Sunday, November 24, 2019

NIKODEMUS: Punya Kerendahan Hati

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 24 November 2019

Baca:  Mazmur 25:1-22

"Ia membimbing orang-orang yang rendah hati menurut hukum, dan Ia mengajarkan jalan-Nya kepada orang-orang yang rendah hati."  Mazmur 25:9

Nikodemus adalah orang Farisi yang juga menjadi salah satu pemimpin agama Yahudi  (anggota Mahkamah Agama)  yang dikenal dengan sebutan Sanhedrin.  Karena bangsa Israel adalah bangsa yang berlandaskan pada hukum Taurat, dan pada waktu itu memang tidak ada lagi raja bagi bangsa Israel, maka pemimpin agama Yahudi  (ahli-ahli Taurat dan orang Farisi)  memiliki kedudukan yang sangat terhormat.  Pada waktu itu ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi sangat membenci Kristus dan menganggap bahwa apa yang Kristus lakukan bertentangan dengan hukum Taurat, karena itu mereka berusaha mencari-cari kesalahan-Nya, bahkan berencana untuk membunuh-Nya  (Matius 12:14).

     Tetapi berbeda dengan Nikodemus, yang mau datang kepada Tuhan, dengan menanggalkan statusnya sebagai pemimpin agama.  Hal ini membuktikan bahwa ia punya kerendahan hati.  Tanpa kerendahan hati sulit rasanya seorang pemimpin agama Yahudi mau datang kepada Kristus dan belajar kepada-Nya.  Nikodemus datang sebagai pribadi yang membutuhkan Kristus dan meminta penjelasan dari-Nya berkenaan dengan keselamatan kekal.  Nikodemus mau mengakui bahwa Kristus adalah utusan dari Bapa di sorga  (Yohanes 3:2).  Sebaliknya, orang-orang Farisi lainnya mengatakan bahwa Kristus mengusir setan dengan kuasa penghulu setan, artinya mereka tidak mau mengakui bahwa Kristus datang dari Bapa  (Matius 9:34).  Sesungguhnya, orang-orang Farisi tahu bahwa Kristus adalah Guru yang diutus oleh Bapa, hanya saja mereka enggan mengakuinya dengan jujur, karena mereka merasa gengsi, takut kalah pamor.

     Sekalipun Nikodemus mempunyai kedudukan yang sangat terpandang, ia tak merasa gengsi untuk datang kepada Kristus, karena ia tahu siapa sesungguhnya Kristus itu.  Bagi Nikodemus, bertemu dengan Kristus adalah kesempatan emas untuk mengenal kebenaran lebih lagi, karena keselamatan jiwa itu lebih berharga daripada harta, pangkat atau status di dunia ini yang sifatnya hanya sementara.

Kesombongan dan merasa diri benar seringkali menjadi penghalang bagi orang untuk datang kepada Tuhan;  keselamatan yang sudah Tuhan sediakan pun tanpa segan sering ditolaknya!

Saturday, November 23, 2019

STEFANUS: Martir Pertama

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 23 November 2019

Baca:  Kisah Para Rasul 7:54-60

"Ya Tuhan Yesus, terimalah rohku. Sambil berlutut ia berseru dengan suara nyaring: 'Tuhan, janganlah tanggungkan dosa ini kepada mereka!' Dan dengan perkataan itu meninggallah ia."  Kisah 7:59-60

Stefanus adalah salah seorang dari tujuh diaken pilihan  (Kisah 6:3-6).  yang kemudian menjadi seorang pemberita Injil.  Alkitab menyatakan bahwa Stefanus  "...seorang yang penuh iman dan Roh Kudus,"  (Kisah 6:5).  Hal ini dibuktikan dengan keberaniannya menghadapi tantangan hingga meninggal sebagai martir.  Kisah kematian Stefanus merupakan kisah martir yang pertama.  Yang menarik dari kisah ini adalah ketika Stefanus di ambang kematian ia berdoa kepada Tuhan untuk orang-orang yang menganiaya dia.

     Di dalam doa yang Stefanus serukan terkandung dua unsur penting yaitu:  1.  Penyerahan diri.  Ketika Stefanus berkata,  "Ya Tuhan Yesus, terimalah rohku."  (ayat nas), ini menunjukkan bahwa ia siap untuk mati.  Sekalipun tubuh jasmaninya hancur karena batu-batu yang dilemparkan kepadanya, ia percaya bahwa rohnya adalah milik Tuhan.  Karena itu dengan penuh iman Stefanus menyerahkan rohnya kepada Tuhan.  2.  Pengampunan bagi musuh.  Menghilangkan nyawa orang lain adalah kekejian di mata Tuhan, karena tidak ada seorang pun manusia yang berhak untuk menghilangkan nyawa sesamanya.  Para anggota Mahkamah Agama yang tahu hukum dan firman Tuhan justru melakukan tindakan penganiayaan terhadap Stefanus:  melempari dengan batu, yang menyebabkan kematiannya.  Meski demikian Stefanus menunjukkan sikap yang mulia, dalam kondisi teraniaya dan sedang meregang nyawa ia sempatkan berdoa untuk memohonkan pengampunan,  "Tuhan, janganlah tanggungkan dosa ini kepada mereka!"  

     Biasanya orang yang teraniaya atau tersakiti akan menyimpan dendam kepada orang yang melakukannya.  Tapi Stefanus meneladani apa yang Kristus perbuat saat Ia disalibkan, yaitu memohonkan pengampunan kepada Bapa,  "Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat."  (Lukas 23:34).  Lepaskan pengampunan dan jangan membalas jahat terhadap orang yang berbuat jahat kepada kita!

"Barangsiapa mempertahankan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, dan barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya."  Matius 10:39