Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 15 November 2017
Baca: 2 Timotius 1:3-18
"Sebab aku teringat akan imanmu yang tulus ikhlas, yaitu iman yang
pertama-tama hidup di dalam nenekmu Lois dan di dalam ibumu Eunike dan
yang aku yakin hidup juga di dalam dirimu." 2 Timotius 1:5
Telinga kita pasti sangat familiar dengan istilah 'Like father like son', yang secara harafiah dapat diartikan bahwa sifat atau karakter anak tidak akan jauh dari ayahnya. Istilah lain yang memiliki kesamaan arti adalah 'buah jatuh tak jauh dari pohonnya'. Secara umum istilah ini mengacu kepada kesamaan sifat, kebiasaan, bakat atau bisa juga hobi, antara generasi sebelumnya dengan generasi berikutnya dalam sebuah keluarga.
Timotius, lahir dari seorang wanita Yahudi bernama Eunike dan ayahnya berkebangsaan Yunani (Kisah 16:1). Dalam bahasa Yunani arti nama Timotius adalah kehormatan bagi Tuhan. Timotius tumbuh menjadi orang muda yang "...dikenal baik oleh saudara-saudara di Listra dan di Ikonium," (Kisah 16:2) dan memiliki hati yang takut akan Tuhan. Hal ini terjadi oleh karena Timotius berada di tengah-tengah keluarga yang mengasihi Tuhan dan takut akan Tuhan. Neneknya (Lois) dan Ibunya (Eunike) tidak lalai dalam mendidik Timotius dengan mengajarkan nilai-nilai firman Tuhan setiap hari. "Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar,
untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk
mendidik orang dalam kebenaran." (2 Timotius 3:16). Karena senantiasa mendengarkan nasihat firman Tuhan yang disampaikan oleh orangtua, Timotius pun tumbuh menjadi seorang anak yang beriman kepada Tuhan. "Jadi, iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus." (Roma 10:17).
Setelah beranjak dewasa Timotius menjadi anak didik rasul Paulus dalam pelayanan. "...Paulus mau, supaya dia menyertainya dalam perjalanan." (Kisah 16:3). Dalam suratnya kepada Timotius, rasul Paulus tak pernah berhenti untuk men-support, menasihati dan menyemangati dia untuk semakin giat dalam melayani Tuhan dan mengobarkan karunia Tuhan yang ada padanya (baca 2 Timotius 1:6), "Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya," (2 Timotius 4:2). Timotius membuktikan diri sebagai anak rohani yang mengikuti jejak Paulus, bapak rohaninya.
"Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanyapun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu." Amsal 22:6
Wednesday, November 15, 2017
Tuesday, November 14, 2017
BELAS KASIHAN MEMBUTUHKAN TINDAKAN
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 14 November 2017
Baca: Lukas 10:25-37
"Lalu datang seorang Samaria, yang sedang dalam perjalanan, ke tempat itu; dan ketika ia melihat orang itu, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan." Lukas 10:33
Kata belas kasihan yang disebut pula welas asih, atau kepedulian, bisa diartikan: emosi seseorang yang muncul akibat penderitaan orang lain, lebih kuat dari sekedar berempati. Perasaan ini biasanya memunculkan suatu usaha untuk mengurangi penderitaan orang tersebut. Inilah yang dirasakan oleh seorang Samaria ketika melihat orang yang terluka akibat dirampok dan dipukuli oleh para penyamun. Dilandasi oleh belas kasihan, orang Samaria itu pun tergerak hati untuk menyatakan kebaikannya dalam tindakan nyata. Belas kasihan tanpa disertai dengan sebuah tindakan tidak akan berdampak apa-apa.
Dalam perumpamaan ini sesungguhnya ada 3 orang yang melihat orang yang sedang terluka parah di jalan itu dan sangat membutuhkan pertolongan: seorang imam, orang Lewi dan orang Samaria. Imam, yang tugas kesehariannya melayani di Bait Suci, ketika melihat orang yang terluka justru mempercepat langkahnya dan melewatinya begitu saja. Mengapa? Ia takut kalau-kalau orang itu sudah mati, sebab berdasarkan peraturan per-iman-an, barangsiapa menyentuh orang mati akan dianggap najis selama tujuh hari lamanya (Bilangan 19:11). Pikirnya, dengan menolong ia akan kehilangan kesempatan untuk bertugas di Bait Suci. Baginya, melakukan 'pekerjaan' pelayanan adalah lebih utama daripada menolong orang lain. Orang Lewi, juga tak mau mengambil resiko. Para penyamun seringkali punya kebiasaan memasang umpan di tempat yang sepi, contohnya dengan berpura-pura menjadi orang yang terluka. Begitu ada orang yang berhenti untuk menolong, segeralah para penyamun lain datang untuk mendekat, menyakiti dan merampoknya. Tetapi, orang Samaria, ketika melihat orang yang terluka, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan dan segera memberikan pertolongan. Ia berani mengambil resiko apa pun demi menolong orang lain.
Ketika melihat orang lain sedang 'terluka' dan sangat membutuhkan pertolongan, apakah hati kita tergerak untuk memberikan pertolongan? Apakah hati kita peka terhadap kebutuhan orang lain? Ingat... mengasihi itu bukan hanya dengan kata-kata belaka, tetapi harus diwujudkan dalam sebuah tindakan.
Milikilah hati seperti hati Tuhan Yesus, yang penuh dengan belas kasihan!
Baca: Lukas 10:25-37
"Lalu datang seorang Samaria, yang sedang dalam perjalanan, ke tempat itu; dan ketika ia melihat orang itu, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan." Lukas 10:33
Kata belas kasihan yang disebut pula welas asih, atau kepedulian, bisa diartikan: emosi seseorang yang muncul akibat penderitaan orang lain, lebih kuat dari sekedar berempati. Perasaan ini biasanya memunculkan suatu usaha untuk mengurangi penderitaan orang tersebut. Inilah yang dirasakan oleh seorang Samaria ketika melihat orang yang terluka akibat dirampok dan dipukuli oleh para penyamun. Dilandasi oleh belas kasihan, orang Samaria itu pun tergerak hati untuk menyatakan kebaikannya dalam tindakan nyata. Belas kasihan tanpa disertai dengan sebuah tindakan tidak akan berdampak apa-apa.
Dalam perumpamaan ini sesungguhnya ada 3 orang yang melihat orang yang sedang terluka parah di jalan itu dan sangat membutuhkan pertolongan: seorang imam, orang Lewi dan orang Samaria. Imam, yang tugas kesehariannya melayani di Bait Suci, ketika melihat orang yang terluka justru mempercepat langkahnya dan melewatinya begitu saja. Mengapa? Ia takut kalau-kalau orang itu sudah mati, sebab berdasarkan peraturan per-iman-an, barangsiapa menyentuh orang mati akan dianggap najis selama tujuh hari lamanya (Bilangan 19:11). Pikirnya, dengan menolong ia akan kehilangan kesempatan untuk bertugas di Bait Suci. Baginya, melakukan 'pekerjaan' pelayanan adalah lebih utama daripada menolong orang lain. Orang Lewi, juga tak mau mengambil resiko. Para penyamun seringkali punya kebiasaan memasang umpan di tempat yang sepi, contohnya dengan berpura-pura menjadi orang yang terluka. Begitu ada orang yang berhenti untuk menolong, segeralah para penyamun lain datang untuk mendekat, menyakiti dan merampoknya. Tetapi, orang Samaria, ketika melihat orang yang terluka, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan dan segera memberikan pertolongan. Ia berani mengambil resiko apa pun demi menolong orang lain.
Ketika melihat orang lain sedang 'terluka' dan sangat membutuhkan pertolongan, apakah hati kita tergerak untuk memberikan pertolongan? Apakah hati kita peka terhadap kebutuhan orang lain? Ingat... mengasihi itu bukan hanya dengan kata-kata belaka, tetapi harus diwujudkan dalam sebuah tindakan.
Milikilah hati seperti hati Tuhan Yesus, yang penuh dengan belas kasihan!
Subscribe to:
Posts (Atom)