Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 21 Maret 2020
Baca: Kolose 3:1-4
"Pikirkanlah perkara yang di atas, bukan yang di bumi." Kolose 3:2
Bangsa Israel selalu menyikapi setiap kejadian atau peristiwa yang dialami dengan respons yang negatif, sehingga yang keluar dari mulutnya pun hanya hal-hal yang negatif. Tak ada ucapan syukur! Menghadapi masalah atau kesukaran sedikit saja iman mereka langsung terjun bebas dan putus asa. Bukan hanya itu, mereka terus saja mengingat-ingat dan membanding-bandingkan kehidupan saat di Mesir, yang dianggapnya lebih enak, daripada harus menggembara di padang gurun. "Bersungut-sungutlah semua orang Israel kepada Musa dan Harun; dan segenap umat itu berkata kepada mereka: "Ah, sekiranya kami mati di tanah Mesir, atau di padang gurun ini! Mengapakah TUHAN membawa kami ke negeri ini, supaya kami tewas oleh pedang, dan isteri serta anak-anak kami menjadi tawanan? Bukankah lebih baik kami pulang ke Mesir?" (Bilangan 14:2-3).
Dari apa yang mereka ucapkan jelas sekali menunjukkan ketidakpercayaan mereka kepada Tuhan. Mujizat dan perkara-perkara besar yang Tuhan nyatakan atas mereka di padang gurun ternyata belum juga cukup membuka mata rohani mereka. Respons hati yang negatif menghalangi mereka sendiri untuk mengalami penggenapan janji Tuhan. Bukankah sikap hati yang dimiliki bangsa Israel ini tidak jauh berbeda dengan sikap kebanyakan orang Kristen? Kita mudah sekali melupakan kebaikan dan pertolongan Tuhan dalam hidup kita, sehingga mengalami masalah sedikit saja tak ada pujian dan ucapan syukur keluar dari mulut kita. Pemazmur menasihati, "Pujilah TUHAN, hai jiwaku, dan janganlah lupakan segala kebaikan-Nya!" (Mazmur 103:2). "Ingatlah perbuatan-perbuatan ajaib yang dilakukan-Nya, mujizat-mujizat-Nya..." (Mazmur 105:5).
Seburuk apa pun keadaannya, sesulit apa pun perjalanan yang kita tempuh, bila kita memiliki respons hati yang benar kita akan mampu bertahan, sebab kita percaya bahwa Tuhan turut bekerja dalam segala perkara (Roma 8:28). Rasul Paulus juga menasihati, "Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia,
semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap
didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah
semuanya itu." (Filipi 4:8).
Masalah seharusnya membuat kita makin mengaktifkan iman dan hidup mengandalkan Tuhan, bukan malah bersungut-sungut dan menyalahkan Tuhan!
Saturday, March 21, 2020
Friday, March 20, 2020
GAGAL KARENA RESPONS HATI NEGATIF (1)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 20 Maret 2020
Baca: Ulangan 1:1-8
"Majulah, berangkatlah, pergilah ke pegunungan orang Amori dan kepada semua tetangga mereka di Araba-Yordan, di Pegunungan, di Daerah Bukit, di Tanah Negeb dan di tepi pantai laut, yakni negeri orang Kanaan, dan ke gunung Libanon sampai Efrat, sungai besar itu." Ulangan 1:7
Bangsa Israel harus terlebih dahulu menggembara dan berputar-putar di padang gurun selama empat puluh tahun lamanya sebelum mencapai Tanah Perjanjian. Selama itukah seharusnya perjalanan yang ditempuh dari Mesir untuk menuju Kanaan? Alkitab menyatakan, "Sebelas hari perjalanan jauhnya dari Horeb sampai Kadesh-Barnea, melalui jalan pegunungan Seir." (Ulangan 1:2). Untuk mencapai Kanaan, normalnya, mereka hanya butuh waktu sebelas hari perjalanan, namun bangsa Israel harus menempuhnya selama empat puluh tahun. Apakah karena medan yang harus ditempuh teramat sulit? Apakah tantangan yang harus dihadapi terlalu besar?
Tuhan mengijinkan bangsa Israel harus mengalami proses panjang selama 40 tahun karena respons hati yang negatif, yaitu selalu membesar-besarkan masalah atau kesulitan yang dialami. Respons hati yang negatif adalah tanda ketidakpercayaan, lawan dari iman. Janji Tuhan yang seharusnya dapat segera mereka nikmati menjadi tertunda begitu lama; kemenangan di depan mata tidak dapat diraih dan memerlukan waktu bertahun-tahun untuk meraihnya. Bahkan sebagian besar dari generasi yang dipanggil keluar dari Mesir tidak pernah mencapai Tanah Perjanjian karena mereka mati di padang gurun. Sesungguhnya Tuhan telah memanggil mereka keluar dari perbudakan di Mesir untuk pergi ke suatu negeri yang telah dijanjikan-Nya. "Sebab itu Aku telah turun untuk melepaskan mereka dari tangan orang Mesir dan menuntun mereka keluar dari negeri itu ke suatu negeri yang baik dan luas, suatu negeri yang berlimpah-limpah susu dan madunya," (Keluaran 3:8). Sayang, bangsa Israel tidak memiliki respons hati yang benar.
Hati dan pikiran mereka dikendalikan oleh situasi yang terlihat secara kasat mata. Akibatnya? Mereka mudah sekali mengerutu, mengomel, bersungut-sungut terhadap apa yang dialami. Pengalaman masa lalu yang menyakitkan di Mesir telah membentuk pola pikir mereka, sehingga mereka berpikir bahwa hidup mereka tidak mungkin menjadi baik. Semakin kita dikendalikan situasi, semakin kita meragukan kuasa Tuhan!
Baca: Ulangan 1:1-8
"Majulah, berangkatlah, pergilah ke pegunungan orang Amori dan kepada semua tetangga mereka di Araba-Yordan, di Pegunungan, di Daerah Bukit, di Tanah Negeb dan di tepi pantai laut, yakni negeri orang Kanaan, dan ke gunung Libanon sampai Efrat, sungai besar itu." Ulangan 1:7
Bangsa Israel harus terlebih dahulu menggembara dan berputar-putar di padang gurun selama empat puluh tahun lamanya sebelum mencapai Tanah Perjanjian. Selama itukah seharusnya perjalanan yang ditempuh dari Mesir untuk menuju Kanaan? Alkitab menyatakan, "Sebelas hari perjalanan jauhnya dari Horeb sampai Kadesh-Barnea, melalui jalan pegunungan Seir." (Ulangan 1:2). Untuk mencapai Kanaan, normalnya, mereka hanya butuh waktu sebelas hari perjalanan, namun bangsa Israel harus menempuhnya selama empat puluh tahun. Apakah karena medan yang harus ditempuh teramat sulit? Apakah tantangan yang harus dihadapi terlalu besar?
Tuhan mengijinkan bangsa Israel harus mengalami proses panjang selama 40 tahun karena respons hati yang negatif, yaitu selalu membesar-besarkan masalah atau kesulitan yang dialami. Respons hati yang negatif adalah tanda ketidakpercayaan, lawan dari iman. Janji Tuhan yang seharusnya dapat segera mereka nikmati menjadi tertunda begitu lama; kemenangan di depan mata tidak dapat diraih dan memerlukan waktu bertahun-tahun untuk meraihnya. Bahkan sebagian besar dari generasi yang dipanggil keluar dari Mesir tidak pernah mencapai Tanah Perjanjian karena mereka mati di padang gurun. Sesungguhnya Tuhan telah memanggil mereka keluar dari perbudakan di Mesir untuk pergi ke suatu negeri yang telah dijanjikan-Nya. "Sebab itu Aku telah turun untuk melepaskan mereka dari tangan orang Mesir dan menuntun mereka keluar dari negeri itu ke suatu negeri yang baik dan luas, suatu negeri yang berlimpah-limpah susu dan madunya," (Keluaran 3:8). Sayang, bangsa Israel tidak memiliki respons hati yang benar.
Hati dan pikiran mereka dikendalikan oleh situasi yang terlihat secara kasat mata. Akibatnya? Mereka mudah sekali mengerutu, mengomel, bersungut-sungut terhadap apa yang dialami. Pengalaman masa lalu yang menyakitkan di Mesir telah membentuk pola pikir mereka, sehingga mereka berpikir bahwa hidup mereka tidak mungkin menjadi baik. Semakin kita dikendalikan situasi, semakin kita meragukan kuasa Tuhan!
Subscribe to:
Posts (Atom)