Wednesday, November 11, 2020

MENGAPA HARUS MALU KARENA NAMA KRISTUS?

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 11 November 2020

Baca:  2 Timotius 1:1-18

"...janganlah malu bersaksi tentang Tuhan kita dan janganlah malu karena aku, seorang hukuman karena Dia, melainkan ikutlah menderita bagi Injil-Nya..."  2 Timotius 1:8

Banyak orang Kristen berusaha menutup rapat-rapat jati dirinya sebagai pengikut Kristus dengan berbagai alasan:  malu, takut ditolak, takut dijauhi teman, takut karirnya macet.  Ketika kita malu mengakui diri sebagai pengikut Kristus sama artinya kita telah menyangkal Dia sebagai Tuhan dan Juruselamat kita.  Tidak sadarkah kita ketika Kristus disalibkan di Golgota Ia harus menanggung rasa malu yang tiada terkira oleh karena dosa-dosa kita:  dihina, direndahkan, dilecehkan, dipukul, ditertawakan, menjadi tontonan banyak orang:  "Mereka menanggalkan pakaian-Nya dan mengenakan jubah ungu kepada-Nya. Mereka menganyam sebuah mahkota duri dan menaruhnya di atas kepala-Nya, lalu memberikan Dia sebatang buluh di tangan kanan-Nya. Kemudian mereka berlutut di hadapan-Nya dan mengolok-olokkan Dia, katanya: 'Salam, hai Raja orang Yahudi!' Mereka meludahi-Nya dan mengambil buluh itu dan memukulkannya ke kepala-Nya."  (Matius 27:28-30).

     Sungguh, tak ada penghinaan yang kita terima dari dunia ini yang dapat dibandingkan dengan penghinaan yang Kristus alami dan rasakan.  Bahkan salah satu dari penjahat yang turut disalibkan bersama Dia  "...menghujat Dia, katanya: 'Bukankah Engkau adalah Kristus? Selamatkanlah diri-Mu dan kami!'"  (Lukas 23:39).  Tak perlu kaget, kecewa, apalagi malu, ketika dunia menolak kita saat kita bersaksi tentang Kristus.  Orang-orang dunialah yang seharusnya merasa malu karena mereka belum diselamatkan.  Tak perlu menyembunyikan jati diri kita sebagai pengikut Kristus, sebab Ia adalah Jalan dan Kebenaran dan Hidup:  "Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku."  (Yohanes 14:6b).  Rasul Paulus menegaskan,  "...aku tidak malu; karena aku tahu kepada siapa aku percaya dan aku yakin bahwa Dia berkuasa memeliharakan apa yang telah dipercayakan-Nya kepadaku hingga pada hari Tuhan."  (2 Timotius 1:12).

     Bila kita malu mengakui Tuhan di hadapan manusia dan bersaksi tentang Dia, Tuhan pun akan malu mengakui kita di hadapan Bapa!

Tak perlu malu jika kita harus menderita sebagai seorang Kristen atau dinista karena nama-Nya, sebab Roh kemuliaan ada pada kita  (1 Petrus 4:14, 16).

Tuesday, November 10, 2020

ORANG PERCAYA SEBAGAI BATU HIDUP

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 10 November 2020

Baca:  1 Raja-Raja 7:1-12

"Tembok dari semuanya ini dibuat dari batu yang mahal-mahal, yang sesuai dengan ukuran batu pahat digergaji dengan gergaji dari sebelah dalam dan dari sebelah luar, dari dasar sampai ke atas, dan juga dari tembok luar sampai kepada tembok pelataran besar."  1 Raja-Raja 7:9

Ketika hendak membangun rumah, pasti diperlukan batu-batu yang berkualitas bagus, bukan sembarang batu.  Contohnya adalah ketika tempat kediaman Salomo dibangun, batu yang digunakan adalah batu-batu yang berkualitas dan berharga mahal.  Namun demikian batu-batu itu tidaklah bernyawa alias benda mati.  Berbeda dengan tempat kediaman Tuhan  (Bait Suci Tuhan)  yang adalah lambang kehadiran Tuhan.  Bait Tuhan dibangun bukan dengan batu-batu mati, tetapi dengan batu-batu hidup, yaitu kumpulan orang-orang percaya  "...sebagai batu hidup untuk pembangunan suatu rumah rohani, bagi suatu imamat kudus, untuk mempersembahkan persembahan rohani..."  (1 Petrus 2:5).

     Sebuah batu hidup adalah unit tunggal sebelum ia dipersatukan dengan batu-batu hidup lain, untuk menjadi satu kesatuan sebagai bagian dari pembangunan rumah rohani.  Yesus berkata,  "Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya. Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Sorga. Apa yang kauikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga."  (Matius 16:18-19).  Saat ini masih banyak  'batu-batu'  yang tercerai berai di sana-sini, tak menyatu.  Dapatkah kita membangun sebuah rumah, bila batu-batu yang hendak kita pergunakan terpencar, tercerai-berai, dan tidak karuan?  Untuk bisa dipakai sebagai batu hidup bagi pembangunan rumah rohani, batu-batu itu harus menyatu, terkumpul, dan kemudian dibangun di atas batu yang lain.  Dari situlah kita akan tahu bahwa batu-batu itu telah berfungsi di tempat yang seharusnya.  Jika batu-batu itu tetap sebagai batu tunggal, ia tidak dapat berfungsi.

     Sebagai batu yang hidup kita harus berada di tempat yang tepat, yaitu di area pembangunan rumah Tuhan.  Terkadang kita harus siap untuk dihaluskan dan dipertajam lagi supaya bisa  'pas'  dengan tempat kita.

Orang percaya takkan berfungsi maksimal bagi rumah Tuhan bila berjalan sendiri-sendiri!