Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 31 Juli 2016
Baca: Ibrani 11:1-4
"Karena iman Habel telah mempersembahkan kepada Allah korban yang lebih
baik dari pada korban Kain. Dengan jalan itu ia memperoleh kesaksian
kepadanya, bahwa ia benar, karena Allah berkenan akan persembahannya itu
dan karena iman ia masih berbicara, sesudah ia mati." Ibrani 11:4
Surat Ibrani ini mencatat bahwa Habel termasuk salah satu saksi iman, yang karena imannya persembahannya diterima dan diindahkan Tuhan. Ayat nas menyatakan bahwa persembahan Habel lebih baik dari persembahan kakaknya, Kain. Kata Yunani yang dipakai untuk menyatakan lebih baik adalah pleion yang artinya more excellent. Selain itu ada hal lain yang harus kita perhatikan, bahwa Alkitab menyebut Habel sebagai orang benar, artinya ia memiliki kehidupan seturut kehendak Tuhan. Itulah sebabnya Tuhan berkenan dengan persembahan Habel, dan tidak mengindahkan persembahan Kain.
Apa yang salah dengan persembahan Kain? Tercatat bahwa pekerjaan Kain adalah sebagai petani, karena itu sangatlah wajar bila ia memersembahkan hasil buminya kepada Tuhan. Sementara Habel adalah penggembala kambing domba atau peternak, sudah semestinya pula ia memersembahkan kambing domba sebagai persembahan kepada Tuhan. Perhatikan ayat ini! "Setelah beberapa waktu lamanya, maka Kain mempersembahkan sebagian dari hasil tanah itu kepada TUHAN sebagai korban persembahan; Habel juga mempersembahkan korban persembahan dari anak sulung kambing
dombanya, yakni lemak-lemaknya; maka TUHAN mengindahkan Habel dan korban
persembahannya itu," (Kejadian 4:3-4). Kain memberi persembahan sebagian kepada Tuhan, sedangkan Habel memersembahkan yang sulung. Kata kuncinya di sini adalah kata sulung yang menunjukkan suatu sikap iman dan penghormatan yang tertinggi kepada Tuhan! Kata sulung berarti yang pertama atau yang terbaik. Dengan kata lain Habel menempatkan Tuhan sebagai yang terutama dalam hidupnya sehingga ia memberi yang terbaik. Ini berbicara tentang sikap hati dalam hal memberi persembahan.
Apa pun yang hendak kita persembahkan kepada Tuhan haruslah dilandasi motivasi yang benar!
Tuhan tidak melihat kuantitas persembahan, tapi yang Ia perhatikan adalah sikap hati si pemberi korban persembahan!
Sunday, July 31, 2016
Saturday, July 30, 2016
BELAJAR UNTUK SELALU BERSYUKUR
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 30 Juli 2016
Baca: Filipi 4:10-20
"Aku tahu apa itu kekurangan dan aku tahu apa itu kelimpahan. Dalam segala hal dan dalam segala perkara tidak ada sesuatu yang merupakan rahasia bagiku;" Filipi 4:12
Sudah rahasia umum jika orang sering sulit mengucap syukur kepada Tuhan ketika sedang diperhadapkan pada banyak kesulitan, masalah, kesukaran atau kekurangan. Bukan perkara mudah mengucap syukur di tengah situasi yang tidak baik! Ini adalah kenyataan! Kita pun menjadi orang-orang Kristen yang bersyarat: kalau sakit sudah disembuhkan, kalau ekonomi sudah dipulihkan, kalau sudah mendapatkan jodoh, kalau keadaan berjalan dengan baik dan diberkati barulah dari mulut kita keluar ucapan syukur dan puji-pujian bagi Tuhan. Kalau seperti itu orang-orang dunia pun bisa berlaku demikian!
Rasul Paulus menasihati, "Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu." (1 Tesalonika 5:18). Kalimat '...dalam segala hal' berarti di segala keadaan, baik atau tidak baik, dalam kelimpahan atau kekurangan, ada masalah atau semua berjalan dengan baik, kita harus bisa mengucap syukur, karena inilah yang dikehendaki Tuhan! Pengalaman hidup bangsa Israel di masa lampau kiranya menjadi peringatan bagi semua orang percaya. Meski hari lepas hari selama menempuh perjalanan di padang gurun mereka telah mengecap kebaikan Tuhan, mengalami pertolongan Tuhan secara ajaib, namun kesemuanya itu tidak membuat mereka berubah. Yang keluar dari mulut mereka bukannya ucapan syukur melainkan omelan, gerutuan, keluh kesah dan persungutan. Bahkan mereka selalu saja membanding-bandingkan keadaan saat masih berada di Mesir, padahal di sana mereka tak lebih hanyalah budak. "Kita teringat kepada ikan yang kita makan di Mesir dengan tidak bayar apa-apa, kepada mentimun dan semangka, bawang prei, bawang merah dan bawang putih. Tetapi sekarang kita kurus kering, tidak ada sesuatu apapun, kecuali manna ini saja yang kita lihat." (Bilangan 11:5-6).
Apa yang dilakukan oleh bangsa Israel menunjukkan rasa ketidakpuasannya terhadap pemeliharaan Tuhan. Apakah selama ini kita juga berlaku seperti bangsa Israel yang tidak pernah puas dengan berkat yang telah Tuhan berikan, sehingga hari-hari yang kita jalani pun dipenuhi persungutan?
Dalam segala keadaan belajarlah untuk selalu mengucap syukur kepada Tuhan!
Baca: Filipi 4:10-20
"Aku tahu apa itu kekurangan dan aku tahu apa itu kelimpahan. Dalam segala hal dan dalam segala perkara tidak ada sesuatu yang merupakan rahasia bagiku;" Filipi 4:12
Sudah rahasia umum jika orang sering sulit mengucap syukur kepada Tuhan ketika sedang diperhadapkan pada banyak kesulitan, masalah, kesukaran atau kekurangan. Bukan perkara mudah mengucap syukur di tengah situasi yang tidak baik! Ini adalah kenyataan! Kita pun menjadi orang-orang Kristen yang bersyarat: kalau sakit sudah disembuhkan, kalau ekonomi sudah dipulihkan, kalau sudah mendapatkan jodoh, kalau keadaan berjalan dengan baik dan diberkati barulah dari mulut kita keluar ucapan syukur dan puji-pujian bagi Tuhan. Kalau seperti itu orang-orang dunia pun bisa berlaku demikian!
Rasul Paulus menasihati, "Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu." (1 Tesalonika 5:18). Kalimat '...dalam segala hal' berarti di segala keadaan, baik atau tidak baik, dalam kelimpahan atau kekurangan, ada masalah atau semua berjalan dengan baik, kita harus bisa mengucap syukur, karena inilah yang dikehendaki Tuhan! Pengalaman hidup bangsa Israel di masa lampau kiranya menjadi peringatan bagi semua orang percaya. Meski hari lepas hari selama menempuh perjalanan di padang gurun mereka telah mengecap kebaikan Tuhan, mengalami pertolongan Tuhan secara ajaib, namun kesemuanya itu tidak membuat mereka berubah. Yang keluar dari mulut mereka bukannya ucapan syukur melainkan omelan, gerutuan, keluh kesah dan persungutan. Bahkan mereka selalu saja membanding-bandingkan keadaan saat masih berada di Mesir, padahal di sana mereka tak lebih hanyalah budak. "Kita teringat kepada ikan yang kita makan di Mesir dengan tidak bayar apa-apa, kepada mentimun dan semangka, bawang prei, bawang merah dan bawang putih. Tetapi sekarang kita kurus kering, tidak ada sesuatu apapun, kecuali manna ini saja yang kita lihat." (Bilangan 11:5-6).
Apa yang dilakukan oleh bangsa Israel menunjukkan rasa ketidakpuasannya terhadap pemeliharaan Tuhan. Apakah selama ini kita juga berlaku seperti bangsa Israel yang tidak pernah puas dengan berkat yang telah Tuhan berikan, sehingga hari-hari yang kita jalani pun dipenuhi persungutan?
Dalam segala keadaan belajarlah untuk selalu mengucap syukur kepada Tuhan!
Subscribe to:
Posts (Atom)