Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 3 Oktober 2011 -
Baca: 1 Raja-Raja 17
"Tetapi sesudah beberapa waktu, sungai itu menjadi kering, sebab hujan tiada turun di negeri itu." 1 Raja-Raja 17:7
Tahun 1998 lalu adalah awal masa-masa sulit bagi bangsa Indonesia karena pada waktu itu terjadi krisis moneter. Tentunya hal ini berdampak buruk di segala aspek kehidupan; tidak hanya dialami oleh orang-orang di luar Tuhan, tetapi orang percaya pun juga mengalami akibat dari krisis tersebut. Meski demikian ada berita baiknya: walaupun semua orang mengalami masalah yang sama, anak-anak Tuhan tetap berada dalam pemeliharaan Tuhan. Pemazmur berkata, "Kemalangan orang benar banyak, tetapi Tuhan melepaskan dia dari semua itu;" (Mazmur 34:20).
Ketika seluruh negeri mengalami masa-masa sukar karena dilanda bencana kekeringan, Tuhan tetap memperhatikan dan memelihara Elia dengan caraNya yang ajaib. Tuhan membawa Elia ke sungai Kerit, di "...sebelah timur sungai Yordan." (1 Raja-Raja 17:6). Dan ketika sungai itu mulai mengering dan sepertinya sudah tidak ada harapan lagi, Tuhan terus melanjutkan karyaNya atas Elia. Ia diperintahkan Tuhan untuk pergi ke Sarfat karena Tuhan telah memerintahkan seorang janda, untuk memberinya makan.
Untuk bisa mengalami perkara-perkara dahsyat seperti Elia kita harus: 1. Taat terhadap perintah Tuhan. Ketika 'sungai Kerit' menjadi kering, banyak orang percaya yang akhirnya putus asa dan menyerah pada keadaan. Sungai Kerit adalah zona nyaman bagi Elia, di situ segala kebutuhannya dicukupi Tuhan. Namun ketika Tuhan memerintahkan Elia untuk meninggalkan zona itu, Elia tetap taat. Selama kita tidak mau bayar harga dan tetap menikmati 'zona nyaman' yang selama ini meninabobokan kita, kita tidak akan mengalami perubahan. 2. Jangan takut dan kuatir. Sesungguhnya Elia punya alasan untuk takut dan kuatir karena ia diperintahkan pergi ke Sarfat, padahal Sarfat berada di wilayah Sidon. Raja Sidon adalah orangtua Izebel, isteri Ahab yang pernah mengancam hidup Elia. Meski demikian Elia tetap mengikuti cara Tuhan karena ia tahu bahwa Tuhan menyertainya. Dan ketika Elia mengikuti cara Tuhan, melalui janda Sarfat yang sederhana, ternyata Tuhan sanggup melakukan perkara yang ajaib!
Tidak hanya diberkati, Elia juga menjadi saluran berkat bagi orang lain.
Monday, October 3, 2011
Sunday, October 2, 2011
MENGASIHI TUHAN ATAU HARTA?
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 2 Oktober 2011 -
Baca: Matius 19:16-26
"Ketika orang muda itu mendengar perkataan itu, pergilah ia dengan sedih, sebab banyak hartanya." Matius 19:22
Saat ini pikiran banyak orang tertuju kepada materi, bagaimana cara menumpuk harta dan kekayaan. Siang dan malam membanting tulang demi mewujudkan keinginannya itu. Tak jarang pula orang menempuh jalan sesat guna mendapatkan uang atau kekayaan dengan cara instan. Adalah perkara yang sukar bagi manusia untuk merasa puas dengan apa yang dimiliki. Berapa banyak uang yang harus dimiliki agar kita terpuaskan dan merasa bahagia? Sampai kapan pun uang tidak pernah dapat membeli kepuasan atau pun kebahagiaan. Tentunya tidak ada yang salah dengan mencari uang, selama kegiatan mencari uang itu tidak melanggar hukum negara dan prinsip-prinsip firman Tuhan. Memang, kekayaan bisa menjadi tanda seseorang diberkati Tuhan, tetapi juga bisa menjadi penghalang bagi seseorang untuk beribadah kepada Tuhan.
Ada seorang anak muda yang hebat sekaligus kaya. Ia datang kepada Yesus dan bertanya bagaimana supaya bisa masuk ke dalam Kerajaan Allah. Orang muda ini sekaligus ingin mencari penegasan apakah semua yang sudah dilakukannya selama ini dapat menjamin dia memperoleh hidup kekal. "Semuanya itu telah kuturuti, apa lagi yang masih kurang?" (ayat 20). Ia berpikir bahwa keselamatan kekal dapat diperoleh melalui usaha manusia, yaitu dengan berbuat baik dan sebagainya. Alkitab jelas menyatakan bahwa "Dialah yang menyelamatkan kita dan memanggil kita dengan panggilan kudus, bukan berdasarkan perbuatan kita,..." (2 Timotius 1:9). Karena harta kekayaan melimpah, anak muda ini pun memilih bergantung pada apa yang ia miliki, bukannya menjadi saluran berkat seperti perintah Tuhan, sehingga ketika Tuhan memerintahkan: "...pergilah, juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin,..." (Matius 21:22) pergilah ia dengan sedih. Ia mencintai hartanya daripada harus mengikut Kristus.
Manakah yang Saudara pilih: menumpuk kekayaan yang bersifat sementara di dunia ataukah mempersiapkan kekayaan rohani untuk kehidupan kekal mendatang? Rasul Paulus berpesan kepada Timotius agar ia memperingatkan orang-orang kaya supaya "...mereka itu berbuat baik, menjadi kaya dalam kebajikan, suka memberi dan membagi (1 Timotius 6:18).
Tuhan memberkati kita supaya kita bisa menjadi saluran berkat bagi orang lain, bukannya semakin mencondongkan hati kita menjauh dari Tuhan.
Baca: Matius 19:16-26
"Ketika orang muda itu mendengar perkataan itu, pergilah ia dengan sedih, sebab banyak hartanya." Matius 19:22
Saat ini pikiran banyak orang tertuju kepada materi, bagaimana cara menumpuk harta dan kekayaan. Siang dan malam membanting tulang demi mewujudkan keinginannya itu. Tak jarang pula orang menempuh jalan sesat guna mendapatkan uang atau kekayaan dengan cara instan. Adalah perkara yang sukar bagi manusia untuk merasa puas dengan apa yang dimiliki. Berapa banyak uang yang harus dimiliki agar kita terpuaskan dan merasa bahagia? Sampai kapan pun uang tidak pernah dapat membeli kepuasan atau pun kebahagiaan. Tentunya tidak ada yang salah dengan mencari uang, selama kegiatan mencari uang itu tidak melanggar hukum negara dan prinsip-prinsip firman Tuhan. Memang, kekayaan bisa menjadi tanda seseorang diberkati Tuhan, tetapi juga bisa menjadi penghalang bagi seseorang untuk beribadah kepada Tuhan.
Ada seorang anak muda yang hebat sekaligus kaya. Ia datang kepada Yesus dan bertanya bagaimana supaya bisa masuk ke dalam Kerajaan Allah. Orang muda ini sekaligus ingin mencari penegasan apakah semua yang sudah dilakukannya selama ini dapat menjamin dia memperoleh hidup kekal. "Semuanya itu telah kuturuti, apa lagi yang masih kurang?" (ayat 20). Ia berpikir bahwa keselamatan kekal dapat diperoleh melalui usaha manusia, yaitu dengan berbuat baik dan sebagainya. Alkitab jelas menyatakan bahwa "Dialah yang menyelamatkan kita dan memanggil kita dengan panggilan kudus, bukan berdasarkan perbuatan kita,..." (2 Timotius 1:9). Karena harta kekayaan melimpah, anak muda ini pun memilih bergantung pada apa yang ia miliki, bukannya menjadi saluran berkat seperti perintah Tuhan, sehingga ketika Tuhan memerintahkan: "...pergilah, juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin,..." (Matius 21:22) pergilah ia dengan sedih. Ia mencintai hartanya daripada harus mengikut Kristus.
Manakah yang Saudara pilih: menumpuk kekayaan yang bersifat sementara di dunia ataukah mempersiapkan kekayaan rohani untuk kehidupan kekal mendatang? Rasul Paulus berpesan kepada Timotius agar ia memperingatkan orang-orang kaya supaya "...mereka itu berbuat baik, menjadi kaya dalam kebajikan, suka memberi dan membagi (1 Timotius 6:18).
Tuhan memberkati kita supaya kita bisa menjadi saluran berkat bagi orang lain, bukannya semakin mencondongkan hati kita menjauh dari Tuhan.
Subscribe to:
Posts (Atom)