Wednesday, March 14, 2018

JANGAN BERMEGAH KARENA DUNIA

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 14 Maret 2018

Baca:  Yeremia 9:23-24

"Janganlah orang bijaksana bermegah karena kebijaksanaannya, janganlah orang kuat bermegah karena kekuatannya, janganlah orang kaya bermegah karena kekayaannya,"  Yeremia 9:23

Ada kalimat bijak yang menyatakan bahwa dunia ini berputar seperti roda pedati, adakalanya di atas, terkadang juga berada di bawah.  Itulah perjalanan hidup manusia!  Hidup manusia itu sepenuhnya di dalam kuasa dan kedaulatan Tuhan.  "...direndahkan-Nya yang satu dan ditinggikan-Nya yang lain."  (Mazmur 75:8).

     Jika pada hari ini kita sedang berada  'di atas', keadaan kita mungkin lebih baik, lebih sehat, lebih berkecukupan, lebih populer, atau lebih beruntung bila dibandingkan dengan orang lain di sekitar, tak sepatutnya kita jemawa atau berlaku congkak, apalagi sampai merendahkan orang lain.  Ingatlah selalu bahwa semua yang ada di dunia ini tidaklah kekal alias sementara.  Kita tidak tahu apa yang akan terjadi esok!  Firman Tuhan mengingatkan:  "Janganlah memuji diri karena esok hari, karena engkau tidak tahu apa yang akan terjadi hari itu."  (Amsal 27:1).  Orang lain yang hari ini kita pandang lebih  'rendah'  dan kurang beruntung bisa saja di kemudian hari menjadi orang yang lebih berhasil, lebih kaya, lebih mujur, atau bahkan lebih terkenal.  Tidak ada perkara yang mustahil!  Bukankah masalah, sakit-penyakit, krisis, bahaya, musibah atau bencana bisa datang kapan saja dan tanpa pernah diduga sebelumnya?  Fakta membuktikan ada orang yang dulunya kaya raya kita harus menghabiskan hari-harinya di balik jeruji besi;  yang dulunya punya rumah besar, karena musibah atau bencana, rumahnya menjadi rata dengan tanah dalam sekejap;  yang dulunya terkenal, dielu-elukan dan disanjung-sanjung, dalam seketika bisa menjadi orang yang dihujat dan tak dianggap oleh khalayak.

     Dalam segala keadaan hendaklah kita selalu ingat kepada Tuhan, Sang Pemberi dan jangan pernah takabur, karena proses ujian dalam hidup seseorang bisa saja melalui kesuksesan atau kekayaan, dan juga kegagalan atau kekurangan.  Bermegahlah karena Tuhan, bukan karena apa yang ada di dunia ini!

"Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN!"  Ayub 1:21

Tuesday, March 13, 2018

SALAH DIDIKAN: Fatal Akibatnya

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 13 Maret 2018

Baca:  1 Samuel 2:11-26

"Mengapa kamu melakukan hal-hal yang begitu, sehingga kudengar dari segenap bangsa ini tentang perbuatan-perbuatanmu yang jahat itu? Janganlah begitu, anak-anakku."  1 Samuel 2:23-24a

Imam Eli adalah seorang imam besar Israel di kota Silo, sebelum ia digantikan oleh Samuel.  ia adalah orang Lewi dari garis keturunan Itamar bin Harun.  Sebagai imam ia bertugas melayani Tuhan dan menjadi perantara antara umat dengan Tuhan, seorang yang dipilih untuk tugas-tugas keimamatan yang suci dan yang diharapkan mampu menjadi teladan yang baik, serta memberi pengaruh besar terhadap suku-suku di Israel.

     Sangat disesalkan, nama besar imam Eli telah tercoreng oleh karena kelakuan anak-anaknya.  Alkitab menyatakan bahwa  "...anak-anak lelaki Eli adalah orang-orang dursila; mereka tidak mengindahkan TUHAN, ataupun batas hak para imam terhadap bangsa itu."  (1 Samuel 2:12-13).  Kedua anak imam Eli, Hofni dan Pinehas, terbukti tidak menghormati Tuhan dan menyalahgunakan jabatan imam mereka untuk melakukan perbuatan-perbuatan jahat.  Mereka yang seharusnya menjaga kekudusan hidup, malah berlaku najis di hadapan Tuhan dengan melakukan perzinahan dan berbagai macam pelanggaran.  Sebagaimana diketahui tugas keimaman merupakan tugas turun-temurun.  Demikian juga tugas keimaman Eli, yang oleh karena umurnya sudah lanjut maka tugasnya sebagai imam diturunkan kepada kedua anaknya, Hofni dan Pinehas.  Meski demikian Eli tetap sebagai imam senior atau pemimpin di tempat tersebut.

     Mengapa anak-anak imam Eli bisa berlaku dursila?  Karena imam Eli kurang keras dalam mendisiplinkan anak-anaknya.  Ia terlalu bersikap lunak dan bertoleransi terhadap apa yang dilakukan oleh anak-anaknya, padahal mereka jelas-jelas hidup menyimpang dari kebenaran.  Sebagai orangtua dan juga pemimpin rohani seharusnya imam Eli punya keberanian dan ketegasan untuk menegur anak-anaknya, dan jika perlu menghajarnya.  Usia tua seharusnya bukan menjadi penghalang baginya untuk tetap bertindak tegas!  Mengasihi anak itu harus, tapi bukan memanjakan.  Teguran dan hajaran itu perlu, karena hal itu berguna untuk menyelamatkan anak dari jalan yang sesat.

Karena gagal dalam menjalankan tugas keimamannya, keluarga imam Eli harus menanggung akibatnya  (1 Samuel 2:34-35).