Tuesday, November 10, 2020

ORANG PERCAYA SEBAGAI BATU HIDUP

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 10 November 2020

Baca:  1 Raja-Raja 7:1-12

"Tembok dari semuanya ini dibuat dari batu yang mahal-mahal, yang sesuai dengan ukuran batu pahat digergaji dengan gergaji dari sebelah dalam dan dari sebelah luar, dari dasar sampai ke atas, dan juga dari tembok luar sampai kepada tembok pelataran besar."  1 Raja-Raja 7:9

Ketika hendak membangun rumah, pasti diperlukan batu-batu yang berkualitas bagus, bukan sembarang batu.  Contohnya adalah ketika tempat kediaman Salomo dibangun, batu yang digunakan adalah batu-batu yang berkualitas dan berharga mahal.  Namun demikian batu-batu itu tidaklah bernyawa alias benda mati.  Berbeda dengan tempat kediaman Tuhan  (Bait Suci Tuhan)  yang adalah lambang kehadiran Tuhan.  Bait Tuhan dibangun bukan dengan batu-batu mati, tetapi dengan batu-batu hidup, yaitu kumpulan orang-orang percaya  "...sebagai batu hidup untuk pembangunan suatu rumah rohani, bagi suatu imamat kudus, untuk mempersembahkan persembahan rohani..."  (1 Petrus 2:5).

     Sebuah batu hidup adalah unit tunggal sebelum ia dipersatukan dengan batu-batu hidup lain, untuk menjadi satu kesatuan sebagai bagian dari pembangunan rumah rohani.  Yesus berkata,  "Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya. Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Sorga. Apa yang kauikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga."  (Matius 16:18-19).  Saat ini masih banyak  'batu-batu'  yang tercerai berai di sana-sini, tak menyatu.  Dapatkah kita membangun sebuah rumah, bila batu-batu yang hendak kita pergunakan terpencar, tercerai-berai, dan tidak karuan?  Untuk bisa dipakai sebagai batu hidup bagi pembangunan rumah rohani, batu-batu itu harus menyatu, terkumpul, dan kemudian dibangun di atas batu yang lain.  Dari situlah kita akan tahu bahwa batu-batu itu telah berfungsi di tempat yang seharusnya.  Jika batu-batu itu tetap sebagai batu tunggal, ia tidak dapat berfungsi.

     Sebagai batu yang hidup kita harus berada di tempat yang tepat, yaitu di area pembangunan rumah Tuhan.  Terkadang kita harus siap untuk dihaluskan dan dipertajam lagi supaya bisa  'pas'  dengan tempat kita.

Orang percaya takkan berfungsi maksimal bagi rumah Tuhan bila berjalan sendiri-sendiri!

Monday, November 9, 2020

KITA TAK BERHAK MENGHAKIMI ORANG LAIN!

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 9 November 2020

Baca:  Roma 2:1-16

"Karena itu, hai manusia, siapapun juga engkau, yang menghakimi orang lain, engkau sendiri tidak bebas dari salah. Sebab, dalam menghakimi orang lain, engkau menghakimi dirimu sendiri, karena engkau yang menghakimi orang lain, melakukan hal-hal yang sama."  Roma 2:1

Orang yang suka menunjuk-nunjuk kesalahan orang lain atau menghakimi orang lain, tak menyadari bahwa sesungguhnya ketika ia sedang menunjuk, hanya satu jari saja yang tertuju kepada orang lain, tapi empat jari lainnya menunjuk kepada dirinya sendiri.  Siapakah kita ini sehingga kita berlaku seperti seorang hakim yang menjatuhkan vonis kepada orang lain?  Sebelum kita menghakimi orang lain, sebaiknya kita memeriksa diri sendiri terlebih dahulu:  apakah kita ini sudah bersih dari kesalahan?  Apakah kita ini sudah sempurna, tanpa cacat cela?  Tidakkah kita malu pada diri sendiri, bila kesalahan yang kita perbuat ternyata jauh lebih besar dari orang yang sedang kita hakimi?  Karena itu Tuhan memperingatkan,  "Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi. Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu."  (Matius 7:1-2).

     Saat ini kita sedang hidup di zaman yang benar-benar mendekati akhir, di mana manusia cenderung mencintai dirinya sendiri:  menjadi pemfitnah, tidak peduli agama, tidak tahu mengasihi, suka menjelekkan orang, tidak dapat mengekang diri, garang dan suka berkhianat  (2 Timotius 3:1-4).  Orang mudah sekali terprovokasi, mudah menuduh atau menyalahkan orang lain;  terbiasa mencari-cari kelemahan dan kekurangan orang lain;  mudah sekali berkomentar, menghujat, menghina, memojokkan, merendahkan, membuka aib, mengorek-orek masa lalu orang lain dengan komentar atau cuitan-cuitan di media sosial.  Kita seringkali berlaku seolah-olah menjadi orang yang paling benar, paling suci, tiada tandingannya.  Kita bertindak sebagai hakim dengan pikiran yang jahat  (Yakobus 2:4).

     Firman Tuhan menegaskan,  "Hanya ada satu Pembuat hukum dan Hakim, yaitu Dia yang berkuasa menyelamatkan dan membinasakan. Tetapi siapakah engkau, sehingga engkau mau menghakimi sesamamu manusia?"  (Yakobus 4:12).

Kita tak luput dari kesalahan dan dosa, karena itu berhentilah menghakimi orang lain!