Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 21 Juli 2015
Baca: 2 Korintus 11:1-6
"Sebab aku cemburu kepada kamu dengan cemburu ilahi. Karena aku telah
mempertunangkan kamu kepada satu laki-laki untuk membawa kamu sebagai
perawan suci kepada Kristus." 2 Korintus 11:2
Rasa cemburu yang dirasakan Saul berbeda dengan kecemburuan yang dialami oleh rasul Paulus. Kecemburuan Saul jelas-jelas negatif karena didasari rasa iri hati, kurang senang atau sirik yang mendorongnya melakukan tindakan jahat. Sementara kecemburuan Paulus memiliki makna yang positif karena kecemburuan Paulus adalah kecemburuan ilahi. Rasa ini timbul sebagai bentuk kepedulian Paulus terhadap jemaat di Korintus. "Tetapi aku takut, kalau-kalau pikiran kamu disesatkan dari kesetiaan
kamu yang sejati kepada Kristus, sama seperti Hawa diperdayakan oleh
ular itu dengan kelicikannya." (ayat 3). Rasul Paulus telah menangkap sinyal-sinyal ketidakberesan terjadi di antara jemaat di Korintus, dimana mereka tidak lagi setia kepada Tuhan yang benar. Mereka mulai berpaling dari Tuhan dan telah mendua hati, padahal keberadaan orang percaya sesungguhnya adalah sebagai tunangan Kristus, calon mempelai Kristus.
Pernyataan "...Sebab kamu sabar saja, jika ada seorang datang memberitakan Yesus yang
lain dari pada yang telah kami beritakan, atau memberikan kepada kamu
roh yang lain dari pada yang telah kamu terima atau Injil yang lain dari
pada yang telah kamu terima." (ayat 4) mengindikasikan bahwa telah terjadi perzinahan rohani dalam diri jemaat, dan bukti bahwa mereka tidak lagi memiliki kemurnian hati dalam mengiring Tuhan karena mereka telah melakukan kompromi dengn menerima 'Yesus' yang lain, 'Injil' yang lain dan roh yang lain. Hal inilah yang membangkitkan kecemburuan Tuhan, karena "Roh yang ditempatkan Allah di dalam diri kita, diingini-Nya dengan cemburu!" (Yakobus 4:5).
Tuhan tidak menghendaki umat pilihan-Nya, milik kepunyaan-Nya dan yang sangat dikasihi-Nya malah berpaling dari Dia dan memilih untuk berkompromi dengan dunia ini. Sebagai calon mempelai Kristus seharusnya engkau punya komitmen untuk menjaga kesucian hidupmu, supaya ketika Tuhan datang untuk menjemputmu "...kamu kedapatan tak bercacat dan tak bernoda di hadapan-Nya," (2 Petrus 3:14).
Kecemburuan Tuhan kepada umat-Nya adalah bukti bahwa Ia sangat mengasihimu, dan karena kasih-Nya Ia rela mati bagimu, masakan engkau mendua hati?
Tuesday, July 21, 2015
Monday, July 20, 2015
TERBAKAR API CEMBURU
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 20 Juli 2015
Baca: 1 Samuel 18:6-30
"Saul melemparkan tombak itu, karena pikirnya: 'Baiklah aku menancapkan Daud ke dinding.' Tetapi Daud mengelakkannya sampai dua kali." 1 Samuel 18:11
Mendengar kata cemburu di pemikiran kita pasti terlintas suatu makna yang negatif, karena menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata cemburu memang memiliki arti: merasa kurang senang melihat orang lain beruntung, sirik, curiga karena iri hati, atau perasaan iri hati terhadap seseorang yang memiliki sesuatu yang tidak kita miliki. Sering kita jumpai dalam kehidupan ini ada banyak kasus kriminalitas terjadi atau orang nekad melakukan perbuatan jahat terhadap orang lain karena mereka terbakar api cemburu.
Ketika Saul dan Daud kembali dari berperang dan mengalahkan musuh-musuh mereka, "...keluarlah orang-orang perempuan dari segala kota Israel menyongsong raja Saul sambil menyanyi dan menari-nari dengan memukul rebana, dengan bersukaria dan dengan membunyikan gerincing; dan perempuan yang menari-nari itu menyanyi berbalas-balasan, katanya: 'Saul mengalahkan beribu-ribu musuh, tetapi Daud berlaksa-laksa.' Lalu bangkitlah amarah Saul dengan sangat; dan perkataan itu menyebalkan hatinya, sebab pikirnya: 'Kepada Daud diperhitungkan mereka berlaksa-laksa, tetapi kepadaku diperhitungkannya beribu-ribu; akhir-akhirnya jabatan raja itupun jatuh kepadanya.' Sejak hari itu maka Saul selalu mendengki Daud." (1 Samuel 18:6-9). Karena para perempuan lebih memuji-muji Daud, cemburu timbul dalam diri Saul. Ia (Saul) tidak dapat menerima kenyataan bahwa sebagai raja ia hanya beroleh pujian yang jauh lebih sedikit dibandingkan dengan pujian yang ditujukan kepada Daud.
Berawal dari rasa cemburu inilah hati dan pikiran Saul dipenuhi oleh rancangan-rancangan yang jahat. Saul berusaha menghalalkan segala cara untuk menghancurkan hidup Daud, di antaranya: Saul melemparkan tombaknya ke arah Daud ketika Daud sedang main kecapi (ayat 10-11); Saul mengangkat Daud menjadi kepala pasukan seribu sehingga ia harus berada di barisan terdepan dalam perang (ayat 13); Saul memberikan Mikhal kepada Daud (ayat 20:21); namun semua usaha Saul gagal total. Sebaliknya "Daud berhasil di segala perjalanannya, sebab TUHAN menyertai dia." (ayat 14).
Alkitab menyatakan berawal dari rasa cemburu, sampai akhir hidupnya pun Saul tetap menyimpan dendam dan kebencian terhadap Daud.
Baca: 1 Samuel 18:6-30
"Saul melemparkan tombak itu, karena pikirnya: 'Baiklah aku menancapkan Daud ke dinding.' Tetapi Daud mengelakkannya sampai dua kali." 1 Samuel 18:11
Mendengar kata cemburu di pemikiran kita pasti terlintas suatu makna yang negatif, karena menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata cemburu memang memiliki arti: merasa kurang senang melihat orang lain beruntung, sirik, curiga karena iri hati, atau perasaan iri hati terhadap seseorang yang memiliki sesuatu yang tidak kita miliki. Sering kita jumpai dalam kehidupan ini ada banyak kasus kriminalitas terjadi atau orang nekad melakukan perbuatan jahat terhadap orang lain karena mereka terbakar api cemburu.
Ketika Saul dan Daud kembali dari berperang dan mengalahkan musuh-musuh mereka, "...keluarlah orang-orang perempuan dari segala kota Israel menyongsong raja Saul sambil menyanyi dan menari-nari dengan memukul rebana, dengan bersukaria dan dengan membunyikan gerincing; dan perempuan yang menari-nari itu menyanyi berbalas-balasan, katanya: 'Saul mengalahkan beribu-ribu musuh, tetapi Daud berlaksa-laksa.' Lalu bangkitlah amarah Saul dengan sangat; dan perkataan itu menyebalkan hatinya, sebab pikirnya: 'Kepada Daud diperhitungkan mereka berlaksa-laksa, tetapi kepadaku diperhitungkannya beribu-ribu; akhir-akhirnya jabatan raja itupun jatuh kepadanya.' Sejak hari itu maka Saul selalu mendengki Daud." (1 Samuel 18:6-9). Karena para perempuan lebih memuji-muji Daud, cemburu timbul dalam diri Saul. Ia (Saul) tidak dapat menerima kenyataan bahwa sebagai raja ia hanya beroleh pujian yang jauh lebih sedikit dibandingkan dengan pujian yang ditujukan kepada Daud.
Berawal dari rasa cemburu inilah hati dan pikiran Saul dipenuhi oleh rancangan-rancangan yang jahat. Saul berusaha menghalalkan segala cara untuk menghancurkan hidup Daud, di antaranya: Saul melemparkan tombaknya ke arah Daud ketika Daud sedang main kecapi (ayat 10-11); Saul mengangkat Daud menjadi kepala pasukan seribu sehingga ia harus berada di barisan terdepan dalam perang (ayat 13); Saul memberikan Mikhal kepada Daud (ayat 20:21); namun semua usaha Saul gagal total. Sebaliknya "Daud berhasil di segala perjalanannya, sebab TUHAN menyertai dia." (ayat 14).
Alkitab menyatakan berawal dari rasa cemburu, sampai akhir hidupnya pun Saul tetap menyimpan dendam dan kebencian terhadap Daud.
Sunday, July 19, 2015
AJARI ANAK DENGAN FIRMAN
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 19 Juli 2015
Baca: Amsal 22:1-16
"Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanyapun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu." Amsal 22:6
Melalui hamba-Nya, Musa, Tuhan memberikan perintah kepada bangsa Israel supaya para orangtua bersungguh-sungguh hati mendidik dan mengajarkan nilai-nilai kebenaran kepada anak-anak mereka. Musa pun menyampaikannya kepada umat Israel, "Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun." (Ulangan 6:6-7).
Mengapa orangtua harus mengajarkan firman Tuhan kepada anak-anaknya? Supaya anak mereka memiliki pengenalan yang benar tentang Tuhan, "Sebab Aku menyukai kasih setia, dan bukan korban sembelihan, dan menyukai pengenalan akan Allah, lebih dari pada korban-korban bakaran." (Hosea 6:6), yaitu Tuhan yang telah membawa bangsa Israel keluar dari perbudakannya di Mesir; Tuhan memimpin dan memelihara hidup bangsa Israel secara ajaib selama 40 tahun di padang gurun hingga sampai ke Tanah Perjanjian. Hal mengajarkan firman Tuhan kepada anak tidak bisa dilakukan sekali, dua kali, seminggu atau sebulan, tetapi harus secara berulang-ulang: saat duduk di rumah, dalam perjalanan, saat hendak tidur di malam hari atau saat bangun di pagi hari, artinya di segala waktu, bukan musiman, di mana pun berada, tidak dibatasi tempat dan waktu, dan tidak boleh jemu-jemu. Sesibuk apa pun aktivitas orangtua tidak ada alasan untuk tidak mengajarkan dan menanamkan nilai-nilai kebenaran kepada anak.
Mengapa kita harus intensif mengajarkan firman Tuhan kepada anak-anak? Supaya iman mereka makin bertumbuh dan sehat secara rohani. "Dengan apakah seorang muda mempertahankan kelakuannya bersih? Dengan menjaganya sesuai dengan firman-Mu." (Mazmur 119:9), sehingga di masa dewasanya mreka tidak hidup menyimpang dari jalan Tuhan. Ada banyak sekali kisah inspiratif di dalam Alkitab yang patut diajarkan dan diceritakan kepada anak-anak.
Tidak ada alasan bagi orangtua kehabisan bahan atau materi untuk mengajar dan mendidik anak, karena Alkitab lebih dari cukup!
Baca: Amsal 22:1-16
"Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanyapun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu." Amsal 22:6
Melalui hamba-Nya, Musa, Tuhan memberikan perintah kepada bangsa Israel supaya para orangtua bersungguh-sungguh hati mendidik dan mengajarkan nilai-nilai kebenaran kepada anak-anak mereka. Musa pun menyampaikannya kepada umat Israel, "Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun." (Ulangan 6:6-7).
Mengapa orangtua harus mengajarkan firman Tuhan kepada anak-anaknya? Supaya anak mereka memiliki pengenalan yang benar tentang Tuhan, "Sebab Aku menyukai kasih setia, dan bukan korban sembelihan, dan menyukai pengenalan akan Allah, lebih dari pada korban-korban bakaran." (Hosea 6:6), yaitu Tuhan yang telah membawa bangsa Israel keluar dari perbudakannya di Mesir; Tuhan memimpin dan memelihara hidup bangsa Israel secara ajaib selama 40 tahun di padang gurun hingga sampai ke Tanah Perjanjian. Hal mengajarkan firman Tuhan kepada anak tidak bisa dilakukan sekali, dua kali, seminggu atau sebulan, tetapi harus secara berulang-ulang: saat duduk di rumah, dalam perjalanan, saat hendak tidur di malam hari atau saat bangun di pagi hari, artinya di segala waktu, bukan musiman, di mana pun berada, tidak dibatasi tempat dan waktu, dan tidak boleh jemu-jemu. Sesibuk apa pun aktivitas orangtua tidak ada alasan untuk tidak mengajarkan dan menanamkan nilai-nilai kebenaran kepada anak.
Mengapa kita harus intensif mengajarkan firman Tuhan kepada anak-anak? Supaya iman mereka makin bertumbuh dan sehat secara rohani. "Dengan apakah seorang muda mempertahankan kelakuannya bersih? Dengan menjaganya sesuai dengan firman-Mu." (Mazmur 119:9), sehingga di masa dewasanya mreka tidak hidup menyimpang dari jalan Tuhan. Ada banyak sekali kisah inspiratif di dalam Alkitab yang patut diajarkan dan diceritakan kepada anak-anak.
Tidak ada alasan bagi orangtua kehabisan bahan atau materi untuk mengajar dan mendidik anak, karena Alkitab lebih dari cukup!
Saturday, July 18, 2015
MENGAMPUNI: Tidak Mengingat Kesalahan
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 18 Juli 2015
Baca: Matius 18:21-35
"Maka Bapa-Ku yang di sorga akan berbuat demikian juga terhadap kamu, apabila kamu masing-masing tidak mengampuni saudaramu dengan segenap hatimu." Matius 18:35
Kalau Tuhan sudah membuang jauh-jauh segala dosa dan pelanggaran kita sejauh timur dari barat, bahkan firman-Nya berkata: "Sekalipun dosamu merah seperti kirmizi, akan menjadi putih seperti salju; sekalipun berwarna merah seperti kain kesumba, akan menjadi putih seperti bulu domba." (Yesaya 1:18), namun kita yang telah diampuni dosa-dosanya oleh Tuhan seringkali sulit mengampuni orang lain dengan sepenuh hati. Kita masih saja mengingat-ingat kesalahan orang lain, mengungkit-ungkit apa yang telah orang lain perbuat terhadap kita, bahkan kita terus membicarakannya.
Bila kita mengatakan bahwa kita sudah mengampuni orang lain berarti kita melakukan apa yang Tuhan sudah teladankan yaitu membuang jauh kesalahan dan pelanggaran orang lain terhadap kita, serta tidak mengingat-ingatnya lagi. Ketika kita mengambil keputusan untuk mengampuni orang lain berarti kita juga bertekad untuk tidak lagi menyimpan luka dan sakit hati. Kasih itu "...tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia menutupi segala sesuatu," (1 Korintus 13:5b, 7). Mengampuni berarti mempraktekkan kuasa pengampunan yang telah kita terima dari Tuhan, dan melepaskannya kepada orang lain.
Mengampuni dan tidak lagi mengingat-ingat kesalahan orang seperti dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan, saling terkait satu sama lain. Jika kita masih mengingat-ingat perbuatan jahat seseorang, bagaimana ia menyakiti kita, bagaimana ia mengecewakan kita, bagaimana ia melukai kita, itu sama artinya kita belum sepenuh hati mengampuni, padahal mengampuni adalah salah satu jalan untuk kita beroleh pengampunan dari Tuhan. Ada tertulis: "...jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di sorga akan mengampuni kamu juga. Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu." (Matius 6:14-15); artinya pengampunan yang kita peroleh dari Tuhan tidak dapat dipisahkan dari kewajiban kita mengampuni orang lain, sebab mengampuni adalah perintah Tuhan.
Syarat mutlak mendapat pengampunan dari Tuhan adalah harus mengampuni orang lain juga!
Baca: Matius 18:21-35
"Maka Bapa-Ku yang di sorga akan berbuat demikian juga terhadap kamu, apabila kamu masing-masing tidak mengampuni saudaramu dengan segenap hatimu." Matius 18:35
Kalau Tuhan sudah membuang jauh-jauh segala dosa dan pelanggaran kita sejauh timur dari barat, bahkan firman-Nya berkata: "Sekalipun dosamu merah seperti kirmizi, akan menjadi putih seperti salju; sekalipun berwarna merah seperti kain kesumba, akan menjadi putih seperti bulu domba." (Yesaya 1:18), namun kita yang telah diampuni dosa-dosanya oleh Tuhan seringkali sulit mengampuni orang lain dengan sepenuh hati. Kita masih saja mengingat-ingat kesalahan orang lain, mengungkit-ungkit apa yang telah orang lain perbuat terhadap kita, bahkan kita terus membicarakannya.
Bila kita mengatakan bahwa kita sudah mengampuni orang lain berarti kita melakukan apa yang Tuhan sudah teladankan yaitu membuang jauh kesalahan dan pelanggaran orang lain terhadap kita, serta tidak mengingat-ingatnya lagi. Ketika kita mengambil keputusan untuk mengampuni orang lain berarti kita juga bertekad untuk tidak lagi menyimpan luka dan sakit hati. Kasih itu "...tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia menutupi segala sesuatu," (1 Korintus 13:5b, 7). Mengampuni berarti mempraktekkan kuasa pengampunan yang telah kita terima dari Tuhan, dan melepaskannya kepada orang lain.
Mengampuni dan tidak lagi mengingat-ingat kesalahan orang seperti dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan, saling terkait satu sama lain. Jika kita masih mengingat-ingat perbuatan jahat seseorang, bagaimana ia menyakiti kita, bagaimana ia mengecewakan kita, bagaimana ia melukai kita, itu sama artinya kita belum sepenuh hati mengampuni, padahal mengampuni adalah salah satu jalan untuk kita beroleh pengampunan dari Tuhan. Ada tertulis: "...jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di sorga akan mengampuni kamu juga. Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu." (Matius 6:14-15); artinya pengampunan yang kita peroleh dari Tuhan tidak dapat dipisahkan dari kewajiban kita mengampuni orang lain, sebab mengampuni adalah perintah Tuhan.
Syarat mutlak mendapat pengampunan dari Tuhan adalah harus mengampuni orang lain juga!
Friday, July 17, 2015
KASIH TUHAN: Dasar Pengampunan (2)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 17 Juli 2015
Baca: Lukas 6:27-36
"Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu;" Lukas 6:27
Banyak di antara orang Kristen yang merasa diri tidak sanggup jika harus mengasihi musuh. Memang, dengan kekuatan sendiri sampai kapan pun kita akan sulit mengasihi orang yang membenci, menyakiti atau melukai kita. Jika demikian perlu sekali kita belajar dari apa yang telah Tuhan Yesus perbuat saat Ia disalibkan. Terhadap orang-orang yang menganiaya, menghina, melecehkan, meludahi, menyiksa, mendera, menikam dan menyalibkan-Nya Dia tidak membalas sedikit pun, sebaliknya Ia malah berdoa dan memohonkan pengampunan bagi mereka, "Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat." (Lukas 23:34).
Berbicara tentang kasih berarti berbicara soal hati dan roh, karena kasih yang sempurna adalah kasih yang keluar dari ketulusan hati yang terdalam karena dorongan kuasa Roh Kudus. Karena itu kasih yang sempurna hanya bisa dilakukan oleh orang percaya yang sudah mengalami kelahiran baru. Namun mengapa banyak orang Kristen sulit mengasihi dan mengampuni? Ini terjadi karena kita salah dalam memahami konsep mengasihi. Seringkali kita beranggapan bahwa kekuatan untuk mengasihi orang lain itu berasal dari dalam diri kita, padahal firman Tuhan dengan jelas menyatakan bahwa kasih itu berasal dari Allah. Jadi jikalau kita mampu mengasihi dan melepaskan pengampunan kepada orang lain, itu karena kasih dari Allah mengalir di dalam kita dan kita ada di dalam Dia. "Allah adalah kasih, dan barangsiapa tetap berada di dalam kasih, ia tetap berada di dalam Allah dan Allah di dalam dia." (1 Yohanes 4:16b). Dari pihak kita hanya dibutuhkan kemauan, sedangkan kemampuan itu diberikan oleh Allah melalui Roh Kudus-Nya. "Sebab Allah memberikan kepada kita bukan roh ketakutan, melainkan roh yang membangkitkan kekuatan, kasih dan ketertiban." (2 Timotius 1:7). Roh Kudus yang ada di dalam kita itulah yang memampukan kita mengasihi dan mengampuni.
Kalau sampai hari ini kita merasa berat dan sulit mengasihi dan mengampuni orang lain, mungkin kita belum tinggal sepenuhnya di dalam kasih Allah dan belum merasakan sendiri pengampunan dari Tuhan.
Bukankah Tuhan Yesus sudah mengampuni kita melalui kematian-Nya di kayu salib? Masakan kita tidak mau mengampuni orang lain?
Baca: Lukas 6:27-36
"Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu;" Lukas 6:27
Banyak di antara orang Kristen yang merasa diri tidak sanggup jika harus mengasihi musuh. Memang, dengan kekuatan sendiri sampai kapan pun kita akan sulit mengasihi orang yang membenci, menyakiti atau melukai kita. Jika demikian perlu sekali kita belajar dari apa yang telah Tuhan Yesus perbuat saat Ia disalibkan. Terhadap orang-orang yang menganiaya, menghina, melecehkan, meludahi, menyiksa, mendera, menikam dan menyalibkan-Nya Dia tidak membalas sedikit pun, sebaliknya Ia malah berdoa dan memohonkan pengampunan bagi mereka, "Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat." (Lukas 23:34).
Berbicara tentang kasih berarti berbicara soal hati dan roh, karena kasih yang sempurna adalah kasih yang keluar dari ketulusan hati yang terdalam karena dorongan kuasa Roh Kudus. Karena itu kasih yang sempurna hanya bisa dilakukan oleh orang percaya yang sudah mengalami kelahiran baru. Namun mengapa banyak orang Kristen sulit mengasihi dan mengampuni? Ini terjadi karena kita salah dalam memahami konsep mengasihi. Seringkali kita beranggapan bahwa kekuatan untuk mengasihi orang lain itu berasal dari dalam diri kita, padahal firman Tuhan dengan jelas menyatakan bahwa kasih itu berasal dari Allah. Jadi jikalau kita mampu mengasihi dan melepaskan pengampunan kepada orang lain, itu karena kasih dari Allah mengalir di dalam kita dan kita ada di dalam Dia. "Allah adalah kasih, dan barangsiapa tetap berada di dalam kasih, ia tetap berada di dalam Allah dan Allah di dalam dia." (1 Yohanes 4:16b). Dari pihak kita hanya dibutuhkan kemauan, sedangkan kemampuan itu diberikan oleh Allah melalui Roh Kudus-Nya. "Sebab Allah memberikan kepada kita bukan roh ketakutan, melainkan roh yang membangkitkan kekuatan, kasih dan ketertiban." (2 Timotius 1:7). Roh Kudus yang ada di dalam kita itulah yang memampukan kita mengasihi dan mengampuni.
Kalau sampai hari ini kita merasa berat dan sulit mengasihi dan mengampuni orang lain, mungkin kita belum tinggal sepenuhnya di dalam kasih Allah dan belum merasakan sendiri pengampunan dari Tuhan.
Bukankah Tuhan Yesus sudah mengampuni kita melalui kematian-Nya di kayu salib? Masakan kita tidak mau mengampuni orang lain?
Thursday, July 16, 2015
KASIH TUHAN: Dasar Pengampunan (1)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 16 Juli 2015
Baca: 1 Yohanes 4:7-21
"Saudara-saudaraku yang kekasih, jikalau Allah sedemikian mengasihi kita, maka haruslah kita juga saling mengasihi." 1 Yohanes 4:11
Alkitab menyatakan bahwa, "...kasih itu berasal dari Allah; dan setiap orang yang mengasihi, lahir dari Allah dan mengenal Allah. Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih." (1 Yohanes 4:7-8). Pernyataan 'Allah adalah kasih' berarti kasih itu sumbernya dari Allah, dan karena Dia adalah sumber kasih, Ia tidak mungkin kekurangan kasih. Pernyataan 'Allah adalah kasih' juga berarti bahwa Ia tidak dapat dipisahkan dari sifat dasarnya yaitu kasih. Itulah sebabnya Allah Mahapengasih, Mahapenyayang dan Mahapengampun. Jadi, "Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita." (1 Yohanes 4:10).
Adapun kasih Allah kepada kita adalah kasih yang tak bersyarat, buktinya: "...Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa." (Roma 5:8). Ini menunjukkan bahwa Allah mengasihi kita apa pun dan bagaimana pun keadaan kita, bahkan "sejauh timur dari barat, demikian dijauhkan-Nya dari pada kita pelanggaran kita." (Mazmur 103:12). Kita tahu bahwa 'timur dan barat' tidak akan pernah bertemu. Ini adalah gambaran pengampunan Allah: bila Ia menyingkirkan, menjauhkan, dan tidak mengingat-ingatnya lagi. Jelas sekali bahwa walaupun kita berdosa Allah tetap mengasihi kita. Karena Allah adalah kasih maka kasih merupakan hal yang sangat utama dalam kekristenan, itulah sebabnya Allah menghendaki agar anak-anak-Nya mewarisi karakter kasih ini. "...jikalau Allah sedemikian mengasihi kita, maka haruslah kita juga saling mengasihi." (ayat nas).
Kita mengasihi bukan hanya kepada orang lain yang mengasihi kita, tetapi juga terhadap musuh atau orang yang menyakiti kita sekalipun. Tuhan Yesus berkata, "Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar." (Matius 5:44-45).
"Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita." 1 Yohanes 4:19
Baca: 1 Yohanes 4:7-21
"Saudara-saudaraku yang kekasih, jikalau Allah sedemikian mengasihi kita, maka haruslah kita juga saling mengasihi." 1 Yohanes 4:11
Alkitab menyatakan bahwa, "...kasih itu berasal dari Allah; dan setiap orang yang mengasihi, lahir dari Allah dan mengenal Allah. Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih." (1 Yohanes 4:7-8). Pernyataan 'Allah adalah kasih' berarti kasih itu sumbernya dari Allah, dan karena Dia adalah sumber kasih, Ia tidak mungkin kekurangan kasih. Pernyataan 'Allah adalah kasih' juga berarti bahwa Ia tidak dapat dipisahkan dari sifat dasarnya yaitu kasih. Itulah sebabnya Allah Mahapengasih, Mahapenyayang dan Mahapengampun. Jadi, "Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita." (1 Yohanes 4:10).
Adapun kasih Allah kepada kita adalah kasih yang tak bersyarat, buktinya: "...Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa." (Roma 5:8). Ini menunjukkan bahwa Allah mengasihi kita apa pun dan bagaimana pun keadaan kita, bahkan "sejauh timur dari barat, demikian dijauhkan-Nya dari pada kita pelanggaran kita." (Mazmur 103:12). Kita tahu bahwa 'timur dan barat' tidak akan pernah bertemu. Ini adalah gambaran pengampunan Allah: bila Ia menyingkirkan, menjauhkan, dan tidak mengingat-ingatnya lagi. Jelas sekali bahwa walaupun kita berdosa Allah tetap mengasihi kita. Karena Allah adalah kasih maka kasih merupakan hal yang sangat utama dalam kekristenan, itulah sebabnya Allah menghendaki agar anak-anak-Nya mewarisi karakter kasih ini. "...jikalau Allah sedemikian mengasihi kita, maka haruslah kita juga saling mengasihi." (ayat nas).
Kita mengasihi bukan hanya kepada orang lain yang mengasihi kita, tetapi juga terhadap musuh atau orang yang menyakiti kita sekalipun. Tuhan Yesus berkata, "Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar." (Matius 5:44-45).
"Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita." 1 Yohanes 4:19
Wednesday, July 15, 2015
MEMPERLAKUKAN MUSUH DENGAN KASIH
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 15 Juli 2015
Baca: Matius 5:44-48
"Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu." Matius 5:44
Cara yang tepat dalam memperlakukan musuh adalah menunjukkan kasih dan kemurahan hati kepadanya. Tatkala kita menunjukkan kasih, pengampunan, dan kemurahan hati kepada musuh, sesungguhnya kita telah mengejutkan dia, dan dengan tidak melukainya kita telah mengubah dia dari seorang musuh menjadi teman.
Yusuf adalah teladan dalam hal mengasihi musuh. Karena iri hati dan dengki saudara-saudaranya tega membuang Yusuf ke dalam sumur dan menjualnya sebagai budak ke Mesir, yang kemudian menghantarkannya masuk penjara. Namun karena campur tangan Tuhan, kehidupan Yusuf diubahkan: dari seorang budak dan tahanan menjadi seorang penguasa di Mesir. Ketika terjadi kelaparan hebat pergilah saudara-saudara Yusuf ke Mesir demi mendapatkan gandum. Bertemulah Yusuf dengan saudara-saudaranya yang telah menyakiti dan membencinya, tapi keadaan berbeda, Yusuf sudah menjadi penguasa atau orang ke-2 di Mesir. Apa yang diperbuat Yusuf? Bukankah ini kesempatan emas baginya untuk membalas dendam, membalas semua perlakuan mereka di masa lalu? Ternyata Yusuf tidak melakukan hal yang demikian. Ketika bertemu dengan saudara-saudaranya Yusuf justru mendemonstrasikan kasih dan kemurahan hatinya. "...janganlah bersusah hati dan janganlah menyesali diri, karena kamu menjual aku ke sini, sebab untuk memelihara kehidupanlah Allah menyuruh aku mendahului kamu." (Kejadian 45:5), lalu "Yusuf mencium semua saudaranya itu dengan mesra dan ia menangis sambil memeluk mereka." (Kejadian 45:15).
Kasih adalah inti dari Injil dan kekristenan, karena itu sebagai pengikut Kristus kita harus mengikuti jejak Tuhan Yesus dan menjadikan kasih sebagai gaya hidup sehari-hari, sebab "Barangsiapa mengatakan, bahwa ia ada di dalam Dia, ia wajib hidup sama seperti Kristus telah hidup." (1 Yohanes 2:6). Di tengah dunia yang penuh kejahatan, di mana orang suka menerapkan prinsip pembalasan dendam, orang percaya justru dituntut menjadi pribadi yang berbeda dari dunia ini. Kita ditugasi untuk menjadi saluran kasih kepada orang lain sekalipun kita dibenci dan dimusuhi sebagai balasannya.
Kasih dibalas dengan kasih adalah hal biasa, namun bila benci dibalas dengan kasih itu luar biasa, dan itulah yang harus dilakukan oleh orang percaya!
Baca: Matius 5:44-48
"Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu." Matius 5:44
Cara yang tepat dalam memperlakukan musuh adalah menunjukkan kasih dan kemurahan hati kepadanya. Tatkala kita menunjukkan kasih, pengampunan, dan kemurahan hati kepada musuh, sesungguhnya kita telah mengejutkan dia, dan dengan tidak melukainya kita telah mengubah dia dari seorang musuh menjadi teman.
Yusuf adalah teladan dalam hal mengasihi musuh. Karena iri hati dan dengki saudara-saudaranya tega membuang Yusuf ke dalam sumur dan menjualnya sebagai budak ke Mesir, yang kemudian menghantarkannya masuk penjara. Namun karena campur tangan Tuhan, kehidupan Yusuf diubahkan: dari seorang budak dan tahanan menjadi seorang penguasa di Mesir. Ketika terjadi kelaparan hebat pergilah saudara-saudara Yusuf ke Mesir demi mendapatkan gandum. Bertemulah Yusuf dengan saudara-saudaranya yang telah menyakiti dan membencinya, tapi keadaan berbeda, Yusuf sudah menjadi penguasa atau orang ke-2 di Mesir. Apa yang diperbuat Yusuf? Bukankah ini kesempatan emas baginya untuk membalas dendam, membalas semua perlakuan mereka di masa lalu? Ternyata Yusuf tidak melakukan hal yang demikian. Ketika bertemu dengan saudara-saudaranya Yusuf justru mendemonstrasikan kasih dan kemurahan hatinya. "...janganlah bersusah hati dan janganlah menyesali diri, karena kamu menjual aku ke sini, sebab untuk memelihara kehidupanlah Allah menyuruh aku mendahului kamu." (Kejadian 45:5), lalu "Yusuf mencium semua saudaranya itu dengan mesra dan ia menangis sambil memeluk mereka." (Kejadian 45:15).
Kasih adalah inti dari Injil dan kekristenan, karena itu sebagai pengikut Kristus kita harus mengikuti jejak Tuhan Yesus dan menjadikan kasih sebagai gaya hidup sehari-hari, sebab "Barangsiapa mengatakan, bahwa ia ada di dalam Dia, ia wajib hidup sama seperti Kristus telah hidup." (1 Yohanes 2:6). Di tengah dunia yang penuh kejahatan, di mana orang suka menerapkan prinsip pembalasan dendam, orang percaya justru dituntut menjadi pribadi yang berbeda dari dunia ini. Kita ditugasi untuk menjadi saluran kasih kepada orang lain sekalipun kita dibenci dan dimusuhi sebagai balasannya.
Kasih dibalas dengan kasih adalah hal biasa, namun bila benci dibalas dengan kasih itu luar biasa, dan itulah yang harus dilakukan oleh orang percaya!
Tuesday, July 14, 2015
JANGAN MEMBALAS DENDAM (2)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 14 Juli 2015
Baca: Roma 12:17-21
"Janganlah kamu kalah terhadap kejahatan, tetapi kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan!" Roma 12:21
Ketika kita disakiti, dilukai dan dimusuhi, hal yang harus kita lakukan adalah menyerahkan semua permasalahan kita kepada Tuhan dan ijinkan Ia sendri yang bertindak menangani masalah kita. Percayalah bahwa Tuhan punya cara dan waktu yang sesuai dengan kehendak-Nya sendiri. Sebaliknya kalau kita sendiri yang melakukan pembalasan dendam hanya akan menyebabkan rasa gelisah, kalut, stres, damai sejahtera hilang, sukacita hilang dan sebagainya. Menjadi pembenci dan pembalas dendam hanya akan menyengsarakan diri sendiri.
Ada tertulis: "Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka." (Matius 7:12). Jika kita ingin mendapatkan perlakuan yang baik dari orang lain maka kita harus memperlakukan orang lain dengan baik. Sebaliknya jika kita tidak ingin dilukai oleh orang lain jangan sekalipun kita melukai orang lain. Di segala kesempatan kita harus selalu menyatakan kebaikan dan kemurahan kepada orang lain sehingga kebaikan dan kemurahan pula yang akan kita terima sebagai balasannya. "...jika seterumu lapar, berilah dia makan; jika ia haus, berilah dia minum!" (Roma 12:20). Acapkali tindakan membalas dendam terhadap orang lain malah bukan menguntungkan, tapi menjadi bumerang bagi diri sendiri, seperti yang dialami oleh Haman (baca Ester 5:9-14), seorang pembesar dalam pemerintahan Persia, yang begitu benci terhadap orang-orang Yahudi.
Ketika melihat Mordekhai tidak menghormatinya, "...sangat panaslah hati Haman kepada Mordekhai." (Ester 5:9). Itu menunjukkan bahwa Haman gila hormat. Karena merasa tidak dihormati, hati Haman pun dipenuhi kebencian dan amarah terhadap Mordekhai dan berusaha membalas dendam. Ia memerintahkan orang membuat tiang setinggi 50 hasta (50x45cm=225cm) dengan tujuan menyula Mordekhai. Singkat cerita, justru yang disula di atas tiang itu bukannya Mordekhai, tapi Haman sendiri. "Kemudian Haman disulakan pada tiang yang didirikannya untuk Mordekhai." (Ester 7:10).
Jangan menyimpan dendam terhadap orang lain, sebaliknya kita harus membalas kejahatan dengan kebaikan!
Baca: Roma 12:17-21
"Janganlah kamu kalah terhadap kejahatan, tetapi kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan!" Roma 12:21
Ketika kita disakiti, dilukai dan dimusuhi, hal yang harus kita lakukan adalah menyerahkan semua permasalahan kita kepada Tuhan dan ijinkan Ia sendri yang bertindak menangani masalah kita. Percayalah bahwa Tuhan punya cara dan waktu yang sesuai dengan kehendak-Nya sendiri. Sebaliknya kalau kita sendiri yang melakukan pembalasan dendam hanya akan menyebabkan rasa gelisah, kalut, stres, damai sejahtera hilang, sukacita hilang dan sebagainya. Menjadi pembenci dan pembalas dendam hanya akan menyengsarakan diri sendiri.
Ada tertulis: "Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka." (Matius 7:12). Jika kita ingin mendapatkan perlakuan yang baik dari orang lain maka kita harus memperlakukan orang lain dengan baik. Sebaliknya jika kita tidak ingin dilukai oleh orang lain jangan sekalipun kita melukai orang lain. Di segala kesempatan kita harus selalu menyatakan kebaikan dan kemurahan kepada orang lain sehingga kebaikan dan kemurahan pula yang akan kita terima sebagai balasannya. "...jika seterumu lapar, berilah dia makan; jika ia haus, berilah dia minum!" (Roma 12:20). Acapkali tindakan membalas dendam terhadap orang lain malah bukan menguntungkan, tapi menjadi bumerang bagi diri sendiri, seperti yang dialami oleh Haman (baca Ester 5:9-14), seorang pembesar dalam pemerintahan Persia, yang begitu benci terhadap orang-orang Yahudi.
Ketika melihat Mordekhai tidak menghormatinya, "...sangat panaslah hati Haman kepada Mordekhai." (Ester 5:9). Itu menunjukkan bahwa Haman gila hormat. Karena merasa tidak dihormati, hati Haman pun dipenuhi kebencian dan amarah terhadap Mordekhai dan berusaha membalas dendam. Ia memerintahkan orang membuat tiang setinggi 50 hasta (50x45cm=225cm) dengan tujuan menyula Mordekhai. Singkat cerita, justru yang disula di atas tiang itu bukannya Mordekhai, tapi Haman sendiri. "Kemudian Haman disulakan pada tiang yang didirikannya untuk Mordekhai." (Ester 7:10).
Jangan menyimpan dendam terhadap orang lain, sebaliknya kita harus membalas kejahatan dengan kebaikan!
Monday, July 13, 2015
JANGAN MEMBALAS DENDAM (1)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 13 Juli 2015
Baca: Roma 12:17-21
"Janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan; lakukanlah apa yang baik bagi semua orang!" Roma 12:17
Dalam menjalani kehidupan ini tidak selamanya langkah yang kita tempuh mulus dan tanpa aral rintangan. Terkadang dalam membangun hubungan dengan orang lain kita dihadapkan pada konflik atau perselisihan, dan hal itu bisa terjadi kapan saja dan di mana saja, entah itu di lingkungan rumah tinggal, sekolah, kantor, bahkan di gereja sekalipun. Mengapa konflik atau perselisihan bisa terjadi? Karena tiap-tiap orang memiliki karakter yang berbeda, latar belakang yang berbeda, ide dan juga pendapat yang berbeda-beda pula, maka tidaklah mengherankan bila sekali waktu timbul suatu ketegangan dan bahkan bisa menyebabkan rasa kecewa, sakit hati, amarah, kebencian, yang kesemuanya berujung kepada semua permusuhan.
Cara salah yang seringkali dipakai oleh orang dunia ketika berhadapan dengan orang yang mengecewakan, melukai, menyakiti, melawan dan memusuhi adalah melakukan tindakan balas dendam. Inilah prinsip dunia yaitu memperlakukan musuh sebagaimana ia sudah diperlakukan, atau dengan kata lain, membalas musuh setimpal dengan perbuatannya, bahkan kalau bisa pembalasan itu lebih kejam dari perbuatannya. Namun sebagai orang percaya sikap dan pikiran untuk membalas dendam harus kita buang jauh-jauh dan tidak boleh timbul di dalam hati, terlebih-lebih dalam tindakan. Pada dasarnya orang yang menaruh dendam di dalam hati akan selalu mengekspresikan dendamnya itu dalam perkataan dan perbuatan yang negatif.
Mengapa kita tidak diperkenankan membalas dendam terhadap musuh? Rasul Paulus menasihati, "Saudara-saudaraku yang kekasih, janganlah kamu sendiri menuntut pembalasan," (ayat 19). Tidak membalas dendam adalah kehendak Tuhan! Jadi orang yang mencari kesempatan untuk membalaskan sakit hati dan dendamnya kepada musuh jelas-jelas telah melawan kehendak Tuhan, sebab "Pembalasan itu adalah hak-Ku. Akulah yang akan menuntut pembalasan," (ayat 19). Siapa pun yang berusaha dengan kekuatan sendiri untuk membalas dendam berarti ia telah mencuri hak mutlak kepunyaan Tuhan.
Pembalasan itu bukan hak kita melainkan hak Tuhan sepenuhnya, Ia punya cara dan waktu-Nya sendiri untuk menangani masalah kita.
Baca: Roma 12:17-21
"Janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan; lakukanlah apa yang baik bagi semua orang!" Roma 12:17
Dalam menjalani kehidupan ini tidak selamanya langkah yang kita tempuh mulus dan tanpa aral rintangan. Terkadang dalam membangun hubungan dengan orang lain kita dihadapkan pada konflik atau perselisihan, dan hal itu bisa terjadi kapan saja dan di mana saja, entah itu di lingkungan rumah tinggal, sekolah, kantor, bahkan di gereja sekalipun. Mengapa konflik atau perselisihan bisa terjadi? Karena tiap-tiap orang memiliki karakter yang berbeda, latar belakang yang berbeda, ide dan juga pendapat yang berbeda-beda pula, maka tidaklah mengherankan bila sekali waktu timbul suatu ketegangan dan bahkan bisa menyebabkan rasa kecewa, sakit hati, amarah, kebencian, yang kesemuanya berujung kepada semua permusuhan.
Cara salah yang seringkali dipakai oleh orang dunia ketika berhadapan dengan orang yang mengecewakan, melukai, menyakiti, melawan dan memusuhi adalah melakukan tindakan balas dendam. Inilah prinsip dunia yaitu memperlakukan musuh sebagaimana ia sudah diperlakukan, atau dengan kata lain, membalas musuh setimpal dengan perbuatannya, bahkan kalau bisa pembalasan itu lebih kejam dari perbuatannya. Namun sebagai orang percaya sikap dan pikiran untuk membalas dendam harus kita buang jauh-jauh dan tidak boleh timbul di dalam hati, terlebih-lebih dalam tindakan. Pada dasarnya orang yang menaruh dendam di dalam hati akan selalu mengekspresikan dendamnya itu dalam perkataan dan perbuatan yang negatif.
Mengapa kita tidak diperkenankan membalas dendam terhadap musuh? Rasul Paulus menasihati, "Saudara-saudaraku yang kekasih, janganlah kamu sendiri menuntut pembalasan," (ayat 19). Tidak membalas dendam adalah kehendak Tuhan! Jadi orang yang mencari kesempatan untuk membalaskan sakit hati dan dendamnya kepada musuh jelas-jelas telah melawan kehendak Tuhan, sebab "Pembalasan itu adalah hak-Ku. Akulah yang akan menuntut pembalasan," (ayat 19). Siapa pun yang berusaha dengan kekuatan sendiri untuk membalas dendam berarti ia telah mencuri hak mutlak kepunyaan Tuhan.
Pembalasan itu bukan hak kita melainkan hak Tuhan sepenuhnya, Ia punya cara dan waktu-Nya sendiri untuk menangani masalah kita.
Sunday, July 12, 2015
KRITIKAN YANG MELEMAHKAN
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 12 Juli 2015
Baca: 1 Samuel 17:23-39
"Mengapa engkau datang? Dan pada siapakah kautinggalkan kambing domba yang dua tiga ekor itu di padang gurun? Aku kenal sifat pemberanimu dan kejahatan hatimu: engkau datang ke mari dengan maksud melihat pertempuran." 1 Samuel 17:28
Adalah mudah bagi seseorang untuk menilai dan mengkritik kinerja orang lain. Bahkan kegiatan kritik-mengkritik ini sudah sering terjadi dan menjadi hal yang sangat biasa di kalangan orang percaya, baik itu di pekerjaan konvensional, terlebih-lebih dalam dunia pelayanan. Teman mengkritik teman, pelayan Tuhan mengkritik rekan sepelayanan, dan bahkan banyak jemaat yang begitu gencar mengkritik kinerja hamba-hamba Tuhan.
Arti kata kritik adalah: suatu kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat dan sebagainya. Secara garis besar ada dua jenis kritikan yaitu yang bersifat membangun (konstruktif) dan yang sifatnya menghancurkan (destruktif). Kritikan yang membangun umumnya dilakukan oleh orang-orang yang begitu peduli kepada kita atau sahabat-sahabat yang begitu tulus mengasihi kita. "Lebih baik teguran yang nyata-nyata dari pada kasih yang tersembunyi." (Amsal 27:5), sebab "...teguran yang mendidik itu jalan kehidupan," (Amsal 6:23). Orang yang tulus hati akan mengkritik dengan tujuan memotivasi dan membangun, sehingga ia juga akan memberi solusi. Sementara kritikan yang menghancurkan adalah yang semata-mata bertujuan untuk melemahkan. Kritikan ini cenderung menghakimi dan mencari-cari kesalahan orang lain. Inilah yang seringkali terjadi: kita mengkritik orang lain, membesar-besarkan kelemahan dan kekurangan mereka dan bahkan mempermalukannya di depan banyak orang.
Kritikan yang melemahkan juga dialami Daud. Ia dikritik dan diremehkan oleh kakaknya (ayat nas), Saul: "Tidak mungkin engkau dapat menghadapi orang Filistin itu untuk melawan dia, sebab engkau masih muda, sedang dia sejak dari masa mudanya telah menjadi prajurit." (1 Samuel 17:330. Untunglah Daud memiliki penguasaan diri dan rendah hati, sehingga ketika dikritik ia tidak pernah patah arang dan kecewa, melainkan menyikapinya dengan positif.
Andai Daud sakit hati, mungkin ia akan bergegas pulang dan ia pun tidak beroleh kesempatan untuk mendemonstrasikan kuasa Tuhan di hadapan Goliat!
Baca: 1 Samuel 17:23-39
"Mengapa engkau datang? Dan pada siapakah kautinggalkan kambing domba yang dua tiga ekor itu di padang gurun? Aku kenal sifat pemberanimu dan kejahatan hatimu: engkau datang ke mari dengan maksud melihat pertempuran." 1 Samuel 17:28
Adalah mudah bagi seseorang untuk menilai dan mengkritik kinerja orang lain. Bahkan kegiatan kritik-mengkritik ini sudah sering terjadi dan menjadi hal yang sangat biasa di kalangan orang percaya, baik itu di pekerjaan konvensional, terlebih-lebih dalam dunia pelayanan. Teman mengkritik teman, pelayan Tuhan mengkritik rekan sepelayanan, dan bahkan banyak jemaat yang begitu gencar mengkritik kinerja hamba-hamba Tuhan.
Arti kata kritik adalah: suatu kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat dan sebagainya. Secara garis besar ada dua jenis kritikan yaitu yang bersifat membangun (konstruktif) dan yang sifatnya menghancurkan (destruktif). Kritikan yang membangun umumnya dilakukan oleh orang-orang yang begitu peduli kepada kita atau sahabat-sahabat yang begitu tulus mengasihi kita. "Lebih baik teguran yang nyata-nyata dari pada kasih yang tersembunyi." (Amsal 27:5), sebab "...teguran yang mendidik itu jalan kehidupan," (Amsal 6:23). Orang yang tulus hati akan mengkritik dengan tujuan memotivasi dan membangun, sehingga ia juga akan memberi solusi. Sementara kritikan yang menghancurkan adalah yang semata-mata bertujuan untuk melemahkan. Kritikan ini cenderung menghakimi dan mencari-cari kesalahan orang lain. Inilah yang seringkali terjadi: kita mengkritik orang lain, membesar-besarkan kelemahan dan kekurangan mereka dan bahkan mempermalukannya di depan banyak orang.
Kritikan yang melemahkan juga dialami Daud. Ia dikritik dan diremehkan oleh kakaknya (ayat nas), Saul: "Tidak mungkin engkau dapat menghadapi orang Filistin itu untuk melawan dia, sebab engkau masih muda, sedang dia sejak dari masa mudanya telah menjadi prajurit." (1 Samuel 17:330. Untunglah Daud memiliki penguasaan diri dan rendah hati, sehingga ketika dikritik ia tidak pernah patah arang dan kecewa, melainkan menyikapinya dengan positif.
Andai Daud sakit hati, mungkin ia akan bergegas pulang dan ia pun tidak beroleh kesempatan untuk mendemonstrasikan kuasa Tuhan di hadapan Goliat!
Saturday, July 11, 2015
MENGANDALKAN TUHAN: Menang Terhadap Masalah
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 11 Juli 2015
Baca: 1 Samuel 17:40-58
"Engkau mendatangi aku dengan pedang dan tombak dan lembing, tetapi aku mendatangi engkau dengan nama TUHAN semesta alam, Allah segala barisan Israel yang kautantang itu." 1 Samuel 17:45
Mari kita belajar dari sikap Daud menghadapi Goliat. Secara logika, ditinjau dari sudut mana pun, Daud kalah, tapi ia tidak gentar sedikit pun ketika harus berhadapan dengan raksasa Filistin itu. Mengapa bisa demikian? Daud sadar bahwa ia tidak menghadapinya sendirian, ada Tuhan yang siap menopang. Ini menunjukkan bahwa Daud senantiasa mengandalkan Tuhan. "Diberkatilah orang yang mengandalkan TUHAN, yang menaruh harapannya pada TUHAN!" (Yeremia 17:7). Daud berkata, "TUHAN di pihakku. Aku tidak akan takut. Apakah yang dapat dilakukan manusia terhadap aku?" (Mazmur 118:6), karena itu "Lebih baik berlindung pada TUHAN dari pada percaya kepada manusia." (Mazmur 118:8). Jika Tuhan ada di pihak kita tidak ada perkara yang mustahil; jika Tuhan ada di pihak kita tidak ada persoalan yang tidak ada jalan keluarnya; dan jika Tuhan ada di pihak kita segala sesuatu dapat kita tanggung bersama Dia.
Daud tidak takut kepada Goliat karena ia senantiasa mengingat-ingat akan kebesaran kuasa Tuhan dan campur tangan-Nya di waktu-waktu sebelumnya. "TUHAN yang telah melepaskan aku dari cakar singa dan dari cakar beruang, Dia juga akan melepaskan aku dari tangan orang Filistin itu." (1 Samuel 17:37). Pengalaman bersama Tuhan inilah yang mendorongnya untuk selalu berpikiran positif dan bersikap optimis dalam menghadapi Goliat sekalipun. Optimis bukan berarti membanggakan diri atau takabur, tetapi sikap percaya diri yang positif karena tahu kepada siapa ia menaruh pengharapan. "Aku hendak mengingat perbuatan-perbuatan TUHAN, ya, aku hendak mengingat keajaiban-keajaiban-Mu dari zaman purbakala." (Mazmur 77:12).
Orang-orang Israel merasa ketakutan oleh karena mereka hanya terfokus kepada Goliat yang besar, tetapi Daud tidak, karena ia senantiasa mengarahkan pandangannya kepada Tuhan dan mengingat-ingat peristiwa yang lalu saat Tuhan menolongnya dan melepaskannya dari masalah-masalah sebelumnya.
Kalau dulu Tuhan tolong, sekarang pun kita percaya Tuhan pasti akan menolong, karena Dia adalah Tuhan yang tidak berubah!
Baca: 1 Samuel 17:40-58
"Engkau mendatangi aku dengan pedang dan tombak dan lembing, tetapi aku mendatangi engkau dengan nama TUHAN semesta alam, Allah segala barisan Israel yang kautantang itu." 1 Samuel 17:45
Mari kita belajar dari sikap Daud menghadapi Goliat. Secara logika, ditinjau dari sudut mana pun, Daud kalah, tapi ia tidak gentar sedikit pun ketika harus berhadapan dengan raksasa Filistin itu. Mengapa bisa demikian? Daud sadar bahwa ia tidak menghadapinya sendirian, ada Tuhan yang siap menopang. Ini menunjukkan bahwa Daud senantiasa mengandalkan Tuhan. "Diberkatilah orang yang mengandalkan TUHAN, yang menaruh harapannya pada TUHAN!" (Yeremia 17:7). Daud berkata, "TUHAN di pihakku. Aku tidak akan takut. Apakah yang dapat dilakukan manusia terhadap aku?" (Mazmur 118:6), karena itu "Lebih baik berlindung pada TUHAN dari pada percaya kepada manusia." (Mazmur 118:8). Jika Tuhan ada di pihak kita tidak ada perkara yang mustahil; jika Tuhan ada di pihak kita tidak ada persoalan yang tidak ada jalan keluarnya; dan jika Tuhan ada di pihak kita segala sesuatu dapat kita tanggung bersama Dia.
Daud tidak takut kepada Goliat karena ia senantiasa mengingat-ingat akan kebesaran kuasa Tuhan dan campur tangan-Nya di waktu-waktu sebelumnya. "TUHAN yang telah melepaskan aku dari cakar singa dan dari cakar beruang, Dia juga akan melepaskan aku dari tangan orang Filistin itu." (1 Samuel 17:37). Pengalaman bersama Tuhan inilah yang mendorongnya untuk selalu berpikiran positif dan bersikap optimis dalam menghadapi Goliat sekalipun. Optimis bukan berarti membanggakan diri atau takabur, tetapi sikap percaya diri yang positif karena tahu kepada siapa ia menaruh pengharapan. "Aku hendak mengingat perbuatan-perbuatan TUHAN, ya, aku hendak mengingat keajaiban-keajaiban-Mu dari zaman purbakala." (Mazmur 77:12).
Orang-orang Israel merasa ketakutan oleh karena mereka hanya terfokus kepada Goliat yang besar, tetapi Daud tidak, karena ia senantiasa mengarahkan pandangannya kepada Tuhan dan mengingat-ingat peristiwa yang lalu saat Tuhan menolongnya dan melepaskannya dari masalah-masalah sebelumnya.
Kalau dulu Tuhan tolong, sekarang pun kita percaya Tuhan pasti akan menolong, karena Dia adalah Tuhan yang tidak berubah!
Friday, July 10, 2015
MASALAH: Goliat Yang Menakutkan
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 10 Juli 2015
Baca: 1 Samuel 17:1-11
"Ketika Saul dan segenap orang Israel mendengar perkataan orang Filistin itu, maka cemaslah hati mereka dan sangat ketakutan." 1 Samuel 17:11
Suatu ketika bangsa Israel menghadapi tantangan yang sangat berat dimana mereka harus berhadapan dengan orang-orang Filistin. Salah seorang pendekar dari tentara orang Filistin itu bernama Goliat yang perawakannya seperti raksasa, "Tingginya enam hasta sejengkal. Ketopong tembaga ada di kepalanya, dan ia memakai baju zirah yang bersisik; berat baju zirah ini lima ribu syikal tembaga. Dia memakai penutup kaki dari tembaga, dan di bahunya ia memanggul lembing tembaga. Gagang tombaknya seperti pesa tukang tenun, dan mata tombaknya itu enam ratus syikal besi beratnya. Dan seorang pembawa perisai berjalan di depannya." (1 Samuel 17:4b-7). Akibatnya Saul dan segenap orang Israel menjadi cemas dan takut.
Cemas merupakan penyakit hati yang dialami oleh setiap manusia ketika manusia tersebut tidak yakin dan percaya terhadap apa yang ia lakukan atau terhadap apa yang orang lain perbuat. Rasa cemas terkadang sangat menyiksa batin setiap orang yang sedang mengalami perasaan tersebut. Cemas sendiri sebenarnya adalah bagian dari rasa takut. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dijelaskan bahwa arti kata cemas adalah perasaan tidak tenteramnya hati atau kegelisahan hati. Sedangkan salah satu arti kata takut adalah merasa gentar (ngeri) menghadapi sesuatu yang dianggap akan mendatangkan bencana. Demikian pula dalam kehidupan ini, ketika dihadapkan pada masalah yang besar acapkali hati kita diliputi oleh rasa cemas dan takut. Kita menyikapi masalah dengan respons hati yang negatif, memandang masalah seperti Goliat yang siap menghancurkan hidup kita. Kecemasan dan ketakutan timbul ketika kita selalu berpikiran negatif dengan melihat masalah sebagai raksasa besar yang sulit dikalahkan dan sepertinya tidak ada jalan keluarnya. Ada tertulis: "Karena yang kutakutkan, itulah yang menimpa aku, dan yang kucemaskan, itulah yang mendatangi aku." (Ayub 3:25).
Rasa cemas dan takut hanya akan menimbulkan sikap pesimis sehingga kita dipenuhi keraguan dan tidak lagi percaya kepada kuasa Tuhan, bahkan kita menganggap Tuhan tidak punya arti apa-apa dibandingkan dengan besarnya masalah yang kita hadapi.
Haruskah orang percaya bersikap demikian?
Baca: 1 Samuel 17:1-11
"Ketika Saul dan segenap orang Israel mendengar perkataan orang Filistin itu, maka cemaslah hati mereka dan sangat ketakutan." 1 Samuel 17:11
Suatu ketika bangsa Israel menghadapi tantangan yang sangat berat dimana mereka harus berhadapan dengan orang-orang Filistin. Salah seorang pendekar dari tentara orang Filistin itu bernama Goliat yang perawakannya seperti raksasa, "Tingginya enam hasta sejengkal. Ketopong tembaga ada di kepalanya, dan ia memakai baju zirah yang bersisik; berat baju zirah ini lima ribu syikal tembaga. Dia memakai penutup kaki dari tembaga, dan di bahunya ia memanggul lembing tembaga. Gagang tombaknya seperti pesa tukang tenun, dan mata tombaknya itu enam ratus syikal besi beratnya. Dan seorang pembawa perisai berjalan di depannya." (1 Samuel 17:4b-7). Akibatnya Saul dan segenap orang Israel menjadi cemas dan takut.
Cemas merupakan penyakit hati yang dialami oleh setiap manusia ketika manusia tersebut tidak yakin dan percaya terhadap apa yang ia lakukan atau terhadap apa yang orang lain perbuat. Rasa cemas terkadang sangat menyiksa batin setiap orang yang sedang mengalami perasaan tersebut. Cemas sendiri sebenarnya adalah bagian dari rasa takut. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dijelaskan bahwa arti kata cemas adalah perasaan tidak tenteramnya hati atau kegelisahan hati. Sedangkan salah satu arti kata takut adalah merasa gentar (ngeri) menghadapi sesuatu yang dianggap akan mendatangkan bencana. Demikian pula dalam kehidupan ini, ketika dihadapkan pada masalah yang besar acapkali hati kita diliputi oleh rasa cemas dan takut. Kita menyikapi masalah dengan respons hati yang negatif, memandang masalah seperti Goliat yang siap menghancurkan hidup kita. Kecemasan dan ketakutan timbul ketika kita selalu berpikiran negatif dengan melihat masalah sebagai raksasa besar yang sulit dikalahkan dan sepertinya tidak ada jalan keluarnya. Ada tertulis: "Karena yang kutakutkan, itulah yang menimpa aku, dan yang kucemaskan, itulah yang mendatangi aku." (Ayub 3:25).
Rasa cemas dan takut hanya akan menimbulkan sikap pesimis sehingga kita dipenuhi keraguan dan tidak lagi percaya kepada kuasa Tuhan, bahkan kita menganggap Tuhan tidak punya arti apa-apa dibandingkan dengan besarnya masalah yang kita hadapi.
Haruskah orang percaya bersikap demikian?
Thursday, July 9, 2015
FIRMAN TUHAN: Jangan diremehkan!
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 9 Juli 2015
Baca: Amsal 13:1-25
"Siapa meremehkan firman, ia akan menanggung akibatnya, tetapi siapa taat kepada perintah, akan menerima balasan." Amsal 13:13
Kata meremehkan dapat diartikan: menganggap tidak berarti. Meremehkan atau menganggap tidak berarti firman Tuhan dapat menimbulkan sikap tidak percaya, ragu-ragu dan bahkan menolak firman itu sendiri. Segala sesuatu yang menimbulkan ketidakpercayaan terhadap firman Tuhan pasti akan berakibat sangat fatal. Itulah sebabnya karena kasih-Nya kepada manusia maka Tuhan terlebih dahulu memberitahukan segala sesuatu melalui firman-Nya tentang apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Tetapi seringkali manusia memilih untuk tidak taat atau melanggar perintah Tuhan sebagai tanda bahwa ia menganggap remeh firman-Nya.
Suatu ketika Tuhan berfirman kepada manusia, "Semua pohon dalam taman ini boleh kaumakan buahnya dengan bebas, tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kaumakan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati." (Kejadian 2:16-17). Tetapi Hawa lebih tertarik dan setuju dengan kebohongan si ular untuk memakan buah yang dilarang Tuhan. Di dalam hati Hawa mulai timbul ketidakpercayaan atau keragu-raguan terhadap firman Tuhan, bukti bahwa ia meremehkan firman yang disampaikan oleh Tuhan.
Seringkali kita pun bersikap dan berlaku seperti Hawa dalam menanggapi firman Tuhan, dimana kita lebih memilih melakukan apa yang dilarang dan tidak mau melakukan apa kehendak-Nya. Kita memilih melakukan sesuatu yang menyenangkan daging kita yang tampak nikmat meski sesaat, padahal hal itu membawa akibat yang sangat mengerikan. Karena telah meremehkan firman Adam dan Hawa harus menanggung akibatnya: kehilangan damai sejahtera dan hidup dalam ketakutan, "...bersembunyilah manusia dan isterinya itu terhadap TUHAN Allah di antara pohon-pohonan dalam taman." (Kejadian 3:8), mereka pun berkata: "Ketika aku mendengar, bahwa Engkau ada dalam taman ini, aku menjadi takut, karena aku telanjang; sebab itu aku bersembunyi." (Kejadian 3:10); hidup dalam susah payah (Kejadian 3:16-19); kehilangan kepercayaan dari Tuhan, sehingga mereka terusir dari taman Eden (Kejadian 3:23-24).
Jangan sekali pun meremehkan firman, karena Tuhan tidak bisa dipermainkan!
Baca: Amsal 13:1-25
"Siapa meremehkan firman, ia akan menanggung akibatnya, tetapi siapa taat kepada perintah, akan menerima balasan." Amsal 13:13
Kata meremehkan dapat diartikan: menganggap tidak berarti. Meremehkan atau menganggap tidak berarti firman Tuhan dapat menimbulkan sikap tidak percaya, ragu-ragu dan bahkan menolak firman itu sendiri. Segala sesuatu yang menimbulkan ketidakpercayaan terhadap firman Tuhan pasti akan berakibat sangat fatal. Itulah sebabnya karena kasih-Nya kepada manusia maka Tuhan terlebih dahulu memberitahukan segala sesuatu melalui firman-Nya tentang apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Tetapi seringkali manusia memilih untuk tidak taat atau melanggar perintah Tuhan sebagai tanda bahwa ia menganggap remeh firman-Nya.
Suatu ketika Tuhan berfirman kepada manusia, "Semua pohon dalam taman ini boleh kaumakan buahnya dengan bebas, tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kaumakan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati." (Kejadian 2:16-17). Tetapi Hawa lebih tertarik dan setuju dengan kebohongan si ular untuk memakan buah yang dilarang Tuhan. Di dalam hati Hawa mulai timbul ketidakpercayaan atau keragu-raguan terhadap firman Tuhan, bukti bahwa ia meremehkan firman yang disampaikan oleh Tuhan.
Seringkali kita pun bersikap dan berlaku seperti Hawa dalam menanggapi firman Tuhan, dimana kita lebih memilih melakukan apa yang dilarang dan tidak mau melakukan apa kehendak-Nya. Kita memilih melakukan sesuatu yang menyenangkan daging kita yang tampak nikmat meski sesaat, padahal hal itu membawa akibat yang sangat mengerikan. Karena telah meremehkan firman Adam dan Hawa harus menanggung akibatnya: kehilangan damai sejahtera dan hidup dalam ketakutan, "...bersembunyilah manusia dan isterinya itu terhadap TUHAN Allah di antara pohon-pohonan dalam taman." (Kejadian 3:8), mereka pun berkata: "Ketika aku mendengar, bahwa Engkau ada dalam taman ini, aku menjadi takut, karena aku telanjang; sebab itu aku bersembunyi." (Kejadian 3:10); hidup dalam susah payah (Kejadian 3:16-19); kehilangan kepercayaan dari Tuhan, sehingga mereka terusir dari taman Eden (Kejadian 3:23-24).
Jangan sekali pun meremehkan firman, karena Tuhan tidak bisa dipermainkan!
Wednesday, July 8, 2015
TAAT KEPADA ORANG TUA
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 8 Juli 2015
Baca: 1 Samuel 17:12-22
"Lalu Daud bangun pagi-pagi, ditinggalkannyalah kambing dombanya pada seorang penjaga, lalu mengangkat muatan dan pergi, seperti yang diperintahkan Isai kepadanya." 1 Samuel 17:20a
Adalah keharusan seorang anak taat dan patuh kepada orangtuanya. Demikian pentingnya menghormati orangtua sehingga Tuhan memasukkan perintah ini sebagai bagian dari sepuluh hukum Taurat! "Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu." (Keluaran 20:12), dan kembali ditegaskan dalam Ulangan 5:16, "Hormatilah ayahmu dan ibumu, seperti yang diperintahkan kepadamu oleh TUHAN, Allahmu, supaya lanjut umurmu dan baik keadaanmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu." Jadi hormat dan taat kepada orang tua adalah perintah yang tidak boleh diremehkan atau diabaikan. Tuhan menyediakan berkat-Nya bagi anak-anak yang mau taat dan hormat kepada orangtuanya.
Daud adalah contoh seorang anak yang taat kepada orangtuanya! Ketika mendapat perintah dari ayahnya, "Ambillah untuk kakak-kakakmu bertih gandum ini seefa dan roti yang sepuluh ini; bawalah cepat-cepat ke perkemahan, kepada kakak-kakakmu. Dan baiklah sampaikan keju yang sepuluh ini kepada kepala pasukan seribu. Tengoklah apakah kakak-kakakmu selamat dan bawalah pulang suatu tanda dari mereka." (1 Samuel 17:17-18), maka segeralah ia mengerjakan apa yang disuruh. Tanpa menunda-nunda waktu ia bangun pagi-pagi dan segeralah "...mengangkat muatan dan pergi, seperti yang diperintahkan Isai kepadanya." (1 Samuel 17:20). Bangun pagi-pagi menyiratkan bahwa Daud adalah seorang yang rajin. Selain taat Daud adalah seorang yang bertanggung jawab, terlihat dari cara ia meninggalkan tugas pekerjaan yang sedang dilakukannya yaitu menitipkan terlebih dahulu kambing dombanya kepada seorang penjaga, dan barulah ia pergi.
Di zaman sekarang ini ada banyak anak muda yang kurang menghormati orangtuanya dan suka sekali membantah perintah orangtua. Padahal ketaatan kepada orangtua akan melatih dan membentuk kita untuk bisa taat kepada Tuhan.
Jika kepada pribadi yang tampak secara kasat mata saja kita tidak bisa taat, bagaimana mungkin kita akan taat kepada Tuhan yang tidak keliatan?
Baca: 1 Samuel 17:12-22
"Lalu Daud bangun pagi-pagi, ditinggalkannyalah kambing dombanya pada seorang penjaga, lalu mengangkat muatan dan pergi, seperti yang diperintahkan Isai kepadanya." 1 Samuel 17:20a
Adalah keharusan seorang anak taat dan patuh kepada orangtuanya. Demikian pentingnya menghormati orangtua sehingga Tuhan memasukkan perintah ini sebagai bagian dari sepuluh hukum Taurat! "Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu." (Keluaran 20:12), dan kembali ditegaskan dalam Ulangan 5:16, "Hormatilah ayahmu dan ibumu, seperti yang diperintahkan kepadamu oleh TUHAN, Allahmu, supaya lanjut umurmu dan baik keadaanmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu." Jadi hormat dan taat kepada orang tua adalah perintah yang tidak boleh diremehkan atau diabaikan. Tuhan menyediakan berkat-Nya bagi anak-anak yang mau taat dan hormat kepada orangtuanya.
Daud adalah contoh seorang anak yang taat kepada orangtuanya! Ketika mendapat perintah dari ayahnya, "Ambillah untuk kakak-kakakmu bertih gandum ini seefa dan roti yang sepuluh ini; bawalah cepat-cepat ke perkemahan, kepada kakak-kakakmu. Dan baiklah sampaikan keju yang sepuluh ini kepada kepala pasukan seribu. Tengoklah apakah kakak-kakakmu selamat dan bawalah pulang suatu tanda dari mereka." (1 Samuel 17:17-18), maka segeralah ia mengerjakan apa yang disuruh. Tanpa menunda-nunda waktu ia bangun pagi-pagi dan segeralah "...mengangkat muatan dan pergi, seperti yang diperintahkan Isai kepadanya." (1 Samuel 17:20). Bangun pagi-pagi menyiratkan bahwa Daud adalah seorang yang rajin. Selain taat Daud adalah seorang yang bertanggung jawab, terlihat dari cara ia meninggalkan tugas pekerjaan yang sedang dilakukannya yaitu menitipkan terlebih dahulu kambing dombanya kepada seorang penjaga, dan barulah ia pergi.
Di zaman sekarang ini ada banyak anak muda yang kurang menghormati orangtuanya dan suka sekali membantah perintah orangtua. Padahal ketaatan kepada orangtua akan melatih dan membentuk kita untuk bisa taat kepada Tuhan.
Jika kepada pribadi yang tampak secara kasat mata saja kita tidak bisa taat, bagaimana mungkin kita akan taat kepada Tuhan yang tidak keliatan?
Tuesday, July 7, 2015
DUNIA: Persinggahan Sementara
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 7 Juli 2015
Baca: Mazmur 39:1-14
"...aku pendatang seperti semua nenek moyangku. Alihkanlah pandangan-Mu dari padaku, supaya aku bersukacita sebelum aku pergi dan tidak ada lagi!" Mazmur 39:13b-14.
Karena hidup di dunia ini hanya sementara waktu maka kita harus mengembangkan semua talenta yang telah dipercayakan Tuhan kepada kita, agar kelak ketika Tuhan Yesus datang kita dapat mempertanggungjawabkannya seperti hamba yang setia, sehingga si tuan berkata: "Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu." (Matius 25:21). Tuhan Yesus berkata, "Di rumah Bapa-Ku banyak tempat tinggal. Jika tidak demikian, tentu Aku mengatakannya kepadamu. Sebab Aku pergi ke situ untuk menyediakan tempat bagimu. Dan apabila Aku telah pergi ke situ dan telah menyediakan tempat bagimu, Aku akan datang kembali dan membawa kamu ke tempat-Ku, supaya di tempat di mana Aku berada, kamupun berada." (Yohanes 14:2-3).
Perkara sorgawi harus menjadi fokus dan prioritas utama kita, bukan yang ada di dunia ini, "Sebab kamu telah mati dan hidupmu tersembunyi bersama dengan Kristus di dalam Allah. Apabila Kristus, yang adalah hidup kita, menyatakan diri kelak, kamupun akan menyatakan diri bersama dengan Dia dalam kemuliaan." (Kolose 3:3-4). Karena itu apa pun yang dikerjakan di dunia ini harus untuk sesuatu yang telah Tuhan tetapkan. Jika menyadari ini kita akan membuat pilihan hidup yang benar, memprioritaskan sesuatu yang bersifat kekal lebih daripada hal-hal yang sifatnya fana. "Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu." (Filipi 4:8).
Karena dunia ini hanyalah tempat persinggahan sementara, seberat apa pun tantangan, ujian dan penderitaan takkan melemahkan dan membuat kita menyerah di tengah jalan. Walaupun situasi sulit dan tidak menyenangkan sekalipun, kita akan tetap sabar, tidak mengeluh dan bersungut-sungut. "Hendaklah engkau setia sampai mati, dan Aku akan mengaruniakan kepadamu mahkota kehidupan." (Wahyu 2:10).
"Sebab aku yakin, bahwa penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita." Roma 8:18
Baca: Mazmur 39:1-14
"...aku pendatang seperti semua nenek moyangku. Alihkanlah pandangan-Mu dari padaku, supaya aku bersukacita sebelum aku pergi dan tidak ada lagi!" Mazmur 39:13b-14.
Karena hidup di dunia ini hanya sementara waktu maka kita harus mengembangkan semua talenta yang telah dipercayakan Tuhan kepada kita, agar kelak ketika Tuhan Yesus datang kita dapat mempertanggungjawabkannya seperti hamba yang setia, sehingga si tuan berkata: "Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu." (Matius 25:21). Tuhan Yesus berkata, "Di rumah Bapa-Ku banyak tempat tinggal. Jika tidak demikian, tentu Aku mengatakannya kepadamu. Sebab Aku pergi ke situ untuk menyediakan tempat bagimu. Dan apabila Aku telah pergi ke situ dan telah menyediakan tempat bagimu, Aku akan datang kembali dan membawa kamu ke tempat-Ku, supaya di tempat di mana Aku berada, kamupun berada." (Yohanes 14:2-3).
Perkara sorgawi harus menjadi fokus dan prioritas utama kita, bukan yang ada di dunia ini, "Sebab kamu telah mati dan hidupmu tersembunyi bersama dengan Kristus di dalam Allah. Apabila Kristus, yang adalah hidup kita, menyatakan diri kelak, kamupun akan menyatakan diri bersama dengan Dia dalam kemuliaan." (Kolose 3:3-4). Karena itu apa pun yang dikerjakan di dunia ini harus untuk sesuatu yang telah Tuhan tetapkan. Jika menyadari ini kita akan membuat pilihan hidup yang benar, memprioritaskan sesuatu yang bersifat kekal lebih daripada hal-hal yang sifatnya fana. "Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu." (Filipi 4:8).
Karena dunia ini hanyalah tempat persinggahan sementara, seberat apa pun tantangan, ujian dan penderitaan takkan melemahkan dan membuat kita menyerah di tengah jalan. Walaupun situasi sulit dan tidak menyenangkan sekalipun, kita akan tetap sabar, tidak mengeluh dan bersungut-sungut. "Hendaklah engkau setia sampai mati, dan Aku akan mengaruniakan kepadamu mahkota kehidupan." (Wahyu 2:10).
"Sebab aku yakin, bahwa penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita." Roma 8:18
Monday, July 6, 2015
SORGA: Tempat Tinggal Kita
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 6 Juli 2015
Baca: Kolose 3:1-4
"Pikirkanlah perkara yang di atas, bukan yang di bumi." Kolose 3:2
Rasul Paulus menasihatkan agar setiap orang percaya senantiasa memusatkan pikirannya kepada perkara yang di atas dan mengutamakan perkara rohani lebih dari apa pun yang ada di dunia ini. Mengapa? Karena dunia bukanlah tempat tinggal permanen bagi orang percaya. Dunia adalah tempat sementara untuk didiami karena kita tak lebih dari seorang pendatang atau penumpang saja. Kewargaan kita yang sesungguhnya adalah Kerajaan Sorga. "Karena kami tahu, bahwa jika kemah tempat kediaman kita di bumi ini dibongkar, Allah telah menyediakan suatu tempat kediaman di sorga bagi kita, suatu tempat kediaman yang kekal, yang tidak dibuat oleh tangan manusia." (2 Korintus 5:1).
Jika kita hendak pergi untuk berkemah tentunya kita tidak mungkin akan membeli semua peralatan dapur secara lengkap, membeli perabot rumah tangga, membeli semua perlengkapan tidur dan sebagainya. Mengapa? Toh kita hanya akan tinggal untuk sebentar. Begitu pula ketika menyadari bahwa dunia ini bukanlah tempat tinggal kita selama-lamanya maka kita pun tak akan sepenuhnya hanya memikirkan bagaimana mengumpulkan harta atau kekayaan duniawi semata, sebab "...kita tidak membawa sesuatu apa ke dalam dunia dan kitapun tidak dapat membawa apa-apa ke luar." (1 Timotius 6:7). Ayub pun menyadarinya, "Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya." (Ayub 1:21). Justru yang harus kita lakukan adalah menabung atau mengumpulkan harta di sorga.
Waktu kita di sini hanya singkat dan terbatas, jadi alangkah bijaknya jika kita menggunakan kesempatan yang ada sebaik mungkin. Itulah sebabnya Tuhan mengututs kita untuk suatu tugas yang jelas yaitu supaya kita menerapkan gaya hidup sorgawi, "supaya kamu tiada beraib dan tiada bernoda, sebagai anak-anak Allah yang tidak bercela di tengah-tengah angkatan yang bengkok hatinya dan yang sesat ini, sehingga kamu bercahaya di antara mereka seperti bintang-bintang di dunia," (Filipi 2:15), menjadi saluran berkat, bukan menjadi batu sandungan serta menjadi garam dan terang bagi dunia ini.
Sebagai warga sorgawi sikap dan perbuatan kita pun juga harus mencerminkan dan menyatakan kemuliaan bagi Tuhan.
Baca: Kolose 3:1-4
"Pikirkanlah perkara yang di atas, bukan yang di bumi." Kolose 3:2
Rasul Paulus menasihatkan agar setiap orang percaya senantiasa memusatkan pikirannya kepada perkara yang di atas dan mengutamakan perkara rohani lebih dari apa pun yang ada di dunia ini. Mengapa? Karena dunia bukanlah tempat tinggal permanen bagi orang percaya. Dunia adalah tempat sementara untuk didiami karena kita tak lebih dari seorang pendatang atau penumpang saja. Kewargaan kita yang sesungguhnya adalah Kerajaan Sorga. "Karena kami tahu, bahwa jika kemah tempat kediaman kita di bumi ini dibongkar, Allah telah menyediakan suatu tempat kediaman di sorga bagi kita, suatu tempat kediaman yang kekal, yang tidak dibuat oleh tangan manusia." (2 Korintus 5:1).
Jika kita hendak pergi untuk berkemah tentunya kita tidak mungkin akan membeli semua peralatan dapur secara lengkap, membeli perabot rumah tangga, membeli semua perlengkapan tidur dan sebagainya. Mengapa? Toh kita hanya akan tinggal untuk sebentar. Begitu pula ketika menyadari bahwa dunia ini bukanlah tempat tinggal kita selama-lamanya maka kita pun tak akan sepenuhnya hanya memikirkan bagaimana mengumpulkan harta atau kekayaan duniawi semata, sebab "...kita tidak membawa sesuatu apa ke dalam dunia dan kitapun tidak dapat membawa apa-apa ke luar." (1 Timotius 6:7). Ayub pun menyadarinya, "Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya." (Ayub 1:21). Justru yang harus kita lakukan adalah menabung atau mengumpulkan harta di sorga.
Waktu kita di sini hanya singkat dan terbatas, jadi alangkah bijaknya jika kita menggunakan kesempatan yang ada sebaik mungkin. Itulah sebabnya Tuhan mengututs kita untuk suatu tugas yang jelas yaitu supaya kita menerapkan gaya hidup sorgawi, "supaya kamu tiada beraib dan tiada bernoda, sebagai anak-anak Allah yang tidak bercela di tengah-tengah angkatan yang bengkok hatinya dan yang sesat ini, sehingga kamu bercahaya di antara mereka seperti bintang-bintang di dunia," (Filipi 2:15), menjadi saluran berkat, bukan menjadi batu sandungan serta menjadi garam dan terang bagi dunia ini.
Sebagai warga sorgawi sikap dan perbuatan kita pun juga harus mencerminkan dan menyatakan kemuliaan bagi Tuhan.
Sunday, July 5, 2015
ANAK DOMBA DI TENGAH SERIGALA (2)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 5 Juli 2015
Baca: Matius 10:16-33
"Lihat, Aku mengutus kamu seperti domba ke tengah-tengah serigala, sebab itu hendaklah kamu cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati." Matius 10:16
Tuhan Yesus adalah Gembala yang baik, itulah sebabnya Ia tidak akan membiarkan domba-domba-Nya tersesat dan terhilang. Ketika anak domba sedang berada dalam ancaman dan marabahaya gembala itulah yang akan membela, melindungi, menyelamatkan dan menggendong anak domba itu, dan kemudian membawanya ke tempat yang paling aman. Daud memiliki pengalaman bagaimana menjadi penggembala kambing domba. "Hambamu ini biasa menggembalakan kambing domba ayahnya. Apabila datang singa atau beruang, yang menerkam seekor domba dari kawanannya, maka aku mengejarnya, menghajarnya dan melepaskan domba itu dari mulutnya. Kemudian apabila ia berdiri menyerang aku, maka aku menangkap janggutnya lalu menghajarnya dan membunuhnya." (1 Samuel 17:34-35).
Sebagai anak domba keberadaan kita lemah dan tak berdaya, karena itu kita tidak bisa berada jauh dari Gembala. Jika menjauh sulit bagi kita untuk bisa bertahan di tengah situasi menghimpit. Tinggal dekat dan bergantung penuh kepada Gembala adalah mutlak. Karena yang mengutus kita adalah Gembala Agung yaitu Tuhan Yesus, tidak ada yang perlu ditakutkan dan dikuatirkan, "Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku; gada-Mu dan tongkat-Mu, itulah yang menghibur aku." (Mazmur 23:4). Di tengah dunia yang dipenuhi kejahatan Tuhan menghendaki kita cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati. Cerdik dan tulus adalah satu kesatuan, tidak boleh berdiri sendiri-sendiri. Kalau kita hanya cerdik tanpa disertai ketulusan artinya kita licik dan penuh trik. Sebaliknya kalau kita hanya tulus saja tapi tidak cerdik sangat berbahaya, akan menjadi sasaran empuk musuh, ditipu, dimanfaatkan dan menjadi korban, karena itu "...waspadalah terhadap semua orang;" (Matius 10:17).
Karena kita adalah seperti anak domba, maka dalam menyelesaikan segala permasalahan hidup ini kita pun harus bersikap tenang dan penuh kelembutan, bukan emosional dan penuh kemarahan, harus ada penguasaan diri.
Dekat dengan Gembala Agung adalah kunci bertahan di tengah tantangan!
Baca: Matius 10:16-33
"Lihat, Aku mengutus kamu seperti domba ke tengah-tengah serigala, sebab itu hendaklah kamu cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati." Matius 10:16
Tuhan Yesus adalah Gembala yang baik, itulah sebabnya Ia tidak akan membiarkan domba-domba-Nya tersesat dan terhilang. Ketika anak domba sedang berada dalam ancaman dan marabahaya gembala itulah yang akan membela, melindungi, menyelamatkan dan menggendong anak domba itu, dan kemudian membawanya ke tempat yang paling aman. Daud memiliki pengalaman bagaimana menjadi penggembala kambing domba. "Hambamu ini biasa menggembalakan kambing domba ayahnya. Apabila datang singa atau beruang, yang menerkam seekor domba dari kawanannya, maka aku mengejarnya, menghajarnya dan melepaskan domba itu dari mulutnya. Kemudian apabila ia berdiri menyerang aku, maka aku menangkap janggutnya lalu menghajarnya dan membunuhnya." (1 Samuel 17:34-35).
Sebagai anak domba keberadaan kita lemah dan tak berdaya, karena itu kita tidak bisa berada jauh dari Gembala. Jika menjauh sulit bagi kita untuk bisa bertahan di tengah situasi menghimpit. Tinggal dekat dan bergantung penuh kepada Gembala adalah mutlak. Karena yang mengutus kita adalah Gembala Agung yaitu Tuhan Yesus, tidak ada yang perlu ditakutkan dan dikuatirkan, "Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku; gada-Mu dan tongkat-Mu, itulah yang menghibur aku." (Mazmur 23:4). Di tengah dunia yang dipenuhi kejahatan Tuhan menghendaki kita cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati. Cerdik dan tulus adalah satu kesatuan, tidak boleh berdiri sendiri-sendiri. Kalau kita hanya cerdik tanpa disertai ketulusan artinya kita licik dan penuh trik. Sebaliknya kalau kita hanya tulus saja tapi tidak cerdik sangat berbahaya, akan menjadi sasaran empuk musuh, ditipu, dimanfaatkan dan menjadi korban, karena itu "...waspadalah terhadap semua orang;" (Matius 10:17).
Karena kita adalah seperti anak domba, maka dalam menyelesaikan segala permasalahan hidup ini kita pun harus bersikap tenang dan penuh kelembutan, bukan emosional dan penuh kemarahan, harus ada penguasaan diri.
Dekat dengan Gembala Agung adalah kunci bertahan di tengah tantangan!
Saturday, July 4, 2015
ANAK DOMBA DI TENGAH SERIGALA (1)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 4 Juli 2015
Baca: Lukas 10:1-12
"Pergilah, sesungguhnya Aku mengutus kamu seperti anak domba ke tengah-tengah serigala." Lukas 10:3
Tak terbantahkan bahwa kehidupan di dunia ini begitu keras dan berat karena ada banyak sekali masalah, ujian dan tantangan yang datang silih berganti. Kejutan demi kejutan mewarnai hari-hari yang kita jalani, terkadang apa yang tidak pernah kita harapkan dan bayangkan itulah yang terjadi. Meski demikian, sebagai orang percaya kita tidak perlu takut dan kuatir karena kita punya Tuhan yang tidak pernah membiarkan dan meninggalkan kita bergumul sendirian.
Peringatan tentang adanya masalah, ujian dan tantangan ini sudah disampaikan Tuhan Yesus ketika Ia hendak mengutus 70 murid-Nya yang lain untuk memberitakan Injil, bahwa mereka diutus seperti anak domba ke tengah-tengah serigala. Artinya tugas memberitakan Injil di tengah-tengah dunia ini bukanlah pekerjaan yang mudah karena akan ada banyak sekali tekanan, penolakan, penderitaan dan bahkan aniaya. Kita pun harus siap dengan segala resikonya karena kita berada dalam ancaman dan bahaya yang sewaktu-waktu bisa datang. Selain singa atau beruang, serigala adalah salah satu jenis binatang buas yang bisa mengancam keselamatan anak domba, Serigala adalah gambaran tentang tipu muslihat Iblis dan "...semua yang ada di dalam dunia, yaitu keinginan daging dan keinginan mata serta keangkuhan hidup," (1 Yohanes 2:16), yang sewaktu-waktu bisa mengancam, menerkam, menyeret dan menghancurkan hidup orang percaya. Oleh karena itu Tuhan Yesus memperingatkan, "Berjaga-jagalah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan: roh memang penurut, tetapi daging lemah." (Matius 26:41).
Bagaimana caranya supaya anak domba dapat bertahan? Kuncinya adalah harus selalu berada dekat dengan gembala. Sebagai anak domba jangan kita berlari menjauh dari Gembala Agung kita yaitu Tuhan Yesus. Jika kita menempuh jalan sendiri kita pasti akan tersesat, karena "Ada jalan yang disangka orang lurus, tetapi ujungnya menuju maut." (Amsal 14:12). Kalau kita senantiasa dekat dengan Gembala dan mengikuti jalan-jalan-Nya, kita bukan hanya akan aman dan terlindungi, tapi kita juga akan dibimbing-Nya di padang yang berumput hijau dan ke air yang tenang. (Bersambung)
Baca: Lukas 10:1-12
"Pergilah, sesungguhnya Aku mengutus kamu seperti anak domba ke tengah-tengah serigala." Lukas 10:3
Tak terbantahkan bahwa kehidupan di dunia ini begitu keras dan berat karena ada banyak sekali masalah, ujian dan tantangan yang datang silih berganti. Kejutan demi kejutan mewarnai hari-hari yang kita jalani, terkadang apa yang tidak pernah kita harapkan dan bayangkan itulah yang terjadi. Meski demikian, sebagai orang percaya kita tidak perlu takut dan kuatir karena kita punya Tuhan yang tidak pernah membiarkan dan meninggalkan kita bergumul sendirian.
Peringatan tentang adanya masalah, ujian dan tantangan ini sudah disampaikan Tuhan Yesus ketika Ia hendak mengutus 70 murid-Nya yang lain untuk memberitakan Injil, bahwa mereka diutus seperti anak domba ke tengah-tengah serigala. Artinya tugas memberitakan Injil di tengah-tengah dunia ini bukanlah pekerjaan yang mudah karena akan ada banyak sekali tekanan, penolakan, penderitaan dan bahkan aniaya. Kita pun harus siap dengan segala resikonya karena kita berada dalam ancaman dan bahaya yang sewaktu-waktu bisa datang. Selain singa atau beruang, serigala adalah salah satu jenis binatang buas yang bisa mengancam keselamatan anak domba, Serigala adalah gambaran tentang tipu muslihat Iblis dan "...semua yang ada di dalam dunia, yaitu keinginan daging dan keinginan mata serta keangkuhan hidup," (1 Yohanes 2:16), yang sewaktu-waktu bisa mengancam, menerkam, menyeret dan menghancurkan hidup orang percaya. Oleh karena itu Tuhan Yesus memperingatkan, "Berjaga-jagalah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan: roh memang penurut, tetapi daging lemah." (Matius 26:41).
Bagaimana caranya supaya anak domba dapat bertahan? Kuncinya adalah harus selalu berada dekat dengan gembala. Sebagai anak domba jangan kita berlari menjauh dari Gembala Agung kita yaitu Tuhan Yesus. Jika kita menempuh jalan sendiri kita pasti akan tersesat, karena "Ada jalan yang disangka orang lurus, tetapi ujungnya menuju maut." (Amsal 14:12). Kalau kita senantiasa dekat dengan Gembala dan mengikuti jalan-jalan-Nya, kita bukan hanya akan aman dan terlindungi, tapi kita juga akan dibimbing-Nya di padang yang berumput hijau dan ke air yang tenang. (Bersambung)
Friday, July 3, 2015
JIWA YANG HANCUR: Persembahan Yang Berkenan
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 3 Juli 2015
Baca: Yesaya 57:14-21
"Aku bersemayam di tempat tinggi dan di tempat kudus tetapi juga bersama-sama orang yang remuk dan rendah hati, untuk menghidupkan semangat orang-orang yang rendah hati dan untuk menghidupkan hati orang-orang yang remuk." Yesaya 57:15
Semua orang pasti pernah menangis, tapi umumnya hanya ketika mengalami masalah yang berat atau memikirkan hal-hal yang menyakitkan, menyedihkan dan mengecewakan: menangis karena sakit yang diderita, menangis karena ditinggal pacar, menangis karena merasa diabaikan oleh suami atau orang yang dicintai dan sebagainya. Tangisan yang demikian hanya akan mendatangkan kelemahan dan membuat seseorang kehilangan sukacita dan damai sejahtera.
Tangisan seseorang yang bermakna beda ketika ia menangis di bawah kaki Tuhan Yesus, karena tangisan jenis ini lahir ketika seseorang menyadari akan ketidakberdayaan dan keterbatasannya, yaitu tangisan yang lahir dari jiwa yang hancur, hati yang remuk menyesali segala kesalahan dan dosa yang telah diperbuatnya. Inilah yang dirasakan oleh Daud setelah ia ditegur oleh nabi Natan. Dengan jiwa hancur Daud datang kepada Tuhan dan memohon ampun atas dosa-dosanya. "Kasihanilah aku, ya Allah, menurut kasih setia-Mu, hapuskanlah pelanggaranku menurut rahmat-Mu yang besar! Bersihkanlah aku seluruhnya dari kesalahanku, dan tahirkanlah aku dari dosaku!" (Mazmur 51:3-4). Penyesalan dan jiwa yang hancur kini sudah jarang dirasakan oleh banyak orang Kristen. Meski telah banyak melakukan kesalahan dan dosa kita tidak berasa apa-apa, tidak lagi peka, bahkan menganggapnya sebagai hal yang biasa. Ini terjadi karena kita merasa diri paling benar, paling baik dan paling sempurna dibandingkan dengan orang lain sehingga sulit sekali untuk merendahkan diri di hadapan Tuhan.
Alkitab menyatakan bahwa jiwa yang hancur dan kerendahan hati adalah berharga di mata Tuhan. Orang-orang yang patah dan remuk hatinya karena merindukan Tuhan adalah modal yang baik bagi Tuhan untuk membentuk dan memakai seseorang untuk menjadi alat bagi kemuliaan-Nya, sebab "Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihani orang yang rendah hati." (Yakobus 4:6).
"Korban sembelihan kepada Allah ialah jiwa yang hancur; hati yang patah dan remuk tidak akan Kaupandang hina, ya Allah." Mazmur 51:19
Baca: Yesaya 57:14-21
"Aku bersemayam di tempat tinggi dan di tempat kudus tetapi juga bersama-sama orang yang remuk dan rendah hati, untuk menghidupkan semangat orang-orang yang rendah hati dan untuk menghidupkan hati orang-orang yang remuk." Yesaya 57:15
Semua orang pasti pernah menangis, tapi umumnya hanya ketika mengalami masalah yang berat atau memikirkan hal-hal yang menyakitkan, menyedihkan dan mengecewakan: menangis karena sakit yang diderita, menangis karena ditinggal pacar, menangis karena merasa diabaikan oleh suami atau orang yang dicintai dan sebagainya. Tangisan yang demikian hanya akan mendatangkan kelemahan dan membuat seseorang kehilangan sukacita dan damai sejahtera.
Tangisan seseorang yang bermakna beda ketika ia menangis di bawah kaki Tuhan Yesus, karena tangisan jenis ini lahir ketika seseorang menyadari akan ketidakberdayaan dan keterbatasannya, yaitu tangisan yang lahir dari jiwa yang hancur, hati yang remuk menyesali segala kesalahan dan dosa yang telah diperbuatnya. Inilah yang dirasakan oleh Daud setelah ia ditegur oleh nabi Natan. Dengan jiwa hancur Daud datang kepada Tuhan dan memohon ampun atas dosa-dosanya. "Kasihanilah aku, ya Allah, menurut kasih setia-Mu, hapuskanlah pelanggaranku menurut rahmat-Mu yang besar! Bersihkanlah aku seluruhnya dari kesalahanku, dan tahirkanlah aku dari dosaku!" (Mazmur 51:3-4). Penyesalan dan jiwa yang hancur kini sudah jarang dirasakan oleh banyak orang Kristen. Meski telah banyak melakukan kesalahan dan dosa kita tidak berasa apa-apa, tidak lagi peka, bahkan menganggapnya sebagai hal yang biasa. Ini terjadi karena kita merasa diri paling benar, paling baik dan paling sempurna dibandingkan dengan orang lain sehingga sulit sekali untuk merendahkan diri di hadapan Tuhan.
Alkitab menyatakan bahwa jiwa yang hancur dan kerendahan hati adalah berharga di mata Tuhan. Orang-orang yang patah dan remuk hatinya karena merindukan Tuhan adalah modal yang baik bagi Tuhan untuk membentuk dan memakai seseorang untuk menjadi alat bagi kemuliaan-Nya, sebab "Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihani orang yang rendah hati." (Yakobus 4:6).
"Korban sembelihan kepada Allah ialah jiwa yang hancur; hati yang patah dan remuk tidak akan Kaupandang hina, ya Allah." Mazmur 51:19
Thursday, July 2, 2015
HARI BARU: Libatkan Tuhan (2)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 2 Juli 2015
Baca: Mazmur 92:1-16
"untuk memberitakan kasih setia-Mu di waktu pagi dan kesetiaan-Mu di waktu malam," Mazmur 92:3
Sebelum memulai segala sesuatu di hari yang baru kita harus pastikan bahwa yang akan kita pikirkan dan lakukan adalah sesuai dengan kehendak Tuhan, dan apakah mendatangkan kebaikan bagi kita ataukah sebaliknya. Karena itu perlu sekali kita datang kepada Tuhan dan mempertajam pendengaran kita untuk mendengar Tuhan berbicara melalui firman-Nya. Perhatikan! Bagaimana kita memulai langkah awal akan menentukan bagaimana hasil akhirnya. Ketika kita mengijinkan Tuhan memimpin dan menuntun langkah kita, kita pun akan beroleh kekuatan baru dalam menjalani hari, karena kita percaya ada Tuhan yang akan menopang, menguatkan dan menyertai kita senantiasa.
Inilah yang dilakukan Daud ketika memulai hari baru: "...pada waktu pagi Engkau mendengar seruanku, pada waktu pagi aku mengatur persembahan bagi-Mu, dan aku menunggu-nunggu." (Mazmur 5:4). Kata persembahan bukan hanya berbicara tentang materi atau sesuatu yang dipersembahkan kepada Tuhan, tetapi meliputi segenap keberadaan hidup Daud: hati, pikiran, kehendak dan rencana, diserahkan kepada Tuhan sepenuhnya. Dengan kata lain Daud berkata, "Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia." (Kolose 3:23). Sadar bahwa Tuhan sangat benci segala bentuk kefasikan maka Daud pun bertekad menjauhkan diri dari dosa. "Sebab Engkau bukanlah Allah yang berkenan kepada kefasikan; orang jahat takkan menumpang pada-Mu." (Mazmur 5:5).
Hal penting lain adalah Daud senantiasa mengingat-ingat kebaikan dan kasih Tuhan dalam hidupnya. "...berkat kasih setia-Mu yang besar, aku akan masuk ke dalam rumah-Mu," (Mazmur 5:8), dan "Perdengarkanlah kasih setia-Mu kepadaku pada waktu pagi, sebab kepada-Mulah aku percaya!" (Mazmur 143:8a). Daud tidak memusatkan pikiran dan perhatiannya terhadap masalah, tapi kepada kuasa Tuhan.
Dengan iman Daud dapat berkata, "...Engkaulah yang memberkati orang benar, ya TUHAN; Engkau memagari dia dengan anugerah-Mu seperti perisai." Mazmur 5:13
Baca: Mazmur 92:1-16
"untuk memberitakan kasih setia-Mu di waktu pagi dan kesetiaan-Mu di waktu malam," Mazmur 92:3
Sebelum memulai segala sesuatu di hari yang baru kita harus pastikan bahwa yang akan kita pikirkan dan lakukan adalah sesuai dengan kehendak Tuhan, dan apakah mendatangkan kebaikan bagi kita ataukah sebaliknya. Karena itu perlu sekali kita datang kepada Tuhan dan mempertajam pendengaran kita untuk mendengar Tuhan berbicara melalui firman-Nya. Perhatikan! Bagaimana kita memulai langkah awal akan menentukan bagaimana hasil akhirnya. Ketika kita mengijinkan Tuhan memimpin dan menuntun langkah kita, kita pun akan beroleh kekuatan baru dalam menjalani hari, karena kita percaya ada Tuhan yang akan menopang, menguatkan dan menyertai kita senantiasa.
Inilah yang dilakukan Daud ketika memulai hari baru: "...pada waktu pagi Engkau mendengar seruanku, pada waktu pagi aku mengatur persembahan bagi-Mu, dan aku menunggu-nunggu." (Mazmur 5:4). Kata persembahan bukan hanya berbicara tentang materi atau sesuatu yang dipersembahkan kepada Tuhan, tetapi meliputi segenap keberadaan hidup Daud: hati, pikiran, kehendak dan rencana, diserahkan kepada Tuhan sepenuhnya. Dengan kata lain Daud berkata, "Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia." (Kolose 3:23). Sadar bahwa Tuhan sangat benci segala bentuk kefasikan maka Daud pun bertekad menjauhkan diri dari dosa. "Sebab Engkau bukanlah Allah yang berkenan kepada kefasikan; orang jahat takkan menumpang pada-Mu." (Mazmur 5:5).
Hal penting lain adalah Daud senantiasa mengingat-ingat kebaikan dan kasih Tuhan dalam hidupnya. "...berkat kasih setia-Mu yang besar, aku akan masuk ke dalam rumah-Mu," (Mazmur 5:8), dan "Perdengarkanlah kasih setia-Mu kepadaku pada waktu pagi, sebab kepada-Mulah aku percaya!" (Mazmur 143:8a). Daud tidak memusatkan pikiran dan perhatiannya terhadap masalah, tapi kepada kuasa Tuhan.
Dengan iman Daud dapat berkata, "...Engkaulah yang memberkati orang benar, ya TUHAN; Engkau memagari dia dengan anugerah-Mu seperti perisai." Mazmur 5:13
Wednesday, July 1, 2015
HARI BARU: Libatkan Tuhan (1)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 1 Juli 2015
Baca: Mazmur 5:1-13
"TUHAN, pada waktu pagi Engkau mendengar seruanku, pada waktu pagi aku mengatur persembahan bagi-Mu, dan aku menunggu-nunggu." Mazmur 5:4
Ketika mentari pagi menyapa di ufuk timur, itu pertanda hari baru telah tiba, artinya kita kembali beroleh kesempatan dari Tuhan untuk menjalani hidup ini, dan terlebih lagi kita beroleh kesempatan untuk menikmati kasih dan kebaikan Tuhan, sebab "Tak berkesudahan kasih setia TUHAN, tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi; besar kesetiaan-Mu!" (Ratapan 3:22-23). Karena itu kita harus mengawali hari dengan ucapan syukur untuk apa yang Tuhan sudah sediakan untuk kita di hari baru ini.
Kita tahu pagi hari adalah waktu yang tepat mempersiapkan segala sesuatunya. Akan tetapi banyak orang ketika bangun pagi pikirannya langsung tertuju kepada masalah yang membuat mereka terus dihantui rasa kuatir dan takut; bagaimana kalau uang belanja tidak cukup, bagaimana kalau toko sepi, bagaimana kalau target meleset, bagaimana kalau klien membatalkan janjinya. Ada pula yang hanya memikirkan cara uang meraup keuntungan sebanyak-banyaknya dalam hal berbisnis. Kita pun cenderung mengandalkan kekuatan dan kepintaran sendiri, tidak lagi mengandalkan Tuhan dan melibatkan Dia di setiap perencanaan hidup ini. "Hari ini atau besok kami berangkat ke kota anu, dan di sana kami akan tinggal setahun dan berdagang serta mendapat untung, sedang kamu tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Apakah arti hidupmu? Hidupmu itu sama seperti uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap." (Yakobus 4:13-15).
Jarang sekali kita mengawali hari dengan mempersiapkan hati untuk mencari wajah Tuhan dan bersekutu dengan-Nya terlebih dahulu, dan menyerahkan segala sesuatunya kepada Tuhan. Padahal membangun kekariban dengan Tuhan adalah awal yang baik sebelum kita mengisi hari dengan berbagai aktivitas dan kesibukan. Hal inilah yang sering diabaikan dan disepelekan oleh banyak orang Kristen. Kalau kita sudah memulai dengan langkah yang salah, semakin jauh kita melangkah akan semakin berat langkah yang akan kita tempuh. Hal-hal yang tak terduga di luar perencanaan bisa saja terjadi dan itu akan mengejutkan kita.
Awalilah hari baru dengan mengutamakan Tuhan dan melibatkan Dia, maka sepanjang hari yang akan kita jalani pasti jauh berbeda hasilnya.
Baca: Mazmur 5:1-13
"TUHAN, pada waktu pagi Engkau mendengar seruanku, pada waktu pagi aku mengatur persembahan bagi-Mu, dan aku menunggu-nunggu." Mazmur 5:4
Ketika mentari pagi menyapa di ufuk timur, itu pertanda hari baru telah tiba, artinya kita kembali beroleh kesempatan dari Tuhan untuk menjalani hidup ini, dan terlebih lagi kita beroleh kesempatan untuk menikmati kasih dan kebaikan Tuhan, sebab "Tak berkesudahan kasih setia TUHAN, tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi; besar kesetiaan-Mu!" (Ratapan 3:22-23). Karena itu kita harus mengawali hari dengan ucapan syukur untuk apa yang Tuhan sudah sediakan untuk kita di hari baru ini.
Kita tahu pagi hari adalah waktu yang tepat mempersiapkan segala sesuatunya. Akan tetapi banyak orang ketika bangun pagi pikirannya langsung tertuju kepada masalah yang membuat mereka terus dihantui rasa kuatir dan takut; bagaimana kalau uang belanja tidak cukup, bagaimana kalau toko sepi, bagaimana kalau target meleset, bagaimana kalau klien membatalkan janjinya. Ada pula yang hanya memikirkan cara uang meraup keuntungan sebanyak-banyaknya dalam hal berbisnis. Kita pun cenderung mengandalkan kekuatan dan kepintaran sendiri, tidak lagi mengandalkan Tuhan dan melibatkan Dia di setiap perencanaan hidup ini. "Hari ini atau besok kami berangkat ke kota anu, dan di sana kami akan tinggal setahun dan berdagang serta mendapat untung, sedang kamu tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Apakah arti hidupmu? Hidupmu itu sama seperti uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap." (Yakobus 4:13-15).
Jarang sekali kita mengawali hari dengan mempersiapkan hati untuk mencari wajah Tuhan dan bersekutu dengan-Nya terlebih dahulu, dan menyerahkan segala sesuatunya kepada Tuhan. Padahal membangun kekariban dengan Tuhan adalah awal yang baik sebelum kita mengisi hari dengan berbagai aktivitas dan kesibukan. Hal inilah yang sering diabaikan dan disepelekan oleh banyak orang Kristen. Kalau kita sudah memulai dengan langkah yang salah, semakin jauh kita melangkah akan semakin berat langkah yang akan kita tempuh. Hal-hal yang tak terduga di luar perencanaan bisa saja terjadi dan itu akan mengejutkan kita.
Awalilah hari baru dengan mengutamakan Tuhan dan melibatkan Dia, maka sepanjang hari yang akan kita jalani pasti jauh berbeda hasilnya.
Tuesday, June 30, 2015
HATI YANG LUKA
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 30 Juni 2015
Baca: Mazmur 147:1-20
"Ia menyembuhkan orang-orang yang patah hati dan membalut luka-luka mereka;" Mazmur 147:3
Di hari terakhir bulan Juni ini, bagaimana suasana hati Saudara? Apakah hati kita secerah mentari yang selalu setia menyapa kita di kala pagi? Ataukah hati kita seperti awan gelap yang dihiasi oleh petir yang siap menyambar oleh karena terluka? Tak bisa dipungkiri, hampir semua orang pernah mengalami apa yang dinamakan luka hati, dan banyak faktor yang menjadi penyebabnya: disakiti, dikhianati, digosipkan, difitnah atau diperlakukan secara tidak adil oleh orang lain. Apabila luka hati tersebut tidak secara cepat diatasi akan menimbulkan masalah yang lebih serius dalam diri orang bersangkutan: dendam, kepahitan, frustasi, mengasihani diri sendiri secara berlebihan, dan akhirnya citra diri pun rusak karena menganggap diri tak berharga.
Luka hati adalah suatu keadaan dalam batin seseorang yang menimbulkan perasaan marah, benci, kecewa dan pahit yang begitu mendalam sebagai akibat dari penolakan atau perlakuan semena-mena dari orang lain. Namun pada dasarnya luka hati ini diperparah bukan karena perbuatan orang lain yang menyakiti, tetapi justru pada respons kita atau sikap hati kita terhadap perbuatan orang tersebut. Yusuf, salah satu tokoh dalam Perjanjian Lama (baca Kejadian 37, 39, 40), adalah orang yang sesunggunnya punya alasan kuat untuk terluka hati karena peristiwa-peristiwa pahit yang dialaminya: dibenci, dimusuhi, diperlakukan tidak adil oleh saudara-saudaranya sendiri, dibuang ke dalam sumur, dijual sebagai budak, difitnah oleh isteri Potifar, dan dilupakan begitu saja oleh juru minum raja yang telah ditolongnya. Meski demikian, Yusuf tidak membiarkan dirinya larut dalam kekecewaan, pemberontakan, keputusasaan, pahit hati, benci atau pun dendam. Ini terjadi karena Yusuf memilih untuk merespons secara positif masalah yang menimpanya dan menyerahkan semua pergumulannya itu kepada Tuhan.
Saudara sedang terluka? Segeralah datang kepada Tuhan dan akuilah dengan jujur di hadapan Tuhan. Hanya dengan pertolongan Roh Kudus kita dapat dilepaskan dan dibebaskan dari luka hati karena Dia adalah sumber damai sejahtera kita.
Jika tahu bahwa luka hati tidak medatangkan kebaikan, mengapa harus dipelihara? Kita akan rugi sendiri.
Baca: Mazmur 147:1-20
"Ia menyembuhkan orang-orang yang patah hati dan membalut luka-luka mereka;" Mazmur 147:3
Di hari terakhir bulan Juni ini, bagaimana suasana hati Saudara? Apakah hati kita secerah mentari yang selalu setia menyapa kita di kala pagi? Ataukah hati kita seperti awan gelap yang dihiasi oleh petir yang siap menyambar oleh karena terluka? Tak bisa dipungkiri, hampir semua orang pernah mengalami apa yang dinamakan luka hati, dan banyak faktor yang menjadi penyebabnya: disakiti, dikhianati, digosipkan, difitnah atau diperlakukan secara tidak adil oleh orang lain. Apabila luka hati tersebut tidak secara cepat diatasi akan menimbulkan masalah yang lebih serius dalam diri orang bersangkutan: dendam, kepahitan, frustasi, mengasihani diri sendiri secara berlebihan, dan akhirnya citra diri pun rusak karena menganggap diri tak berharga.
Luka hati adalah suatu keadaan dalam batin seseorang yang menimbulkan perasaan marah, benci, kecewa dan pahit yang begitu mendalam sebagai akibat dari penolakan atau perlakuan semena-mena dari orang lain. Namun pada dasarnya luka hati ini diperparah bukan karena perbuatan orang lain yang menyakiti, tetapi justru pada respons kita atau sikap hati kita terhadap perbuatan orang tersebut. Yusuf, salah satu tokoh dalam Perjanjian Lama (baca Kejadian 37, 39, 40), adalah orang yang sesunggunnya punya alasan kuat untuk terluka hati karena peristiwa-peristiwa pahit yang dialaminya: dibenci, dimusuhi, diperlakukan tidak adil oleh saudara-saudaranya sendiri, dibuang ke dalam sumur, dijual sebagai budak, difitnah oleh isteri Potifar, dan dilupakan begitu saja oleh juru minum raja yang telah ditolongnya. Meski demikian, Yusuf tidak membiarkan dirinya larut dalam kekecewaan, pemberontakan, keputusasaan, pahit hati, benci atau pun dendam. Ini terjadi karena Yusuf memilih untuk merespons secara positif masalah yang menimpanya dan menyerahkan semua pergumulannya itu kepada Tuhan.
Saudara sedang terluka? Segeralah datang kepada Tuhan dan akuilah dengan jujur di hadapan Tuhan. Hanya dengan pertolongan Roh Kudus kita dapat dilepaskan dan dibebaskan dari luka hati karena Dia adalah sumber damai sejahtera kita.
Jika tahu bahwa luka hati tidak medatangkan kebaikan, mengapa harus dipelihara? Kita akan rugi sendiri.
Monday, June 29, 2015
JANDA MISKIN: Memberi Yang Terbaik
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 29 Juni 2015
Baca: Markus 12:41-44
"Sebab mereka semua memberi dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya, semua yang ada padanya, yaitu seluruh nafkahnya." Markus 12:44
Ketika melihat seorang janda miskin memasukkan persembahan di kantong kolekte, mungkin ada orang yang berkata dalam hati, "Ah... persembahannya paling tak lebih dari seribu perak. Tidak ada artinya sama sekali!" Tak jarang orang akan mencibir, menyepelekan dan menganggap bahwa persembahan janda miskin itu tidak ada artinya sama sekali jika dibandingkan dengan biaya yang dibutuhkan untuk operasional gereja. Berbeda jika orang kaya dengan penampilan yang perlente memasukkan persembahannya di kantong kolekte yang sama pasti kita akan bergumam dalam hati, "Wow... persembahannya pasti ratusan ribu, bahkan mungkin jutaaan rupiah!"... dan kita pun berpikiran bahwa persembahan orang kaya itulah yang pasti berkenan dan menyenangkan hati Tuhan. Penilaian itu lumrah jika kita menilainya dengan ukuran logika manusia!
Alkitab menyatakan bahwa janda miskin itu memasukkan dua peser ke dalam peti persembahan. Peser adalah mata uang tembaga Yahudi yang paling kecil, sama dengan setengah duit. Ditinjau dari sisi nilai uang, persembahan janda miskin tersebut memang sangat kecil, namun jika ditinjau dari sisi kemampuan, pemberian janda miskin itu sangat besar sekali, karena "...janda ini memberi dari kekurangannya, semua yang ada padanya, yaitu seluruh nafkahnya." (ayat nas).
Melalui kisah ini Tuhan hendak menekankan bahwa selain melihat sikap hati atau motivasi seseorang dalam memberi persembahan, Ia juga mengingatkan agar dalam hal memberi persembahan kepada Tuhan hendaknya kita memberi yang terbaik dari yang kita miliki, bukan asal-asalan atau sisa-sisa harta kita. Janda miskin itu memberi dari seluruh nafkahnya, semua yang ia miliki dipersembahkan kepada Tuhan. Inilah yang disebut dengan korban! Sementara orang kaya itu memberi dari kelebihannya, bisa saja itu merupakan sisa-sisa kekayaannya yang berlimpah-limpah dan hal itu tidak membutuhkan pengorbanan apa puun. Apa yang diperbuat oleh janda miskin itu menunjukkan betapa ia sangat mengasihi Tuhan sehingga rela memberi semua yang dimilikinya untuk Tuhan.
Berilah yang terbaik untuk Tuhan karena semua yang kita miliki berasal daripada-Nya!
Baca: Markus 12:41-44
"Sebab mereka semua memberi dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya, semua yang ada padanya, yaitu seluruh nafkahnya." Markus 12:44
Ketika melihat seorang janda miskin memasukkan persembahan di kantong kolekte, mungkin ada orang yang berkata dalam hati, "Ah... persembahannya paling tak lebih dari seribu perak. Tidak ada artinya sama sekali!" Tak jarang orang akan mencibir, menyepelekan dan menganggap bahwa persembahan janda miskin itu tidak ada artinya sama sekali jika dibandingkan dengan biaya yang dibutuhkan untuk operasional gereja. Berbeda jika orang kaya dengan penampilan yang perlente memasukkan persembahannya di kantong kolekte yang sama pasti kita akan bergumam dalam hati, "Wow... persembahannya pasti ratusan ribu, bahkan mungkin jutaaan rupiah!"... dan kita pun berpikiran bahwa persembahan orang kaya itulah yang pasti berkenan dan menyenangkan hati Tuhan. Penilaian itu lumrah jika kita menilainya dengan ukuran logika manusia!
Alkitab menyatakan bahwa janda miskin itu memasukkan dua peser ke dalam peti persembahan. Peser adalah mata uang tembaga Yahudi yang paling kecil, sama dengan setengah duit. Ditinjau dari sisi nilai uang, persembahan janda miskin tersebut memang sangat kecil, namun jika ditinjau dari sisi kemampuan, pemberian janda miskin itu sangat besar sekali, karena "...janda ini memberi dari kekurangannya, semua yang ada padanya, yaitu seluruh nafkahnya." (ayat nas).
Melalui kisah ini Tuhan hendak menekankan bahwa selain melihat sikap hati atau motivasi seseorang dalam memberi persembahan, Ia juga mengingatkan agar dalam hal memberi persembahan kepada Tuhan hendaknya kita memberi yang terbaik dari yang kita miliki, bukan asal-asalan atau sisa-sisa harta kita. Janda miskin itu memberi dari seluruh nafkahnya, semua yang ia miliki dipersembahkan kepada Tuhan. Inilah yang disebut dengan korban! Sementara orang kaya itu memberi dari kelebihannya, bisa saja itu merupakan sisa-sisa kekayaannya yang berlimpah-limpah dan hal itu tidak membutuhkan pengorbanan apa puun. Apa yang diperbuat oleh janda miskin itu menunjukkan betapa ia sangat mengasihi Tuhan sehingga rela memberi semua yang dimilikinya untuk Tuhan.
Berilah yang terbaik untuk Tuhan karena semua yang kita miliki berasal daripada-Nya!
Sunday, June 28, 2015
BERBUAT BAIK: Investasi Yang Tidak Pernah Merugi
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 28 Juni 2015
Baca: 2 Tesalonika 3:1-15
"Dan kamu, saudara-saudara, janganlah jemu-jemu berbuat apa yang baik." 2 Tesalonika 3:13
Ada banyak orang dihadapkan pada pergumulan dalam batinnya, salah satunya adalah hal berbuat baik, apalagi ketika perbuatan baik yang dilakukannya itu seringkali tidak mendapatkan respons atau balasan yang diharapkan... kita pun mulai merasa bosan berbuat baik, mulai berpikir 1000x untuk berbuat baik, dan akhirnya kita berhenti untuk melanjutkan perbuatan baik tersebut. Memang, berbuat baik berarti harus berkorban dan kehilangan sesuatu, atau kelihatannya merugi. Benarkah demikian?
Seorang petani menanam padi atau sayuran. Pada saat bersamaan tumbuh pula rumput atau ilalang di sawah atau ladang tersebut. Namun andaikan petani itu menanam rumput ia tidak akan pernah mendapati padi atau sayuran turut tumbuh di sana. Demikian pula dalam kehidupan ini. Ketika kita melakukan perbuatan baik terkadang hal-hal buruk malah menyertai, entah itu berupa hinaan, cercaan, cibiran, fitnahan dari orang lain. Jika demikian haruskah kita berhenti berbuat baik ketika orang lain tidak membalas kebaikan kita? Kalau kita berbuat baik hanya sekedar untuk membalas kebaikan orang lain, atau dengan tujuan mendapatkan balasan yang sama, apalah artinya... "Sebab jikalau kamu berbuat baik kepada orang yang berbuat baik kepada kamu, apakah jasamu? Orang-orang berdosapun berbuat demikian." (Lukas 6:33); dan jangan pula kita berbuat baik karena suatu tendensi atau motivasi yang tidak benar. Rasul Paulus menasihati, "Janganlah kita jemu-jemu berbuat baik, karena apabila sudah datang waktunya, kita akan menuai, jika kita tidak menjadi lemah." (Galatia 6:9).
Jadi tidak ada istilah 'rugi atau buntung' ketika kita melakukan perbuatan baik kepada orang lain, sebab pada saatnya kita akan menuai. Ada tertulis: "Orang yang murah hati berbuat baik kepada diri sendiri," (Amsal 11:17). Sebagai orang percaya, berbuat baik adalah suatu keharusan, buah dari keselamatan yang telah kita terima, dan merupakan bukti kita memiliki iman yang hidup!
"Barangsiapa berbuat baik, ia berasal dari Allah, tetapi barangsiapa berbuat jahat, ia tidak pernah melihat Allah." 3 Yohanes 1:11b
Baca: 2 Tesalonika 3:1-15
"Dan kamu, saudara-saudara, janganlah jemu-jemu berbuat apa yang baik." 2 Tesalonika 3:13
Ada banyak orang dihadapkan pada pergumulan dalam batinnya, salah satunya adalah hal berbuat baik, apalagi ketika perbuatan baik yang dilakukannya itu seringkali tidak mendapatkan respons atau balasan yang diharapkan... kita pun mulai merasa bosan berbuat baik, mulai berpikir 1000x untuk berbuat baik, dan akhirnya kita berhenti untuk melanjutkan perbuatan baik tersebut. Memang, berbuat baik berarti harus berkorban dan kehilangan sesuatu, atau kelihatannya merugi. Benarkah demikian?
Seorang petani menanam padi atau sayuran. Pada saat bersamaan tumbuh pula rumput atau ilalang di sawah atau ladang tersebut. Namun andaikan petani itu menanam rumput ia tidak akan pernah mendapati padi atau sayuran turut tumbuh di sana. Demikian pula dalam kehidupan ini. Ketika kita melakukan perbuatan baik terkadang hal-hal buruk malah menyertai, entah itu berupa hinaan, cercaan, cibiran, fitnahan dari orang lain. Jika demikian haruskah kita berhenti berbuat baik ketika orang lain tidak membalas kebaikan kita? Kalau kita berbuat baik hanya sekedar untuk membalas kebaikan orang lain, atau dengan tujuan mendapatkan balasan yang sama, apalah artinya... "Sebab jikalau kamu berbuat baik kepada orang yang berbuat baik kepada kamu, apakah jasamu? Orang-orang berdosapun berbuat demikian." (Lukas 6:33); dan jangan pula kita berbuat baik karena suatu tendensi atau motivasi yang tidak benar. Rasul Paulus menasihati, "Janganlah kita jemu-jemu berbuat baik, karena apabila sudah datang waktunya, kita akan menuai, jika kita tidak menjadi lemah." (Galatia 6:9).
Jadi tidak ada istilah 'rugi atau buntung' ketika kita melakukan perbuatan baik kepada orang lain, sebab pada saatnya kita akan menuai. Ada tertulis: "Orang yang murah hati berbuat baik kepada diri sendiri," (Amsal 11:17). Sebagai orang percaya, berbuat baik adalah suatu keharusan, buah dari keselamatan yang telah kita terima, dan merupakan bukti kita memiliki iman yang hidup!
"Barangsiapa berbuat baik, ia berasal dari Allah, tetapi barangsiapa berbuat jahat, ia tidak pernah melihat Allah." 3 Yohanes 1:11b
Saturday, June 27, 2015
BERKAT DARI PEMBENARAN ALLAH (2)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 27 Juni 2015
Baca: Galatia 2:15-21
"Kamu tahu, bahwa tidak seorangpun yang dibenarkan oleh karena melakukan hukum Taurat, tetapi hanya oleh karena iman dalam Kristus Yesus." Galatia 2:16
Kita beroleh pembenaran dari Allah karena kasih karunia-Nya semata... perbuatan baik kita tidak dapat melayakkan kita untuk dapat dibenarkan. Hanya melalui salib Kristuslah Allah dapat membenarkan kita. Darah Kristus yang tercurah di Kalvari menjadi dasar kebenaran kita. "Dia yang tidak mengenal dosa telah dibuat-Nya menjadi dosa karena kita, supaya dalam Dia kita dibenarkan oleh Allah." (2 Korintus 5:21), dan kebangkitan Kristus sebagai peneguhan kebenaran kita: "yaitu Yesus, yang telah diserahkan karena pelanggaran kita dan dibangkitkan karena pembenaran kita." (Roma 4:25).
Berkat lain yang kita terima sebagai hasil pembenaran Allah adalah kita memiliki pengharapan yang pasti. "Dan pengharapan tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita." (Roma 5:5). Karena itu seberat apa pun persoalan yang kita hadapi tak seharusnya membuat kita menjadi lemah, sebaliknya "Kita malah bermegah juga dalam kesengsaraan kita, karena kita tahu, bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan." (Roma 5:3-5), sebab kita percaya bahwa "Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku." (Filipi 4:13).
Lalu berkat terbesarnya adalah keselamatan kekal. "Lebih-lebih, karena kita sekarang telah dibenarkan oleh darah-Nya, kita pasti akan diselamatkan dari murka Allah." (Roma 5:9). Sorga menjadi suatu kepastian bagi orang percaya! Melalui pengorbanan Kristus status orang percaya pun berubah yaitu diangkat menjadi anak-anak Allah. "Sebab kamu semua adalah anak-anak Allah karena iman di dalam Yesus Kristus." (Galatia 3:26), dan "...jika kita adalah anak, maka kita juga adalah ahli waris, maksudnya orang-orang yang berhak menerima janji-janji Allah," (Roma 8:17). Tetapi hukuman kekal tetap berlaku bagi siapa saja yang tidak percaya dan menolak Kristus sebagai Tuhan dan Juruselemat, karena mereka tidak mengalami pembenaran dari Allah.
Karena dibenarkan Allah maka setiap orang percaya beroleh pengharapan yang pasti dan jaminan kehidupan kekal!
Baca: Galatia 2:15-21
"Kamu tahu, bahwa tidak seorangpun yang dibenarkan oleh karena melakukan hukum Taurat, tetapi hanya oleh karena iman dalam Kristus Yesus." Galatia 2:16
Kita beroleh pembenaran dari Allah karena kasih karunia-Nya semata... perbuatan baik kita tidak dapat melayakkan kita untuk dapat dibenarkan. Hanya melalui salib Kristuslah Allah dapat membenarkan kita. Darah Kristus yang tercurah di Kalvari menjadi dasar kebenaran kita. "Dia yang tidak mengenal dosa telah dibuat-Nya menjadi dosa karena kita, supaya dalam Dia kita dibenarkan oleh Allah." (2 Korintus 5:21), dan kebangkitan Kristus sebagai peneguhan kebenaran kita: "yaitu Yesus, yang telah diserahkan karena pelanggaran kita dan dibangkitkan karena pembenaran kita." (Roma 4:25).
Berkat lain yang kita terima sebagai hasil pembenaran Allah adalah kita memiliki pengharapan yang pasti. "Dan pengharapan tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita." (Roma 5:5). Karena itu seberat apa pun persoalan yang kita hadapi tak seharusnya membuat kita menjadi lemah, sebaliknya "Kita malah bermegah juga dalam kesengsaraan kita, karena kita tahu, bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan." (Roma 5:3-5), sebab kita percaya bahwa "Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku." (Filipi 4:13).
Lalu berkat terbesarnya adalah keselamatan kekal. "Lebih-lebih, karena kita sekarang telah dibenarkan oleh darah-Nya, kita pasti akan diselamatkan dari murka Allah." (Roma 5:9). Sorga menjadi suatu kepastian bagi orang percaya! Melalui pengorbanan Kristus status orang percaya pun berubah yaitu diangkat menjadi anak-anak Allah. "Sebab kamu semua adalah anak-anak Allah karena iman di dalam Yesus Kristus." (Galatia 3:26), dan "...jika kita adalah anak, maka kita juga adalah ahli waris, maksudnya orang-orang yang berhak menerima janji-janji Allah," (Roma 8:17). Tetapi hukuman kekal tetap berlaku bagi siapa saja yang tidak percaya dan menolak Kristus sebagai Tuhan dan Juruselemat, karena mereka tidak mengalami pembenaran dari Allah.
Karena dibenarkan Allah maka setiap orang percaya beroleh pengharapan yang pasti dan jaminan kehidupan kekal!
Friday, June 26, 2015
BERKAT DARI PEMBENARAN ALLAH (1)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 26 Juni 2015
Baca: Roma 5:12-21
"...demikian pula oleh ketaatan satu orang semua orang menjadi orang benar." Roma 5:19
Adapun proses pembenaran Allah adalah melalui karya pengorbanan Anak-Nya, Yesus Kristus di kayu salib. Dengan pengorbanan-Nya kita dibebaskan dari kutuk dosa, karena "Kristus telah menebus kita dari kutuk hukum Taurat dengan jalan menjadi kutuk karena kita, sebab ada tertulis: 'Terkutuklah orang yang digantung pada kayu salib!'" (Galatia 3:13). Pengorbanan-Nya menutupi dosa-dosa kita. "Sebab itu, sama seperti oleh satu pelanggaran semua orang beroleh penghukuman, demikian pula oleh satu perbuatan kebenaran semua orang beroleh pembenaran untuk hidup. Jadi sama seperti oleh ketidaktaatan satu orang semua orang telah menjadi orang berdosa, demikian pula oleh ketaatan satu orang semua orang menjadi orang benar." (Roma 5:18-19).
Ada berkat-berkat yang luar biasa ketika orang berdosa dibenarkan oleh Allah. Adapun berkat utamanya adalah beroleh pengampunan dosa. Ketika seseorang dibenarkan, secara otomatis dan tidak dapat tidak, dosa-dosanya diampuni dan hukumannya juga dibatalkan. Bagaimana orang dapat dibenarkan apabila hukuman dosanya masih saja berlaku dan tetap ditanggungkan kepadanya? Orang yang dibenarkan oleh Allah keadaannya seperti anak bungsu yang kembali kepada bapanya, "Bapa, aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa; jadikanlah aku sebagai salah seorang upahan bapa. Maka bangkitlah ia dan pergi kepada bapanya. Ketika ia masih jauh, ayahnya telah melihatnya, lalu tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Ayahnya itu berlari mendapatkan dia lalu merangkul dan mencium dia." (Lukas 15:18-20).
Berkat lain ketika seseorang dibenarkan Allah yaitu "...hidup dalam damai sejahtera dengan Allah oleh karena Tuhan kita, Yesus Kristus." (Roma 5:1). Kita beroleh damai sejahtera oleh karena kita mengalami pemulihan hubungan dengan Allah. "Tetapi sekarang di dalam Kristus Yesus kamu, yang dahulu 'jauh', sudah menjadi 'dekat' oleh darah Kristus. Karena Dialah damai sejahtera kita, yang telah mempersatukan kedua pihak dan yang telah merubuhkan tembok pemisah, yaitu perseteruan," (Efesus 2:13-14).
Karena dibenarkan, kita yang dahulunya hidup jauh dari Allah kini menjadi dekat!
Baca: Roma 5:12-21
"...demikian pula oleh ketaatan satu orang semua orang menjadi orang benar." Roma 5:19
Adapun proses pembenaran Allah adalah melalui karya pengorbanan Anak-Nya, Yesus Kristus di kayu salib. Dengan pengorbanan-Nya kita dibebaskan dari kutuk dosa, karena "Kristus telah menebus kita dari kutuk hukum Taurat dengan jalan menjadi kutuk karena kita, sebab ada tertulis: 'Terkutuklah orang yang digantung pada kayu salib!'" (Galatia 3:13). Pengorbanan-Nya menutupi dosa-dosa kita. "Sebab itu, sama seperti oleh satu pelanggaran semua orang beroleh penghukuman, demikian pula oleh satu perbuatan kebenaran semua orang beroleh pembenaran untuk hidup. Jadi sama seperti oleh ketidaktaatan satu orang semua orang telah menjadi orang berdosa, demikian pula oleh ketaatan satu orang semua orang menjadi orang benar." (Roma 5:18-19).
Ada berkat-berkat yang luar biasa ketika orang berdosa dibenarkan oleh Allah. Adapun berkat utamanya adalah beroleh pengampunan dosa. Ketika seseorang dibenarkan, secara otomatis dan tidak dapat tidak, dosa-dosanya diampuni dan hukumannya juga dibatalkan. Bagaimana orang dapat dibenarkan apabila hukuman dosanya masih saja berlaku dan tetap ditanggungkan kepadanya? Orang yang dibenarkan oleh Allah keadaannya seperti anak bungsu yang kembali kepada bapanya, "Bapa, aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa; jadikanlah aku sebagai salah seorang upahan bapa. Maka bangkitlah ia dan pergi kepada bapanya. Ketika ia masih jauh, ayahnya telah melihatnya, lalu tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Ayahnya itu berlari mendapatkan dia lalu merangkul dan mencium dia." (Lukas 15:18-20).
Berkat lain ketika seseorang dibenarkan Allah yaitu "...hidup dalam damai sejahtera dengan Allah oleh karena Tuhan kita, Yesus Kristus." (Roma 5:1). Kita beroleh damai sejahtera oleh karena kita mengalami pemulihan hubungan dengan Allah. "Tetapi sekarang di dalam Kristus Yesus kamu, yang dahulu 'jauh', sudah menjadi 'dekat' oleh darah Kristus. Karena Dialah damai sejahtera kita, yang telah mempersatukan kedua pihak dan yang telah merubuhkan tembok pemisah, yaitu perseteruan," (Efesus 2:13-14).
Karena dibenarkan, kita yang dahulunya hidup jauh dari Allah kini menjadi dekat!
Thursday, June 25, 2015
DIBENARKAN OLEH ALLAH
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 25 Juni 2015
Baca: Roma 5:1-11
"Sebab itu, kita yang dibenarkan karena iman, kita hidup dalam damai sejahtera dengan Allah oleh karena Tuhan kita, Yesus Kristus." Roma 5:1
Alkitab menyatakan bahwa semua manusia yang ada di dunia ini "Tidak ada yang benar, seorangpun tidak." (Roma 3:10). Ini terjadi sebagai akibat pelanggaran satu orang yaitu manusia pertama yang jatuh dalam dosa. "Sebab itu, sama seperti dosa telah masuk ke dalam dunia oleh satu orang, dan oleh dosa itu juga maut, demikianlah maut itu telah menjalar kepada semua orang, karena semua orang telah berbuat dosa." (Roma 5:12). Akibat dosa maka murka Allah nyata atas semua orang yang berdosa, dan "...upah dosa ialah maut;" (Roma 6:23). Karena dosa inilah manusia harus hidup terpisah dari Allah!
Dengan usaha dan upaya sendiri, bahkan dengan perbuatan baik sekalipun, manusia tidak akan pernah dapat memperoleh keselamatan dan mengalami pemulihan hubungan dengan Allah...kecuali inisiatif itu datangnya dari Allah sendiri, karena itu Ia "...mengutus Anak-Nya yang tunggal ke dalam dunia, supaya kita hidup oleh-Nya." (1 Yohanes 4:9). Inilah yang disebut anugerah! Anugerah diberikan Allah sebagai bagian dari proses pembenaran, di mana manusia yang berdosa dijadikan benar bukan berdasarkan pada apa yang diperbuatnya atau karena amal baiknya, tetapi berdasarkan apa yang telah Allah lakukan. Jadi proses pembenaran ini dikerjakan oleh Allah sendiri, di mana Ia membenarkan setiap orang yang percaya kepada Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat. Dibenarkan adalah berkenaan dengan perubahan dalam hubungan, yaitu hubungan antara Allah dan orang yang percaya kepada Tuhan Yesus.
Dalam proses 'pembenaran' ini Allah berperan sebagai Hakim, yang oleh karena Anak-Nya Ia membenarkan orang berdosa (mengampuni dosa-dosanya) yang percaya kepada Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat, sehingga hukuman dosa tidak lagi ditanggungkan ke atas orang itu. "Sebab, jika karena pelanggaran satu orang semua orang telah jatuh di dalam kuasa maut, jauh lebih besar lagi kasih karunia Allah dan karunia-Nya, yang dilimpahkan-Nya atas semua orang karena satu orang, yaitu Yesus Kristus." (Roma 5:15b). Luar biasa anugerah Allah bagi orang percaya!
Dibenarkan berarti dianggap benar yaitu bila orang berdosa menerima Yesus sebagai korban dari dosa-dosanya, dan percaya kepada-Nya.
Baca: Roma 5:1-11
"Sebab itu, kita yang dibenarkan karena iman, kita hidup dalam damai sejahtera dengan Allah oleh karena Tuhan kita, Yesus Kristus." Roma 5:1
Alkitab menyatakan bahwa semua manusia yang ada di dunia ini "Tidak ada yang benar, seorangpun tidak." (Roma 3:10). Ini terjadi sebagai akibat pelanggaran satu orang yaitu manusia pertama yang jatuh dalam dosa. "Sebab itu, sama seperti dosa telah masuk ke dalam dunia oleh satu orang, dan oleh dosa itu juga maut, demikianlah maut itu telah menjalar kepada semua orang, karena semua orang telah berbuat dosa." (Roma 5:12). Akibat dosa maka murka Allah nyata atas semua orang yang berdosa, dan "...upah dosa ialah maut;" (Roma 6:23). Karena dosa inilah manusia harus hidup terpisah dari Allah!
Dengan usaha dan upaya sendiri, bahkan dengan perbuatan baik sekalipun, manusia tidak akan pernah dapat memperoleh keselamatan dan mengalami pemulihan hubungan dengan Allah...kecuali inisiatif itu datangnya dari Allah sendiri, karena itu Ia "...mengutus Anak-Nya yang tunggal ke dalam dunia, supaya kita hidup oleh-Nya." (1 Yohanes 4:9). Inilah yang disebut anugerah! Anugerah diberikan Allah sebagai bagian dari proses pembenaran, di mana manusia yang berdosa dijadikan benar bukan berdasarkan pada apa yang diperbuatnya atau karena amal baiknya, tetapi berdasarkan apa yang telah Allah lakukan. Jadi proses pembenaran ini dikerjakan oleh Allah sendiri, di mana Ia membenarkan setiap orang yang percaya kepada Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat. Dibenarkan adalah berkenaan dengan perubahan dalam hubungan, yaitu hubungan antara Allah dan orang yang percaya kepada Tuhan Yesus.
Dalam proses 'pembenaran' ini Allah berperan sebagai Hakim, yang oleh karena Anak-Nya Ia membenarkan orang berdosa (mengampuni dosa-dosanya) yang percaya kepada Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat, sehingga hukuman dosa tidak lagi ditanggungkan ke atas orang itu. "Sebab, jika karena pelanggaran satu orang semua orang telah jatuh di dalam kuasa maut, jauh lebih besar lagi kasih karunia Allah dan karunia-Nya, yang dilimpahkan-Nya atas semua orang karena satu orang, yaitu Yesus Kristus." (Roma 5:15b). Luar biasa anugerah Allah bagi orang percaya!
Dibenarkan berarti dianggap benar yaitu bila orang berdosa menerima Yesus sebagai korban dari dosa-dosanya, dan percaya kepada-Nya.
Wednesday, June 24, 2015
KEGAGALAN: Cambuk Untuk Maju
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 24 Juni 2015
Baca: Ayub 42:7-17
"Lalu TUHAN memulihkan keadaan Ayub, setelah ia meminta doa untuk sahabat-sahabatnya, dan TUHAN memberikan kepada Ayub dua kali lipat dari segala kepunyaannya dahulu." Ayub 42:10
Ketika mendengar nama Ayub seringkali yang terbayang di benak kita adalah kisah hidupnya yang penuh penderitaan. Pencobaan demi pencobaan datang secara beruntun dalam kehidupan Ayub: 10 anaknya mati, harta bendanya ludes, dihujat oleh isteri dan ia sendiri mengalami sakit yang begitu parah. Jika seseorang berada di posisi Ayub kemungkinan besar ia tidak akan sanggup lagi menjalani hidupnya.
Karena beratnya penderitaan yang harus ditanggung, apakah bisa dikatakan bahwa Ayub adalah orang yang gagal? Atau orang yang awalnya sukses, "...yang terkaya dari semua orang di sebelah timur." (Ayub 1:3), namun kemudian mengalami kemerosotan dan akhirnya hancur? Bukankah terhadap orang yang hidup benar firman-Nya berjanji: "TUHAN akan mengangkat engkau menjadi kepala dan bukan menjadi ekor, engkau akan tetap naik dan bukan turun," (Ulangan 28:13)? Jika kita langsung menyimpulkan Ayub adalah orang yang gagal, itu salah besar! Adakah orang yang tidak pernah gagal dalam hidupnya? Orang yang sukses sekalipun adalah orang yang pernah gagal, bukan hanya satu dua kali, bahkan mungkin berkali-kali, tapi mereka tidak pernah menyerah, melainkan mau belajar dari kegagalan tersebut dan menjadikan itu sebagai pelajaran berharga sekaligus cambuk untuk bangkit dan berjuang lebih keras lagi. Meski harus mengalami penderitaan yang bertubi-tubi Ayub mampu bertahan dan imannya kepada Tuhan tidak menjadi luntur, terbukti ia masih bisa berkata, "Karena Ia tahu jalan hidupku; seandainya Ia menguji aku, aku akan timbul seperti emas." (Ayub 23:10). Ayub sangat percaya hal ini: "...Engkau sanggup melakukan segala sesuatu, dan tidak ada rencana-Mu yang gagal." (Ayub 42:2).
Mungkin saat ini keadaan Saudara sedang terpuruk, jangan terus merenungi nasib dan putus asa dengan berkata, "Nasi sudah menjadi bubur". Bawalah semua persoalan Saudara kepada Tuhan, di dalam Dia pasti ada pertolongan dan jalan keluar.
Bagi orang yang menaruh pengharapan kepada Tuhan, "...masa depan sungguh ada, dan harapanmu tidak akan hilang." Amsal 23:18
Baca: Ayub 42:7-17
"Lalu TUHAN memulihkan keadaan Ayub, setelah ia meminta doa untuk sahabat-sahabatnya, dan TUHAN memberikan kepada Ayub dua kali lipat dari segala kepunyaannya dahulu." Ayub 42:10
Ketika mendengar nama Ayub seringkali yang terbayang di benak kita adalah kisah hidupnya yang penuh penderitaan. Pencobaan demi pencobaan datang secara beruntun dalam kehidupan Ayub: 10 anaknya mati, harta bendanya ludes, dihujat oleh isteri dan ia sendiri mengalami sakit yang begitu parah. Jika seseorang berada di posisi Ayub kemungkinan besar ia tidak akan sanggup lagi menjalani hidupnya.
Karena beratnya penderitaan yang harus ditanggung, apakah bisa dikatakan bahwa Ayub adalah orang yang gagal? Atau orang yang awalnya sukses, "...yang terkaya dari semua orang di sebelah timur." (Ayub 1:3), namun kemudian mengalami kemerosotan dan akhirnya hancur? Bukankah terhadap orang yang hidup benar firman-Nya berjanji: "TUHAN akan mengangkat engkau menjadi kepala dan bukan menjadi ekor, engkau akan tetap naik dan bukan turun," (Ulangan 28:13)? Jika kita langsung menyimpulkan Ayub adalah orang yang gagal, itu salah besar! Adakah orang yang tidak pernah gagal dalam hidupnya? Orang yang sukses sekalipun adalah orang yang pernah gagal, bukan hanya satu dua kali, bahkan mungkin berkali-kali, tapi mereka tidak pernah menyerah, melainkan mau belajar dari kegagalan tersebut dan menjadikan itu sebagai pelajaran berharga sekaligus cambuk untuk bangkit dan berjuang lebih keras lagi. Meski harus mengalami penderitaan yang bertubi-tubi Ayub mampu bertahan dan imannya kepada Tuhan tidak menjadi luntur, terbukti ia masih bisa berkata, "Karena Ia tahu jalan hidupku; seandainya Ia menguji aku, aku akan timbul seperti emas." (Ayub 23:10). Ayub sangat percaya hal ini: "...Engkau sanggup melakukan segala sesuatu, dan tidak ada rencana-Mu yang gagal." (Ayub 42:2).
Mungkin saat ini keadaan Saudara sedang terpuruk, jangan terus merenungi nasib dan putus asa dengan berkata, "Nasi sudah menjadi bubur". Bawalah semua persoalan Saudara kepada Tuhan, di dalam Dia pasti ada pertolongan dan jalan keluar.
Bagi orang yang menaruh pengharapan kepada Tuhan, "...masa depan sungguh ada, dan harapanmu tidak akan hilang." Amsal 23:18
Tuesday, June 23, 2015
PEREMPUAN MELAYANI TUHAN? WHY NOT?
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 23 Juni 2015
Baca: Lukas 8:1-3
"Perempuan-perempuan ini melayani rombongan itu dengan kekayaan mereka." Lukas 8:3b
Apakah perempuan boleh melayani Tuhan? Tentu saja boleh. Tuhan yang kita sembah sangat baik dan tidak pernah membeda-bedakan umat-Nya. Semua orang adalah sama di hadapan Tuhan. Dalam hal memberi karunia dan talenta Tuhan juga tidak pernah pilih-pilih. Oleh karena itu Tuhan bisa memakai siapa saja untuk menjadi partner kerja-Nya, mengerjakan pekerjaan-Nya asal mereka memiliki hati yang tulus dan hidup yang berkenan kepada-Nya, karena "Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati." (1 Samuel 16:7b).
Di masa pelayanan Yesus di bumi sudah ada perempuan-perempuan yang turut terlibat pelayanan: Maria Magdalena, Yohana isteri Khuza bendahara Herodes, Susana dan lain-lainnya. Bahkan di saat-saat terakhir Yesus disalibkan, ketika murid-murid-Nya meninggalkan Dia karena takut, justru "...ada di situ banyak perempuan yang melihat dari jauh, yaitu perempuan-perempuan yang mengikuti Yesus dari Galilea untuk melayani Dia." (Matius 27:55); juga yang pertama kali menjenguk kubur Yesus adalah para perempuan (Maria Magdalena, Maria ibu Yakobus dan Salome). Apa yang mendorong mereka melayani Tuhan? Kasih Tuhan dalam hidup mereka, seperti disembuhkan dari penyakit dan dibebaskan oleh roh-roh jahat (Lukas 8:2). Mereka pun bertekad mempersembahkan hidupnya bagi Tuhan sebagai perwujudan syukur "...demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati." (Roma 12:1).
Ketika menyadari kasih dan anugerah Tuhan dalam hidupnya seseorang akan terdorong untuk melayani Tuhan dengan sepenuh hati dan dengan roh yang menyala-nyala. Bahkan perempuan-perempuan itu rela berkorban materi untuk mendukung pekerjaan Tuhan, rindu menjadi saluran berkat bagi orang lain. Mereka berkorban bukan supaya dipuji dan terkenal, tapi karena sungguh-sungguh mengasihi Tuhan.
Semua orang percaya, tanpa terkecuali, tidak mempunyai alasan untuk tidak melayani Tuhan!
Baca: Lukas 8:1-3
"Perempuan-perempuan ini melayani rombongan itu dengan kekayaan mereka." Lukas 8:3b
Apakah perempuan boleh melayani Tuhan? Tentu saja boleh. Tuhan yang kita sembah sangat baik dan tidak pernah membeda-bedakan umat-Nya. Semua orang adalah sama di hadapan Tuhan. Dalam hal memberi karunia dan talenta Tuhan juga tidak pernah pilih-pilih. Oleh karena itu Tuhan bisa memakai siapa saja untuk menjadi partner kerja-Nya, mengerjakan pekerjaan-Nya asal mereka memiliki hati yang tulus dan hidup yang berkenan kepada-Nya, karena "Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati." (1 Samuel 16:7b).
Di masa pelayanan Yesus di bumi sudah ada perempuan-perempuan yang turut terlibat pelayanan: Maria Magdalena, Yohana isteri Khuza bendahara Herodes, Susana dan lain-lainnya. Bahkan di saat-saat terakhir Yesus disalibkan, ketika murid-murid-Nya meninggalkan Dia karena takut, justru "...ada di situ banyak perempuan yang melihat dari jauh, yaitu perempuan-perempuan yang mengikuti Yesus dari Galilea untuk melayani Dia." (Matius 27:55); juga yang pertama kali menjenguk kubur Yesus adalah para perempuan (Maria Magdalena, Maria ibu Yakobus dan Salome). Apa yang mendorong mereka melayani Tuhan? Kasih Tuhan dalam hidup mereka, seperti disembuhkan dari penyakit dan dibebaskan oleh roh-roh jahat (Lukas 8:2). Mereka pun bertekad mempersembahkan hidupnya bagi Tuhan sebagai perwujudan syukur "...demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati." (Roma 12:1).
Ketika menyadari kasih dan anugerah Tuhan dalam hidupnya seseorang akan terdorong untuk melayani Tuhan dengan sepenuh hati dan dengan roh yang menyala-nyala. Bahkan perempuan-perempuan itu rela berkorban materi untuk mendukung pekerjaan Tuhan, rindu menjadi saluran berkat bagi orang lain. Mereka berkorban bukan supaya dipuji dan terkenal, tapi karena sungguh-sungguh mengasihi Tuhan.
Semua orang percaya, tanpa terkecuali, tidak mempunyai alasan untuk tidak melayani Tuhan!
Monday, June 22, 2015
MENGIKUT TUHAN: Mau Membayar Harga (2)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 22 Juni 2015
Baca: Lukas 9:57-62
"Aku akan mengikut Engkau, ke mana saja Engkau pergi." Lukas 9:57
Alkitab menyatakan bahwa mengikut Tuhan Yesus berarti mau menyangkal diri dan memikul salib setiap hari (Lukas 9:23). Artinya kita harus mau berkorban: mengorbankan keinginan daging kita, kesenangan duniawi, melepaskan segala kenyamanan. Meskipun terasa menyakitkan kita harus berani berkata 'tidak' terhadap segala keinginan daging, sebab keinginan daging itu berlawanan dengan keinginan Roh (baca Galatia 5:17). Dengan kata lain manusia lama harus benar-benar ditanggalkan, karena di dalam Kristus kita adalah ciptaan baru (baca 2 Korintus 5:17). Rasul Petrus menasihati, "Jadi, karena Kristus telah menderita penderitaan badani, kamupun harus juga mempersenjatai dirimu dengan pikiran yang demikian, --karena barangsiapa telah menderita penderitaan badani, ia telah berhenti berbuat dosa--," (1 Petrus 4:1).
Mengikut Yesus berarti rela kehilangan nyawa (Lukas 9:24), artinya tidak ada sesuatu pun yang layak kita pertahankan di dalam dunia ini; rela kehilangan sesuatu yang menurut kita penting dan berharga dalam hidup kita: reputasi, kehormatan, popularitas, harga diri demi Kristus. Mari belajar dari Paulus yang bertekad, "namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku." (Galatia 2:20).
Mengikut Tuhan berarti kita tidak pernah malu karena nama Tuhan (Lukas 9:26). Ada banyak orang yang malu mengakui dirinya sebagai orang Kristen, malu mengakui Tuhan Yesus di depan orang banyak karena takut kehilangan popularitas, takut kehilangan jabatan, takut ditinggalkan oleh teman atau kawan, takut dimusuhi dan dikucilkan oleh lingkungan. Tuhan Yesus berkata, "Sebab barangsiapa malu karena Aku dan karena perkataan-Ku di tengah-tengah angkatan yang tidak setia dan berdosa ini, Anak Manusiapun akan malu karena orang itu apabila Ia datang kelak dalam kemuliaan Bapa-Nya, diiringi malaikat-malaikat kudus." (Markus 8:38). Kita tidak perlu malu memberitakan nama Yesus kepada dunia karena Dia adalah Tuhan dan Juruselamat kita.
Mengikut Tuhan Yesus adalah keputusan untuk hidup seturut kehendak-Nya, melayani-Nya dan menempatkan-Nya sebagai yang terutama di dalam hidup ini!
Baca: Lukas 9:57-62
"Aku akan mengikut Engkau, ke mana saja Engkau pergi." Lukas 9:57
Alkitab menyatakan bahwa mengikut Tuhan Yesus berarti mau menyangkal diri dan memikul salib setiap hari (Lukas 9:23). Artinya kita harus mau berkorban: mengorbankan keinginan daging kita, kesenangan duniawi, melepaskan segala kenyamanan. Meskipun terasa menyakitkan kita harus berani berkata 'tidak' terhadap segala keinginan daging, sebab keinginan daging itu berlawanan dengan keinginan Roh (baca Galatia 5:17). Dengan kata lain manusia lama harus benar-benar ditanggalkan, karena di dalam Kristus kita adalah ciptaan baru (baca 2 Korintus 5:17). Rasul Petrus menasihati, "Jadi, karena Kristus telah menderita penderitaan badani, kamupun harus juga mempersenjatai dirimu dengan pikiran yang demikian, --karena barangsiapa telah menderita penderitaan badani, ia telah berhenti berbuat dosa--," (1 Petrus 4:1).
Mengikut Yesus berarti rela kehilangan nyawa (Lukas 9:24), artinya tidak ada sesuatu pun yang layak kita pertahankan di dalam dunia ini; rela kehilangan sesuatu yang menurut kita penting dan berharga dalam hidup kita: reputasi, kehormatan, popularitas, harga diri demi Kristus. Mari belajar dari Paulus yang bertekad, "namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku." (Galatia 2:20).
Mengikut Tuhan berarti kita tidak pernah malu karena nama Tuhan (Lukas 9:26). Ada banyak orang yang malu mengakui dirinya sebagai orang Kristen, malu mengakui Tuhan Yesus di depan orang banyak karena takut kehilangan popularitas, takut kehilangan jabatan, takut ditinggalkan oleh teman atau kawan, takut dimusuhi dan dikucilkan oleh lingkungan. Tuhan Yesus berkata, "Sebab barangsiapa malu karena Aku dan karena perkataan-Ku di tengah-tengah angkatan yang tidak setia dan berdosa ini, Anak Manusiapun akan malu karena orang itu apabila Ia datang kelak dalam kemuliaan Bapa-Nya, diiringi malaikat-malaikat kudus." (Markus 8:38). Kita tidak perlu malu memberitakan nama Yesus kepada dunia karena Dia adalah Tuhan dan Juruselamat kita.
Mengikut Tuhan Yesus adalah keputusan untuk hidup seturut kehendak-Nya, melayani-Nya dan menempatkan-Nya sebagai yang terutama di dalam hidup ini!
Sunday, June 21, 2015
MENGIKUT TUHAN: Mau Membayar Harga (1)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 21 Juni 2015
Baca: Lukas 9:22-27
"Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku." Lukas 9:23
Melalui perenungan ini kita kembali diingatkan bahwa untuk mengikut Tuhan Yesus ada harga yang harus dibayar. Mengikut Tuhan Yesus adalah sebuah keputusan terbesar dalam hidup karena keputusan ini adalah keputusan sekali seumur hidup kita.
Ketika kita memutuskan untuk mengikut Tuhan berarti kita siap mengikuti jalan-jalan-Nya, sebab ada tertulis, "Barangsiapa mengatakan, bahwa ia ada di dalam Dia, ia wajib hidup sama seperti Kristus telah hidup." (1 Yohanes 2:6). Jangan mengikut Tuhan Yesus hanya karena satu tendensi yaitu mengejar berkat dan mujizat-Nya saja, sementara kita tidak mempedulikan keberadaan diri kita apakah kita sudah hidup benar di hadapan Tuhan atau belum, apakah jalan kita seturut dengan kehendak-Nya, apakah kita sudah membalas kasih Tuhan yang tak terukur, "...betapa lebarnya dan panjangnya dan tingginya dan dalamnya..." (Efesus 3:18) dengan melayani Dia sepenuh hati atau tidak. Ada banyak orang Kristen hanya berpikiran bahwa yang terpenting Tuhan sudah memberkatiku, menyembuhkanku, memulihkanku, dan menjawab doa-doaku. Kita hanya memanfaatkan Tuhan Yesus untuk mewujudkan segala keinginan kita. "Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia, tetapi ia membinasakan atau merugikan dirinya sendiri?" (Lukas 9:25).
Sekali lagi, ketika kita memutuskan untuk mengikut Tuhan berarti kita harus siap membayar harga. Mengapa? Karena Tuhan Yesus telah terlebih dahulu membayar harga, "Anak Manusia harus menanggung banyak penderitaan dan ditolak oleh tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan dibangkitkan pada hari ketiga." (Lukas 9:22). Kepada jemaat di Korintus rasul Paulus mengingatkan, "Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar" (1 Korintus 6:20). Tuhan Yesus membayar harga dengan mengorbankan nyawa-Nya di kayu salib sehingga kita yang percaya kepada-Nya beroleh pengampunan dosa dan diselamatkan.
Mengikut Tuhan berarti harus siap dengan segala konsekuensinya!
Baca: Lukas 9:22-27
"Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku." Lukas 9:23
Melalui perenungan ini kita kembali diingatkan bahwa untuk mengikut Tuhan Yesus ada harga yang harus dibayar. Mengikut Tuhan Yesus adalah sebuah keputusan terbesar dalam hidup karena keputusan ini adalah keputusan sekali seumur hidup kita.
Ketika kita memutuskan untuk mengikut Tuhan berarti kita siap mengikuti jalan-jalan-Nya, sebab ada tertulis, "Barangsiapa mengatakan, bahwa ia ada di dalam Dia, ia wajib hidup sama seperti Kristus telah hidup." (1 Yohanes 2:6). Jangan mengikut Tuhan Yesus hanya karena satu tendensi yaitu mengejar berkat dan mujizat-Nya saja, sementara kita tidak mempedulikan keberadaan diri kita apakah kita sudah hidup benar di hadapan Tuhan atau belum, apakah jalan kita seturut dengan kehendak-Nya, apakah kita sudah membalas kasih Tuhan yang tak terukur, "...betapa lebarnya dan panjangnya dan tingginya dan dalamnya..." (Efesus 3:18) dengan melayani Dia sepenuh hati atau tidak. Ada banyak orang Kristen hanya berpikiran bahwa yang terpenting Tuhan sudah memberkatiku, menyembuhkanku, memulihkanku, dan menjawab doa-doaku. Kita hanya memanfaatkan Tuhan Yesus untuk mewujudkan segala keinginan kita. "Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia, tetapi ia membinasakan atau merugikan dirinya sendiri?" (Lukas 9:25).
Sekali lagi, ketika kita memutuskan untuk mengikut Tuhan berarti kita harus siap membayar harga. Mengapa? Karena Tuhan Yesus telah terlebih dahulu membayar harga, "Anak Manusia harus menanggung banyak penderitaan dan ditolak oleh tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan dibangkitkan pada hari ketiga." (Lukas 9:22). Kepada jemaat di Korintus rasul Paulus mengingatkan, "Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar" (1 Korintus 6:20). Tuhan Yesus membayar harga dengan mengorbankan nyawa-Nya di kayu salib sehingga kita yang percaya kepada-Nya beroleh pengampunan dosa dan diselamatkan.
Mengikut Tuhan berarti harus siap dengan segala konsekuensinya!
Subscribe to:
Posts (Atom)