Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 26 Mei 2020
Baca: 2 Raja-Raja 7:1-20
"Empat orang yang sakit kusta ada di depan pintu gerbang. Berkatalah yang
seorang kepada yang lain: 'Mengapakah kita duduk-duduk di sini sampai
mati?'" 2 Raja-Raja 7:3
Ketika kota Somaria sedang terkepung oleh pasukan Aram, hubungan dengan dunia luar pun menjadi terputus. Tak bisa dibayangkan betapa menderitanya bila suatu kota terisolasi. "...terjadilah kelaparan hebat di Samaria selama mereka mengepungnya,
sehingga sebuah kepala keledai berharga delapan puluh syikal perak dan
seperempat kab (2 ons - Red.) tahi merpati berharga lima syikal perak." (2 Raja-Raja 6:25). 1 syikal = 11,4 gram. Bukan hanya orang miskin yang menderita dan terancam mati kelaparan, tetapi orang kaya pun, cepat atau lambat, akan bernasib sama. Lalu Elisa (abdi Tuhan) bernubuat tentang keadaan kota ini, "Besok kira-kira waktu ini sesukat (3 kilogram - Red.) tepung yang terbaik akan berharga
sesyikal dan dua sukat (6 kilogram - Red.) jelai (barley - Red.) akan berharga sesyikal di pintu gerbang
Samaria." ( 2 Raja-Raja 7:1).
Perwira raja tidak percaya nubuatan Elisa: "Sekalipun TUHAN membuat tingkap-tingkap di langit, masakan hal itu mungkin terjadi?" (2 Raja-Raja 7:2a). Elisa pun merespons demikian, "
"Sesungguhnya, engkau akan melihatnya dengan matamu sendiri, tetapi tidak akan makan apa-apa dari padanya." (2 Raja-Raja 7:2b). Saat itu ada empat orang kusta tinggal di luar pintu gerbang kota yang sama sekali tidak tahu nubuatan Elisa. Mereka sangat menderita, bukan saja karena penyakitnya, tapi juga karena kelaparan. Tinggal menunggu waktu saja, kematian pasti menjemput! Namun mereka tidak menyerah pada keadaan. Berkatalah salah seorang dari mereka, "Mengapakah kita duduk-duduk di sini sampai mati? Jika kita berkata: Baiklah kita masuk ke kota, padahal dalam kota ada
kelaparan, kita akan mati di sana. Dan jika kita tinggal di sini, kita
akan mati juga. Jadi sekarang, marilah kita menyeberang ke perkemahan
tentara Aram. Jika mereka membiarkan kita hidup, kita akan hidup, dan
jika mereka mematikan kita, kita akan mati." (2 Raja-Raja 7:3b-4).
Sekalipun secara manusia tidak ada harapan, keempat orang kusta itu berjuang sedemikian rupa supaya dapat bertahan hidup, maka "...pada waktu senja bangkitlah mereka masuk ke tempat perkemahan orang Aram." (2 Raja-Raja 7:5a).
Selalu ada harapan selama kita mau berjuang dan hidup mengandalkan Tuhan!
Tuesday, May 26, 2020
Monday, May 25, 2020
JUJUR DAN TERBUKA DI HADAPAN TUHAN
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 25 Mei 2020
Baca: Lukas 18:9-14
"Tetapi pemungut cukai itu berdiri jauh-jauh, bahkan ia tidak berani menengadah ke langit, melainkan ia memukul diri dan berkata: Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini." Lukas 18:13
Keadaan hati kita adalah faktor penting yang dapat memengaruhi hubungan kita dengan Tuhan, sebab yang dinilai Tuhan bukanlah rupa atau paras, perawakan, kekuatan, kehebatan, atau kepintaran, melainkan isi hati kita: "Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati." (1 Samuel 16:7b); "...TUHAN menyelidiki segala hati dan mengerti segala niat dan cita-cita." (1 Tawarikh 28:9). Jelas sekali: "...Tuhanlah yang menguji hati." (Amsal 16:2).
Untuk menggambarkan keadaan hati manusia Kristus memberikan suatu perumpamaan tentang dua orang yang berada di Bait Tuhan untuk berdoa, yaitu seorang Farisi dan seorang pemungut cukai (Lukas 18:10). Orang Farisi adalah seorang tokoh agama yang tahu kebenaran, mengajar Taurat Tuhan, tapi hatinya penuh kesombongan dan kemunafikan. Ia merasa bersih dari dosa dan tanpa cela: "...aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini; aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku." (Lukas 18:11-12). Karena merasa dirinya sudah suci dan tak bercacat cela, orang Farisi ini merasa tidak lagi memerlukan belas kasihan dan anugerah keselamatan dari Tuhan.
Sikap yang bertolak belakang justru ditunjukkan si pemungut cukai yang "...berdiri jauh-jauh, bahkan ia tidak berani menengadah ke langit, melainkan ia memukul diri dan berkata: Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini." (Lukas 18:3). Pengakuan jujur disertai kerendahan hati yang ditunjukkan si pemungut cukai telah mengetuk pintu rahmat Tuhan. Pemazmur menyatakan bahwa korban sembelihan kepada Tuhan ialah jiwa yang hancur; hati yang patah dan remuk tidak dipandang hina oleh-Nya (Mazmur 51:19). Tuhan berkata, "Orang ini pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan Allah dan orang lain itu tidak. Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan." (Lukas 18:14).
Tuhan benci hati yang sombong, tapi Ia mengasihi orang yang rendah hati!
Baca: Lukas 18:9-14
"Tetapi pemungut cukai itu berdiri jauh-jauh, bahkan ia tidak berani menengadah ke langit, melainkan ia memukul diri dan berkata: Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini." Lukas 18:13
Keadaan hati kita adalah faktor penting yang dapat memengaruhi hubungan kita dengan Tuhan, sebab yang dinilai Tuhan bukanlah rupa atau paras, perawakan, kekuatan, kehebatan, atau kepintaran, melainkan isi hati kita: "Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati." (1 Samuel 16:7b); "...TUHAN menyelidiki segala hati dan mengerti segala niat dan cita-cita." (1 Tawarikh 28:9). Jelas sekali: "...Tuhanlah yang menguji hati." (Amsal 16:2).
Untuk menggambarkan keadaan hati manusia Kristus memberikan suatu perumpamaan tentang dua orang yang berada di Bait Tuhan untuk berdoa, yaitu seorang Farisi dan seorang pemungut cukai (Lukas 18:10). Orang Farisi adalah seorang tokoh agama yang tahu kebenaran, mengajar Taurat Tuhan, tapi hatinya penuh kesombongan dan kemunafikan. Ia merasa bersih dari dosa dan tanpa cela: "...aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini; aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku." (Lukas 18:11-12). Karena merasa dirinya sudah suci dan tak bercacat cela, orang Farisi ini merasa tidak lagi memerlukan belas kasihan dan anugerah keselamatan dari Tuhan.
Sikap yang bertolak belakang justru ditunjukkan si pemungut cukai yang "...berdiri jauh-jauh, bahkan ia tidak berani menengadah ke langit, melainkan ia memukul diri dan berkata: Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini." (Lukas 18:3). Pengakuan jujur disertai kerendahan hati yang ditunjukkan si pemungut cukai telah mengetuk pintu rahmat Tuhan. Pemazmur menyatakan bahwa korban sembelihan kepada Tuhan ialah jiwa yang hancur; hati yang patah dan remuk tidak dipandang hina oleh-Nya (Mazmur 51:19). Tuhan berkata, "Orang ini pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan Allah dan orang lain itu tidak. Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan." (Lukas 18:14).
Tuhan benci hati yang sombong, tapi Ia mengasihi orang yang rendah hati!
Subscribe to:
Posts (Atom)