Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 10 Agustus 2015
Baca: Kisah Para Rasul 9:36-42
"Di Yope ada seorang murid perempuan bernama Tabita--dalam bahasa Yunani
Dorkas. Perempuan itu banyak sekali berbuat baik dan memberi sedekah." Kisah 9:36
Dalam Kisah Para Rasul ini sebutan murid atau disciple secara khusus ditujukan kepada orang percaya atau pengikut Kristus yang menunjukkan karakter tertentu, yaitu memiliki atau menunjukkan sifat atau karakter seperti Kristus. Dengan kata lain orang yang mengaku diri sebagai pengikut Kristus tapi tidak menunjukkan kualitas hidup seperti Kristus belum layak disebut murid Kristus.
Tabita, yang dalam bahasa Yunani Dorkas, disebut sebagai murid Kristus oleh karena telah menunjukkan suatu kehidupan yang mampu menjadi kesaksian bagi orang lain. "Perempuan itu banyak sekali berbuat baik dan memberi sedekah." (ayat nas). Melalui perbuatan-perbuatan baik dan pengabdiannya untuk pelayanan kasih, identitas Tabita pun terbaca oleh semua orang. Hidup yang menjadi kesaksian yang baik bagi banyak orang itulah yang menjadi kehendak Tuhan, sebab "...kamu adalah surat Kristus, yang ditulis oleh pelayanan kami, ditulis
bukan dengan tinta, tetapi dengan Roh dari Allah yang hidup, bukan pada
loh-loh batu, melainkan pada loh-loh daging, yaitu di dalam hati
manusia." (2 Korintus 3:3). Kita ini adalah surat-surat Kristus yang terbuka dan dibaca oleh semua orang.
Hidup kita akan menjadi kesaksian bagi orang lain apabila kita "...terkenal baik, dan yang penuh Roh dan hikmat," (Kisah 6:3). Kalimat terkenal baik artinya harus memiliki reputasi yang baik, bukan hanya di mata manusia tapi juga di hadapan Tuhan. "Nama baik lebih berharga dari pada kekayaan besar," (Amsal 22:1). Jangan sampai kita hanya tampak baik, alim dan suci saat berada di dalam gedung gereja, sementara di luar saat berada di tengah-tengah masyarakat, kita kembali hidup sebagai manusia lama: egois, mementingkan diri sendiri dan sama sekali tidak punya kasih. Seorang murid Kristus sejati harus memiliki kasih, kemurahan hati, dan empati tinggi terhadap keadaan sekitarnya yang kesemuanya diwujudkan dalam tindakan nyata, sehingga orang-orang dunia dapat membaca dan menemukan identitas kita karena kita memiliki kehidupan yang berbeda. Akhirnya nama Tuhan dipermuliakan melalui kehidupan kita.
"Hendaklah kebaikan hatimu diketahui semua orang." Filipi 4:5
Monday, August 10, 2015
Sunday, August 9, 2015
MURID SEJATI: Hati Yang Rela
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 9 Agustus 2015
Baca: Matius 11:25-30
"Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan." Matius 11:29
Modal utama murid adalah hati yang rela dididik, diproses, ditempa dan dibentuk, sebab proses pembelajaran itu bukan hanya transfer knowledge, tetapi juga ada character building. Selama kita masih mengeraskan hati dan tegar tengkuk, sampai kapan pun kita tidak akan pernah mencapai tahap menjadi murid sejati. Ayat nas menyatakan bahwa murid harus punya kerelaan memikul kuk yang dipasang gurunya. Kerelaan hati memberi diri untuk dipasang kuk adalah pertanda bahwa kita memiliki penyerahan diri penuh kepada Tuhan Yesus, selaku Guru Agung kita.
Kuk adalah: palang kayu dengan jepitan kayu vertikal yang memisahkan kedua binatang penarik sehingga bersama-sama dapat menarik beban berat; palang kayu tunggal dengan jerat tali yang diikatkan ke leher binatang penarik. Dengan "kuk" kita dipaksa tunduk atau taat, yang secara daging terasa sakit dan membuat kita sangat menderita. Namun "...karena Kristus telah menderita penderitaan badani, kamupun harus juga mempersenjatai dirimu dengan pikiran yang demikian, - karena barangsiapa telah menderita penderitaan badani, ia telah berhenti berbuat dosa -," (1 Petrus 4:1). Inilah yang dimaksudkan penyerahan diri: menundukkan diri pada otoritas dan kehendak-Nya. Dalam hal ini Tuhan Yesus telah terlebih dahulu meninggalkan sebuah keteladanan, yang "...dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib." (Filipi 2:8). Oleh karena itu, "Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus," (Filipi 2:5). Tuhan Yesus menambahkan, "...kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Kupun ringan." (Matius 11:30), artinya berguna dan bermanfaat bagi kita.
Menjadi murid Kristus ada harga yang harus dibayar: korban waktu, tenaga, pikiran, serta rela melepaskan semua kenyamanan untuk belajar dari-Nya. Jangan sampai sudah lama menjadi Kristen tapi hidup kita tetap saja belum berubah dan sama sekali tidak menunjukkan kualitas hidup yang meneladani Sang Guru.
Murid Kristus sejati "...ada di dalam Dia, ia wajib hidup sama seperti Kristus telah hidup." 1 Yohanes 2:6
Baca: Matius 11:25-30
"Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan." Matius 11:29
Modal utama murid adalah hati yang rela dididik, diproses, ditempa dan dibentuk, sebab proses pembelajaran itu bukan hanya transfer knowledge, tetapi juga ada character building. Selama kita masih mengeraskan hati dan tegar tengkuk, sampai kapan pun kita tidak akan pernah mencapai tahap menjadi murid sejati. Ayat nas menyatakan bahwa murid harus punya kerelaan memikul kuk yang dipasang gurunya. Kerelaan hati memberi diri untuk dipasang kuk adalah pertanda bahwa kita memiliki penyerahan diri penuh kepada Tuhan Yesus, selaku Guru Agung kita.
Kuk adalah: palang kayu dengan jepitan kayu vertikal yang memisahkan kedua binatang penarik sehingga bersama-sama dapat menarik beban berat; palang kayu tunggal dengan jerat tali yang diikatkan ke leher binatang penarik. Dengan "kuk" kita dipaksa tunduk atau taat, yang secara daging terasa sakit dan membuat kita sangat menderita. Namun "...karena Kristus telah menderita penderitaan badani, kamupun harus juga mempersenjatai dirimu dengan pikiran yang demikian, - karena barangsiapa telah menderita penderitaan badani, ia telah berhenti berbuat dosa -," (1 Petrus 4:1). Inilah yang dimaksudkan penyerahan diri: menundukkan diri pada otoritas dan kehendak-Nya. Dalam hal ini Tuhan Yesus telah terlebih dahulu meninggalkan sebuah keteladanan, yang "...dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib." (Filipi 2:8). Oleh karena itu, "Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus," (Filipi 2:5). Tuhan Yesus menambahkan, "...kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Kupun ringan." (Matius 11:30), artinya berguna dan bermanfaat bagi kita.
Menjadi murid Kristus ada harga yang harus dibayar: korban waktu, tenaga, pikiran, serta rela melepaskan semua kenyamanan untuk belajar dari-Nya. Jangan sampai sudah lama menjadi Kristen tapi hidup kita tetap saja belum berubah dan sama sekali tidak menunjukkan kualitas hidup yang meneladani Sang Guru.
Murid Kristus sejati "...ada di dalam Dia, ia wajib hidup sama seperti Kristus telah hidup." 1 Yohanes 2:6
Saturday, August 8, 2015
MURID SEJATI: Mendisiplinkan Diri
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 8 Agustus 2015
Baca: Yesaya 50:4-11
"Setiap pagi Ia mempertajam pendengaranku untuk mendengar seperti seorang murid." Yesaya 50:4b
Kata murid disebut pula anak didik, siswa, pelajar atau pengikut, biasanya anak/orang yang berkomitmen kepada orang yang berotoritas. Sementara istilah murid yang tertulis di kitab-kitab Injil umumnya menunjuk kepada para pengikut Kristus, dan merupakan sebutan yang umum bagi mereka yang dalam gereja mula-mula disebut orang percaya. Yang namanya murid berarti tidak luput dari proses pembelajaran, sebab tugas utamanya adalah belajar. Proses pembelajaran akan terjadi apabila seorang murid punya kesediaan untuk diajar, dilatih dan dibimbing oleh gurunya.
Orang percaya bisa bertumbuh menjadi murid Kristus yang sejati apabila ia mau mendisiplinkan diri untuk belajar kepada Kristus; dan semakin kita mau mendisiplinkan diri untuk dilatih, diajar dan dibimbing-Nya, semakin mudah pula Tuhan membentuk kita sesuai dengan kehendak dan rencana-Nya. Mendisiplinkan diri dalam hal apa? Dalam hal mengembangkan kebiasaan-kebiasaan yang baru, mulai dari cara berpikir, bertutur kata dan berperilaku. Kita mau mendisiplinkan diri secara pribadi dengan Tuhan melalui saat teduh: membaca dan merenungkan firman-Nya setiap hari, serta mendisiplinkan diri secara korporat melalui ibadah dan persekutuan. "...siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang." (2 Korintus 5:17). Dengan kata lain kita berkomitmen untuk meninggalkan cara hidup yang lama dan hidup sebagai manusia baru di dalam Kristus, sehingga "...kita semua mencerminkan kemuliaan Tuhan dengan muka yang tidak berselubung. Dan karena kemuliaan itu datangnya dari Tuhan yang adalah Roh, maka kita diubah menjadi serupa dengan gambar-Nya, dalam kemuliaan yang semakin besar." (2 Korintus 3:18).
Kebiasaan hidup yang baru tidak akan terbentuk jika dipaksakan oleh pihak lain kepada diri seseorang, tetapi pihak kita sendiririlah yang harus berkomitmen merelakan diri untuk didisiplinkan oleh Tuhan: mendengar suara-Nya, mematuhi perintah-Nya, mempraktekkan ajaran-Nya dan meneladani kehidupan-Nya.
Tuhan Yesus adalah Guru Agung kita, karena itu relakan dirimu diajar dan disiplin oleh-Nya!
Baca: Yesaya 50:4-11
"Setiap pagi Ia mempertajam pendengaranku untuk mendengar seperti seorang murid." Yesaya 50:4b
Kata murid disebut pula anak didik, siswa, pelajar atau pengikut, biasanya anak/orang yang berkomitmen kepada orang yang berotoritas. Sementara istilah murid yang tertulis di kitab-kitab Injil umumnya menunjuk kepada para pengikut Kristus, dan merupakan sebutan yang umum bagi mereka yang dalam gereja mula-mula disebut orang percaya. Yang namanya murid berarti tidak luput dari proses pembelajaran, sebab tugas utamanya adalah belajar. Proses pembelajaran akan terjadi apabila seorang murid punya kesediaan untuk diajar, dilatih dan dibimbing oleh gurunya.
Orang percaya bisa bertumbuh menjadi murid Kristus yang sejati apabila ia mau mendisiplinkan diri untuk belajar kepada Kristus; dan semakin kita mau mendisiplinkan diri untuk dilatih, diajar dan dibimbing-Nya, semakin mudah pula Tuhan membentuk kita sesuai dengan kehendak dan rencana-Nya. Mendisiplinkan diri dalam hal apa? Dalam hal mengembangkan kebiasaan-kebiasaan yang baru, mulai dari cara berpikir, bertutur kata dan berperilaku. Kita mau mendisiplinkan diri secara pribadi dengan Tuhan melalui saat teduh: membaca dan merenungkan firman-Nya setiap hari, serta mendisiplinkan diri secara korporat melalui ibadah dan persekutuan. "...siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang." (2 Korintus 5:17). Dengan kata lain kita berkomitmen untuk meninggalkan cara hidup yang lama dan hidup sebagai manusia baru di dalam Kristus, sehingga "...kita semua mencerminkan kemuliaan Tuhan dengan muka yang tidak berselubung. Dan karena kemuliaan itu datangnya dari Tuhan yang adalah Roh, maka kita diubah menjadi serupa dengan gambar-Nya, dalam kemuliaan yang semakin besar." (2 Korintus 3:18).
Kebiasaan hidup yang baru tidak akan terbentuk jika dipaksakan oleh pihak lain kepada diri seseorang, tetapi pihak kita sendiririlah yang harus berkomitmen merelakan diri untuk didisiplinkan oleh Tuhan: mendengar suara-Nya, mematuhi perintah-Nya, mempraktekkan ajaran-Nya dan meneladani kehidupan-Nya.
Tuhan Yesus adalah Guru Agung kita, karena itu relakan dirimu diajar dan disiplin oleh-Nya!
Friday, August 7, 2015
KEMENANGAN SEJATI: Kejahatan Dibalas Kebaikan
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 7 Agustus 2015
Baca: 1 Tesalonika 5:12-22
"Perhatikanlah, supaya jangan ada orang yang membalas jahat dengan jahat, tetapi usahakanlah senantiasa yang baik, terhadap kamu masing-masing dan terhadap semua orang." 1 Tesalonika 5:15
Alkitab adalah buku yang sangat lengkap dan luar biasa, karena bukan hanya berbicara tentang sorga dan neraka, bukan hanya membahas tentang dosa dan akibatnya, atau berbicara tentang kehidupan yang akan datang (setelah kematian), tetapi juga berbicara tentang keseharian hidup manusia. Masalah-masalah yang terjadi dalam kehidupan manusia telah dijawab oleh terang firman Tuhan. Karena itu, back to the Bible is the best solution for all things.
Ada banyak sekali pergumulan yang harus kita hadapi selama hidup. Musa pun mengakuinya, "Masa hidup kami tujuh puluh tahun dan jika kami kuat, delapan puluh tahun, dan kebanggaannya adalah kesukaran dan penderitaan; sebab berlalunya buru-buru, dan kami melayang lenyap." (Mazmur 90:10). Tidak ada gunanya kita terus mengeluh dan bersungut-sungut karena dunia ini bukanlah firdaus. Salah satu pergumulan hidup ini adalah berkenaan dengan perlakuan jahat orang lain kepada kita. Kalau meniru prinsip dunia kita pasti ingin membalas kejahatan dengan kejahatan pula. Umumnya ketika dijahati orang lain secara naluriah kita cenderung mendendam, menyimpan sakit hati dan kemudian mencari kesempatan melampiaskan dendam. Tindakan membalas kejahatan dengan kejahatan itu sangat bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh Tuhan Yesus yang justru mengajarkan hal yang berbeda: kejahatan harus dibalas dengan kebaikan. Kita tidak perlu mereka-reka yang jahat terhadap orang lain karena hal itu akan merugikan diri sendiri. "Jangan marah karena orang yang berbuat jahat, jangan iri hati kepada orang yang berbuat curang;" (Mazmur 37:1).
Kalau kita membalas kejahatan dengan kejahatan sama artinya api dilawan dengan api. Dampaknya? Suasana semakin panas membara dan itu sangat berbahaya karena dapat membakar dan menghanguskan. Serahkan pergumulan tersebut kepada Tuhan, percayalah bahwa Tuhan tidak pernah tertidur dan terlelap, "...percayalah kepada-Nya, dan Ia akan bertindak;" (Mazmur 37:5).
Ketika mampu mengalahkan kejahatan dengan kebaikan, itulah kemenangan sejati!
Baca: 1 Tesalonika 5:12-22
"Perhatikanlah, supaya jangan ada orang yang membalas jahat dengan jahat, tetapi usahakanlah senantiasa yang baik, terhadap kamu masing-masing dan terhadap semua orang." 1 Tesalonika 5:15
Alkitab adalah buku yang sangat lengkap dan luar biasa, karena bukan hanya berbicara tentang sorga dan neraka, bukan hanya membahas tentang dosa dan akibatnya, atau berbicara tentang kehidupan yang akan datang (setelah kematian), tetapi juga berbicara tentang keseharian hidup manusia. Masalah-masalah yang terjadi dalam kehidupan manusia telah dijawab oleh terang firman Tuhan. Karena itu, back to the Bible is the best solution for all things.
Ada banyak sekali pergumulan yang harus kita hadapi selama hidup. Musa pun mengakuinya, "Masa hidup kami tujuh puluh tahun dan jika kami kuat, delapan puluh tahun, dan kebanggaannya adalah kesukaran dan penderitaan; sebab berlalunya buru-buru, dan kami melayang lenyap." (Mazmur 90:10). Tidak ada gunanya kita terus mengeluh dan bersungut-sungut karena dunia ini bukanlah firdaus. Salah satu pergumulan hidup ini adalah berkenaan dengan perlakuan jahat orang lain kepada kita. Kalau meniru prinsip dunia kita pasti ingin membalas kejahatan dengan kejahatan pula. Umumnya ketika dijahati orang lain secara naluriah kita cenderung mendendam, menyimpan sakit hati dan kemudian mencari kesempatan melampiaskan dendam. Tindakan membalas kejahatan dengan kejahatan itu sangat bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh Tuhan Yesus yang justru mengajarkan hal yang berbeda: kejahatan harus dibalas dengan kebaikan. Kita tidak perlu mereka-reka yang jahat terhadap orang lain karena hal itu akan merugikan diri sendiri. "Jangan marah karena orang yang berbuat jahat, jangan iri hati kepada orang yang berbuat curang;" (Mazmur 37:1).
Kalau kita membalas kejahatan dengan kejahatan sama artinya api dilawan dengan api. Dampaknya? Suasana semakin panas membara dan itu sangat berbahaya karena dapat membakar dan menghanguskan. Serahkan pergumulan tersebut kepada Tuhan, percayalah bahwa Tuhan tidak pernah tertidur dan terlelap, "...percayalah kepada-Nya, dan Ia akan bertindak;" (Mazmur 37:5).
Ketika mampu mengalahkan kejahatan dengan kebaikan, itulah kemenangan sejati!
Thursday, August 6, 2015
ALKITAB: Pedoman Hidup (3)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 6 Agustus 2015
Baca: Ayub 5:17-27
"Sesungguhnya, berbahagialah manusia yang ditegur Allah; sebab itu janganlah engkau menolak didikan Yang Mahakuasa." Ayub 5:17
Selain bermanfaat untuk mengajar dan mendidik orang percaya dalam kebenaran, Alkitab juga berfungsi untuk menyatakan kesalahan dan memperbaiki kelakukan seseorang. "Dengan apakah seorang muda mempertahankan kelakuannya bersih? Dengan menjaganya sesuai dengan firman-Mu." (Mazmur 119:9).
Kebenaran Alkitab sanggup memperbaiki kelakuan yang buruk, meluruskan jalan yang bengkok, dan mengarahkan orang percaya untuk berlaku benar dan tidak bercela. Jadi untuk mengetahui apakah perbuatan itu salah atau benar Alkitablah yang harus menjadi patokan, tolak ukur, cermin dan standar hidup kita orang percaya. Tidak sedikit orang Kristen yang mogok ke gereja karena tersinggung mendengar kotbah hamba Tuhan yang seolah-olah menelanjangi dosa-dosanya. Ini berarti Alkitab berkuasa menyatakan kesalahan dan dosa seseorang. Namun sayang sekali, ketika ditegur dan dikoreksi oleh firman, kita bukannya bersyukur dan bertobat tapi justru marah dan mengeraskan hati.
Milikilah respons yang benar seperti Daud, yang ketika menerima teguran dari nabi Natan langsung menyadari kesalahannya dan segera minta ampun kepada Tuhan. "Kasihanilah aku, ya Allah, menurut kasih setia-Mu, hapuskanlah pelanggaranku menurut rahmat-Mu yang besar! Bersihkanlah aku seluruhnya dari kesalahanku, dan tahirkanlah aku dari dosaku!" (Mazmur 51:3-4). Firman Tuhan benar-benar telah menyadarkan Daud dari kesalahannya. "Sebelum aku tertindas, aku menyimpang, tetapi sekarang aku berpegang pada janji-Mu." (Mazmur 119:67). Semakin kita banyak membaca, mempelajari, mendengar dan merenungkan firman Tuhan semakin kita memiliki hati yang takut akan Tuhan, sehingga kita "...dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna." (Roma 12:2), dan tekad untuk tidak lagi berbuat dosa pun semakin kuat.
"Sebab firman Allah hidup dan kuat dan lebih tajam dari pada pedang bermata dua manapun; ia menusuk amat dalam sampai memisahkan jiwa dan roh, sendi-sendi dan sumsum; ia sanggup membedakan pertimbangan dan pikiran hati kita." Ibrani 4:12
Baca: Ayub 5:17-27
"Sesungguhnya, berbahagialah manusia yang ditegur Allah; sebab itu janganlah engkau menolak didikan Yang Mahakuasa." Ayub 5:17
Selain bermanfaat untuk mengajar dan mendidik orang percaya dalam kebenaran, Alkitab juga berfungsi untuk menyatakan kesalahan dan memperbaiki kelakukan seseorang. "Dengan apakah seorang muda mempertahankan kelakuannya bersih? Dengan menjaganya sesuai dengan firman-Mu." (Mazmur 119:9).
Kebenaran Alkitab sanggup memperbaiki kelakuan yang buruk, meluruskan jalan yang bengkok, dan mengarahkan orang percaya untuk berlaku benar dan tidak bercela. Jadi untuk mengetahui apakah perbuatan itu salah atau benar Alkitablah yang harus menjadi patokan, tolak ukur, cermin dan standar hidup kita orang percaya. Tidak sedikit orang Kristen yang mogok ke gereja karena tersinggung mendengar kotbah hamba Tuhan yang seolah-olah menelanjangi dosa-dosanya. Ini berarti Alkitab berkuasa menyatakan kesalahan dan dosa seseorang. Namun sayang sekali, ketika ditegur dan dikoreksi oleh firman, kita bukannya bersyukur dan bertobat tapi justru marah dan mengeraskan hati.
Milikilah respons yang benar seperti Daud, yang ketika menerima teguran dari nabi Natan langsung menyadari kesalahannya dan segera minta ampun kepada Tuhan. "Kasihanilah aku, ya Allah, menurut kasih setia-Mu, hapuskanlah pelanggaranku menurut rahmat-Mu yang besar! Bersihkanlah aku seluruhnya dari kesalahanku, dan tahirkanlah aku dari dosaku!" (Mazmur 51:3-4). Firman Tuhan benar-benar telah menyadarkan Daud dari kesalahannya. "Sebelum aku tertindas, aku menyimpang, tetapi sekarang aku berpegang pada janji-Mu." (Mazmur 119:67). Semakin kita banyak membaca, mempelajari, mendengar dan merenungkan firman Tuhan semakin kita memiliki hati yang takut akan Tuhan, sehingga kita "...dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna." (Roma 12:2), dan tekad untuk tidak lagi berbuat dosa pun semakin kuat.
"Sebab firman Allah hidup dan kuat dan lebih tajam dari pada pedang bermata dua manapun; ia menusuk amat dalam sampai memisahkan jiwa dan roh, sendi-sendi dan sumsum; ia sanggup membedakan pertimbangan dan pikiran hati kita." Ibrani 4:12
Wednesday, August 5, 2015
ALKITAB: Pedoman Hidup (2)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 5 Agustus 2015
Baca: 2 Timotius 3:10-17
"Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran." 2 Timotius 3:16
Ayat nas ini adalah nasihat Rasul Paulus kepada Timotius, orang muda yang dipercaya melayani jemaat di Efesus. Mengapa Paulus perlu menekankan kembali pentingnya mempelajari dan merenungkan firman Tuhan? Karena pada waktu itu banyak sekali pengajar-pengajar sesat yang menyusup di antara jemaat sehingga mereka tidak lagi menjadikan Alkitab sebagai pedoman hidup, melainkan lebih menyendengkan telinganya kepada ajaran-ajaran yang menyimpang dari kebenaran. "...tidak dapat lagi menerima ajaran sehat, tetapi mereka akan mengumpulkan guru-guru menurut kehendaknya untuk memuaskan keinginan telinganya. Mereka akan memalingkan telinganya dari kebenaran dan membukanya bagi dongeng." (2 Timotius 4:3-4).
Apa manfaat Alkitab bagi kehidupan orang percaya? Adalah sarana utama belajar mengenal pribadi Tuhan, mempercayai janji-Nya, serta memahami apa kehendak dan rencana-Nya bagi kehidupan kita. Melalui Alkitab Tuhan mengajar dan mendidik kita untuk hidup dalam kebenaran. "Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku." (Mazmur 119:105). Proses pertumbuhan menuju karakter Kristus tidak terjadi secara otomatis atau tiba-tiba, namun memerlukan waktu seumur hidup. Untuk bertumbuh secara rohani Allah sudah memberikan pedoman-Nya yaitu melalui Alkitab. Diperlukan kebenaran untuk mengubah hidup kita, dan Alkitab menunjukkan kebenaran itu kepada orang percaya. Hidup kita akan berubah bila kita mau membayar harga, yaitu menyediakan waktu membaca Alkitab, mempelajari, merenungkan dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Ketika kita tekun mendalami Alkitab, Roh Kudus akan menolong menyingkapkan hal-hal yang tersembunyi yang tak terpahami, "...Dialah yang akan mengajarkan segala sesuatu kepadamu..." (Yohanes 14:26), dan "...memimpin kamu ke dalam seluruh kebenaran;" (Yohanes 16:13), sehingga kebenaran-Nya bekerja di dalam kita, dan kita pun semakin disadarkan untuk berubah dalam segala hal: pikiran, perkataan, perbuatan.
"Bawalah aku berjalan dalam kebenaran-Mu dan ajarlah aku," Mazmur 25:5
Baca: 2 Timotius 3:10-17
"Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran." 2 Timotius 3:16
Ayat nas ini adalah nasihat Rasul Paulus kepada Timotius, orang muda yang dipercaya melayani jemaat di Efesus. Mengapa Paulus perlu menekankan kembali pentingnya mempelajari dan merenungkan firman Tuhan? Karena pada waktu itu banyak sekali pengajar-pengajar sesat yang menyusup di antara jemaat sehingga mereka tidak lagi menjadikan Alkitab sebagai pedoman hidup, melainkan lebih menyendengkan telinganya kepada ajaran-ajaran yang menyimpang dari kebenaran. "...tidak dapat lagi menerima ajaran sehat, tetapi mereka akan mengumpulkan guru-guru menurut kehendaknya untuk memuaskan keinginan telinganya. Mereka akan memalingkan telinganya dari kebenaran dan membukanya bagi dongeng." (2 Timotius 4:3-4).
Apa manfaat Alkitab bagi kehidupan orang percaya? Adalah sarana utama belajar mengenal pribadi Tuhan, mempercayai janji-Nya, serta memahami apa kehendak dan rencana-Nya bagi kehidupan kita. Melalui Alkitab Tuhan mengajar dan mendidik kita untuk hidup dalam kebenaran. "Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku." (Mazmur 119:105). Proses pertumbuhan menuju karakter Kristus tidak terjadi secara otomatis atau tiba-tiba, namun memerlukan waktu seumur hidup. Untuk bertumbuh secara rohani Allah sudah memberikan pedoman-Nya yaitu melalui Alkitab. Diperlukan kebenaran untuk mengubah hidup kita, dan Alkitab menunjukkan kebenaran itu kepada orang percaya. Hidup kita akan berubah bila kita mau membayar harga, yaitu menyediakan waktu membaca Alkitab, mempelajari, merenungkan dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Ketika kita tekun mendalami Alkitab, Roh Kudus akan menolong menyingkapkan hal-hal yang tersembunyi yang tak terpahami, "...Dialah yang akan mengajarkan segala sesuatu kepadamu..." (Yohanes 14:26), dan "...memimpin kamu ke dalam seluruh kebenaran;" (Yohanes 16:13), sehingga kebenaran-Nya bekerja di dalam kita, dan kita pun semakin disadarkan untuk berubah dalam segala hal: pikiran, perkataan, perbuatan.
"Bawalah aku berjalan dalam kebenaran-Mu dan ajarlah aku," Mazmur 25:5
Tuesday, August 4, 2015
ALKITAB: Pedoman Hidup (1)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 4 Agustus 2015
Baca: Mazmur 119:33-40
"Buatlah aku mengerti, maka aku akan memegang Taurat-Mu; aku hendak memeliharanya dengan segenap hati." Mazmur 119:34
Ada banyak orang Kristen yang bertanya-tanya dalam hati, "Mengapa sampai hari ini kuasa firman Tuhan itu tidak bekerja secara nyata dalam hidupku, padahal aku sudah membaca Alkitab sampai tuntas?" Saudaraku, bukan Alkitab atau firman Tuhan yang salah, tetapi respons dari sikap hati terhadap firman, serta perbuatan kita turut menentukan keadaan ini. Karena itu kita perlu mengoreksi diri terlebih dahulu sebelum kita complain kepada Tuhan. Yakobus memperingatkan, "Sebab itu buanglah segala sesuatu yang kotor dan kejahatan yang begitu banyak itu dan terimalah dengan lemah lembut firman yang tertanam di dalam hatimu, yang berkuasa menyelamatkan jiwamu." (Yakobus 1:21).
Firman Tuhan, baik yang kita baca maupun yang dengar melalui khotbah para hamba Tuhan, tidak dapat bekerja secara efektif di dalam hidup kita bila kita sendiri belum mau melepaskan hal yang kotor dan jahat. Selama kita masih enggan menanggalkan 'manusia lama' maka semuanya sia-sia. Apalah artinya membaca Alkitab dan hafal dengan ayat-ayat firman Tuhan jika hal itu tidak selaras dengan sikap dan perbuatan kita sehari-hari. Bukankah Alkitab dengan sangat terperinci memberitahukan kita tentang apa saja yang tidak layak untuk dilakukan dan apa saja yang harus kita perbuat? Tetapi jika kita masih saja hidup dalam dosa, bukankah itu artinya kita meremehkan firman dan menganggap semua nasihat Tuhan itu sebagai angin lalu? Dengan keras firman Tuhan memperingatkan: "Keluarlah kamu dari antara mereka, dan pisahkanlah dirimu dari mereka, firman Tuhan, dan janganlah menjamah apa yang najis, maka Aku akan menerima kamu." (2 Korintus 6:17).
Sebaliknya, jika ketekunan kita mempelajari Alkitab disertai dengan kesungguhan untuk melakukan firman Tuhan, maka "...firman-Ku yang keluar dari mulut-Ku: ia tidak akan kembali kepada-Ku dengan sia-sia, tetapi ia akan melaksanakan apa yang Kukehendaki, dan akan berhasil dalam apa yang Kusuruhkan kepadanya." (Yesaya 55:11).
Alkitab adalah jawaban untuk semua pergumulan hidup kita, karena itu tingallah di dalam firman-Nya, maka apa saja yang kita perbuat menjadi berhasil!
Baca: Mazmur 119:33-40
"Buatlah aku mengerti, maka aku akan memegang Taurat-Mu; aku hendak memeliharanya dengan segenap hati." Mazmur 119:34
Ada banyak orang Kristen yang bertanya-tanya dalam hati, "Mengapa sampai hari ini kuasa firman Tuhan itu tidak bekerja secara nyata dalam hidupku, padahal aku sudah membaca Alkitab sampai tuntas?" Saudaraku, bukan Alkitab atau firman Tuhan yang salah, tetapi respons dari sikap hati terhadap firman, serta perbuatan kita turut menentukan keadaan ini. Karena itu kita perlu mengoreksi diri terlebih dahulu sebelum kita complain kepada Tuhan. Yakobus memperingatkan, "Sebab itu buanglah segala sesuatu yang kotor dan kejahatan yang begitu banyak itu dan terimalah dengan lemah lembut firman yang tertanam di dalam hatimu, yang berkuasa menyelamatkan jiwamu." (Yakobus 1:21).
Firman Tuhan, baik yang kita baca maupun yang dengar melalui khotbah para hamba Tuhan, tidak dapat bekerja secara efektif di dalam hidup kita bila kita sendiri belum mau melepaskan hal yang kotor dan jahat. Selama kita masih enggan menanggalkan 'manusia lama' maka semuanya sia-sia. Apalah artinya membaca Alkitab dan hafal dengan ayat-ayat firman Tuhan jika hal itu tidak selaras dengan sikap dan perbuatan kita sehari-hari. Bukankah Alkitab dengan sangat terperinci memberitahukan kita tentang apa saja yang tidak layak untuk dilakukan dan apa saja yang harus kita perbuat? Tetapi jika kita masih saja hidup dalam dosa, bukankah itu artinya kita meremehkan firman dan menganggap semua nasihat Tuhan itu sebagai angin lalu? Dengan keras firman Tuhan memperingatkan: "Keluarlah kamu dari antara mereka, dan pisahkanlah dirimu dari mereka, firman Tuhan, dan janganlah menjamah apa yang najis, maka Aku akan menerima kamu." (2 Korintus 6:17).
Sebaliknya, jika ketekunan kita mempelajari Alkitab disertai dengan kesungguhan untuk melakukan firman Tuhan, maka "...firman-Ku yang keluar dari mulut-Ku: ia tidak akan kembali kepada-Ku dengan sia-sia, tetapi ia akan melaksanakan apa yang Kukehendaki, dan akan berhasil dalam apa yang Kusuruhkan kepadanya." (Yesaya 55:11).
Alkitab adalah jawaban untuk semua pergumulan hidup kita, karena itu tingallah di dalam firman-Nya, maka apa saja yang kita perbuat menjadi berhasil!
Monday, August 3, 2015
TUHAN YANG MEMUASKAN
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 3 Agustus 2015
Baca: Mazmur 107:4-9
"sebab dipuaskan-Nya jiwa yang dahaga, dan jiwa yang lapar dikenyangkan-Nya dengan kebaikan." Mazmur 107:9
Banyak orang berlimpah harta duniawi namun tidak merasakan kebahagiaan sejati. Mengapa? Karena mereka tidak lapar dan haus akan kebenaran, alias mengabaikan perkara rohani, "...mereka meninggalkan Aku, sumber air yang hidup, untuk menggali kolam bagi mereka sendiri, yakni kolam yang bocor, yang tidak dapat menahan air." (Yeremia 2:13), serta "...kamu belanjakan uang untuk sesuatu yang bukan roti, dan upah jerih payahmu untuk sesuatu yang tidak mengenyangkan? Dengarkanlah Aku maka kamu akan memakan yang baik dan kamu akan menikmati sajian yang paling lezat. Sendengkanlah telingamu dan datanglah kepada-Ku; dengarkanlah, maka kamu akan hidup!" (Yesaya 55:2-3a). Mereka melupakan dan meninggalkan Tuhan, Sumber Air Hidup dan Roti kehidupan itu.
Tuhan Yesus menegaskan bahwa orag-orang yang tidak memiliki rasa lapar dan haus akan kebenaran tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Sorga. Mengapa? Karena syarat dasar dari kehidupan yang saleh adalah lapar dan haus akan kebenaran. Jika seseorang tidak punya rasa lapar dan haus akan kebenaran, sampai kapan pun ia tidak akan pernah mendahulukan Kerajaan Allah dan kebenarannya. Padahal, sebesar rasa lapar dan haus kita terhadap kebenaran, sebesar itu pula kualitas hidup kita akan ditentukan untuk saat ini dan masa depan. "Di mana ada kebenaran di situ akan tumbuh damai sejahtera, dan akibat kebenaran ialah ketenangan dan ketenteraman untuk selama-lamanya." (Yesaya 32:17).
Akibat lapar dan haus akan kebenaran orang itu akan dipuaskan. Kata dipuaskan menunjukkan kata kerja pasif, artinya tindakan ini bukan berasal dari kita, melainkan dilakukan pihak lain terhadap kita. Bagian Tuhan adalah memberikan kepuasan penuh kepada kita, sedangkan tugas kita hanyalah mencari dan merindukan Dia. "...orang-orang yang mencari TUHAN, tidak kekurangan sesuatupun yang baik." (Mazmur 34:11).
"Ya Allah, Engkaulah Allahku, aku mencari Engkau, jiwaku haus kepada-Mu, tubuhku rindu kepada-Mu, seperti tanah yang kering dan tandus, tiada berair." Mazmur 63:2
Baca: Mazmur 107:4-9
"sebab dipuaskan-Nya jiwa yang dahaga, dan jiwa yang lapar dikenyangkan-Nya dengan kebaikan." Mazmur 107:9
Banyak orang berlimpah harta duniawi namun tidak merasakan kebahagiaan sejati. Mengapa? Karena mereka tidak lapar dan haus akan kebenaran, alias mengabaikan perkara rohani, "...mereka meninggalkan Aku, sumber air yang hidup, untuk menggali kolam bagi mereka sendiri, yakni kolam yang bocor, yang tidak dapat menahan air." (Yeremia 2:13), serta "...kamu belanjakan uang untuk sesuatu yang bukan roti, dan upah jerih payahmu untuk sesuatu yang tidak mengenyangkan? Dengarkanlah Aku maka kamu akan memakan yang baik dan kamu akan menikmati sajian yang paling lezat. Sendengkanlah telingamu dan datanglah kepada-Ku; dengarkanlah, maka kamu akan hidup!" (Yesaya 55:2-3a). Mereka melupakan dan meninggalkan Tuhan, Sumber Air Hidup dan Roti kehidupan itu.
Tuhan Yesus menegaskan bahwa orag-orang yang tidak memiliki rasa lapar dan haus akan kebenaran tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Sorga. Mengapa? Karena syarat dasar dari kehidupan yang saleh adalah lapar dan haus akan kebenaran. Jika seseorang tidak punya rasa lapar dan haus akan kebenaran, sampai kapan pun ia tidak akan pernah mendahulukan Kerajaan Allah dan kebenarannya. Padahal, sebesar rasa lapar dan haus kita terhadap kebenaran, sebesar itu pula kualitas hidup kita akan ditentukan untuk saat ini dan masa depan. "Di mana ada kebenaran di situ akan tumbuh damai sejahtera, dan akibat kebenaran ialah ketenangan dan ketenteraman untuk selama-lamanya." (Yesaya 32:17).
Akibat lapar dan haus akan kebenaran orang itu akan dipuaskan. Kata dipuaskan menunjukkan kata kerja pasif, artinya tindakan ini bukan berasal dari kita, melainkan dilakukan pihak lain terhadap kita. Bagian Tuhan adalah memberikan kepuasan penuh kepada kita, sedangkan tugas kita hanyalah mencari dan merindukan Dia. "...orang-orang yang mencari TUHAN, tidak kekurangan sesuatupun yang baik." (Mazmur 34:11).
"Ya Allah, Engkaulah Allahku, aku mencari Engkau, jiwaku haus kepada-Mu, tubuhku rindu kepada-Mu, seperti tanah yang kering dan tandus, tiada berair." Mazmur 63:2
Sunday, August 2, 2015
KEBENARAN: Kebutuhan Hakiki Manusia
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 2 Agustus 2015
Baca: Matius 5:1-12
"Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan." Matius 5:6
Setiap manusia pasti pernah dan selalu merasa lapar dan haus secara jasmani. Kita lapar terhadap makanan dan haus akan minuman. Rasa lapar dan haus ini menggambarkan kebutuhan hidup jasmaniah manusia yang harus dipenuhi. Jika kedua kebutuhan ini (makanan dan minuman) tidak terpenuhi bisa berakibat sangat fatal dan berujung kepada kematian. Tetapi rasa lapar dan haus yang dimaksudkan Tuhan Yesus dalam ayat ini berbeda dengan konsep umum manusia tentang rasa lapar dan haus secara jasmani.
Rasa lapar dan haus yang dimaksudkan oleh Tuhan Yesus adalah lapar dan haus akan kebenaran; dan ketika seseorang merasa lapar dan haus aka kebenaran ia akan disebut sebagai orang yang berbahagia. Lapar dan haus ini berbicara mengenai suatu keinginan atau hasrat yang kuat dari dalam diri seseorang. Adapun keinginan dan hasrat yang dimaksudkan memiliki makna yang positif, karena ditujukan kepada perkara-perkara rohani. Dalam analogi ini Tuhan Yesus hendak menegaskan bahwa kebenaran sesungguhnya adalah kebutuhan utama yang harus dipenuhi bagi tubuh rohani seseorang, yang sama pentingnya dengan makanan dan minuman bagi kesehatan tubuh jasmani. Karena merupakan kebutuhan utama bagi kehidupan rohani manusia maka kebenaran bukanlah sebuah pilihan atau alternatif yang dapat dipenuhi sewaktu-waktu saja. kebenaran adalah kebutuhan hakiki manusia, yang tidak bisa tidak, harus dipenuhi. Adapun kebenaran yang hakiki itu hanya akan kita dapatkan di dalam Tuhan, sebab "Segala jalan TUHAN adalah kasih setia dan kebenaran bagi orang yang berpegang pada perjanjian-Nya dan peringatan-peringatan-Nya." (Mazmur 25:10).
Seringkali kita berpikiran bahwa kebutuhan manusia itu semata-mata hanya berkenaan dengan kebutuhan jasmaniah. Akibatnya manusia cenderung mengejar kepentingan duniawi saja demi memuaskan keinginan dagingnya, tidak peduli meski harus hidup jauh dari Tuhan. Mereka justru mengabaikan kebutuhan yang paling mendasar yaitu kebenaran. Mungkin secara materi segala kebutuhan terpenuhi, namun hati tetap saja hampa, kosong, tidak bahagia dan tidak pernah terpuaskan!
Karena kekuatiran akan duniawi orang tidak lagi lapar dan haus akan kebenaran!
Baca: Matius 5:1-12
"Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan." Matius 5:6
Setiap manusia pasti pernah dan selalu merasa lapar dan haus secara jasmani. Kita lapar terhadap makanan dan haus akan minuman. Rasa lapar dan haus ini menggambarkan kebutuhan hidup jasmaniah manusia yang harus dipenuhi. Jika kedua kebutuhan ini (makanan dan minuman) tidak terpenuhi bisa berakibat sangat fatal dan berujung kepada kematian. Tetapi rasa lapar dan haus yang dimaksudkan Tuhan Yesus dalam ayat ini berbeda dengan konsep umum manusia tentang rasa lapar dan haus secara jasmani.
Rasa lapar dan haus yang dimaksudkan oleh Tuhan Yesus adalah lapar dan haus akan kebenaran; dan ketika seseorang merasa lapar dan haus aka kebenaran ia akan disebut sebagai orang yang berbahagia. Lapar dan haus ini berbicara mengenai suatu keinginan atau hasrat yang kuat dari dalam diri seseorang. Adapun keinginan dan hasrat yang dimaksudkan memiliki makna yang positif, karena ditujukan kepada perkara-perkara rohani. Dalam analogi ini Tuhan Yesus hendak menegaskan bahwa kebenaran sesungguhnya adalah kebutuhan utama yang harus dipenuhi bagi tubuh rohani seseorang, yang sama pentingnya dengan makanan dan minuman bagi kesehatan tubuh jasmani. Karena merupakan kebutuhan utama bagi kehidupan rohani manusia maka kebenaran bukanlah sebuah pilihan atau alternatif yang dapat dipenuhi sewaktu-waktu saja. kebenaran adalah kebutuhan hakiki manusia, yang tidak bisa tidak, harus dipenuhi. Adapun kebenaran yang hakiki itu hanya akan kita dapatkan di dalam Tuhan, sebab "Segala jalan TUHAN adalah kasih setia dan kebenaran bagi orang yang berpegang pada perjanjian-Nya dan peringatan-peringatan-Nya." (Mazmur 25:10).
Seringkali kita berpikiran bahwa kebutuhan manusia itu semata-mata hanya berkenaan dengan kebutuhan jasmaniah. Akibatnya manusia cenderung mengejar kepentingan duniawi saja demi memuaskan keinginan dagingnya, tidak peduli meski harus hidup jauh dari Tuhan. Mereka justru mengabaikan kebutuhan yang paling mendasar yaitu kebenaran. Mungkin secara materi segala kebutuhan terpenuhi, namun hati tetap saja hampa, kosong, tidak bahagia dan tidak pernah terpuaskan!
Karena kekuatiran akan duniawi orang tidak lagi lapar dan haus akan kebenaran!
Saturday, August 1, 2015
ALKITAB: Sabda Allah Sendiri
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 1 Agustus 2015
Baca: 2 Petrus 1:16-21
"Dengan demikian kami makin diteguhkan oleh firman yang telah disampaikan oleh para nabi." 2 Petrus 1:19a
Rasul Paulus mengatakan, "...Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya,...yang bertolak dari iman dan memimpin kepada iman," (Roma 1:16-17).
Injil atau Alkitab adalah firman Allah, diwahyukan oleh Allah sendiri. Kata Alkitab dalam bahasa Inggris disebut Bible, berasal dari bahasa Yunani biblia atau biblos. Diwahyukan dalam bahasa Yunaninya Theopneustos: Theo berarti Allah, sedangkan pneo berarti bernafas. Artinya Allah sendiri yang memberi nafas pada setiap tulisan. Hal ini menunjukkan bahwa Alkitab bukanlah karangan yang berasal dari kepandaian manusia atau kehendak manusia, tetapi merupakan tulisan yang diilhamkan oleh Allah sendiri: "Segala tulisan yang diilhamkan Allah..." (2 Timotius 3:16), "...yang dapat memberi hikmat kepadamu dan menuntun engkau kepada keselamatan oleh iman kepada Kristus Yesus." (2 Timotius 3:15). Karena merupakan ilham dari Allah maka dasar firman-Nya adalah kebenaran. "Dasar firman-Mu adalah kebenaran dan segala hukum-hukum-Mu yang adil adalah untuk selama-lamanya." (Mazmur 119:160), sehingga semua tulisan dan kesaksian yang tertulis di dalamnya memiliki otoritas dan kuasa. Nah, supaya kita mengerti kebenaran dan hidup di dalam kebenaran maka kita harus memiliki rasa lapar dan haus akan kebenaran itu.
Tuhan Yesus berkata, "Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan." (Matius 5:6). Daud adalah contoh orang yang punya rasa lapar dan haus akan firman Allah. Dalam mazmurnya Daud mengungkapkan kerinduannya yang mendalam, "...Taurat-Mu adalah kegemaranku. Betapa kucintai Taurat-Mu! Aku merenungkannya sepanjang hari. Itulah sebabnya aku mencintai perintah-perintah-Mu lebih dari pada emas, bahkan dari pada emas tua." (Mazmur 119:77, 97, 127). Rasa haus dan lapar akan kebenaran inilah yang akan menuntun kita kepada keselamatan dan memiliki pengenalan yang benar akan Tuhan.
Karena Alkitab adalah firman Allah sendiri, maka perlakuan kita terhadap Alkitab merupakan sikap kita yang paling nyata terhadap pribadi Allah!
Baca: 2 Petrus 1:16-21
"Dengan demikian kami makin diteguhkan oleh firman yang telah disampaikan oleh para nabi." 2 Petrus 1:19a
Rasul Paulus mengatakan, "...Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya,...yang bertolak dari iman dan memimpin kepada iman," (Roma 1:16-17).
Injil atau Alkitab adalah firman Allah, diwahyukan oleh Allah sendiri. Kata Alkitab dalam bahasa Inggris disebut Bible, berasal dari bahasa Yunani biblia atau biblos. Diwahyukan dalam bahasa Yunaninya Theopneustos: Theo berarti Allah, sedangkan pneo berarti bernafas. Artinya Allah sendiri yang memberi nafas pada setiap tulisan. Hal ini menunjukkan bahwa Alkitab bukanlah karangan yang berasal dari kepandaian manusia atau kehendak manusia, tetapi merupakan tulisan yang diilhamkan oleh Allah sendiri: "Segala tulisan yang diilhamkan Allah..." (2 Timotius 3:16), "...yang dapat memberi hikmat kepadamu dan menuntun engkau kepada keselamatan oleh iman kepada Kristus Yesus." (2 Timotius 3:15). Karena merupakan ilham dari Allah maka dasar firman-Nya adalah kebenaran. "Dasar firman-Mu adalah kebenaran dan segala hukum-hukum-Mu yang adil adalah untuk selama-lamanya." (Mazmur 119:160), sehingga semua tulisan dan kesaksian yang tertulis di dalamnya memiliki otoritas dan kuasa. Nah, supaya kita mengerti kebenaran dan hidup di dalam kebenaran maka kita harus memiliki rasa lapar dan haus akan kebenaran itu.
Tuhan Yesus berkata, "Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan." (Matius 5:6). Daud adalah contoh orang yang punya rasa lapar dan haus akan firman Allah. Dalam mazmurnya Daud mengungkapkan kerinduannya yang mendalam, "...Taurat-Mu adalah kegemaranku. Betapa kucintai Taurat-Mu! Aku merenungkannya sepanjang hari. Itulah sebabnya aku mencintai perintah-perintah-Mu lebih dari pada emas, bahkan dari pada emas tua." (Mazmur 119:77, 97, 127). Rasa haus dan lapar akan kebenaran inilah yang akan menuntun kita kepada keselamatan dan memiliki pengenalan yang benar akan Tuhan.
Karena Alkitab adalah firman Allah sendiri, maka perlakuan kita terhadap Alkitab merupakan sikap kita yang paling nyata terhadap pribadi Allah!
Friday, July 31, 2015
JANGAN SAMPAI SALAH JALAN
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 31 Juli 2015
Baca: Amsal 3:1-7
"Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu." Amsal 3:6
Ketika berpergian ke suatu tempat, yang pertama-tama kita perhatikan adalah jalan atau arah ke mana kaki kita harus melangkah. Tanpa adanya jalan, kita tidak akan pernah bisa mencapai tempat yang hendak kita tuju tersebut. Kalau salah atau keliru akan berakibat sangat fatal: jangankan mengantarkan kita kepada tujuan, sebaliknya kita malah akan tersesat. "Ada jalan yang disangka orang lurus, tetapi ujungnya menuju maut." (Amsal 14:12). Jadi untuk mencapai suatu tujuan kita memerlukan jalan yang benar, selain itu kita juga membutuhkan panduan atau arahan agar kita tidak salah langkah.
Adapun jalan kehidupan yang benar itu adalah Tuhan Yesus, "Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku." (Yohanes 14:6). Langkah utama yang harus kita lakukan adalah percaya kepada Tuhan dan mempercayakan hidup ini kepada-Nya. "Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri." (Amsal 3:5), karena apa yang kita percayai akan menentukan bagaimana seluruh hidup kita. Banyak orang lebih percaya dan mempercayakan hidupnya kepada kekayaan dan cenderung mengandalkan kekuatannya sendiri. Mereka berpikir bahwa kekayaan adalah segala-galanya dalam hidup ini. Ada tertulis, "Siapa mempercayakan diri kepada kekayaannya akan jatuh; tetapi orang benar akan tumbuh seperti daun muda." (Amsal 11:28). Kekayaan bisa lenyap dalam sekejap, "...karena tiba-tiba ia bersayap, lalu terbang ke angkasa seperti rajawali." (Amsal 23:5). Siapakah kita ini? Manusia itu "...tidak lebih dari pada embusan nafas, dan sebagai apakah ia dapat dianggap?" (Yesaya 2:22). Tetapi bila kita percaya kepada Tuhan Yesus, keberadaan kita akan seperti batu karang yang tidak mudah digoyahkan oleh gelombang dan badai kehidupan.
Mempercayakan hidup kepada Tuhan berarti tunduk sepenuhnya kepada kehendak Tuhan. Ini berbicara tentang ketaatan! "...takutlah akan TUHAN dan jauhilah kejahatan;" (ayat 7). Percayalah bahwa apa pun yang Tuhan rancang bagi kita adalah untuk kebaikan kita dan pasti baik adanya.
"Tunjukkanlah kepadaku jalan-Mu, ya TUHAN, supaya aku hidup menurut kebenaran-Mu;" Mazmur 86:11
Baca: Amsal 3:1-7
"Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu." Amsal 3:6
Ketika berpergian ke suatu tempat, yang pertama-tama kita perhatikan adalah jalan atau arah ke mana kaki kita harus melangkah. Tanpa adanya jalan, kita tidak akan pernah bisa mencapai tempat yang hendak kita tuju tersebut. Kalau salah atau keliru akan berakibat sangat fatal: jangankan mengantarkan kita kepada tujuan, sebaliknya kita malah akan tersesat. "Ada jalan yang disangka orang lurus, tetapi ujungnya menuju maut." (Amsal 14:12). Jadi untuk mencapai suatu tujuan kita memerlukan jalan yang benar, selain itu kita juga membutuhkan panduan atau arahan agar kita tidak salah langkah.
Adapun jalan kehidupan yang benar itu adalah Tuhan Yesus, "Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku." (Yohanes 14:6). Langkah utama yang harus kita lakukan adalah percaya kepada Tuhan dan mempercayakan hidup ini kepada-Nya. "Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri." (Amsal 3:5), karena apa yang kita percayai akan menentukan bagaimana seluruh hidup kita. Banyak orang lebih percaya dan mempercayakan hidupnya kepada kekayaan dan cenderung mengandalkan kekuatannya sendiri. Mereka berpikir bahwa kekayaan adalah segala-galanya dalam hidup ini. Ada tertulis, "Siapa mempercayakan diri kepada kekayaannya akan jatuh; tetapi orang benar akan tumbuh seperti daun muda." (Amsal 11:28). Kekayaan bisa lenyap dalam sekejap, "...karena tiba-tiba ia bersayap, lalu terbang ke angkasa seperti rajawali." (Amsal 23:5). Siapakah kita ini? Manusia itu "...tidak lebih dari pada embusan nafas, dan sebagai apakah ia dapat dianggap?" (Yesaya 2:22). Tetapi bila kita percaya kepada Tuhan Yesus, keberadaan kita akan seperti batu karang yang tidak mudah digoyahkan oleh gelombang dan badai kehidupan.
Mempercayakan hidup kepada Tuhan berarti tunduk sepenuhnya kepada kehendak Tuhan. Ini berbicara tentang ketaatan! "...takutlah akan TUHAN dan jauhilah kejahatan;" (ayat 7). Percayalah bahwa apa pun yang Tuhan rancang bagi kita adalah untuk kebaikan kita dan pasti baik adanya.
"Tunjukkanlah kepadaku jalan-Mu, ya TUHAN, supaya aku hidup menurut kebenaran-Mu;" Mazmur 86:11
Thursday, July 30, 2015
MENJADI JEMAAT YANG MISIONER!
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 30 Juli 2015
Baca: Yesaya 55:1-5
"Sesungguhnya, Aku telah menetapkan dia menjadi saksi bagi bangsa-bangsa, menjadi seorang raja dan pemerintah bagi suku-suku bangsa;" Yesaya 55:4
Sebenarnya semua orang Kristen tahu bahwa dirinya memiliki tugas dan panggilan untuk melayani Tuhan, tapi kebanyakan dari mereka bersikap adem ayem, kurang antusias, cenderung bersikap cuek dan masa bodoh karena mereka beranggapan bahwa pekerjaan pelayanan itu semata-mata tugas para rohaniawan: pendeta, gembala sidang, fulltimer atau siswa yang sedang menuntut studi di sekolah teologia.
Rasul Petrus menyatakan bahwa setiap orang percaya telah dipanggil dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib, "...supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia," (1 Petrus 2:9). Sebagai jemaat awam, apa yang bisa kita lakukan untuk memberitakan perbuatan-perbuatan besar Tuhan? Jawabannya adalah: bersaksi. Tuhan berfirman, "Kamu inilah saksi-saksi-Ku...dan hamba-Ku yang telah Kupilih," (Yesaya 43:10). Jika menyadari bahwa kita ini adalah saksi-saksi Kristus, maka sebagai jemaat awam pun kita dapat menjalankan peran kita. Kita harus menjadi jemaat yang tidak lagi bermalas-malasan dan hitung-hitungan dengan Tuhan. Ingat! Segala sesuatu yang kita kerjakan untuk pekerjaan Tuhan adalah investasi sorga, di mana akan ada sukacita besar saat kita membawa jiwa baru bagi Kerajaan Allah (baca Lukas 15:10).
Salah satu teladan hidup Tuhan Yesus adalah hal bersaksi. Bertemu dengan siapa saja: nelayan, pemungut cukai, wanita berdosa, Ia selalu menggunakan kesempatan untuk bersaksi tentang Kerajaan Allah dan berusaha membawa orang lain untuk semakin mengenal Bapa-Nya. Kita pun bisa memulai kesaksian kita dari lingkup terkecil: keluarga, kerabat terdekat, teman kerja, teman sekolah, atau tetangga sekitar. Cara terbaik memulai suatu kesaksian adalah menceritakan pengalaman hidup sendiri bagaimana Tuhan sudah menolong, menyembuhkan atau memulihkan hidup kita. Intinya segala hal yang Tuhan telah kerjakan dalam hidup kita, itulah yang kita share-kan kepada orang lain. Tuhan Yesus berkata, "Dalam hal inilah Bapa-Ku dipermuliakan, yaitu jika kamu berbuah banyak dan dengan demikian kamu adalah murid-murid-Ku." (Yohanes 15:8).
Bukti bahwa kita berbuah bagi Tuhan adalah ketika hidup kita bisa menjadi kesaksian yang baik bagi orang lain. Maka, jadilah jemaat yang misioner!
Baca: Yesaya 55:1-5
"Sesungguhnya, Aku telah menetapkan dia menjadi saksi bagi bangsa-bangsa, menjadi seorang raja dan pemerintah bagi suku-suku bangsa;" Yesaya 55:4
Sebenarnya semua orang Kristen tahu bahwa dirinya memiliki tugas dan panggilan untuk melayani Tuhan, tapi kebanyakan dari mereka bersikap adem ayem, kurang antusias, cenderung bersikap cuek dan masa bodoh karena mereka beranggapan bahwa pekerjaan pelayanan itu semata-mata tugas para rohaniawan: pendeta, gembala sidang, fulltimer atau siswa yang sedang menuntut studi di sekolah teologia.
Rasul Petrus menyatakan bahwa setiap orang percaya telah dipanggil dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib, "...supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia," (1 Petrus 2:9). Sebagai jemaat awam, apa yang bisa kita lakukan untuk memberitakan perbuatan-perbuatan besar Tuhan? Jawabannya adalah: bersaksi. Tuhan berfirman, "Kamu inilah saksi-saksi-Ku...dan hamba-Ku yang telah Kupilih," (Yesaya 43:10). Jika menyadari bahwa kita ini adalah saksi-saksi Kristus, maka sebagai jemaat awam pun kita dapat menjalankan peran kita. Kita harus menjadi jemaat yang tidak lagi bermalas-malasan dan hitung-hitungan dengan Tuhan. Ingat! Segala sesuatu yang kita kerjakan untuk pekerjaan Tuhan adalah investasi sorga, di mana akan ada sukacita besar saat kita membawa jiwa baru bagi Kerajaan Allah (baca Lukas 15:10).
Salah satu teladan hidup Tuhan Yesus adalah hal bersaksi. Bertemu dengan siapa saja: nelayan, pemungut cukai, wanita berdosa, Ia selalu menggunakan kesempatan untuk bersaksi tentang Kerajaan Allah dan berusaha membawa orang lain untuk semakin mengenal Bapa-Nya. Kita pun bisa memulai kesaksian kita dari lingkup terkecil: keluarga, kerabat terdekat, teman kerja, teman sekolah, atau tetangga sekitar. Cara terbaik memulai suatu kesaksian adalah menceritakan pengalaman hidup sendiri bagaimana Tuhan sudah menolong, menyembuhkan atau memulihkan hidup kita. Intinya segala hal yang Tuhan telah kerjakan dalam hidup kita, itulah yang kita share-kan kepada orang lain. Tuhan Yesus berkata, "Dalam hal inilah Bapa-Ku dipermuliakan, yaitu jika kamu berbuah banyak dan dengan demikian kamu adalah murid-murid-Ku." (Yohanes 15:8).
Bukti bahwa kita berbuah bagi Tuhan adalah ketika hidup kita bisa menjadi kesaksian yang baik bagi orang lain. Maka, jadilah jemaat yang misioner!
Wednesday, July 29, 2015
GEREJA: Mempersiapkan Pekerja
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 29 Juli 2015
Baca: Matius 9:35-38
"Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit." Matius 9:37
Gereja, dalam bahasa Inggris church, berasal dari kata Yunani kuriakos yang berarti: miliknya Tuhan. Kata gereja dipakai oleh orang-orang Kristen Yunani untuk menunjuk pada tempat ibadah, sehingga makna harafiah dari gereja adalah tempat ibadah atau rumah Tuhan. Berbicara tentang gereja tentunya memiliki keterkaitan dengan jemaat. Adapun istilah jemaat adalah terjemahan dari kata bahasa Yunani ekklesia (ek = keluar, kalein = memanggil), yang secara harafiah berarti: sidang atau kelompok orang percaya yang dipanggil ke luar dari....
Tuhan menempatkan gereja-Nya di tengah-tengah dunia bukan tanpa maksud dan tujuan, bukan sekedar sebagai tempat berkumpulnya jemaat yang sedang melakukan aktivitas kerohanian. Secara garis besar gereja mempunyai peranan: penyembahan, persekutuan, pembinaan, pelayanan dan juga penginjilan. Dengan kata lain gereja yang sehat adalah gereja yang mampu menjalankan lima peran tersebut yang kesemuanya mengarah kepada suatu misi yaitu mengerjakan Amanat Agung. Sebelum melangkah ke luar untuk menjangkau jiwa-jiwa, tugas gereja adalah mempersiapkan jemaat terlebih dahulu sampai mereka mencapai "...kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus, sehingga kita bukan lagi anak-anak, yang diombang-ambingkan oleh rupa-rupa angin pengajaran, oleh permainan palsu manusia dalam kelicikan mereka yang menyesatkan, tetapi dengan teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih kita bertumbuh di dalam segala hal ke arah Dia, Kristus, yang adalah Kepala. Dari pada-Nyalah seluruh tubuh, -yang rapih tersusun dan diikat menjadi satu oleh pelayanan semua bagiannya, sesuai dengan kadar pekerjaan tiap-tiap anggota - menerima pertumbuhannya dan membangun dirinya dalam kasih." (Efesus 4:13-16).
Ketika jemaat sudah dewasa rohaninya itulah saat yang tepat mengutus mereka untuk menjangkau jiwa-jiwa. Tuhan rindu gereja-Nya dipenuhi oleh jemaat yang hatinya terbeban untuk pekerjaan-Nya dan peka terhadap keadaan yang ada di sekelilingnya, karena di luar sana banyak sekali jiwa-jiwa yang belum diselamatkan, tapi pekerja sedikit.
"Lihatlah sekelilingmu dan pandanglah ladang-ladang yang sudah menguning dan matang untuk dituai." Yohanes 4:35
Baca: Matius 9:35-38
"Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit." Matius 9:37
Gereja, dalam bahasa Inggris church, berasal dari kata Yunani kuriakos yang berarti: miliknya Tuhan. Kata gereja dipakai oleh orang-orang Kristen Yunani untuk menunjuk pada tempat ibadah, sehingga makna harafiah dari gereja adalah tempat ibadah atau rumah Tuhan. Berbicara tentang gereja tentunya memiliki keterkaitan dengan jemaat. Adapun istilah jemaat adalah terjemahan dari kata bahasa Yunani ekklesia (ek = keluar, kalein = memanggil), yang secara harafiah berarti: sidang atau kelompok orang percaya yang dipanggil ke luar dari....
Tuhan menempatkan gereja-Nya di tengah-tengah dunia bukan tanpa maksud dan tujuan, bukan sekedar sebagai tempat berkumpulnya jemaat yang sedang melakukan aktivitas kerohanian. Secara garis besar gereja mempunyai peranan: penyembahan, persekutuan, pembinaan, pelayanan dan juga penginjilan. Dengan kata lain gereja yang sehat adalah gereja yang mampu menjalankan lima peran tersebut yang kesemuanya mengarah kepada suatu misi yaitu mengerjakan Amanat Agung. Sebelum melangkah ke luar untuk menjangkau jiwa-jiwa, tugas gereja adalah mempersiapkan jemaat terlebih dahulu sampai mereka mencapai "...kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus, sehingga kita bukan lagi anak-anak, yang diombang-ambingkan oleh rupa-rupa angin pengajaran, oleh permainan palsu manusia dalam kelicikan mereka yang menyesatkan, tetapi dengan teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih kita bertumbuh di dalam segala hal ke arah Dia, Kristus, yang adalah Kepala. Dari pada-Nyalah seluruh tubuh, -yang rapih tersusun dan diikat menjadi satu oleh pelayanan semua bagiannya, sesuai dengan kadar pekerjaan tiap-tiap anggota - menerima pertumbuhannya dan membangun dirinya dalam kasih." (Efesus 4:13-16).
Ketika jemaat sudah dewasa rohaninya itulah saat yang tepat mengutus mereka untuk menjangkau jiwa-jiwa. Tuhan rindu gereja-Nya dipenuhi oleh jemaat yang hatinya terbeban untuk pekerjaan-Nya dan peka terhadap keadaan yang ada di sekelilingnya, karena di luar sana banyak sekali jiwa-jiwa yang belum diselamatkan, tapi pekerja sedikit.
"Lihatlah sekelilingmu dan pandanglah ladang-ladang yang sudah menguning dan matang untuk dituai." Yohanes 4:35
Tuesday, July 28, 2015
ORANG BENAR BISA JATUH
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 28 Juli 2015
Baca: Mazmur 145:1-21
"TUHAN itu penopang bagi semua orang yang jatuh dan penegak bagi semua orang yang tertunduk." Mazmur 145:14
Setiap orang yang percaya kepada Tuhan Yesus menyandang predikat baru sebagai orang benar. Sebagai orang benar kita seringkali beranggapan bahwa perjalanan hidup yang kita tempuh akan terus mulus dan mustahil untuk jatuh. Tetapi Daud menulis: "TUHAN menetapkan langkah-langkah orang yang hidupnya berkenan kepada-Nya; apabila ia jatuh, tidaklah sampai tergeletak, sebab TUHAN menopang tangannya." (Mazmur 37:23-24). Artinya orang benar bisa saja jatuh sewaktu-waktu. Contohnya adalah kejatuhan Adam dan Hawa dalam dosa. Sebagai manusia yang diciptakan Tuhan serupa dan segambar dengan-Nya ternyata juga bisa jatuh. Tapi kejatuhan mereka adalah sebagai akibat dari ketidaktaatan mereka sendiri, karena termakan oleh tipu muslihat dari si Iblis.
Alkitab menegaskan bahwa sebagai orang percaya kita ini telah dibenarkan, dikuduskan dan ditebus di dalam Kristus Yesus. Namun bukan berarti kita dapat berjalan dengan santai tanpa gangguan. Mengapa? Karena Iblis tidak pernah berhenti berusaha untuk "...mencuri dan membunuh dan membinasakan;" (Yohanes 10:10a), ia selalu mencari kesempatan dan "...menunggu waktu yang baik." (Lukas 4:13), "...berjalan keliling sama seperti singa yang mengaum-aum dan mencari orang yang dapat ditelannya." (1 Petrus 5:8). Sedikit saja orang benar lengah ia akan menjadi sasaran empuk bagi Iblis. Selama Iblis masih ada maka ada kemungkinan orang benar bisa mengalami kejatuhan bukan hanya sekali atau dua kali, bahkan bisa saja lebih. Banyak faktor yang membuat seseorang jatuh: masalah, penderitaan, pencobaan atau karena kesalahan sendiri.
Namun selama kita masih berada di zaman anugerah, Tuhan masih memberikan kesempatan kepada kita untuk bangkit. "Sebab tujuh kali orang benar jatuh, namun ia bangun kembali, tetapi orang fasik akan roboh dalam bencana." (Amsal 24:16). Karena itu Tuhan Yesus memperingatkan: "Berjaga-jagalah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan: roh memang penurut, tetapi daging lemah." (Matius 26:41).
"...siapa yang menyangka, bahwa ia teguh berdiri, hati-hatilah supaya ia jangan jatuh!" 1 Korintus 10:12
Baca: Mazmur 145:1-21
"TUHAN itu penopang bagi semua orang yang jatuh dan penegak bagi semua orang yang tertunduk." Mazmur 145:14
Setiap orang yang percaya kepada Tuhan Yesus menyandang predikat baru sebagai orang benar. Sebagai orang benar kita seringkali beranggapan bahwa perjalanan hidup yang kita tempuh akan terus mulus dan mustahil untuk jatuh. Tetapi Daud menulis: "TUHAN menetapkan langkah-langkah orang yang hidupnya berkenan kepada-Nya; apabila ia jatuh, tidaklah sampai tergeletak, sebab TUHAN menopang tangannya." (Mazmur 37:23-24). Artinya orang benar bisa saja jatuh sewaktu-waktu. Contohnya adalah kejatuhan Adam dan Hawa dalam dosa. Sebagai manusia yang diciptakan Tuhan serupa dan segambar dengan-Nya ternyata juga bisa jatuh. Tapi kejatuhan mereka adalah sebagai akibat dari ketidaktaatan mereka sendiri, karena termakan oleh tipu muslihat dari si Iblis.
Alkitab menegaskan bahwa sebagai orang percaya kita ini telah dibenarkan, dikuduskan dan ditebus di dalam Kristus Yesus. Namun bukan berarti kita dapat berjalan dengan santai tanpa gangguan. Mengapa? Karena Iblis tidak pernah berhenti berusaha untuk "...mencuri dan membunuh dan membinasakan;" (Yohanes 10:10a), ia selalu mencari kesempatan dan "...menunggu waktu yang baik." (Lukas 4:13), "...berjalan keliling sama seperti singa yang mengaum-aum dan mencari orang yang dapat ditelannya." (1 Petrus 5:8). Sedikit saja orang benar lengah ia akan menjadi sasaran empuk bagi Iblis. Selama Iblis masih ada maka ada kemungkinan orang benar bisa mengalami kejatuhan bukan hanya sekali atau dua kali, bahkan bisa saja lebih. Banyak faktor yang membuat seseorang jatuh: masalah, penderitaan, pencobaan atau karena kesalahan sendiri.
Namun selama kita masih berada di zaman anugerah, Tuhan masih memberikan kesempatan kepada kita untuk bangkit. "Sebab tujuh kali orang benar jatuh, namun ia bangun kembali, tetapi orang fasik akan roboh dalam bencana." (Amsal 24:16). Karena itu Tuhan Yesus memperingatkan: "Berjaga-jagalah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan: roh memang penurut, tetapi daging lemah." (Matius 26:41).
"...siapa yang menyangka, bahwa ia teguh berdiri, hati-hatilah supaya ia jangan jatuh!" 1 Korintus 10:12
Monday, July 27, 2015
MEMUJI TUHAN: Deklarasi Kemenangan
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 27 Juli 2015
Baca: Mazmur 103:1-22
"Pujilah TUHAN, hai jiwaku! Pujilah nama-Nya yang kudus, hai segenap batinku!" Mazmur 103:1
Memuji Tuhan adalah cara meraih kemenangan dalam peperangan rohani, karena saat memuji Tuhan kita sedang melakukan suatu tindakan yang menjadi kebencian Iblis. Itulah sebabnya Iblis berusaha dengan segala cara mengusik orang percaya saat memuji-muji Tuhan, dengan harapan puji-pujian yang dinaikkan kepada Tuhan itu terhenti dan tersumbat. Pujian adalah simbol sebuah kemenangan, dan ketika kita menaikkan pujian bagi Tuhan berarti kita sedang mendeklarasikan iman percaya kita kepada Tuhan, saat itulah Iblis akan lari tunggang-langgang.
Banyak orang Kristen kurang menyadari pentingnya memuji Tuhan sehingga melakukan itu hanya saat ibadah saja. Di luar itu mereka jarang sekali mau memuji Tuhan, apalagi kalau sedang dihadapkan pada masalah dan kesulitan mereka cenderung dikalahkan oleh situasi, kondisi dan perasaan mereka sendiri. Ketika berada di penjara dengan kaki terbelenggu dalam pasungan yang kuat, ketika tubuh masih terluka, saat itulah terdengar puji-pujian: "...kira-kira tengah malam Paulus dan Silas berdoa dan menyanyikan puji-pujian kepada Allah dan orang-orang hukuman lain mendengarkan mereka." (Kisah 16:25). Dalam situasi yang berat sekalipun Paulus dan Silas mengangkat hatinya kepada Tuhan melalui puji-pujian, dan seketika itu "...terjadilah gempa bumi yang hebat, sehingga sendi-sendi penjara itu goyah; dan seketika itu juga terbukalah semua pintu dan terlepaslah belenggu mereka semua." (Kisah 16:26). Karena peristiwa itu pula kepala penjara beserta keluarganya percaya kepada Tuhan dan diselamatkan.
Di dalam pujian terkandung satu unsur yaitu percaya. Seseorang tidak akan memuji tanpa ada alasan yang kuat, terlebih-lebih memuji saat kondisi sulit dan tertekan. Jangan menunggu permasalahan itu lenyap baru kita mau memuji, melainkan tetaplah memuji Tuhan di tengah situasi yang tidak memungkinkan sekali pun, karena saat kita mempersembahkan korban pujian bagi Tuhan, saat itulah Roh Tuhan bekerja dengan dahsyatnya.
"Ketika itu percayalah mereka kepada segala firman-Nya, mereka menyanyikan puji-pujian kepada-Nya." Mazmur 106:12
Baca: Mazmur 103:1-22
"Pujilah TUHAN, hai jiwaku! Pujilah nama-Nya yang kudus, hai segenap batinku!" Mazmur 103:1
Memuji Tuhan adalah cara meraih kemenangan dalam peperangan rohani, karena saat memuji Tuhan kita sedang melakukan suatu tindakan yang menjadi kebencian Iblis. Itulah sebabnya Iblis berusaha dengan segala cara mengusik orang percaya saat memuji-muji Tuhan, dengan harapan puji-pujian yang dinaikkan kepada Tuhan itu terhenti dan tersumbat. Pujian adalah simbol sebuah kemenangan, dan ketika kita menaikkan pujian bagi Tuhan berarti kita sedang mendeklarasikan iman percaya kita kepada Tuhan, saat itulah Iblis akan lari tunggang-langgang.
Banyak orang Kristen kurang menyadari pentingnya memuji Tuhan sehingga melakukan itu hanya saat ibadah saja. Di luar itu mereka jarang sekali mau memuji Tuhan, apalagi kalau sedang dihadapkan pada masalah dan kesulitan mereka cenderung dikalahkan oleh situasi, kondisi dan perasaan mereka sendiri. Ketika berada di penjara dengan kaki terbelenggu dalam pasungan yang kuat, ketika tubuh masih terluka, saat itulah terdengar puji-pujian: "...kira-kira tengah malam Paulus dan Silas berdoa dan menyanyikan puji-pujian kepada Allah dan orang-orang hukuman lain mendengarkan mereka." (Kisah 16:25). Dalam situasi yang berat sekalipun Paulus dan Silas mengangkat hatinya kepada Tuhan melalui puji-pujian, dan seketika itu "...terjadilah gempa bumi yang hebat, sehingga sendi-sendi penjara itu goyah; dan seketika itu juga terbukalah semua pintu dan terlepaslah belenggu mereka semua." (Kisah 16:26). Karena peristiwa itu pula kepala penjara beserta keluarganya percaya kepada Tuhan dan diselamatkan.
Di dalam pujian terkandung satu unsur yaitu percaya. Seseorang tidak akan memuji tanpa ada alasan yang kuat, terlebih-lebih memuji saat kondisi sulit dan tertekan. Jangan menunggu permasalahan itu lenyap baru kita mau memuji, melainkan tetaplah memuji Tuhan di tengah situasi yang tidak memungkinkan sekali pun, karena saat kita mempersembahkan korban pujian bagi Tuhan, saat itulah Roh Tuhan bekerja dengan dahsyatnya.
"Ketika itu percayalah mereka kepada segala firman-Nya, mereka menyanyikan puji-pujian kepada-Nya." Mazmur 106:12
Sunday, July 26, 2015
MEMUJI TUHAN: Sebagai Korban Syukur
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 26 Juli 2015
Baca: Mazmur 146:1-10
"Aku hendak memuliakan TUHAN selama aku hidup, dan bermazmur bagi Allahku selagi aku ada." Mazmur 146:2
Puji-pujian kepada Tuhan adalah bagian yang sangat vital dalam setiap peribadatan. Meski demikian jangan sampai kita memuji Tuhan hanya sebagai syarat dalam beribadah saja. Sebagaimana doa adalah nafas hidup orang percaya, puji-pujian pun harus menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan kita sehari-hari. Jika kita menyadari siapa diri kita ini di hadapan Tuhan dan mengenal dengan benar siapa Tuhan kita, maka tidak ada alasan bagi kita untuk tidak memuji Tuhan.
Memuji Tuhan dan bersyukur kepada-Nya karena sedang dalam keadaan kuat dan mampu aadalah hal yang sangat normal. Bagaimana jika kita dalam keadaan tidak berdaya karena tertindih beban hidup yang berat atau karena sakit-penyakit, masihkah kita mau memuji Tuhan dan bersyukur kepada-Nya? Mari kita belajar dari Daud, meski sedang terjepit dan kehilangan kekuatan, "Seperti air aku tercurah, dan segala tulangku terlepas dari sendinya; hatiku menjadi seperti lilin, hancur luluh di dalam dadaku; kekuatanku kering seperti beling,..." (Mazmur 22:15-16), ia tetap memaksa jiwanya untuk memuji Tuhan. "Aku akan memasyhurkan nama-Mu kepada saudara-saudaraku dan memuji-muji Engkau di tengah-tengah jemaah:" (Mazmur 22:23). Bahkan ketika sedang terkepung oleh musuh sekali pun Daud tetap bisa menguasai dirinya dan tidak terpancing emosi, ia tetap mengarahkan pandangannya kepada Tuhan dan memuji Tuhan, karena percaya jika Tuhan ada di pihaknya, "Aku tidak akan takut. Apakah yang dapat dilakukan manusia terhadap aku?" (Mazmur 118:6). Orang bisa berbuat apapun terhadap kita atau merancangkan hal-hal yang jahat sekalipun terhadap kita, tapi mereka takkan mampu mengubah dan menggagalkan rencana Tuhan dalam hidup kita.
Karena itu apa pun keadaannya biarlah puji-pujian tetap ada di dalam mulut kita. Ini menunjukkan kepada kita bahwa salah satu sifat dari puji-pujian kepada Tuhan adalah sebagai suatu korban, kita mau membayar harga, yaitu mempersembahkan puji-pujian bagi Tuhan justru saat kita berada dalam kesesakan dan penderitaan.
"Sebab itu marilah kita, oleh Dia, senantiasa mempersembahkan korban syukur kepada Allah, yaitu ucapan bibir yang memuliakan nama-Nya." Ibrani 13:15
Baca: Mazmur 146:1-10
"Aku hendak memuliakan TUHAN selama aku hidup, dan bermazmur bagi Allahku selagi aku ada." Mazmur 146:2
Puji-pujian kepada Tuhan adalah bagian yang sangat vital dalam setiap peribadatan. Meski demikian jangan sampai kita memuji Tuhan hanya sebagai syarat dalam beribadah saja. Sebagaimana doa adalah nafas hidup orang percaya, puji-pujian pun harus menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan kita sehari-hari. Jika kita menyadari siapa diri kita ini di hadapan Tuhan dan mengenal dengan benar siapa Tuhan kita, maka tidak ada alasan bagi kita untuk tidak memuji Tuhan.
Memuji Tuhan dan bersyukur kepada-Nya karena sedang dalam keadaan kuat dan mampu aadalah hal yang sangat normal. Bagaimana jika kita dalam keadaan tidak berdaya karena tertindih beban hidup yang berat atau karena sakit-penyakit, masihkah kita mau memuji Tuhan dan bersyukur kepada-Nya? Mari kita belajar dari Daud, meski sedang terjepit dan kehilangan kekuatan, "Seperti air aku tercurah, dan segala tulangku terlepas dari sendinya; hatiku menjadi seperti lilin, hancur luluh di dalam dadaku; kekuatanku kering seperti beling,..." (Mazmur 22:15-16), ia tetap memaksa jiwanya untuk memuji Tuhan. "Aku akan memasyhurkan nama-Mu kepada saudara-saudaraku dan memuji-muji Engkau di tengah-tengah jemaah:" (Mazmur 22:23). Bahkan ketika sedang terkepung oleh musuh sekali pun Daud tetap bisa menguasai dirinya dan tidak terpancing emosi, ia tetap mengarahkan pandangannya kepada Tuhan dan memuji Tuhan, karena percaya jika Tuhan ada di pihaknya, "Aku tidak akan takut. Apakah yang dapat dilakukan manusia terhadap aku?" (Mazmur 118:6). Orang bisa berbuat apapun terhadap kita atau merancangkan hal-hal yang jahat sekalipun terhadap kita, tapi mereka takkan mampu mengubah dan menggagalkan rencana Tuhan dalam hidup kita.
Karena itu apa pun keadaannya biarlah puji-pujian tetap ada di dalam mulut kita. Ini menunjukkan kepada kita bahwa salah satu sifat dari puji-pujian kepada Tuhan adalah sebagai suatu korban, kita mau membayar harga, yaitu mempersembahkan puji-pujian bagi Tuhan justru saat kita berada dalam kesesakan dan penderitaan.
"Sebab itu marilah kita, oleh Dia, senantiasa mempersembahkan korban syukur kepada Allah, yaitu ucapan bibir yang memuliakan nama-Nya." Ibrani 13:15
Saturday, July 25, 2015
MEMUJI TUHAN: Tujuh Kali Sehari
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 25 Juli 2015
Baca: Mazmur 63:1-12
"Demikianlah aku mau memuji Engkau seumur hidupku dan menaikkan tanganku demi nama-Mu." Mazmur 63:5
Kapan Saudara memuji-muji Tuhan? Ada banyak yang menjawab: saat ibadah di gereja. Memang, dalam setiap aktivitas gerejawi puji-pujian selalu menjadi unsur yang sangat penting. Kemudian, kapan lagi Saudara memuji-muji Tuhan? Apakah ketika mengalami mujizat dan pertolongan-Nya saja? Bagaimana jika situasi-situasi yang Saudara alami tidak seperti yang diharapkan? Masihkah puji-pujian keluar dari mulut Saudara? Perhatikan Daud: "Aku hendak memuji TUHAN pada segala waktu; puji-pujian kepada-Nya tetap di dalam mulutku." (Mazmur 34:2). Padahal waktu itu Daud sedang menghadapi masalah yang berat, tetapi ia bertekad tetap memuji-muji Tuhan. Kalimat pada segala waktu berarti puji-pujian bagi Tuhan tidak tergantung situasi dan kondisi, atau tergantung mood kita, tetapi memuji-muji Tuhan haruslah menjadi bagian hidup dari orang percaya.
Mengapa kita harus senantiasa memuji Tuhan? Karena saat memuji Tuhan kita sedang berjalan menuju ke tempat di mana Tuhan bersemayam di atas takhta-Nya yang tertinggi dan kudus. Saat kita memuji-muji Tuhan itulah nama Tuhan ditinggikan, pribadi-Nya diagungkan, dan kerajaan-Nya dimashyurkan oleh karena Dialah "...Yang Kudus yang bersemayam di atas puji-pujian orang Israel." (Mazmur 22:4). Menyadari akan pentingnya pujian bagi Tuhan dan juga karena dorongan Roh Tuhan, Daud pun menyediakan lebih banyak waktu untuk memuji-muji Tuhan. "Tujuh kali dalam sehari aku memuji-muji Engkau, karena hukum-hukum-Mu yang adil." (Mazmur 119:164). Saat menjabat sebagai raja atas Israel ia pun tetap menempatkan puji-pujian bagi Tuhan sebagai hal yang utama dalam hidupnya. Hal itu terlihat saat ia memerintahkan orang-orang Lewi untuk bermazmur dan menaikkan puji-pujian di hadapan tabut Tuhan dengan diiringi gambus, kecapi dan ceracap (baca 1 Tawarikh 16:4-6).
Orang Kristen yang normal kehidupan kekristenannya pasti akan dipenuhi oleh puji-pujian bagi Tuhan. Jika kita tidak suka memuji Tuhan, 'normalkah' kita?
Karena Tuhan bertakhta di atas puji-pujian umat-Nya maka kita pun wajib memuji dan memashyurkan nama-Nya seumur hidup kita dan di segala keadaan!
Baca: Mazmur 63:1-12
"Demikianlah aku mau memuji Engkau seumur hidupku dan menaikkan tanganku demi nama-Mu." Mazmur 63:5
Kapan Saudara memuji-muji Tuhan? Ada banyak yang menjawab: saat ibadah di gereja. Memang, dalam setiap aktivitas gerejawi puji-pujian selalu menjadi unsur yang sangat penting. Kemudian, kapan lagi Saudara memuji-muji Tuhan? Apakah ketika mengalami mujizat dan pertolongan-Nya saja? Bagaimana jika situasi-situasi yang Saudara alami tidak seperti yang diharapkan? Masihkah puji-pujian keluar dari mulut Saudara? Perhatikan Daud: "Aku hendak memuji TUHAN pada segala waktu; puji-pujian kepada-Nya tetap di dalam mulutku." (Mazmur 34:2). Padahal waktu itu Daud sedang menghadapi masalah yang berat, tetapi ia bertekad tetap memuji-muji Tuhan. Kalimat pada segala waktu berarti puji-pujian bagi Tuhan tidak tergantung situasi dan kondisi, atau tergantung mood kita, tetapi memuji-muji Tuhan haruslah menjadi bagian hidup dari orang percaya.
Mengapa kita harus senantiasa memuji Tuhan? Karena saat memuji Tuhan kita sedang berjalan menuju ke tempat di mana Tuhan bersemayam di atas takhta-Nya yang tertinggi dan kudus. Saat kita memuji-muji Tuhan itulah nama Tuhan ditinggikan, pribadi-Nya diagungkan, dan kerajaan-Nya dimashyurkan oleh karena Dialah "...Yang Kudus yang bersemayam di atas puji-pujian orang Israel." (Mazmur 22:4). Menyadari akan pentingnya pujian bagi Tuhan dan juga karena dorongan Roh Tuhan, Daud pun menyediakan lebih banyak waktu untuk memuji-muji Tuhan. "Tujuh kali dalam sehari aku memuji-muji Engkau, karena hukum-hukum-Mu yang adil." (Mazmur 119:164). Saat menjabat sebagai raja atas Israel ia pun tetap menempatkan puji-pujian bagi Tuhan sebagai hal yang utama dalam hidupnya. Hal itu terlihat saat ia memerintahkan orang-orang Lewi untuk bermazmur dan menaikkan puji-pujian di hadapan tabut Tuhan dengan diiringi gambus, kecapi dan ceracap (baca 1 Tawarikh 16:4-6).
Orang Kristen yang normal kehidupan kekristenannya pasti akan dipenuhi oleh puji-pujian bagi Tuhan. Jika kita tidak suka memuji Tuhan, 'normalkah' kita?
Karena Tuhan bertakhta di atas puji-pujian umat-Nya maka kita pun wajib memuji dan memashyurkan nama-Nya seumur hidup kita dan di segala keadaan!
Friday, July 24, 2015
HATI YANG MELEKAT KEPADA TUHAN
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 24 Juli 2015
Baca: Mazmur 91:1-16
"Sungguh, hatinya melekat kepada-Ku, maka Aku akan meluputkannya, Aku akan membentenginya, sebab ia mengenal nama-Ku." Mazmur 91:14
Ketika ranting melekat kepada pokok ia akan mendapatkan asupan makanan, sumber mineral, air dan segala hal yang dibutuhkan untuk pertumbuhan. Kata melekat memiliki arti menempel benar-benar sehingga tidak mudah lepas. Kelangsungan hidup ranting sangat bergantung sepenuhnya kepada pokok. Dengan kata lain pokok adalah sumber kehidupan bagi ranting. Tuhan Yesus berkata, "Akulah pokok anggur yang benar..." (Yohanes 15:1), karena itu "Barangsiapa haus, baiklah ia datang kepada-Ku dan minum! Barangsiapa percaya kepada-Ku, seperti yang dikatakan oleh Kitab Suci: Dari dalam hatinya akan mengalir aliran-aliran air hidup." (Yohanes 7:37-38).
Melekat kepada Tuhan berarti tinggal di dalam Tuhan dan Tuhan di dalam kita. "Barangsiapa tidak tinggal di dalam Aku, ia dibuang ke luar seperti ranting dan menjadi kering, kemudian dikumpulkan orang dan dicampakkan ke dalam api lalu dibakar." (Yohanes 15:6). Kalimat 'di dalam Aku' menunjuk suatu hubungan yang karib, artinya kita mempercayakan hidup ini sepenuhnya kepada Tuhan dan mengijinkan Dia berotoritas penuh atas hidup kita. Melekat kepada Tuhan berarti bertekad menjadi pelaku firman, karena kekristenan itu bukanlah teori, melainkan pengalaman hidup berjalan bersama Tuhan setiap hari. Berjalan bersama Tuhan berarti bergaul karib dengan Tuhan; dan terhadap orang yang karib "...perjanjian-Nya diberitahukan-Nya kepada mereka." (Mazmur 25:14), sehingga kita dapat memahami isi hati-Nya, pikiran-Nya dan juga kehendak-Nya. Ada berkat-berkat yang luar biasa ketika seseorang melekat kepada Tuhan: ia akan mengecap kebaikan Tuhan, Ia akan menyertai, menjaga, meluputkan dan membentenginya, dan "Bila ia berseru kepada-Ku, Aku akan menjawab," (Mazmur 91:15), dan "...mintalah apa saja yang kamu kehendaki, dan kamu akan menerimanya." (Yohanes 15:7).
Banyak orang mengaku diri pengikut Kristus tapi tidak hidup melekat kepada Tuhan, memilih berjalan menurut keinginan sendiri, malas membangun persekutuan dengan Tuhan dan bahkan menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan peribadatan.
Hidup dalam ketaatan adalah wujud nyata seseorang melekat kepada Tuhan!
Baca: Mazmur 91:1-16
"Sungguh, hatinya melekat kepada-Ku, maka Aku akan meluputkannya, Aku akan membentenginya, sebab ia mengenal nama-Ku." Mazmur 91:14
Ketika ranting melekat kepada pokok ia akan mendapatkan asupan makanan, sumber mineral, air dan segala hal yang dibutuhkan untuk pertumbuhan. Kata melekat memiliki arti menempel benar-benar sehingga tidak mudah lepas. Kelangsungan hidup ranting sangat bergantung sepenuhnya kepada pokok. Dengan kata lain pokok adalah sumber kehidupan bagi ranting. Tuhan Yesus berkata, "Akulah pokok anggur yang benar..." (Yohanes 15:1), karena itu "Barangsiapa haus, baiklah ia datang kepada-Ku dan minum! Barangsiapa percaya kepada-Ku, seperti yang dikatakan oleh Kitab Suci: Dari dalam hatinya akan mengalir aliran-aliran air hidup." (Yohanes 7:37-38).
Melekat kepada Tuhan berarti tinggal di dalam Tuhan dan Tuhan di dalam kita. "Barangsiapa tidak tinggal di dalam Aku, ia dibuang ke luar seperti ranting dan menjadi kering, kemudian dikumpulkan orang dan dicampakkan ke dalam api lalu dibakar." (Yohanes 15:6). Kalimat 'di dalam Aku' menunjuk suatu hubungan yang karib, artinya kita mempercayakan hidup ini sepenuhnya kepada Tuhan dan mengijinkan Dia berotoritas penuh atas hidup kita. Melekat kepada Tuhan berarti bertekad menjadi pelaku firman, karena kekristenan itu bukanlah teori, melainkan pengalaman hidup berjalan bersama Tuhan setiap hari. Berjalan bersama Tuhan berarti bergaul karib dengan Tuhan; dan terhadap orang yang karib "...perjanjian-Nya diberitahukan-Nya kepada mereka." (Mazmur 25:14), sehingga kita dapat memahami isi hati-Nya, pikiran-Nya dan juga kehendak-Nya. Ada berkat-berkat yang luar biasa ketika seseorang melekat kepada Tuhan: ia akan mengecap kebaikan Tuhan, Ia akan menyertai, menjaga, meluputkan dan membentenginya, dan "Bila ia berseru kepada-Ku, Aku akan menjawab," (Mazmur 91:15), dan "...mintalah apa saja yang kamu kehendaki, dan kamu akan menerimanya." (Yohanes 15:7).
Banyak orang mengaku diri pengikut Kristus tapi tidak hidup melekat kepada Tuhan, memilih berjalan menurut keinginan sendiri, malas membangun persekutuan dengan Tuhan dan bahkan menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan peribadatan.
Hidup dalam ketaatan adalah wujud nyata seseorang melekat kepada Tuhan!
Thursday, July 23, 2015
POKOK ANGGUR DAN RANTINGNYA
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 23 Juli 2015
Baca: Yohanes 15:1-8
"Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya. Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa." Yohanes 15:5
Anggur merupakan tanaman buah berupa perdu yang merambat. Tanaman ini dapat tumbuh dengan baik apabila ditanam pada ketinggian 1000 meter di atas permukaan laut atau berada di daeerah yang berdataran rendah. Buah anggur dapat dikonsumsi langsung atau bisa juga diolah menjadi jus atau untuk bahan campuran makanan lainnya. Salah satu fakta yang berkaitan dengan tanaman anggur ialah tidak tahan terhadap air yang menggenang, tapi butuh pengairan yang harus dilakukan mulai dari proses penanaman sampai kepada pemangkasan.
Pokok dan ranting adalah bagian yang tak terpisahkan dari tanaman, yang menggambarkan simbol dari suatu hubungan yang erat! Dalam perikop 'Pokok anggur yang benar' ini ada dua jenis ranting yaitu ranting yang berbuah dan yang tidak berbuah. Ranting yang berbuah pasti tidak luput dari proses pembersihan atau pemangkasan, yaitu memangkas atau memotong bagian-bagian yang kering dan tidak berguna, yang mungkin ada ulat atau penyakit di dalamnya supaya kesuburan pohon tersebut tidak terganggu. Ini dilakukan untuk tujuan yang baik yaitu supaya berbuah semakin lebat. Pembersihan atau pemangkasan pasti akan terasa menyakitkan, tapi ini mendatangkan kebaikan bagi kita. Segala sesuatu yang selama ini menjadi penghalang bagi kita untuk bertumbuh harus dibersihkan secara tuntas, seperti misalnya karakter lama atau kebiasaan-kebiasaan buruk yang bertentangan dengan kehendak Tuhan.
Dalam kehidupan rohani alat pemangkas atau pemotongnya adalah firman Tuhan, "Sebab firman Allah hidup dan kuat dan lebih tajam dari pada pedang bermata dua manapun; ia menusuk amat dalam sampai memisahkan jiwa dan roh, sendi-sendi dan sumsum; ia sanggup membedakan pertimbangan dan pikiran hati kita." (Ibrani 4:12). Jadi untuk mengalami pertumbuhan rohani yang sehat selain harus tetap melekat kepada pokok anggur yang benar yaitu Tuhan Yesus, kita pun harus merelakan diri untuk dibentuk, diproses dan dibersihkan oleh Tuhan melalui firman-Nya!
"...sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa." Yohanes 15:5b
Baca: Yohanes 15:1-8
"Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya. Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa." Yohanes 15:5
Anggur merupakan tanaman buah berupa perdu yang merambat. Tanaman ini dapat tumbuh dengan baik apabila ditanam pada ketinggian 1000 meter di atas permukaan laut atau berada di daeerah yang berdataran rendah. Buah anggur dapat dikonsumsi langsung atau bisa juga diolah menjadi jus atau untuk bahan campuran makanan lainnya. Salah satu fakta yang berkaitan dengan tanaman anggur ialah tidak tahan terhadap air yang menggenang, tapi butuh pengairan yang harus dilakukan mulai dari proses penanaman sampai kepada pemangkasan.
Pokok dan ranting adalah bagian yang tak terpisahkan dari tanaman, yang menggambarkan simbol dari suatu hubungan yang erat! Dalam perikop 'Pokok anggur yang benar' ini ada dua jenis ranting yaitu ranting yang berbuah dan yang tidak berbuah. Ranting yang berbuah pasti tidak luput dari proses pembersihan atau pemangkasan, yaitu memangkas atau memotong bagian-bagian yang kering dan tidak berguna, yang mungkin ada ulat atau penyakit di dalamnya supaya kesuburan pohon tersebut tidak terganggu. Ini dilakukan untuk tujuan yang baik yaitu supaya berbuah semakin lebat. Pembersihan atau pemangkasan pasti akan terasa menyakitkan, tapi ini mendatangkan kebaikan bagi kita. Segala sesuatu yang selama ini menjadi penghalang bagi kita untuk bertumbuh harus dibersihkan secara tuntas, seperti misalnya karakter lama atau kebiasaan-kebiasaan buruk yang bertentangan dengan kehendak Tuhan.
Dalam kehidupan rohani alat pemangkas atau pemotongnya adalah firman Tuhan, "Sebab firman Allah hidup dan kuat dan lebih tajam dari pada pedang bermata dua manapun; ia menusuk amat dalam sampai memisahkan jiwa dan roh, sendi-sendi dan sumsum; ia sanggup membedakan pertimbangan dan pikiran hati kita." (Ibrani 4:12). Jadi untuk mengalami pertumbuhan rohani yang sehat selain harus tetap melekat kepada pokok anggur yang benar yaitu Tuhan Yesus, kita pun harus merelakan diri untuk dibentuk, diproses dan dibersihkan oleh Tuhan melalui firman-Nya!
"...sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa." Yohanes 15:5b
Wednesday, July 22, 2015
KASIH KEPADA TUHAN: Tegas Terhadap Dosa
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 22 Juli 2015
Baca: Titus 2:11-15
"Ia mendidik kita supaya kita meninggalkan kefasikan dan keinginan-keinginan duniawi dan supaya kita hidup bijaksana, adil dan beribadah di dalam dunia sekarang ini" Titus 2:12
Dapatkah kita mengukur kasih Tuhan dalam kehidupan kita? Sungguh kita tidak akan mampu mengukur "...betapa lebarnya dan panjangnya dan tingginya dan dalamnya kasih Kristus," (Efesus 3:18). Kasih terbesar Bapa dinyatakan ketika Ia memberikan Putera-Nya, Yesus Kristus, kepada dunia supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak mengalami kebinasaan kekal, melainkan beroleh hidup yang kekal (baca Yohanes 3:16). Begitu juga melalui kematian-Nya di atas kayu salib Yesus telah membuktikan betapa Ia sangat mengasihi umat-Nya hingga nyawa-Nya rela Dia serahkan. "Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya." (Yohanes 15:13).
Jika kita sudah mengalami kasih Tuhan yang begitu luar biasa ini, tidakkah kita rindu membalas kasih-Nya? Banyak orang Kristen berkata mengasihi Tuhan, tapi apa buktinya? Mengasihi Tuhan tidak cukup hanya rajin beribadah atau rutin memberi persembahan untuk pekerjaan Tuhan. Alkitab menegaskan bahwa bukti kita mengasihi Tuhan adalah ketika "...kita menuruti perintah-perintah-Nya." (1 Yohanes 5:3). Menuruti perintah Tuhan berarti mampu bersikap tegas terhadap dosa, tidak berkompromi sedikit pun dengan segala hal yang bertentangan dengan firman Tuhan. Penegasan inilah yang disampaikan rasul Paulus kepada Titus bahwa bukti kita mengasihi Tuhan adalah "...meninggalkan kefasikan dan keinginan-keinginan duniawi..." (ayat nas).
Ada banyak orangtua yang bersikap lunak dan cenderung membiarkan ketika melihat anak-anaknya melakukan dosa, seperti yang dilakukan oleh imam Eli: ketika anak-anaknya melakukan kefasikan dan berbuat dursila ia tidak menegur keras dan tidak memarahi anaknya, sehingga akhirnya keluarga ini pun harus menanggung akibatnya. "Siapa tidak menggunakan tongkat, benci kepada anaknya; tetapi siapa mengasihi anaknya, menghajar dia pada waktunya." (Amsal 13:24).
Selama kita masih berkompromi dengan dosa dan enggan meninggalkan segala kefasikan, itu tandanya kita belum mengasihi Tuhan!
Baca: Titus 2:11-15
"Ia mendidik kita supaya kita meninggalkan kefasikan dan keinginan-keinginan duniawi dan supaya kita hidup bijaksana, adil dan beribadah di dalam dunia sekarang ini" Titus 2:12
Dapatkah kita mengukur kasih Tuhan dalam kehidupan kita? Sungguh kita tidak akan mampu mengukur "...betapa lebarnya dan panjangnya dan tingginya dan dalamnya kasih Kristus," (Efesus 3:18). Kasih terbesar Bapa dinyatakan ketika Ia memberikan Putera-Nya, Yesus Kristus, kepada dunia supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak mengalami kebinasaan kekal, melainkan beroleh hidup yang kekal (baca Yohanes 3:16). Begitu juga melalui kematian-Nya di atas kayu salib Yesus telah membuktikan betapa Ia sangat mengasihi umat-Nya hingga nyawa-Nya rela Dia serahkan. "Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya." (Yohanes 15:13).
Jika kita sudah mengalami kasih Tuhan yang begitu luar biasa ini, tidakkah kita rindu membalas kasih-Nya? Banyak orang Kristen berkata mengasihi Tuhan, tapi apa buktinya? Mengasihi Tuhan tidak cukup hanya rajin beribadah atau rutin memberi persembahan untuk pekerjaan Tuhan. Alkitab menegaskan bahwa bukti kita mengasihi Tuhan adalah ketika "...kita menuruti perintah-perintah-Nya." (1 Yohanes 5:3). Menuruti perintah Tuhan berarti mampu bersikap tegas terhadap dosa, tidak berkompromi sedikit pun dengan segala hal yang bertentangan dengan firman Tuhan. Penegasan inilah yang disampaikan rasul Paulus kepada Titus bahwa bukti kita mengasihi Tuhan adalah "...meninggalkan kefasikan dan keinginan-keinginan duniawi..." (ayat nas).
Ada banyak orangtua yang bersikap lunak dan cenderung membiarkan ketika melihat anak-anaknya melakukan dosa, seperti yang dilakukan oleh imam Eli: ketika anak-anaknya melakukan kefasikan dan berbuat dursila ia tidak menegur keras dan tidak memarahi anaknya, sehingga akhirnya keluarga ini pun harus menanggung akibatnya. "Siapa tidak menggunakan tongkat, benci kepada anaknya; tetapi siapa mengasihi anaknya, menghajar dia pada waktunya." (Amsal 13:24).
Selama kita masih berkompromi dengan dosa dan enggan meninggalkan segala kefasikan, itu tandanya kita belum mengasihi Tuhan!
Tuesday, July 21, 2015
KECEMBURUAN ILAHI
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 21 Juli 2015
Baca: 2 Korintus 11:1-6
"Sebab aku cemburu kepada kamu dengan cemburu ilahi. Karena aku telah mempertunangkan kamu kepada satu laki-laki untuk membawa kamu sebagai perawan suci kepada Kristus." 2 Korintus 11:2
Rasa cemburu yang dirasakan Saul berbeda dengan kecemburuan yang dialami oleh rasul Paulus. Kecemburuan Saul jelas-jelas negatif karena didasari rasa iri hati, kurang senang atau sirik yang mendorongnya melakukan tindakan jahat. Sementara kecemburuan Paulus memiliki makna yang positif karena kecemburuan Paulus adalah kecemburuan ilahi. Rasa ini timbul sebagai bentuk kepedulian Paulus terhadap jemaat di Korintus. "Tetapi aku takut, kalau-kalau pikiran kamu disesatkan dari kesetiaan kamu yang sejati kepada Kristus, sama seperti Hawa diperdayakan oleh ular itu dengan kelicikannya." (ayat 3). Rasul Paulus telah menangkap sinyal-sinyal ketidakberesan terjadi di antara jemaat di Korintus, dimana mereka tidak lagi setia kepada Tuhan yang benar. Mereka mulai berpaling dari Tuhan dan telah mendua hati, padahal keberadaan orang percaya sesungguhnya adalah sebagai tunangan Kristus, calon mempelai Kristus.
Pernyataan "...Sebab kamu sabar saja, jika ada seorang datang memberitakan Yesus yang lain dari pada yang telah kami beritakan, atau memberikan kepada kamu roh yang lain dari pada yang telah kamu terima atau Injil yang lain dari pada yang telah kamu terima." (ayat 4) mengindikasikan bahwa telah terjadi perzinahan rohani dalam diri jemaat, dan bukti bahwa mereka tidak lagi memiliki kemurnian hati dalam mengiring Tuhan karena mereka telah melakukan kompromi dengn menerima 'Yesus' yang lain, 'Injil' yang lain dan roh yang lain. Hal inilah yang membangkitkan kecemburuan Tuhan, karena "Roh yang ditempatkan Allah di dalam diri kita, diingini-Nya dengan cemburu!" (Yakobus 4:5).
Tuhan tidak menghendaki umat pilihan-Nya, milik kepunyaan-Nya dan yang sangat dikasihi-Nya malah berpaling dari Dia dan memilih untuk berkompromi dengan dunia ini. Sebagai calon mempelai Kristus seharusnya engkau punya komitmen untuk menjaga kesucian hidupmu, supaya ketika Tuhan datang untuk menjemputmu "...kamu kedapatan tak bercacat dan tak bernoda di hadapan-Nya," (2 Petrus 3:14).
Kecemburuan Tuhan kepada umat-Nya adalah bukti bahwa Ia sangat mengasihimu, dan karena kasih-Nya Ia rela mati bagimu, masakan engkau mendua hati?
Baca: 2 Korintus 11:1-6
"Sebab aku cemburu kepada kamu dengan cemburu ilahi. Karena aku telah mempertunangkan kamu kepada satu laki-laki untuk membawa kamu sebagai perawan suci kepada Kristus." 2 Korintus 11:2
Rasa cemburu yang dirasakan Saul berbeda dengan kecemburuan yang dialami oleh rasul Paulus. Kecemburuan Saul jelas-jelas negatif karena didasari rasa iri hati, kurang senang atau sirik yang mendorongnya melakukan tindakan jahat. Sementara kecemburuan Paulus memiliki makna yang positif karena kecemburuan Paulus adalah kecemburuan ilahi. Rasa ini timbul sebagai bentuk kepedulian Paulus terhadap jemaat di Korintus. "Tetapi aku takut, kalau-kalau pikiran kamu disesatkan dari kesetiaan kamu yang sejati kepada Kristus, sama seperti Hawa diperdayakan oleh ular itu dengan kelicikannya." (ayat 3). Rasul Paulus telah menangkap sinyal-sinyal ketidakberesan terjadi di antara jemaat di Korintus, dimana mereka tidak lagi setia kepada Tuhan yang benar. Mereka mulai berpaling dari Tuhan dan telah mendua hati, padahal keberadaan orang percaya sesungguhnya adalah sebagai tunangan Kristus, calon mempelai Kristus.
Pernyataan "...Sebab kamu sabar saja, jika ada seorang datang memberitakan Yesus yang lain dari pada yang telah kami beritakan, atau memberikan kepada kamu roh yang lain dari pada yang telah kamu terima atau Injil yang lain dari pada yang telah kamu terima." (ayat 4) mengindikasikan bahwa telah terjadi perzinahan rohani dalam diri jemaat, dan bukti bahwa mereka tidak lagi memiliki kemurnian hati dalam mengiring Tuhan karena mereka telah melakukan kompromi dengn menerima 'Yesus' yang lain, 'Injil' yang lain dan roh yang lain. Hal inilah yang membangkitkan kecemburuan Tuhan, karena "Roh yang ditempatkan Allah di dalam diri kita, diingini-Nya dengan cemburu!" (Yakobus 4:5).
Tuhan tidak menghendaki umat pilihan-Nya, milik kepunyaan-Nya dan yang sangat dikasihi-Nya malah berpaling dari Dia dan memilih untuk berkompromi dengan dunia ini. Sebagai calon mempelai Kristus seharusnya engkau punya komitmen untuk menjaga kesucian hidupmu, supaya ketika Tuhan datang untuk menjemputmu "...kamu kedapatan tak bercacat dan tak bernoda di hadapan-Nya," (2 Petrus 3:14).
Kecemburuan Tuhan kepada umat-Nya adalah bukti bahwa Ia sangat mengasihimu, dan karena kasih-Nya Ia rela mati bagimu, masakan engkau mendua hati?
Monday, July 20, 2015
TERBAKAR API CEMBURU
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 20 Juli 2015
Baca: 1 Samuel 18:6-30
"Saul melemparkan tombak itu, karena pikirnya: 'Baiklah aku menancapkan Daud ke dinding.' Tetapi Daud mengelakkannya sampai dua kali." 1 Samuel 18:11
Mendengar kata cemburu di pemikiran kita pasti terlintas suatu makna yang negatif, karena menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata cemburu memang memiliki arti: merasa kurang senang melihat orang lain beruntung, sirik, curiga karena iri hati, atau perasaan iri hati terhadap seseorang yang memiliki sesuatu yang tidak kita miliki. Sering kita jumpai dalam kehidupan ini ada banyak kasus kriminalitas terjadi atau orang nekad melakukan perbuatan jahat terhadap orang lain karena mereka terbakar api cemburu.
Ketika Saul dan Daud kembali dari berperang dan mengalahkan musuh-musuh mereka, "...keluarlah orang-orang perempuan dari segala kota Israel menyongsong raja Saul sambil menyanyi dan menari-nari dengan memukul rebana, dengan bersukaria dan dengan membunyikan gerincing; dan perempuan yang menari-nari itu menyanyi berbalas-balasan, katanya: 'Saul mengalahkan beribu-ribu musuh, tetapi Daud berlaksa-laksa.' Lalu bangkitlah amarah Saul dengan sangat; dan perkataan itu menyebalkan hatinya, sebab pikirnya: 'Kepada Daud diperhitungkan mereka berlaksa-laksa, tetapi kepadaku diperhitungkannya beribu-ribu; akhir-akhirnya jabatan raja itupun jatuh kepadanya.' Sejak hari itu maka Saul selalu mendengki Daud." (1 Samuel 18:6-9). Karena para perempuan lebih memuji-muji Daud, cemburu timbul dalam diri Saul. Ia (Saul) tidak dapat menerima kenyataan bahwa sebagai raja ia hanya beroleh pujian yang jauh lebih sedikit dibandingkan dengan pujian yang ditujukan kepada Daud.
Berawal dari rasa cemburu inilah hati dan pikiran Saul dipenuhi oleh rancangan-rancangan yang jahat. Saul berusaha menghalalkan segala cara untuk menghancurkan hidup Daud, di antaranya: Saul melemparkan tombaknya ke arah Daud ketika Daud sedang main kecapi (ayat 10-11); Saul mengangkat Daud menjadi kepala pasukan seribu sehingga ia harus berada di barisan terdepan dalam perang (ayat 13); Saul memberikan Mikhal kepada Daud (ayat 20:21); namun semua usaha Saul gagal total. Sebaliknya "Daud berhasil di segala perjalanannya, sebab TUHAN menyertai dia." (ayat 14).
Alkitab menyatakan berawal dari rasa cemburu, sampai akhir hidupnya pun Saul tetap menyimpan dendam dan kebencian terhadap Daud.
Baca: 1 Samuel 18:6-30
"Saul melemparkan tombak itu, karena pikirnya: 'Baiklah aku menancapkan Daud ke dinding.' Tetapi Daud mengelakkannya sampai dua kali." 1 Samuel 18:11
Mendengar kata cemburu di pemikiran kita pasti terlintas suatu makna yang negatif, karena menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata cemburu memang memiliki arti: merasa kurang senang melihat orang lain beruntung, sirik, curiga karena iri hati, atau perasaan iri hati terhadap seseorang yang memiliki sesuatu yang tidak kita miliki. Sering kita jumpai dalam kehidupan ini ada banyak kasus kriminalitas terjadi atau orang nekad melakukan perbuatan jahat terhadap orang lain karena mereka terbakar api cemburu.
Ketika Saul dan Daud kembali dari berperang dan mengalahkan musuh-musuh mereka, "...keluarlah orang-orang perempuan dari segala kota Israel menyongsong raja Saul sambil menyanyi dan menari-nari dengan memukul rebana, dengan bersukaria dan dengan membunyikan gerincing; dan perempuan yang menari-nari itu menyanyi berbalas-balasan, katanya: 'Saul mengalahkan beribu-ribu musuh, tetapi Daud berlaksa-laksa.' Lalu bangkitlah amarah Saul dengan sangat; dan perkataan itu menyebalkan hatinya, sebab pikirnya: 'Kepada Daud diperhitungkan mereka berlaksa-laksa, tetapi kepadaku diperhitungkannya beribu-ribu; akhir-akhirnya jabatan raja itupun jatuh kepadanya.' Sejak hari itu maka Saul selalu mendengki Daud." (1 Samuel 18:6-9). Karena para perempuan lebih memuji-muji Daud, cemburu timbul dalam diri Saul. Ia (Saul) tidak dapat menerima kenyataan bahwa sebagai raja ia hanya beroleh pujian yang jauh lebih sedikit dibandingkan dengan pujian yang ditujukan kepada Daud.
Berawal dari rasa cemburu inilah hati dan pikiran Saul dipenuhi oleh rancangan-rancangan yang jahat. Saul berusaha menghalalkan segala cara untuk menghancurkan hidup Daud, di antaranya: Saul melemparkan tombaknya ke arah Daud ketika Daud sedang main kecapi (ayat 10-11); Saul mengangkat Daud menjadi kepala pasukan seribu sehingga ia harus berada di barisan terdepan dalam perang (ayat 13); Saul memberikan Mikhal kepada Daud (ayat 20:21); namun semua usaha Saul gagal total. Sebaliknya "Daud berhasil di segala perjalanannya, sebab TUHAN menyertai dia." (ayat 14).
Alkitab menyatakan berawal dari rasa cemburu, sampai akhir hidupnya pun Saul tetap menyimpan dendam dan kebencian terhadap Daud.
Sunday, July 19, 2015
AJARI ANAK DENGAN FIRMAN
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 19 Juli 2015
Baca: Amsal 22:1-16
"Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanyapun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu." Amsal 22:6
Melalui hamba-Nya, Musa, Tuhan memberikan perintah kepada bangsa Israel supaya para orangtua bersungguh-sungguh hati mendidik dan mengajarkan nilai-nilai kebenaran kepada anak-anak mereka. Musa pun menyampaikannya kepada umat Israel, "Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun." (Ulangan 6:6-7).
Mengapa orangtua harus mengajarkan firman Tuhan kepada anak-anaknya? Supaya anak mereka memiliki pengenalan yang benar tentang Tuhan, "Sebab Aku menyukai kasih setia, dan bukan korban sembelihan, dan menyukai pengenalan akan Allah, lebih dari pada korban-korban bakaran." (Hosea 6:6), yaitu Tuhan yang telah membawa bangsa Israel keluar dari perbudakannya di Mesir; Tuhan memimpin dan memelihara hidup bangsa Israel secara ajaib selama 40 tahun di padang gurun hingga sampai ke Tanah Perjanjian. Hal mengajarkan firman Tuhan kepada anak tidak bisa dilakukan sekali, dua kali, seminggu atau sebulan, tetapi harus secara berulang-ulang: saat duduk di rumah, dalam perjalanan, saat hendak tidur di malam hari atau saat bangun di pagi hari, artinya di segala waktu, bukan musiman, di mana pun berada, tidak dibatasi tempat dan waktu, dan tidak boleh jemu-jemu. Sesibuk apa pun aktivitas orangtua tidak ada alasan untuk tidak mengajarkan dan menanamkan nilai-nilai kebenaran kepada anak.
Mengapa kita harus intensif mengajarkan firman Tuhan kepada anak-anak? Supaya iman mereka makin bertumbuh dan sehat secara rohani. "Dengan apakah seorang muda mempertahankan kelakuannya bersih? Dengan menjaganya sesuai dengan firman-Mu." (Mazmur 119:9), sehingga di masa dewasanya mreka tidak hidup menyimpang dari jalan Tuhan. Ada banyak sekali kisah inspiratif di dalam Alkitab yang patut diajarkan dan diceritakan kepada anak-anak.
Tidak ada alasan bagi orangtua kehabisan bahan atau materi untuk mengajar dan mendidik anak, karena Alkitab lebih dari cukup!
Baca: Amsal 22:1-16
"Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanyapun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu." Amsal 22:6
Melalui hamba-Nya, Musa, Tuhan memberikan perintah kepada bangsa Israel supaya para orangtua bersungguh-sungguh hati mendidik dan mengajarkan nilai-nilai kebenaran kepada anak-anak mereka. Musa pun menyampaikannya kepada umat Israel, "Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun." (Ulangan 6:6-7).
Mengapa orangtua harus mengajarkan firman Tuhan kepada anak-anaknya? Supaya anak mereka memiliki pengenalan yang benar tentang Tuhan, "Sebab Aku menyukai kasih setia, dan bukan korban sembelihan, dan menyukai pengenalan akan Allah, lebih dari pada korban-korban bakaran." (Hosea 6:6), yaitu Tuhan yang telah membawa bangsa Israel keluar dari perbudakannya di Mesir; Tuhan memimpin dan memelihara hidup bangsa Israel secara ajaib selama 40 tahun di padang gurun hingga sampai ke Tanah Perjanjian. Hal mengajarkan firman Tuhan kepada anak tidak bisa dilakukan sekali, dua kali, seminggu atau sebulan, tetapi harus secara berulang-ulang: saat duduk di rumah, dalam perjalanan, saat hendak tidur di malam hari atau saat bangun di pagi hari, artinya di segala waktu, bukan musiman, di mana pun berada, tidak dibatasi tempat dan waktu, dan tidak boleh jemu-jemu. Sesibuk apa pun aktivitas orangtua tidak ada alasan untuk tidak mengajarkan dan menanamkan nilai-nilai kebenaran kepada anak.
Mengapa kita harus intensif mengajarkan firman Tuhan kepada anak-anak? Supaya iman mereka makin bertumbuh dan sehat secara rohani. "Dengan apakah seorang muda mempertahankan kelakuannya bersih? Dengan menjaganya sesuai dengan firman-Mu." (Mazmur 119:9), sehingga di masa dewasanya mreka tidak hidup menyimpang dari jalan Tuhan. Ada banyak sekali kisah inspiratif di dalam Alkitab yang patut diajarkan dan diceritakan kepada anak-anak.
Tidak ada alasan bagi orangtua kehabisan bahan atau materi untuk mengajar dan mendidik anak, karena Alkitab lebih dari cukup!
Saturday, July 18, 2015
MENGAMPUNI: Tidak Mengingat Kesalahan
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 18 Juli 2015
Baca: Matius 18:21-35
"Maka Bapa-Ku yang di sorga akan berbuat demikian juga terhadap kamu, apabila kamu masing-masing tidak mengampuni saudaramu dengan segenap hatimu." Matius 18:35
Kalau Tuhan sudah membuang jauh-jauh segala dosa dan pelanggaran kita sejauh timur dari barat, bahkan firman-Nya berkata: "Sekalipun dosamu merah seperti kirmizi, akan menjadi putih seperti salju; sekalipun berwarna merah seperti kain kesumba, akan menjadi putih seperti bulu domba." (Yesaya 1:18), namun kita yang telah diampuni dosa-dosanya oleh Tuhan seringkali sulit mengampuni orang lain dengan sepenuh hati. Kita masih saja mengingat-ingat kesalahan orang lain, mengungkit-ungkit apa yang telah orang lain perbuat terhadap kita, bahkan kita terus membicarakannya.
Bila kita mengatakan bahwa kita sudah mengampuni orang lain berarti kita melakukan apa yang Tuhan sudah teladankan yaitu membuang jauh kesalahan dan pelanggaran orang lain terhadap kita, serta tidak mengingat-ingatnya lagi. Ketika kita mengambil keputusan untuk mengampuni orang lain berarti kita juga bertekad untuk tidak lagi menyimpan luka dan sakit hati. Kasih itu "...tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia menutupi segala sesuatu," (1 Korintus 13:5b, 7). Mengampuni berarti mempraktekkan kuasa pengampunan yang telah kita terima dari Tuhan, dan melepaskannya kepada orang lain.
Mengampuni dan tidak lagi mengingat-ingat kesalahan orang seperti dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan, saling terkait satu sama lain. Jika kita masih mengingat-ingat perbuatan jahat seseorang, bagaimana ia menyakiti kita, bagaimana ia mengecewakan kita, bagaimana ia melukai kita, itu sama artinya kita belum sepenuh hati mengampuni, padahal mengampuni adalah salah satu jalan untuk kita beroleh pengampunan dari Tuhan. Ada tertulis: "...jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di sorga akan mengampuni kamu juga. Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu." (Matius 6:14-15); artinya pengampunan yang kita peroleh dari Tuhan tidak dapat dipisahkan dari kewajiban kita mengampuni orang lain, sebab mengampuni adalah perintah Tuhan.
Syarat mutlak mendapat pengampunan dari Tuhan adalah harus mengampuni orang lain juga!
Baca: Matius 18:21-35
"Maka Bapa-Ku yang di sorga akan berbuat demikian juga terhadap kamu, apabila kamu masing-masing tidak mengampuni saudaramu dengan segenap hatimu." Matius 18:35
Kalau Tuhan sudah membuang jauh-jauh segala dosa dan pelanggaran kita sejauh timur dari barat, bahkan firman-Nya berkata: "Sekalipun dosamu merah seperti kirmizi, akan menjadi putih seperti salju; sekalipun berwarna merah seperti kain kesumba, akan menjadi putih seperti bulu domba." (Yesaya 1:18), namun kita yang telah diampuni dosa-dosanya oleh Tuhan seringkali sulit mengampuni orang lain dengan sepenuh hati. Kita masih saja mengingat-ingat kesalahan orang lain, mengungkit-ungkit apa yang telah orang lain perbuat terhadap kita, bahkan kita terus membicarakannya.
Bila kita mengatakan bahwa kita sudah mengampuni orang lain berarti kita melakukan apa yang Tuhan sudah teladankan yaitu membuang jauh kesalahan dan pelanggaran orang lain terhadap kita, serta tidak mengingat-ingatnya lagi. Ketika kita mengambil keputusan untuk mengampuni orang lain berarti kita juga bertekad untuk tidak lagi menyimpan luka dan sakit hati. Kasih itu "...tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia menutupi segala sesuatu," (1 Korintus 13:5b, 7). Mengampuni berarti mempraktekkan kuasa pengampunan yang telah kita terima dari Tuhan, dan melepaskannya kepada orang lain.
Mengampuni dan tidak lagi mengingat-ingat kesalahan orang seperti dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan, saling terkait satu sama lain. Jika kita masih mengingat-ingat perbuatan jahat seseorang, bagaimana ia menyakiti kita, bagaimana ia mengecewakan kita, bagaimana ia melukai kita, itu sama artinya kita belum sepenuh hati mengampuni, padahal mengampuni adalah salah satu jalan untuk kita beroleh pengampunan dari Tuhan. Ada tertulis: "...jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di sorga akan mengampuni kamu juga. Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu." (Matius 6:14-15); artinya pengampunan yang kita peroleh dari Tuhan tidak dapat dipisahkan dari kewajiban kita mengampuni orang lain, sebab mengampuni adalah perintah Tuhan.
Syarat mutlak mendapat pengampunan dari Tuhan adalah harus mengampuni orang lain juga!
Friday, July 17, 2015
KASIH TUHAN: Dasar Pengampunan (2)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 17 Juli 2015
Baca: Lukas 6:27-36
"Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu;" Lukas 6:27
Banyak di antara orang Kristen yang merasa diri tidak sanggup jika harus mengasihi musuh. Memang, dengan kekuatan sendiri sampai kapan pun kita akan sulit mengasihi orang yang membenci, menyakiti atau melukai kita. Jika demikian perlu sekali kita belajar dari apa yang telah Tuhan Yesus perbuat saat Ia disalibkan. Terhadap orang-orang yang menganiaya, menghina, melecehkan, meludahi, menyiksa, mendera, menikam dan menyalibkan-Nya Dia tidak membalas sedikit pun, sebaliknya Ia malah berdoa dan memohonkan pengampunan bagi mereka, "Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat." (Lukas 23:34).
Berbicara tentang kasih berarti berbicara soal hati dan roh, karena kasih yang sempurna adalah kasih yang keluar dari ketulusan hati yang terdalam karena dorongan kuasa Roh Kudus. Karena itu kasih yang sempurna hanya bisa dilakukan oleh orang percaya yang sudah mengalami kelahiran baru. Namun mengapa banyak orang Kristen sulit mengasihi dan mengampuni? Ini terjadi karena kita salah dalam memahami konsep mengasihi. Seringkali kita beranggapan bahwa kekuatan untuk mengasihi orang lain itu berasal dari dalam diri kita, padahal firman Tuhan dengan jelas menyatakan bahwa kasih itu berasal dari Allah. Jadi jikalau kita mampu mengasihi dan melepaskan pengampunan kepada orang lain, itu karena kasih dari Allah mengalir di dalam kita dan kita ada di dalam Dia. "Allah adalah kasih, dan barangsiapa tetap berada di dalam kasih, ia tetap berada di dalam Allah dan Allah di dalam dia." (1 Yohanes 4:16b). Dari pihak kita hanya dibutuhkan kemauan, sedangkan kemampuan itu diberikan oleh Allah melalui Roh Kudus-Nya. "Sebab Allah memberikan kepada kita bukan roh ketakutan, melainkan roh yang membangkitkan kekuatan, kasih dan ketertiban." (2 Timotius 1:7). Roh Kudus yang ada di dalam kita itulah yang memampukan kita mengasihi dan mengampuni.
Kalau sampai hari ini kita merasa berat dan sulit mengasihi dan mengampuni orang lain, mungkin kita belum tinggal sepenuhnya di dalam kasih Allah dan belum merasakan sendiri pengampunan dari Tuhan.
Bukankah Tuhan Yesus sudah mengampuni kita melalui kematian-Nya di kayu salib? Masakan kita tidak mau mengampuni orang lain?
Baca: Lukas 6:27-36
"Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu;" Lukas 6:27
Banyak di antara orang Kristen yang merasa diri tidak sanggup jika harus mengasihi musuh. Memang, dengan kekuatan sendiri sampai kapan pun kita akan sulit mengasihi orang yang membenci, menyakiti atau melukai kita. Jika demikian perlu sekali kita belajar dari apa yang telah Tuhan Yesus perbuat saat Ia disalibkan. Terhadap orang-orang yang menganiaya, menghina, melecehkan, meludahi, menyiksa, mendera, menikam dan menyalibkan-Nya Dia tidak membalas sedikit pun, sebaliknya Ia malah berdoa dan memohonkan pengampunan bagi mereka, "Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat." (Lukas 23:34).
Berbicara tentang kasih berarti berbicara soal hati dan roh, karena kasih yang sempurna adalah kasih yang keluar dari ketulusan hati yang terdalam karena dorongan kuasa Roh Kudus. Karena itu kasih yang sempurna hanya bisa dilakukan oleh orang percaya yang sudah mengalami kelahiran baru. Namun mengapa banyak orang Kristen sulit mengasihi dan mengampuni? Ini terjadi karena kita salah dalam memahami konsep mengasihi. Seringkali kita beranggapan bahwa kekuatan untuk mengasihi orang lain itu berasal dari dalam diri kita, padahal firman Tuhan dengan jelas menyatakan bahwa kasih itu berasal dari Allah. Jadi jikalau kita mampu mengasihi dan melepaskan pengampunan kepada orang lain, itu karena kasih dari Allah mengalir di dalam kita dan kita ada di dalam Dia. "Allah adalah kasih, dan barangsiapa tetap berada di dalam kasih, ia tetap berada di dalam Allah dan Allah di dalam dia." (1 Yohanes 4:16b). Dari pihak kita hanya dibutuhkan kemauan, sedangkan kemampuan itu diberikan oleh Allah melalui Roh Kudus-Nya. "Sebab Allah memberikan kepada kita bukan roh ketakutan, melainkan roh yang membangkitkan kekuatan, kasih dan ketertiban." (2 Timotius 1:7). Roh Kudus yang ada di dalam kita itulah yang memampukan kita mengasihi dan mengampuni.
Kalau sampai hari ini kita merasa berat dan sulit mengasihi dan mengampuni orang lain, mungkin kita belum tinggal sepenuhnya di dalam kasih Allah dan belum merasakan sendiri pengampunan dari Tuhan.
Bukankah Tuhan Yesus sudah mengampuni kita melalui kematian-Nya di kayu salib? Masakan kita tidak mau mengampuni orang lain?
Thursday, July 16, 2015
KASIH TUHAN: Dasar Pengampunan (1)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 16 Juli 2015
Baca: 1 Yohanes 4:7-21
"Saudara-saudaraku yang kekasih, jikalau Allah sedemikian mengasihi kita, maka haruslah kita juga saling mengasihi." 1 Yohanes 4:11
Alkitab menyatakan bahwa, "...kasih itu berasal dari Allah; dan setiap orang yang mengasihi, lahir dari Allah dan mengenal Allah. Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih." (1 Yohanes 4:7-8). Pernyataan 'Allah adalah kasih' berarti kasih itu sumbernya dari Allah, dan karena Dia adalah sumber kasih, Ia tidak mungkin kekurangan kasih. Pernyataan 'Allah adalah kasih' juga berarti bahwa Ia tidak dapat dipisahkan dari sifat dasarnya yaitu kasih. Itulah sebabnya Allah Mahapengasih, Mahapenyayang dan Mahapengampun. Jadi, "Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita." (1 Yohanes 4:10).
Adapun kasih Allah kepada kita adalah kasih yang tak bersyarat, buktinya: "...Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa." (Roma 5:8). Ini menunjukkan bahwa Allah mengasihi kita apa pun dan bagaimana pun keadaan kita, bahkan "sejauh timur dari barat, demikian dijauhkan-Nya dari pada kita pelanggaran kita." (Mazmur 103:12). Kita tahu bahwa 'timur dan barat' tidak akan pernah bertemu. Ini adalah gambaran pengampunan Allah: bila Ia menyingkirkan, menjauhkan, dan tidak mengingat-ingatnya lagi. Jelas sekali bahwa walaupun kita berdosa Allah tetap mengasihi kita. Karena Allah adalah kasih maka kasih merupakan hal yang sangat utama dalam kekristenan, itulah sebabnya Allah menghendaki agar anak-anak-Nya mewarisi karakter kasih ini. "...jikalau Allah sedemikian mengasihi kita, maka haruslah kita juga saling mengasihi." (ayat nas).
Kita mengasihi bukan hanya kepada orang lain yang mengasihi kita, tetapi juga terhadap musuh atau orang yang menyakiti kita sekalipun. Tuhan Yesus berkata, "Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar." (Matius 5:44-45).
"Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita." 1 Yohanes 4:19
Baca: 1 Yohanes 4:7-21
"Saudara-saudaraku yang kekasih, jikalau Allah sedemikian mengasihi kita, maka haruslah kita juga saling mengasihi." 1 Yohanes 4:11
Alkitab menyatakan bahwa, "...kasih itu berasal dari Allah; dan setiap orang yang mengasihi, lahir dari Allah dan mengenal Allah. Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih." (1 Yohanes 4:7-8). Pernyataan 'Allah adalah kasih' berarti kasih itu sumbernya dari Allah, dan karena Dia adalah sumber kasih, Ia tidak mungkin kekurangan kasih. Pernyataan 'Allah adalah kasih' juga berarti bahwa Ia tidak dapat dipisahkan dari sifat dasarnya yaitu kasih. Itulah sebabnya Allah Mahapengasih, Mahapenyayang dan Mahapengampun. Jadi, "Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita." (1 Yohanes 4:10).
Adapun kasih Allah kepada kita adalah kasih yang tak bersyarat, buktinya: "...Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa." (Roma 5:8). Ini menunjukkan bahwa Allah mengasihi kita apa pun dan bagaimana pun keadaan kita, bahkan "sejauh timur dari barat, demikian dijauhkan-Nya dari pada kita pelanggaran kita." (Mazmur 103:12). Kita tahu bahwa 'timur dan barat' tidak akan pernah bertemu. Ini adalah gambaran pengampunan Allah: bila Ia menyingkirkan, menjauhkan, dan tidak mengingat-ingatnya lagi. Jelas sekali bahwa walaupun kita berdosa Allah tetap mengasihi kita. Karena Allah adalah kasih maka kasih merupakan hal yang sangat utama dalam kekristenan, itulah sebabnya Allah menghendaki agar anak-anak-Nya mewarisi karakter kasih ini. "...jikalau Allah sedemikian mengasihi kita, maka haruslah kita juga saling mengasihi." (ayat nas).
Kita mengasihi bukan hanya kepada orang lain yang mengasihi kita, tetapi juga terhadap musuh atau orang yang menyakiti kita sekalipun. Tuhan Yesus berkata, "Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar." (Matius 5:44-45).
"Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita." 1 Yohanes 4:19
Wednesday, July 15, 2015
MEMPERLAKUKAN MUSUH DENGAN KASIH
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 15 Juli 2015
Baca: Matius 5:44-48
"Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu." Matius 5:44
Cara yang tepat dalam memperlakukan musuh adalah menunjukkan kasih dan kemurahan hati kepadanya. Tatkala kita menunjukkan kasih, pengampunan, dan kemurahan hati kepada musuh, sesungguhnya kita telah mengejutkan dia, dan dengan tidak melukainya kita telah mengubah dia dari seorang musuh menjadi teman.
Yusuf adalah teladan dalam hal mengasihi musuh. Karena iri hati dan dengki saudara-saudaranya tega membuang Yusuf ke dalam sumur dan menjualnya sebagai budak ke Mesir, yang kemudian menghantarkannya masuk penjara. Namun karena campur tangan Tuhan, kehidupan Yusuf diubahkan: dari seorang budak dan tahanan menjadi seorang penguasa di Mesir. Ketika terjadi kelaparan hebat pergilah saudara-saudara Yusuf ke Mesir demi mendapatkan gandum. Bertemulah Yusuf dengan saudara-saudaranya yang telah menyakiti dan membencinya, tapi keadaan berbeda, Yusuf sudah menjadi penguasa atau orang ke-2 di Mesir. Apa yang diperbuat Yusuf? Bukankah ini kesempatan emas baginya untuk membalas dendam, membalas semua perlakuan mereka di masa lalu? Ternyata Yusuf tidak melakukan hal yang demikian. Ketika bertemu dengan saudara-saudaranya Yusuf justru mendemonstrasikan kasih dan kemurahan hatinya. "...janganlah bersusah hati dan janganlah menyesali diri, karena kamu menjual aku ke sini, sebab untuk memelihara kehidupanlah Allah menyuruh aku mendahului kamu." (Kejadian 45:5), lalu "Yusuf mencium semua saudaranya itu dengan mesra dan ia menangis sambil memeluk mereka." (Kejadian 45:15).
Kasih adalah inti dari Injil dan kekristenan, karena itu sebagai pengikut Kristus kita harus mengikuti jejak Tuhan Yesus dan menjadikan kasih sebagai gaya hidup sehari-hari, sebab "Barangsiapa mengatakan, bahwa ia ada di dalam Dia, ia wajib hidup sama seperti Kristus telah hidup." (1 Yohanes 2:6). Di tengah dunia yang penuh kejahatan, di mana orang suka menerapkan prinsip pembalasan dendam, orang percaya justru dituntut menjadi pribadi yang berbeda dari dunia ini. Kita ditugasi untuk menjadi saluran kasih kepada orang lain sekalipun kita dibenci dan dimusuhi sebagai balasannya.
Kasih dibalas dengan kasih adalah hal biasa, namun bila benci dibalas dengan kasih itu luar biasa, dan itulah yang harus dilakukan oleh orang percaya!
Baca: Matius 5:44-48
"Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu." Matius 5:44
Cara yang tepat dalam memperlakukan musuh adalah menunjukkan kasih dan kemurahan hati kepadanya. Tatkala kita menunjukkan kasih, pengampunan, dan kemurahan hati kepada musuh, sesungguhnya kita telah mengejutkan dia, dan dengan tidak melukainya kita telah mengubah dia dari seorang musuh menjadi teman.
Yusuf adalah teladan dalam hal mengasihi musuh. Karena iri hati dan dengki saudara-saudaranya tega membuang Yusuf ke dalam sumur dan menjualnya sebagai budak ke Mesir, yang kemudian menghantarkannya masuk penjara. Namun karena campur tangan Tuhan, kehidupan Yusuf diubahkan: dari seorang budak dan tahanan menjadi seorang penguasa di Mesir. Ketika terjadi kelaparan hebat pergilah saudara-saudara Yusuf ke Mesir demi mendapatkan gandum. Bertemulah Yusuf dengan saudara-saudaranya yang telah menyakiti dan membencinya, tapi keadaan berbeda, Yusuf sudah menjadi penguasa atau orang ke-2 di Mesir. Apa yang diperbuat Yusuf? Bukankah ini kesempatan emas baginya untuk membalas dendam, membalas semua perlakuan mereka di masa lalu? Ternyata Yusuf tidak melakukan hal yang demikian. Ketika bertemu dengan saudara-saudaranya Yusuf justru mendemonstrasikan kasih dan kemurahan hatinya. "...janganlah bersusah hati dan janganlah menyesali diri, karena kamu menjual aku ke sini, sebab untuk memelihara kehidupanlah Allah menyuruh aku mendahului kamu." (Kejadian 45:5), lalu "Yusuf mencium semua saudaranya itu dengan mesra dan ia menangis sambil memeluk mereka." (Kejadian 45:15).
Kasih adalah inti dari Injil dan kekristenan, karena itu sebagai pengikut Kristus kita harus mengikuti jejak Tuhan Yesus dan menjadikan kasih sebagai gaya hidup sehari-hari, sebab "Barangsiapa mengatakan, bahwa ia ada di dalam Dia, ia wajib hidup sama seperti Kristus telah hidup." (1 Yohanes 2:6). Di tengah dunia yang penuh kejahatan, di mana orang suka menerapkan prinsip pembalasan dendam, orang percaya justru dituntut menjadi pribadi yang berbeda dari dunia ini. Kita ditugasi untuk menjadi saluran kasih kepada orang lain sekalipun kita dibenci dan dimusuhi sebagai balasannya.
Kasih dibalas dengan kasih adalah hal biasa, namun bila benci dibalas dengan kasih itu luar biasa, dan itulah yang harus dilakukan oleh orang percaya!
Tuesday, July 14, 2015
JANGAN MEMBALAS DENDAM (2)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 14 Juli 2015
Baca: Roma 12:17-21
"Janganlah kamu kalah terhadap kejahatan, tetapi kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan!" Roma 12:21
Ketika kita disakiti, dilukai dan dimusuhi, hal yang harus kita lakukan adalah menyerahkan semua permasalahan kita kepada Tuhan dan ijinkan Ia sendri yang bertindak menangani masalah kita. Percayalah bahwa Tuhan punya cara dan waktu yang sesuai dengan kehendak-Nya sendiri. Sebaliknya kalau kita sendiri yang melakukan pembalasan dendam hanya akan menyebabkan rasa gelisah, kalut, stres, damai sejahtera hilang, sukacita hilang dan sebagainya. Menjadi pembenci dan pembalas dendam hanya akan menyengsarakan diri sendiri.
Ada tertulis: "Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka." (Matius 7:12). Jika kita ingin mendapatkan perlakuan yang baik dari orang lain maka kita harus memperlakukan orang lain dengan baik. Sebaliknya jika kita tidak ingin dilukai oleh orang lain jangan sekalipun kita melukai orang lain. Di segala kesempatan kita harus selalu menyatakan kebaikan dan kemurahan kepada orang lain sehingga kebaikan dan kemurahan pula yang akan kita terima sebagai balasannya. "...jika seterumu lapar, berilah dia makan; jika ia haus, berilah dia minum!" (Roma 12:20). Acapkali tindakan membalas dendam terhadap orang lain malah bukan menguntungkan, tapi menjadi bumerang bagi diri sendiri, seperti yang dialami oleh Haman (baca Ester 5:9-14), seorang pembesar dalam pemerintahan Persia, yang begitu benci terhadap orang-orang Yahudi.
Ketika melihat Mordekhai tidak menghormatinya, "...sangat panaslah hati Haman kepada Mordekhai." (Ester 5:9). Itu menunjukkan bahwa Haman gila hormat. Karena merasa tidak dihormati, hati Haman pun dipenuhi kebencian dan amarah terhadap Mordekhai dan berusaha membalas dendam. Ia memerintahkan orang membuat tiang setinggi 50 hasta (50x45cm=225cm) dengan tujuan menyula Mordekhai. Singkat cerita, justru yang disula di atas tiang itu bukannya Mordekhai, tapi Haman sendiri. "Kemudian Haman disulakan pada tiang yang didirikannya untuk Mordekhai." (Ester 7:10).
Jangan menyimpan dendam terhadap orang lain, sebaliknya kita harus membalas kejahatan dengan kebaikan!
Baca: Roma 12:17-21
"Janganlah kamu kalah terhadap kejahatan, tetapi kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan!" Roma 12:21
Ketika kita disakiti, dilukai dan dimusuhi, hal yang harus kita lakukan adalah menyerahkan semua permasalahan kita kepada Tuhan dan ijinkan Ia sendri yang bertindak menangani masalah kita. Percayalah bahwa Tuhan punya cara dan waktu yang sesuai dengan kehendak-Nya sendiri. Sebaliknya kalau kita sendiri yang melakukan pembalasan dendam hanya akan menyebabkan rasa gelisah, kalut, stres, damai sejahtera hilang, sukacita hilang dan sebagainya. Menjadi pembenci dan pembalas dendam hanya akan menyengsarakan diri sendiri.
Ada tertulis: "Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka." (Matius 7:12). Jika kita ingin mendapatkan perlakuan yang baik dari orang lain maka kita harus memperlakukan orang lain dengan baik. Sebaliknya jika kita tidak ingin dilukai oleh orang lain jangan sekalipun kita melukai orang lain. Di segala kesempatan kita harus selalu menyatakan kebaikan dan kemurahan kepada orang lain sehingga kebaikan dan kemurahan pula yang akan kita terima sebagai balasannya. "...jika seterumu lapar, berilah dia makan; jika ia haus, berilah dia minum!" (Roma 12:20). Acapkali tindakan membalas dendam terhadap orang lain malah bukan menguntungkan, tapi menjadi bumerang bagi diri sendiri, seperti yang dialami oleh Haman (baca Ester 5:9-14), seorang pembesar dalam pemerintahan Persia, yang begitu benci terhadap orang-orang Yahudi.
Ketika melihat Mordekhai tidak menghormatinya, "...sangat panaslah hati Haman kepada Mordekhai." (Ester 5:9). Itu menunjukkan bahwa Haman gila hormat. Karena merasa tidak dihormati, hati Haman pun dipenuhi kebencian dan amarah terhadap Mordekhai dan berusaha membalas dendam. Ia memerintahkan orang membuat tiang setinggi 50 hasta (50x45cm=225cm) dengan tujuan menyula Mordekhai. Singkat cerita, justru yang disula di atas tiang itu bukannya Mordekhai, tapi Haman sendiri. "Kemudian Haman disulakan pada tiang yang didirikannya untuk Mordekhai." (Ester 7:10).
Jangan menyimpan dendam terhadap orang lain, sebaliknya kita harus membalas kejahatan dengan kebaikan!
Monday, July 13, 2015
JANGAN MEMBALAS DENDAM (1)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 13 Juli 2015
Baca: Roma 12:17-21
"Janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan; lakukanlah apa yang baik bagi semua orang!" Roma 12:17
Dalam menjalani kehidupan ini tidak selamanya langkah yang kita tempuh mulus dan tanpa aral rintangan. Terkadang dalam membangun hubungan dengan orang lain kita dihadapkan pada konflik atau perselisihan, dan hal itu bisa terjadi kapan saja dan di mana saja, entah itu di lingkungan rumah tinggal, sekolah, kantor, bahkan di gereja sekalipun. Mengapa konflik atau perselisihan bisa terjadi? Karena tiap-tiap orang memiliki karakter yang berbeda, latar belakang yang berbeda, ide dan juga pendapat yang berbeda-beda pula, maka tidaklah mengherankan bila sekali waktu timbul suatu ketegangan dan bahkan bisa menyebabkan rasa kecewa, sakit hati, amarah, kebencian, yang kesemuanya berujung kepada semua permusuhan.
Cara salah yang seringkali dipakai oleh orang dunia ketika berhadapan dengan orang yang mengecewakan, melukai, menyakiti, melawan dan memusuhi adalah melakukan tindakan balas dendam. Inilah prinsip dunia yaitu memperlakukan musuh sebagaimana ia sudah diperlakukan, atau dengan kata lain, membalas musuh setimpal dengan perbuatannya, bahkan kalau bisa pembalasan itu lebih kejam dari perbuatannya. Namun sebagai orang percaya sikap dan pikiran untuk membalas dendam harus kita buang jauh-jauh dan tidak boleh timbul di dalam hati, terlebih-lebih dalam tindakan. Pada dasarnya orang yang menaruh dendam di dalam hati akan selalu mengekspresikan dendamnya itu dalam perkataan dan perbuatan yang negatif.
Mengapa kita tidak diperkenankan membalas dendam terhadap musuh? Rasul Paulus menasihati, "Saudara-saudaraku yang kekasih, janganlah kamu sendiri menuntut pembalasan," (ayat 19). Tidak membalas dendam adalah kehendak Tuhan! Jadi orang yang mencari kesempatan untuk membalaskan sakit hati dan dendamnya kepada musuh jelas-jelas telah melawan kehendak Tuhan, sebab "Pembalasan itu adalah hak-Ku. Akulah yang akan menuntut pembalasan," (ayat 19). Siapa pun yang berusaha dengan kekuatan sendiri untuk membalas dendam berarti ia telah mencuri hak mutlak kepunyaan Tuhan.
Pembalasan itu bukan hak kita melainkan hak Tuhan sepenuhnya, Ia punya cara dan waktu-Nya sendiri untuk menangani masalah kita.
Baca: Roma 12:17-21
"Janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan; lakukanlah apa yang baik bagi semua orang!" Roma 12:17
Dalam menjalani kehidupan ini tidak selamanya langkah yang kita tempuh mulus dan tanpa aral rintangan. Terkadang dalam membangun hubungan dengan orang lain kita dihadapkan pada konflik atau perselisihan, dan hal itu bisa terjadi kapan saja dan di mana saja, entah itu di lingkungan rumah tinggal, sekolah, kantor, bahkan di gereja sekalipun. Mengapa konflik atau perselisihan bisa terjadi? Karena tiap-tiap orang memiliki karakter yang berbeda, latar belakang yang berbeda, ide dan juga pendapat yang berbeda-beda pula, maka tidaklah mengherankan bila sekali waktu timbul suatu ketegangan dan bahkan bisa menyebabkan rasa kecewa, sakit hati, amarah, kebencian, yang kesemuanya berujung kepada semua permusuhan.
Cara salah yang seringkali dipakai oleh orang dunia ketika berhadapan dengan orang yang mengecewakan, melukai, menyakiti, melawan dan memusuhi adalah melakukan tindakan balas dendam. Inilah prinsip dunia yaitu memperlakukan musuh sebagaimana ia sudah diperlakukan, atau dengan kata lain, membalas musuh setimpal dengan perbuatannya, bahkan kalau bisa pembalasan itu lebih kejam dari perbuatannya. Namun sebagai orang percaya sikap dan pikiran untuk membalas dendam harus kita buang jauh-jauh dan tidak boleh timbul di dalam hati, terlebih-lebih dalam tindakan. Pada dasarnya orang yang menaruh dendam di dalam hati akan selalu mengekspresikan dendamnya itu dalam perkataan dan perbuatan yang negatif.
Mengapa kita tidak diperkenankan membalas dendam terhadap musuh? Rasul Paulus menasihati, "Saudara-saudaraku yang kekasih, janganlah kamu sendiri menuntut pembalasan," (ayat 19). Tidak membalas dendam adalah kehendak Tuhan! Jadi orang yang mencari kesempatan untuk membalaskan sakit hati dan dendamnya kepada musuh jelas-jelas telah melawan kehendak Tuhan, sebab "Pembalasan itu adalah hak-Ku. Akulah yang akan menuntut pembalasan," (ayat 19). Siapa pun yang berusaha dengan kekuatan sendiri untuk membalas dendam berarti ia telah mencuri hak mutlak kepunyaan Tuhan.
Pembalasan itu bukan hak kita melainkan hak Tuhan sepenuhnya, Ia punya cara dan waktu-Nya sendiri untuk menangani masalah kita.
Sunday, July 12, 2015
KRITIKAN YANG MELEMAHKAN
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 12 Juli 2015
Baca: 1 Samuel 17:23-39
"Mengapa engkau datang? Dan pada siapakah kautinggalkan kambing domba yang dua tiga ekor itu di padang gurun? Aku kenal sifat pemberanimu dan kejahatan hatimu: engkau datang ke mari dengan maksud melihat pertempuran." 1 Samuel 17:28
Adalah mudah bagi seseorang untuk menilai dan mengkritik kinerja orang lain. Bahkan kegiatan kritik-mengkritik ini sudah sering terjadi dan menjadi hal yang sangat biasa di kalangan orang percaya, baik itu di pekerjaan konvensional, terlebih-lebih dalam dunia pelayanan. Teman mengkritik teman, pelayan Tuhan mengkritik rekan sepelayanan, dan bahkan banyak jemaat yang begitu gencar mengkritik kinerja hamba-hamba Tuhan.
Arti kata kritik adalah: suatu kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat dan sebagainya. Secara garis besar ada dua jenis kritikan yaitu yang bersifat membangun (konstruktif) dan yang sifatnya menghancurkan (destruktif). Kritikan yang membangun umumnya dilakukan oleh orang-orang yang begitu peduli kepada kita atau sahabat-sahabat yang begitu tulus mengasihi kita. "Lebih baik teguran yang nyata-nyata dari pada kasih yang tersembunyi." (Amsal 27:5), sebab "...teguran yang mendidik itu jalan kehidupan," (Amsal 6:23). Orang yang tulus hati akan mengkritik dengan tujuan memotivasi dan membangun, sehingga ia juga akan memberi solusi. Sementara kritikan yang menghancurkan adalah yang semata-mata bertujuan untuk melemahkan. Kritikan ini cenderung menghakimi dan mencari-cari kesalahan orang lain. Inilah yang seringkali terjadi: kita mengkritik orang lain, membesar-besarkan kelemahan dan kekurangan mereka dan bahkan mempermalukannya di depan banyak orang.
Kritikan yang melemahkan juga dialami Daud. Ia dikritik dan diremehkan oleh kakaknya (ayat nas), Saul: "Tidak mungkin engkau dapat menghadapi orang Filistin itu untuk melawan dia, sebab engkau masih muda, sedang dia sejak dari masa mudanya telah menjadi prajurit." (1 Samuel 17:330. Untunglah Daud memiliki penguasaan diri dan rendah hati, sehingga ketika dikritik ia tidak pernah patah arang dan kecewa, melainkan menyikapinya dengan positif.
Andai Daud sakit hati, mungkin ia akan bergegas pulang dan ia pun tidak beroleh kesempatan untuk mendemonstrasikan kuasa Tuhan di hadapan Goliat!
Baca: 1 Samuel 17:23-39
"Mengapa engkau datang? Dan pada siapakah kautinggalkan kambing domba yang dua tiga ekor itu di padang gurun? Aku kenal sifat pemberanimu dan kejahatan hatimu: engkau datang ke mari dengan maksud melihat pertempuran." 1 Samuel 17:28
Adalah mudah bagi seseorang untuk menilai dan mengkritik kinerja orang lain. Bahkan kegiatan kritik-mengkritik ini sudah sering terjadi dan menjadi hal yang sangat biasa di kalangan orang percaya, baik itu di pekerjaan konvensional, terlebih-lebih dalam dunia pelayanan. Teman mengkritik teman, pelayan Tuhan mengkritik rekan sepelayanan, dan bahkan banyak jemaat yang begitu gencar mengkritik kinerja hamba-hamba Tuhan.
Arti kata kritik adalah: suatu kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat dan sebagainya. Secara garis besar ada dua jenis kritikan yaitu yang bersifat membangun (konstruktif) dan yang sifatnya menghancurkan (destruktif). Kritikan yang membangun umumnya dilakukan oleh orang-orang yang begitu peduli kepada kita atau sahabat-sahabat yang begitu tulus mengasihi kita. "Lebih baik teguran yang nyata-nyata dari pada kasih yang tersembunyi." (Amsal 27:5), sebab "...teguran yang mendidik itu jalan kehidupan," (Amsal 6:23). Orang yang tulus hati akan mengkritik dengan tujuan memotivasi dan membangun, sehingga ia juga akan memberi solusi. Sementara kritikan yang menghancurkan adalah yang semata-mata bertujuan untuk melemahkan. Kritikan ini cenderung menghakimi dan mencari-cari kesalahan orang lain. Inilah yang seringkali terjadi: kita mengkritik orang lain, membesar-besarkan kelemahan dan kekurangan mereka dan bahkan mempermalukannya di depan banyak orang.
Kritikan yang melemahkan juga dialami Daud. Ia dikritik dan diremehkan oleh kakaknya (ayat nas), Saul: "Tidak mungkin engkau dapat menghadapi orang Filistin itu untuk melawan dia, sebab engkau masih muda, sedang dia sejak dari masa mudanya telah menjadi prajurit." (1 Samuel 17:330. Untunglah Daud memiliki penguasaan diri dan rendah hati, sehingga ketika dikritik ia tidak pernah patah arang dan kecewa, melainkan menyikapinya dengan positif.
Andai Daud sakit hati, mungkin ia akan bergegas pulang dan ia pun tidak beroleh kesempatan untuk mendemonstrasikan kuasa Tuhan di hadapan Goliat!
Saturday, July 11, 2015
MENGANDALKAN TUHAN: Menang Terhadap Masalah
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 11 Juli 2015
Baca: 1 Samuel 17:40-58
"Engkau mendatangi aku dengan pedang dan tombak dan lembing, tetapi aku mendatangi engkau dengan nama TUHAN semesta alam, Allah segala barisan Israel yang kautantang itu." 1 Samuel 17:45
Mari kita belajar dari sikap Daud menghadapi Goliat. Secara logika, ditinjau dari sudut mana pun, Daud kalah, tapi ia tidak gentar sedikit pun ketika harus berhadapan dengan raksasa Filistin itu. Mengapa bisa demikian? Daud sadar bahwa ia tidak menghadapinya sendirian, ada Tuhan yang siap menopang. Ini menunjukkan bahwa Daud senantiasa mengandalkan Tuhan. "Diberkatilah orang yang mengandalkan TUHAN, yang menaruh harapannya pada TUHAN!" (Yeremia 17:7). Daud berkata, "TUHAN di pihakku. Aku tidak akan takut. Apakah yang dapat dilakukan manusia terhadap aku?" (Mazmur 118:6), karena itu "Lebih baik berlindung pada TUHAN dari pada percaya kepada manusia." (Mazmur 118:8). Jika Tuhan ada di pihak kita tidak ada perkara yang mustahil; jika Tuhan ada di pihak kita tidak ada persoalan yang tidak ada jalan keluarnya; dan jika Tuhan ada di pihak kita segala sesuatu dapat kita tanggung bersama Dia.
Daud tidak takut kepada Goliat karena ia senantiasa mengingat-ingat akan kebesaran kuasa Tuhan dan campur tangan-Nya di waktu-waktu sebelumnya. "TUHAN yang telah melepaskan aku dari cakar singa dan dari cakar beruang, Dia juga akan melepaskan aku dari tangan orang Filistin itu." (1 Samuel 17:37). Pengalaman bersama Tuhan inilah yang mendorongnya untuk selalu berpikiran positif dan bersikap optimis dalam menghadapi Goliat sekalipun. Optimis bukan berarti membanggakan diri atau takabur, tetapi sikap percaya diri yang positif karena tahu kepada siapa ia menaruh pengharapan. "Aku hendak mengingat perbuatan-perbuatan TUHAN, ya, aku hendak mengingat keajaiban-keajaiban-Mu dari zaman purbakala." (Mazmur 77:12).
Orang-orang Israel merasa ketakutan oleh karena mereka hanya terfokus kepada Goliat yang besar, tetapi Daud tidak, karena ia senantiasa mengarahkan pandangannya kepada Tuhan dan mengingat-ingat peristiwa yang lalu saat Tuhan menolongnya dan melepaskannya dari masalah-masalah sebelumnya.
Kalau dulu Tuhan tolong, sekarang pun kita percaya Tuhan pasti akan menolong, karena Dia adalah Tuhan yang tidak berubah!
Baca: 1 Samuel 17:40-58
"Engkau mendatangi aku dengan pedang dan tombak dan lembing, tetapi aku mendatangi engkau dengan nama TUHAN semesta alam, Allah segala barisan Israel yang kautantang itu." 1 Samuel 17:45
Mari kita belajar dari sikap Daud menghadapi Goliat. Secara logika, ditinjau dari sudut mana pun, Daud kalah, tapi ia tidak gentar sedikit pun ketika harus berhadapan dengan raksasa Filistin itu. Mengapa bisa demikian? Daud sadar bahwa ia tidak menghadapinya sendirian, ada Tuhan yang siap menopang. Ini menunjukkan bahwa Daud senantiasa mengandalkan Tuhan. "Diberkatilah orang yang mengandalkan TUHAN, yang menaruh harapannya pada TUHAN!" (Yeremia 17:7). Daud berkata, "TUHAN di pihakku. Aku tidak akan takut. Apakah yang dapat dilakukan manusia terhadap aku?" (Mazmur 118:6), karena itu "Lebih baik berlindung pada TUHAN dari pada percaya kepada manusia." (Mazmur 118:8). Jika Tuhan ada di pihak kita tidak ada perkara yang mustahil; jika Tuhan ada di pihak kita tidak ada persoalan yang tidak ada jalan keluarnya; dan jika Tuhan ada di pihak kita segala sesuatu dapat kita tanggung bersama Dia.
Daud tidak takut kepada Goliat karena ia senantiasa mengingat-ingat akan kebesaran kuasa Tuhan dan campur tangan-Nya di waktu-waktu sebelumnya. "TUHAN yang telah melepaskan aku dari cakar singa dan dari cakar beruang, Dia juga akan melepaskan aku dari tangan orang Filistin itu." (1 Samuel 17:37). Pengalaman bersama Tuhan inilah yang mendorongnya untuk selalu berpikiran positif dan bersikap optimis dalam menghadapi Goliat sekalipun. Optimis bukan berarti membanggakan diri atau takabur, tetapi sikap percaya diri yang positif karena tahu kepada siapa ia menaruh pengharapan. "Aku hendak mengingat perbuatan-perbuatan TUHAN, ya, aku hendak mengingat keajaiban-keajaiban-Mu dari zaman purbakala." (Mazmur 77:12).
Orang-orang Israel merasa ketakutan oleh karena mereka hanya terfokus kepada Goliat yang besar, tetapi Daud tidak, karena ia senantiasa mengarahkan pandangannya kepada Tuhan dan mengingat-ingat peristiwa yang lalu saat Tuhan menolongnya dan melepaskannya dari masalah-masalah sebelumnya.
Kalau dulu Tuhan tolong, sekarang pun kita percaya Tuhan pasti akan menolong, karena Dia adalah Tuhan yang tidak berubah!
Subscribe to:
Posts (Atom)