'tanah' hati seorang pekerja tidak boleh memiliki sikap mudah putus asa, sekalipun ada masalah ketika pekerja mendapati tanah yang dibajaknya adalah tanah yang keras. Sebagian dari mereka merasa lelah, bersungut-sungut dan kemudian berhenti membajak.
Belajarlah kepada Musa, orang yang diutus Tuhan untuk memimpin umat Israel yang tanah hatinya sangat keras, di mana Tuhan sendiri menyebut mereka sebagai bangsa yang tegar tengkuk (baca Keluaran 32:9). Namun Musa mengerjakan tugas yang dipercayakan Tuhan ini dengan penuh kesabaran dan hati yang lemah lembut. Jika tidak, Musa pasti akan gagal di tengah jalan. Membajak tanah hati juga harus fokus dan penuh konsentrasi dengan mata yang mengarah ke depan. Jangan sampai kita membajak dengan setengah hati, sebab "Setiap orang yang siap untuk membajak tetapi menoleh ke belakang, tidak layak untuk Kerajaan Allah." (Lukas 9:61-62).
Jadilah pekerja Tuhan yang terus bersemangat dan tidak mudah menyerah!
Baca: Amos 9:11-15
"'Sesungguhnya, waktu akan datang,' demikianlah firman TUHAN, 'bahwa pembajak akan tepat menyusul penuai dan pengirik buah anggur penabur benih; gunung-gunung akan meniriskan anggur baru dan segala bukit akan kebanjiran.'" Amos 9:13
Seorang hamba Tuhan atau pemberita Injil adalah sama seperti seorang petani yang sedang membajak tanah. Mengapa tanah harus dibajak lebih dahulu? Karena tidak semua tanah itu baik dan siap pakai, ada tanah keras, ada pula yang berbatu. Tujuan membajak adalah untuk menggemburkan tanah atau melembutkan tanah yang akan ditaburi benih.
Begitu pula tugas pemberita Injil. Sebelum menyampaikan firman atau menabur benih ia harus memersiapkan tanah hati pendengar melalui doa, memohon campur tangan Tuhan, karena hanya kuasa Roh Kudus yang sanggup menjamah, menggerakkan, membasahi, meluluhkan dan melembutkan setiap hati yang keras. "Sebab firman Allah hidup dan kuat dan lebih tajam dari pada pedang bermata dua manapun; ia menusuk amat dalam sampai memisahkan jiwa dan roh, sendi-sendi dan sumsum; ia sanggup membedakan pertimbangan dan pikiran hati kita." (Ibrani 4:12). Tindakan membajak ini harus dilakukan terus-menerus, tidak ada waktu untuk berhenti jika kita mengharapkan tuaian. "Pada musim dingin si pemalas tidak membajak; jikalau ia mencari pada musim menuai, maka tidak ada apa-apa." (Amsal 20:4). Dalam membajak 'tanah' hati seorang pekerja tidak boleh memiliki sikap mudah putus asa, sekalipun ada masalah ketika pekerja mendapati tanah yang dibajaknya adalah tanah yang keras. Sebagian dari mereka merasa lelah, bersungut-sungut dan kemudian berhenti membajak.
Belajarlah kepada Musa, orang yang diutus Tuhan untuk memimpin umat Israel yang tanah hatinya sangat keras, di mana Tuhan sendiri menyebut mereka sebagai bangsa yang tegar tengkuk (baca Keluaran 32:9). Namun Musa mengerjakan tugas yang dipercayakan Tuhan ini dengan penuh kesabaran dan hati yang lemah lembut. Jika tidak, Musa pasti akan gagal di tengah jalan. Membajak tanah hati juga harus fokus dan penuh konsentrasi dengan mata yang mengarah ke depan. Jangan sampai kita membajak dengan setengah hati, sebab "Setiap orang yang siap untuk membajak tetapi menoleh ke belakang, tidak layak untuk Kerajaan Allah." (Lukas 9:61-62).
Jadilah pekerja Tuhan yang terus bersemangat dan tidak mudah menyerah!
Wednesday, March 30, 2016
PELAYANAN BAGI SESAMA (2)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 30 Maret 2016
Baca: Amsal 22:7-16
"Orang yang baik hati akan diberkati, karena ia membagi rezekinya dengan si miskin." Amsal 22:9
Tidak sedikit orang Kristen yang berpikir 1000x ketika hendak mengasihi atau menolong orang lain, apalagi sampai harus berkorban. Kita mau mengasihi atau menolong tapi dengan banyak pertimbangan, menghitung keuntungan dan kerugian jika hendak memberi. Alkitab menyatakan bahwa jika kita mengasihi dan berbuat baik kepada orang yang mengasihi dan berbuat baik kepada kita, apakah jasa kita? Karena orang-orang di luar Tuhan atau orang berdosa juga berbuat demikian. (baca Lukas 6:32-33).
Seringkali kita menunda-nunda waktu bila hendak menolong atau berbuat baik kepada orang lain dengan berkata, "Untuk kebutuhan diri sendiri saja tidak cukup...bagaimana harus memberi orang lain? Nanti saja berbuat baik kalau keadaan ekonomiku sudah membaik." Alkitab menyatakan, "Siapa senantiasa memperhatikan angin tidak akan menabur; dan siapa senantiasa melihat awan tidak akan menuai." (Pengkhotbah 11:4). Seorang janda di Sarfat hanya memiliki segenggam tepung dan sedikit minyak, tetapi begitu ia taat melakukan apa yang diperintahkan Elia (memberi kepada orang lain terlebih dahulu) mujizat dinyatakan: "Tepung dalam tempayan itu tidak habis dan minyak dalam buli-buli itu tidak berkurang seperti firman TUHAN yang diucapkan-Nya dengan perantaraan Elia." (1 Raja-Raja 17:16).
Renungkanlah! Tuhan menyediakan berkat dan mujizat-Nya bagi orang-orang yang peka terhadap kebutuhan orang lain! Karena itu jangan pernah menahan kebaikan bagi sesama. Sebaliknya, "Hendaklah kebaikan hatimu diketahui semua orang." (Filipi 4:5a). Dengan kata lain hidup kita harus menjadi berkat bagi orang lain, itulah tujuan Tuhan memberkati kita. Semasa pelayanan-Nya di bumi Tuhan Yesus terus bergerak dalam pelayanan kepada semua komunitas manusia. Ia bukan hanya memerhatikan kebutuhan rohani, tetapi juga kebutuhan jasmani semua orang, sehingga di mana pun berada banyak orang mengikuti-Nya. Artinya Tuhan Yesus memelihara, baik tubuh maupun jiwa umat-Nya. Inilah panggilan Tuhan bagi gereja-Nya: memiliki hati yang penuh belas kasih, bermurah hati dan melakukan perbuatan baik, yang ditandai dengan tindakan memberi.
Melayani sesama dengan memberi adalah bukti kita telah meneladani Kristus!
Baca: Amsal 22:7-16
"Orang yang baik hati akan diberkati, karena ia membagi rezekinya dengan si miskin." Amsal 22:9
Tidak sedikit orang Kristen yang berpikir 1000x ketika hendak mengasihi atau menolong orang lain, apalagi sampai harus berkorban. Kita mau mengasihi atau menolong tapi dengan banyak pertimbangan, menghitung keuntungan dan kerugian jika hendak memberi. Alkitab menyatakan bahwa jika kita mengasihi dan berbuat baik kepada orang yang mengasihi dan berbuat baik kepada kita, apakah jasa kita? Karena orang-orang di luar Tuhan atau orang berdosa juga berbuat demikian. (baca Lukas 6:32-33).
Seringkali kita menunda-nunda waktu bila hendak menolong atau berbuat baik kepada orang lain dengan berkata, "Untuk kebutuhan diri sendiri saja tidak cukup...bagaimana harus memberi orang lain? Nanti saja berbuat baik kalau keadaan ekonomiku sudah membaik." Alkitab menyatakan, "Siapa senantiasa memperhatikan angin tidak akan menabur; dan siapa senantiasa melihat awan tidak akan menuai." (Pengkhotbah 11:4). Seorang janda di Sarfat hanya memiliki segenggam tepung dan sedikit minyak, tetapi begitu ia taat melakukan apa yang diperintahkan Elia (memberi kepada orang lain terlebih dahulu) mujizat dinyatakan: "Tepung dalam tempayan itu tidak habis dan minyak dalam buli-buli itu tidak berkurang seperti firman TUHAN yang diucapkan-Nya dengan perantaraan Elia." (1 Raja-Raja 17:16).
Renungkanlah! Tuhan menyediakan berkat dan mujizat-Nya bagi orang-orang yang peka terhadap kebutuhan orang lain! Karena itu jangan pernah menahan kebaikan bagi sesama. Sebaliknya, "Hendaklah kebaikan hatimu diketahui semua orang." (Filipi 4:5a). Dengan kata lain hidup kita harus menjadi berkat bagi orang lain, itulah tujuan Tuhan memberkati kita. Semasa pelayanan-Nya di bumi Tuhan Yesus terus bergerak dalam pelayanan kepada semua komunitas manusia. Ia bukan hanya memerhatikan kebutuhan rohani, tetapi juga kebutuhan jasmani semua orang, sehingga di mana pun berada banyak orang mengikuti-Nya. Artinya Tuhan Yesus memelihara, baik tubuh maupun jiwa umat-Nya. Inilah panggilan Tuhan bagi gereja-Nya: memiliki hati yang penuh belas kasih, bermurah hati dan melakukan perbuatan baik, yang ditandai dengan tindakan memberi.
Melayani sesama dengan memberi adalah bukti kita telah meneladani Kristus!
Tuesday, March 29, 2016
PELAYANAN BAGI SESAMA (1)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 29 Maret 2016
Baca: Matius 25:31-46
"Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku." Matius 25:35-36
Menjadi serupa dengan Kristus adalah tujuan hidup orang percaya. Untuk mewujudkan itu gereja harus memerlengkapi diri dengan pelayanan penginjilan, pengajaran, penggembalaan, persekutuan, peribadatan dan penatalayanan. Ada jenis pelayanan lain yang tidak boleh diabaikan dan harus digalakkan oleh gereja yaitu pelayanan diakonia. Pelayanan diakonia adalah pelayanan bagi sesama. Dalam pelayanan ini gereja benar-benar menjalankan fungsinya sebagai saluran berkat bagi dunia, menjadi jawaban untuk setiap pergumulan hidup.
Pelayanan diakonia disebut pula pelayanan berbagi atau pelayanan pekerjaan baik yang Tuhan Yesus ajarkan dan persiapkan jauh sebelumnya, supaya setiap orang percaya turut terlibat di dalamnya. "Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya." (Efesus 2:10). Melayani sesama adalah pelayanan yang tidak boleh ditunda-tunda, harus dikerjakan sekarang, terutama di masa sulit seperti sekarang ini di mana dunia membutuhkan action, bukan sekedar kata-kata yang berbalutkan kasih.
Ketika banyak orang memilih hidup bagi diri sendiri gereja-Nya justru dituntut untuk menjadi pribadi yang berbeda, pribadi penuh belas kasihan seperti orang Samaria. Ketika melihat orang lain terluka dan menderita seketika itu pula hatinya tergerak oleh belas kasihan. "Ia pergi kepadanya lalu membalut luka-lukanya, sesudah ia menyiraminya dengan minyak dan anggur. Kemudian ia menaikkan orang itu ke atas keledai tunggangannya sendiri lalu membawanya ke tempat penginapan dan merawatnya. Keesokan harinya ia menyerahkan dua dinar kepada pemilik penginapan itu, katanya: Rawatlah dia dan jika kaubelanjakan lebih dari ini, aku akan menggantinya, waktu aku kembali." (Lukas 10:34-35). Sungguh mulia hati orang Samaria ini, padahal orang yang ditolongnya itu adalah orang asing yang tidak dikenalnya.
Adakah kita memiliki hati yang terbeban melayani orang lain dengan kasih?
Baca: Matius 25:31-46
"Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku." Matius 25:35-36
Menjadi serupa dengan Kristus adalah tujuan hidup orang percaya. Untuk mewujudkan itu gereja harus memerlengkapi diri dengan pelayanan penginjilan, pengajaran, penggembalaan, persekutuan, peribadatan dan penatalayanan. Ada jenis pelayanan lain yang tidak boleh diabaikan dan harus digalakkan oleh gereja yaitu pelayanan diakonia. Pelayanan diakonia adalah pelayanan bagi sesama. Dalam pelayanan ini gereja benar-benar menjalankan fungsinya sebagai saluran berkat bagi dunia, menjadi jawaban untuk setiap pergumulan hidup.
Pelayanan diakonia disebut pula pelayanan berbagi atau pelayanan pekerjaan baik yang Tuhan Yesus ajarkan dan persiapkan jauh sebelumnya, supaya setiap orang percaya turut terlibat di dalamnya. "Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya." (Efesus 2:10). Melayani sesama adalah pelayanan yang tidak boleh ditunda-tunda, harus dikerjakan sekarang, terutama di masa sulit seperti sekarang ini di mana dunia membutuhkan action, bukan sekedar kata-kata yang berbalutkan kasih.
Ketika banyak orang memilih hidup bagi diri sendiri gereja-Nya justru dituntut untuk menjadi pribadi yang berbeda, pribadi penuh belas kasihan seperti orang Samaria. Ketika melihat orang lain terluka dan menderita seketika itu pula hatinya tergerak oleh belas kasihan. "Ia pergi kepadanya lalu membalut luka-lukanya, sesudah ia menyiraminya dengan minyak dan anggur. Kemudian ia menaikkan orang itu ke atas keledai tunggangannya sendiri lalu membawanya ke tempat penginapan dan merawatnya. Keesokan harinya ia menyerahkan dua dinar kepada pemilik penginapan itu, katanya: Rawatlah dia dan jika kaubelanjakan lebih dari ini, aku akan menggantinya, waktu aku kembali." (Lukas 10:34-35). Sungguh mulia hati orang Samaria ini, padahal orang yang ditolongnya itu adalah orang asing yang tidak dikenalnya.
Adakah kita memiliki hati yang terbeban melayani orang lain dengan kasih?
Monday, March 28, 2016
TOMAS: Iman Yang Ragu
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 28 Maret 2016
Baca: Yohanes 20:24-29
"Karena engkau telah melihat Aku, maka engkau percaya. Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya." Yohanes 20:29
Pasca kematian Yesus di kayu salib iman murid-murid Yesus menjadi sangat terguncang. Salah satunya adalah Tomas, yang memilih untuk meninggalkan persekutuan yang biasa diadakan di suatu tempat bersama dengan murid-murid lainnya. "Tetapi Tomas, seorang dari kedua belas murid itu, yang disebut Didimus, tidak ada bersama-sama mereka, ketika Yesus datang ke situ." (ayat 24).
Tomas tidak lagi hadir karena terguncang imannya dan frustasi, karena beranggapan bahwa kematian Yesus di kayu salib adalah akhir segalanya. Bahkan ketika murid-murid lainnya menceritakan perihal kebangkitan Yesus kepadanya ia bersikap skeptis dan sama sekali tidak percaya. Tomas pun berkata, "Sebelum aku melihat bekas paku pada tangan-Nya dan sebelum aku mencucukkan jariku ke dalam bekas paku itu dan mencucukkan tanganku ke dalam lambung-Nya, sekali-kali aku tidak akan percaya." (ayat 25b). Tomas butuh bukti konkret untuk percaya. Begitu mudahnya iman Tomas memudar, padahal ketika masih bersama-sama Yesus ia mendengar sendiri apa yang dikatakan Yesus bahwa Ia akan mati disalibkan dan bangkit dari kubur pada hari yang ketiga.
Apa yang menyebabkan Tomas ragu? Karena konsep pemahaman Tomas tentang Mesias masih terkontaminasi atau terpengaruh dengan ajaran Yudaisme yang menyatakan bahwa Mesias akan datang dalam semarak dan penuh kemegahan, bukan kesederhanaan. Sementara Tuhan Yesus datang sebagai hamba yang sederhana dan malah harus menderita, dan mati secara memalukan di kayu salib. Ternyata 3,5 tahun diajar dan hidup bersama dengan Yesus tidak cukup bagi Tomas mengenal pribadi-Nya secara benar. Namun begitu Yesus datang kepada Tomas secara pribadi dan menampakkan diri kepadanya, serta berkata, "Taruhlah jarimu di sini dan lihatlah tangan-Ku, ulurkanlah tanganmu dan cucukkan ke dalam lambung-Ku dan jangan engkau tidak percaya lagi, melainkan percayalah." (ayat 27), seketika itu juga barulah Tomas percaya dan berseru, "Ya Tuhanku dan Allahku!" (ayat 28).
Kebangkitan Yesus bukan sekedar teori, tapi fakta, karena itu percayalah kepada-Nya!
Baca: Yohanes 20:24-29
"Karena engkau telah melihat Aku, maka engkau percaya. Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya." Yohanes 20:29
Pasca kematian Yesus di kayu salib iman murid-murid Yesus menjadi sangat terguncang. Salah satunya adalah Tomas, yang memilih untuk meninggalkan persekutuan yang biasa diadakan di suatu tempat bersama dengan murid-murid lainnya. "Tetapi Tomas, seorang dari kedua belas murid itu, yang disebut Didimus, tidak ada bersama-sama mereka, ketika Yesus datang ke situ." (ayat 24).
Tomas tidak lagi hadir karena terguncang imannya dan frustasi, karena beranggapan bahwa kematian Yesus di kayu salib adalah akhir segalanya. Bahkan ketika murid-murid lainnya menceritakan perihal kebangkitan Yesus kepadanya ia bersikap skeptis dan sama sekali tidak percaya. Tomas pun berkata, "Sebelum aku melihat bekas paku pada tangan-Nya dan sebelum aku mencucukkan jariku ke dalam bekas paku itu dan mencucukkan tanganku ke dalam lambung-Nya, sekali-kali aku tidak akan percaya." (ayat 25b). Tomas butuh bukti konkret untuk percaya. Begitu mudahnya iman Tomas memudar, padahal ketika masih bersama-sama Yesus ia mendengar sendiri apa yang dikatakan Yesus bahwa Ia akan mati disalibkan dan bangkit dari kubur pada hari yang ketiga.
Apa yang menyebabkan Tomas ragu? Karena konsep pemahaman Tomas tentang Mesias masih terkontaminasi atau terpengaruh dengan ajaran Yudaisme yang menyatakan bahwa Mesias akan datang dalam semarak dan penuh kemegahan, bukan kesederhanaan. Sementara Tuhan Yesus datang sebagai hamba yang sederhana dan malah harus menderita, dan mati secara memalukan di kayu salib. Ternyata 3,5 tahun diajar dan hidup bersama dengan Yesus tidak cukup bagi Tomas mengenal pribadi-Nya secara benar. Namun begitu Yesus datang kepada Tomas secara pribadi dan menampakkan diri kepadanya, serta berkata, "Taruhlah jarimu di sini dan lihatlah tangan-Ku, ulurkanlah tanganmu dan cucukkan ke dalam lambung-Ku dan jangan engkau tidak percaya lagi, melainkan percayalah." (ayat 27), seketika itu juga barulah Tomas percaya dan berseru, "Ya Tuhanku dan Allahku!" (ayat 28).
Kebangkitan Yesus bukan sekedar teori, tapi fakta, karena itu percayalah kepada-Nya!
Subscribe to:
Posts (Atom)