Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 17 Oktober 2017
Baca: Matius 4:1-11
"Maka Yesus dibawa oleh Roh ke padang gurun untuk dicobai Iblis." Matius 4:1
Ada kalimat bijak mengatakan: "Pelaut yang tangguh tidak terbentuk dari laut yang tenang." Artinya kualitas hidup seseorang akan terlihat ketika ia dihadapkan pada proses ujian, ketika berhadapan langsung dengan masalah, kesulitan, krisis atau situasi-situasi sulit. Dalam keadaan yang normal, mulus, baik, sehat dan sejahtera, umumnya semua orang akan mampu menyembunyikan sifat dan karakternya yang kurang baik dan sebaliknya menunjukkan hal-hal yang baik-baik saja. Namun saat berhadapan dengan situasi sulit, buruk, krisis atau sesuatu yang mengancam dan membahayakan, seperti sakit-penyakit, kemiskinan atau penderitaan, sulit bagi kita untuk menyembunyikan jati diri atau karakter yang sesungguhnya.
Untuk mengetahui kualitas yang sesungguhnya pada diri-Nya, "...Yesus dibawa oleh Roh ke padang gurun untuk dicobai Iblis." (Matius 4:1). Padang gurun adalah tempat yang sangat tandus dan kering. Pada siang hari udaranya sangat panas dan sangat dingin di waktu malam. Tidak ada makanan dan minuman, juga tidak ada pohon rindang untuk berteduh. Padang gurun seringkali menjadi bayang-bayang maut bagi siapa saja yang berada di sana, seperti yang dikeluhkan oleh bangsa Israel ketika berada di padang gurun: "Apakah karena tidak ada kuburan di Mesir, maka engkau membawa kami
untuk mati di padang gurun ini? Apakah yang kauperbuat ini terhadap kami
dengan membawa kami keluar dari Mesir?" (Keluaran 14:11). Namun Yesus justru menjadikan padang gurun sebagai tempat Dia berpuasa selama 40 hari 40 malam.
Setelah berpuasa selama 40 hari 40 malam, sebagai manusia, Yesus merasa lapar. Kesempatan ini pun tidak disia-siakan oleh Iblis untuk mencobai-Nya dengan berkata, "Jika Engkau Anak Allah, perintahkanlah supaya batu-batu ini menjadi roti." (Matius 4:3). Iblis menyapa Yesus sebagai Putera Bapa, hendak mengingatkan-Nya bahwa Ia memiliki kuasa untuk melakukan mujizat. Dengan kuasa-Nya Yesus memang pasti mampu mengubah batu menjadi roti. Iblis tahu persis bahwa makanan adalah kebutuhan pokok yang paling mendasar untuk kelangsungan hidup manusia. Tetapi Yesus dapat melawan godaan Iblis ini dengan berkata, "Ada tertulis: Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah." (Matius 4:4).
Tuesday, October 17, 2017
Monday, October 16, 2017
APAKAH HATI KITA TANAH YANG BAIK?
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 16 Oktober 2017
Baca: Lukas 8:4-15
"Yang jatuh di tanah yang baik itu ialah orang, yang setelah mendengar firman itu, menyimpannya dalam hati yang baik dan mengeluarkan buah dalam ketekunan." Lukas 8:15
Amsal 27:19: "Seperti air mencerminkan wajah, demikianlah hati manusia mencerminkan manusia itu." Itulah sebabnya kita harus menjaga kondisi hati kita dengan segala kewaspadaan, sebab dari situlah terpancar kehidupan (baca Amsal 4:23), dan dari hati timbul segala pikiran jahat (baca Matius 15:19). Ini menunjukkan bahwa kondisi hati memiliki peranan penting dalam perjalanan hidup kita. Apa yang terjadi dengan hidup ini sangat bergantung pada apa yang ada di hati, dan gambaran hidup yang sekarang sedang kita kita jalani adalah juga cerminan hati kita. Kalau hati kita bersih, jalan hidup kita juga akan bersih; jika hati kita penuh sukacita maka kita akan mengerjakan segala sesuatu juga dengan sukacita. Tetapi apabila hati kita pahit, jalan yang kita tempuh pun akan diwarnai dengan kepahitan.
Alkitab sering menggambarkan hati manusia sebagai tanah: ada yang berbatu-batu, tanah di pinggiran jalan yang keras, tanah yang penuh semak duri, tetapi ada juga tanah yang subur, tanah di mana benih firman Tuhan dapat bertumbuh dan akan berbuah lebat. Meskipun sama-sama mendengar firman Tuhan, dampaknya terhadap masing-masing orang berbeda, sangat bergantung pada kondisi 'tanah' hati mereka. Jika mereka mendengar firman, tetapi hati keras dan berbatu, firman Tuhan tidak akan berarti apa-apa dalam hidup mereka.
Hati dikategorikan sebagai tanah yang baik apabila ia dalam keadaan bersih: tidak ada kebencian, sakit hati, kepahitan, kecewa, dendam, atau ambisi-ambisi duniawi. Sekalipun kita rajin datang ke ibadah dan mendengarkan khotbah berkali-kali, tetapi jika hati kita belum beres dari hal-hal tersebut (benci, sakit hati, pahit, kecewa, dendam, ambisi dan lain-lain), maka firman Tuhan itu tidak akan berdampak dalam hidup kita. "Apakah Dia yang menguji hati tidak tahu yang sebenarnya?" (Amsal 24:12). Tanah hati seperti ini harus dibajak, dicangkul, dibersihkan dan diratakan. Daud berdoa: "Selidikilah aku, ya Allah, dan kenallah hatiku, ujilah aku dan kenallah pikiran-pikiranku;" (Mazmur 139:23).
Benih firman yang tertanam di tanah hati yang baik pasti tumbuh dan berbuah lebat!
Baca: Lukas 8:4-15
"Yang jatuh di tanah yang baik itu ialah orang, yang setelah mendengar firman itu, menyimpannya dalam hati yang baik dan mengeluarkan buah dalam ketekunan." Lukas 8:15
Amsal 27:19: "Seperti air mencerminkan wajah, demikianlah hati manusia mencerminkan manusia itu." Itulah sebabnya kita harus menjaga kondisi hati kita dengan segala kewaspadaan, sebab dari situlah terpancar kehidupan (baca Amsal 4:23), dan dari hati timbul segala pikiran jahat (baca Matius 15:19). Ini menunjukkan bahwa kondisi hati memiliki peranan penting dalam perjalanan hidup kita. Apa yang terjadi dengan hidup ini sangat bergantung pada apa yang ada di hati, dan gambaran hidup yang sekarang sedang kita kita jalani adalah juga cerminan hati kita. Kalau hati kita bersih, jalan hidup kita juga akan bersih; jika hati kita penuh sukacita maka kita akan mengerjakan segala sesuatu juga dengan sukacita. Tetapi apabila hati kita pahit, jalan yang kita tempuh pun akan diwarnai dengan kepahitan.
Alkitab sering menggambarkan hati manusia sebagai tanah: ada yang berbatu-batu, tanah di pinggiran jalan yang keras, tanah yang penuh semak duri, tetapi ada juga tanah yang subur, tanah di mana benih firman Tuhan dapat bertumbuh dan akan berbuah lebat. Meskipun sama-sama mendengar firman Tuhan, dampaknya terhadap masing-masing orang berbeda, sangat bergantung pada kondisi 'tanah' hati mereka. Jika mereka mendengar firman, tetapi hati keras dan berbatu, firman Tuhan tidak akan berarti apa-apa dalam hidup mereka.
Hati dikategorikan sebagai tanah yang baik apabila ia dalam keadaan bersih: tidak ada kebencian, sakit hati, kepahitan, kecewa, dendam, atau ambisi-ambisi duniawi. Sekalipun kita rajin datang ke ibadah dan mendengarkan khotbah berkali-kali, tetapi jika hati kita belum beres dari hal-hal tersebut (benci, sakit hati, pahit, kecewa, dendam, ambisi dan lain-lain), maka firman Tuhan itu tidak akan berdampak dalam hidup kita. "Apakah Dia yang menguji hati tidak tahu yang sebenarnya?" (Amsal 24:12). Tanah hati seperti ini harus dibajak, dicangkul, dibersihkan dan diratakan. Daud berdoa: "Selidikilah aku, ya Allah, dan kenallah hatiku, ujilah aku dan kenallah pikiran-pikiranku;" (Mazmur 139:23).
Benih firman yang tertanam di tanah hati yang baik pasti tumbuh dan berbuah lebat!
Subscribe to:
Posts (Atom)