Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 7 Agustus 2018
Baca: Yesaya 38:1-22
"Sesungguhnya, penderitaan yang pahit menjadi keselamatan bagiku;
Engkaulah yang mencegah jiwaku dari lobang kebinasaan. Sebab Engkau
telah melemparkan segala dosaku jauh dari hadapan-Mu." Yesaya 38:17
Ucapan syukur adalah salah satu kekuatan terbesar dalam hidup orang percaya. Tapi dalam prakteknya banyak orang Kristen sulit mengucap syukur. Mereka berdalih: "Bagaimana bisa bersyukur, kalau rumah tanggaku sedang hancur, juga tokoku sepi, bisnisku sedang pailit, hutangku banyak, sakit-penyakitku belum sembuh, studi anakku juga gagal." Seringkali kita baru mau bersyukur ketika mengalami mujizat, berkat dan pertolongan dari Tuhan. Namun, walaupun tidak ada mujizat, walaupun keadaan belum seperti diharapkan, walaupun doa-doa kita belum dijawab, walaupun pertolongan Tuhan belum kita alami, haruslah orang percaya mampu mengucap syukur!
Hizkia berkata, "...hanyalah orang yang hidup, dialah yang mengucap syukur kepada-Mu, seperti aku pada hari ini;" (Yesaya 38:19). Artinya setiap orang yang hidup wajib mengucap syukur kepada Tuhan. Dengan kata lain hanya orang mati saja yang berhenti mengucap syukur. Pemazmur memperingatkan, "Biarlah segala yang bernafas memuji TUHAN!" (Mazmur 150:6). Hizkia mengucap syukur kepada Tuhan bukan semata-mata karena ia telah disembuhkan dari sakitnya, atau karena Tuhan sangat bermurah hati kepadanya dengan memperpanjang umurnya lima belas tahun lagi (Yesaya 38:5), tapi karena tidak ada alasan baginya untuk tidak mengucap syukur kepada Tuhan.
Mengapa kita harus mengucap syukur di segala keadaan? Dengan bersyukur kita tidak akan mudah merasa lelah. Jika hati dipenuhi ucapan syukur, apa pun yang kita kerjakan, tidak akan membuat kita cepat merasa lelah, dan kita pun akan mengerjakan segala sesuatunya dengan sepenuh hati. Sebaliknya, kalau segala sesuatu dikerjakan dengan keluh-kesah dan persungutan, seringan apa pun pekerjaan, akan terasa berat dikerjakan. Dengan bersyukur, seseorang akan memiliki semangat juang yang tinggi, tidak menyerah dan berputus asa, karena ia tahu ada Tuhan yang selalu menyertai dan memberi kekuatan kepadanya. "Dia memberi kekuatan kepada yang lelah dan menambah semangat kepada yang tiada berdaya." (Yesaya 40:29).
Tuesday, August 7, 2018
Monday, August 6, 2018
PEMIMPIN YANG MEMBERI TELADAN
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 6 Agustus 2018
Baca: Ulangan 3:23-29
"Dan berilah perintah kepada Yosua, kuatkan dan teguhkanlah hatinya, sebab dialah yang akan menyeberang di depan bangsa ini dan dialah yang akan memimpin mereka sampai mereka memiliki negeri yang akan kaulihat itu." Ulangan 3:28
Musa adalah salah satu tokoh besar di zaman Perjanjian Lama. Ia adalah orang yang diutus Tuhan untuk membawa bangsa Israel keluar dari perbudakan di Mesir. Awalnya Musa sempat menolak panggilan Tuhan ini dengan alasan merasa tidak mampu, tapi pada akhirnya ia mengerjakan apa yang Tuhan percayakan kepadanya dengan taat dan setia.
Bukan pekerjaan mudah memimpin suatu bangsa yang besar. Seorang pemimpin, sekalipun mampu menjalankan tugas dengan baik, jarang sekali mendapatkan pujian. Sebaliknya, melakukan kesalahan sedikit saja, ia akan dihujat habis-habisan. Butuh kesabaran, ketelatenan dan ketekunan yang ekstra untuk menuntun, membimbing dan mengarahkan bangsa yang dikenal keras hati dan tegar tengkuk seperti bangsa Israel ini. Namun Musa mampu mengemban tugas itu dengan baik. "Adapun Musa ialah seorang yang sangat lembut hatinya, lebih dari setiap manusia yang di atas muka bumi." (Bilangan 12:3). Ketika tidak menemukan air untuk diminum saat berada di Masa dan Meriba, bangsa Israel bersungut-sungut, marah, menghujat Musa: "Mengapa pula engkau memimpin kami keluar dari Mesir, untuk membunuh kami, anak-anak kami dan ternak kami dengan kehausan?" (Keluaran 17:3). Tak jauh berbeda ketika mereka berada di Mara dan Elim, bangsa Israel terus bersungut-sungut dan memberontak (Keluaran 15:24).
Meskipun diperhadapkan dengan tekanan dan situasi sulit Musa tetap melayani bangsa Israel dengan sepenuh hati. Belum lagi ia harus menjaga dirinya dan seluruh bangsa Israel dari serangan-serangan bangsa lain. Sungguh suatu perjuangan yang luar biasa, apalagi tanggung jawab ini harus Musa pikul dalam waktu yang tidak singkat, yaitu 40 tahun. Musa tidak pernah mengeluh kepada Tuhan, ia hanya belajar setia dan taat. Sekalipun pada akhirnya Musa bukanlah orang yang dapat membawa masuk bangsa Israel ke Tanah Perjanjian, ia tidak marah dan protes kepada Tuhan, malahan ia mempersiapkan Yosua sebagai penggantinya.
Sekecil apa pun tanggung jawab yang dipercayakan Tuhan, lakukanlah dengan taat dan setia!
Baca: Ulangan 3:23-29
"Dan berilah perintah kepada Yosua, kuatkan dan teguhkanlah hatinya, sebab dialah yang akan menyeberang di depan bangsa ini dan dialah yang akan memimpin mereka sampai mereka memiliki negeri yang akan kaulihat itu." Ulangan 3:28
Musa adalah salah satu tokoh besar di zaman Perjanjian Lama. Ia adalah orang yang diutus Tuhan untuk membawa bangsa Israel keluar dari perbudakan di Mesir. Awalnya Musa sempat menolak panggilan Tuhan ini dengan alasan merasa tidak mampu, tapi pada akhirnya ia mengerjakan apa yang Tuhan percayakan kepadanya dengan taat dan setia.
Bukan pekerjaan mudah memimpin suatu bangsa yang besar. Seorang pemimpin, sekalipun mampu menjalankan tugas dengan baik, jarang sekali mendapatkan pujian. Sebaliknya, melakukan kesalahan sedikit saja, ia akan dihujat habis-habisan. Butuh kesabaran, ketelatenan dan ketekunan yang ekstra untuk menuntun, membimbing dan mengarahkan bangsa yang dikenal keras hati dan tegar tengkuk seperti bangsa Israel ini. Namun Musa mampu mengemban tugas itu dengan baik. "Adapun Musa ialah seorang yang sangat lembut hatinya, lebih dari setiap manusia yang di atas muka bumi." (Bilangan 12:3). Ketika tidak menemukan air untuk diminum saat berada di Masa dan Meriba, bangsa Israel bersungut-sungut, marah, menghujat Musa: "Mengapa pula engkau memimpin kami keluar dari Mesir, untuk membunuh kami, anak-anak kami dan ternak kami dengan kehausan?" (Keluaran 17:3). Tak jauh berbeda ketika mereka berada di Mara dan Elim, bangsa Israel terus bersungut-sungut dan memberontak (Keluaran 15:24).
Meskipun diperhadapkan dengan tekanan dan situasi sulit Musa tetap melayani bangsa Israel dengan sepenuh hati. Belum lagi ia harus menjaga dirinya dan seluruh bangsa Israel dari serangan-serangan bangsa lain. Sungguh suatu perjuangan yang luar biasa, apalagi tanggung jawab ini harus Musa pikul dalam waktu yang tidak singkat, yaitu 40 tahun. Musa tidak pernah mengeluh kepada Tuhan, ia hanya belajar setia dan taat. Sekalipun pada akhirnya Musa bukanlah orang yang dapat membawa masuk bangsa Israel ke Tanah Perjanjian, ia tidak marah dan protes kepada Tuhan, malahan ia mempersiapkan Yosua sebagai penggantinya.
Sekecil apa pun tanggung jawab yang dipercayakan Tuhan, lakukanlah dengan taat dan setia!
Subscribe to:
Posts (Atom)