Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 24 Juni 2017
Baca: Lukas 12:13-21
"Jiwaku, ada padamu banyak barang, tertimbun untuk bertahun-tahun
lamanya; beristirahatlah, makanlah, minumlah dan bersenang-senanglah!" Lukas 12:19
Orang yang tidak pernah merasa puas dengan kekayaan yang dimiliki akan terus berusaha mendapatkan kekayaan lebih dan lebih lagi; dan karena tidak pernah ada rasa cukup, apabila ia tidak mawas diri, akan terjerat dalam ketamakan. Tamak artinya selalu ingin beroleh banyak untuk diri sendiri, loba, serakah, rakus. Tamak terhadap harta kekayaan adalah salah satu penyakit hati yang sangat membahayakan kehidupan manusia. Tamak menyebabkan dengki, permusuhan, perbuatan keji, dusta, curang, dan menjauhkan pelakunya dari ketaatan. Bermula dari mengejar kekayaan, orang rentan terhadap dosa. "Tetapi mereka yang ingin kaya terjatuh ke dalam pencobaan, ke dalam
jerat dan ke dalam berbagai-bagai nafsu yang hampa dan yang
mencelakakan, yang menenggelamkan manusia ke dalam keruntuhan dan
kebinasaan." (1 Timotius 6:9), padahal kekayaan materi itu sementara, tidak kekal, barang fana, sekarang ada esok hari bisa saja lenyap.
Apalagi bahaya berkenaan kekayaan? 2. Kekayaan tidak menjamin keselamatan jiwa. Apalah artinya orang memiliki kekayaan materi yang berlimpah-limpah jika pada akhirnya mengalami kebinasaan kekal? "...sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah tergantung dari pada kekayaannya itu." (Lukas 12:15). Hal inilah yang menjadi alasan Tuhan Yesus berkata, "...sesungguhnya sukar sekali bagi seorang kaya untuk masuk ke dalam Kerajaan Sorga." (Matius 19:23). Ayub pun menyadari: "Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya." (Ayub 1:21a), artinya kita tidak membawa apa-apa saat datang ke dalam dunia dan kita pun tidak akan membawa apa pun juga saat meninggalkan dunia (baca 1 Timotius 6:7).
Jangan terlalu asyik mengumpulkan harta kekayaan di bumi, sehingga kita lalai untuk mengumpulkan harta yang sesungguhnya yaitu harga sorgawi; jangan sampai kita mengutamakan perkara-perkara duniawi lalu mengabaikan perkara-perkara rohani. "Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada." (Matius 6:21).
Tamak akan kekayaan hanya akan membawa seseorang kepada kebinasaan: ketika diberkati dengan kekayaan melimpah seharusnya makin kaya dalam kebajikan!
Saturday, June 24, 2017
Friday, June 23, 2017
JANGAN TAMAK (1)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 23 Juni 2017
Baca: Lukas 12:13-21
"Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan, sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah tergantung dari pada kekayaannya itu." Lukas 12:15
Kekayaan adalah sesuatu yang penting bagi kelangsungan hidup manusia. Dengan kekayaan orang dapat memenuhi keinginannya. Secara manusiawi ini wajar dan bukanlah dosa karena Alkitab tidak pernah melarang umat-Nya memiliki kekayaan yang berlimpah (menjadi kaya). Tuhan Yesus berkata, "Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan." (Yohanes 10:10b).
Namun harus diperhatikan bagaimana proses memperoleh kekayaan atau menjadi orang kaya, karena paradigma orang terhadap kekayaan akan menentukan sikapnya terhadap kekayaan itu sendiri. Paradigma yang benar akan menciptakan suatu kesadaran diri untuk mewaspadai bahaya atau ancaman dari kekayaan tersebut. Setidaknya ada tiga bahaya yang patut diwaspadai berkenaan dengan kekayaan: 1. Kekayaan tidak pernah memberikan rasa cukup. "Siapa mencintai uang tidak akan puas dengan uang, dan siapa mencintai kekayaan tidak akan puas dengan penghasilannya. Inipun sia-sia. Dengan bertambahnya harta, bertambah pula orang-orang yang menghabiskannya. Dan apakah keuntungan pemiliknya selain dari pada melihatnya?" (Pengkhotbah 5:9-10).
Rasul Paulus mengajarkan kepada kita agar senantiasa memiliki rasa cukup. "Memang ibadah itu kalau disertai rasa cukup, memberi keuntungan besar. Sebab kita tidak membawa sesuatu apa ke dalam dunia dan kitapun tidak dapat membawa apa-apa ke luar. Asal ada makanan dan pakaian, cukuplah." (1 Timotius 6:6-8). Rasa cukup diterjemahkan dari kata Yunani (autarkeias) yang berarti kepuasan batiniah yang membuat seseorang menjadi sejahtera dengan apa yang dimilikinya. Rasul Paulus berkata, "...sebab aku telah belajar mencukupkan diri dalam segala keadaan." (Filipi 4:11). Yesus juga mengajarkan konsep rasa cukup ini dalam Doa Bapa Kami (baca Matius 6:11). Jadi sesungguhnya rasa cukup itu tidak bergantung pada seberapa banyak kekayaan materi yang dimiliki, melainkan berasal dari sikap hati orang terhadap kekayaan yang ada padanya. Ada banyak orang yang memiliki kekayaan melimpah tapi tak pernah merasa cukup. (Bersambung)
Baca: Lukas 12:13-21
"Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan, sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah tergantung dari pada kekayaannya itu." Lukas 12:15
Kekayaan adalah sesuatu yang penting bagi kelangsungan hidup manusia. Dengan kekayaan orang dapat memenuhi keinginannya. Secara manusiawi ini wajar dan bukanlah dosa karena Alkitab tidak pernah melarang umat-Nya memiliki kekayaan yang berlimpah (menjadi kaya). Tuhan Yesus berkata, "Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan." (Yohanes 10:10b).
Namun harus diperhatikan bagaimana proses memperoleh kekayaan atau menjadi orang kaya, karena paradigma orang terhadap kekayaan akan menentukan sikapnya terhadap kekayaan itu sendiri. Paradigma yang benar akan menciptakan suatu kesadaran diri untuk mewaspadai bahaya atau ancaman dari kekayaan tersebut. Setidaknya ada tiga bahaya yang patut diwaspadai berkenaan dengan kekayaan: 1. Kekayaan tidak pernah memberikan rasa cukup. "Siapa mencintai uang tidak akan puas dengan uang, dan siapa mencintai kekayaan tidak akan puas dengan penghasilannya. Inipun sia-sia. Dengan bertambahnya harta, bertambah pula orang-orang yang menghabiskannya. Dan apakah keuntungan pemiliknya selain dari pada melihatnya?" (Pengkhotbah 5:9-10).
Rasul Paulus mengajarkan kepada kita agar senantiasa memiliki rasa cukup. "Memang ibadah itu kalau disertai rasa cukup, memberi keuntungan besar. Sebab kita tidak membawa sesuatu apa ke dalam dunia dan kitapun tidak dapat membawa apa-apa ke luar. Asal ada makanan dan pakaian, cukuplah." (1 Timotius 6:6-8). Rasa cukup diterjemahkan dari kata Yunani (autarkeias) yang berarti kepuasan batiniah yang membuat seseorang menjadi sejahtera dengan apa yang dimilikinya. Rasul Paulus berkata, "...sebab aku telah belajar mencukupkan diri dalam segala keadaan." (Filipi 4:11). Yesus juga mengajarkan konsep rasa cukup ini dalam Doa Bapa Kami (baca Matius 6:11). Jadi sesungguhnya rasa cukup itu tidak bergantung pada seberapa banyak kekayaan materi yang dimiliki, melainkan berasal dari sikap hati orang terhadap kekayaan yang ada padanya. Ada banyak orang yang memiliki kekayaan melimpah tapi tak pernah merasa cukup. (Bersambung)
Subscribe to:
Posts (Atom)