Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 5 April 2016
Baca: Yosua 6:1-27
"Maka diamlah perempuan itu di tengah-tengah orang Israel sampai
sekarang, karena ia telah menyembunyikan orang suruhan yang disuruh
Yosua mengintai Yerikho." Yosua 6:25b
Rahab adalah perempuan sundal yang tinggal di kota Yerikho, kota yang dikutuk Yosua sehingga seisi kota itu dihancurkan Tuhan. Menurut pandangan manusia, dapatkah perempuan 'najis' diselamatkan, ditolong dan diubah hidupnya? Namun Rahab dan keluarganya beroleh kasih setia dari Tuhan karena tindakan imannya adalah bukti bahwa ia berpihak kepada Tuhan. Ketika kedua pengintai suruhan Yosua memerintahkan Rahab mengikatkan tali kirmizi merah di jendela rumahnya, ia taat melakukannya. Selalu ada upah untuk ketaatan: Rahab dan keluarganya diselamatkan ketika kota Yerikho hancur.
Keselamatan yang diterima Rahab adalah bukti bahwa Tuhan tidak pernah pandang bulu terhadap orang-orang yang Ia berikan kemurahan-Nya: "Aku akan menaruh belas kasihan kepada siapa Aku mau menaruh belas
kasihan dan Aku akan bermurah hati kepada siapa Aku mau bermurah hati." (Roma 9:15). Rahab, seorang perempuan berdosa dengan latar belakang bangsa kafir, mengalami kemurahan Tuhan karena tanda merah yang ia pasang. Tanda merah adalah bayangan dari keselamatan sejati yaitu tanda darah Kristus. Melalui pencurahan darah Kristus di kayu salib kita beroleh keselamatan dan pengampunan dosa. "Sebab di dalam Dia dan oleh darah-Nya kita beroleh penebusan, yaitu pengampunan dosa, menurut kekayaan kasih karunia-Nya," (Efesus 1:7). Karena ia bersedia menyembunyikan dua orang pengintai utusan Yosua dan imannya kepada Tuhan Israel, Alkitab pun mencatat Rahab sebagai salah satu saksi iman.
Rahab, wanita berdosa yang dipandang rendah sesamanya, mendapatkan posisi sederajat dengan tokoh-tokoh iman lainnya seperti Abraham, Nuh, Henokh, Musa dan sebagainya. "Karena iman maka Rahab, perempuan sundal itu, tidak turut binasa
bersama-sama dengan orang-orang durhaka, karena ia telah menyambut
pengintai-pengintai itu dengan baik." (Ibrani 11:31).
Karena imannya Rahab beroleh kasih setia Tuhan, diselamatkan dan diangkat status hidupnya: dari perempuan sundal tidak berharga di mata manusia masuk dalam garis silsilah Yesus Kristus (baca Matius 1:1-17).
Tuesday, April 5, 2016
Monday, April 4, 2016
RAHAB: Mendapatkan Kasih Setia (1)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 4 April 2016
Baca: Yosua 2:1-24
"'Seperti yang telah kamu katakan, demikianlah akan terjadi.' Sesudah itu dilepasnyalah orang-orang itu pergi, maka berangkatlah mereka. Kemudian perempuan itu mengikatkan tali kirmizi itu pada jendela." Yosua 2:21
Kalau kita perhatikan di pasal 2 dari kitab Yosua ini, yang menjadi tokoh utamanya adalah Rahab dan kedua pengintai suruhan Yosua. Siapa Rahab? Alkitab menulis bahwa ia adalah seorang perempuan sundal, yang rumahnya terletak di atas tembok kota, sehingga sangat strategis sebagai tempat penginapan para pengembara. Predikat, sebutan atau profesi yang disandang Rahab sebagai perempuan sundal bukanlah hal yang baik di mata orang, bahkan dipandang rendah, hina dan menjijikkan. Orang mengklasifikasikan Rahab ini sebagai 'sampah' masyarakat. Ada pun nama Rahab memiliki arti orang yang angkuh, sombong. Ia adalah gambaran orang yang hidup di balik kokohnya tembok Yerikho.
Namun di balik kehidupannya yang hitam kelam ada hal luar biasa yang kita temukan dalam diri Rahab yaitu keberaniannya mengambil resiko dengan menyembunyikan dua orang pengintai di dalam rumahnya. Tindakan yang diambil oleh Rahab bukanlah tindakan nekad tanpa dasar. Apalagi jika hal tersebut diketahui oleh orang-orang Yerikho, nyawa Rahab menjadi taruhannya. Tetapi imanlah yang mendasari Rahab untuk bertindak. Inilah iman yang hidup yaitu iman yang disertai dengan perbuatan. Padahal Rahab berasal dari bangsa yang menyembah kepada berhala atau bangsa kafir, tetapi ia memiliki pengenalan yang benar akan Tuhan bangsa Israel. "Aku tahu, bahwa TUHAN telah memberikan negeri ini kepada kamu dan bahwa kengerian terhadap kamu telah menghinggapi kami dan segala penduduk negeri ini gemetar menghadapi kamu. Sebab kami mendengar, bahwa TUHAN telah mengeringkan air Laut Teberau di depan kamu, ketika kamu berjalan keluar dari Mesir, dan apa yang kamu lakukan kepada kedua raja orang Amori yang di seberang sungai Yordan itu, yakni kepada Sihon dan Og, yang telah kamu tumpas...sebab TUHAN, Allahmu, ialah Allah di langit di atas dan di bumi di bawah." (Yosua 2:9-11).
Ini menunjukkan bahwa Rahab lebih takut kepada Tuhan daripada kepada raja Yerikho, karena ia tahu bahwa Tuhan bangsa Israel adalah Tuhan yang hidup dan berkuasa atas langit dan bumi. (Bersambung)
Baca: Yosua 2:1-24
"'Seperti yang telah kamu katakan, demikianlah akan terjadi.' Sesudah itu dilepasnyalah orang-orang itu pergi, maka berangkatlah mereka. Kemudian perempuan itu mengikatkan tali kirmizi itu pada jendela." Yosua 2:21
Kalau kita perhatikan di pasal 2 dari kitab Yosua ini, yang menjadi tokoh utamanya adalah Rahab dan kedua pengintai suruhan Yosua. Siapa Rahab? Alkitab menulis bahwa ia adalah seorang perempuan sundal, yang rumahnya terletak di atas tembok kota, sehingga sangat strategis sebagai tempat penginapan para pengembara. Predikat, sebutan atau profesi yang disandang Rahab sebagai perempuan sundal bukanlah hal yang baik di mata orang, bahkan dipandang rendah, hina dan menjijikkan. Orang mengklasifikasikan Rahab ini sebagai 'sampah' masyarakat. Ada pun nama Rahab memiliki arti orang yang angkuh, sombong. Ia adalah gambaran orang yang hidup di balik kokohnya tembok Yerikho.
Namun di balik kehidupannya yang hitam kelam ada hal luar biasa yang kita temukan dalam diri Rahab yaitu keberaniannya mengambil resiko dengan menyembunyikan dua orang pengintai di dalam rumahnya. Tindakan yang diambil oleh Rahab bukanlah tindakan nekad tanpa dasar. Apalagi jika hal tersebut diketahui oleh orang-orang Yerikho, nyawa Rahab menjadi taruhannya. Tetapi imanlah yang mendasari Rahab untuk bertindak. Inilah iman yang hidup yaitu iman yang disertai dengan perbuatan. Padahal Rahab berasal dari bangsa yang menyembah kepada berhala atau bangsa kafir, tetapi ia memiliki pengenalan yang benar akan Tuhan bangsa Israel. "Aku tahu, bahwa TUHAN telah memberikan negeri ini kepada kamu dan bahwa kengerian terhadap kamu telah menghinggapi kami dan segala penduduk negeri ini gemetar menghadapi kamu. Sebab kami mendengar, bahwa TUHAN telah mengeringkan air Laut Teberau di depan kamu, ketika kamu berjalan keluar dari Mesir, dan apa yang kamu lakukan kepada kedua raja orang Amori yang di seberang sungai Yordan itu, yakni kepada Sihon dan Og, yang telah kamu tumpas...sebab TUHAN, Allahmu, ialah Allah di langit di atas dan di bumi di bawah." (Yosua 2:9-11).
Ini menunjukkan bahwa Rahab lebih takut kepada Tuhan daripada kepada raja Yerikho, karena ia tahu bahwa Tuhan bangsa Israel adalah Tuhan yang hidup dan berkuasa atas langit dan bumi. (Bersambung)
Sunday, April 3, 2016
SISI LAIN ORANG KAYA (2)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 3 April 2016
Baca: Matius 19:16-26
"Aku berkata kepadamu, sesungguhnya sukar sekali bagi seorang kaya untuk masuk ke dalam Kerajaan Sorga." Matius 19:23
Rasul Paulus memberikan perintah kepada Timotius untuk memperingatkan orang kaya, "...agar mereka jangan tinggi hati dan jangan berharap pada sesuatu yang tak tentu seperti kekayaan, melainkan pada Allah yang dalam kekayaan-Nya memberikan kepada kita segala sesuatu untuk dinikmati. Peringatkanlah agar mereka itu berbuat baik, menjadi kaya dalam kebajikan, suka memberi dan membagi" (1 Timotius 6:17-18).
Mengapa orang kaya perlu diperingatkan? Karena mereka mudah sekali lupa diri dengan segala materi yang dimiliki. Benar apa kata firman Tuhan: "Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada." (Matius 6:21). Rasa cukup yang bersumber dari banyaknya uang atau harta menyebabkan mereka lebih berharap dan mengandalkan pada apa yang dimiliki daripada berharap dan mengandalkan Tuhan, sehingga mereka cenderung bermegah dengan kekayaan yang dimiliki. Mereka berpikir bahwa tanpa Tuhan sekali pun mereka dapat hidup, akibatnya rasa membutuhkan Tuhan lama kelamaan akan hilang. Tuhan bukan lagi menjadi prioritas utama dalam hidup. Dengan kata lain orang kaya akan lebih mudah mengabaikan dan melupakan Tuhan karena mereka mempunyai sesuatu yang bisa diandalkan. Padahal harta kekayaan itu sifatnya hanya semu dan mudah sekali lenyap. "...sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah tergantung dari pada kekayaannya itu." (Lukas 12:15). Mereka mengira bahwa jika memiliki uang dalam jumlah banyak dan kekayaan yang berlimpah, kepuasan akan diraih. Akhirnya mereka akan semakin keras berusaha untuk mendapatkan lebih banyak lagi, bahkan mereka rela melakukan apa saja. Orang seperti ini rakus dan tamak.
Salomo, salah seorang terkaya yang pernah hidup di muka bumi ini, menyatakan: "Siapa mencintai uang tidak akan puas dengan uang, dan siapa mencintai kekayaan tidak akan puas dengan penghasilannya. Inipun sia-sia." (Pengkhotbah 5:9). Tuhan tidak pernah menilai seseorang berdasarkan apa yang diraih atau apa yang dipunyai, tetapi berdasarkan siapa diri kita sebenarnya.
"Pada hari kemurkaan harta tidak berguna, tetapi kebenaran melepaskan orang dari maut." Amsal 11:4
Baca: Matius 19:16-26
"Aku berkata kepadamu, sesungguhnya sukar sekali bagi seorang kaya untuk masuk ke dalam Kerajaan Sorga." Matius 19:23
Rasul Paulus memberikan perintah kepada Timotius untuk memperingatkan orang kaya, "...agar mereka jangan tinggi hati dan jangan berharap pada sesuatu yang tak tentu seperti kekayaan, melainkan pada Allah yang dalam kekayaan-Nya memberikan kepada kita segala sesuatu untuk dinikmati. Peringatkanlah agar mereka itu berbuat baik, menjadi kaya dalam kebajikan, suka memberi dan membagi" (1 Timotius 6:17-18).
Mengapa orang kaya perlu diperingatkan? Karena mereka mudah sekali lupa diri dengan segala materi yang dimiliki. Benar apa kata firman Tuhan: "Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada." (Matius 6:21). Rasa cukup yang bersumber dari banyaknya uang atau harta menyebabkan mereka lebih berharap dan mengandalkan pada apa yang dimiliki daripada berharap dan mengandalkan Tuhan, sehingga mereka cenderung bermegah dengan kekayaan yang dimiliki. Mereka berpikir bahwa tanpa Tuhan sekali pun mereka dapat hidup, akibatnya rasa membutuhkan Tuhan lama kelamaan akan hilang. Tuhan bukan lagi menjadi prioritas utama dalam hidup. Dengan kata lain orang kaya akan lebih mudah mengabaikan dan melupakan Tuhan karena mereka mempunyai sesuatu yang bisa diandalkan. Padahal harta kekayaan itu sifatnya hanya semu dan mudah sekali lenyap. "...sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah tergantung dari pada kekayaannya itu." (Lukas 12:15). Mereka mengira bahwa jika memiliki uang dalam jumlah banyak dan kekayaan yang berlimpah, kepuasan akan diraih. Akhirnya mereka akan semakin keras berusaha untuk mendapatkan lebih banyak lagi, bahkan mereka rela melakukan apa saja. Orang seperti ini rakus dan tamak.
Salomo, salah seorang terkaya yang pernah hidup di muka bumi ini, menyatakan: "Siapa mencintai uang tidak akan puas dengan uang, dan siapa mencintai kekayaan tidak akan puas dengan penghasilannya. Inipun sia-sia." (Pengkhotbah 5:9). Tuhan tidak pernah menilai seseorang berdasarkan apa yang diraih atau apa yang dipunyai, tetapi berdasarkan siapa diri kita sebenarnya.
"Pada hari kemurkaan harta tidak berguna, tetapi kebenaran melepaskan orang dari maut." Amsal 11:4
Saturday, April 2, 2016
SISI LAIN ORANG KAYA (1)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 2 April 2016
Baca: Amsal 28:20-28
"tetapi orang yang ingin cepat menjadi kaya, tidak akan luput dari hukuman." Amsal 28:20
Menjadi orang kaya adalah keinginan hampir semua manusia di dunia ini. Mengapa? Karena dunia selalu mengukur dan menilai kesuksesan seseorang dari apa yang diraih dan dipunyainya. Itulah sebabnya semua orang berlomba-lomba dan berusaha sedemikian rupa mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya demi mewujudkan keinginan tersebut. Celakanya banyak orang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan harta atau kekayaan.
Mengapa banyak orang berhasrat menjadi kaya? Karena dengan semakin kaya maka status sosial seseorang akan terdongkrak naik. Mereka semakin dihormati dan dihargai. Dengan kata lain orang kaya mempunyai posisi lebih tinggi dibandingkan orang biasa, apalagi orang miskin; dan semakin kaya seseorang semakin banyak pula teman atau sahabat, seperti tertulis: "Kekayaan menambah banyak sahabat, tetapi orang miskin ditinggalkan sahabatnya." (Amsal 19:4). Kebanyakan orang lebih senang berada di sekitar orang kaya daripada berada di dekat orang miskin. Salah satu alasannya adalah mereka berharap turut menikmati kekayaan dan nebeng ketenaran dari si kaya.
Faktor lain yang mendorong orang lain menjadi kaya adalah bahwa dengan posisinya yang tinggi dan terhormat mereka dapat bersikap semena-mena dan menguasai orang lain, karena beranggapan bahwa dengan uang yang dimiliki mereka bisa melakukan apa saja. "Orang kaya menguasai orang miskin, yang berhutang menjadi budak dari yang menghutangi." (Amsal 22:7), sehingga "Orang miskin berbicara dengan memohon-mohon, tetapi orang kaya menjawab dengan kasar." (Amsal 18:23). Sedangkan sisi lain yang tidak disadari oleh si kaya yaitu mereka cenderung menganggap diri lebih bijak, lebih hebat, dan lebih segala-galanya dari orang lain. "Orang kaya menganggap dirinya bijak, tetapi orang miskin yang berpengertian mengenal dia." (Amsal 28:11). Jika orang sudah merasa diri 'lebih' dari orang lain secara otomatis mereka telah meremehkan dan merendahkan orang yang dianggapnya memiliki derajat lebih rendah. Ini adalah awal dari kesombongan, padahal Tuhan sangat benci dengan orang sombong, pada saatnya mereka akan "...ditundukkan dan ...direndahkan; (Yesaya 2:17). (Bersambung)
Baca: Amsal 28:20-28
"tetapi orang yang ingin cepat menjadi kaya, tidak akan luput dari hukuman." Amsal 28:20
Menjadi orang kaya adalah keinginan hampir semua manusia di dunia ini. Mengapa? Karena dunia selalu mengukur dan menilai kesuksesan seseorang dari apa yang diraih dan dipunyainya. Itulah sebabnya semua orang berlomba-lomba dan berusaha sedemikian rupa mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya demi mewujudkan keinginan tersebut. Celakanya banyak orang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan harta atau kekayaan.
Mengapa banyak orang berhasrat menjadi kaya? Karena dengan semakin kaya maka status sosial seseorang akan terdongkrak naik. Mereka semakin dihormati dan dihargai. Dengan kata lain orang kaya mempunyai posisi lebih tinggi dibandingkan orang biasa, apalagi orang miskin; dan semakin kaya seseorang semakin banyak pula teman atau sahabat, seperti tertulis: "Kekayaan menambah banyak sahabat, tetapi orang miskin ditinggalkan sahabatnya." (Amsal 19:4). Kebanyakan orang lebih senang berada di sekitar orang kaya daripada berada di dekat orang miskin. Salah satu alasannya adalah mereka berharap turut menikmati kekayaan dan nebeng ketenaran dari si kaya.
Faktor lain yang mendorong orang lain menjadi kaya adalah bahwa dengan posisinya yang tinggi dan terhormat mereka dapat bersikap semena-mena dan menguasai orang lain, karena beranggapan bahwa dengan uang yang dimiliki mereka bisa melakukan apa saja. "Orang kaya menguasai orang miskin, yang berhutang menjadi budak dari yang menghutangi." (Amsal 22:7), sehingga "Orang miskin berbicara dengan memohon-mohon, tetapi orang kaya menjawab dengan kasar." (Amsal 18:23). Sedangkan sisi lain yang tidak disadari oleh si kaya yaitu mereka cenderung menganggap diri lebih bijak, lebih hebat, dan lebih segala-galanya dari orang lain. "Orang kaya menganggap dirinya bijak, tetapi orang miskin yang berpengertian mengenal dia." (Amsal 28:11). Jika orang sudah merasa diri 'lebih' dari orang lain secara otomatis mereka telah meremehkan dan merendahkan orang yang dianggapnya memiliki derajat lebih rendah. Ini adalah awal dari kesombongan, padahal Tuhan sangat benci dengan orang sombong, pada saatnya mereka akan "...ditundukkan dan ...direndahkan; (Yesaya 2:17). (Bersambung)
Friday, April 1, 2016
JANGAN BERPIKIRAN NEGATIF!
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 1 April 2016
Baca: Matius 9:1-8
"Mengapa kamu memikirkan hal-hal yang jahat di dalam hatimu?" Matius 9:4
Semua orang pasti mengakui bahwa pikiran adalah medan peperangan yang sesungguhnya. Setiap detik, setiap menit, setiap jam, setiap hari, kita selalu diperhadapkan dengan pergumulan yang berat berkenaan dengan pilihan hidup yang tidak mudah: berpikiran positif atau berpikiran negatif. Berdasarkan pengalaman hidup sehari-hari orang lebih cenderung memikirkan hal-hal yang negatif daripada berpikiran positif.
Ketika melihat Tuhan Yesus melakukan mujizat menyembuhkan orang yang lumpuh, semestinya orang akan memuliakan nama Tuhan dan imannya semakin teguh, tetapi para ahli Taurat justru langsung berpikiran negatif terhadap Tuhan Yesus. "Ia menghujat Allah." (ayat 3). Bukankah kita juga seringkali berpikiran negatif terhadap Tuhan dan menuduh-Nya berlaku tidak adil dan jahat, ketika doa-doa kita belum beroleh jawaban, ketika sakit kita belum juga sembuh, ketika masalah kita belum juga ada jalan keluar, padahal kita sudah berdoa? Dalam hubungan dengan sesama kita pun mudah sekali berpikiran negatif dan selalu menaruh curiga terhadap orang lain. Jika kita selalu berpikiran negatif setiap hari, berhati-hatilah!
Darimanakah datangnya pikiran negatif? Iblis selalu menawarkan hal-hal negatif ketika manusia berada pada suatu kebutuhan. Contoh: ketika Tuhan Yesus lapar setelah berpuasa 40 hari 40 malam, Iblis menawarkan solusi untuk mengubah batu menjadi roti. Iblis juga menawarkan kebanggaan, kehebatan dan kemegahan yang merupakan impian dan keinginan setiap manusia (baca Matius 4:1-11), namun Tuhan Yesus dapat berkata 'tidak' terhadap semua tawaran Iblis. Pikiran negatif juga datang dari keinginan kita sendiri yang sewaktu-waktu muncul. "...tiap-tiap orang dicobai oleh keinginannya sendiri, karena ia diseret dan dipikat olehnya." (Yakobus 1:14). Apa yang kita pikirkan menentukan arah hidup kita dan membawa kita kepada kesukaran. Karena itu Rasul Paulus menasihatkan, "Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu." (Filipi 4:8).
Kita akan menang atas pikiran negatif jika kita memakai pedang roh yaitu firman Tuhan, dan senantiasa hidup dalam persekutuan dengan Tuhan setiap hari.
Baca: Matius 9:1-8
"Mengapa kamu memikirkan hal-hal yang jahat di dalam hatimu?" Matius 9:4
Semua orang pasti mengakui bahwa pikiran adalah medan peperangan yang sesungguhnya. Setiap detik, setiap menit, setiap jam, setiap hari, kita selalu diperhadapkan dengan pergumulan yang berat berkenaan dengan pilihan hidup yang tidak mudah: berpikiran positif atau berpikiran negatif. Berdasarkan pengalaman hidup sehari-hari orang lebih cenderung memikirkan hal-hal yang negatif daripada berpikiran positif.
Ketika melihat Tuhan Yesus melakukan mujizat menyembuhkan orang yang lumpuh, semestinya orang akan memuliakan nama Tuhan dan imannya semakin teguh, tetapi para ahli Taurat justru langsung berpikiran negatif terhadap Tuhan Yesus. "Ia menghujat Allah." (ayat 3). Bukankah kita juga seringkali berpikiran negatif terhadap Tuhan dan menuduh-Nya berlaku tidak adil dan jahat, ketika doa-doa kita belum beroleh jawaban, ketika sakit kita belum juga sembuh, ketika masalah kita belum juga ada jalan keluar, padahal kita sudah berdoa? Dalam hubungan dengan sesama kita pun mudah sekali berpikiran negatif dan selalu menaruh curiga terhadap orang lain. Jika kita selalu berpikiran negatif setiap hari, berhati-hatilah!
Darimanakah datangnya pikiran negatif? Iblis selalu menawarkan hal-hal negatif ketika manusia berada pada suatu kebutuhan. Contoh: ketika Tuhan Yesus lapar setelah berpuasa 40 hari 40 malam, Iblis menawarkan solusi untuk mengubah batu menjadi roti. Iblis juga menawarkan kebanggaan, kehebatan dan kemegahan yang merupakan impian dan keinginan setiap manusia (baca Matius 4:1-11), namun Tuhan Yesus dapat berkata 'tidak' terhadap semua tawaran Iblis. Pikiran negatif juga datang dari keinginan kita sendiri yang sewaktu-waktu muncul. "...tiap-tiap orang dicobai oleh keinginannya sendiri, karena ia diseret dan dipikat olehnya." (Yakobus 1:14). Apa yang kita pikirkan menentukan arah hidup kita dan membawa kita kepada kesukaran. Karena itu Rasul Paulus menasihatkan, "Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu." (Filipi 4:8).
Kita akan menang atas pikiran negatif jika kita memakai pedang roh yaitu firman Tuhan, dan senantiasa hidup dalam persekutuan dengan Tuhan setiap hari.
Thursday, March 31, 2016
MEMBAJAK TANAH HATI
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 31 Maret 2016
Baca: Amos 9:11-15
"'Sesungguhnya, waktu akan datang,' demikianlah firman TUHAN, 'bahwa pembajak akan tepat menyusul penuai dan pengirik buah anggur penabur benih; gunung-gunung akan meniriskan anggur baru dan segala bukit akan kebanjiran.'" Amos 9:13
Seorang hamba Tuhan atau pemberita Injil adalah sama seperti seorang petani yang sedang membajak tanah. Mengapa tanah harus dibajak lebih dahulu? Karena tidak semua tanah itu baik dan siap pakai, ada tanah keras, ada pula yang berbatu. Tujuan membajak adalah untuk menggemburkan tanah atau melembutkan tanah yang akan ditaburi benih.
Begitu pula tugas pemberita Injil. Sebelum menyampaikan firman atau menabur benih ia harus memersiapkan tanah hati pendengar melalui doa, memohon campur tangan Tuhan, karena hanya kuasa Roh Kudus yang sanggup menjamah, menggerakkan, membasahi, meluluhkan dan melembutkan setiap hati yang keras. "Sebab firman Allah hidup dan kuat dan lebih tajam dari pada pedang bermata dua manapun; ia menusuk amat dalam sampai memisahkan jiwa dan roh, sendi-sendi dan sumsum; ia sanggup membedakan pertimbangan dan pikiran hati kita." (Ibrani 4:12). Tindakan membajak ini harus dilakukan terus-menerus, tidak ada waktu untuk berhenti jika kita mengharapkan tuaian. "Pada musim dingin si pemalas tidak membajak; jikalau ia mencari pada musim menuai, maka tidak ada apa-apa." (Amsal 20:4). Dalam membajak 'tanah' hati seorang pekerja tidak boleh memiliki sikap mudah putus asa, sekalipun ada masalah ketika pekerja mendapati tanah yang dibajaknya adalah tanah yang keras. Sebagian dari mereka merasa lelah, bersungut-sungut dan kemudian berhenti membajak.
Belajarlah kepada Musa, orang yang diutus Tuhan untuk memimpin umat Israel yang tanah hatinya sangat keras, di mana Tuhan sendiri menyebut mereka sebagai bangsa yang tegar tengkuk (baca Keluaran 32:9). Namun Musa mengerjakan tugas yang dipercayakan Tuhan ini dengan penuh kesabaran dan hati yang lemah lembut. Jika tidak, Musa pasti akan gagal di tengah jalan. Membajak tanah hati juga harus fokus dan penuh konsentrasi dengan mata yang mengarah ke depan. Jangan sampai kita membajak dengan setengah hati, sebab "Setiap orang yang siap untuk membajak tetapi menoleh ke belakang, tidak layak untuk Kerajaan Allah." (Lukas 9:61-62).
Jadilah pekerja Tuhan yang terus bersemangat dan tidak mudah menyerah!
Baca: Amos 9:11-15
"'Sesungguhnya, waktu akan datang,' demikianlah firman TUHAN, 'bahwa pembajak akan tepat menyusul penuai dan pengirik buah anggur penabur benih; gunung-gunung akan meniriskan anggur baru dan segala bukit akan kebanjiran.'" Amos 9:13
Seorang hamba Tuhan atau pemberita Injil adalah sama seperti seorang petani yang sedang membajak tanah. Mengapa tanah harus dibajak lebih dahulu? Karena tidak semua tanah itu baik dan siap pakai, ada tanah keras, ada pula yang berbatu. Tujuan membajak adalah untuk menggemburkan tanah atau melembutkan tanah yang akan ditaburi benih.
Begitu pula tugas pemberita Injil. Sebelum menyampaikan firman atau menabur benih ia harus memersiapkan tanah hati pendengar melalui doa, memohon campur tangan Tuhan, karena hanya kuasa Roh Kudus yang sanggup menjamah, menggerakkan, membasahi, meluluhkan dan melembutkan setiap hati yang keras. "Sebab firman Allah hidup dan kuat dan lebih tajam dari pada pedang bermata dua manapun; ia menusuk amat dalam sampai memisahkan jiwa dan roh, sendi-sendi dan sumsum; ia sanggup membedakan pertimbangan dan pikiran hati kita." (Ibrani 4:12). Tindakan membajak ini harus dilakukan terus-menerus, tidak ada waktu untuk berhenti jika kita mengharapkan tuaian. "Pada musim dingin si pemalas tidak membajak; jikalau ia mencari pada musim menuai, maka tidak ada apa-apa." (Amsal 20:4). Dalam membajak 'tanah' hati seorang pekerja tidak boleh memiliki sikap mudah putus asa, sekalipun ada masalah ketika pekerja mendapati tanah yang dibajaknya adalah tanah yang keras. Sebagian dari mereka merasa lelah, bersungut-sungut dan kemudian berhenti membajak.
Belajarlah kepada Musa, orang yang diutus Tuhan untuk memimpin umat Israel yang tanah hatinya sangat keras, di mana Tuhan sendiri menyebut mereka sebagai bangsa yang tegar tengkuk (baca Keluaran 32:9). Namun Musa mengerjakan tugas yang dipercayakan Tuhan ini dengan penuh kesabaran dan hati yang lemah lembut. Jika tidak, Musa pasti akan gagal di tengah jalan. Membajak tanah hati juga harus fokus dan penuh konsentrasi dengan mata yang mengarah ke depan. Jangan sampai kita membajak dengan setengah hati, sebab "Setiap orang yang siap untuk membajak tetapi menoleh ke belakang, tidak layak untuk Kerajaan Allah." (Lukas 9:61-62).
Jadilah pekerja Tuhan yang terus bersemangat dan tidak mudah menyerah!
Wednesday, March 30, 2016
PELAYANAN BAGI SESAMA (2)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 30 Maret 2016
Baca: Amsal 22:7-16
"Orang yang baik hati akan diberkati, karena ia membagi rezekinya dengan si miskin." Amsal 22:9
Tidak sedikit orang Kristen yang berpikir 1000x ketika hendak mengasihi atau menolong orang lain, apalagi sampai harus berkorban. Kita mau mengasihi atau menolong tapi dengan banyak pertimbangan, menghitung keuntungan dan kerugian jika hendak memberi. Alkitab menyatakan bahwa jika kita mengasihi dan berbuat baik kepada orang yang mengasihi dan berbuat baik kepada kita, apakah jasa kita? Karena orang-orang di luar Tuhan atau orang berdosa juga berbuat demikian. (baca Lukas 6:32-33).
Seringkali kita menunda-nunda waktu bila hendak menolong atau berbuat baik kepada orang lain dengan berkata, "Untuk kebutuhan diri sendiri saja tidak cukup...bagaimana harus memberi orang lain? Nanti saja berbuat baik kalau keadaan ekonomiku sudah membaik." Alkitab menyatakan, "Siapa senantiasa memperhatikan angin tidak akan menabur; dan siapa senantiasa melihat awan tidak akan menuai." (Pengkhotbah 11:4). Seorang janda di Sarfat hanya memiliki segenggam tepung dan sedikit minyak, tetapi begitu ia taat melakukan apa yang diperintahkan Elia (memberi kepada orang lain terlebih dahulu) mujizat dinyatakan: "Tepung dalam tempayan itu tidak habis dan minyak dalam buli-buli itu tidak berkurang seperti firman TUHAN yang diucapkan-Nya dengan perantaraan Elia." (1 Raja-Raja 17:16).
Renungkanlah! Tuhan menyediakan berkat dan mujizat-Nya bagi orang-orang yang peka terhadap kebutuhan orang lain! Karena itu jangan pernah menahan kebaikan bagi sesama. Sebaliknya, "Hendaklah kebaikan hatimu diketahui semua orang." (Filipi 4:5a). Dengan kata lain hidup kita harus menjadi berkat bagi orang lain, itulah tujuan Tuhan memberkati kita. Semasa pelayanan-Nya di bumi Tuhan Yesus terus bergerak dalam pelayanan kepada semua komunitas manusia. Ia bukan hanya memerhatikan kebutuhan rohani, tetapi juga kebutuhan jasmani semua orang, sehingga di mana pun berada banyak orang mengikuti-Nya. Artinya Tuhan Yesus memelihara, baik tubuh maupun jiwa umat-Nya. Inilah panggilan Tuhan bagi gereja-Nya: memiliki hati yang penuh belas kasih, bermurah hati dan melakukan perbuatan baik, yang ditandai dengan tindakan memberi.
Melayani sesama dengan memberi adalah bukti kita telah meneladani Kristus!
Baca: Amsal 22:7-16
"Orang yang baik hati akan diberkati, karena ia membagi rezekinya dengan si miskin." Amsal 22:9
Tidak sedikit orang Kristen yang berpikir 1000x ketika hendak mengasihi atau menolong orang lain, apalagi sampai harus berkorban. Kita mau mengasihi atau menolong tapi dengan banyak pertimbangan, menghitung keuntungan dan kerugian jika hendak memberi. Alkitab menyatakan bahwa jika kita mengasihi dan berbuat baik kepada orang yang mengasihi dan berbuat baik kepada kita, apakah jasa kita? Karena orang-orang di luar Tuhan atau orang berdosa juga berbuat demikian. (baca Lukas 6:32-33).
Seringkali kita menunda-nunda waktu bila hendak menolong atau berbuat baik kepada orang lain dengan berkata, "Untuk kebutuhan diri sendiri saja tidak cukup...bagaimana harus memberi orang lain? Nanti saja berbuat baik kalau keadaan ekonomiku sudah membaik." Alkitab menyatakan, "Siapa senantiasa memperhatikan angin tidak akan menabur; dan siapa senantiasa melihat awan tidak akan menuai." (Pengkhotbah 11:4). Seorang janda di Sarfat hanya memiliki segenggam tepung dan sedikit minyak, tetapi begitu ia taat melakukan apa yang diperintahkan Elia (memberi kepada orang lain terlebih dahulu) mujizat dinyatakan: "Tepung dalam tempayan itu tidak habis dan minyak dalam buli-buli itu tidak berkurang seperti firman TUHAN yang diucapkan-Nya dengan perantaraan Elia." (1 Raja-Raja 17:16).
Renungkanlah! Tuhan menyediakan berkat dan mujizat-Nya bagi orang-orang yang peka terhadap kebutuhan orang lain! Karena itu jangan pernah menahan kebaikan bagi sesama. Sebaliknya, "Hendaklah kebaikan hatimu diketahui semua orang." (Filipi 4:5a). Dengan kata lain hidup kita harus menjadi berkat bagi orang lain, itulah tujuan Tuhan memberkati kita. Semasa pelayanan-Nya di bumi Tuhan Yesus terus bergerak dalam pelayanan kepada semua komunitas manusia. Ia bukan hanya memerhatikan kebutuhan rohani, tetapi juga kebutuhan jasmani semua orang, sehingga di mana pun berada banyak orang mengikuti-Nya. Artinya Tuhan Yesus memelihara, baik tubuh maupun jiwa umat-Nya. Inilah panggilan Tuhan bagi gereja-Nya: memiliki hati yang penuh belas kasih, bermurah hati dan melakukan perbuatan baik, yang ditandai dengan tindakan memberi.
Melayani sesama dengan memberi adalah bukti kita telah meneladani Kristus!
Tuesday, March 29, 2016
PELAYANAN BAGI SESAMA (1)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 29 Maret 2016
Baca: Matius 25:31-46
"Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku." Matius 25:35-36
Menjadi serupa dengan Kristus adalah tujuan hidup orang percaya. Untuk mewujudkan itu gereja harus memerlengkapi diri dengan pelayanan penginjilan, pengajaran, penggembalaan, persekutuan, peribadatan dan penatalayanan. Ada jenis pelayanan lain yang tidak boleh diabaikan dan harus digalakkan oleh gereja yaitu pelayanan diakonia. Pelayanan diakonia adalah pelayanan bagi sesama. Dalam pelayanan ini gereja benar-benar menjalankan fungsinya sebagai saluran berkat bagi dunia, menjadi jawaban untuk setiap pergumulan hidup.
Pelayanan diakonia disebut pula pelayanan berbagi atau pelayanan pekerjaan baik yang Tuhan Yesus ajarkan dan persiapkan jauh sebelumnya, supaya setiap orang percaya turut terlibat di dalamnya. "Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya." (Efesus 2:10). Melayani sesama adalah pelayanan yang tidak boleh ditunda-tunda, harus dikerjakan sekarang, terutama di masa sulit seperti sekarang ini di mana dunia membutuhkan action, bukan sekedar kata-kata yang berbalutkan kasih.
Ketika banyak orang memilih hidup bagi diri sendiri gereja-Nya justru dituntut untuk menjadi pribadi yang berbeda, pribadi penuh belas kasihan seperti orang Samaria. Ketika melihat orang lain terluka dan menderita seketika itu pula hatinya tergerak oleh belas kasihan. "Ia pergi kepadanya lalu membalut luka-lukanya, sesudah ia menyiraminya dengan minyak dan anggur. Kemudian ia menaikkan orang itu ke atas keledai tunggangannya sendiri lalu membawanya ke tempat penginapan dan merawatnya. Keesokan harinya ia menyerahkan dua dinar kepada pemilik penginapan itu, katanya: Rawatlah dia dan jika kaubelanjakan lebih dari ini, aku akan menggantinya, waktu aku kembali." (Lukas 10:34-35). Sungguh mulia hati orang Samaria ini, padahal orang yang ditolongnya itu adalah orang asing yang tidak dikenalnya.
Adakah kita memiliki hati yang terbeban melayani orang lain dengan kasih?
Baca: Matius 25:31-46
"Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku." Matius 25:35-36
Menjadi serupa dengan Kristus adalah tujuan hidup orang percaya. Untuk mewujudkan itu gereja harus memerlengkapi diri dengan pelayanan penginjilan, pengajaran, penggembalaan, persekutuan, peribadatan dan penatalayanan. Ada jenis pelayanan lain yang tidak boleh diabaikan dan harus digalakkan oleh gereja yaitu pelayanan diakonia. Pelayanan diakonia adalah pelayanan bagi sesama. Dalam pelayanan ini gereja benar-benar menjalankan fungsinya sebagai saluran berkat bagi dunia, menjadi jawaban untuk setiap pergumulan hidup.
Pelayanan diakonia disebut pula pelayanan berbagi atau pelayanan pekerjaan baik yang Tuhan Yesus ajarkan dan persiapkan jauh sebelumnya, supaya setiap orang percaya turut terlibat di dalamnya. "Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya." (Efesus 2:10). Melayani sesama adalah pelayanan yang tidak boleh ditunda-tunda, harus dikerjakan sekarang, terutama di masa sulit seperti sekarang ini di mana dunia membutuhkan action, bukan sekedar kata-kata yang berbalutkan kasih.
Ketika banyak orang memilih hidup bagi diri sendiri gereja-Nya justru dituntut untuk menjadi pribadi yang berbeda, pribadi penuh belas kasihan seperti orang Samaria. Ketika melihat orang lain terluka dan menderita seketika itu pula hatinya tergerak oleh belas kasihan. "Ia pergi kepadanya lalu membalut luka-lukanya, sesudah ia menyiraminya dengan minyak dan anggur. Kemudian ia menaikkan orang itu ke atas keledai tunggangannya sendiri lalu membawanya ke tempat penginapan dan merawatnya. Keesokan harinya ia menyerahkan dua dinar kepada pemilik penginapan itu, katanya: Rawatlah dia dan jika kaubelanjakan lebih dari ini, aku akan menggantinya, waktu aku kembali." (Lukas 10:34-35). Sungguh mulia hati orang Samaria ini, padahal orang yang ditolongnya itu adalah orang asing yang tidak dikenalnya.
Adakah kita memiliki hati yang terbeban melayani orang lain dengan kasih?
Monday, March 28, 2016
TOMAS: Iman Yang Ragu
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 28 Maret 2016
Baca: Yohanes 20:24-29
"Karena engkau telah melihat Aku, maka engkau percaya. Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya." Yohanes 20:29
Pasca kematian Yesus di kayu salib iman murid-murid Yesus menjadi sangat terguncang. Salah satunya adalah Tomas, yang memilih untuk meninggalkan persekutuan yang biasa diadakan di suatu tempat bersama dengan murid-murid lainnya. "Tetapi Tomas, seorang dari kedua belas murid itu, yang disebut Didimus, tidak ada bersama-sama mereka, ketika Yesus datang ke situ." (ayat 24).
Tomas tidak lagi hadir karena terguncang imannya dan frustasi, karena beranggapan bahwa kematian Yesus di kayu salib adalah akhir segalanya. Bahkan ketika murid-murid lainnya menceritakan perihal kebangkitan Yesus kepadanya ia bersikap skeptis dan sama sekali tidak percaya. Tomas pun berkata, "Sebelum aku melihat bekas paku pada tangan-Nya dan sebelum aku mencucukkan jariku ke dalam bekas paku itu dan mencucukkan tanganku ke dalam lambung-Nya, sekali-kali aku tidak akan percaya." (ayat 25b). Tomas butuh bukti konkret untuk percaya. Begitu mudahnya iman Tomas memudar, padahal ketika masih bersama-sama Yesus ia mendengar sendiri apa yang dikatakan Yesus bahwa Ia akan mati disalibkan dan bangkit dari kubur pada hari yang ketiga.
Apa yang menyebabkan Tomas ragu? Karena konsep pemahaman Tomas tentang Mesias masih terkontaminasi atau terpengaruh dengan ajaran Yudaisme yang menyatakan bahwa Mesias akan datang dalam semarak dan penuh kemegahan, bukan kesederhanaan. Sementara Tuhan Yesus datang sebagai hamba yang sederhana dan malah harus menderita, dan mati secara memalukan di kayu salib. Ternyata 3,5 tahun diajar dan hidup bersama dengan Yesus tidak cukup bagi Tomas mengenal pribadi-Nya secara benar. Namun begitu Yesus datang kepada Tomas secara pribadi dan menampakkan diri kepadanya, serta berkata, "Taruhlah jarimu di sini dan lihatlah tangan-Ku, ulurkanlah tanganmu dan cucukkan ke dalam lambung-Ku dan jangan engkau tidak percaya lagi, melainkan percayalah." (ayat 27), seketika itu juga barulah Tomas percaya dan berseru, "Ya Tuhanku dan Allahku!" (ayat 28).
Kebangkitan Yesus bukan sekedar teori, tapi fakta, karena itu percayalah kepada-Nya!
Baca: Yohanes 20:24-29
"Karena engkau telah melihat Aku, maka engkau percaya. Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya." Yohanes 20:29
Pasca kematian Yesus di kayu salib iman murid-murid Yesus menjadi sangat terguncang. Salah satunya adalah Tomas, yang memilih untuk meninggalkan persekutuan yang biasa diadakan di suatu tempat bersama dengan murid-murid lainnya. "Tetapi Tomas, seorang dari kedua belas murid itu, yang disebut Didimus, tidak ada bersama-sama mereka, ketika Yesus datang ke situ." (ayat 24).
Tomas tidak lagi hadir karena terguncang imannya dan frustasi, karena beranggapan bahwa kematian Yesus di kayu salib adalah akhir segalanya. Bahkan ketika murid-murid lainnya menceritakan perihal kebangkitan Yesus kepadanya ia bersikap skeptis dan sama sekali tidak percaya. Tomas pun berkata, "Sebelum aku melihat bekas paku pada tangan-Nya dan sebelum aku mencucukkan jariku ke dalam bekas paku itu dan mencucukkan tanganku ke dalam lambung-Nya, sekali-kali aku tidak akan percaya." (ayat 25b). Tomas butuh bukti konkret untuk percaya. Begitu mudahnya iman Tomas memudar, padahal ketika masih bersama-sama Yesus ia mendengar sendiri apa yang dikatakan Yesus bahwa Ia akan mati disalibkan dan bangkit dari kubur pada hari yang ketiga.
Apa yang menyebabkan Tomas ragu? Karena konsep pemahaman Tomas tentang Mesias masih terkontaminasi atau terpengaruh dengan ajaran Yudaisme yang menyatakan bahwa Mesias akan datang dalam semarak dan penuh kemegahan, bukan kesederhanaan. Sementara Tuhan Yesus datang sebagai hamba yang sederhana dan malah harus menderita, dan mati secara memalukan di kayu salib. Ternyata 3,5 tahun diajar dan hidup bersama dengan Yesus tidak cukup bagi Tomas mengenal pribadi-Nya secara benar. Namun begitu Yesus datang kepada Tomas secara pribadi dan menampakkan diri kepadanya, serta berkata, "Taruhlah jarimu di sini dan lihatlah tangan-Ku, ulurkanlah tanganmu dan cucukkan ke dalam lambung-Ku dan jangan engkau tidak percaya lagi, melainkan percayalah." (ayat 27), seketika itu juga barulah Tomas percaya dan berseru, "Ya Tuhanku dan Allahku!" (ayat 28).
Kebangkitan Yesus bukan sekedar teori, tapi fakta, karena itu percayalah kepada-Nya!
Sunday, March 27, 2016
PASKAH: Yesus Telah Bangkit
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 27 Maret 2016
Baca: Matius 28:1-10
"Ia tidak ada di sini, sebab Ia telah bangkit, sama seperti yang telah dikatakan-Nya. Mari, lihatlah tempat Ia berbaring." Matius 28:6
Adalah hal yang telah kita pahami bahwa pada kuburan atau makam ada mayat di dalamnya. Namun adalah hal yang luar biasa bila mayat yang dibaringkan di dalam kuburan sudah tidak ada pada hari yang ketiga. Kubur kosong adalah bukti keajaiban Paskah! Kebangkitan Yesus dari kubur menegaskan bahwa Ia hidup untuk selama-lamanya. Jadi Yesus bukan mati suri, hidup sebentar dan selanjutnya mati lagi untuk selamanya. Ini merupakan penggenapan apa yang dikatakan Yesus sendiri bahwa "...Anak Manusia harus diserahkan ke tangan orang-orang berdosa dan disalibkan, dan akan bangkit pada hari yang ketiga." (Lukas 24:7). Janji-Nya adalah ya dan amin!
Apakah dampak kebangkitan Yesus? Setelah melihat bahwa kubur itu kosong, karena Yesus telah bangkit, "Mereka segera pergi dari kubur itu, dengan takut dan dengan sukacita yang besar dan berlari cepat-cepat untuk memberitahukannya kepada murid-murid Yesus." (Matius 28:8). Kata takut bukan berarti takut atau ngeri seperti orang melihat hantu, melainkan sikap hormat atau respek. Rasa takut akan Tuhan mendorong seseorang untuk berusaha hidup benar karena ada perasaan gentar untuk berbuat dosa, dan semakin gemar bersekutu dengan Tuhan serta melakukan firman-Nya. Hari Paskah adalah hari yang penuh sukacita karena dosa-dosa kita telah diampuni dan pengharapan kita akan Dia tidak sia-sia. Kebangkitan Kristus di hari ke-3 juga bukti nyata bahwa Ia bukan hanya Sang Juruselamat dan Penebus dosa, tetapi Ia juga adalah Tuhan yang tidak dapat dikalahkan oleh maut atau kematian. "Karena kita tahu, bahwa Kristus, sesudah Ia bangkit dari antara orang mati, tidak mati lagi: maut tidak berkuasa lagi atas Dia. Sebab kematian-Nya adalah kematian terhadap dosa, satu kali dan untuk selama-lamanya, dan kehidupan-Nya adalah kehidupan bagi Allah." (Roma 6:9-10).
Kini di atas pundak setiap orang percaya ada satu tanggung jawab yaitu untuk menjadi saksi-saksi Kristus di tengah-tengah dunia ini, membawa kabar keselamatan dan memberitakan bahwa Yesus adalah Tuhan yang hidup.
Rasul Paulus berkata, "Tetapi andaikata Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah pemberitaan kami dan sia-sialah juga kepercayaan kamu." 1 Korintus 15:14
Baca: Matius 28:1-10
"Ia tidak ada di sini, sebab Ia telah bangkit, sama seperti yang telah dikatakan-Nya. Mari, lihatlah tempat Ia berbaring." Matius 28:6
Adalah hal yang telah kita pahami bahwa pada kuburan atau makam ada mayat di dalamnya. Namun adalah hal yang luar biasa bila mayat yang dibaringkan di dalam kuburan sudah tidak ada pada hari yang ketiga. Kubur kosong adalah bukti keajaiban Paskah! Kebangkitan Yesus dari kubur menegaskan bahwa Ia hidup untuk selama-lamanya. Jadi Yesus bukan mati suri, hidup sebentar dan selanjutnya mati lagi untuk selamanya. Ini merupakan penggenapan apa yang dikatakan Yesus sendiri bahwa "...Anak Manusia harus diserahkan ke tangan orang-orang berdosa dan disalibkan, dan akan bangkit pada hari yang ketiga." (Lukas 24:7). Janji-Nya adalah ya dan amin!
Apakah dampak kebangkitan Yesus? Setelah melihat bahwa kubur itu kosong, karena Yesus telah bangkit, "Mereka segera pergi dari kubur itu, dengan takut dan dengan sukacita yang besar dan berlari cepat-cepat untuk memberitahukannya kepada murid-murid Yesus." (Matius 28:8). Kata takut bukan berarti takut atau ngeri seperti orang melihat hantu, melainkan sikap hormat atau respek. Rasa takut akan Tuhan mendorong seseorang untuk berusaha hidup benar karena ada perasaan gentar untuk berbuat dosa, dan semakin gemar bersekutu dengan Tuhan serta melakukan firman-Nya. Hari Paskah adalah hari yang penuh sukacita karena dosa-dosa kita telah diampuni dan pengharapan kita akan Dia tidak sia-sia. Kebangkitan Kristus di hari ke-3 juga bukti nyata bahwa Ia bukan hanya Sang Juruselamat dan Penebus dosa, tetapi Ia juga adalah Tuhan yang tidak dapat dikalahkan oleh maut atau kematian. "Karena kita tahu, bahwa Kristus, sesudah Ia bangkit dari antara orang mati, tidak mati lagi: maut tidak berkuasa lagi atas Dia. Sebab kematian-Nya adalah kematian terhadap dosa, satu kali dan untuk selama-lamanya, dan kehidupan-Nya adalah kehidupan bagi Allah." (Roma 6:9-10).
Kini di atas pundak setiap orang percaya ada satu tanggung jawab yaitu untuk menjadi saksi-saksi Kristus di tengah-tengah dunia ini, membawa kabar keselamatan dan memberitakan bahwa Yesus adalah Tuhan yang hidup.
Rasul Paulus berkata, "Tetapi andaikata Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah pemberitaan kami dan sia-sialah juga kepercayaan kamu." 1 Korintus 15:14
Saturday, March 26, 2016
MENGERJAKAN MISI PENYELAMATAN (2)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 26 Maret 2016
Baca: Yohanes 19:16b-27
"Demikianlah hendaknya supaya genaplah yang ada tertulis dalam Kitab Suci: 'Mereka membagi-bagi pakaian-Ku di antara mereka dan mereka membuang undi atas jubah-Ku.' Hal itu telah dilakukan prajurit-prajurit itu." Yohanes 19:24b
Penderitaan Yesus di kayu salib merupakan cara yang dipilih Bapa untuk membawa keselamatan bagi umat manusia yang berdosa. "Tetapi Dia, yang untuk waktu yang singkat dibuat sedikit lebih rendah dari pada malaikat-malaikat, yaitu Yesus, kita lihat, yang oleh karena penderitaan maut, dimahkotai dengan kemuliaan dan hormat, supaya oleh kasih karunia Allah Ia mengalami maut bagi semua manusia." (Ibrani 2:9). Jadi, kata kunci keselamatan kekal adalah penebusan melalui penderitaan.
Ketika terpaku dan tergantung di kayu salib sebelum mengembuskan nafas terakhir Yesus tetap menunjukkan hati-Nya yang begitu mulia, di mana Ia berdoa, "Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat." (Lukas 23:34). Ini bermakna bahwa kematian-Nya di kayu salib adalah sebagai jalan pengampunan terhadap dosa. Inilah yang menjadi tujuan Ia datang ke dunia yaitu membawa pengampunan bagi orang yang berdosa. "Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa." (Matius 9:13). Melalui kematian-Nya di Golgota, yang disebut pula Kalvari, karya penebusan dosa tergenapi. "...bahwa Kristus telah mati karena dosa-dosa kita, sesuai dengan Kitab Suci," (1 Korintus 15:3). Bagi kebanyakan orang kematian selalu identik dengan air mata dan kesedihan yang mendalam. Namun kematian Kristus bagi orang percaya adalah sebuah peristiwa besar, sebab kematian-Nya justru adalah kehidupan bagi orang percaya. Allah Bapa tahu batas kekuatan kita, di mata kita pasti tidak sanggup membebaskan diri dari segala belenggu dosa tanpa adanya penumpahan darah Putera-Nya.
Dengan kata lain, tanpa kematian Kristus tidak ada jalan keselamatan bagi manusia. Jadi kematian Kristus adalah bagian dari rencana Bapa menggenapi janji-Nya; dan pekerjaan penebusan dosa hanya dilakukan satu kali saja karena nilai pengorbanan penebusan Yesus sudah sempurna (baca Ibrani 10); oleh-Nya kita diselamatkan.
Dasar penebusan manusia berdosa adalah melalui kematian Yesus Kristus, yang disalibkan dan darah-Nya yang tercurah di atas Golgota!
Baca: Yohanes 19:16b-27
"Demikianlah hendaknya supaya genaplah yang ada tertulis dalam Kitab Suci: 'Mereka membagi-bagi pakaian-Ku di antara mereka dan mereka membuang undi atas jubah-Ku.' Hal itu telah dilakukan prajurit-prajurit itu." Yohanes 19:24b
Penderitaan Yesus di kayu salib merupakan cara yang dipilih Bapa untuk membawa keselamatan bagi umat manusia yang berdosa. "Tetapi Dia, yang untuk waktu yang singkat dibuat sedikit lebih rendah dari pada malaikat-malaikat, yaitu Yesus, kita lihat, yang oleh karena penderitaan maut, dimahkotai dengan kemuliaan dan hormat, supaya oleh kasih karunia Allah Ia mengalami maut bagi semua manusia." (Ibrani 2:9). Jadi, kata kunci keselamatan kekal adalah penebusan melalui penderitaan.
Ketika terpaku dan tergantung di kayu salib sebelum mengembuskan nafas terakhir Yesus tetap menunjukkan hati-Nya yang begitu mulia, di mana Ia berdoa, "Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat." (Lukas 23:34). Ini bermakna bahwa kematian-Nya di kayu salib adalah sebagai jalan pengampunan terhadap dosa. Inilah yang menjadi tujuan Ia datang ke dunia yaitu membawa pengampunan bagi orang yang berdosa. "Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa." (Matius 9:13). Melalui kematian-Nya di Golgota, yang disebut pula Kalvari, karya penebusan dosa tergenapi. "...bahwa Kristus telah mati karena dosa-dosa kita, sesuai dengan Kitab Suci," (1 Korintus 15:3). Bagi kebanyakan orang kematian selalu identik dengan air mata dan kesedihan yang mendalam. Namun kematian Kristus bagi orang percaya adalah sebuah peristiwa besar, sebab kematian-Nya justru adalah kehidupan bagi orang percaya. Allah Bapa tahu batas kekuatan kita, di mata kita pasti tidak sanggup membebaskan diri dari segala belenggu dosa tanpa adanya penumpahan darah Putera-Nya.
Dengan kata lain, tanpa kematian Kristus tidak ada jalan keselamatan bagi manusia. Jadi kematian Kristus adalah bagian dari rencana Bapa menggenapi janji-Nya; dan pekerjaan penebusan dosa hanya dilakukan satu kali saja karena nilai pengorbanan penebusan Yesus sudah sempurna (baca Ibrani 10); oleh-Nya kita diselamatkan.
Dasar penebusan manusia berdosa adalah melalui kematian Yesus Kristus, yang disalibkan dan darah-Nya yang tercurah di atas Golgota!
Friday, March 25, 2016
MENGERJAKAN MISI PENYELAMATAN (1)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 25 Maret 2016
Baca: 2 Korintus 5:11-21
"Dia yang tidak mengenal dosa telah dibuat-Nya menjadi dosa karena kita, supaya dalam Dia kita dibenarkan oleh Allah." 2 Korintus 5:21
Bagi semua orang salib adalah sebuah penghinaan dan penderitaan yang sangat menakutkan, tetapi hal itu tidak membuat Yesus mundur dan menyerah di tengah jalan. Kesadaran akan misi penyelamatan dan kehendak Bapa inilah yang membuat Yesus sepenuhnya taat dan berserah penuh kepada otoritas Bapa-Nya, walaupun secara manusiawi sulit rasanya menerima dan menanggungnya. Ungkapan "Lihat, saatnya sudah tiba, bahwa Anak Manusia diserahkan ke tangan orang-orang berdosa." (Matius 26:45), menunjukkan kesiapan mental dan kerelaan Yesus untuk menghadapi kenyataan pahit yang harus dijalani sebagai tanggung jawab yang harus dipikul-Nya, meskipun hal itu membuat Dia sangat menderita.
Sebelum disalibkan Yesus diadili secara maraton sebanyak enam kali: tiga kali diadili oleh pemuka agama Yahudi dan tiga kali diadili oleh pemuka Romawi. Pengadilan terhadap Yesus keseluruhannya hanya berupa fitnah dan rekayasa dalam usaha untuk mencari-cari kesalahan, meski tidak ada satu pun kesalahan ditemukan dalam diri Yesus. Setelah melewati pengadilan yang panjang dan melelahkan Yesus dipaksa memikul salib menuju bukit Golgota, yang lokasinya berada jauh di luar kota Yerusalem berupa perbukitan yang salah satu bukitnya berbentuk tengkorak. Karena itu Golgota disebut pula tempat tengkorak (baca Matius 27:32-33). Perjalanan Yesus memikul salib ini sering disebut sebagai via dolorosa. Dalam kondisi yang sangat letih dan lemah Yesus rela menapaki jalan via dolorosa hingga akhirnya Ia tidak kuasa lagi memikul salib-Nya, lalu Simon (orang Kirene), yang saat itu berada di sekitar jalan via dolorosa dipaksa memikul salib yesus sampai ke Golgota.
Sesampai di Golgota Yesus disuguhi anggur yang dicampur empedu. Hal ini lazim dilakukan kepada orang yang hendak disalibkan dengan tujuan mengurangi rasa sakit di sekujur tubuh, namun "Setelah Ia mengecapnya, Ia tidak mau meminumnya." (Matius 27:34). Penolakan Yesus untuk meminum anggur yang bercampur empedu adalah sebagai penegasan kesediaan-Nya menanggung penderitaan, seberat dan sesakit apa pun, demi mengerjakan misi yang diamanatkan Bapa kepada-Nya. (Bersambung)
Baca: 2 Korintus 5:11-21
"Dia yang tidak mengenal dosa telah dibuat-Nya menjadi dosa karena kita, supaya dalam Dia kita dibenarkan oleh Allah." 2 Korintus 5:21
Bagi semua orang salib adalah sebuah penghinaan dan penderitaan yang sangat menakutkan, tetapi hal itu tidak membuat Yesus mundur dan menyerah di tengah jalan. Kesadaran akan misi penyelamatan dan kehendak Bapa inilah yang membuat Yesus sepenuhnya taat dan berserah penuh kepada otoritas Bapa-Nya, walaupun secara manusiawi sulit rasanya menerima dan menanggungnya. Ungkapan "Lihat, saatnya sudah tiba, bahwa Anak Manusia diserahkan ke tangan orang-orang berdosa." (Matius 26:45), menunjukkan kesiapan mental dan kerelaan Yesus untuk menghadapi kenyataan pahit yang harus dijalani sebagai tanggung jawab yang harus dipikul-Nya, meskipun hal itu membuat Dia sangat menderita.
Sebelum disalibkan Yesus diadili secara maraton sebanyak enam kali: tiga kali diadili oleh pemuka agama Yahudi dan tiga kali diadili oleh pemuka Romawi. Pengadilan terhadap Yesus keseluruhannya hanya berupa fitnah dan rekayasa dalam usaha untuk mencari-cari kesalahan, meski tidak ada satu pun kesalahan ditemukan dalam diri Yesus. Setelah melewati pengadilan yang panjang dan melelahkan Yesus dipaksa memikul salib menuju bukit Golgota, yang lokasinya berada jauh di luar kota Yerusalem berupa perbukitan yang salah satu bukitnya berbentuk tengkorak. Karena itu Golgota disebut pula tempat tengkorak (baca Matius 27:32-33). Perjalanan Yesus memikul salib ini sering disebut sebagai via dolorosa. Dalam kondisi yang sangat letih dan lemah Yesus rela menapaki jalan via dolorosa hingga akhirnya Ia tidak kuasa lagi memikul salib-Nya, lalu Simon (orang Kirene), yang saat itu berada di sekitar jalan via dolorosa dipaksa memikul salib yesus sampai ke Golgota.
Sesampai di Golgota Yesus disuguhi anggur yang dicampur empedu. Hal ini lazim dilakukan kepada orang yang hendak disalibkan dengan tujuan mengurangi rasa sakit di sekujur tubuh, namun "Setelah Ia mengecapnya, Ia tidak mau meminumnya." (Matius 27:34). Penolakan Yesus untuk meminum anggur yang bercampur empedu adalah sebagai penegasan kesediaan-Nya menanggung penderitaan, seberat dan sesakit apa pun, demi mengerjakan misi yang diamanatkan Bapa kepada-Nya. (Bersambung)
Thursday, March 24, 2016
PERGUMULAN YANG BERAT (2)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 24 Maret 2016
Baca: Markus 14:32-42
"Ia maju sedikit, merebahkan diri ke tanah dan berdoa supaya, sekiranya mungkin, saat itu lalu dari pada-Nya." Markus 14:35
Ketika menghadapi pergumulan yang berat, sebagai manusia Yesus membutuhkan teman untuk berbagi beban, karena itu Ia mengajak Petrus dan kedua anak Zebedeus (Yakobus dan Yohanes) untuk menemani-Nya berdoa di taman Getsemani.
Yesus hendak menekankan bahwa dalam kodratnya sebagai manusia seharusnya kita saling menguatkan, menopang dan memerhatikan satu-sama lain. Seperti nasihat rasul Paulus kepada jemaat di Galatia, "Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus. Sebab kalau seorang menyangka, bahwa ia berarti, padahal ia sama sekali tidak berarti, ia menipu dirinya sendiri. Baiklah tiap-tiap orang menguji pekerjaannya sendiri; maka ia boleh bermegah melihat keadaannya sendiri dan bukan melihat keadaan orang lain. Sebab tiap-tiap orang akan memikul tanggungannya sendiri." (Galatia 6:2-5). Tidaklah salah berbagi beban sebab kita tidak dapat hidup sendiri, kita butuh orang lain untuk memotivasi dan membangkitkan semangat agar tidak lemah, karena "Berdua lebih baik dari pada seorang diri, karena mereka menerima upah yang baik dalam jerih payah mereka. Karena kalau mereka jatuh, yang seorang mengangkat temannya, tetapi wai orang yang jatuh, yang tidak mempunyai orang lain untuk mengangkatnya!" (Pengkhotbah 4:9-10). Ketika menghadapi pergumulan yang berat Yesus tidak lari dari kenyataan, tapi Ia menerimanya sebagai bagian dari proses, karena itu Ia belajar taat kepada kehendak Bapa daripada kehendak-Nya sendiri. "Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki." (Matius 26:39).
Terkadang ketika menghadapi pergumulan hidup yang berat kita cenderung lari dari masalah dan berusaha mencari jalan keluar sendiri, lalu kita marah, menyalahkan keadaan dan orang lain, bahkan menyalahkan Tuhan. Yesus memberikan satu teladan, yaitu ketika dalam pergumulan yang berat Ia segera bersimpuh untuk berdoa dan belajar untuk mengerti apa yang menjadi kehendak Bapa-Nya. Itulah yang membuat Yesus tetap kuat menanggung-Nya dan dengan penuh kerelaan hati menjalani prosesnya.
Doa adalah kunci kekuatan dalam menghadapi pergumulan hidup yang berat!
Baca: Markus 14:32-42
"Ia maju sedikit, merebahkan diri ke tanah dan berdoa supaya, sekiranya mungkin, saat itu lalu dari pada-Nya." Markus 14:35
Ketika menghadapi pergumulan yang berat, sebagai manusia Yesus membutuhkan teman untuk berbagi beban, karena itu Ia mengajak Petrus dan kedua anak Zebedeus (Yakobus dan Yohanes) untuk menemani-Nya berdoa di taman Getsemani.
Yesus hendak menekankan bahwa dalam kodratnya sebagai manusia seharusnya kita saling menguatkan, menopang dan memerhatikan satu-sama lain. Seperti nasihat rasul Paulus kepada jemaat di Galatia, "Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus. Sebab kalau seorang menyangka, bahwa ia berarti, padahal ia sama sekali tidak berarti, ia menipu dirinya sendiri. Baiklah tiap-tiap orang menguji pekerjaannya sendiri; maka ia boleh bermegah melihat keadaannya sendiri dan bukan melihat keadaan orang lain. Sebab tiap-tiap orang akan memikul tanggungannya sendiri." (Galatia 6:2-5). Tidaklah salah berbagi beban sebab kita tidak dapat hidup sendiri, kita butuh orang lain untuk memotivasi dan membangkitkan semangat agar tidak lemah, karena "Berdua lebih baik dari pada seorang diri, karena mereka menerima upah yang baik dalam jerih payah mereka. Karena kalau mereka jatuh, yang seorang mengangkat temannya, tetapi wai orang yang jatuh, yang tidak mempunyai orang lain untuk mengangkatnya!" (Pengkhotbah 4:9-10). Ketika menghadapi pergumulan yang berat Yesus tidak lari dari kenyataan, tapi Ia menerimanya sebagai bagian dari proses, karena itu Ia belajar taat kepada kehendak Bapa daripada kehendak-Nya sendiri. "Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki." (Matius 26:39).
Terkadang ketika menghadapi pergumulan hidup yang berat kita cenderung lari dari masalah dan berusaha mencari jalan keluar sendiri, lalu kita marah, menyalahkan keadaan dan orang lain, bahkan menyalahkan Tuhan. Yesus memberikan satu teladan, yaitu ketika dalam pergumulan yang berat Ia segera bersimpuh untuk berdoa dan belajar untuk mengerti apa yang menjadi kehendak Bapa-Nya. Itulah yang membuat Yesus tetap kuat menanggung-Nya dan dengan penuh kerelaan hati menjalani prosesnya.
Doa adalah kunci kekuatan dalam menghadapi pergumulan hidup yang berat!
Wednesday, March 23, 2016
PERGUMULAN YANG BERAT (1)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 23 Maret 2016
Baca: Matius 26:36-46
"Lalu Ia berkata kepada murid-murid-Nya: 'Duduklah di sini, sementara Aku pergi ke sana untuk berdoa.'" Matius 26:36b
Mendengar kata taman Getsemani kita teringat kisah Yesus yang berdoa dengan mengajak beberapa murid menjelang Ia akan ditangkap dan disalibkan. Di taman ini Tuhan Yesus menghabiskan malam terakhirnya sebelum Yudas Iskariot, murid yang mengkhianati-Nya, datang beserta segerombolan orang yang membawa pedang dan pentungan untuk menangkap diri-Nya.
Getsemani sebenarnya adalah alat memeras buah zaitun. Selaras dengan arti namanya, yaitu alat memeras atau pengirik, getsemani seringkali dijadikan sebagai lambang pencobaan yang sangat menekan, masalah hidup yang berat. Ketika menghadapi masalah atau pencobaan yang menekan biasanya orang-orang Israel pergi ke taman itu untuk berdoa. Lokasi taman ini tepat berada di kaki bukit Zaitun. Karena berada di daerah perbukitan, selain banyak sekali pohon zaitun yang tumbuh subur dan udaranya yang sejuk, suasana di taman Getsemani sangat tenang, sehingga cocok sekali bagi orang untuk berdoa di sana. Bukankah kita memerlukan ketenangan agar dapat berdoa? "...jadilah tenang, supaya kamu dapat berdoa." (1 Petrus 4:7b). Selain itu taman tersebut dipenuhi pohon zaitun yang getahnya mengeluarkan aroma wangi yang khas, sehingga ketika angin berhembus maka keharuman akan memenuhi kawasan tersebut. Itulah sebabnya sebagian besar orang menyakralkan taman getsemani ini, apalagi di tempat ini Tuhan Yesus menghabiskan malam terakhir-Nya menjelang hari-hari penyaliban.
Pelajaran apa yang didapat melalui kisah taman Getsemani ini? Ketika menghadapi pergumulan hidup yang berat, dalam keadaannya sebagai manusia, Yesus tidak menutup-nutupi kegundahan hatinya. Ia dengan jujur mengakui kelemahan jasmani-Nya kala menanggung pergumulan yang berat. "Maka mulailah Ia merasa sedih dan gentar, lalu kata-Nya kepada mereka: 'Hati-Ku sangat sedih, seperti mau mati rasanya.'" (Matius 26:37-38). Meski secara jasmani Yesus tampak lemah namun Ia kuat secara rohani. Kita seringkali bersikap sebaliknya, ketika menghadapi pergumulan berat dengan segala kepura-puraan kita menutupi kenyataan yang ada, kita tidak mau disebut lemah, kita merasa gengsi mengakuinya. (Bersambung)
Baca: Matius 26:36-46
"Lalu Ia berkata kepada murid-murid-Nya: 'Duduklah di sini, sementara Aku pergi ke sana untuk berdoa.'" Matius 26:36b
Mendengar kata taman Getsemani kita teringat kisah Yesus yang berdoa dengan mengajak beberapa murid menjelang Ia akan ditangkap dan disalibkan. Di taman ini Tuhan Yesus menghabiskan malam terakhirnya sebelum Yudas Iskariot, murid yang mengkhianati-Nya, datang beserta segerombolan orang yang membawa pedang dan pentungan untuk menangkap diri-Nya.
Getsemani sebenarnya adalah alat memeras buah zaitun. Selaras dengan arti namanya, yaitu alat memeras atau pengirik, getsemani seringkali dijadikan sebagai lambang pencobaan yang sangat menekan, masalah hidup yang berat. Ketika menghadapi masalah atau pencobaan yang menekan biasanya orang-orang Israel pergi ke taman itu untuk berdoa. Lokasi taman ini tepat berada di kaki bukit Zaitun. Karena berada di daerah perbukitan, selain banyak sekali pohon zaitun yang tumbuh subur dan udaranya yang sejuk, suasana di taman Getsemani sangat tenang, sehingga cocok sekali bagi orang untuk berdoa di sana. Bukankah kita memerlukan ketenangan agar dapat berdoa? "...jadilah tenang, supaya kamu dapat berdoa." (1 Petrus 4:7b). Selain itu taman tersebut dipenuhi pohon zaitun yang getahnya mengeluarkan aroma wangi yang khas, sehingga ketika angin berhembus maka keharuman akan memenuhi kawasan tersebut. Itulah sebabnya sebagian besar orang menyakralkan taman getsemani ini, apalagi di tempat ini Tuhan Yesus menghabiskan malam terakhir-Nya menjelang hari-hari penyaliban.
Pelajaran apa yang didapat melalui kisah taman Getsemani ini? Ketika menghadapi pergumulan hidup yang berat, dalam keadaannya sebagai manusia, Yesus tidak menutup-nutupi kegundahan hatinya. Ia dengan jujur mengakui kelemahan jasmani-Nya kala menanggung pergumulan yang berat. "Maka mulailah Ia merasa sedih dan gentar, lalu kata-Nya kepada mereka: 'Hati-Ku sangat sedih, seperti mau mati rasanya.'" (Matius 26:37-38). Meski secara jasmani Yesus tampak lemah namun Ia kuat secara rohani. Kita seringkali bersikap sebaliknya, ketika menghadapi pergumulan berat dengan segala kepura-puraan kita menutupi kenyataan yang ada, kita tidak mau disebut lemah, kita merasa gengsi mengakuinya. (Bersambung)
Tuesday, March 22, 2016
HATI YANG PENUH BELAS KASIHAN
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 22 Maret 2016
Baca: Lukas 10:25-37
"Jawab orang itu: 'Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya.' Kata Yesus kepadanya: 'Pergilah, dan perbuatlah demikian!'" Lukas 10:37
Salah satu tanda utama dan bukti bahwa kita adalah orang Kristen (pengikut Kristus) adalah jika kita memiliki kasih. Tuhan Yesus berkata, "Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi." (Yohanes 13:35). Jadi pengikut Kristus wajib mengikuti teladan Kristus, di mana kasih menjadi gaya hidup sehari-hari. Orang-orang dunia pasti akan tertawa bila melihat ada orang Kristen karakternya tidak berubah sama sekali, alias serupa dengan mereka. Karena itu perubahan karakter adalah sebuah keharusan. Kita yang dulunya cenderung egois dan tidak peduli terhadap orang lain kini harus berubah menjadi pribadi yang penuh empati dan belas kasih terhadap orang lain, seperti orang Samaria itu.
Perihal kasih ini Yesus bukan sekedar mengajar atau memberikan perintah agar kita memiliki hati penuh belas kasihan, namun Ia pun memberikan teladan yang luar biasa. Hati Yesus adalah hati yang selalu memberi, penuh empati, berlimpah kebaikan, kemurahan dan belas kasihan. Begitu mulianya hati Yesus sehingga Dia bukan saja berkata-kata atau berteori, namun rela datang ke dunia dan menyempurnakan perbuatan-Nya melalui kematian-Nya di kayu salib untuk menanggung segala dosa dan kelemahan kita. "Sebab kasih-Nya hebat atas kita, dan kesetiaan TUHAN untuk selama-lamanya. Haleluya!" (Mazmur 117:2). Jadi kita yang telah mengalami, merasakan dan menikmati kasih-Nya yang hebat wajib menunjukkan kualitas hidup seperti yang Tuhan kehendaki, yaitu memraktekkan kasih dalam kehidupan nyata, sebab tujuan Tuhan memanggil dan menyelamatkan kita adalah supaya kita menjadi berkat dan kesaksian bagi orang lain.
Hati yang penuh belas kasih "...tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri; dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga." (Filipi 2:3-4).
Memiliki hati seperti Yesus berarti hidup dengan tidak mementingkan diri sendiri, melainkan memerhatikan dan mengutamakan kepentingan orang lain juga!
Baca: Lukas 10:25-37
"Jawab orang itu: 'Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya.' Kata Yesus kepadanya: 'Pergilah, dan perbuatlah demikian!'" Lukas 10:37
Salah satu tanda utama dan bukti bahwa kita adalah orang Kristen (pengikut Kristus) adalah jika kita memiliki kasih. Tuhan Yesus berkata, "Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi." (Yohanes 13:35). Jadi pengikut Kristus wajib mengikuti teladan Kristus, di mana kasih menjadi gaya hidup sehari-hari. Orang-orang dunia pasti akan tertawa bila melihat ada orang Kristen karakternya tidak berubah sama sekali, alias serupa dengan mereka. Karena itu perubahan karakter adalah sebuah keharusan. Kita yang dulunya cenderung egois dan tidak peduli terhadap orang lain kini harus berubah menjadi pribadi yang penuh empati dan belas kasih terhadap orang lain, seperti orang Samaria itu.
Perihal kasih ini Yesus bukan sekedar mengajar atau memberikan perintah agar kita memiliki hati penuh belas kasihan, namun Ia pun memberikan teladan yang luar biasa. Hati Yesus adalah hati yang selalu memberi, penuh empati, berlimpah kebaikan, kemurahan dan belas kasihan. Begitu mulianya hati Yesus sehingga Dia bukan saja berkata-kata atau berteori, namun rela datang ke dunia dan menyempurnakan perbuatan-Nya melalui kematian-Nya di kayu salib untuk menanggung segala dosa dan kelemahan kita. "Sebab kasih-Nya hebat atas kita, dan kesetiaan TUHAN untuk selama-lamanya. Haleluya!" (Mazmur 117:2). Jadi kita yang telah mengalami, merasakan dan menikmati kasih-Nya yang hebat wajib menunjukkan kualitas hidup seperti yang Tuhan kehendaki, yaitu memraktekkan kasih dalam kehidupan nyata, sebab tujuan Tuhan memanggil dan menyelamatkan kita adalah supaya kita menjadi berkat dan kesaksian bagi orang lain.
Hati yang penuh belas kasih "...tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri; dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga." (Filipi 2:3-4).
Memiliki hati seperti Yesus berarti hidup dengan tidak mementingkan diri sendiri, melainkan memerhatikan dan mengutamakan kepentingan orang lain juga!
Monday, March 21, 2016
YANG PERTAMA DAN TERBAIK
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 21 Maret 2016
Baca: Ulangan 26:1-11
"...haruslah engkau membawa hasil pertama dari bumi yang telah kaukumpulkan dari tanahmu yang diberikan kepadamu oleh TUHAN, Allahmu, dan haruslah engkau menaruhnya dalam bakul, kemudian pergi ke tempat yang akan dipilih TUHAN, Allahmu, untuk membuat nama-Nya diam di sana." Ulangan 26:2
Pada zaman Perjanjian Lama, berdasarkan kondisi alamnya, mata pencaharian sebagian besar umat Israel adalah bercocok tanam atau bertani, atau lebih dikenal dengan istilah agraris, yaitu suatu keadaan di mana profesi penduduk yang ada di suatu negara sebagian besarnya adalah beertani. Dengan kata lain pertanian menjadi sektor utama atau andalan yang memberikan kontribusi terbesar bagi perekonomian suatu negara.
Dalam hal pertanian atau bercocok tanam, hasil panen yang pertama pada umumnya adalah hasil yang terbaik. Itulah yang harus diserahkan terlebih dahulu kepada Tuhan. Yang pertama atau yang terbaik inilah yang disebut dalam Alkitab dengan istilah yang 'sulung'. Firman Tuhan mendorong setiap orang percaya memberikan persembahan sulung kepada Tuhan. "Muliakanlah TUHAN dengan hartamu dan dengan hasil pertama dari segala penghasilanmu," (Amsal 3:9). Mengapa kita harus mengutamakan Tuhan dan memberikan persembahan yang terbaik kepada-Nya? Karena Tuhan adalah pemilik segala sesuatu. Dengan memberikan persembahan yang pertama dan terbaik (sulung) berarti kita menyadari bahwa Tuhan adalah pemilik segala sesuatu, sedangkan status kita hanyalah sebagai pengelola, yaitu mengelola berkat yang Tuhan percayakan kepada kita. Segala berkat yang kita miliki berasal dari Tuhan. Karena Tuhan sudah menyediakan tanah itu kepada umat-Nya, menyediakan benih dan memberikan pertumbuhan, maka Ia pun berhak menerima hasil pertama atau persembahan yang sulung dari kita. Persembahan sulung ini mengajarkan kepada kita untuk mengutamakan Tuhan, memrioritaskan Dia dan memberikan yang terbaik.
Percayalah bahwa semuanya akan ditambahkan kepada kita ketika kita mendahulukan Kerajaan Allah dan kebenarannya (baca Matius 6:33). Berilah yang terbaik kepada Tuhan, jangan berkat yang tersisa!
"maka lumbung-lumbungmu akan diisi penuh sampai melimpah-limpah, dan bejana pemerahanmu akan meluap dengan air buah anggurnya." Amsal 3:10
Baca: Ulangan 26:1-11
"...haruslah engkau membawa hasil pertama dari bumi yang telah kaukumpulkan dari tanahmu yang diberikan kepadamu oleh TUHAN, Allahmu, dan haruslah engkau menaruhnya dalam bakul, kemudian pergi ke tempat yang akan dipilih TUHAN, Allahmu, untuk membuat nama-Nya diam di sana." Ulangan 26:2
Pada zaman Perjanjian Lama, berdasarkan kondisi alamnya, mata pencaharian sebagian besar umat Israel adalah bercocok tanam atau bertani, atau lebih dikenal dengan istilah agraris, yaitu suatu keadaan di mana profesi penduduk yang ada di suatu negara sebagian besarnya adalah beertani. Dengan kata lain pertanian menjadi sektor utama atau andalan yang memberikan kontribusi terbesar bagi perekonomian suatu negara.
Dalam hal pertanian atau bercocok tanam, hasil panen yang pertama pada umumnya adalah hasil yang terbaik. Itulah yang harus diserahkan terlebih dahulu kepada Tuhan. Yang pertama atau yang terbaik inilah yang disebut dalam Alkitab dengan istilah yang 'sulung'. Firman Tuhan mendorong setiap orang percaya memberikan persembahan sulung kepada Tuhan. "Muliakanlah TUHAN dengan hartamu dan dengan hasil pertama dari segala penghasilanmu," (Amsal 3:9). Mengapa kita harus mengutamakan Tuhan dan memberikan persembahan yang terbaik kepada-Nya? Karena Tuhan adalah pemilik segala sesuatu. Dengan memberikan persembahan yang pertama dan terbaik (sulung) berarti kita menyadari bahwa Tuhan adalah pemilik segala sesuatu, sedangkan status kita hanyalah sebagai pengelola, yaitu mengelola berkat yang Tuhan percayakan kepada kita. Segala berkat yang kita miliki berasal dari Tuhan. Karena Tuhan sudah menyediakan tanah itu kepada umat-Nya, menyediakan benih dan memberikan pertumbuhan, maka Ia pun berhak menerima hasil pertama atau persembahan yang sulung dari kita. Persembahan sulung ini mengajarkan kepada kita untuk mengutamakan Tuhan, memrioritaskan Dia dan memberikan yang terbaik.
Percayalah bahwa semuanya akan ditambahkan kepada kita ketika kita mendahulukan Kerajaan Allah dan kebenarannya (baca Matius 6:33). Berilah yang terbaik kepada Tuhan, jangan berkat yang tersisa!
"maka lumbung-lumbungmu akan diisi penuh sampai melimpah-limpah, dan bejana pemerahanmu akan meluap dengan air buah anggurnya." Amsal 3:10
Sunday, March 20, 2016
BENIH UNTUK MEMBERI/MENABUR
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 20 Maret 2016
Baca: Pengkhotbah 11:1-8
"Taburkanlah benihmu pagi-pagi hari, dan janganlah memberi istirahat kepada tanganmu pada petang hari, karena engkau tidak mengetahui apakah ini atau itu yang akan berhasil, atau kedua-duanya sama baik." Pengkhotbah 11:6
Adalah sia-sia orang Kristen berkata memiliki kasih namun tidak dibuktikan dengan tindakan; Rasul Paulus menyebut "...sama dengan gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing." (1 Korintus 13:1). Kasih itu memberi. Ada kata bijak: "Hidup kita akan selalu penuh makna jika hati kita selalu mau memberi." (anonim). Karena kekristenan adalah kasih maka setiap orang percaya harus suka memberi/menabur, bukan menerima saja. "Adalah lebih berbahagia memberi dari pada menerima." (1 Kisah 20:35b).
Memberi sama seperti orang yang sedang menabur. Untuk dapat memberi atau menabur kita memerlukan benih. Tuhan tahu akan hal itu, karena itu "Ia yang menyediakan benih bagi penabur, dan roti untuk dimakan, Ia juga yang akan menyediakan benih bagi kamu dan melipatgandakannya dan menumbuhkan buah-buah kebenaranmu;" (2 Korintus 9:10). Dengan kata lain Tuhan telah menyediakan segala sesuatu yang kita perlukan agar kita dapat memberi atau menabur. Benih yang sudah disediakan oleh Tuhan, dari pihak kita hanya diperlukan kemauan dan kerelaan memberi atau menabur benih tersebut. Jadi tidak ada alasan bagi kita untuk tidak memberi atau menabur, yaitu mendukung pekerjaan Tuhan di muka bumi atau pun menolong sesama. Banyak orang menunda-nunda waktu untuk memberi/menabur padahal benih sudah Tuhan beri. Ada pula orang yang memberi tapi bertendensi bisnis yaitu memberi dengan harapan mendapatkan keuntungan yang berlipat dari setiap pemberian yang diberikan. Bukankah tindakan ini tak ubahnya seperti seorang investor yang sedang menanamkan modalnya, yang berharap mendapatkan keuntungan dari saham yang ditanamnya? Mereka menjadikan Tuhan hanya sebagai sarana untuk berinvestasi saja, tidak lebih.
Jika alasan memberi seperti itu Tuhan pasti sangat kecewa. Pemberian yang berkenan kepada Tuhan adalah pemberian yang didasari karena kasih, bukan maksud terselubung.
Jika kita mengasihi Tuhan kita pasti akan memberi seberapa pun yang kita miliki untuk Tuhan, tanpa memperhitungkan balasan!
Baca: Pengkhotbah 11:1-8
"Taburkanlah benihmu pagi-pagi hari, dan janganlah memberi istirahat kepada tanganmu pada petang hari, karena engkau tidak mengetahui apakah ini atau itu yang akan berhasil, atau kedua-duanya sama baik." Pengkhotbah 11:6
Adalah sia-sia orang Kristen berkata memiliki kasih namun tidak dibuktikan dengan tindakan; Rasul Paulus menyebut "...sama dengan gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing." (1 Korintus 13:1). Kasih itu memberi. Ada kata bijak: "Hidup kita akan selalu penuh makna jika hati kita selalu mau memberi." (anonim). Karena kekristenan adalah kasih maka setiap orang percaya harus suka memberi/menabur, bukan menerima saja. "Adalah lebih berbahagia memberi dari pada menerima." (1 Kisah 20:35b).
Memberi sama seperti orang yang sedang menabur. Untuk dapat memberi atau menabur kita memerlukan benih. Tuhan tahu akan hal itu, karena itu "Ia yang menyediakan benih bagi penabur, dan roti untuk dimakan, Ia juga yang akan menyediakan benih bagi kamu dan melipatgandakannya dan menumbuhkan buah-buah kebenaranmu;" (2 Korintus 9:10). Dengan kata lain Tuhan telah menyediakan segala sesuatu yang kita perlukan agar kita dapat memberi atau menabur. Benih yang sudah disediakan oleh Tuhan, dari pihak kita hanya diperlukan kemauan dan kerelaan memberi atau menabur benih tersebut. Jadi tidak ada alasan bagi kita untuk tidak memberi atau menabur, yaitu mendukung pekerjaan Tuhan di muka bumi atau pun menolong sesama. Banyak orang menunda-nunda waktu untuk memberi/menabur padahal benih sudah Tuhan beri. Ada pula orang yang memberi tapi bertendensi bisnis yaitu memberi dengan harapan mendapatkan keuntungan yang berlipat dari setiap pemberian yang diberikan. Bukankah tindakan ini tak ubahnya seperti seorang investor yang sedang menanamkan modalnya, yang berharap mendapatkan keuntungan dari saham yang ditanamnya? Mereka menjadikan Tuhan hanya sebagai sarana untuk berinvestasi saja, tidak lebih.
Jika alasan memberi seperti itu Tuhan pasti sangat kecewa. Pemberian yang berkenan kepada Tuhan adalah pemberian yang didasari karena kasih, bukan maksud terselubung.
Jika kita mengasihi Tuhan kita pasti akan memberi seberapa pun yang kita miliki untuk Tuhan, tanpa memperhitungkan balasan!
Saturday, March 19, 2016
MENJADI PENJAGA JIWA (2)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 19 Maret 2016
Baca: 1 Tesalonika 2:1-12
"Tetapi kami berlaku ramah di antara kamu, sama seperti seorang ibu mengasuh dan merawati anaknya." 1 Tesalonika 2:7
Selain dipanggil menjadi penjaga orang-orang yang hidup jauh dari Tuhan, kita dipanggil menjadi 'penjaga' Saudara seiman yang sedang lemah imannya dan undur dari Tuhan. "Jikalau seorang yang benar berbalik dari kebenarannya dan ia berbuat curang, dan Aku meletakkan batu sandungan di hadapannya, ia akan mati. Oleh karena engkau tidak memperingatkan dia, ia akan mati dalam dosanya dan perbuatan-perbuatan kebenaran yang dikerjakannya tidak akan diingat-ingat, tetapi Aku akan menuntut pertanggungan jawab atas nyawanya dari padamu." (Yehezkiel 3:20). Saudara seiman adalah keluarga kita, kawan sewarga orang-orang kudus dan anggota keluarga kerajaan Allah (baca Efesus 2:19), jadi kita harus selalu menjaga kerukunan dengan saling mengasihi, memerhatikan, menasihati, mendukung, menguatkan, supaya kita bertumbuh dalam iman.
Mari belajar dari rasul Paulus yang memosisikan dirinya seperti 'ibu' bagi orang-orang yang dilayani, dengan penuh kesabaran ia mengasuh dan merawat jiwa-jiwa yang dipercayakan Tuhan kepadanya. "...seperti bapa terhadap anak-anaknya, telah menasihati kamu dan menguatkan hatimu seorang demi seorang, dan meminta dengan sangat, supaya kamu hidup sesuai dengan kehendak Allah, yang memanggil kamu ke dalam Kerajaan dan kemuliaan-Nya." (1 Tesalonika 2:11-12). Rasul Paulus mampu menjalankan perannya sebagai 'penjaga' bagi sesama dengan kasih yang tulus tanpa disertai maksud yang tidak murni, tanpa tipu daya, bukan untuk menyukakan manusia, bukan mencari pujian bagi diri sendiri, tapi semata-mata karena kerinduannya yang besar untuk menyelamatkan jiwa-jiwa.
Semakin kita dewasa secara rohani seharusnya semakin besar kepekaan kita terhadap kebutuhan orang lain, baik itu kebutuhan fisik, teristimewa kebutuhan rohani. Jangan berkata sudah melayani Tuhan jika kita tidak memiliki hati yang terbeban terhadap orang lain. Itulah arti pelayanan sejati!
"Ibadah yang murni dan yang tak bercacat di hadapan Allah, Bapa kita, ialah mengunjungi yatim piatu dan janda-janda dalam kesusahan mereka, dan menjaga supaya dirinya sendiri tidak dicemarkan oleh dunia." Yakobus 1:27
Baca: 1 Tesalonika 2:1-12
"Tetapi kami berlaku ramah di antara kamu, sama seperti seorang ibu mengasuh dan merawati anaknya." 1 Tesalonika 2:7
Selain dipanggil menjadi penjaga orang-orang yang hidup jauh dari Tuhan, kita dipanggil menjadi 'penjaga' Saudara seiman yang sedang lemah imannya dan undur dari Tuhan. "Jikalau seorang yang benar berbalik dari kebenarannya dan ia berbuat curang, dan Aku meletakkan batu sandungan di hadapannya, ia akan mati. Oleh karena engkau tidak memperingatkan dia, ia akan mati dalam dosanya dan perbuatan-perbuatan kebenaran yang dikerjakannya tidak akan diingat-ingat, tetapi Aku akan menuntut pertanggungan jawab atas nyawanya dari padamu." (Yehezkiel 3:20). Saudara seiman adalah keluarga kita, kawan sewarga orang-orang kudus dan anggota keluarga kerajaan Allah (baca Efesus 2:19), jadi kita harus selalu menjaga kerukunan dengan saling mengasihi, memerhatikan, menasihati, mendukung, menguatkan, supaya kita bertumbuh dalam iman.
Mari belajar dari rasul Paulus yang memosisikan dirinya seperti 'ibu' bagi orang-orang yang dilayani, dengan penuh kesabaran ia mengasuh dan merawat jiwa-jiwa yang dipercayakan Tuhan kepadanya. "...seperti bapa terhadap anak-anaknya, telah menasihati kamu dan menguatkan hatimu seorang demi seorang, dan meminta dengan sangat, supaya kamu hidup sesuai dengan kehendak Allah, yang memanggil kamu ke dalam Kerajaan dan kemuliaan-Nya." (1 Tesalonika 2:11-12). Rasul Paulus mampu menjalankan perannya sebagai 'penjaga' bagi sesama dengan kasih yang tulus tanpa disertai maksud yang tidak murni, tanpa tipu daya, bukan untuk menyukakan manusia, bukan mencari pujian bagi diri sendiri, tapi semata-mata karena kerinduannya yang besar untuk menyelamatkan jiwa-jiwa.
Semakin kita dewasa secara rohani seharusnya semakin besar kepekaan kita terhadap kebutuhan orang lain, baik itu kebutuhan fisik, teristimewa kebutuhan rohani. Jangan berkata sudah melayani Tuhan jika kita tidak memiliki hati yang terbeban terhadap orang lain. Itulah arti pelayanan sejati!
"Ibadah yang murni dan yang tak bercacat di hadapan Allah, Bapa kita, ialah mengunjungi yatim piatu dan janda-janda dalam kesusahan mereka, dan menjaga supaya dirinya sendiri tidak dicemarkan oleh dunia." Yakobus 1:27
Friday, March 18, 2016
MENJADI PENJAGA JIWA (1)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 18 Maret 2016
Baca: Yehezkiel 3:16-21
"Hai anak manusia, Aku telah menetapkan engkau menjadi penjaga kaum Israel. Bilamana engkau mendengarkan sesuatu firman dari pada-Ku, peringatkanlah mereka atas nama-Ku." Yehezkiel 3:17
Di zaman seperti sekarang ini kebanyakan orang cenderung bersikap egois, mementingkan diri sendiri, tidak mempedulikan orang lain. Sikapnya seperti Kain ketika Tuhan bertanya kepadanya, "Di mana Habel, adikmu itu?" (Kejadian 4:9). Dengan nada kesal Kain menjawab, "Aku tidak tahu! Apakah aku penjaga adikku?" (Kejadian 4:9).
Sering kita jumpai banyak orang Kristen yang begitu giat melayani pekerjaan Tuhan, terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan rohani, tapi dalam kehidupan sehari-harinya mereka berlaku cuek, individualistis dan tidak peduli dengan orang lain, tidak mau direpotkan oleh orang lain, tidak mau 'bersentuhan' dengan orang lain. Jika demikian apalah artinya kita tampak rohani di gereja, bahkan beratribut sebagai pelayan Tuhan jika kita tidak mau melayani jiwa-jiwa, atau tidak ada buah-buah yang kita hasilkan. "Sebab setiap pohon dikenal pada buahnya." (Lukas 6:44a).
Sebagaimana Yehezkiel dipanggil Tuhan untuk menjadi 'penjaga' Israel, demikian pula setiap orang percaya. Menjadi 'penjaga' bagi orang lain berarti mempraktekkan kasih seperti yang Tuhan Yesus teladankan; menjadi 'penjaga' bagi orang lain berarti peduli terhadap keselamatan orang lain. Menjadi 'penjaga' bagi orang lain tidak harus selalu berkorban uang atau materi, tapi termasuk juga memberikan perhatian, waktu, tenaga dan pikiran untuk mereka. Kita dipanggil Tuhan untuk menjadi 'penjaga' atas siapa saja? Atas orang yang hidup menyimpang dari kebenaran (yaitu jahat). Tuhan berkata, "Kalau Aku berfirman kepada orang jahat: Engkau pasti dihukum mati! --dan engkau tidak memperingatkan dia atau tidak berkata apa-apa untuk memperingatkan orang jahat itu dari hidupnya yang jahat, supaya ia tetap hidup, orang jahat itu akan mati dalam kesalahannya, tetapi Aku akan menuntut pertanggungan jawab atas nyawanya dari padamu." (Yehezkiel 3:18). Bila ada orang-orang di sekitar kita yang hidup dalam kejahatan, kita yang tahu akan kebenaran memiliki tanggung jawab untuk menasihati, menegur dan memeringatkan mereka supaya mereka segera bertobat dan meninggalkan kejahatannya, bukan malah bersikap masa bodoh. (Bersambung)
Baca: Yehezkiel 3:16-21
"Hai anak manusia, Aku telah menetapkan engkau menjadi penjaga kaum Israel. Bilamana engkau mendengarkan sesuatu firman dari pada-Ku, peringatkanlah mereka atas nama-Ku." Yehezkiel 3:17
Di zaman seperti sekarang ini kebanyakan orang cenderung bersikap egois, mementingkan diri sendiri, tidak mempedulikan orang lain. Sikapnya seperti Kain ketika Tuhan bertanya kepadanya, "Di mana Habel, adikmu itu?" (Kejadian 4:9). Dengan nada kesal Kain menjawab, "Aku tidak tahu! Apakah aku penjaga adikku?" (Kejadian 4:9).
Sering kita jumpai banyak orang Kristen yang begitu giat melayani pekerjaan Tuhan, terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan rohani, tapi dalam kehidupan sehari-harinya mereka berlaku cuek, individualistis dan tidak peduli dengan orang lain, tidak mau direpotkan oleh orang lain, tidak mau 'bersentuhan' dengan orang lain. Jika demikian apalah artinya kita tampak rohani di gereja, bahkan beratribut sebagai pelayan Tuhan jika kita tidak mau melayani jiwa-jiwa, atau tidak ada buah-buah yang kita hasilkan. "Sebab setiap pohon dikenal pada buahnya." (Lukas 6:44a).
Sebagaimana Yehezkiel dipanggil Tuhan untuk menjadi 'penjaga' Israel, demikian pula setiap orang percaya. Menjadi 'penjaga' bagi orang lain berarti mempraktekkan kasih seperti yang Tuhan Yesus teladankan; menjadi 'penjaga' bagi orang lain berarti peduli terhadap keselamatan orang lain. Menjadi 'penjaga' bagi orang lain tidak harus selalu berkorban uang atau materi, tapi termasuk juga memberikan perhatian, waktu, tenaga dan pikiran untuk mereka. Kita dipanggil Tuhan untuk menjadi 'penjaga' atas siapa saja? Atas orang yang hidup menyimpang dari kebenaran (yaitu jahat). Tuhan berkata, "Kalau Aku berfirman kepada orang jahat: Engkau pasti dihukum mati! --dan engkau tidak memperingatkan dia atau tidak berkata apa-apa untuk memperingatkan orang jahat itu dari hidupnya yang jahat, supaya ia tetap hidup, orang jahat itu akan mati dalam kesalahannya, tetapi Aku akan menuntut pertanggungan jawab atas nyawanya dari padamu." (Yehezkiel 3:18). Bila ada orang-orang di sekitar kita yang hidup dalam kejahatan, kita yang tahu akan kebenaran memiliki tanggung jawab untuk menasihati, menegur dan memeringatkan mereka supaya mereka segera bertobat dan meninggalkan kejahatannya, bukan malah bersikap masa bodoh. (Bersambung)
Thursday, March 17, 2016
KEKUATAN MANUSIA: Menghalangi Tuhan Bekerja
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 17 Maret 2016
Baca: 1 Korintus 1:18-31
"supaya jangan ada seorang manusiapun yang memegahkan diri di hadapan Allah." 1 Korintus 1:29
Di dunia ini ada banyak orang pintar, hebat, jenius dengan berbagai titel yang mentereng, banyak pula orang kaya dan berkedudukan tinggi. Banyak di antara mereka terlibat dalam pelayanan pekerjaan Tuhan.
Inilah yang harus diperhatikan: segala kelebihan yang dimiliki (pintar, hebat, jenius, kaya dan berkedudukan) jangan sampai membuat kita memegahkan diri. Jangan sampai kita tampak melayani Tuhan tapi sesungguhnya diri sendiri yang dikedepankan, lalu kehebatan, kekuatan dan kemampuan diri yang digembar-gemborkan di hadapan semua orang. Kita harus ingat bahwa talenta, karunia, bakat alami dan kelebihan-kelebihan yang kita miliki adalah anugerah dari Tuhan, karena itu harus dipergunakan untuk kemuliaan nama Tuhan, bukan untuk memperbesar ego sendiri. Jika kita melayani Tuhan dengan mengandalkan kekuatan dan kemampuan diri, serta membangga-banggakan apa yang kita punyai, kita sedang menghalangi pekerjaan Tuhan dan juga menghalangi kuasa-Nya bekerja di dalam kita. Fokus utama pelayan Tuhan adalah memberitakan Injil, memberitakan kuasa salib Kristus, dan mempermuliakan nama Tuhan, bukan memberitakan dan mengedepankan kelebihan pribadi. Rasul Paulus berkata, "Sebab Kristus mengutus aku bukan untuk membaptis, tetapi untuk memberitakan Injil; dan itupun bukan dengan hikmat perkataan, supaya salib Kristus jangan menjadi sia-sia." (1 Korintus 1:17). Ketika kita cenderung mengandalkan kepintaran, kehebatan dan kemampuan manusia, saat itulah kita sedang merampok kuasa dari salib Kristus.
Sesungguhnya Tuhan tidak memerlukan kita karena sesuatu yang kita miliki. Tuhan memerlukan kita sebagai mitra kerja-Nya dan hanya sebagai sarana untuk menyalurkan kuasa-Nya kepada orang lain. Karena itu tidak ada alasan bagi kita untuk membangga-banggakan diri. Jika kita meninggikan diri sendiri berarti kita telah merendahkan kuasa salib Kristus.
"...aku sekali-kali tidak mau bermegah, selain dalam salib Tuhan kita Yesus Kristus, sebab olehnya dunia telah disalibkan bagiku dan aku bagi dunia." Galatia 6:14
Baca: 1 Korintus 1:18-31
"supaya jangan ada seorang manusiapun yang memegahkan diri di hadapan Allah." 1 Korintus 1:29
Di dunia ini ada banyak orang pintar, hebat, jenius dengan berbagai titel yang mentereng, banyak pula orang kaya dan berkedudukan tinggi. Banyak di antara mereka terlibat dalam pelayanan pekerjaan Tuhan.
Inilah yang harus diperhatikan: segala kelebihan yang dimiliki (pintar, hebat, jenius, kaya dan berkedudukan) jangan sampai membuat kita memegahkan diri. Jangan sampai kita tampak melayani Tuhan tapi sesungguhnya diri sendiri yang dikedepankan, lalu kehebatan, kekuatan dan kemampuan diri yang digembar-gemborkan di hadapan semua orang. Kita harus ingat bahwa talenta, karunia, bakat alami dan kelebihan-kelebihan yang kita miliki adalah anugerah dari Tuhan, karena itu harus dipergunakan untuk kemuliaan nama Tuhan, bukan untuk memperbesar ego sendiri. Jika kita melayani Tuhan dengan mengandalkan kekuatan dan kemampuan diri, serta membangga-banggakan apa yang kita punyai, kita sedang menghalangi pekerjaan Tuhan dan juga menghalangi kuasa-Nya bekerja di dalam kita. Fokus utama pelayan Tuhan adalah memberitakan Injil, memberitakan kuasa salib Kristus, dan mempermuliakan nama Tuhan, bukan memberitakan dan mengedepankan kelebihan pribadi. Rasul Paulus berkata, "Sebab Kristus mengutus aku bukan untuk membaptis, tetapi untuk memberitakan Injil; dan itupun bukan dengan hikmat perkataan, supaya salib Kristus jangan menjadi sia-sia." (1 Korintus 1:17). Ketika kita cenderung mengandalkan kepintaran, kehebatan dan kemampuan manusia, saat itulah kita sedang merampok kuasa dari salib Kristus.
Sesungguhnya Tuhan tidak memerlukan kita karena sesuatu yang kita miliki. Tuhan memerlukan kita sebagai mitra kerja-Nya dan hanya sebagai sarana untuk menyalurkan kuasa-Nya kepada orang lain. Karena itu tidak ada alasan bagi kita untuk membangga-banggakan diri. Jika kita meninggikan diri sendiri berarti kita telah merendahkan kuasa salib Kristus.
"...aku sekali-kali tidak mau bermegah, selain dalam salib Tuhan kita Yesus Kristus, sebab olehnya dunia telah disalibkan bagiku dan aku bagi dunia." Galatia 6:14
Wednesday, March 16, 2016
DAMPAK SEBUAH KEPEMIMPINAN (2)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 16 Maret 2016
Baca: 2 Tawarikh 36:11-21
"Ia melakukan apa yang jahat di mata TUHAN, Allahnya, dan tidak merendahkan diri di hadapan nabi Yeremia, yang datang membawa pesan TUHAN." 2 Tawarikh 36:12
Zedekia adalah paman Yoyakhin. Ketika menjabat sebagai raja ia masih berumur 21 tahun dan memerintah selama 11 tahun atas kerajaan Yehuda. Selama menjadi pemimpin ia berlaku jahat di mata Tuhan: sifatnya keras, tegar tengkuk, suka memberontak (ayat 12), menajiskan rumah Tuhan (ayat 14), mempengaruhi imam dan rakyat untuk berlaku tidak setia kepada Tuhan, mengolok-olok dan merendahkan utusan Tuhan (ayat 14-16).
Karena pengaruh buruk sang pemimpin, sebagian besar umat Yehuda pun mengikuti jejaknya yaitu hidup dalam ketidaktaatan. Tuhan memperingatkan namun mereka tetap saja mengeraskan hati dan tidak mau bertobat, bahkan mereka berani mengolok-olok, mengejek dan menghina firman yang disampaikan oleh para utusan Tuhan tersebut. Akhirnya "TUHAN menggerakkan raja orang Kasdim melawan mereka. Raja itu membunuh teruna mereka dengan pedang dalam rumah kudus mereka, dan tidak menyayangkan teruna atau gadis, orang tua atau orang ubanan- semua diserahkan TUHAN ke dalam tangannya." (ayat 17), bahkan, "Seluruh perkakas rumah Allah, yang besar dan yang kecil, serta harta benda dari rumah TUHAN, harta benda raja dan harta benda para panglimanya, semuanya dibawanya ke Babel." (ayat 18). Tuhan menjatuhkan hukuman atas bangsa Yehuda sebagai akibat dari ketidaktaatan mereka sendiri, bukan karena Tuhan tidak mengasihi atau berlaku jahat tetapi sebagai pembelajaran agar mereka segera menyadari kesalahan dan segera bertobat. Lebih tragis lagi nasib Zedekia, "Mereka menangkap raja dan membawa dia kepada raja Babel di Ribla, yang menjatuhkan hukuman atas dia. Orang menyembelih anak-anak Zedekia di depan matanya, kemudian dibutakannyalah mata Zedekia, lalu dia dibelenggu dengan rantai tembaga dan dibawa ke Babel." (2 Raja-Raja 25:6-7).
Hajaran Tuhan adalah bukti Ia sangat mengasihi umat-Nya. "karena Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak." (Ibrani 12:6).
Tuhan tidak bisa dipermainkan! Setiap ketidaktaatan selalu mendatangkan akibat!
Baca: 2 Tawarikh 36:11-21
"Ia melakukan apa yang jahat di mata TUHAN, Allahnya, dan tidak merendahkan diri di hadapan nabi Yeremia, yang datang membawa pesan TUHAN." 2 Tawarikh 36:12
Zedekia adalah paman Yoyakhin. Ketika menjabat sebagai raja ia masih berumur 21 tahun dan memerintah selama 11 tahun atas kerajaan Yehuda. Selama menjadi pemimpin ia berlaku jahat di mata Tuhan: sifatnya keras, tegar tengkuk, suka memberontak (ayat 12), menajiskan rumah Tuhan (ayat 14), mempengaruhi imam dan rakyat untuk berlaku tidak setia kepada Tuhan, mengolok-olok dan merendahkan utusan Tuhan (ayat 14-16).
Karena pengaruh buruk sang pemimpin, sebagian besar umat Yehuda pun mengikuti jejaknya yaitu hidup dalam ketidaktaatan. Tuhan memperingatkan namun mereka tetap saja mengeraskan hati dan tidak mau bertobat, bahkan mereka berani mengolok-olok, mengejek dan menghina firman yang disampaikan oleh para utusan Tuhan tersebut. Akhirnya "TUHAN menggerakkan raja orang Kasdim melawan mereka. Raja itu membunuh teruna mereka dengan pedang dalam rumah kudus mereka, dan tidak menyayangkan teruna atau gadis, orang tua atau orang ubanan- semua diserahkan TUHAN ke dalam tangannya." (ayat 17), bahkan, "Seluruh perkakas rumah Allah, yang besar dan yang kecil, serta harta benda dari rumah TUHAN, harta benda raja dan harta benda para panglimanya, semuanya dibawanya ke Babel." (ayat 18). Tuhan menjatuhkan hukuman atas bangsa Yehuda sebagai akibat dari ketidaktaatan mereka sendiri, bukan karena Tuhan tidak mengasihi atau berlaku jahat tetapi sebagai pembelajaran agar mereka segera menyadari kesalahan dan segera bertobat. Lebih tragis lagi nasib Zedekia, "Mereka menangkap raja dan membawa dia kepada raja Babel di Ribla, yang menjatuhkan hukuman atas dia. Orang menyembelih anak-anak Zedekia di depan matanya, kemudian dibutakannyalah mata Zedekia, lalu dia dibelenggu dengan rantai tembaga dan dibawa ke Babel." (2 Raja-Raja 25:6-7).
Hajaran Tuhan adalah bukti Ia sangat mengasihi umat-Nya. "karena Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak." (Ibrani 12:6).
Tuhan tidak bisa dipermainkan! Setiap ketidaktaatan selalu mendatangkan akibat!
Tuesday, March 15, 2016
DAMPAK SEBUAH KEPEMIMPINAN (1)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 15 Maret 2016
Baca: 2 Raja-Raja 24:18-20; 2 Raja-Raja 25:1-21
"Ia melakukan apa yang jahat di mata TUHAN tepat seperti yang dilakukan Yoyakim." 2 Raja-Raja 24-19
Berbicara tentang kepemimpinan berarti berbicara pula tentang pengaruh, sebagaiman disampaikan John C. Maxwell: "Kepemimpinan adalah pengaruh." Seorang neurologist kenamaan Amerika, Dr. Philip Pulaski juga berpendapat: "Orang yang berpengaruh adalah dia yang membawa dampak dalam kehidupan orang lain"
Menurut sifatnya, dampak kepemimpinan terbagi dua: positif dan negatif. Seorang pemimpin yang menjalankan tugas kepemimpinan dengan sikap dan karakter yang positif pasti akan menularkan pengaruh yang positif bagi bawahan atau pengikutnya. Sebaliknya seorang pemimpin yang berkarakter negatif pengaruhnya pun akan bersifat negatif. Pemimpin yang bijak pasti akan menyadari bahwa tugas memimpin adalah sebuah tanggung jawab moral dan kepercayaan yang tidak bisa diukur dengan uang atau materi. Karena itu tugas kepemimpinan harus dikerjakan dengan sikap hati yang benar, bukan untuk disalahgunakan seperti yang dilakukan oleh kebanyakan pemimpin di zaman sekarang ini, di mana "...pemerintah-pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi dan pembesar-pembesar menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka." (Matius 20:25).
Seorang pemimpin yang menjalankan tugasnya dengan sikap hati yang benar akan mampu mengimpartasikan kehidupan, sebab segala sesuatu itu bersumber dari hati (baca Matius 15:19). Karena itu "Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan." (Amsal 4:23). Kepemimpinan yang berhasil adalah kepemimpinan yang meninggalkan sebuah teladan hidup. Karena itu rasul Paulus menasihati, "Jadilah teladan bagi orang-orang percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu." (1 Timotius 4:12b). Kerajaan Yehuda yang ketika itu dipimpin oleh Zedekia sedang mengalami krisis keteladanan, sebab selaku pemimpin, Zedekia tidak memberikan teladan hidup yang baik; sebaliknya "Ia melakukan apa yang jahat di mata TUHAN..." (2 Raja-Raja 24:19).
Jadilah pemimpin yang mengimpartasikan hal-hal yang bisa menjadi panutan, bukan menjadi batu sandungan!
Baca: 2 Raja-Raja 24:18-20; 2 Raja-Raja 25:1-21
"Ia melakukan apa yang jahat di mata TUHAN tepat seperti yang dilakukan Yoyakim." 2 Raja-Raja 24-19
Berbicara tentang kepemimpinan berarti berbicara pula tentang pengaruh, sebagaiman disampaikan John C. Maxwell: "Kepemimpinan adalah pengaruh." Seorang neurologist kenamaan Amerika, Dr. Philip Pulaski juga berpendapat: "Orang yang berpengaruh adalah dia yang membawa dampak dalam kehidupan orang lain"
Menurut sifatnya, dampak kepemimpinan terbagi dua: positif dan negatif. Seorang pemimpin yang menjalankan tugas kepemimpinan dengan sikap dan karakter yang positif pasti akan menularkan pengaruh yang positif bagi bawahan atau pengikutnya. Sebaliknya seorang pemimpin yang berkarakter negatif pengaruhnya pun akan bersifat negatif. Pemimpin yang bijak pasti akan menyadari bahwa tugas memimpin adalah sebuah tanggung jawab moral dan kepercayaan yang tidak bisa diukur dengan uang atau materi. Karena itu tugas kepemimpinan harus dikerjakan dengan sikap hati yang benar, bukan untuk disalahgunakan seperti yang dilakukan oleh kebanyakan pemimpin di zaman sekarang ini, di mana "...pemerintah-pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi dan pembesar-pembesar menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka." (Matius 20:25).
Seorang pemimpin yang menjalankan tugasnya dengan sikap hati yang benar akan mampu mengimpartasikan kehidupan, sebab segala sesuatu itu bersumber dari hati (baca Matius 15:19). Karena itu "Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan." (Amsal 4:23). Kepemimpinan yang berhasil adalah kepemimpinan yang meninggalkan sebuah teladan hidup. Karena itu rasul Paulus menasihati, "Jadilah teladan bagi orang-orang percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu." (1 Timotius 4:12b). Kerajaan Yehuda yang ketika itu dipimpin oleh Zedekia sedang mengalami krisis keteladanan, sebab selaku pemimpin, Zedekia tidak memberikan teladan hidup yang baik; sebaliknya "Ia melakukan apa yang jahat di mata TUHAN..." (2 Raja-Raja 24:19).
Jadilah pemimpin yang mengimpartasikan hal-hal yang bisa menjadi panutan, bukan menjadi batu sandungan!
Monday, March 14, 2016
PENAJAMAN YANG MENDEWASAKAN
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 14 Maret 2016
Baca: Amsal 27:1-27
"Besi menajamkan besi, orang menajamkan sesamanya." Amsal 27:17
Ketika mengalami masalah, penderitaan, tekanan, himpitan dan berbagai gesekan yang terjadi umumnya kita meresponsnya secara negatif: menyalahkan keadaan, orang lain, bahkan berani menyalahkan Tuhan. Padahal adakalanya Tuhan memakai situasi dan orang-orang di sekitar kita sebagai sarana memroses, membentuk dan mendewasakan kita.
Alkitab menggambarkan proses ini seperti besi menajamkan besi. Ketika besi menajamkan besi pasti akan menimbulkan sebuah gesekan yang melukai dan menimbulkan api. Api berbicara tentang emosi, kemarahan, sakit hati, kepahitan, kejengkelan, kebencian dan berbagai luka yang menyakitkan. Melalui peristiwa atau hubungan dengan orang-orang di sekitar sesungguhnya Tuhan sedang menggarap kita karena Dia adalah Sang Penjunan, yang tahu persis cara membentuk hidup seseorang. "Apabila bejana, yang sedang dibuatnya dari tanah liat di tangannya itu, rusak, maka tukang periuk itu mengerjakannya kembali menjadi bejana lain menurut apa yang baik pada pemandangannya." (Yeremia 18:4). Tujuan Tuhan menajamkan kita adalah supaya kita semakin matang, semakin sempurna, semakin berkenan dan semakin serupa dengan Kristus. Karena itu kita patut bersyukur untuk setiap masalah atau peristiwa yang terjadi dalam hidup ini, termasuk kehadiran orang-orang di sekitar kita. Jangan pernah menyalahkan keadaan atau mengambinghitamkan orang lain ketika harus melewati proses ini. Yusuf tidak pernah menyalahkan saudara-saudaranya meski mereka telah menyakiti dan membuat hidupnya menderita, bahkan bisa berkata, "Memang kamu telah mereka-rekakan yang jahat terhadap aku, tetapi Allah telah mereka-rekakannya untuk kebaikan, dengan maksud melakukan seperti yang terjadi sekarang ini, yakni memelihara hidup suatu bangsa yang besar." (Kejadian 50:20).
Seringkali kita berpikiran bahwa dengan membaca Alkitab atau mendengarkan khotbah saja secara otomatis dapat membuat kita dewasa rohani, lalu kita mengeksklusifkan diri dan tidak mau bergaul dengan orang lain untuk menghindari gesekan dengan sesama. Itu salah! Karakter kita justru terbentuk ketika kita membangun hubungan dengan orang lain, saat itulah kita mengalami penajaman.
Proses penajaman bisa terjadi di mana pun, kapan pun dan melalui siapa pun!
Baca: Amsal 27:1-27
"Besi menajamkan besi, orang menajamkan sesamanya." Amsal 27:17
Ketika mengalami masalah, penderitaan, tekanan, himpitan dan berbagai gesekan yang terjadi umumnya kita meresponsnya secara negatif: menyalahkan keadaan, orang lain, bahkan berani menyalahkan Tuhan. Padahal adakalanya Tuhan memakai situasi dan orang-orang di sekitar kita sebagai sarana memroses, membentuk dan mendewasakan kita.
Alkitab menggambarkan proses ini seperti besi menajamkan besi. Ketika besi menajamkan besi pasti akan menimbulkan sebuah gesekan yang melukai dan menimbulkan api. Api berbicara tentang emosi, kemarahan, sakit hati, kepahitan, kejengkelan, kebencian dan berbagai luka yang menyakitkan. Melalui peristiwa atau hubungan dengan orang-orang di sekitar sesungguhnya Tuhan sedang menggarap kita karena Dia adalah Sang Penjunan, yang tahu persis cara membentuk hidup seseorang. "Apabila bejana, yang sedang dibuatnya dari tanah liat di tangannya itu, rusak, maka tukang periuk itu mengerjakannya kembali menjadi bejana lain menurut apa yang baik pada pemandangannya." (Yeremia 18:4). Tujuan Tuhan menajamkan kita adalah supaya kita semakin matang, semakin sempurna, semakin berkenan dan semakin serupa dengan Kristus. Karena itu kita patut bersyukur untuk setiap masalah atau peristiwa yang terjadi dalam hidup ini, termasuk kehadiran orang-orang di sekitar kita. Jangan pernah menyalahkan keadaan atau mengambinghitamkan orang lain ketika harus melewati proses ini. Yusuf tidak pernah menyalahkan saudara-saudaranya meski mereka telah menyakiti dan membuat hidupnya menderita, bahkan bisa berkata, "Memang kamu telah mereka-rekakan yang jahat terhadap aku, tetapi Allah telah mereka-rekakannya untuk kebaikan, dengan maksud melakukan seperti yang terjadi sekarang ini, yakni memelihara hidup suatu bangsa yang besar." (Kejadian 50:20).
Seringkali kita berpikiran bahwa dengan membaca Alkitab atau mendengarkan khotbah saja secara otomatis dapat membuat kita dewasa rohani, lalu kita mengeksklusifkan diri dan tidak mau bergaul dengan orang lain untuk menghindari gesekan dengan sesama. Itu salah! Karakter kita justru terbentuk ketika kita membangun hubungan dengan orang lain, saat itulah kita mengalami penajaman.
Proses penajaman bisa terjadi di mana pun, kapan pun dan melalui siapa pun!
Sunday, March 13, 2016
KEDATANGAN TUHAN SEPERTI PENCURI
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 13 Maret 2016
Baca: 2 Petrus 3:1-16
"Tetapi hari Tuhan akan tiba seperti pencuri." 2 Petrus 3:10a
Alkitab menggambarkan bahwa hari Tuhan atau kedatangan Tuhan Yesus yang kedua kalinya seperti seorang mempelai laki-laki yang datang untuk menjemput mempelai perempuannya. Tapi kedatangan Tuhan juga diumpamakan seperti pencuri. Setiap kali berbicara tentang hari kedatangan Tuhan banyak orang Kristen penasaran, harap-harap cemas, tapi ada pula yang bosan mendengarnya. Mereka bersikap apatis setiap kali mendengar khotbah tentang hari kedatangan Tuhan. Pikirnya, "Sejak dulu selalu diceritakan kalau Tuhan akan datang, mana buktinya?" Masalahnya bukan soal waktu atau kapan Tuhan akan datang, melainkan kesiapan kita menyambut hari itu.
Bagi orang percaya, yang mengasihi Tuhan dan sungguh-sungguh melayani Tuhan, hari kedatangan-Nya adalah hari yang sangat dinanti-nantikan, seperti seorang mempelai perempuan yang sudah tidak sabar menanti kedatangan sang mempelai laki-laki sorgawi, yang akan membawanya ke pesta perjamuan kawin Anak Domba. Tetapi bagi mereka yang tidak percaya dan hidup dalam dosa, kedatangan Tuhan akan seperti pencuri. Apa maksudnya? Hari kedatangan Tuhan akan menjadi hari yang sangat mengejutkan karena mereka dalam keadaan tidak siap. "Seperti ikan yang tertangkap dalam jala yang mencelakakan, dan seperti burung yang tertangkap dalam jerat, begitulah anak-anak manusia terjerat pada waktu yang malang, kalau hal itu menimpa mereka secara tiba-tiba." (Pengkhotbah 9:12b). Bagi mereka, kedatangan-Nya menjadi sebuah kerugian besar, karena mereka akan kehilangan segala-galanya: uang, kekayaan, popularitas, pangkat dan sebagainya yang selama ini dibangga-banggakan dan diandalkan. Segala gemerlap, kesenangan dan kenikmatan duniawi yang membuat mereka nyaman dan terlena harus mereka tinggalkan.
Akhirnya hari kedatangan Tuhan menjadi hari yang sangat menakutkan dan menyisakan penyesalan mendalam. Penghakiman, penderitaan dan penghukuman kekal juga siap menanti mereka yang selama hidupnya mengeraskan hati, tidak mau percaya kepada Tuhan Yesus dan menolak Injil Kristus.
Jangan sampai kedatangan Tuhan seperti pencuri yang mengejutkan kita! Maka jangan tunda-tunda waktu untuk bertobat! Bila terlambat, penyesalan tiada guna.
Baca: 2 Petrus 3:1-16
"Tetapi hari Tuhan akan tiba seperti pencuri." 2 Petrus 3:10a
Alkitab menggambarkan bahwa hari Tuhan atau kedatangan Tuhan Yesus yang kedua kalinya seperti seorang mempelai laki-laki yang datang untuk menjemput mempelai perempuannya. Tapi kedatangan Tuhan juga diumpamakan seperti pencuri. Setiap kali berbicara tentang hari kedatangan Tuhan banyak orang Kristen penasaran, harap-harap cemas, tapi ada pula yang bosan mendengarnya. Mereka bersikap apatis setiap kali mendengar khotbah tentang hari kedatangan Tuhan. Pikirnya, "Sejak dulu selalu diceritakan kalau Tuhan akan datang, mana buktinya?" Masalahnya bukan soal waktu atau kapan Tuhan akan datang, melainkan kesiapan kita menyambut hari itu.
Bagi orang percaya, yang mengasihi Tuhan dan sungguh-sungguh melayani Tuhan, hari kedatangan-Nya adalah hari yang sangat dinanti-nantikan, seperti seorang mempelai perempuan yang sudah tidak sabar menanti kedatangan sang mempelai laki-laki sorgawi, yang akan membawanya ke pesta perjamuan kawin Anak Domba. Tetapi bagi mereka yang tidak percaya dan hidup dalam dosa, kedatangan Tuhan akan seperti pencuri. Apa maksudnya? Hari kedatangan Tuhan akan menjadi hari yang sangat mengejutkan karena mereka dalam keadaan tidak siap. "Seperti ikan yang tertangkap dalam jala yang mencelakakan, dan seperti burung yang tertangkap dalam jerat, begitulah anak-anak manusia terjerat pada waktu yang malang, kalau hal itu menimpa mereka secara tiba-tiba." (Pengkhotbah 9:12b). Bagi mereka, kedatangan-Nya menjadi sebuah kerugian besar, karena mereka akan kehilangan segala-galanya: uang, kekayaan, popularitas, pangkat dan sebagainya yang selama ini dibangga-banggakan dan diandalkan. Segala gemerlap, kesenangan dan kenikmatan duniawi yang membuat mereka nyaman dan terlena harus mereka tinggalkan.
Akhirnya hari kedatangan Tuhan menjadi hari yang sangat menakutkan dan menyisakan penyesalan mendalam. Penghakiman, penderitaan dan penghukuman kekal juga siap menanti mereka yang selama hidupnya mengeraskan hati, tidak mau percaya kepada Tuhan Yesus dan menolak Injil Kristus.
Jangan sampai kedatangan Tuhan seperti pencuri yang mengejutkan kita! Maka jangan tunda-tunda waktu untuk bertobat! Bila terlambat, penyesalan tiada guna.
Saturday, March 12, 2016
MENYAMBUT KEDATANGAN TUHAN
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 12 Maret 2016
Baca: 1 Tesalonika 3:1-13
"Kiranya Dia menguatkan hatimu, supaya tak bercacat dan kudus, di hadapan Allah dan Bapa kita pada waktu kedatangan Yesus, Tuhan kita, dengan semua orang kudus-Nya." 1 Tesalonika 3:13
Berbicara tentang akhir zaman seringkali menjadikan orang penasaran, kapan sih Tuhan Yesus datang kembali? Yang menjadi persoalan bukan soal hari atau kapan Tuhan akan datang, tetapi bagaimana kesiapan orang percaya menyambut kedatangan-Nya itu. "...jika Anak Manusia itu datang, adakah Ia mendapati iman di bumi?" (Lukas 18:8). Dalam ajaran-Nya Tuhan Yesus berulangkali mengingatkan bahwa Dia akan pergi dan kemudian datang kembali untuk menjemput umat-Nya. "Dan apabila Aku telah pergi ke situ dan telah menyediakan tempat bagimu, Aku akan datang kembali dan membawa kamu ke tempat-Ku, supaya di tempat di mana Aku berada, kamupun berada." (Yohanes 14:3). Tanpa ditunda-tunda lagi Tuhan Yesus akan datang segera!
Apakah kita sudah siap menyambut kedatangan Tuhan? Selagi ada waktu dan kesempatan marilah kita mempersiapkan diri sebaik mungkin seperti lima gadis yang bijaksana. Adalah sia-sia menjadi orang Kristen sekian lama jika pada waktu Dia datang Dia menolak kita, sebab "Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga. Pada hari terakhir banyak orang akan berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi nama-Mu, dan mengusir setan demi nama-Mu, dan mengadakan banyak mujizat demi nama-Mu juga? Pada waktu itulah Aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari pada-Ku, kamu sekalian pembuat kejahatan!" (Matius 7:21-23).
Yang berhak masuk ke pesta perjamuan kawin Anak Domba adalah orang-orang percaya yang melakukan kehendak Bapa. Jadi kunci untuk dapat tinggal di tempat di mana Tuhan Yesus berada adalah ketaatan, bukan berapa lama kita menjadi Kristen atau seberapa aktif kita terlibat dalam pelayanan. Bagi orang percaya melayani Tuhan adalah sebua keharusan, tapi jika pelayanan itu hanya sebatas aktivitas jasmaniah, apalagi disertai motivasi tidak benar, maka pelayanannya tidak akan mendapatkan upah di sorga.
Tuhan datang untuk menjemput umat-Nya yang hidup dalam ketaatan!
Baca: 1 Tesalonika 3:1-13
"Kiranya Dia menguatkan hatimu, supaya tak bercacat dan kudus, di hadapan Allah dan Bapa kita pada waktu kedatangan Yesus, Tuhan kita, dengan semua orang kudus-Nya." 1 Tesalonika 3:13
Berbicara tentang akhir zaman seringkali menjadikan orang penasaran, kapan sih Tuhan Yesus datang kembali? Yang menjadi persoalan bukan soal hari atau kapan Tuhan akan datang, tetapi bagaimana kesiapan orang percaya menyambut kedatangan-Nya itu. "...jika Anak Manusia itu datang, adakah Ia mendapati iman di bumi?" (Lukas 18:8). Dalam ajaran-Nya Tuhan Yesus berulangkali mengingatkan bahwa Dia akan pergi dan kemudian datang kembali untuk menjemput umat-Nya. "Dan apabila Aku telah pergi ke situ dan telah menyediakan tempat bagimu, Aku akan datang kembali dan membawa kamu ke tempat-Ku, supaya di tempat di mana Aku berada, kamupun berada." (Yohanes 14:3). Tanpa ditunda-tunda lagi Tuhan Yesus akan datang segera!
Apakah kita sudah siap menyambut kedatangan Tuhan? Selagi ada waktu dan kesempatan marilah kita mempersiapkan diri sebaik mungkin seperti lima gadis yang bijaksana. Adalah sia-sia menjadi orang Kristen sekian lama jika pada waktu Dia datang Dia menolak kita, sebab "Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga. Pada hari terakhir banyak orang akan berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi nama-Mu, dan mengusir setan demi nama-Mu, dan mengadakan banyak mujizat demi nama-Mu juga? Pada waktu itulah Aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari pada-Ku, kamu sekalian pembuat kejahatan!" (Matius 7:21-23).
Yang berhak masuk ke pesta perjamuan kawin Anak Domba adalah orang-orang percaya yang melakukan kehendak Bapa. Jadi kunci untuk dapat tinggal di tempat di mana Tuhan Yesus berada adalah ketaatan, bukan berapa lama kita menjadi Kristen atau seberapa aktif kita terlibat dalam pelayanan. Bagi orang percaya melayani Tuhan adalah sebua keharusan, tapi jika pelayanan itu hanya sebatas aktivitas jasmaniah, apalagi disertai motivasi tidak benar, maka pelayanannya tidak akan mendapatkan upah di sorga.
Tuhan datang untuk menjemput umat-Nya yang hidup dalam ketaatan!
Friday, March 11, 2016
TUHAN SIAP MENOPANG KITA
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 11 Maret 2016
Baca: Yesaya 30:18-26
"dan telingamu akan mendengar perkataan ini dari belakangmu: 'Inilah jalan, berjalanlah mengikutinya,' entah kamu menganan atau mengiri." Yesaya 30:21
Dalam menempuh perjalanan hidup ini kita seringkali dihadapkan pada ujian, tantangan dan rintangan, dan tidak bisa dipungkiri hal itu membuat kita lemah, patah semangat dan frustasi. Saat berada di situasi sulit seperti itu terkadang kita baru menyadari bahwa kehadiran Tuhan dan pimpinan-Nya sangat kita butuhkan. Melalui firman-Nya Tuhan menuntun dan memimpin langkah kita, karena "Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku." (Mazmur 119:105). Firman Tuhan ibarat kompas yang memberikan arah ke mana kita harus melangkah dan berjalan.
Dalam memimpin langkah umat-Nya Tuhan tidak selalu berada di depan, terkadang Ia sepertinya meninggalkan kita, dan tidak mempedulikan kita, padahal sesungguhnya Ia berada tepat di belakang kita untuk mengawasi, mendukung dan menopang, dan bahkan menggendong kita ketika jalan yang kita tempuh itu jalan yang berkelok-kelok, tidak rata dan mungkin jalan itu tidak kita kenal. Karena itu kita tidak perlu takut dan kuatir sebab Tuhan selalu punya cara untuk memimpin kita, seperti seorang Gembala yang berjalan di depan dan kawanan domba mengikuti-Nya; tetapi terkadang juga Ia berada di belakang dan tak terlihat oleh kita. Mengapa Tuhan perlu berada di belakang kita? Karena Tuhan lebih tahu segala hal yang ada di depan kita. Itulah sebabnya kita perlu ditopang dan didorong agar terus maju. Ketika di depan ada rintangan biasanya kita mudah sekali menjadi lemah, putus asa dan menyerah di tengah jalan, itulah sebabnya Tuhan perlu menopang dan mendorong kita. Adakalanya Tuhan perlu berada di belakang, di mana kita tidak mudah melihat-Nya, supaya kita belajar percaya dan bergantung penuh kepada Tuhan. Jangan seperti Tomas yang baru mau percaya bila ia sudah melihat bukti secara kasat mata (baca Yohanes 20:25).
Tuhan mau kita belajar bergantung sepenuhnya kepada-Nya! Maksud Tuhan berada di belakang adalah hendak melatih iman kita. Relakan diri untuk dipimpin oleh Tuhan, sebab hanya Dialah yang tahu jalan mana yang harus kita tempuh.
Dari sudut mana pun Tuhan memimpin, "...Ia menuntun aku di jalan yang benar oleh karena nama-Nya." Mazmur 23:3
Baca: Yesaya 30:18-26
"dan telingamu akan mendengar perkataan ini dari belakangmu: 'Inilah jalan, berjalanlah mengikutinya,' entah kamu menganan atau mengiri." Yesaya 30:21
Dalam menempuh perjalanan hidup ini kita seringkali dihadapkan pada ujian, tantangan dan rintangan, dan tidak bisa dipungkiri hal itu membuat kita lemah, patah semangat dan frustasi. Saat berada di situasi sulit seperti itu terkadang kita baru menyadari bahwa kehadiran Tuhan dan pimpinan-Nya sangat kita butuhkan. Melalui firman-Nya Tuhan menuntun dan memimpin langkah kita, karena "Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku." (Mazmur 119:105). Firman Tuhan ibarat kompas yang memberikan arah ke mana kita harus melangkah dan berjalan.
Dalam memimpin langkah umat-Nya Tuhan tidak selalu berada di depan, terkadang Ia sepertinya meninggalkan kita, dan tidak mempedulikan kita, padahal sesungguhnya Ia berada tepat di belakang kita untuk mengawasi, mendukung dan menopang, dan bahkan menggendong kita ketika jalan yang kita tempuh itu jalan yang berkelok-kelok, tidak rata dan mungkin jalan itu tidak kita kenal. Karena itu kita tidak perlu takut dan kuatir sebab Tuhan selalu punya cara untuk memimpin kita, seperti seorang Gembala yang berjalan di depan dan kawanan domba mengikuti-Nya; tetapi terkadang juga Ia berada di belakang dan tak terlihat oleh kita. Mengapa Tuhan perlu berada di belakang kita? Karena Tuhan lebih tahu segala hal yang ada di depan kita. Itulah sebabnya kita perlu ditopang dan didorong agar terus maju. Ketika di depan ada rintangan biasanya kita mudah sekali menjadi lemah, putus asa dan menyerah di tengah jalan, itulah sebabnya Tuhan perlu menopang dan mendorong kita. Adakalanya Tuhan perlu berada di belakang, di mana kita tidak mudah melihat-Nya, supaya kita belajar percaya dan bergantung penuh kepada Tuhan. Jangan seperti Tomas yang baru mau percaya bila ia sudah melihat bukti secara kasat mata (baca Yohanes 20:25).
Tuhan mau kita belajar bergantung sepenuhnya kepada-Nya! Maksud Tuhan berada di belakang adalah hendak melatih iman kita. Relakan diri untuk dipimpin oleh Tuhan, sebab hanya Dialah yang tahu jalan mana yang harus kita tempuh.
Dari sudut mana pun Tuhan memimpin, "...Ia menuntun aku di jalan yang benar oleh karena nama-Nya." Mazmur 23:3
Thursday, March 10, 2016
JANGAN PERNAH MEREMEHKAN TUHAN
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 10 Maret 2016
Baca: Amsal 16:1-9
"Serahkanlah perbuatanmu kepada TUHAN, maka terlaksanalah segala rencanamu." Amsal 16:3
Salah satu sifat manusia adalah tidak mau dipandang remeh. Oleh sebab itu manusia berusaha mengatasi semua persoalan yang ada dengan kekuatan dan kemampuan sendiri. Biasanya yang bersikap demikian adalah orang-orang yang secara finasial cukup kuat alias kaya, atau mereka yang memiliki koneksi atau relasi dengan orang-orang 'besar'. Dengan mengandalkan kekuatan, kepintaran, uang atau harta, dan juga mengandalkan sesamanya, seringkali seseorang begitu mudahnya meremehkan Tuhan. Tak terkecuali orang Kristen, meskipun tampak setia beribadah dan melayani Tuhan, namun dalam kehidupan sehari-hari tanpa disadari mereka punya sikap yang meremehkan Tuhan.
Pengalaman dapat meloloskan diri dan mampu melewati berbagai kesulitan hidup dengan mengandalkan uang atau relasi membuat orang memandang kecil arti kehadiran Tuhan. Dalam diri mereka terbentuklah pola pikir baru: segala persoalan hidup dapat diselesaikan tanpa melibatkan Tuhan. Akhirnya mereka akan menempatkan materi sebagai sandaran dan andalan, padahal hidup manusia tidaklah bergantung pada uang atau harta kekayaan. "Siapa mempercayakan diri kepada kekayaannya akan jatuh;" (Amsal 11:28), apalagi mereka yang hidup mengandalkan sesamanya, suatu saat pasti akan kecewa, sebab manusia itu "... tidak lebih dari pada embusan nafas, dan sebagai apakah ia dapat dianggap?" (Yesaya 2:22). "Terkutuklah orang yang mengandalkan manusia, yang mengandalkan kekuatannya sendiri, dan yang hatinya menjauh dari pada TUHAN!" (Yeremia 17:5). Yesus sendiri menegaskan, "...di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa." (Yohanes 15:5b). Jika demikian, masihkan kita bersikeras mengandalkan kekuatan sendiri, tidak mau mengakui kebesaran kuasa Tuhan dan tetap meremehkan-Nya?
Orang yang senantiasa mengandalkan Tuhan dan melibatkan Dia di segala aspek kehidupan adalah yang menyadari tidak dapat berbuat apa-apa di luar Tuhan, sehingga tanpa malu mengatakan ia sangat membutuhkan Tuhan, karena hari-hari manusia sepenuhnya ada di tangan Tuhan, tiada hari yang tidak berada dalam kendali-Nya.
"Hati manusia memikir-mikirkan jalannya, tetapi TUHANlah yang menentukan arah langkahnya." Amsal 16:9
Baca: Amsal 16:1-9
"Serahkanlah perbuatanmu kepada TUHAN, maka terlaksanalah segala rencanamu." Amsal 16:3
Salah satu sifat manusia adalah tidak mau dipandang remeh. Oleh sebab itu manusia berusaha mengatasi semua persoalan yang ada dengan kekuatan dan kemampuan sendiri. Biasanya yang bersikap demikian adalah orang-orang yang secara finasial cukup kuat alias kaya, atau mereka yang memiliki koneksi atau relasi dengan orang-orang 'besar'. Dengan mengandalkan kekuatan, kepintaran, uang atau harta, dan juga mengandalkan sesamanya, seringkali seseorang begitu mudahnya meremehkan Tuhan. Tak terkecuali orang Kristen, meskipun tampak setia beribadah dan melayani Tuhan, namun dalam kehidupan sehari-hari tanpa disadari mereka punya sikap yang meremehkan Tuhan.
Pengalaman dapat meloloskan diri dan mampu melewati berbagai kesulitan hidup dengan mengandalkan uang atau relasi membuat orang memandang kecil arti kehadiran Tuhan. Dalam diri mereka terbentuklah pola pikir baru: segala persoalan hidup dapat diselesaikan tanpa melibatkan Tuhan. Akhirnya mereka akan menempatkan materi sebagai sandaran dan andalan, padahal hidup manusia tidaklah bergantung pada uang atau harta kekayaan. "Siapa mempercayakan diri kepada kekayaannya akan jatuh;" (Amsal 11:28), apalagi mereka yang hidup mengandalkan sesamanya, suatu saat pasti akan kecewa, sebab manusia itu "... tidak lebih dari pada embusan nafas, dan sebagai apakah ia dapat dianggap?" (Yesaya 2:22). "Terkutuklah orang yang mengandalkan manusia, yang mengandalkan kekuatannya sendiri, dan yang hatinya menjauh dari pada TUHAN!" (Yeremia 17:5). Yesus sendiri menegaskan, "...di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa." (Yohanes 15:5b). Jika demikian, masihkan kita bersikeras mengandalkan kekuatan sendiri, tidak mau mengakui kebesaran kuasa Tuhan dan tetap meremehkan-Nya?
Orang yang senantiasa mengandalkan Tuhan dan melibatkan Dia di segala aspek kehidupan adalah yang menyadari tidak dapat berbuat apa-apa di luar Tuhan, sehingga tanpa malu mengatakan ia sangat membutuhkan Tuhan, karena hari-hari manusia sepenuhnya ada di tangan Tuhan, tiada hari yang tidak berada dalam kendali-Nya.
"Hati manusia memikir-mikirkan jalannya, tetapi TUHANlah yang menentukan arah langkahnya." Amsal 16:9
Wednesday, March 9, 2016
TUHAN DI SETIAP RENCANA HIDUP
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 9 Maret 2016
Baca: Yakobus 4:13-17
"Jika Tuhan menghendakinya, kami akan hidup dan berbuat ini dan itu." Yakobus 4:15
Perencanaan adalah hal penting dalam menjalani sebuah kehidupan. Dengan perencanaan yang baik dan matang langkah hidup seseorang akan semakin teratur dan makin terarah kepada suatu sasaran yang hendak dituju. Hidup yang terencana adalah bukti bahwa seseorang sangat menghargai waktu dan semua potensi yang Tuhan berikan. Namun sebuah perencanaan jika tidak disertai tekad dan usaha mewujudkannya tidak akan lebih dari sekedar motto dan angan-angan belaka, karena orang yang berhasil adalah yang hidupnya terencana dengan baik dan punya kemauan keras mewujudkan rencananya.
Sebuah perencanaan hidup akan semakin sempurna apabila Tuhan terlibat di dalamnya. Yakobus mengingatkan agar jangan pernah kita melupakan Tuhan dalam setiap perencanaan hidup. Di zaman yang serba modern ini kebanyakan orang tidak lagi melibatkan Tuhan dalam setiap perencanaan hidup, karena merasa diri mampu menentukan langkah hidupnya. Dengan pengalaman, kepintaran, kekuatan, kecanggihan teknologi, uang atau kekayaan yang dimiliki mereka mengira bahwa semua yang direncanakan pasti akan berhasil. "Segala jalan orang adalah bersih menurut pandangannya sendiri, tetapi Tuhanlah yang menguji hati." (Amsal 16:2). Orang yang melupakan Tuhan dalam setiap rencana hidupnya sama artinya meremehkan Tuhan, mengabaikan kehadiran-Nya, menganggap seolah-olah Tuhan tidak ada dan tidak punya kuasa. Yang menjadi akar persoalan adalah kesombongan.
Orang yang sombong dan angkuh meyakini bahwa ia mampu mengatasi semua persoalan hidupnya dengan kekuatan yang dimiliki, padahal ada banyak hal di dunia ini yang unpredictable. Apa yang akan terjadi esok, lusa, minggu depan, bulan depan, tahun depan? Tak seorang pun tahu. "Janganlah memuji diri karena esok hari, karena engkau tidak tahu apa yang akan terjadi hari itu." (Amsal 27:1). Kehidupan ini tidak selurus dan semulus yang kita bayangkan, terkadang ada 'kejutan-kejutan' yang tidak pernah kita harapkan, sementara kita hanya bisa menduga-duga dan mengira.
"Banyaklah rancangan di hati manusia, tetapi keputusan TUHANlah yang terlaksana." Amsal 19:21
Baca: Yakobus 4:13-17
"Jika Tuhan menghendakinya, kami akan hidup dan berbuat ini dan itu." Yakobus 4:15
Perencanaan adalah hal penting dalam menjalani sebuah kehidupan. Dengan perencanaan yang baik dan matang langkah hidup seseorang akan semakin teratur dan makin terarah kepada suatu sasaran yang hendak dituju. Hidup yang terencana adalah bukti bahwa seseorang sangat menghargai waktu dan semua potensi yang Tuhan berikan. Namun sebuah perencanaan jika tidak disertai tekad dan usaha mewujudkannya tidak akan lebih dari sekedar motto dan angan-angan belaka, karena orang yang berhasil adalah yang hidupnya terencana dengan baik dan punya kemauan keras mewujudkan rencananya.
Sebuah perencanaan hidup akan semakin sempurna apabila Tuhan terlibat di dalamnya. Yakobus mengingatkan agar jangan pernah kita melupakan Tuhan dalam setiap perencanaan hidup. Di zaman yang serba modern ini kebanyakan orang tidak lagi melibatkan Tuhan dalam setiap perencanaan hidup, karena merasa diri mampu menentukan langkah hidupnya. Dengan pengalaman, kepintaran, kekuatan, kecanggihan teknologi, uang atau kekayaan yang dimiliki mereka mengira bahwa semua yang direncanakan pasti akan berhasil. "Segala jalan orang adalah bersih menurut pandangannya sendiri, tetapi Tuhanlah yang menguji hati." (Amsal 16:2). Orang yang melupakan Tuhan dalam setiap rencana hidupnya sama artinya meremehkan Tuhan, mengabaikan kehadiran-Nya, menganggap seolah-olah Tuhan tidak ada dan tidak punya kuasa. Yang menjadi akar persoalan adalah kesombongan.
Orang yang sombong dan angkuh meyakini bahwa ia mampu mengatasi semua persoalan hidupnya dengan kekuatan yang dimiliki, padahal ada banyak hal di dunia ini yang unpredictable. Apa yang akan terjadi esok, lusa, minggu depan, bulan depan, tahun depan? Tak seorang pun tahu. "Janganlah memuji diri karena esok hari, karena engkau tidak tahu apa yang akan terjadi hari itu." (Amsal 27:1). Kehidupan ini tidak selurus dan semulus yang kita bayangkan, terkadang ada 'kejutan-kejutan' yang tidak pernah kita harapkan, sementara kita hanya bisa menduga-duga dan mengira.
"Banyaklah rancangan di hati manusia, tetapi keputusan TUHANlah yang terlaksana." Amsal 19:21
Subscribe to:
Posts (Atom)