Friday, July 3, 2020

JANGAN MENINGGALKAN KASIH MULA-MULA!

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 3 Juli 2020

Baca:  Wahyu 2:1-7

"...Aku mencela engkau, karena engkau telah meninggalkan kasihmu yang semula."  Wahyu 2:4

Jemaat Efesus adalah 1 dari 7 jemaat yang pernah ada di Asia Kecil.  Ibukota Asia Kecil memang Pergamus, tapi pada saat itu Efesus menjadi kota terbesar dan terpenting karena menjadi kota perdagangan dan juga kota pelabuhan.  Gereja di Efesus ini mengalami perkembangan yang cukup pesat, namun juga disertai dengan berkembangnya penyembahan berhala.  Ritual pemujaan kepada dewa-dewa marak terjadi, bahkan di kota itu terdapat kuil yang sangat megah  (mempunyai 127 tiang yang besar dan terbuat dari marmer), dan di dalamnya terdapat patung Dewi Diana yang menjadi sesembahan penduduk kota Efesus.  Kuil ini menjadi kebanggaan penduduk kota itu.

     Meski situasi tak mendukung, jemaat Efesus adalah jemaat yang tetap giat dalam mengerjakan perkara-perkara rohani.  Tuhan memuji apa yang telah mereka tunjukkan:  "Aku tahu segala pekerjaanmu: baik jerih payahmu maupun ketekunanmu."  (Wahyu 2:2).  Mereka adalah jemaat yang mampu menjalankan peran atau tugas pekerjaannya dengan penuh tanggung jawab.  Kata jerih payah menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang bekerja dengan sungguh-sungguh dan mau berjerih lelah.  Ketekunan berbicara tentang kesungguhan atau kesetiaan mereka dalam mengerjakan perkara-perkara rohani:  berdoa, melayani, bersekutu, dan sebagainya.  Secara kasat mata apa yang mereka kerjakan seperti tak ada cacatnya, tapi Tuhan tetap memperingatkan mereka dengan keras, sebab Tuhan melihat motivasi hati,  "...Aku mencela engkau, karena engkau telah meninggalkan kasihmu yang semula."  (ayat nas).

     Kasih mula-mula adalah kasih pada saat kita pertama kali bertobat.  Saat itu kita begitu rindu dan selalu ingin dekat dengan Tuhan.  Seiring berjalannya waktu, seringkali kita tidak menyadari kasih kita kepada Tuhan telah memudar karena terjebak oleh rutinitas!  Kerajinan beribadah dan melayani pekerjaan Tuhan tak lebih sekedar aktivitas agamawi tanpa didasari kasih yang bergelora kepada Tuhan.  Kerinduan kita dalam mencari hadirat Tuhan tak seperti sediakala.

Bangun kembali hubungan pribadi dengan Tuhan dan kasihilah Tuhan lebih dari apa pun!

Thursday, July 2, 2020

MENJALANI HARI DENGAN HATI BIJAKSANA

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 2 Juli 2020


"Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana."  Mazmur 90:12

Musa menyadari benar bahwa penyertaan Tuhan adalah hal yang utama dalam hidup ini.  Oleh sebab itu ia meminta Tuhan untuk menyertainya saat memimpin bangsa Israel dalam perjalanan menuju ke Tanah Perjanjian.  Musa sadar benar bahwa tanpa Tuhan beserta, ia takkan sanggup memimpin bangsa Israel.  Demikianlah penyertaan Tuhan atas bangsa Israel sangat nyata, bahkan penyertaan-Nya selalu disertai dengan perbuatan-perbuatan besar dan mujizat.  Namun Alkitab menyatakan bahwa yang bisa memasuki Tanah Perjanjian hanyalah Yosua dan Kaleb, serta keturunan umat Israel yang lahir di padang gurun.  Sementara sebagian besar dari mereka harus menelan pil pahit... mati di padang gurun sebelum mencapai Kanaan.

     Mengapa?  Karena mereka tidak memiliki respons hati yang benar dalam menyikapi setiap masalah.  Setiap kali diperhadapkan dengan kesulitan atau kesukaran mereka langsung bersungut-sungut dan memberontak kepada Tuhan.  Dari pengalaman inilah Musa menulis suatu mazmur tentang betapa pentingnya memiliki hati yang bijaksana:  "Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana."  (ayat nas).  Orang yang punya hati bijaksana  (a heart of wisdom)  mampu menyikapi segala sesuatu dengan respons hati yang benar atau dari sudut pandang yang benar.  Kita akan memiliki hati yang bijaksana bila kita menyadari bahwa di balik setiap masalah atau peristiwa selalu ada maksud dan tujuan.  Tak satu pun perkara terjadi secara kebetulan atau tanpa memiliki suatu tujuan.  Tidak ada satu pun yang diciptakan oleh Tuhan tidak memiliki tujuan.  "TUHAN membuat segala sesuatu untuk tujuannya masing-masing, bahkan orang fasik dibuat-Nya untuk hari malapetaka."  (Amsal 16:4).

     Hati yang bijaksana adalah hasil kita berproses yaitu mau mendisiplinkan diri dalam perkara rohani:  membangun persekutuan yang karib dengan Tuhan:  "Setiap pagi Ia mempertajam pendengaranku untuk mendengar seperti seorang murid."  (Yesaya 50:4b), dan merenungkan firman-Nya:  "Betapa kucintai Taurat-Mu! Aku merenungkannya sepanjang hari. Perintah-Mu membuat aku lebih bijaksana,..."  (Mazmur 119:97-98).

Seorang yang berhati bijaksana selalu melihat sisi positif di balik permasalahan.