Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 1 November 2018
Baca: Matius 6:25-34
"Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu." Matius 6:33
Banyak orang Kristen sudah hafal ayat nas di atas! Kita semua mengerti bahwa firman Tuhan memerintahkan kita untuk mencari terlebih dahulu Kerajaan-Nya dan kebenaran-Nya, yang adalah kunci untuk mengalami berkat-berkat Tuhan. Tetapi dalam praktik hidup sehari-hari, sadar atau tidak, seringkali kita tidak menempatkan Tuhan sebagaimana seharusnya, yaitu sebagai yang pertama dan terutama dalam hidup kita. Kita menempatkan Tuhan hanya sebagai alternatif pilihan atau bahkan sebagai 'penambal kebutuhan' saja. Kita mencari Tuhan hanya saat perlu saja, kita ngotot mencari hadirat-Nya saat terhimpit masalah, kita mencari Tuhan karena kita mengingini berkat-Nya, mujizat-Nya dan pertolongan-Nya, tak lebih dari itu.
Kita tidak mempersembahkan hidup dengan sepenuh hati, padahal rasul Paulus sudah menasihati supaya kita mempersembahkan tubuh kita sebagai persembahan yang hidup, kudus dan yang berkenan kepada Tuhan sebagai perwujudan ibadah sejati (Roma 12:1). Pujian dan penyembahan kita kepada Tuhan pun hanya dapat dihitung dengan jari, karena hari-hari kita disibukkan dengan segala urusan duniawi. "Sebab semua yang ada di dalam dunia, yaitu keinginan daging dan
keinginan mata serta keangkuhan hidup, bukanlah berasal dari Bapa,
melainkan dari dunia." (1 Yohanes 2:16). Kini orientasi hidup manusia semata-mata mengejar materi, kesenangan dan kenyamanan hidup. Firman Tuhan memperingatkan kita untuk tidak terbawa arus dunia ini (Ibrani 2:1). Banyak orang menjadikan pekerjaan atau karir mereka terlalu penting atau lebih penting daripada Tuhan, sehingga mereka rela mengorbankan jam-jam ibadah dan pelayanan.
Orang yang sungguh 'lahir baru' pasti akan menempatkan Kristus di tempat yang pertama dan terutama dalam hidupnya; menjadikan Kristus sebagai single authority, pemegang otoritas tertinggi dalam hidupnya. Karir, jabatan dan materi memang perlu, namun jangan pernah menempatkan kesemuanya itu lebih daripada Tuhan yang adalah Sang Pemberi.
Mengutamakan Tuhan dan kebenaran-Nya berarti kita mengasihi Dia dengan sepenuh hati dan taat kepada kehendak-Nya di segala keadaan!
Thursday, November 1, 2018
Wednesday, October 31, 2018
KEKUATIRAN: Merugikan Diri Sendiri
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 31 Oktober 2018
Baca: Mazmur 13:1-6
"Berapa lama lagi aku harus menaruh kekuatiran dalam diriku, dan bersedih hati sepanjang hari?" Mazmur 13:3
Hidup di tengah dunia yang semakin bergejolak dan penuh problematika ini tak seorang pun hidup tanpa kuatir dan tak seorang pun terhindar dari rasa kuatir, termasuk orang percaya. Jika ada orang yang menyatakan diri bahwa ia tidak pernah merasa kuatir sedikit pun dalam hidupnya, hal tersebut adalah sebuah penyangkalan. Akan tetapi setiap kita dapat menolong diri sendiri terlepas dari rasa kuatir yaitu memercayakan hidup sepenuhnya kepada Tuhan dan melihat setiap masalah, situasi, keadaan atau peristiwa yang ada dari sudut pandang firman Tuhan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata 'kuatir' memiliki pengertian: takut (gelisah, cemas) terhadap suatu hal yang belum diketahui dengan pasti. Perasaan ini biasanya dihubungkan dengan pikiran negatif tentang sesuatu yang mungkin terjadi di masa yang akan datang. Kuatir juga berarti was-was, bingung dan pikiran terpecah-pecah. Tuhan berfirman: "Janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai. Bukankah hidup itu lebih penting dari pada makanan dan tubuh itu lebih penting dari pada pakaian?" (Matius 6:25). Lalu Dia menambahkan: "Siapakah di antara kamu yang karena kekuatirannya dapat menambahkan sehasta saja pada jalan hidupnya?" (Mazmur 6:27). Tuhan memperingatkan kita untuk tidak kuatir, karena Dia sendiri yang menjadi jaminan bagi kita. "Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau." (Ibrani 13:5b).
Hendaknya kita menyadari bahwa kekuatiran itu hanya memindahkan beban dari bahu Tuhan yang kuat ke bahu kita yang lemah. Kekuatiran adalah sebuah obsesi akan hal buruk yang mungkin terjadi: ketakutan terhadap hal yang tidak menyenangkan, menderita sakit, mengalami kekurangan, kehilangan sesuatu dan sebagainya. Daud, seorang raja pun, juga pernah merasa kuatir, tapi ia tak mau terus dibelenggunya, karena itu "...kepada kasih setia-Mu aku percaya," (Mazmur 13:6). Daud mencurahkan isi hatinya kepada Tuhan melalui doa dan percaya penuh kepada-Nya!
"Kekuatiran dalam hati membungkukkan orang," Amsal 12:25
Baca: Mazmur 13:1-6
"Berapa lama lagi aku harus menaruh kekuatiran dalam diriku, dan bersedih hati sepanjang hari?" Mazmur 13:3
Hidup di tengah dunia yang semakin bergejolak dan penuh problematika ini tak seorang pun hidup tanpa kuatir dan tak seorang pun terhindar dari rasa kuatir, termasuk orang percaya. Jika ada orang yang menyatakan diri bahwa ia tidak pernah merasa kuatir sedikit pun dalam hidupnya, hal tersebut adalah sebuah penyangkalan. Akan tetapi setiap kita dapat menolong diri sendiri terlepas dari rasa kuatir yaitu memercayakan hidup sepenuhnya kepada Tuhan dan melihat setiap masalah, situasi, keadaan atau peristiwa yang ada dari sudut pandang firman Tuhan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata 'kuatir' memiliki pengertian: takut (gelisah, cemas) terhadap suatu hal yang belum diketahui dengan pasti. Perasaan ini biasanya dihubungkan dengan pikiran negatif tentang sesuatu yang mungkin terjadi di masa yang akan datang. Kuatir juga berarti was-was, bingung dan pikiran terpecah-pecah. Tuhan berfirman: "Janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai. Bukankah hidup itu lebih penting dari pada makanan dan tubuh itu lebih penting dari pada pakaian?" (Matius 6:25). Lalu Dia menambahkan: "Siapakah di antara kamu yang karena kekuatirannya dapat menambahkan sehasta saja pada jalan hidupnya?" (Mazmur 6:27). Tuhan memperingatkan kita untuk tidak kuatir, karena Dia sendiri yang menjadi jaminan bagi kita. "Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau." (Ibrani 13:5b).
Hendaknya kita menyadari bahwa kekuatiran itu hanya memindahkan beban dari bahu Tuhan yang kuat ke bahu kita yang lemah. Kekuatiran adalah sebuah obsesi akan hal buruk yang mungkin terjadi: ketakutan terhadap hal yang tidak menyenangkan, menderita sakit, mengalami kekurangan, kehilangan sesuatu dan sebagainya. Daud, seorang raja pun, juga pernah merasa kuatir, tapi ia tak mau terus dibelenggunya, karena itu "...kepada kasih setia-Mu aku percaya," (Mazmur 13:6). Daud mencurahkan isi hatinya kepada Tuhan melalui doa dan percaya penuh kepada-Nya!
"Kekuatiran dalam hati membungkukkan orang," Amsal 12:25
Subscribe to:
Posts (Atom)