Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 2 Agustus 2015
Baca: Matius 5:1-12
"Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan." Matius 5:6
Setiap manusia pasti pernah dan selalu merasa lapar dan haus secara jasmani. Kita lapar terhadap makanan dan haus akan minuman. Rasa lapar dan haus ini menggambarkan kebutuhan hidup jasmaniah manusia yang harus dipenuhi. Jika kedua kebutuhan ini (makanan dan minuman) tidak terpenuhi bisa berakibat sangat fatal dan berujung kepada kematian. Tetapi rasa lapar dan haus yang dimaksudkan Tuhan Yesus dalam ayat ini berbeda dengan konsep umum manusia tentang rasa lapar dan haus secara jasmani.
Rasa lapar dan haus yang dimaksudkan oleh Tuhan Yesus adalah lapar dan haus akan kebenaran; dan ketika seseorang merasa lapar dan haus aka kebenaran ia akan disebut sebagai orang yang berbahagia. Lapar dan haus ini berbicara mengenai suatu keinginan atau hasrat yang kuat dari dalam diri seseorang. Adapun keinginan dan hasrat yang dimaksudkan memiliki makna yang positif, karena ditujukan kepada perkara-perkara rohani. Dalam analogi ini Tuhan Yesus hendak menegaskan bahwa kebenaran sesungguhnya adalah kebutuhan utama yang harus dipenuhi bagi tubuh rohani seseorang, yang sama pentingnya dengan makanan dan minuman bagi kesehatan tubuh jasmani. Karena merupakan kebutuhan utama bagi kehidupan rohani manusia maka kebenaran bukanlah sebuah pilihan atau alternatif yang dapat dipenuhi sewaktu-waktu saja. kebenaran adalah kebutuhan hakiki manusia, yang tidak bisa tidak, harus dipenuhi. Adapun kebenaran yang hakiki itu hanya akan kita dapatkan di dalam Tuhan, sebab "Segala jalan TUHAN adalah kasih setia dan kebenaran bagi orang yang berpegang pada perjanjian-Nya dan peringatan-peringatan-Nya." (Mazmur 25:10).
Seringkali kita berpikiran bahwa kebutuhan manusia itu semata-mata hanya berkenaan dengan kebutuhan jasmaniah. Akibatnya manusia cenderung mengejar kepentingan duniawi saja demi memuaskan keinginan dagingnya, tidak peduli meski harus hidup jauh dari Tuhan. Mereka justru mengabaikan kebutuhan yang paling mendasar yaitu kebenaran. Mungkin secara materi segala kebutuhan terpenuhi, namun hati tetap saja hampa, kosong, tidak bahagia dan tidak pernah terpuaskan!
Karena kekuatiran akan duniawi orang tidak lagi lapar dan haus akan kebenaran!
Sunday, August 2, 2015
Saturday, August 1, 2015
ALKITAB: Sabda Allah Sendiri
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 1 Agustus 2015
Baca: 2 Petrus 1:16-21
"Dengan demikian kami makin diteguhkan oleh firman yang telah disampaikan oleh para nabi." 2 Petrus 1:19a
Rasul Paulus mengatakan, "...Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya,...yang bertolak dari iman dan memimpin kepada iman," (Roma 1:16-17).
Injil atau Alkitab adalah firman Allah, diwahyukan oleh Allah sendiri. Kata Alkitab dalam bahasa Inggris disebut Bible, berasal dari bahasa Yunani biblia atau biblos. Diwahyukan dalam bahasa Yunaninya Theopneustos: Theo berarti Allah, sedangkan pneo berarti bernafas. Artinya Allah sendiri yang memberi nafas pada setiap tulisan. Hal ini menunjukkan bahwa Alkitab bukanlah karangan yang berasal dari kepandaian manusia atau kehendak manusia, tetapi merupakan tulisan yang diilhamkan oleh Allah sendiri: "Segala tulisan yang diilhamkan Allah..." (2 Timotius 3:16), "...yang dapat memberi hikmat kepadamu dan menuntun engkau kepada keselamatan oleh iman kepada Kristus Yesus." (2 Timotius 3:15). Karena merupakan ilham dari Allah maka dasar firman-Nya adalah kebenaran. "Dasar firman-Mu adalah kebenaran dan segala hukum-hukum-Mu yang adil adalah untuk selama-lamanya." (Mazmur 119:160), sehingga semua tulisan dan kesaksian yang tertulis di dalamnya memiliki otoritas dan kuasa. Nah, supaya kita mengerti kebenaran dan hidup di dalam kebenaran maka kita harus memiliki rasa lapar dan haus akan kebenaran itu.
Tuhan Yesus berkata, "Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan." (Matius 5:6). Daud adalah contoh orang yang punya rasa lapar dan haus akan firman Allah. Dalam mazmurnya Daud mengungkapkan kerinduannya yang mendalam, "...Taurat-Mu adalah kegemaranku. Betapa kucintai Taurat-Mu! Aku merenungkannya sepanjang hari. Itulah sebabnya aku mencintai perintah-perintah-Mu lebih dari pada emas, bahkan dari pada emas tua." (Mazmur 119:77, 97, 127). Rasa haus dan lapar akan kebenaran inilah yang akan menuntun kita kepada keselamatan dan memiliki pengenalan yang benar akan Tuhan.
Karena Alkitab adalah firman Allah sendiri, maka perlakuan kita terhadap Alkitab merupakan sikap kita yang paling nyata terhadap pribadi Allah!
Baca: 2 Petrus 1:16-21
"Dengan demikian kami makin diteguhkan oleh firman yang telah disampaikan oleh para nabi." 2 Petrus 1:19a
Rasul Paulus mengatakan, "...Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya,...yang bertolak dari iman dan memimpin kepada iman," (Roma 1:16-17).
Injil atau Alkitab adalah firman Allah, diwahyukan oleh Allah sendiri. Kata Alkitab dalam bahasa Inggris disebut Bible, berasal dari bahasa Yunani biblia atau biblos. Diwahyukan dalam bahasa Yunaninya Theopneustos: Theo berarti Allah, sedangkan pneo berarti bernafas. Artinya Allah sendiri yang memberi nafas pada setiap tulisan. Hal ini menunjukkan bahwa Alkitab bukanlah karangan yang berasal dari kepandaian manusia atau kehendak manusia, tetapi merupakan tulisan yang diilhamkan oleh Allah sendiri: "Segala tulisan yang diilhamkan Allah..." (2 Timotius 3:16), "...yang dapat memberi hikmat kepadamu dan menuntun engkau kepada keselamatan oleh iman kepada Kristus Yesus." (2 Timotius 3:15). Karena merupakan ilham dari Allah maka dasar firman-Nya adalah kebenaran. "Dasar firman-Mu adalah kebenaran dan segala hukum-hukum-Mu yang adil adalah untuk selama-lamanya." (Mazmur 119:160), sehingga semua tulisan dan kesaksian yang tertulis di dalamnya memiliki otoritas dan kuasa. Nah, supaya kita mengerti kebenaran dan hidup di dalam kebenaran maka kita harus memiliki rasa lapar dan haus akan kebenaran itu.
Tuhan Yesus berkata, "Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan." (Matius 5:6). Daud adalah contoh orang yang punya rasa lapar dan haus akan firman Allah. Dalam mazmurnya Daud mengungkapkan kerinduannya yang mendalam, "...Taurat-Mu adalah kegemaranku. Betapa kucintai Taurat-Mu! Aku merenungkannya sepanjang hari. Itulah sebabnya aku mencintai perintah-perintah-Mu lebih dari pada emas, bahkan dari pada emas tua." (Mazmur 119:77, 97, 127). Rasa haus dan lapar akan kebenaran inilah yang akan menuntun kita kepada keselamatan dan memiliki pengenalan yang benar akan Tuhan.
Karena Alkitab adalah firman Allah sendiri, maka perlakuan kita terhadap Alkitab merupakan sikap kita yang paling nyata terhadap pribadi Allah!
Friday, July 31, 2015
JANGAN SAMPAI SALAH JALAN
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 31 Juli 2015
Baca: Amsal 3:1-7
"Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu." Amsal 3:6
Ketika berpergian ke suatu tempat, yang pertama-tama kita perhatikan adalah jalan atau arah ke mana kaki kita harus melangkah. Tanpa adanya jalan, kita tidak akan pernah bisa mencapai tempat yang hendak kita tuju tersebut. Kalau salah atau keliru akan berakibat sangat fatal: jangankan mengantarkan kita kepada tujuan, sebaliknya kita malah akan tersesat. "Ada jalan yang disangka orang lurus, tetapi ujungnya menuju maut." (Amsal 14:12). Jadi untuk mencapai suatu tujuan kita memerlukan jalan yang benar, selain itu kita juga membutuhkan panduan atau arahan agar kita tidak salah langkah.
Adapun jalan kehidupan yang benar itu adalah Tuhan Yesus, "Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku." (Yohanes 14:6). Langkah utama yang harus kita lakukan adalah percaya kepada Tuhan dan mempercayakan hidup ini kepada-Nya. "Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri." (Amsal 3:5), karena apa yang kita percayai akan menentukan bagaimana seluruh hidup kita. Banyak orang lebih percaya dan mempercayakan hidupnya kepada kekayaan dan cenderung mengandalkan kekuatannya sendiri. Mereka berpikir bahwa kekayaan adalah segala-galanya dalam hidup ini. Ada tertulis, "Siapa mempercayakan diri kepada kekayaannya akan jatuh; tetapi orang benar akan tumbuh seperti daun muda." (Amsal 11:28). Kekayaan bisa lenyap dalam sekejap, "...karena tiba-tiba ia bersayap, lalu terbang ke angkasa seperti rajawali." (Amsal 23:5). Siapakah kita ini? Manusia itu "...tidak lebih dari pada embusan nafas, dan sebagai apakah ia dapat dianggap?" (Yesaya 2:22). Tetapi bila kita percaya kepada Tuhan Yesus, keberadaan kita akan seperti batu karang yang tidak mudah digoyahkan oleh gelombang dan badai kehidupan.
Mempercayakan hidup kepada Tuhan berarti tunduk sepenuhnya kepada kehendak Tuhan. Ini berbicara tentang ketaatan! "...takutlah akan TUHAN dan jauhilah kejahatan;" (ayat 7). Percayalah bahwa apa pun yang Tuhan rancang bagi kita adalah untuk kebaikan kita dan pasti baik adanya.
"Tunjukkanlah kepadaku jalan-Mu, ya TUHAN, supaya aku hidup menurut kebenaran-Mu;" Mazmur 86:11
Baca: Amsal 3:1-7
"Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu." Amsal 3:6
Ketika berpergian ke suatu tempat, yang pertama-tama kita perhatikan adalah jalan atau arah ke mana kaki kita harus melangkah. Tanpa adanya jalan, kita tidak akan pernah bisa mencapai tempat yang hendak kita tuju tersebut. Kalau salah atau keliru akan berakibat sangat fatal: jangankan mengantarkan kita kepada tujuan, sebaliknya kita malah akan tersesat. "Ada jalan yang disangka orang lurus, tetapi ujungnya menuju maut." (Amsal 14:12). Jadi untuk mencapai suatu tujuan kita memerlukan jalan yang benar, selain itu kita juga membutuhkan panduan atau arahan agar kita tidak salah langkah.
Adapun jalan kehidupan yang benar itu adalah Tuhan Yesus, "Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku." (Yohanes 14:6). Langkah utama yang harus kita lakukan adalah percaya kepada Tuhan dan mempercayakan hidup ini kepada-Nya. "Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri." (Amsal 3:5), karena apa yang kita percayai akan menentukan bagaimana seluruh hidup kita. Banyak orang lebih percaya dan mempercayakan hidupnya kepada kekayaan dan cenderung mengandalkan kekuatannya sendiri. Mereka berpikir bahwa kekayaan adalah segala-galanya dalam hidup ini. Ada tertulis, "Siapa mempercayakan diri kepada kekayaannya akan jatuh; tetapi orang benar akan tumbuh seperti daun muda." (Amsal 11:28). Kekayaan bisa lenyap dalam sekejap, "...karena tiba-tiba ia bersayap, lalu terbang ke angkasa seperti rajawali." (Amsal 23:5). Siapakah kita ini? Manusia itu "...tidak lebih dari pada embusan nafas, dan sebagai apakah ia dapat dianggap?" (Yesaya 2:22). Tetapi bila kita percaya kepada Tuhan Yesus, keberadaan kita akan seperti batu karang yang tidak mudah digoyahkan oleh gelombang dan badai kehidupan.
Mempercayakan hidup kepada Tuhan berarti tunduk sepenuhnya kepada kehendak Tuhan. Ini berbicara tentang ketaatan! "...takutlah akan TUHAN dan jauhilah kejahatan;" (ayat 7). Percayalah bahwa apa pun yang Tuhan rancang bagi kita adalah untuk kebaikan kita dan pasti baik adanya.
"Tunjukkanlah kepadaku jalan-Mu, ya TUHAN, supaya aku hidup menurut kebenaran-Mu;" Mazmur 86:11
Thursday, July 30, 2015
MENJADI JEMAAT YANG MISIONER!
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 30 Juli 2015
Baca: Yesaya 55:1-5
"Sesungguhnya, Aku telah menetapkan dia menjadi saksi bagi bangsa-bangsa, menjadi seorang raja dan pemerintah bagi suku-suku bangsa;" Yesaya 55:4
Sebenarnya semua orang Kristen tahu bahwa dirinya memiliki tugas dan panggilan untuk melayani Tuhan, tapi kebanyakan dari mereka bersikap adem ayem, kurang antusias, cenderung bersikap cuek dan masa bodoh karena mereka beranggapan bahwa pekerjaan pelayanan itu semata-mata tugas para rohaniawan: pendeta, gembala sidang, fulltimer atau siswa yang sedang menuntut studi di sekolah teologia.
Rasul Petrus menyatakan bahwa setiap orang percaya telah dipanggil dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib, "...supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia," (1 Petrus 2:9). Sebagai jemaat awam, apa yang bisa kita lakukan untuk memberitakan perbuatan-perbuatan besar Tuhan? Jawabannya adalah: bersaksi. Tuhan berfirman, "Kamu inilah saksi-saksi-Ku...dan hamba-Ku yang telah Kupilih," (Yesaya 43:10). Jika menyadari bahwa kita ini adalah saksi-saksi Kristus, maka sebagai jemaat awam pun kita dapat menjalankan peran kita. Kita harus menjadi jemaat yang tidak lagi bermalas-malasan dan hitung-hitungan dengan Tuhan. Ingat! Segala sesuatu yang kita kerjakan untuk pekerjaan Tuhan adalah investasi sorga, di mana akan ada sukacita besar saat kita membawa jiwa baru bagi Kerajaan Allah (baca Lukas 15:10).
Salah satu teladan hidup Tuhan Yesus adalah hal bersaksi. Bertemu dengan siapa saja: nelayan, pemungut cukai, wanita berdosa, Ia selalu menggunakan kesempatan untuk bersaksi tentang Kerajaan Allah dan berusaha membawa orang lain untuk semakin mengenal Bapa-Nya. Kita pun bisa memulai kesaksian kita dari lingkup terkecil: keluarga, kerabat terdekat, teman kerja, teman sekolah, atau tetangga sekitar. Cara terbaik memulai suatu kesaksian adalah menceritakan pengalaman hidup sendiri bagaimana Tuhan sudah menolong, menyembuhkan atau memulihkan hidup kita. Intinya segala hal yang Tuhan telah kerjakan dalam hidup kita, itulah yang kita share-kan kepada orang lain. Tuhan Yesus berkata, "Dalam hal inilah Bapa-Ku dipermuliakan, yaitu jika kamu berbuah banyak dan dengan demikian kamu adalah murid-murid-Ku." (Yohanes 15:8).
Bukti bahwa kita berbuah bagi Tuhan adalah ketika hidup kita bisa menjadi kesaksian yang baik bagi orang lain. Maka, jadilah jemaat yang misioner!
Baca: Yesaya 55:1-5
"Sesungguhnya, Aku telah menetapkan dia menjadi saksi bagi bangsa-bangsa, menjadi seorang raja dan pemerintah bagi suku-suku bangsa;" Yesaya 55:4
Sebenarnya semua orang Kristen tahu bahwa dirinya memiliki tugas dan panggilan untuk melayani Tuhan, tapi kebanyakan dari mereka bersikap adem ayem, kurang antusias, cenderung bersikap cuek dan masa bodoh karena mereka beranggapan bahwa pekerjaan pelayanan itu semata-mata tugas para rohaniawan: pendeta, gembala sidang, fulltimer atau siswa yang sedang menuntut studi di sekolah teologia.
Rasul Petrus menyatakan bahwa setiap orang percaya telah dipanggil dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib, "...supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia," (1 Petrus 2:9). Sebagai jemaat awam, apa yang bisa kita lakukan untuk memberitakan perbuatan-perbuatan besar Tuhan? Jawabannya adalah: bersaksi. Tuhan berfirman, "Kamu inilah saksi-saksi-Ku...dan hamba-Ku yang telah Kupilih," (Yesaya 43:10). Jika menyadari bahwa kita ini adalah saksi-saksi Kristus, maka sebagai jemaat awam pun kita dapat menjalankan peran kita. Kita harus menjadi jemaat yang tidak lagi bermalas-malasan dan hitung-hitungan dengan Tuhan. Ingat! Segala sesuatu yang kita kerjakan untuk pekerjaan Tuhan adalah investasi sorga, di mana akan ada sukacita besar saat kita membawa jiwa baru bagi Kerajaan Allah (baca Lukas 15:10).
Salah satu teladan hidup Tuhan Yesus adalah hal bersaksi. Bertemu dengan siapa saja: nelayan, pemungut cukai, wanita berdosa, Ia selalu menggunakan kesempatan untuk bersaksi tentang Kerajaan Allah dan berusaha membawa orang lain untuk semakin mengenal Bapa-Nya. Kita pun bisa memulai kesaksian kita dari lingkup terkecil: keluarga, kerabat terdekat, teman kerja, teman sekolah, atau tetangga sekitar. Cara terbaik memulai suatu kesaksian adalah menceritakan pengalaman hidup sendiri bagaimana Tuhan sudah menolong, menyembuhkan atau memulihkan hidup kita. Intinya segala hal yang Tuhan telah kerjakan dalam hidup kita, itulah yang kita share-kan kepada orang lain. Tuhan Yesus berkata, "Dalam hal inilah Bapa-Ku dipermuliakan, yaitu jika kamu berbuah banyak dan dengan demikian kamu adalah murid-murid-Ku." (Yohanes 15:8).
Bukti bahwa kita berbuah bagi Tuhan adalah ketika hidup kita bisa menjadi kesaksian yang baik bagi orang lain. Maka, jadilah jemaat yang misioner!
Wednesday, July 29, 2015
GEREJA: Mempersiapkan Pekerja
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 29 Juli 2015
Baca: Matius 9:35-38
"Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit." Matius 9:37
Gereja, dalam bahasa Inggris church, berasal dari kata Yunani kuriakos yang berarti: miliknya Tuhan. Kata gereja dipakai oleh orang-orang Kristen Yunani untuk menunjuk pada tempat ibadah, sehingga makna harafiah dari gereja adalah tempat ibadah atau rumah Tuhan. Berbicara tentang gereja tentunya memiliki keterkaitan dengan jemaat. Adapun istilah jemaat adalah terjemahan dari kata bahasa Yunani ekklesia (ek = keluar, kalein = memanggil), yang secara harafiah berarti: sidang atau kelompok orang percaya yang dipanggil ke luar dari....
Tuhan menempatkan gereja-Nya di tengah-tengah dunia bukan tanpa maksud dan tujuan, bukan sekedar sebagai tempat berkumpulnya jemaat yang sedang melakukan aktivitas kerohanian. Secara garis besar gereja mempunyai peranan: penyembahan, persekutuan, pembinaan, pelayanan dan juga penginjilan. Dengan kata lain gereja yang sehat adalah gereja yang mampu menjalankan lima peran tersebut yang kesemuanya mengarah kepada suatu misi yaitu mengerjakan Amanat Agung. Sebelum melangkah ke luar untuk menjangkau jiwa-jiwa, tugas gereja adalah mempersiapkan jemaat terlebih dahulu sampai mereka mencapai "...kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus, sehingga kita bukan lagi anak-anak, yang diombang-ambingkan oleh rupa-rupa angin pengajaran, oleh permainan palsu manusia dalam kelicikan mereka yang menyesatkan, tetapi dengan teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih kita bertumbuh di dalam segala hal ke arah Dia, Kristus, yang adalah Kepala. Dari pada-Nyalah seluruh tubuh, -yang rapih tersusun dan diikat menjadi satu oleh pelayanan semua bagiannya, sesuai dengan kadar pekerjaan tiap-tiap anggota - menerima pertumbuhannya dan membangun dirinya dalam kasih." (Efesus 4:13-16).
Ketika jemaat sudah dewasa rohaninya itulah saat yang tepat mengutus mereka untuk menjangkau jiwa-jiwa. Tuhan rindu gereja-Nya dipenuhi oleh jemaat yang hatinya terbeban untuk pekerjaan-Nya dan peka terhadap keadaan yang ada di sekelilingnya, karena di luar sana banyak sekali jiwa-jiwa yang belum diselamatkan, tapi pekerja sedikit.
"Lihatlah sekelilingmu dan pandanglah ladang-ladang yang sudah menguning dan matang untuk dituai." Yohanes 4:35
Baca: Matius 9:35-38
"Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit." Matius 9:37
Gereja, dalam bahasa Inggris church, berasal dari kata Yunani kuriakos yang berarti: miliknya Tuhan. Kata gereja dipakai oleh orang-orang Kristen Yunani untuk menunjuk pada tempat ibadah, sehingga makna harafiah dari gereja adalah tempat ibadah atau rumah Tuhan. Berbicara tentang gereja tentunya memiliki keterkaitan dengan jemaat. Adapun istilah jemaat adalah terjemahan dari kata bahasa Yunani ekklesia (ek = keluar, kalein = memanggil), yang secara harafiah berarti: sidang atau kelompok orang percaya yang dipanggil ke luar dari....
Tuhan menempatkan gereja-Nya di tengah-tengah dunia bukan tanpa maksud dan tujuan, bukan sekedar sebagai tempat berkumpulnya jemaat yang sedang melakukan aktivitas kerohanian. Secara garis besar gereja mempunyai peranan: penyembahan, persekutuan, pembinaan, pelayanan dan juga penginjilan. Dengan kata lain gereja yang sehat adalah gereja yang mampu menjalankan lima peran tersebut yang kesemuanya mengarah kepada suatu misi yaitu mengerjakan Amanat Agung. Sebelum melangkah ke luar untuk menjangkau jiwa-jiwa, tugas gereja adalah mempersiapkan jemaat terlebih dahulu sampai mereka mencapai "...kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus, sehingga kita bukan lagi anak-anak, yang diombang-ambingkan oleh rupa-rupa angin pengajaran, oleh permainan palsu manusia dalam kelicikan mereka yang menyesatkan, tetapi dengan teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih kita bertumbuh di dalam segala hal ke arah Dia, Kristus, yang adalah Kepala. Dari pada-Nyalah seluruh tubuh, -yang rapih tersusun dan diikat menjadi satu oleh pelayanan semua bagiannya, sesuai dengan kadar pekerjaan tiap-tiap anggota - menerima pertumbuhannya dan membangun dirinya dalam kasih." (Efesus 4:13-16).
Ketika jemaat sudah dewasa rohaninya itulah saat yang tepat mengutus mereka untuk menjangkau jiwa-jiwa. Tuhan rindu gereja-Nya dipenuhi oleh jemaat yang hatinya terbeban untuk pekerjaan-Nya dan peka terhadap keadaan yang ada di sekelilingnya, karena di luar sana banyak sekali jiwa-jiwa yang belum diselamatkan, tapi pekerja sedikit.
"Lihatlah sekelilingmu dan pandanglah ladang-ladang yang sudah menguning dan matang untuk dituai." Yohanes 4:35
Tuesday, July 28, 2015
ORANG BENAR BISA JATUH
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 28 Juli 2015
Baca: Mazmur 145:1-21
"TUHAN itu penopang bagi semua orang yang jatuh dan penegak bagi semua orang yang tertunduk." Mazmur 145:14
Setiap orang yang percaya kepada Tuhan Yesus menyandang predikat baru sebagai orang benar. Sebagai orang benar kita seringkali beranggapan bahwa perjalanan hidup yang kita tempuh akan terus mulus dan mustahil untuk jatuh. Tetapi Daud menulis: "TUHAN menetapkan langkah-langkah orang yang hidupnya berkenan kepada-Nya; apabila ia jatuh, tidaklah sampai tergeletak, sebab TUHAN menopang tangannya." (Mazmur 37:23-24). Artinya orang benar bisa saja jatuh sewaktu-waktu. Contohnya adalah kejatuhan Adam dan Hawa dalam dosa. Sebagai manusia yang diciptakan Tuhan serupa dan segambar dengan-Nya ternyata juga bisa jatuh. Tapi kejatuhan mereka adalah sebagai akibat dari ketidaktaatan mereka sendiri, karena termakan oleh tipu muslihat dari si Iblis.
Alkitab menegaskan bahwa sebagai orang percaya kita ini telah dibenarkan, dikuduskan dan ditebus di dalam Kristus Yesus. Namun bukan berarti kita dapat berjalan dengan santai tanpa gangguan. Mengapa? Karena Iblis tidak pernah berhenti berusaha untuk "...mencuri dan membunuh dan membinasakan;" (Yohanes 10:10a), ia selalu mencari kesempatan dan "...menunggu waktu yang baik." (Lukas 4:13), "...berjalan keliling sama seperti singa yang mengaum-aum dan mencari orang yang dapat ditelannya." (1 Petrus 5:8). Sedikit saja orang benar lengah ia akan menjadi sasaran empuk bagi Iblis. Selama Iblis masih ada maka ada kemungkinan orang benar bisa mengalami kejatuhan bukan hanya sekali atau dua kali, bahkan bisa saja lebih. Banyak faktor yang membuat seseorang jatuh: masalah, penderitaan, pencobaan atau karena kesalahan sendiri.
Namun selama kita masih berada di zaman anugerah, Tuhan masih memberikan kesempatan kepada kita untuk bangkit. "Sebab tujuh kali orang benar jatuh, namun ia bangun kembali, tetapi orang fasik akan roboh dalam bencana." (Amsal 24:16). Karena itu Tuhan Yesus memperingatkan: "Berjaga-jagalah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan: roh memang penurut, tetapi daging lemah." (Matius 26:41).
"...siapa yang menyangka, bahwa ia teguh berdiri, hati-hatilah supaya ia jangan jatuh!" 1 Korintus 10:12
Baca: Mazmur 145:1-21
"TUHAN itu penopang bagi semua orang yang jatuh dan penegak bagi semua orang yang tertunduk." Mazmur 145:14
Setiap orang yang percaya kepada Tuhan Yesus menyandang predikat baru sebagai orang benar. Sebagai orang benar kita seringkali beranggapan bahwa perjalanan hidup yang kita tempuh akan terus mulus dan mustahil untuk jatuh. Tetapi Daud menulis: "TUHAN menetapkan langkah-langkah orang yang hidupnya berkenan kepada-Nya; apabila ia jatuh, tidaklah sampai tergeletak, sebab TUHAN menopang tangannya." (Mazmur 37:23-24). Artinya orang benar bisa saja jatuh sewaktu-waktu. Contohnya adalah kejatuhan Adam dan Hawa dalam dosa. Sebagai manusia yang diciptakan Tuhan serupa dan segambar dengan-Nya ternyata juga bisa jatuh. Tapi kejatuhan mereka adalah sebagai akibat dari ketidaktaatan mereka sendiri, karena termakan oleh tipu muslihat dari si Iblis.
Alkitab menegaskan bahwa sebagai orang percaya kita ini telah dibenarkan, dikuduskan dan ditebus di dalam Kristus Yesus. Namun bukan berarti kita dapat berjalan dengan santai tanpa gangguan. Mengapa? Karena Iblis tidak pernah berhenti berusaha untuk "...mencuri dan membunuh dan membinasakan;" (Yohanes 10:10a), ia selalu mencari kesempatan dan "...menunggu waktu yang baik." (Lukas 4:13), "...berjalan keliling sama seperti singa yang mengaum-aum dan mencari orang yang dapat ditelannya." (1 Petrus 5:8). Sedikit saja orang benar lengah ia akan menjadi sasaran empuk bagi Iblis. Selama Iblis masih ada maka ada kemungkinan orang benar bisa mengalami kejatuhan bukan hanya sekali atau dua kali, bahkan bisa saja lebih. Banyak faktor yang membuat seseorang jatuh: masalah, penderitaan, pencobaan atau karena kesalahan sendiri.
Namun selama kita masih berada di zaman anugerah, Tuhan masih memberikan kesempatan kepada kita untuk bangkit. "Sebab tujuh kali orang benar jatuh, namun ia bangun kembali, tetapi orang fasik akan roboh dalam bencana." (Amsal 24:16). Karena itu Tuhan Yesus memperingatkan: "Berjaga-jagalah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan: roh memang penurut, tetapi daging lemah." (Matius 26:41).
"...siapa yang menyangka, bahwa ia teguh berdiri, hati-hatilah supaya ia jangan jatuh!" 1 Korintus 10:12
Monday, July 27, 2015
MEMUJI TUHAN: Deklarasi Kemenangan
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 27 Juli 2015
Baca: Mazmur 103:1-22
"Pujilah TUHAN, hai jiwaku! Pujilah nama-Nya yang kudus, hai segenap batinku!" Mazmur 103:1
Memuji Tuhan adalah cara meraih kemenangan dalam peperangan rohani, karena saat memuji Tuhan kita sedang melakukan suatu tindakan yang menjadi kebencian Iblis. Itulah sebabnya Iblis berusaha dengan segala cara mengusik orang percaya saat memuji-muji Tuhan, dengan harapan puji-pujian yang dinaikkan kepada Tuhan itu terhenti dan tersumbat. Pujian adalah simbol sebuah kemenangan, dan ketika kita menaikkan pujian bagi Tuhan berarti kita sedang mendeklarasikan iman percaya kita kepada Tuhan, saat itulah Iblis akan lari tunggang-langgang.
Banyak orang Kristen kurang menyadari pentingnya memuji Tuhan sehingga melakukan itu hanya saat ibadah saja. Di luar itu mereka jarang sekali mau memuji Tuhan, apalagi kalau sedang dihadapkan pada masalah dan kesulitan mereka cenderung dikalahkan oleh situasi, kondisi dan perasaan mereka sendiri. Ketika berada di penjara dengan kaki terbelenggu dalam pasungan yang kuat, ketika tubuh masih terluka, saat itulah terdengar puji-pujian: "...kira-kira tengah malam Paulus dan Silas berdoa dan menyanyikan puji-pujian kepada Allah dan orang-orang hukuman lain mendengarkan mereka." (Kisah 16:25). Dalam situasi yang berat sekalipun Paulus dan Silas mengangkat hatinya kepada Tuhan melalui puji-pujian, dan seketika itu "...terjadilah gempa bumi yang hebat, sehingga sendi-sendi penjara itu goyah; dan seketika itu juga terbukalah semua pintu dan terlepaslah belenggu mereka semua." (Kisah 16:26). Karena peristiwa itu pula kepala penjara beserta keluarganya percaya kepada Tuhan dan diselamatkan.
Di dalam pujian terkandung satu unsur yaitu percaya. Seseorang tidak akan memuji tanpa ada alasan yang kuat, terlebih-lebih memuji saat kondisi sulit dan tertekan. Jangan menunggu permasalahan itu lenyap baru kita mau memuji, melainkan tetaplah memuji Tuhan di tengah situasi yang tidak memungkinkan sekali pun, karena saat kita mempersembahkan korban pujian bagi Tuhan, saat itulah Roh Tuhan bekerja dengan dahsyatnya.
"Ketika itu percayalah mereka kepada segala firman-Nya, mereka menyanyikan puji-pujian kepada-Nya." Mazmur 106:12
Baca: Mazmur 103:1-22
"Pujilah TUHAN, hai jiwaku! Pujilah nama-Nya yang kudus, hai segenap batinku!" Mazmur 103:1
Memuji Tuhan adalah cara meraih kemenangan dalam peperangan rohani, karena saat memuji Tuhan kita sedang melakukan suatu tindakan yang menjadi kebencian Iblis. Itulah sebabnya Iblis berusaha dengan segala cara mengusik orang percaya saat memuji-muji Tuhan, dengan harapan puji-pujian yang dinaikkan kepada Tuhan itu terhenti dan tersumbat. Pujian adalah simbol sebuah kemenangan, dan ketika kita menaikkan pujian bagi Tuhan berarti kita sedang mendeklarasikan iman percaya kita kepada Tuhan, saat itulah Iblis akan lari tunggang-langgang.
Banyak orang Kristen kurang menyadari pentingnya memuji Tuhan sehingga melakukan itu hanya saat ibadah saja. Di luar itu mereka jarang sekali mau memuji Tuhan, apalagi kalau sedang dihadapkan pada masalah dan kesulitan mereka cenderung dikalahkan oleh situasi, kondisi dan perasaan mereka sendiri. Ketika berada di penjara dengan kaki terbelenggu dalam pasungan yang kuat, ketika tubuh masih terluka, saat itulah terdengar puji-pujian: "...kira-kira tengah malam Paulus dan Silas berdoa dan menyanyikan puji-pujian kepada Allah dan orang-orang hukuman lain mendengarkan mereka." (Kisah 16:25). Dalam situasi yang berat sekalipun Paulus dan Silas mengangkat hatinya kepada Tuhan melalui puji-pujian, dan seketika itu "...terjadilah gempa bumi yang hebat, sehingga sendi-sendi penjara itu goyah; dan seketika itu juga terbukalah semua pintu dan terlepaslah belenggu mereka semua." (Kisah 16:26). Karena peristiwa itu pula kepala penjara beserta keluarganya percaya kepada Tuhan dan diselamatkan.
Di dalam pujian terkandung satu unsur yaitu percaya. Seseorang tidak akan memuji tanpa ada alasan yang kuat, terlebih-lebih memuji saat kondisi sulit dan tertekan. Jangan menunggu permasalahan itu lenyap baru kita mau memuji, melainkan tetaplah memuji Tuhan di tengah situasi yang tidak memungkinkan sekali pun, karena saat kita mempersembahkan korban pujian bagi Tuhan, saat itulah Roh Tuhan bekerja dengan dahsyatnya.
"Ketika itu percayalah mereka kepada segala firman-Nya, mereka menyanyikan puji-pujian kepada-Nya." Mazmur 106:12
Sunday, July 26, 2015
MEMUJI TUHAN: Sebagai Korban Syukur
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 26 Juli 2015
Baca: Mazmur 146:1-10
"Aku hendak memuliakan TUHAN selama aku hidup, dan bermazmur bagi Allahku selagi aku ada." Mazmur 146:2
Puji-pujian kepada Tuhan adalah bagian yang sangat vital dalam setiap peribadatan. Meski demikian jangan sampai kita memuji Tuhan hanya sebagai syarat dalam beribadah saja. Sebagaimana doa adalah nafas hidup orang percaya, puji-pujian pun harus menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan kita sehari-hari. Jika kita menyadari siapa diri kita ini di hadapan Tuhan dan mengenal dengan benar siapa Tuhan kita, maka tidak ada alasan bagi kita untuk tidak memuji Tuhan.
Memuji Tuhan dan bersyukur kepada-Nya karena sedang dalam keadaan kuat dan mampu aadalah hal yang sangat normal. Bagaimana jika kita dalam keadaan tidak berdaya karena tertindih beban hidup yang berat atau karena sakit-penyakit, masihkah kita mau memuji Tuhan dan bersyukur kepada-Nya? Mari kita belajar dari Daud, meski sedang terjepit dan kehilangan kekuatan, "Seperti air aku tercurah, dan segala tulangku terlepas dari sendinya; hatiku menjadi seperti lilin, hancur luluh di dalam dadaku; kekuatanku kering seperti beling,..." (Mazmur 22:15-16), ia tetap memaksa jiwanya untuk memuji Tuhan. "Aku akan memasyhurkan nama-Mu kepada saudara-saudaraku dan memuji-muji Engkau di tengah-tengah jemaah:" (Mazmur 22:23). Bahkan ketika sedang terkepung oleh musuh sekali pun Daud tetap bisa menguasai dirinya dan tidak terpancing emosi, ia tetap mengarahkan pandangannya kepada Tuhan dan memuji Tuhan, karena percaya jika Tuhan ada di pihaknya, "Aku tidak akan takut. Apakah yang dapat dilakukan manusia terhadap aku?" (Mazmur 118:6). Orang bisa berbuat apapun terhadap kita atau merancangkan hal-hal yang jahat sekalipun terhadap kita, tapi mereka takkan mampu mengubah dan menggagalkan rencana Tuhan dalam hidup kita.
Karena itu apa pun keadaannya biarlah puji-pujian tetap ada di dalam mulut kita. Ini menunjukkan kepada kita bahwa salah satu sifat dari puji-pujian kepada Tuhan adalah sebagai suatu korban, kita mau membayar harga, yaitu mempersembahkan puji-pujian bagi Tuhan justru saat kita berada dalam kesesakan dan penderitaan.
"Sebab itu marilah kita, oleh Dia, senantiasa mempersembahkan korban syukur kepada Allah, yaitu ucapan bibir yang memuliakan nama-Nya." Ibrani 13:15
Baca: Mazmur 146:1-10
"Aku hendak memuliakan TUHAN selama aku hidup, dan bermazmur bagi Allahku selagi aku ada." Mazmur 146:2
Puji-pujian kepada Tuhan adalah bagian yang sangat vital dalam setiap peribadatan. Meski demikian jangan sampai kita memuji Tuhan hanya sebagai syarat dalam beribadah saja. Sebagaimana doa adalah nafas hidup orang percaya, puji-pujian pun harus menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan kita sehari-hari. Jika kita menyadari siapa diri kita ini di hadapan Tuhan dan mengenal dengan benar siapa Tuhan kita, maka tidak ada alasan bagi kita untuk tidak memuji Tuhan.
Memuji Tuhan dan bersyukur kepada-Nya karena sedang dalam keadaan kuat dan mampu aadalah hal yang sangat normal. Bagaimana jika kita dalam keadaan tidak berdaya karena tertindih beban hidup yang berat atau karena sakit-penyakit, masihkah kita mau memuji Tuhan dan bersyukur kepada-Nya? Mari kita belajar dari Daud, meski sedang terjepit dan kehilangan kekuatan, "Seperti air aku tercurah, dan segala tulangku terlepas dari sendinya; hatiku menjadi seperti lilin, hancur luluh di dalam dadaku; kekuatanku kering seperti beling,..." (Mazmur 22:15-16), ia tetap memaksa jiwanya untuk memuji Tuhan. "Aku akan memasyhurkan nama-Mu kepada saudara-saudaraku dan memuji-muji Engkau di tengah-tengah jemaah:" (Mazmur 22:23). Bahkan ketika sedang terkepung oleh musuh sekali pun Daud tetap bisa menguasai dirinya dan tidak terpancing emosi, ia tetap mengarahkan pandangannya kepada Tuhan dan memuji Tuhan, karena percaya jika Tuhan ada di pihaknya, "Aku tidak akan takut. Apakah yang dapat dilakukan manusia terhadap aku?" (Mazmur 118:6). Orang bisa berbuat apapun terhadap kita atau merancangkan hal-hal yang jahat sekalipun terhadap kita, tapi mereka takkan mampu mengubah dan menggagalkan rencana Tuhan dalam hidup kita.
Karena itu apa pun keadaannya biarlah puji-pujian tetap ada di dalam mulut kita. Ini menunjukkan kepada kita bahwa salah satu sifat dari puji-pujian kepada Tuhan adalah sebagai suatu korban, kita mau membayar harga, yaitu mempersembahkan puji-pujian bagi Tuhan justru saat kita berada dalam kesesakan dan penderitaan.
"Sebab itu marilah kita, oleh Dia, senantiasa mempersembahkan korban syukur kepada Allah, yaitu ucapan bibir yang memuliakan nama-Nya." Ibrani 13:15
Saturday, July 25, 2015
MEMUJI TUHAN: Tujuh Kali Sehari
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 25 Juli 2015
Baca: Mazmur 63:1-12
"Demikianlah aku mau memuji Engkau seumur hidupku dan menaikkan tanganku demi nama-Mu." Mazmur 63:5
Kapan Saudara memuji-muji Tuhan? Ada banyak yang menjawab: saat ibadah di gereja. Memang, dalam setiap aktivitas gerejawi puji-pujian selalu menjadi unsur yang sangat penting. Kemudian, kapan lagi Saudara memuji-muji Tuhan? Apakah ketika mengalami mujizat dan pertolongan-Nya saja? Bagaimana jika situasi-situasi yang Saudara alami tidak seperti yang diharapkan? Masihkah puji-pujian keluar dari mulut Saudara? Perhatikan Daud: "Aku hendak memuji TUHAN pada segala waktu; puji-pujian kepada-Nya tetap di dalam mulutku." (Mazmur 34:2). Padahal waktu itu Daud sedang menghadapi masalah yang berat, tetapi ia bertekad tetap memuji-muji Tuhan. Kalimat pada segala waktu berarti puji-pujian bagi Tuhan tidak tergantung situasi dan kondisi, atau tergantung mood kita, tetapi memuji-muji Tuhan haruslah menjadi bagian hidup dari orang percaya.
Mengapa kita harus senantiasa memuji Tuhan? Karena saat memuji Tuhan kita sedang berjalan menuju ke tempat di mana Tuhan bersemayam di atas takhta-Nya yang tertinggi dan kudus. Saat kita memuji-muji Tuhan itulah nama Tuhan ditinggikan, pribadi-Nya diagungkan, dan kerajaan-Nya dimashyurkan oleh karena Dialah "...Yang Kudus yang bersemayam di atas puji-pujian orang Israel." (Mazmur 22:4). Menyadari akan pentingnya pujian bagi Tuhan dan juga karena dorongan Roh Tuhan, Daud pun menyediakan lebih banyak waktu untuk memuji-muji Tuhan. "Tujuh kali dalam sehari aku memuji-muji Engkau, karena hukum-hukum-Mu yang adil." (Mazmur 119:164). Saat menjabat sebagai raja atas Israel ia pun tetap menempatkan puji-pujian bagi Tuhan sebagai hal yang utama dalam hidupnya. Hal itu terlihat saat ia memerintahkan orang-orang Lewi untuk bermazmur dan menaikkan puji-pujian di hadapan tabut Tuhan dengan diiringi gambus, kecapi dan ceracap (baca 1 Tawarikh 16:4-6).
Orang Kristen yang normal kehidupan kekristenannya pasti akan dipenuhi oleh puji-pujian bagi Tuhan. Jika kita tidak suka memuji Tuhan, 'normalkah' kita?
Karena Tuhan bertakhta di atas puji-pujian umat-Nya maka kita pun wajib memuji dan memashyurkan nama-Nya seumur hidup kita dan di segala keadaan!
Baca: Mazmur 63:1-12
"Demikianlah aku mau memuji Engkau seumur hidupku dan menaikkan tanganku demi nama-Mu." Mazmur 63:5
Kapan Saudara memuji-muji Tuhan? Ada banyak yang menjawab: saat ibadah di gereja. Memang, dalam setiap aktivitas gerejawi puji-pujian selalu menjadi unsur yang sangat penting. Kemudian, kapan lagi Saudara memuji-muji Tuhan? Apakah ketika mengalami mujizat dan pertolongan-Nya saja? Bagaimana jika situasi-situasi yang Saudara alami tidak seperti yang diharapkan? Masihkah puji-pujian keluar dari mulut Saudara? Perhatikan Daud: "Aku hendak memuji TUHAN pada segala waktu; puji-pujian kepada-Nya tetap di dalam mulutku." (Mazmur 34:2). Padahal waktu itu Daud sedang menghadapi masalah yang berat, tetapi ia bertekad tetap memuji-muji Tuhan. Kalimat pada segala waktu berarti puji-pujian bagi Tuhan tidak tergantung situasi dan kondisi, atau tergantung mood kita, tetapi memuji-muji Tuhan haruslah menjadi bagian hidup dari orang percaya.
Mengapa kita harus senantiasa memuji Tuhan? Karena saat memuji Tuhan kita sedang berjalan menuju ke tempat di mana Tuhan bersemayam di atas takhta-Nya yang tertinggi dan kudus. Saat kita memuji-muji Tuhan itulah nama Tuhan ditinggikan, pribadi-Nya diagungkan, dan kerajaan-Nya dimashyurkan oleh karena Dialah "...Yang Kudus yang bersemayam di atas puji-pujian orang Israel." (Mazmur 22:4). Menyadari akan pentingnya pujian bagi Tuhan dan juga karena dorongan Roh Tuhan, Daud pun menyediakan lebih banyak waktu untuk memuji-muji Tuhan. "Tujuh kali dalam sehari aku memuji-muji Engkau, karena hukum-hukum-Mu yang adil." (Mazmur 119:164). Saat menjabat sebagai raja atas Israel ia pun tetap menempatkan puji-pujian bagi Tuhan sebagai hal yang utama dalam hidupnya. Hal itu terlihat saat ia memerintahkan orang-orang Lewi untuk bermazmur dan menaikkan puji-pujian di hadapan tabut Tuhan dengan diiringi gambus, kecapi dan ceracap (baca 1 Tawarikh 16:4-6).
Orang Kristen yang normal kehidupan kekristenannya pasti akan dipenuhi oleh puji-pujian bagi Tuhan. Jika kita tidak suka memuji Tuhan, 'normalkah' kita?
Karena Tuhan bertakhta di atas puji-pujian umat-Nya maka kita pun wajib memuji dan memashyurkan nama-Nya seumur hidup kita dan di segala keadaan!
Friday, July 24, 2015
HATI YANG MELEKAT KEPADA TUHAN
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 24 Juli 2015
Baca: Mazmur 91:1-16
"Sungguh, hatinya melekat kepada-Ku, maka Aku akan meluputkannya, Aku akan membentenginya, sebab ia mengenal nama-Ku." Mazmur 91:14
Ketika ranting melekat kepada pokok ia akan mendapatkan asupan makanan, sumber mineral, air dan segala hal yang dibutuhkan untuk pertumbuhan. Kata melekat memiliki arti menempel benar-benar sehingga tidak mudah lepas. Kelangsungan hidup ranting sangat bergantung sepenuhnya kepada pokok. Dengan kata lain pokok adalah sumber kehidupan bagi ranting. Tuhan Yesus berkata, "Akulah pokok anggur yang benar..." (Yohanes 15:1), karena itu "Barangsiapa haus, baiklah ia datang kepada-Ku dan minum! Barangsiapa percaya kepada-Ku, seperti yang dikatakan oleh Kitab Suci: Dari dalam hatinya akan mengalir aliran-aliran air hidup." (Yohanes 7:37-38).
Melekat kepada Tuhan berarti tinggal di dalam Tuhan dan Tuhan di dalam kita. "Barangsiapa tidak tinggal di dalam Aku, ia dibuang ke luar seperti ranting dan menjadi kering, kemudian dikumpulkan orang dan dicampakkan ke dalam api lalu dibakar." (Yohanes 15:6). Kalimat 'di dalam Aku' menunjuk suatu hubungan yang karib, artinya kita mempercayakan hidup ini sepenuhnya kepada Tuhan dan mengijinkan Dia berotoritas penuh atas hidup kita. Melekat kepada Tuhan berarti bertekad menjadi pelaku firman, karena kekristenan itu bukanlah teori, melainkan pengalaman hidup berjalan bersama Tuhan setiap hari. Berjalan bersama Tuhan berarti bergaul karib dengan Tuhan; dan terhadap orang yang karib "...perjanjian-Nya diberitahukan-Nya kepada mereka." (Mazmur 25:14), sehingga kita dapat memahami isi hati-Nya, pikiran-Nya dan juga kehendak-Nya. Ada berkat-berkat yang luar biasa ketika seseorang melekat kepada Tuhan: ia akan mengecap kebaikan Tuhan, Ia akan menyertai, menjaga, meluputkan dan membentenginya, dan "Bila ia berseru kepada-Ku, Aku akan menjawab," (Mazmur 91:15), dan "...mintalah apa saja yang kamu kehendaki, dan kamu akan menerimanya." (Yohanes 15:7).
Banyak orang mengaku diri pengikut Kristus tapi tidak hidup melekat kepada Tuhan, memilih berjalan menurut keinginan sendiri, malas membangun persekutuan dengan Tuhan dan bahkan menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan peribadatan.
Hidup dalam ketaatan adalah wujud nyata seseorang melekat kepada Tuhan!
Baca: Mazmur 91:1-16
"Sungguh, hatinya melekat kepada-Ku, maka Aku akan meluputkannya, Aku akan membentenginya, sebab ia mengenal nama-Ku." Mazmur 91:14
Ketika ranting melekat kepada pokok ia akan mendapatkan asupan makanan, sumber mineral, air dan segala hal yang dibutuhkan untuk pertumbuhan. Kata melekat memiliki arti menempel benar-benar sehingga tidak mudah lepas. Kelangsungan hidup ranting sangat bergantung sepenuhnya kepada pokok. Dengan kata lain pokok adalah sumber kehidupan bagi ranting. Tuhan Yesus berkata, "Akulah pokok anggur yang benar..." (Yohanes 15:1), karena itu "Barangsiapa haus, baiklah ia datang kepada-Ku dan minum! Barangsiapa percaya kepada-Ku, seperti yang dikatakan oleh Kitab Suci: Dari dalam hatinya akan mengalir aliran-aliran air hidup." (Yohanes 7:37-38).
Melekat kepada Tuhan berarti tinggal di dalam Tuhan dan Tuhan di dalam kita. "Barangsiapa tidak tinggal di dalam Aku, ia dibuang ke luar seperti ranting dan menjadi kering, kemudian dikumpulkan orang dan dicampakkan ke dalam api lalu dibakar." (Yohanes 15:6). Kalimat 'di dalam Aku' menunjuk suatu hubungan yang karib, artinya kita mempercayakan hidup ini sepenuhnya kepada Tuhan dan mengijinkan Dia berotoritas penuh atas hidup kita. Melekat kepada Tuhan berarti bertekad menjadi pelaku firman, karena kekristenan itu bukanlah teori, melainkan pengalaman hidup berjalan bersama Tuhan setiap hari. Berjalan bersama Tuhan berarti bergaul karib dengan Tuhan; dan terhadap orang yang karib "...perjanjian-Nya diberitahukan-Nya kepada mereka." (Mazmur 25:14), sehingga kita dapat memahami isi hati-Nya, pikiran-Nya dan juga kehendak-Nya. Ada berkat-berkat yang luar biasa ketika seseorang melekat kepada Tuhan: ia akan mengecap kebaikan Tuhan, Ia akan menyertai, menjaga, meluputkan dan membentenginya, dan "Bila ia berseru kepada-Ku, Aku akan menjawab," (Mazmur 91:15), dan "...mintalah apa saja yang kamu kehendaki, dan kamu akan menerimanya." (Yohanes 15:7).
Banyak orang mengaku diri pengikut Kristus tapi tidak hidup melekat kepada Tuhan, memilih berjalan menurut keinginan sendiri, malas membangun persekutuan dengan Tuhan dan bahkan menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan peribadatan.
Hidup dalam ketaatan adalah wujud nyata seseorang melekat kepada Tuhan!
Thursday, July 23, 2015
POKOK ANGGUR DAN RANTINGNYA
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 23 Juli 2015
Baca: Yohanes 15:1-8
"Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya. Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa." Yohanes 15:5
Anggur merupakan tanaman buah berupa perdu yang merambat. Tanaman ini dapat tumbuh dengan baik apabila ditanam pada ketinggian 1000 meter di atas permukaan laut atau berada di daeerah yang berdataran rendah. Buah anggur dapat dikonsumsi langsung atau bisa juga diolah menjadi jus atau untuk bahan campuran makanan lainnya. Salah satu fakta yang berkaitan dengan tanaman anggur ialah tidak tahan terhadap air yang menggenang, tapi butuh pengairan yang harus dilakukan mulai dari proses penanaman sampai kepada pemangkasan.
Pokok dan ranting adalah bagian yang tak terpisahkan dari tanaman, yang menggambarkan simbol dari suatu hubungan yang erat! Dalam perikop 'Pokok anggur yang benar' ini ada dua jenis ranting yaitu ranting yang berbuah dan yang tidak berbuah. Ranting yang berbuah pasti tidak luput dari proses pembersihan atau pemangkasan, yaitu memangkas atau memotong bagian-bagian yang kering dan tidak berguna, yang mungkin ada ulat atau penyakit di dalamnya supaya kesuburan pohon tersebut tidak terganggu. Ini dilakukan untuk tujuan yang baik yaitu supaya berbuah semakin lebat. Pembersihan atau pemangkasan pasti akan terasa menyakitkan, tapi ini mendatangkan kebaikan bagi kita. Segala sesuatu yang selama ini menjadi penghalang bagi kita untuk bertumbuh harus dibersihkan secara tuntas, seperti misalnya karakter lama atau kebiasaan-kebiasaan buruk yang bertentangan dengan kehendak Tuhan.
Dalam kehidupan rohani alat pemangkas atau pemotongnya adalah firman Tuhan, "Sebab firman Allah hidup dan kuat dan lebih tajam dari pada pedang bermata dua manapun; ia menusuk amat dalam sampai memisahkan jiwa dan roh, sendi-sendi dan sumsum; ia sanggup membedakan pertimbangan dan pikiran hati kita." (Ibrani 4:12). Jadi untuk mengalami pertumbuhan rohani yang sehat selain harus tetap melekat kepada pokok anggur yang benar yaitu Tuhan Yesus, kita pun harus merelakan diri untuk dibentuk, diproses dan dibersihkan oleh Tuhan melalui firman-Nya!
"...sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa." Yohanes 15:5b
Baca: Yohanes 15:1-8
"Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya. Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa." Yohanes 15:5
Anggur merupakan tanaman buah berupa perdu yang merambat. Tanaman ini dapat tumbuh dengan baik apabila ditanam pada ketinggian 1000 meter di atas permukaan laut atau berada di daeerah yang berdataran rendah. Buah anggur dapat dikonsumsi langsung atau bisa juga diolah menjadi jus atau untuk bahan campuran makanan lainnya. Salah satu fakta yang berkaitan dengan tanaman anggur ialah tidak tahan terhadap air yang menggenang, tapi butuh pengairan yang harus dilakukan mulai dari proses penanaman sampai kepada pemangkasan.
Pokok dan ranting adalah bagian yang tak terpisahkan dari tanaman, yang menggambarkan simbol dari suatu hubungan yang erat! Dalam perikop 'Pokok anggur yang benar' ini ada dua jenis ranting yaitu ranting yang berbuah dan yang tidak berbuah. Ranting yang berbuah pasti tidak luput dari proses pembersihan atau pemangkasan, yaitu memangkas atau memotong bagian-bagian yang kering dan tidak berguna, yang mungkin ada ulat atau penyakit di dalamnya supaya kesuburan pohon tersebut tidak terganggu. Ini dilakukan untuk tujuan yang baik yaitu supaya berbuah semakin lebat. Pembersihan atau pemangkasan pasti akan terasa menyakitkan, tapi ini mendatangkan kebaikan bagi kita. Segala sesuatu yang selama ini menjadi penghalang bagi kita untuk bertumbuh harus dibersihkan secara tuntas, seperti misalnya karakter lama atau kebiasaan-kebiasaan buruk yang bertentangan dengan kehendak Tuhan.
Dalam kehidupan rohani alat pemangkas atau pemotongnya adalah firman Tuhan, "Sebab firman Allah hidup dan kuat dan lebih tajam dari pada pedang bermata dua manapun; ia menusuk amat dalam sampai memisahkan jiwa dan roh, sendi-sendi dan sumsum; ia sanggup membedakan pertimbangan dan pikiran hati kita." (Ibrani 4:12). Jadi untuk mengalami pertumbuhan rohani yang sehat selain harus tetap melekat kepada pokok anggur yang benar yaitu Tuhan Yesus, kita pun harus merelakan diri untuk dibentuk, diproses dan dibersihkan oleh Tuhan melalui firman-Nya!
"...sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa." Yohanes 15:5b
Wednesday, July 22, 2015
KASIH KEPADA TUHAN: Tegas Terhadap Dosa
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 22 Juli 2015
Baca: Titus 2:11-15
"Ia mendidik kita supaya kita meninggalkan kefasikan dan keinginan-keinginan duniawi dan supaya kita hidup bijaksana, adil dan beribadah di dalam dunia sekarang ini" Titus 2:12
Dapatkah kita mengukur kasih Tuhan dalam kehidupan kita? Sungguh kita tidak akan mampu mengukur "...betapa lebarnya dan panjangnya dan tingginya dan dalamnya kasih Kristus," (Efesus 3:18). Kasih terbesar Bapa dinyatakan ketika Ia memberikan Putera-Nya, Yesus Kristus, kepada dunia supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak mengalami kebinasaan kekal, melainkan beroleh hidup yang kekal (baca Yohanes 3:16). Begitu juga melalui kematian-Nya di atas kayu salib Yesus telah membuktikan betapa Ia sangat mengasihi umat-Nya hingga nyawa-Nya rela Dia serahkan. "Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya." (Yohanes 15:13).
Jika kita sudah mengalami kasih Tuhan yang begitu luar biasa ini, tidakkah kita rindu membalas kasih-Nya? Banyak orang Kristen berkata mengasihi Tuhan, tapi apa buktinya? Mengasihi Tuhan tidak cukup hanya rajin beribadah atau rutin memberi persembahan untuk pekerjaan Tuhan. Alkitab menegaskan bahwa bukti kita mengasihi Tuhan adalah ketika "...kita menuruti perintah-perintah-Nya." (1 Yohanes 5:3). Menuruti perintah Tuhan berarti mampu bersikap tegas terhadap dosa, tidak berkompromi sedikit pun dengan segala hal yang bertentangan dengan firman Tuhan. Penegasan inilah yang disampaikan rasul Paulus kepada Titus bahwa bukti kita mengasihi Tuhan adalah "...meninggalkan kefasikan dan keinginan-keinginan duniawi..." (ayat nas).
Ada banyak orangtua yang bersikap lunak dan cenderung membiarkan ketika melihat anak-anaknya melakukan dosa, seperti yang dilakukan oleh imam Eli: ketika anak-anaknya melakukan kefasikan dan berbuat dursila ia tidak menegur keras dan tidak memarahi anaknya, sehingga akhirnya keluarga ini pun harus menanggung akibatnya. "Siapa tidak menggunakan tongkat, benci kepada anaknya; tetapi siapa mengasihi anaknya, menghajar dia pada waktunya." (Amsal 13:24).
Selama kita masih berkompromi dengan dosa dan enggan meninggalkan segala kefasikan, itu tandanya kita belum mengasihi Tuhan!
Baca: Titus 2:11-15
"Ia mendidik kita supaya kita meninggalkan kefasikan dan keinginan-keinginan duniawi dan supaya kita hidup bijaksana, adil dan beribadah di dalam dunia sekarang ini" Titus 2:12
Dapatkah kita mengukur kasih Tuhan dalam kehidupan kita? Sungguh kita tidak akan mampu mengukur "...betapa lebarnya dan panjangnya dan tingginya dan dalamnya kasih Kristus," (Efesus 3:18). Kasih terbesar Bapa dinyatakan ketika Ia memberikan Putera-Nya, Yesus Kristus, kepada dunia supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak mengalami kebinasaan kekal, melainkan beroleh hidup yang kekal (baca Yohanes 3:16). Begitu juga melalui kematian-Nya di atas kayu salib Yesus telah membuktikan betapa Ia sangat mengasihi umat-Nya hingga nyawa-Nya rela Dia serahkan. "Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya." (Yohanes 15:13).
Jika kita sudah mengalami kasih Tuhan yang begitu luar biasa ini, tidakkah kita rindu membalas kasih-Nya? Banyak orang Kristen berkata mengasihi Tuhan, tapi apa buktinya? Mengasihi Tuhan tidak cukup hanya rajin beribadah atau rutin memberi persembahan untuk pekerjaan Tuhan. Alkitab menegaskan bahwa bukti kita mengasihi Tuhan adalah ketika "...kita menuruti perintah-perintah-Nya." (1 Yohanes 5:3). Menuruti perintah Tuhan berarti mampu bersikap tegas terhadap dosa, tidak berkompromi sedikit pun dengan segala hal yang bertentangan dengan firman Tuhan. Penegasan inilah yang disampaikan rasul Paulus kepada Titus bahwa bukti kita mengasihi Tuhan adalah "...meninggalkan kefasikan dan keinginan-keinginan duniawi..." (ayat nas).
Ada banyak orangtua yang bersikap lunak dan cenderung membiarkan ketika melihat anak-anaknya melakukan dosa, seperti yang dilakukan oleh imam Eli: ketika anak-anaknya melakukan kefasikan dan berbuat dursila ia tidak menegur keras dan tidak memarahi anaknya, sehingga akhirnya keluarga ini pun harus menanggung akibatnya. "Siapa tidak menggunakan tongkat, benci kepada anaknya; tetapi siapa mengasihi anaknya, menghajar dia pada waktunya." (Amsal 13:24).
Selama kita masih berkompromi dengan dosa dan enggan meninggalkan segala kefasikan, itu tandanya kita belum mengasihi Tuhan!
Tuesday, July 21, 2015
KECEMBURUAN ILAHI
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 21 Juli 2015
Baca: 2 Korintus 11:1-6
"Sebab aku cemburu kepada kamu dengan cemburu ilahi. Karena aku telah mempertunangkan kamu kepada satu laki-laki untuk membawa kamu sebagai perawan suci kepada Kristus." 2 Korintus 11:2
Rasa cemburu yang dirasakan Saul berbeda dengan kecemburuan yang dialami oleh rasul Paulus. Kecemburuan Saul jelas-jelas negatif karena didasari rasa iri hati, kurang senang atau sirik yang mendorongnya melakukan tindakan jahat. Sementara kecemburuan Paulus memiliki makna yang positif karena kecemburuan Paulus adalah kecemburuan ilahi. Rasa ini timbul sebagai bentuk kepedulian Paulus terhadap jemaat di Korintus. "Tetapi aku takut, kalau-kalau pikiran kamu disesatkan dari kesetiaan kamu yang sejati kepada Kristus, sama seperti Hawa diperdayakan oleh ular itu dengan kelicikannya." (ayat 3). Rasul Paulus telah menangkap sinyal-sinyal ketidakberesan terjadi di antara jemaat di Korintus, dimana mereka tidak lagi setia kepada Tuhan yang benar. Mereka mulai berpaling dari Tuhan dan telah mendua hati, padahal keberadaan orang percaya sesungguhnya adalah sebagai tunangan Kristus, calon mempelai Kristus.
Pernyataan "...Sebab kamu sabar saja, jika ada seorang datang memberitakan Yesus yang lain dari pada yang telah kami beritakan, atau memberikan kepada kamu roh yang lain dari pada yang telah kamu terima atau Injil yang lain dari pada yang telah kamu terima." (ayat 4) mengindikasikan bahwa telah terjadi perzinahan rohani dalam diri jemaat, dan bukti bahwa mereka tidak lagi memiliki kemurnian hati dalam mengiring Tuhan karena mereka telah melakukan kompromi dengn menerima 'Yesus' yang lain, 'Injil' yang lain dan roh yang lain. Hal inilah yang membangkitkan kecemburuan Tuhan, karena "Roh yang ditempatkan Allah di dalam diri kita, diingini-Nya dengan cemburu!" (Yakobus 4:5).
Tuhan tidak menghendaki umat pilihan-Nya, milik kepunyaan-Nya dan yang sangat dikasihi-Nya malah berpaling dari Dia dan memilih untuk berkompromi dengan dunia ini. Sebagai calon mempelai Kristus seharusnya engkau punya komitmen untuk menjaga kesucian hidupmu, supaya ketika Tuhan datang untuk menjemputmu "...kamu kedapatan tak bercacat dan tak bernoda di hadapan-Nya," (2 Petrus 3:14).
Kecemburuan Tuhan kepada umat-Nya adalah bukti bahwa Ia sangat mengasihimu, dan karena kasih-Nya Ia rela mati bagimu, masakan engkau mendua hati?
Baca: 2 Korintus 11:1-6
"Sebab aku cemburu kepada kamu dengan cemburu ilahi. Karena aku telah mempertunangkan kamu kepada satu laki-laki untuk membawa kamu sebagai perawan suci kepada Kristus." 2 Korintus 11:2
Rasa cemburu yang dirasakan Saul berbeda dengan kecemburuan yang dialami oleh rasul Paulus. Kecemburuan Saul jelas-jelas negatif karena didasari rasa iri hati, kurang senang atau sirik yang mendorongnya melakukan tindakan jahat. Sementara kecemburuan Paulus memiliki makna yang positif karena kecemburuan Paulus adalah kecemburuan ilahi. Rasa ini timbul sebagai bentuk kepedulian Paulus terhadap jemaat di Korintus. "Tetapi aku takut, kalau-kalau pikiran kamu disesatkan dari kesetiaan kamu yang sejati kepada Kristus, sama seperti Hawa diperdayakan oleh ular itu dengan kelicikannya." (ayat 3). Rasul Paulus telah menangkap sinyal-sinyal ketidakberesan terjadi di antara jemaat di Korintus, dimana mereka tidak lagi setia kepada Tuhan yang benar. Mereka mulai berpaling dari Tuhan dan telah mendua hati, padahal keberadaan orang percaya sesungguhnya adalah sebagai tunangan Kristus, calon mempelai Kristus.
Pernyataan "...Sebab kamu sabar saja, jika ada seorang datang memberitakan Yesus yang lain dari pada yang telah kami beritakan, atau memberikan kepada kamu roh yang lain dari pada yang telah kamu terima atau Injil yang lain dari pada yang telah kamu terima." (ayat 4) mengindikasikan bahwa telah terjadi perzinahan rohani dalam diri jemaat, dan bukti bahwa mereka tidak lagi memiliki kemurnian hati dalam mengiring Tuhan karena mereka telah melakukan kompromi dengn menerima 'Yesus' yang lain, 'Injil' yang lain dan roh yang lain. Hal inilah yang membangkitkan kecemburuan Tuhan, karena "Roh yang ditempatkan Allah di dalam diri kita, diingini-Nya dengan cemburu!" (Yakobus 4:5).
Tuhan tidak menghendaki umat pilihan-Nya, milik kepunyaan-Nya dan yang sangat dikasihi-Nya malah berpaling dari Dia dan memilih untuk berkompromi dengan dunia ini. Sebagai calon mempelai Kristus seharusnya engkau punya komitmen untuk menjaga kesucian hidupmu, supaya ketika Tuhan datang untuk menjemputmu "...kamu kedapatan tak bercacat dan tak bernoda di hadapan-Nya," (2 Petrus 3:14).
Kecemburuan Tuhan kepada umat-Nya adalah bukti bahwa Ia sangat mengasihimu, dan karena kasih-Nya Ia rela mati bagimu, masakan engkau mendua hati?
Monday, July 20, 2015
TERBAKAR API CEMBURU
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 20 Juli 2015
Baca: 1 Samuel 18:6-30
"Saul melemparkan tombak itu, karena pikirnya: 'Baiklah aku menancapkan Daud ke dinding.' Tetapi Daud mengelakkannya sampai dua kali." 1 Samuel 18:11
Mendengar kata cemburu di pemikiran kita pasti terlintas suatu makna yang negatif, karena menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata cemburu memang memiliki arti: merasa kurang senang melihat orang lain beruntung, sirik, curiga karena iri hati, atau perasaan iri hati terhadap seseorang yang memiliki sesuatu yang tidak kita miliki. Sering kita jumpai dalam kehidupan ini ada banyak kasus kriminalitas terjadi atau orang nekad melakukan perbuatan jahat terhadap orang lain karena mereka terbakar api cemburu.
Ketika Saul dan Daud kembali dari berperang dan mengalahkan musuh-musuh mereka, "...keluarlah orang-orang perempuan dari segala kota Israel menyongsong raja Saul sambil menyanyi dan menari-nari dengan memukul rebana, dengan bersukaria dan dengan membunyikan gerincing; dan perempuan yang menari-nari itu menyanyi berbalas-balasan, katanya: 'Saul mengalahkan beribu-ribu musuh, tetapi Daud berlaksa-laksa.' Lalu bangkitlah amarah Saul dengan sangat; dan perkataan itu menyebalkan hatinya, sebab pikirnya: 'Kepada Daud diperhitungkan mereka berlaksa-laksa, tetapi kepadaku diperhitungkannya beribu-ribu; akhir-akhirnya jabatan raja itupun jatuh kepadanya.' Sejak hari itu maka Saul selalu mendengki Daud." (1 Samuel 18:6-9). Karena para perempuan lebih memuji-muji Daud, cemburu timbul dalam diri Saul. Ia (Saul) tidak dapat menerima kenyataan bahwa sebagai raja ia hanya beroleh pujian yang jauh lebih sedikit dibandingkan dengan pujian yang ditujukan kepada Daud.
Berawal dari rasa cemburu inilah hati dan pikiran Saul dipenuhi oleh rancangan-rancangan yang jahat. Saul berusaha menghalalkan segala cara untuk menghancurkan hidup Daud, di antaranya: Saul melemparkan tombaknya ke arah Daud ketika Daud sedang main kecapi (ayat 10-11); Saul mengangkat Daud menjadi kepala pasukan seribu sehingga ia harus berada di barisan terdepan dalam perang (ayat 13); Saul memberikan Mikhal kepada Daud (ayat 20:21); namun semua usaha Saul gagal total. Sebaliknya "Daud berhasil di segala perjalanannya, sebab TUHAN menyertai dia." (ayat 14).
Alkitab menyatakan berawal dari rasa cemburu, sampai akhir hidupnya pun Saul tetap menyimpan dendam dan kebencian terhadap Daud.
Baca: 1 Samuel 18:6-30
"Saul melemparkan tombak itu, karena pikirnya: 'Baiklah aku menancapkan Daud ke dinding.' Tetapi Daud mengelakkannya sampai dua kali." 1 Samuel 18:11
Mendengar kata cemburu di pemikiran kita pasti terlintas suatu makna yang negatif, karena menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata cemburu memang memiliki arti: merasa kurang senang melihat orang lain beruntung, sirik, curiga karena iri hati, atau perasaan iri hati terhadap seseorang yang memiliki sesuatu yang tidak kita miliki. Sering kita jumpai dalam kehidupan ini ada banyak kasus kriminalitas terjadi atau orang nekad melakukan perbuatan jahat terhadap orang lain karena mereka terbakar api cemburu.
Ketika Saul dan Daud kembali dari berperang dan mengalahkan musuh-musuh mereka, "...keluarlah orang-orang perempuan dari segala kota Israel menyongsong raja Saul sambil menyanyi dan menari-nari dengan memukul rebana, dengan bersukaria dan dengan membunyikan gerincing; dan perempuan yang menari-nari itu menyanyi berbalas-balasan, katanya: 'Saul mengalahkan beribu-ribu musuh, tetapi Daud berlaksa-laksa.' Lalu bangkitlah amarah Saul dengan sangat; dan perkataan itu menyebalkan hatinya, sebab pikirnya: 'Kepada Daud diperhitungkan mereka berlaksa-laksa, tetapi kepadaku diperhitungkannya beribu-ribu; akhir-akhirnya jabatan raja itupun jatuh kepadanya.' Sejak hari itu maka Saul selalu mendengki Daud." (1 Samuel 18:6-9). Karena para perempuan lebih memuji-muji Daud, cemburu timbul dalam diri Saul. Ia (Saul) tidak dapat menerima kenyataan bahwa sebagai raja ia hanya beroleh pujian yang jauh lebih sedikit dibandingkan dengan pujian yang ditujukan kepada Daud.
Berawal dari rasa cemburu inilah hati dan pikiran Saul dipenuhi oleh rancangan-rancangan yang jahat. Saul berusaha menghalalkan segala cara untuk menghancurkan hidup Daud, di antaranya: Saul melemparkan tombaknya ke arah Daud ketika Daud sedang main kecapi (ayat 10-11); Saul mengangkat Daud menjadi kepala pasukan seribu sehingga ia harus berada di barisan terdepan dalam perang (ayat 13); Saul memberikan Mikhal kepada Daud (ayat 20:21); namun semua usaha Saul gagal total. Sebaliknya "Daud berhasil di segala perjalanannya, sebab TUHAN menyertai dia." (ayat 14).
Alkitab menyatakan berawal dari rasa cemburu, sampai akhir hidupnya pun Saul tetap menyimpan dendam dan kebencian terhadap Daud.
Sunday, July 19, 2015
AJARI ANAK DENGAN FIRMAN
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 19 Juli 2015
Baca: Amsal 22:1-16
"Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanyapun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu." Amsal 22:6
Melalui hamba-Nya, Musa, Tuhan memberikan perintah kepada bangsa Israel supaya para orangtua bersungguh-sungguh hati mendidik dan mengajarkan nilai-nilai kebenaran kepada anak-anak mereka. Musa pun menyampaikannya kepada umat Israel, "Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun." (Ulangan 6:6-7).
Mengapa orangtua harus mengajarkan firman Tuhan kepada anak-anaknya? Supaya anak mereka memiliki pengenalan yang benar tentang Tuhan, "Sebab Aku menyukai kasih setia, dan bukan korban sembelihan, dan menyukai pengenalan akan Allah, lebih dari pada korban-korban bakaran." (Hosea 6:6), yaitu Tuhan yang telah membawa bangsa Israel keluar dari perbudakannya di Mesir; Tuhan memimpin dan memelihara hidup bangsa Israel secara ajaib selama 40 tahun di padang gurun hingga sampai ke Tanah Perjanjian. Hal mengajarkan firman Tuhan kepada anak tidak bisa dilakukan sekali, dua kali, seminggu atau sebulan, tetapi harus secara berulang-ulang: saat duduk di rumah, dalam perjalanan, saat hendak tidur di malam hari atau saat bangun di pagi hari, artinya di segala waktu, bukan musiman, di mana pun berada, tidak dibatasi tempat dan waktu, dan tidak boleh jemu-jemu. Sesibuk apa pun aktivitas orangtua tidak ada alasan untuk tidak mengajarkan dan menanamkan nilai-nilai kebenaran kepada anak.
Mengapa kita harus intensif mengajarkan firman Tuhan kepada anak-anak? Supaya iman mereka makin bertumbuh dan sehat secara rohani. "Dengan apakah seorang muda mempertahankan kelakuannya bersih? Dengan menjaganya sesuai dengan firman-Mu." (Mazmur 119:9), sehingga di masa dewasanya mreka tidak hidup menyimpang dari jalan Tuhan. Ada banyak sekali kisah inspiratif di dalam Alkitab yang patut diajarkan dan diceritakan kepada anak-anak.
Tidak ada alasan bagi orangtua kehabisan bahan atau materi untuk mengajar dan mendidik anak, karena Alkitab lebih dari cukup!
Baca: Amsal 22:1-16
"Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanyapun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu." Amsal 22:6
Melalui hamba-Nya, Musa, Tuhan memberikan perintah kepada bangsa Israel supaya para orangtua bersungguh-sungguh hati mendidik dan mengajarkan nilai-nilai kebenaran kepada anak-anak mereka. Musa pun menyampaikannya kepada umat Israel, "Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun." (Ulangan 6:6-7).
Mengapa orangtua harus mengajarkan firman Tuhan kepada anak-anaknya? Supaya anak mereka memiliki pengenalan yang benar tentang Tuhan, "Sebab Aku menyukai kasih setia, dan bukan korban sembelihan, dan menyukai pengenalan akan Allah, lebih dari pada korban-korban bakaran." (Hosea 6:6), yaitu Tuhan yang telah membawa bangsa Israel keluar dari perbudakannya di Mesir; Tuhan memimpin dan memelihara hidup bangsa Israel secara ajaib selama 40 tahun di padang gurun hingga sampai ke Tanah Perjanjian. Hal mengajarkan firman Tuhan kepada anak tidak bisa dilakukan sekali, dua kali, seminggu atau sebulan, tetapi harus secara berulang-ulang: saat duduk di rumah, dalam perjalanan, saat hendak tidur di malam hari atau saat bangun di pagi hari, artinya di segala waktu, bukan musiman, di mana pun berada, tidak dibatasi tempat dan waktu, dan tidak boleh jemu-jemu. Sesibuk apa pun aktivitas orangtua tidak ada alasan untuk tidak mengajarkan dan menanamkan nilai-nilai kebenaran kepada anak.
Mengapa kita harus intensif mengajarkan firman Tuhan kepada anak-anak? Supaya iman mereka makin bertumbuh dan sehat secara rohani. "Dengan apakah seorang muda mempertahankan kelakuannya bersih? Dengan menjaganya sesuai dengan firman-Mu." (Mazmur 119:9), sehingga di masa dewasanya mreka tidak hidup menyimpang dari jalan Tuhan. Ada banyak sekali kisah inspiratif di dalam Alkitab yang patut diajarkan dan diceritakan kepada anak-anak.
Tidak ada alasan bagi orangtua kehabisan bahan atau materi untuk mengajar dan mendidik anak, karena Alkitab lebih dari cukup!
Saturday, July 18, 2015
MENGAMPUNI: Tidak Mengingat Kesalahan
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 18 Juli 2015
Baca: Matius 18:21-35
"Maka Bapa-Ku yang di sorga akan berbuat demikian juga terhadap kamu, apabila kamu masing-masing tidak mengampuni saudaramu dengan segenap hatimu." Matius 18:35
Kalau Tuhan sudah membuang jauh-jauh segala dosa dan pelanggaran kita sejauh timur dari barat, bahkan firman-Nya berkata: "Sekalipun dosamu merah seperti kirmizi, akan menjadi putih seperti salju; sekalipun berwarna merah seperti kain kesumba, akan menjadi putih seperti bulu domba." (Yesaya 1:18), namun kita yang telah diampuni dosa-dosanya oleh Tuhan seringkali sulit mengampuni orang lain dengan sepenuh hati. Kita masih saja mengingat-ingat kesalahan orang lain, mengungkit-ungkit apa yang telah orang lain perbuat terhadap kita, bahkan kita terus membicarakannya.
Bila kita mengatakan bahwa kita sudah mengampuni orang lain berarti kita melakukan apa yang Tuhan sudah teladankan yaitu membuang jauh kesalahan dan pelanggaran orang lain terhadap kita, serta tidak mengingat-ingatnya lagi. Ketika kita mengambil keputusan untuk mengampuni orang lain berarti kita juga bertekad untuk tidak lagi menyimpan luka dan sakit hati. Kasih itu "...tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia menutupi segala sesuatu," (1 Korintus 13:5b, 7). Mengampuni berarti mempraktekkan kuasa pengampunan yang telah kita terima dari Tuhan, dan melepaskannya kepada orang lain.
Mengampuni dan tidak lagi mengingat-ingat kesalahan orang seperti dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan, saling terkait satu sama lain. Jika kita masih mengingat-ingat perbuatan jahat seseorang, bagaimana ia menyakiti kita, bagaimana ia mengecewakan kita, bagaimana ia melukai kita, itu sama artinya kita belum sepenuh hati mengampuni, padahal mengampuni adalah salah satu jalan untuk kita beroleh pengampunan dari Tuhan. Ada tertulis: "...jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di sorga akan mengampuni kamu juga. Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu." (Matius 6:14-15); artinya pengampunan yang kita peroleh dari Tuhan tidak dapat dipisahkan dari kewajiban kita mengampuni orang lain, sebab mengampuni adalah perintah Tuhan.
Syarat mutlak mendapat pengampunan dari Tuhan adalah harus mengampuni orang lain juga!
Baca: Matius 18:21-35
"Maka Bapa-Ku yang di sorga akan berbuat demikian juga terhadap kamu, apabila kamu masing-masing tidak mengampuni saudaramu dengan segenap hatimu." Matius 18:35
Kalau Tuhan sudah membuang jauh-jauh segala dosa dan pelanggaran kita sejauh timur dari barat, bahkan firman-Nya berkata: "Sekalipun dosamu merah seperti kirmizi, akan menjadi putih seperti salju; sekalipun berwarna merah seperti kain kesumba, akan menjadi putih seperti bulu domba." (Yesaya 1:18), namun kita yang telah diampuni dosa-dosanya oleh Tuhan seringkali sulit mengampuni orang lain dengan sepenuh hati. Kita masih saja mengingat-ingat kesalahan orang lain, mengungkit-ungkit apa yang telah orang lain perbuat terhadap kita, bahkan kita terus membicarakannya.
Bila kita mengatakan bahwa kita sudah mengampuni orang lain berarti kita melakukan apa yang Tuhan sudah teladankan yaitu membuang jauh kesalahan dan pelanggaran orang lain terhadap kita, serta tidak mengingat-ingatnya lagi. Ketika kita mengambil keputusan untuk mengampuni orang lain berarti kita juga bertekad untuk tidak lagi menyimpan luka dan sakit hati. Kasih itu "...tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia menutupi segala sesuatu," (1 Korintus 13:5b, 7). Mengampuni berarti mempraktekkan kuasa pengampunan yang telah kita terima dari Tuhan, dan melepaskannya kepada orang lain.
Mengampuni dan tidak lagi mengingat-ingat kesalahan orang seperti dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan, saling terkait satu sama lain. Jika kita masih mengingat-ingat perbuatan jahat seseorang, bagaimana ia menyakiti kita, bagaimana ia mengecewakan kita, bagaimana ia melukai kita, itu sama artinya kita belum sepenuh hati mengampuni, padahal mengampuni adalah salah satu jalan untuk kita beroleh pengampunan dari Tuhan. Ada tertulis: "...jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di sorga akan mengampuni kamu juga. Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu." (Matius 6:14-15); artinya pengampunan yang kita peroleh dari Tuhan tidak dapat dipisahkan dari kewajiban kita mengampuni orang lain, sebab mengampuni adalah perintah Tuhan.
Syarat mutlak mendapat pengampunan dari Tuhan adalah harus mengampuni orang lain juga!
Friday, July 17, 2015
KASIH TUHAN: Dasar Pengampunan (2)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 17 Juli 2015
Baca: Lukas 6:27-36
"Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu;" Lukas 6:27
Banyak di antara orang Kristen yang merasa diri tidak sanggup jika harus mengasihi musuh. Memang, dengan kekuatan sendiri sampai kapan pun kita akan sulit mengasihi orang yang membenci, menyakiti atau melukai kita. Jika demikian perlu sekali kita belajar dari apa yang telah Tuhan Yesus perbuat saat Ia disalibkan. Terhadap orang-orang yang menganiaya, menghina, melecehkan, meludahi, menyiksa, mendera, menikam dan menyalibkan-Nya Dia tidak membalas sedikit pun, sebaliknya Ia malah berdoa dan memohonkan pengampunan bagi mereka, "Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat." (Lukas 23:34).
Berbicara tentang kasih berarti berbicara soal hati dan roh, karena kasih yang sempurna adalah kasih yang keluar dari ketulusan hati yang terdalam karena dorongan kuasa Roh Kudus. Karena itu kasih yang sempurna hanya bisa dilakukan oleh orang percaya yang sudah mengalami kelahiran baru. Namun mengapa banyak orang Kristen sulit mengasihi dan mengampuni? Ini terjadi karena kita salah dalam memahami konsep mengasihi. Seringkali kita beranggapan bahwa kekuatan untuk mengasihi orang lain itu berasal dari dalam diri kita, padahal firman Tuhan dengan jelas menyatakan bahwa kasih itu berasal dari Allah. Jadi jikalau kita mampu mengasihi dan melepaskan pengampunan kepada orang lain, itu karena kasih dari Allah mengalir di dalam kita dan kita ada di dalam Dia. "Allah adalah kasih, dan barangsiapa tetap berada di dalam kasih, ia tetap berada di dalam Allah dan Allah di dalam dia." (1 Yohanes 4:16b). Dari pihak kita hanya dibutuhkan kemauan, sedangkan kemampuan itu diberikan oleh Allah melalui Roh Kudus-Nya. "Sebab Allah memberikan kepada kita bukan roh ketakutan, melainkan roh yang membangkitkan kekuatan, kasih dan ketertiban." (2 Timotius 1:7). Roh Kudus yang ada di dalam kita itulah yang memampukan kita mengasihi dan mengampuni.
Kalau sampai hari ini kita merasa berat dan sulit mengasihi dan mengampuni orang lain, mungkin kita belum tinggal sepenuhnya di dalam kasih Allah dan belum merasakan sendiri pengampunan dari Tuhan.
Bukankah Tuhan Yesus sudah mengampuni kita melalui kematian-Nya di kayu salib? Masakan kita tidak mau mengampuni orang lain?
Baca: Lukas 6:27-36
"Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu;" Lukas 6:27
Banyak di antara orang Kristen yang merasa diri tidak sanggup jika harus mengasihi musuh. Memang, dengan kekuatan sendiri sampai kapan pun kita akan sulit mengasihi orang yang membenci, menyakiti atau melukai kita. Jika demikian perlu sekali kita belajar dari apa yang telah Tuhan Yesus perbuat saat Ia disalibkan. Terhadap orang-orang yang menganiaya, menghina, melecehkan, meludahi, menyiksa, mendera, menikam dan menyalibkan-Nya Dia tidak membalas sedikit pun, sebaliknya Ia malah berdoa dan memohonkan pengampunan bagi mereka, "Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat." (Lukas 23:34).
Berbicara tentang kasih berarti berbicara soal hati dan roh, karena kasih yang sempurna adalah kasih yang keluar dari ketulusan hati yang terdalam karena dorongan kuasa Roh Kudus. Karena itu kasih yang sempurna hanya bisa dilakukan oleh orang percaya yang sudah mengalami kelahiran baru. Namun mengapa banyak orang Kristen sulit mengasihi dan mengampuni? Ini terjadi karena kita salah dalam memahami konsep mengasihi. Seringkali kita beranggapan bahwa kekuatan untuk mengasihi orang lain itu berasal dari dalam diri kita, padahal firman Tuhan dengan jelas menyatakan bahwa kasih itu berasal dari Allah. Jadi jikalau kita mampu mengasihi dan melepaskan pengampunan kepada orang lain, itu karena kasih dari Allah mengalir di dalam kita dan kita ada di dalam Dia. "Allah adalah kasih, dan barangsiapa tetap berada di dalam kasih, ia tetap berada di dalam Allah dan Allah di dalam dia." (1 Yohanes 4:16b). Dari pihak kita hanya dibutuhkan kemauan, sedangkan kemampuan itu diberikan oleh Allah melalui Roh Kudus-Nya. "Sebab Allah memberikan kepada kita bukan roh ketakutan, melainkan roh yang membangkitkan kekuatan, kasih dan ketertiban." (2 Timotius 1:7). Roh Kudus yang ada di dalam kita itulah yang memampukan kita mengasihi dan mengampuni.
Kalau sampai hari ini kita merasa berat dan sulit mengasihi dan mengampuni orang lain, mungkin kita belum tinggal sepenuhnya di dalam kasih Allah dan belum merasakan sendiri pengampunan dari Tuhan.
Bukankah Tuhan Yesus sudah mengampuni kita melalui kematian-Nya di kayu salib? Masakan kita tidak mau mengampuni orang lain?
Thursday, July 16, 2015
KASIH TUHAN: Dasar Pengampunan (1)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 16 Juli 2015
Baca: 1 Yohanes 4:7-21
"Saudara-saudaraku yang kekasih, jikalau Allah sedemikian mengasihi kita, maka haruslah kita juga saling mengasihi." 1 Yohanes 4:11
Alkitab menyatakan bahwa, "...kasih itu berasal dari Allah; dan setiap orang yang mengasihi, lahir dari Allah dan mengenal Allah. Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih." (1 Yohanes 4:7-8). Pernyataan 'Allah adalah kasih' berarti kasih itu sumbernya dari Allah, dan karena Dia adalah sumber kasih, Ia tidak mungkin kekurangan kasih. Pernyataan 'Allah adalah kasih' juga berarti bahwa Ia tidak dapat dipisahkan dari sifat dasarnya yaitu kasih. Itulah sebabnya Allah Mahapengasih, Mahapenyayang dan Mahapengampun. Jadi, "Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita." (1 Yohanes 4:10).
Adapun kasih Allah kepada kita adalah kasih yang tak bersyarat, buktinya: "...Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa." (Roma 5:8). Ini menunjukkan bahwa Allah mengasihi kita apa pun dan bagaimana pun keadaan kita, bahkan "sejauh timur dari barat, demikian dijauhkan-Nya dari pada kita pelanggaran kita." (Mazmur 103:12). Kita tahu bahwa 'timur dan barat' tidak akan pernah bertemu. Ini adalah gambaran pengampunan Allah: bila Ia menyingkirkan, menjauhkan, dan tidak mengingat-ingatnya lagi. Jelas sekali bahwa walaupun kita berdosa Allah tetap mengasihi kita. Karena Allah adalah kasih maka kasih merupakan hal yang sangat utama dalam kekristenan, itulah sebabnya Allah menghendaki agar anak-anak-Nya mewarisi karakter kasih ini. "...jikalau Allah sedemikian mengasihi kita, maka haruslah kita juga saling mengasihi." (ayat nas).
Kita mengasihi bukan hanya kepada orang lain yang mengasihi kita, tetapi juga terhadap musuh atau orang yang menyakiti kita sekalipun. Tuhan Yesus berkata, "Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar." (Matius 5:44-45).
"Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita." 1 Yohanes 4:19
Baca: 1 Yohanes 4:7-21
"Saudara-saudaraku yang kekasih, jikalau Allah sedemikian mengasihi kita, maka haruslah kita juga saling mengasihi." 1 Yohanes 4:11
Alkitab menyatakan bahwa, "...kasih itu berasal dari Allah; dan setiap orang yang mengasihi, lahir dari Allah dan mengenal Allah. Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih." (1 Yohanes 4:7-8). Pernyataan 'Allah adalah kasih' berarti kasih itu sumbernya dari Allah, dan karena Dia adalah sumber kasih, Ia tidak mungkin kekurangan kasih. Pernyataan 'Allah adalah kasih' juga berarti bahwa Ia tidak dapat dipisahkan dari sifat dasarnya yaitu kasih. Itulah sebabnya Allah Mahapengasih, Mahapenyayang dan Mahapengampun. Jadi, "Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita." (1 Yohanes 4:10).
Adapun kasih Allah kepada kita adalah kasih yang tak bersyarat, buktinya: "...Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa." (Roma 5:8). Ini menunjukkan bahwa Allah mengasihi kita apa pun dan bagaimana pun keadaan kita, bahkan "sejauh timur dari barat, demikian dijauhkan-Nya dari pada kita pelanggaran kita." (Mazmur 103:12). Kita tahu bahwa 'timur dan barat' tidak akan pernah bertemu. Ini adalah gambaran pengampunan Allah: bila Ia menyingkirkan, menjauhkan, dan tidak mengingat-ingatnya lagi. Jelas sekali bahwa walaupun kita berdosa Allah tetap mengasihi kita. Karena Allah adalah kasih maka kasih merupakan hal yang sangat utama dalam kekristenan, itulah sebabnya Allah menghendaki agar anak-anak-Nya mewarisi karakter kasih ini. "...jikalau Allah sedemikian mengasihi kita, maka haruslah kita juga saling mengasihi." (ayat nas).
Kita mengasihi bukan hanya kepada orang lain yang mengasihi kita, tetapi juga terhadap musuh atau orang yang menyakiti kita sekalipun. Tuhan Yesus berkata, "Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar." (Matius 5:44-45).
"Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita." 1 Yohanes 4:19
Wednesday, July 15, 2015
MEMPERLAKUKAN MUSUH DENGAN KASIH
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 15 Juli 2015
Baca: Matius 5:44-48
"Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu." Matius 5:44
Cara yang tepat dalam memperlakukan musuh adalah menunjukkan kasih dan kemurahan hati kepadanya. Tatkala kita menunjukkan kasih, pengampunan, dan kemurahan hati kepada musuh, sesungguhnya kita telah mengejutkan dia, dan dengan tidak melukainya kita telah mengubah dia dari seorang musuh menjadi teman.
Yusuf adalah teladan dalam hal mengasihi musuh. Karena iri hati dan dengki saudara-saudaranya tega membuang Yusuf ke dalam sumur dan menjualnya sebagai budak ke Mesir, yang kemudian menghantarkannya masuk penjara. Namun karena campur tangan Tuhan, kehidupan Yusuf diubahkan: dari seorang budak dan tahanan menjadi seorang penguasa di Mesir. Ketika terjadi kelaparan hebat pergilah saudara-saudara Yusuf ke Mesir demi mendapatkan gandum. Bertemulah Yusuf dengan saudara-saudaranya yang telah menyakiti dan membencinya, tapi keadaan berbeda, Yusuf sudah menjadi penguasa atau orang ke-2 di Mesir. Apa yang diperbuat Yusuf? Bukankah ini kesempatan emas baginya untuk membalas dendam, membalas semua perlakuan mereka di masa lalu? Ternyata Yusuf tidak melakukan hal yang demikian. Ketika bertemu dengan saudara-saudaranya Yusuf justru mendemonstrasikan kasih dan kemurahan hatinya. "...janganlah bersusah hati dan janganlah menyesali diri, karena kamu menjual aku ke sini, sebab untuk memelihara kehidupanlah Allah menyuruh aku mendahului kamu." (Kejadian 45:5), lalu "Yusuf mencium semua saudaranya itu dengan mesra dan ia menangis sambil memeluk mereka." (Kejadian 45:15).
Kasih adalah inti dari Injil dan kekristenan, karena itu sebagai pengikut Kristus kita harus mengikuti jejak Tuhan Yesus dan menjadikan kasih sebagai gaya hidup sehari-hari, sebab "Barangsiapa mengatakan, bahwa ia ada di dalam Dia, ia wajib hidup sama seperti Kristus telah hidup." (1 Yohanes 2:6). Di tengah dunia yang penuh kejahatan, di mana orang suka menerapkan prinsip pembalasan dendam, orang percaya justru dituntut menjadi pribadi yang berbeda dari dunia ini. Kita ditugasi untuk menjadi saluran kasih kepada orang lain sekalipun kita dibenci dan dimusuhi sebagai balasannya.
Kasih dibalas dengan kasih adalah hal biasa, namun bila benci dibalas dengan kasih itu luar biasa, dan itulah yang harus dilakukan oleh orang percaya!
Baca: Matius 5:44-48
"Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu." Matius 5:44
Cara yang tepat dalam memperlakukan musuh adalah menunjukkan kasih dan kemurahan hati kepadanya. Tatkala kita menunjukkan kasih, pengampunan, dan kemurahan hati kepada musuh, sesungguhnya kita telah mengejutkan dia, dan dengan tidak melukainya kita telah mengubah dia dari seorang musuh menjadi teman.
Yusuf adalah teladan dalam hal mengasihi musuh. Karena iri hati dan dengki saudara-saudaranya tega membuang Yusuf ke dalam sumur dan menjualnya sebagai budak ke Mesir, yang kemudian menghantarkannya masuk penjara. Namun karena campur tangan Tuhan, kehidupan Yusuf diubahkan: dari seorang budak dan tahanan menjadi seorang penguasa di Mesir. Ketika terjadi kelaparan hebat pergilah saudara-saudara Yusuf ke Mesir demi mendapatkan gandum. Bertemulah Yusuf dengan saudara-saudaranya yang telah menyakiti dan membencinya, tapi keadaan berbeda, Yusuf sudah menjadi penguasa atau orang ke-2 di Mesir. Apa yang diperbuat Yusuf? Bukankah ini kesempatan emas baginya untuk membalas dendam, membalas semua perlakuan mereka di masa lalu? Ternyata Yusuf tidak melakukan hal yang demikian. Ketika bertemu dengan saudara-saudaranya Yusuf justru mendemonstrasikan kasih dan kemurahan hatinya. "...janganlah bersusah hati dan janganlah menyesali diri, karena kamu menjual aku ke sini, sebab untuk memelihara kehidupanlah Allah menyuruh aku mendahului kamu." (Kejadian 45:5), lalu "Yusuf mencium semua saudaranya itu dengan mesra dan ia menangis sambil memeluk mereka." (Kejadian 45:15).
Kasih adalah inti dari Injil dan kekristenan, karena itu sebagai pengikut Kristus kita harus mengikuti jejak Tuhan Yesus dan menjadikan kasih sebagai gaya hidup sehari-hari, sebab "Barangsiapa mengatakan, bahwa ia ada di dalam Dia, ia wajib hidup sama seperti Kristus telah hidup." (1 Yohanes 2:6). Di tengah dunia yang penuh kejahatan, di mana orang suka menerapkan prinsip pembalasan dendam, orang percaya justru dituntut menjadi pribadi yang berbeda dari dunia ini. Kita ditugasi untuk menjadi saluran kasih kepada orang lain sekalipun kita dibenci dan dimusuhi sebagai balasannya.
Kasih dibalas dengan kasih adalah hal biasa, namun bila benci dibalas dengan kasih itu luar biasa, dan itulah yang harus dilakukan oleh orang percaya!
Tuesday, July 14, 2015
JANGAN MEMBALAS DENDAM (2)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 14 Juli 2015
Baca: Roma 12:17-21
"Janganlah kamu kalah terhadap kejahatan, tetapi kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan!" Roma 12:21
Ketika kita disakiti, dilukai dan dimusuhi, hal yang harus kita lakukan adalah menyerahkan semua permasalahan kita kepada Tuhan dan ijinkan Ia sendri yang bertindak menangani masalah kita. Percayalah bahwa Tuhan punya cara dan waktu yang sesuai dengan kehendak-Nya sendiri. Sebaliknya kalau kita sendiri yang melakukan pembalasan dendam hanya akan menyebabkan rasa gelisah, kalut, stres, damai sejahtera hilang, sukacita hilang dan sebagainya. Menjadi pembenci dan pembalas dendam hanya akan menyengsarakan diri sendiri.
Ada tertulis: "Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka." (Matius 7:12). Jika kita ingin mendapatkan perlakuan yang baik dari orang lain maka kita harus memperlakukan orang lain dengan baik. Sebaliknya jika kita tidak ingin dilukai oleh orang lain jangan sekalipun kita melukai orang lain. Di segala kesempatan kita harus selalu menyatakan kebaikan dan kemurahan kepada orang lain sehingga kebaikan dan kemurahan pula yang akan kita terima sebagai balasannya. "...jika seterumu lapar, berilah dia makan; jika ia haus, berilah dia minum!" (Roma 12:20). Acapkali tindakan membalas dendam terhadap orang lain malah bukan menguntungkan, tapi menjadi bumerang bagi diri sendiri, seperti yang dialami oleh Haman (baca Ester 5:9-14), seorang pembesar dalam pemerintahan Persia, yang begitu benci terhadap orang-orang Yahudi.
Ketika melihat Mordekhai tidak menghormatinya, "...sangat panaslah hati Haman kepada Mordekhai." (Ester 5:9). Itu menunjukkan bahwa Haman gila hormat. Karena merasa tidak dihormati, hati Haman pun dipenuhi kebencian dan amarah terhadap Mordekhai dan berusaha membalas dendam. Ia memerintahkan orang membuat tiang setinggi 50 hasta (50x45cm=225cm) dengan tujuan menyula Mordekhai. Singkat cerita, justru yang disula di atas tiang itu bukannya Mordekhai, tapi Haman sendiri. "Kemudian Haman disulakan pada tiang yang didirikannya untuk Mordekhai." (Ester 7:10).
Jangan menyimpan dendam terhadap orang lain, sebaliknya kita harus membalas kejahatan dengan kebaikan!
Baca: Roma 12:17-21
"Janganlah kamu kalah terhadap kejahatan, tetapi kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan!" Roma 12:21
Ketika kita disakiti, dilukai dan dimusuhi, hal yang harus kita lakukan adalah menyerahkan semua permasalahan kita kepada Tuhan dan ijinkan Ia sendri yang bertindak menangani masalah kita. Percayalah bahwa Tuhan punya cara dan waktu yang sesuai dengan kehendak-Nya sendiri. Sebaliknya kalau kita sendiri yang melakukan pembalasan dendam hanya akan menyebabkan rasa gelisah, kalut, stres, damai sejahtera hilang, sukacita hilang dan sebagainya. Menjadi pembenci dan pembalas dendam hanya akan menyengsarakan diri sendiri.
Ada tertulis: "Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka." (Matius 7:12). Jika kita ingin mendapatkan perlakuan yang baik dari orang lain maka kita harus memperlakukan orang lain dengan baik. Sebaliknya jika kita tidak ingin dilukai oleh orang lain jangan sekalipun kita melukai orang lain. Di segala kesempatan kita harus selalu menyatakan kebaikan dan kemurahan kepada orang lain sehingga kebaikan dan kemurahan pula yang akan kita terima sebagai balasannya. "...jika seterumu lapar, berilah dia makan; jika ia haus, berilah dia minum!" (Roma 12:20). Acapkali tindakan membalas dendam terhadap orang lain malah bukan menguntungkan, tapi menjadi bumerang bagi diri sendiri, seperti yang dialami oleh Haman (baca Ester 5:9-14), seorang pembesar dalam pemerintahan Persia, yang begitu benci terhadap orang-orang Yahudi.
Ketika melihat Mordekhai tidak menghormatinya, "...sangat panaslah hati Haman kepada Mordekhai." (Ester 5:9). Itu menunjukkan bahwa Haman gila hormat. Karena merasa tidak dihormati, hati Haman pun dipenuhi kebencian dan amarah terhadap Mordekhai dan berusaha membalas dendam. Ia memerintahkan orang membuat tiang setinggi 50 hasta (50x45cm=225cm) dengan tujuan menyula Mordekhai. Singkat cerita, justru yang disula di atas tiang itu bukannya Mordekhai, tapi Haman sendiri. "Kemudian Haman disulakan pada tiang yang didirikannya untuk Mordekhai." (Ester 7:10).
Jangan menyimpan dendam terhadap orang lain, sebaliknya kita harus membalas kejahatan dengan kebaikan!
Monday, July 13, 2015
JANGAN MEMBALAS DENDAM (1)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 13 Juli 2015
Baca: Roma 12:17-21
"Janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan; lakukanlah apa yang baik bagi semua orang!" Roma 12:17
Dalam menjalani kehidupan ini tidak selamanya langkah yang kita tempuh mulus dan tanpa aral rintangan. Terkadang dalam membangun hubungan dengan orang lain kita dihadapkan pada konflik atau perselisihan, dan hal itu bisa terjadi kapan saja dan di mana saja, entah itu di lingkungan rumah tinggal, sekolah, kantor, bahkan di gereja sekalipun. Mengapa konflik atau perselisihan bisa terjadi? Karena tiap-tiap orang memiliki karakter yang berbeda, latar belakang yang berbeda, ide dan juga pendapat yang berbeda-beda pula, maka tidaklah mengherankan bila sekali waktu timbul suatu ketegangan dan bahkan bisa menyebabkan rasa kecewa, sakit hati, amarah, kebencian, yang kesemuanya berujung kepada semua permusuhan.
Cara salah yang seringkali dipakai oleh orang dunia ketika berhadapan dengan orang yang mengecewakan, melukai, menyakiti, melawan dan memusuhi adalah melakukan tindakan balas dendam. Inilah prinsip dunia yaitu memperlakukan musuh sebagaimana ia sudah diperlakukan, atau dengan kata lain, membalas musuh setimpal dengan perbuatannya, bahkan kalau bisa pembalasan itu lebih kejam dari perbuatannya. Namun sebagai orang percaya sikap dan pikiran untuk membalas dendam harus kita buang jauh-jauh dan tidak boleh timbul di dalam hati, terlebih-lebih dalam tindakan. Pada dasarnya orang yang menaruh dendam di dalam hati akan selalu mengekspresikan dendamnya itu dalam perkataan dan perbuatan yang negatif.
Mengapa kita tidak diperkenankan membalas dendam terhadap musuh? Rasul Paulus menasihati, "Saudara-saudaraku yang kekasih, janganlah kamu sendiri menuntut pembalasan," (ayat 19). Tidak membalas dendam adalah kehendak Tuhan! Jadi orang yang mencari kesempatan untuk membalaskan sakit hati dan dendamnya kepada musuh jelas-jelas telah melawan kehendak Tuhan, sebab "Pembalasan itu adalah hak-Ku. Akulah yang akan menuntut pembalasan," (ayat 19). Siapa pun yang berusaha dengan kekuatan sendiri untuk membalas dendam berarti ia telah mencuri hak mutlak kepunyaan Tuhan.
Pembalasan itu bukan hak kita melainkan hak Tuhan sepenuhnya, Ia punya cara dan waktu-Nya sendiri untuk menangani masalah kita.
Baca: Roma 12:17-21
"Janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan; lakukanlah apa yang baik bagi semua orang!" Roma 12:17
Dalam menjalani kehidupan ini tidak selamanya langkah yang kita tempuh mulus dan tanpa aral rintangan. Terkadang dalam membangun hubungan dengan orang lain kita dihadapkan pada konflik atau perselisihan, dan hal itu bisa terjadi kapan saja dan di mana saja, entah itu di lingkungan rumah tinggal, sekolah, kantor, bahkan di gereja sekalipun. Mengapa konflik atau perselisihan bisa terjadi? Karena tiap-tiap orang memiliki karakter yang berbeda, latar belakang yang berbeda, ide dan juga pendapat yang berbeda-beda pula, maka tidaklah mengherankan bila sekali waktu timbul suatu ketegangan dan bahkan bisa menyebabkan rasa kecewa, sakit hati, amarah, kebencian, yang kesemuanya berujung kepada semua permusuhan.
Cara salah yang seringkali dipakai oleh orang dunia ketika berhadapan dengan orang yang mengecewakan, melukai, menyakiti, melawan dan memusuhi adalah melakukan tindakan balas dendam. Inilah prinsip dunia yaitu memperlakukan musuh sebagaimana ia sudah diperlakukan, atau dengan kata lain, membalas musuh setimpal dengan perbuatannya, bahkan kalau bisa pembalasan itu lebih kejam dari perbuatannya. Namun sebagai orang percaya sikap dan pikiran untuk membalas dendam harus kita buang jauh-jauh dan tidak boleh timbul di dalam hati, terlebih-lebih dalam tindakan. Pada dasarnya orang yang menaruh dendam di dalam hati akan selalu mengekspresikan dendamnya itu dalam perkataan dan perbuatan yang negatif.
Mengapa kita tidak diperkenankan membalas dendam terhadap musuh? Rasul Paulus menasihati, "Saudara-saudaraku yang kekasih, janganlah kamu sendiri menuntut pembalasan," (ayat 19). Tidak membalas dendam adalah kehendak Tuhan! Jadi orang yang mencari kesempatan untuk membalaskan sakit hati dan dendamnya kepada musuh jelas-jelas telah melawan kehendak Tuhan, sebab "Pembalasan itu adalah hak-Ku. Akulah yang akan menuntut pembalasan," (ayat 19). Siapa pun yang berusaha dengan kekuatan sendiri untuk membalas dendam berarti ia telah mencuri hak mutlak kepunyaan Tuhan.
Pembalasan itu bukan hak kita melainkan hak Tuhan sepenuhnya, Ia punya cara dan waktu-Nya sendiri untuk menangani masalah kita.
Sunday, July 12, 2015
KRITIKAN YANG MELEMAHKAN
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 12 Juli 2015
Baca: 1 Samuel 17:23-39
"Mengapa engkau datang? Dan pada siapakah kautinggalkan kambing domba yang dua tiga ekor itu di padang gurun? Aku kenal sifat pemberanimu dan kejahatan hatimu: engkau datang ke mari dengan maksud melihat pertempuran." 1 Samuel 17:28
Adalah mudah bagi seseorang untuk menilai dan mengkritik kinerja orang lain. Bahkan kegiatan kritik-mengkritik ini sudah sering terjadi dan menjadi hal yang sangat biasa di kalangan orang percaya, baik itu di pekerjaan konvensional, terlebih-lebih dalam dunia pelayanan. Teman mengkritik teman, pelayan Tuhan mengkritik rekan sepelayanan, dan bahkan banyak jemaat yang begitu gencar mengkritik kinerja hamba-hamba Tuhan.
Arti kata kritik adalah: suatu kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat dan sebagainya. Secara garis besar ada dua jenis kritikan yaitu yang bersifat membangun (konstruktif) dan yang sifatnya menghancurkan (destruktif). Kritikan yang membangun umumnya dilakukan oleh orang-orang yang begitu peduli kepada kita atau sahabat-sahabat yang begitu tulus mengasihi kita. "Lebih baik teguran yang nyata-nyata dari pada kasih yang tersembunyi." (Amsal 27:5), sebab "...teguran yang mendidik itu jalan kehidupan," (Amsal 6:23). Orang yang tulus hati akan mengkritik dengan tujuan memotivasi dan membangun, sehingga ia juga akan memberi solusi. Sementara kritikan yang menghancurkan adalah yang semata-mata bertujuan untuk melemahkan. Kritikan ini cenderung menghakimi dan mencari-cari kesalahan orang lain. Inilah yang seringkali terjadi: kita mengkritik orang lain, membesar-besarkan kelemahan dan kekurangan mereka dan bahkan mempermalukannya di depan banyak orang.
Kritikan yang melemahkan juga dialami Daud. Ia dikritik dan diremehkan oleh kakaknya (ayat nas), Saul: "Tidak mungkin engkau dapat menghadapi orang Filistin itu untuk melawan dia, sebab engkau masih muda, sedang dia sejak dari masa mudanya telah menjadi prajurit." (1 Samuel 17:330. Untunglah Daud memiliki penguasaan diri dan rendah hati, sehingga ketika dikritik ia tidak pernah patah arang dan kecewa, melainkan menyikapinya dengan positif.
Andai Daud sakit hati, mungkin ia akan bergegas pulang dan ia pun tidak beroleh kesempatan untuk mendemonstrasikan kuasa Tuhan di hadapan Goliat!
Baca: 1 Samuel 17:23-39
"Mengapa engkau datang? Dan pada siapakah kautinggalkan kambing domba yang dua tiga ekor itu di padang gurun? Aku kenal sifat pemberanimu dan kejahatan hatimu: engkau datang ke mari dengan maksud melihat pertempuran." 1 Samuel 17:28
Adalah mudah bagi seseorang untuk menilai dan mengkritik kinerja orang lain. Bahkan kegiatan kritik-mengkritik ini sudah sering terjadi dan menjadi hal yang sangat biasa di kalangan orang percaya, baik itu di pekerjaan konvensional, terlebih-lebih dalam dunia pelayanan. Teman mengkritik teman, pelayan Tuhan mengkritik rekan sepelayanan, dan bahkan banyak jemaat yang begitu gencar mengkritik kinerja hamba-hamba Tuhan.
Arti kata kritik adalah: suatu kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat dan sebagainya. Secara garis besar ada dua jenis kritikan yaitu yang bersifat membangun (konstruktif) dan yang sifatnya menghancurkan (destruktif). Kritikan yang membangun umumnya dilakukan oleh orang-orang yang begitu peduli kepada kita atau sahabat-sahabat yang begitu tulus mengasihi kita. "Lebih baik teguran yang nyata-nyata dari pada kasih yang tersembunyi." (Amsal 27:5), sebab "...teguran yang mendidik itu jalan kehidupan," (Amsal 6:23). Orang yang tulus hati akan mengkritik dengan tujuan memotivasi dan membangun, sehingga ia juga akan memberi solusi. Sementara kritikan yang menghancurkan adalah yang semata-mata bertujuan untuk melemahkan. Kritikan ini cenderung menghakimi dan mencari-cari kesalahan orang lain. Inilah yang seringkali terjadi: kita mengkritik orang lain, membesar-besarkan kelemahan dan kekurangan mereka dan bahkan mempermalukannya di depan banyak orang.
Kritikan yang melemahkan juga dialami Daud. Ia dikritik dan diremehkan oleh kakaknya (ayat nas), Saul: "Tidak mungkin engkau dapat menghadapi orang Filistin itu untuk melawan dia, sebab engkau masih muda, sedang dia sejak dari masa mudanya telah menjadi prajurit." (1 Samuel 17:330. Untunglah Daud memiliki penguasaan diri dan rendah hati, sehingga ketika dikritik ia tidak pernah patah arang dan kecewa, melainkan menyikapinya dengan positif.
Andai Daud sakit hati, mungkin ia akan bergegas pulang dan ia pun tidak beroleh kesempatan untuk mendemonstrasikan kuasa Tuhan di hadapan Goliat!
Saturday, July 11, 2015
MENGANDALKAN TUHAN: Menang Terhadap Masalah
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 11 Juli 2015
Baca: 1 Samuel 17:40-58
"Engkau mendatangi aku dengan pedang dan tombak dan lembing, tetapi aku mendatangi engkau dengan nama TUHAN semesta alam, Allah segala barisan Israel yang kautantang itu." 1 Samuel 17:45
Mari kita belajar dari sikap Daud menghadapi Goliat. Secara logika, ditinjau dari sudut mana pun, Daud kalah, tapi ia tidak gentar sedikit pun ketika harus berhadapan dengan raksasa Filistin itu. Mengapa bisa demikian? Daud sadar bahwa ia tidak menghadapinya sendirian, ada Tuhan yang siap menopang. Ini menunjukkan bahwa Daud senantiasa mengandalkan Tuhan. "Diberkatilah orang yang mengandalkan TUHAN, yang menaruh harapannya pada TUHAN!" (Yeremia 17:7). Daud berkata, "TUHAN di pihakku. Aku tidak akan takut. Apakah yang dapat dilakukan manusia terhadap aku?" (Mazmur 118:6), karena itu "Lebih baik berlindung pada TUHAN dari pada percaya kepada manusia." (Mazmur 118:8). Jika Tuhan ada di pihak kita tidak ada perkara yang mustahil; jika Tuhan ada di pihak kita tidak ada persoalan yang tidak ada jalan keluarnya; dan jika Tuhan ada di pihak kita segala sesuatu dapat kita tanggung bersama Dia.
Daud tidak takut kepada Goliat karena ia senantiasa mengingat-ingat akan kebesaran kuasa Tuhan dan campur tangan-Nya di waktu-waktu sebelumnya. "TUHAN yang telah melepaskan aku dari cakar singa dan dari cakar beruang, Dia juga akan melepaskan aku dari tangan orang Filistin itu." (1 Samuel 17:37). Pengalaman bersama Tuhan inilah yang mendorongnya untuk selalu berpikiran positif dan bersikap optimis dalam menghadapi Goliat sekalipun. Optimis bukan berarti membanggakan diri atau takabur, tetapi sikap percaya diri yang positif karena tahu kepada siapa ia menaruh pengharapan. "Aku hendak mengingat perbuatan-perbuatan TUHAN, ya, aku hendak mengingat keajaiban-keajaiban-Mu dari zaman purbakala." (Mazmur 77:12).
Orang-orang Israel merasa ketakutan oleh karena mereka hanya terfokus kepada Goliat yang besar, tetapi Daud tidak, karena ia senantiasa mengarahkan pandangannya kepada Tuhan dan mengingat-ingat peristiwa yang lalu saat Tuhan menolongnya dan melepaskannya dari masalah-masalah sebelumnya.
Kalau dulu Tuhan tolong, sekarang pun kita percaya Tuhan pasti akan menolong, karena Dia adalah Tuhan yang tidak berubah!
Baca: 1 Samuel 17:40-58
"Engkau mendatangi aku dengan pedang dan tombak dan lembing, tetapi aku mendatangi engkau dengan nama TUHAN semesta alam, Allah segala barisan Israel yang kautantang itu." 1 Samuel 17:45
Mari kita belajar dari sikap Daud menghadapi Goliat. Secara logika, ditinjau dari sudut mana pun, Daud kalah, tapi ia tidak gentar sedikit pun ketika harus berhadapan dengan raksasa Filistin itu. Mengapa bisa demikian? Daud sadar bahwa ia tidak menghadapinya sendirian, ada Tuhan yang siap menopang. Ini menunjukkan bahwa Daud senantiasa mengandalkan Tuhan. "Diberkatilah orang yang mengandalkan TUHAN, yang menaruh harapannya pada TUHAN!" (Yeremia 17:7). Daud berkata, "TUHAN di pihakku. Aku tidak akan takut. Apakah yang dapat dilakukan manusia terhadap aku?" (Mazmur 118:6), karena itu "Lebih baik berlindung pada TUHAN dari pada percaya kepada manusia." (Mazmur 118:8). Jika Tuhan ada di pihak kita tidak ada perkara yang mustahil; jika Tuhan ada di pihak kita tidak ada persoalan yang tidak ada jalan keluarnya; dan jika Tuhan ada di pihak kita segala sesuatu dapat kita tanggung bersama Dia.
Daud tidak takut kepada Goliat karena ia senantiasa mengingat-ingat akan kebesaran kuasa Tuhan dan campur tangan-Nya di waktu-waktu sebelumnya. "TUHAN yang telah melepaskan aku dari cakar singa dan dari cakar beruang, Dia juga akan melepaskan aku dari tangan orang Filistin itu." (1 Samuel 17:37). Pengalaman bersama Tuhan inilah yang mendorongnya untuk selalu berpikiran positif dan bersikap optimis dalam menghadapi Goliat sekalipun. Optimis bukan berarti membanggakan diri atau takabur, tetapi sikap percaya diri yang positif karena tahu kepada siapa ia menaruh pengharapan. "Aku hendak mengingat perbuatan-perbuatan TUHAN, ya, aku hendak mengingat keajaiban-keajaiban-Mu dari zaman purbakala." (Mazmur 77:12).
Orang-orang Israel merasa ketakutan oleh karena mereka hanya terfokus kepada Goliat yang besar, tetapi Daud tidak, karena ia senantiasa mengarahkan pandangannya kepada Tuhan dan mengingat-ingat peristiwa yang lalu saat Tuhan menolongnya dan melepaskannya dari masalah-masalah sebelumnya.
Kalau dulu Tuhan tolong, sekarang pun kita percaya Tuhan pasti akan menolong, karena Dia adalah Tuhan yang tidak berubah!
Friday, July 10, 2015
MASALAH: Goliat Yang Menakutkan
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 10 Juli 2015
Baca: 1 Samuel 17:1-11
"Ketika Saul dan segenap orang Israel mendengar perkataan orang Filistin itu, maka cemaslah hati mereka dan sangat ketakutan." 1 Samuel 17:11
Suatu ketika bangsa Israel menghadapi tantangan yang sangat berat dimana mereka harus berhadapan dengan orang-orang Filistin. Salah seorang pendekar dari tentara orang Filistin itu bernama Goliat yang perawakannya seperti raksasa, "Tingginya enam hasta sejengkal. Ketopong tembaga ada di kepalanya, dan ia memakai baju zirah yang bersisik; berat baju zirah ini lima ribu syikal tembaga. Dia memakai penutup kaki dari tembaga, dan di bahunya ia memanggul lembing tembaga. Gagang tombaknya seperti pesa tukang tenun, dan mata tombaknya itu enam ratus syikal besi beratnya. Dan seorang pembawa perisai berjalan di depannya." (1 Samuel 17:4b-7). Akibatnya Saul dan segenap orang Israel menjadi cemas dan takut.
Cemas merupakan penyakit hati yang dialami oleh setiap manusia ketika manusia tersebut tidak yakin dan percaya terhadap apa yang ia lakukan atau terhadap apa yang orang lain perbuat. Rasa cemas terkadang sangat menyiksa batin setiap orang yang sedang mengalami perasaan tersebut. Cemas sendiri sebenarnya adalah bagian dari rasa takut. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dijelaskan bahwa arti kata cemas adalah perasaan tidak tenteramnya hati atau kegelisahan hati. Sedangkan salah satu arti kata takut adalah merasa gentar (ngeri) menghadapi sesuatu yang dianggap akan mendatangkan bencana. Demikian pula dalam kehidupan ini, ketika dihadapkan pada masalah yang besar acapkali hati kita diliputi oleh rasa cemas dan takut. Kita menyikapi masalah dengan respons hati yang negatif, memandang masalah seperti Goliat yang siap menghancurkan hidup kita. Kecemasan dan ketakutan timbul ketika kita selalu berpikiran negatif dengan melihat masalah sebagai raksasa besar yang sulit dikalahkan dan sepertinya tidak ada jalan keluarnya. Ada tertulis: "Karena yang kutakutkan, itulah yang menimpa aku, dan yang kucemaskan, itulah yang mendatangi aku." (Ayub 3:25).
Rasa cemas dan takut hanya akan menimbulkan sikap pesimis sehingga kita dipenuhi keraguan dan tidak lagi percaya kepada kuasa Tuhan, bahkan kita menganggap Tuhan tidak punya arti apa-apa dibandingkan dengan besarnya masalah yang kita hadapi.
Haruskah orang percaya bersikap demikian?
Baca: 1 Samuel 17:1-11
"Ketika Saul dan segenap orang Israel mendengar perkataan orang Filistin itu, maka cemaslah hati mereka dan sangat ketakutan." 1 Samuel 17:11
Suatu ketika bangsa Israel menghadapi tantangan yang sangat berat dimana mereka harus berhadapan dengan orang-orang Filistin. Salah seorang pendekar dari tentara orang Filistin itu bernama Goliat yang perawakannya seperti raksasa, "Tingginya enam hasta sejengkal. Ketopong tembaga ada di kepalanya, dan ia memakai baju zirah yang bersisik; berat baju zirah ini lima ribu syikal tembaga. Dia memakai penutup kaki dari tembaga, dan di bahunya ia memanggul lembing tembaga. Gagang tombaknya seperti pesa tukang tenun, dan mata tombaknya itu enam ratus syikal besi beratnya. Dan seorang pembawa perisai berjalan di depannya." (1 Samuel 17:4b-7). Akibatnya Saul dan segenap orang Israel menjadi cemas dan takut.
Cemas merupakan penyakit hati yang dialami oleh setiap manusia ketika manusia tersebut tidak yakin dan percaya terhadap apa yang ia lakukan atau terhadap apa yang orang lain perbuat. Rasa cemas terkadang sangat menyiksa batin setiap orang yang sedang mengalami perasaan tersebut. Cemas sendiri sebenarnya adalah bagian dari rasa takut. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dijelaskan bahwa arti kata cemas adalah perasaan tidak tenteramnya hati atau kegelisahan hati. Sedangkan salah satu arti kata takut adalah merasa gentar (ngeri) menghadapi sesuatu yang dianggap akan mendatangkan bencana. Demikian pula dalam kehidupan ini, ketika dihadapkan pada masalah yang besar acapkali hati kita diliputi oleh rasa cemas dan takut. Kita menyikapi masalah dengan respons hati yang negatif, memandang masalah seperti Goliat yang siap menghancurkan hidup kita. Kecemasan dan ketakutan timbul ketika kita selalu berpikiran negatif dengan melihat masalah sebagai raksasa besar yang sulit dikalahkan dan sepertinya tidak ada jalan keluarnya. Ada tertulis: "Karena yang kutakutkan, itulah yang menimpa aku, dan yang kucemaskan, itulah yang mendatangi aku." (Ayub 3:25).
Rasa cemas dan takut hanya akan menimbulkan sikap pesimis sehingga kita dipenuhi keraguan dan tidak lagi percaya kepada kuasa Tuhan, bahkan kita menganggap Tuhan tidak punya arti apa-apa dibandingkan dengan besarnya masalah yang kita hadapi.
Haruskah orang percaya bersikap demikian?
Thursday, July 9, 2015
FIRMAN TUHAN: Jangan diremehkan!
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 9 Juli 2015
Baca: Amsal 13:1-25
"Siapa meremehkan firman, ia akan menanggung akibatnya, tetapi siapa taat kepada perintah, akan menerima balasan." Amsal 13:13
Kata meremehkan dapat diartikan: menganggap tidak berarti. Meremehkan atau menganggap tidak berarti firman Tuhan dapat menimbulkan sikap tidak percaya, ragu-ragu dan bahkan menolak firman itu sendiri. Segala sesuatu yang menimbulkan ketidakpercayaan terhadap firman Tuhan pasti akan berakibat sangat fatal. Itulah sebabnya karena kasih-Nya kepada manusia maka Tuhan terlebih dahulu memberitahukan segala sesuatu melalui firman-Nya tentang apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Tetapi seringkali manusia memilih untuk tidak taat atau melanggar perintah Tuhan sebagai tanda bahwa ia menganggap remeh firman-Nya.
Suatu ketika Tuhan berfirman kepada manusia, "Semua pohon dalam taman ini boleh kaumakan buahnya dengan bebas, tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kaumakan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati." (Kejadian 2:16-17). Tetapi Hawa lebih tertarik dan setuju dengan kebohongan si ular untuk memakan buah yang dilarang Tuhan. Di dalam hati Hawa mulai timbul ketidakpercayaan atau keragu-raguan terhadap firman Tuhan, bukti bahwa ia meremehkan firman yang disampaikan oleh Tuhan.
Seringkali kita pun bersikap dan berlaku seperti Hawa dalam menanggapi firman Tuhan, dimana kita lebih memilih melakukan apa yang dilarang dan tidak mau melakukan apa kehendak-Nya. Kita memilih melakukan sesuatu yang menyenangkan daging kita yang tampak nikmat meski sesaat, padahal hal itu membawa akibat yang sangat mengerikan. Karena telah meremehkan firman Adam dan Hawa harus menanggung akibatnya: kehilangan damai sejahtera dan hidup dalam ketakutan, "...bersembunyilah manusia dan isterinya itu terhadap TUHAN Allah di antara pohon-pohonan dalam taman." (Kejadian 3:8), mereka pun berkata: "Ketika aku mendengar, bahwa Engkau ada dalam taman ini, aku menjadi takut, karena aku telanjang; sebab itu aku bersembunyi." (Kejadian 3:10); hidup dalam susah payah (Kejadian 3:16-19); kehilangan kepercayaan dari Tuhan, sehingga mereka terusir dari taman Eden (Kejadian 3:23-24).
Jangan sekali pun meremehkan firman, karena Tuhan tidak bisa dipermainkan!
Baca: Amsal 13:1-25
"Siapa meremehkan firman, ia akan menanggung akibatnya, tetapi siapa taat kepada perintah, akan menerima balasan." Amsal 13:13
Kata meremehkan dapat diartikan: menganggap tidak berarti. Meremehkan atau menganggap tidak berarti firman Tuhan dapat menimbulkan sikap tidak percaya, ragu-ragu dan bahkan menolak firman itu sendiri. Segala sesuatu yang menimbulkan ketidakpercayaan terhadap firman Tuhan pasti akan berakibat sangat fatal. Itulah sebabnya karena kasih-Nya kepada manusia maka Tuhan terlebih dahulu memberitahukan segala sesuatu melalui firman-Nya tentang apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Tetapi seringkali manusia memilih untuk tidak taat atau melanggar perintah Tuhan sebagai tanda bahwa ia menganggap remeh firman-Nya.
Suatu ketika Tuhan berfirman kepada manusia, "Semua pohon dalam taman ini boleh kaumakan buahnya dengan bebas, tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kaumakan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati." (Kejadian 2:16-17). Tetapi Hawa lebih tertarik dan setuju dengan kebohongan si ular untuk memakan buah yang dilarang Tuhan. Di dalam hati Hawa mulai timbul ketidakpercayaan atau keragu-raguan terhadap firman Tuhan, bukti bahwa ia meremehkan firman yang disampaikan oleh Tuhan.
Seringkali kita pun bersikap dan berlaku seperti Hawa dalam menanggapi firman Tuhan, dimana kita lebih memilih melakukan apa yang dilarang dan tidak mau melakukan apa kehendak-Nya. Kita memilih melakukan sesuatu yang menyenangkan daging kita yang tampak nikmat meski sesaat, padahal hal itu membawa akibat yang sangat mengerikan. Karena telah meremehkan firman Adam dan Hawa harus menanggung akibatnya: kehilangan damai sejahtera dan hidup dalam ketakutan, "...bersembunyilah manusia dan isterinya itu terhadap TUHAN Allah di antara pohon-pohonan dalam taman." (Kejadian 3:8), mereka pun berkata: "Ketika aku mendengar, bahwa Engkau ada dalam taman ini, aku menjadi takut, karena aku telanjang; sebab itu aku bersembunyi." (Kejadian 3:10); hidup dalam susah payah (Kejadian 3:16-19); kehilangan kepercayaan dari Tuhan, sehingga mereka terusir dari taman Eden (Kejadian 3:23-24).
Jangan sekali pun meremehkan firman, karena Tuhan tidak bisa dipermainkan!
Wednesday, July 8, 2015
TAAT KEPADA ORANG TUA
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 8 Juli 2015
Baca: 1 Samuel 17:12-22
"Lalu Daud bangun pagi-pagi, ditinggalkannyalah kambing dombanya pada seorang penjaga, lalu mengangkat muatan dan pergi, seperti yang diperintahkan Isai kepadanya." 1 Samuel 17:20a
Adalah keharusan seorang anak taat dan patuh kepada orangtuanya. Demikian pentingnya menghormati orangtua sehingga Tuhan memasukkan perintah ini sebagai bagian dari sepuluh hukum Taurat! "Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu." (Keluaran 20:12), dan kembali ditegaskan dalam Ulangan 5:16, "Hormatilah ayahmu dan ibumu, seperti yang diperintahkan kepadamu oleh TUHAN, Allahmu, supaya lanjut umurmu dan baik keadaanmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu." Jadi hormat dan taat kepada orang tua adalah perintah yang tidak boleh diremehkan atau diabaikan. Tuhan menyediakan berkat-Nya bagi anak-anak yang mau taat dan hormat kepada orangtuanya.
Daud adalah contoh seorang anak yang taat kepada orangtuanya! Ketika mendapat perintah dari ayahnya, "Ambillah untuk kakak-kakakmu bertih gandum ini seefa dan roti yang sepuluh ini; bawalah cepat-cepat ke perkemahan, kepada kakak-kakakmu. Dan baiklah sampaikan keju yang sepuluh ini kepada kepala pasukan seribu. Tengoklah apakah kakak-kakakmu selamat dan bawalah pulang suatu tanda dari mereka." (1 Samuel 17:17-18), maka segeralah ia mengerjakan apa yang disuruh. Tanpa menunda-nunda waktu ia bangun pagi-pagi dan segeralah "...mengangkat muatan dan pergi, seperti yang diperintahkan Isai kepadanya." (1 Samuel 17:20). Bangun pagi-pagi menyiratkan bahwa Daud adalah seorang yang rajin. Selain taat Daud adalah seorang yang bertanggung jawab, terlihat dari cara ia meninggalkan tugas pekerjaan yang sedang dilakukannya yaitu menitipkan terlebih dahulu kambing dombanya kepada seorang penjaga, dan barulah ia pergi.
Di zaman sekarang ini ada banyak anak muda yang kurang menghormati orangtuanya dan suka sekali membantah perintah orangtua. Padahal ketaatan kepada orangtua akan melatih dan membentuk kita untuk bisa taat kepada Tuhan.
Jika kepada pribadi yang tampak secara kasat mata saja kita tidak bisa taat, bagaimana mungkin kita akan taat kepada Tuhan yang tidak keliatan?
Baca: 1 Samuel 17:12-22
"Lalu Daud bangun pagi-pagi, ditinggalkannyalah kambing dombanya pada seorang penjaga, lalu mengangkat muatan dan pergi, seperti yang diperintahkan Isai kepadanya." 1 Samuel 17:20a
Adalah keharusan seorang anak taat dan patuh kepada orangtuanya. Demikian pentingnya menghormati orangtua sehingga Tuhan memasukkan perintah ini sebagai bagian dari sepuluh hukum Taurat! "Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu." (Keluaran 20:12), dan kembali ditegaskan dalam Ulangan 5:16, "Hormatilah ayahmu dan ibumu, seperti yang diperintahkan kepadamu oleh TUHAN, Allahmu, supaya lanjut umurmu dan baik keadaanmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu." Jadi hormat dan taat kepada orang tua adalah perintah yang tidak boleh diremehkan atau diabaikan. Tuhan menyediakan berkat-Nya bagi anak-anak yang mau taat dan hormat kepada orangtuanya.
Daud adalah contoh seorang anak yang taat kepada orangtuanya! Ketika mendapat perintah dari ayahnya, "Ambillah untuk kakak-kakakmu bertih gandum ini seefa dan roti yang sepuluh ini; bawalah cepat-cepat ke perkemahan, kepada kakak-kakakmu. Dan baiklah sampaikan keju yang sepuluh ini kepada kepala pasukan seribu. Tengoklah apakah kakak-kakakmu selamat dan bawalah pulang suatu tanda dari mereka." (1 Samuel 17:17-18), maka segeralah ia mengerjakan apa yang disuruh. Tanpa menunda-nunda waktu ia bangun pagi-pagi dan segeralah "...mengangkat muatan dan pergi, seperti yang diperintahkan Isai kepadanya." (1 Samuel 17:20). Bangun pagi-pagi menyiratkan bahwa Daud adalah seorang yang rajin. Selain taat Daud adalah seorang yang bertanggung jawab, terlihat dari cara ia meninggalkan tugas pekerjaan yang sedang dilakukannya yaitu menitipkan terlebih dahulu kambing dombanya kepada seorang penjaga, dan barulah ia pergi.
Di zaman sekarang ini ada banyak anak muda yang kurang menghormati orangtuanya dan suka sekali membantah perintah orangtua. Padahal ketaatan kepada orangtua akan melatih dan membentuk kita untuk bisa taat kepada Tuhan.
Jika kepada pribadi yang tampak secara kasat mata saja kita tidak bisa taat, bagaimana mungkin kita akan taat kepada Tuhan yang tidak keliatan?
Tuesday, July 7, 2015
DUNIA: Persinggahan Sementara
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 7 Juli 2015
Baca: Mazmur 39:1-14
"...aku pendatang seperti semua nenek moyangku. Alihkanlah pandangan-Mu dari padaku, supaya aku bersukacita sebelum aku pergi dan tidak ada lagi!" Mazmur 39:13b-14.
Karena hidup di dunia ini hanya sementara waktu maka kita harus mengembangkan semua talenta yang telah dipercayakan Tuhan kepada kita, agar kelak ketika Tuhan Yesus datang kita dapat mempertanggungjawabkannya seperti hamba yang setia, sehingga si tuan berkata: "Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu." (Matius 25:21). Tuhan Yesus berkata, "Di rumah Bapa-Ku banyak tempat tinggal. Jika tidak demikian, tentu Aku mengatakannya kepadamu. Sebab Aku pergi ke situ untuk menyediakan tempat bagimu. Dan apabila Aku telah pergi ke situ dan telah menyediakan tempat bagimu, Aku akan datang kembali dan membawa kamu ke tempat-Ku, supaya di tempat di mana Aku berada, kamupun berada." (Yohanes 14:2-3).
Perkara sorgawi harus menjadi fokus dan prioritas utama kita, bukan yang ada di dunia ini, "Sebab kamu telah mati dan hidupmu tersembunyi bersama dengan Kristus di dalam Allah. Apabila Kristus, yang adalah hidup kita, menyatakan diri kelak, kamupun akan menyatakan diri bersama dengan Dia dalam kemuliaan." (Kolose 3:3-4). Karena itu apa pun yang dikerjakan di dunia ini harus untuk sesuatu yang telah Tuhan tetapkan. Jika menyadari ini kita akan membuat pilihan hidup yang benar, memprioritaskan sesuatu yang bersifat kekal lebih daripada hal-hal yang sifatnya fana. "Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu." (Filipi 4:8).
Karena dunia ini hanyalah tempat persinggahan sementara, seberat apa pun tantangan, ujian dan penderitaan takkan melemahkan dan membuat kita menyerah di tengah jalan. Walaupun situasi sulit dan tidak menyenangkan sekalipun, kita akan tetap sabar, tidak mengeluh dan bersungut-sungut. "Hendaklah engkau setia sampai mati, dan Aku akan mengaruniakan kepadamu mahkota kehidupan." (Wahyu 2:10).
"Sebab aku yakin, bahwa penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita." Roma 8:18
Baca: Mazmur 39:1-14
"...aku pendatang seperti semua nenek moyangku. Alihkanlah pandangan-Mu dari padaku, supaya aku bersukacita sebelum aku pergi dan tidak ada lagi!" Mazmur 39:13b-14.
Karena hidup di dunia ini hanya sementara waktu maka kita harus mengembangkan semua talenta yang telah dipercayakan Tuhan kepada kita, agar kelak ketika Tuhan Yesus datang kita dapat mempertanggungjawabkannya seperti hamba yang setia, sehingga si tuan berkata: "Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu." (Matius 25:21). Tuhan Yesus berkata, "Di rumah Bapa-Ku banyak tempat tinggal. Jika tidak demikian, tentu Aku mengatakannya kepadamu. Sebab Aku pergi ke situ untuk menyediakan tempat bagimu. Dan apabila Aku telah pergi ke situ dan telah menyediakan tempat bagimu, Aku akan datang kembali dan membawa kamu ke tempat-Ku, supaya di tempat di mana Aku berada, kamupun berada." (Yohanes 14:2-3).
Perkara sorgawi harus menjadi fokus dan prioritas utama kita, bukan yang ada di dunia ini, "Sebab kamu telah mati dan hidupmu tersembunyi bersama dengan Kristus di dalam Allah. Apabila Kristus, yang adalah hidup kita, menyatakan diri kelak, kamupun akan menyatakan diri bersama dengan Dia dalam kemuliaan." (Kolose 3:3-4). Karena itu apa pun yang dikerjakan di dunia ini harus untuk sesuatu yang telah Tuhan tetapkan. Jika menyadari ini kita akan membuat pilihan hidup yang benar, memprioritaskan sesuatu yang bersifat kekal lebih daripada hal-hal yang sifatnya fana. "Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu." (Filipi 4:8).
Karena dunia ini hanyalah tempat persinggahan sementara, seberat apa pun tantangan, ujian dan penderitaan takkan melemahkan dan membuat kita menyerah di tengah jalan. Walaupun situasi sulit dan tidak menyenangkan sekalipun, kita akan tetap sabar, tidak mengeluh dan bersungut-sungut. "Hendaklah engkau setia sampai mati, dan Aku akan mengaruniakan kepadamu mahkota kehidupan." (Wahyu 2:10).
"Sebab aku yakin, bahwa penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita." Roma 8:18
Monday, July 6, 2015
SORGA: Tempat Tinggal Kita
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 6 Juli 2015
Baca: Kolose 3:1-4
"Pikirkanlah perkara yang di atas, bukan yang di bumi." Kolose 3:2
Rasul Paulus menasihatkan agar setiap orang percaya senantiasa memusatkan pikirannya kepada perkara yang di atas dan mengutamakan perkara rohani lebih dari apa pun yang ada di dunia ini. Mengapa? Karena dunia bukanlah tempat tinggal permanen bagi orang percaya. Dunia adalah tempat sementara untuk didiami karena kita tak lebih dari seorang pendatang atau penumpang saja. Kewargaan kita yang sesungguhnya adalah Kerajaan Sorga. "Karena kami tahu, bahwa jika kemah tempat kediaman kita di bumi ini dibongkar, Allah telah menyediakan suatu tempat kediaman di sorga bagi kita, suatu tempat kediaman yang kekal, yang tidak dibuat oleh tangan manusia." (2 Korintus 5:1).
Jika kita hendak pergi untuk berkemah tentunya kita tidak mungkin akan membeli semua peralatan dapur secara lengkap, membeli perabot rumah tangga, membeli semua perlengkapan tidur dan sebagainya. Mengapa? Toh kita hanya akan tinggal untuk sebentar. Begitu pula ketika menyadari bahwa dunia ini bukanlah tempat tinggal kita selama-lamanya maka kita pun tak akan sepenuhnya hanya memikirkan bagaimana mengumpulkan harta atau kekayaan duniawi semata, sebab "...kita tidak membawa sesuatu apa ke dalam dunia dan kitapun tidak dapat membawa apa-apa ke luar." (1 Timotius 6:7). Ayub pun menyadarinya, "Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya." (Ayub 1:21). Justru yang harus kita lakukan adalah menabung atau mengumpulkan harta di sorga.
Waktu kita di sini hanya singkat dan terbatas, jadi alangkah bijaknya jika kita menggunakan kesempatan yang ada sebaik mungkin. Itulah sebabnya Tuhan mengututs kita untuk suatu tugas yang jelas yaitu supaya kita menerapkan gaya hidup sorgawi, "supaya kamu tiada beraib dan tiada bernoda, sebagai anak-anak Allah yang tidak bercela di tengah-tengah angkatan yang bengkok hatinya dan yang sesat ini, sehingga kamu bercahaya di antara mereka seperti bintang-bintang di dunia," (Filipi 2:15), menjadi saluran berkat, bukan menjadi batu sandungan serta menjadi garam dan terang bagi dunia ini.
Sebagai warga sorgawi sikap dan perbuatan kita pun juga harus mencerminkan dan menyatakan kemuliaan bagi Tuhan.
Baca: Kolose 3:1-4
"Pikirkanlah perkara yang di atas, bukan yang di bumi." Kolose 3:2
Rasul Paulus menasihatkan agar setiap orang percaya senantiasa memusatkan pikirannya kepada perkara yang di atas dan mengutamakan perkara rohani lebih dari apa pun yang ada di dunia ini. Mengapa? Karena dunia bukanlah tempat tinggal permanen bagi orang percaya. Dunia adalah tempat sementara untuk didiami karena kita tak lebih dari seorang pendatang atau penumpang saja. Kewargaan kita yang sesungguhnya adalah Kerajaan Sorga. "Karena kami tahu, bahwa jika kemah tempat kediaman kita di bumi ini dibongkar, Allah telah menyediakan suatu tempat kediaman di sorga bagi kita, suatu tempat kediaman yang kekal, yang tidak dibuat oleh tangan manusia." (2 Korintus 5:1).
Jika kita hendak pergi untuk berkemah tentunya kita tidak mungkin akan membeli semua peralatan dapur secara lengkap, membeli perabot rumah tangga, membeli semua perlengkapan tidur dan sebagainya. Mengapa? Toh kita hanya akan tinggal untuk sebentar. Begitu pula ketika menyadari bahwa dunia ini bukanlah tempat tinggal kita selama-lamanya maka kita pun tak akan sepenuhnya hanya memikirkan bagaimana mengumpulkan harta atau kekayaan duniawi semata, sebab "...kita tidak membawa sesuatu apa ke dalam dunia dan kitapun tidak dapat membawa apa-apa ke luar." (1 Timotius 6:7). Ayub pun menyadarinya, "Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya." (Ayub 1:21). Justru yang harus kita lakukan adalah menabung atau mengumpulkan harta di sorga.
Waktu kita di sini hanya singkat dan terbatas, jadi alangkah bijaknya jika kita menggunakan kesempatan yang ada sebaik mungkin. Itulah sebabnya Tuhan mengututs kita untuk suatu tugas yang jelas yaitu supaya kita menerapkan gaya hidup sorgawi, "supaya kamu tiada beraib dan tiada bernoda, sebagai anak-anak Allah yang tidak bercela di tengah-tengah angkatan yang bengkok hatinya dan yang sesat ini, sehingga kamu bercahaya di antara mereka seperti bintang-bintang di dunia," (Filipi 2:15), menjadi saluran berkat, bukan menjadi batu sandungan serta menjadi garam dan terang bagi dunia ini.
Sebagai warga sorgawi sikap dan perbuatan kita pun juga harus mencerminkan dan menyatakan kemuliaan bagi Tuhan.
Sunday, July 5, 2015
ANAK DOMBA DI TENGAH SERIGALA (2)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 5 Juli 2015
Baca: Matius 10:16-33
"Lihat, Aku mengutus kamu seperti domba ke tengah-tengah serigala, sebab itu hendaklah kamu cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati." Matius 10:16
Tuhan Yesus adalah Gembala yang baik, itulah sebabnya Ia tidak akan membiarkan domba-domba-Nya tersesat dan terhilang. Ketika anak domba sedang berada dalam ancaman dan marabahaya gembala itulah yang akan membela, melindungi, menyelamatkan dan menggendong anak domba itu, dan kemudian membawanya ke tempat yang paling aman. Daud memiliki pengalaman bagaimana menjadi penggembala kambing domba. "Hambamu ini biasa menggembalakan kambing domba ayahnya. Apabila datang singa atau beruang, yang menerkam seekor domba dari kawanannya, maka aku mengejarnya, menghajarnya dan melepaskan domba itu dari mulutnya. Kemudian apabila ia berdiri menyerang aku, maka aku menangkap janggutnya lalu menghajarnya dan membunuhnya." (1 Samuel 17:34-35).
Sebagai anak domba keberadaan kita lemah dan tak berdaya, karena itu kita tidak bisa berada jauh dari Gembala. Jika menjauh sulit bagi kita untuk bisa bertahan di tengah situasi menghimpit. Tinggal dekat dan bergantung penuh kepada Gembala adalah mutlak. Karena yang mengutus kita adalah Gembala Agung yaitu Tuhan Yesus, tidak ada yang perlu ditakutkan dan dikuatirkan, "Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku; gada-Mu dan tongkat-Mu, itulah yang menghibur aku." (Mazmur 23:4). Di tengah dunia yang dipenuhi kejahatan Tuhan menghendaki kita cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati. Cerdik dan tulus adalah satu kesatuan, tidak boleh berdiri sendiri-sendiri. Kalau kita hanya cerdik tanpa disertai ketulusan artinya kita licik dan penuh trik. Sebaliknya kalau kita hanya tulus saja tapi tidak cerdik sangat berbahaya, akan menjadi sasaran empuk musuh, ditipu, dimanfaatkan dan menjadi korban, karena itu "...waspadalah terhadap semua orang;" (Matius 10:17).
Karena kita adalah seperti anak domba, maka dalam menyelesaikan segala permasalahan hidup ini kita pun harus bersikap tenang dan penuh kelembutan, bukan emosional dan penuh kemarahan, harus ada penguasaan diri.
Dekat dengan Gembala Agung adalah kunci bertahan di tengah tantangan!
Baca: Matius 10:16-33
"Lihat, Aku mengutus kamu seperti domba ke tengah-tengah serigala, sebab itu hendaklah kamu cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati." Matius 10:16
Tuhan Yesus adalah Gembala yang baik, itulah sebabnya Ia tidak akan membiarkan domba-domba-Nya tersesat dan terhilang. Ketika anak domba sedang berada dalam ancaman dan marabahaya gembala itulah yang akan membela, melindungi, menyelamatkan dan menggendong anak domba itu, dan kemudian membawanya ke tempat yang paling aman. Daud memiliki pengalaman bagaimana menjadi penggembala kambing domba. "Hambamu ini biasa menggembalakan kambing domba ayahnya. Apabila datang singa atau beruang, yang menerkam seekor domba dari kawanannya, maka aku mengejarnya, menghajarnya dan melepaskan domba itu dari mulutnya. Kemudian apabila ia berdiri menyerang aku, maka aku menangkap janggutnya lalu menghajarnya dan membunuhnya." (1 Samuel 17:34-35).
Sebagai anak domba keberadaan kita lemah dan tak berdaya, karena itu kita tidak bisa berada jauh dari Gembala. Jika menjauh sulit bagi kita untuk bisa bertahan di tengah situasi menghimpit. Tinggal dekat dan bergantung penuh kepada Gembala adalah mutlak. Karena yang mengutus kita adalah Gembala Agung yaitu Tuhan Yesus, tidak ada yang perlu ditakutkan dan dikuatirkan, "Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku; gada-Mu dan tongkat-Mu, itulah yang menghibur aku." (Mazmur 23:4). Di tengah dunia yang dipenuhi kejahatan Tuhan menghendaki kita cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati. Cerdik dan tulus adalah satu kesatuan, tidak boleh berdiri sendiri-sendiri. Kalau kita hanya cerdik tanpa disertai ketulusan artinya kita licik dan penuh trik. Sebaliknya kalau kita hanya tulus saja tapi tidak cerdik sangat berbahaya, akan menjadi sasaran empuk musuh, ditipu, dimanfaatkan dan menjadi korban, karena itu "...waspadalah terhadap semua orang;" (Matius 10:17).
Karena kita adalah seperti anak domba, maka dalam menyelesaikan segala permasalahan hidup ini kita pun harus bersikap tenang dan penuh kelembutan, bukan emosional dan penuh kemarahan, harus ada penguasaan diri.
Dekat dengan Gembala Agung adalah kunci bertahan di tengah tantangan!
Saturday, July 4, 2015
ANAK DOMBA DI TENGAH SERIGALA (1)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 4 Juli 2015
Baca: Lukas 10:1-12
"Pergilah, sesungguhnya Aku mengutus kamu seperti anak domba ke tengah-tengah serigala." Lukas 10:3
Tak terbantahkan bahwa kehidupan di dunia ini begitu keras dan berat karena ada banyak sekali masalah, ujian dan tantangan yang datang silih berganti. Kejutan demi kejutan mewarnai hari-hari yang kita jalani, terkadang apa yang tidak pernah kita harapkan dan bayangkan itulah yang terjadi. Meski demikian, sebagai orang percaya kita tidak perlu takut dan kuatir karena kita punya Tuhan yang tidak pernah membiarkan dan meninggalkan kita bergumul sendirian.
Peringatan tentang adanya masalah, ujian dan tantangan ini sudah disampaikan Tuhan Yesus ketika Ia hendak mengutus 70 murid-Nya yang lain untuk memberitakan Injil, bahwa mereka diutus seperti anak domba ke tengah-tengah serigala. Artinya tugas memberitakan Injil di tengah-tengah dunia ini bukanlah pekerjaan yang mudah karena akan ada banyak sekali tekanan, penolakan, penderitaan dan bahkan aniaya. Kita pun harus siap dengan segala resikonya karena kita berada dalam ancaman dan bahaya yang sewaktu-waktu bisa datang. Selain singa atau beruang, serigala adalah salah satu jenis binatang buas yang bisa mengancam keselamatan anak domba, Serigala adalah gambaran tentang tipu muslihat Iblis dan "...semua yang ada di dalam dunia, yaitu keinginan daging dan keinginan mata serta keangkuhan hidup," (1 Yohanes 2:16), yang sewaktu-waktu bisa mengancam, menerkam, menyeret dan menghancurkan hidup orang percaya. Oleh karena itu Tuhan Yesus memperingatkan, "Berjaga-jagalah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan: roh memang penurut, tetapi daging lemah." (Matius 26:41).
Bagaimana caranya supaya anak domba dapat bertahan? Kuncinya adalah harus selalu berada dekat dengan gembala. Sebagai anak domba jangan kita berlari menjauh dari Gembala Agung kita yaitu Tuhan Yesus. Jika kita menempuh jalan sendiri kita pasti akan tersesat, karena "Ada jalan yang disangka orang lurus, tetapi ujungnya menuju maut." (Amsal 14:12). Kalau kita senantiasa dekat dengan Gembala dan mengikuti jalan-jalan-Nya, kita bukan hanya akan aman dan terlindungi, tapi kita juga akan dibimbing-Nya di padang yang berumput hijau dan ke air yang tenang. (Bersambung)
Baca: Lukas 10:1-12
"Pergilah, sesungguhnya Aku mengutus kamu seperti anak domba ke tengah-tengah serigala." Lukas 10:3
Tak terbantahkan bahwa kehidupan di dunia ini begitu keras dan berat karena ada banyak sekali masalah, ujian dan tantangan yang datang silih berganti. Kejutan demi kejutan mewarnai hari-hari yang kita jalani, terkadang apa yang tidak pernah kita harapkan dan bayangkan itulah yang terjadi. Meski demikian, sebagai orang percaya kita tidak perlu takut dan kuatir karena kita punya Tuhan yang tidak pernah membiarkan dan meninggalkan kita bergumul sendirian.
Peringatan tentang adanya masalah, ujian dan tantangan ini sudah disampaikan Tuhan Yesus ketika Ia hendak mengutus 70 murid-Nya yang lain untuk memberitakan Injil, bahwa mereka diutus seperti anak domba ke tengah-tengah serigala. Artinya tugas memberitakan Injil di tengah-tengah dunia ini bukanlah pekerjaan yang mudah karena akan ada banyak sekali tekanan, penolakan, penderitaan dan bahkan aniaya. Kita pun harus siap dengan segala resikonya karena kita berada dalam ancaman dan bahaya yang sewaktu-waktu bisa datang. Selain singa atau beruang, serigala adalah salah satu jenis binatang buas yang bisa mengancam keselamatan anak domba, Serigala adalah gambaran tentang tipu muslihat Iblis dan "...semua yang ada di dalam dunia, yaitu keinginan daging dan keinginan mata serta keangkuhan hidup," (1 Yohanes 2:16), yang sewaktu-waktu bisa mengancam, menerkam, menyeret dan menghancurkan hidup orang percaya. Oleh karena itu Tuhan Yesus memperingatkan, "Berjaga-jagalah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan: roh memang penurut, tetapi daging lemah." (Matius 26:41).
Bagaimana caranya supaya anak domba dapat bertahan? Kuncinya adalah harus selalu berada dekat dengan gembala. Sebagai anak domba jangan kita berlari menjauh dari Gembala Agung kita yaitu Tuhan Yesus. Jika kita menempuh jalan sendiri kita pasti akan tersesat, karena "Ada jalan yang disangka orang lurus, tetapi ujungnya menuju maut." (Amsal 14:12). Kalau kita senantiasa dekat dengan Gembala dan mengikuti jalan-jalan-Nya, kita bukan hanya akan aman dan terlindungi, tapi kita juga akan dibimbing-Nya di padang yang berumput hijau dan ke air yang tenang. (Bersambung)
Friday, July 3, 2015
JIWA YANG HANCUR: Persembahan Yang Berkenan
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 3 Juli 2015
Baca: Yesaya 57:14-21
"Aku bersemayam di tempat tinggi dan di tempat kudus tetapi juga bersama-sama orang yang remuk dan rendah hati, untuk menghidupkan semangat orang-orang yang rendah hati dan untuk menghidupkan hati orang-orang yang remuk." Yesaya 57:15
Semua orang pasti pernah menangis, tapi umumnya hanya ketika mengalami masalah yang berat atau memikirkan hal-hal yang menyakitkan, menyedihkan dan mengecewakan: menangis karena sakit yang diderita, menangis karena ditinggal pacar, menangis karena merasa diabaikan oleh suami atau orang yang dicintai dan sebagainya. Tangisan yang demikian hanya akan mendatangkan kelemahan dan membuat seseorang kehilangan sukacita dan damai sejahtera.
Tangisan seseorang yang bermakna beda ketika ia menangis di bawah kaki Tuhan Yesus, karena tangisan jenis ini lahir ketika seseorang menyadari akan ketidakberdayaan dan keterbatasannya, yaitu tangisan yang lahir dari jiwa yang hancur, hati yang remuk menyesali segala kesalahan dan dosa yang telah diperbuatnya. Inilah yang dirasakan oleh Daud setelah ia ditegur oleh nabi Natan. Dengan jiwa hancur Daud datang kepada Tuhan dan memohon ampun atas dosa-dosanya. "Kasihanilah aku, ya Allah, menurut kasih setia-Mu, hapuskanlah pelanggaranku menurut rahmat-Mu yang besar! Bersihkanlah aku seluruhnya dari kesalahanku, dan tahirkanlah aku dari dosaku!" (Mazmur 51:3-4). Penyesalan dan jiwa yang hancur kini sudah jarang dirasakan oleh banyak orang Kristen. Meski telah banyak melakukan kesalahan dan dosa kita tidak berasa apa-apa, tidak lagi peka, bahkan menganggapnya sebagai hal yang biasa. Ini terjadi karena kita merasa diri paling benar, paling baik dan paling sempurna dibandingkan dengan orang lain sehingga sulit sekali untuk merendahkan diri di hadapan Tuhan.
Alkitab menyatakan bahwa jiwa yang hancur dan kerendahan hati adalah berharga di mata Tuhan. Orang-orang yang patah dan remuk hatinya karena merindukan Tuhan adalah modal yang baik bagi Tuhan untuk membentuk dan memakai seseorang untuk menjadi alat bagi kemuliaan-Nya, sebab "Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihani orang yang rendah hati." (Yakobus 4:6).
"Korban sembelihan kepada Allah ialah jiwa yang hancur; hati yang patah dan remuk tidak akan Kaupandang hina, ya Allah." Mazmur 51:19
Baca: Yesaya 57:14-21
"Aku bersemayam di tempat tinggi dan di tempat kudus tetapi juga bersama-sama orang yang remuk dan rendah hati, untuk menghidupkan semangat orang-orang yang rendah hati dan untuk menghidupkan hati orang-orang yang remuk." Yesaya 57:15
Semua orang pasti pernah menangis, tapi umumnya hanya ketika mengalami masalah yang berat atau memikirkan hal-hal yang menyakitkan, menyedihkan dan mengecewakan: menangis karena sakit yang diderita, menangis karena ditinggal pacar, menangis karena merasa diabaikan oleh suami atau orang yang dicintai dan sebagainya. Tangisan yang demikian hanya akan mendatangkan kelemahan dan membuat seseorang kehilangan sukacita dan damai sejahtera.
Tangisan seseorang yang bermakna beda ketika ia menangis di bawah kaki Tuhan Yesus, karena tangisan jenis ini lahir ketika seseorang menyadari akan ketidakberdayaan dan keterbatasannya, yaitu tangisan yang lahir dari jiwa yang hancur, hati yang remuk menyesali segala kesalahan dan dosa yang telah diperbuatnya. Inilah yang dirasakan oleh Daud setelah ia ditegur oleh nabi Natan. Dengan jiwa hancur Daud datang kepada Tuhan dan memohon ampun atas dosa-dosanya. "Kasihanilah aku, ya Allah, menurut kasih setia-Mu, hapuskanlah pelanggaranku menurut rahmat-Mu yang besar! Bersihkanlah aku seluruhnya dari kesalahanku, dan tahirkanlah aku dari dosaku!" (Mazmur 51:3-4). Penyesalan dan jiwa yang hancur kini sudah jarang dirasakan oleh banyak orang Kristen. Meski telah banyak melakukan kesalahan dan dosa kita tidak berasa apa-apa, tidak lagi peka, bahkan menganggapnya sebagai hal yang biasa. Ini terjadi karena kita merasa diri paling benar, paling baik dan paling sempurna dibandingkan dengan orang lain sehingga sulit sekali untuk merendahkan diri di hadapan Tuhan.
Alkitab menyatakan bahwa jiwa yang hancur dan kerendahan hati adalah berharga di mata Tuhan. Orang-orang yang patah dan remuk hatinya karena merindukan Tuhan adalah modal yang baik bagi Tuhan untuk membentuk dan memakai seseorang untuk menjadi alat bagi kemuliaan-Nya, sebab "Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihani orang yang rendah hati." (Yakobus 4:6).
"Korban sembelihan kepada Allah ialah jiwa yang hancur; hati yang patah dan remuk tidak akan Kaupandang hina, ya Allah." Mazmur 51:19
Subscribe to:
Posts (Atom)