Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 24 Februari 2017
Baca: Lukas 14:25-35
"Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak dapat menjadi murid-Ku." Lukas 14:27
Dunia ini dipenuhi dengan ketidakadilan, penyimpangan, kekerasan dan hidup yang mementingkan diri sendiri. Manusia lebih memilih berjalan menurut kehendaknya sendiri, tidak lagi peduli apakah itu sesat dan merugikan orang lain. Ketika dihadapkan pada fenomena ini, haruskah orang percaya mengikuti jejak orang dunia dengan pola hidupnya yang bertentangan dengan kebenaran, ataukah tetap teguh meneladani Kristus hidup?
Tuhan Yesus berkata, "Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Sorga." (Matius 16:19a), namun 'kunci' itu tidak Ia berikan kepada semua orang, hanya kepada mereka yang bersedia untuk membayar harga yaitu memikul salib dan mengikut Dia. Memikul salib berarti bersedia untuk menyangkal diri sendiri. Itu tidak mudah, karena kehendak dan kemauan kita cenderung berlawanan dengan kehendak Tuhan. Kehendak dan kemauan kita adalah melakukan apa yang menyenangkan daging, "Sebab mereka yang hidup menurut daging, memikirkan hal-hal yang dari daging;" (Roma 8:5). Untuk layak disebut murid Tuhan tidak ada jalan lain selain harus melawan keinginan daging. Sakit memang! Namun rasa sakit itu tidak sebanding dengan penderitaan Tuhan Yesus yang sudah memikul salib-Nya, dan salib yang dipikul-Nya adalah masalah terberat yang dihadapi oleh seluruh umat manusia yaitu dosa, dan "Dialah yang memikul kelemahan kita dan menanggung penyakit kita." (Matius 8:17), bahkan Ia rela mencucurkan darah-Nya dan mati bagi kita di kayu salib. Jadi salib yang harus kita pikul setiap hari sesungguhnya tidak sebanding dengan kemenangan yang Tuhan berikan.
Memikul salib juga berarti rela menderita karena kebenaran. Tuhan Yesus berkata, "Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga. Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat. Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di sorga, sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu." (Matius 5:10-12).
"Barangsiapa menjadi milik Kristus Yesus, ia telah menyalibkan daging dengan segala hawa nafsu dan keinginannya." Galatia 5:24
Friday, February 24, 2017
Thursday, February 23, 2017
SEMANGAT TANPA KETAATAN ADALAH PERCUMA
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 23 Februari 2017
Baca: 2 Samuel 6:1-23
"Ketika mereka sampai ke tempat pengirikan Nakhon, maka Uza mengulurkan tangannya kepada tabut Allah itu, lalu memegangnya, karena lembu-lembu itu tergelincir." 2 Samuel 6:6
Dari pembacaan firman ini kita melihat betapa bersemangatnya bangsa Israel saat membawa tabut Tuhan kembali ke Yerusalem. "Mereka menaikkan tabut Allah itu ke dalam kereta yang baru setelah mengangkatnya dari rumah Abinadab yang di atas bukit. Lalu Uza dan Ahyo, anak-anak Abinadab, mengantarkan kereta itu. Daud dan seluruh kaum Israel menari-nari di hadapan TUHAN dengan sekuat tenaga, diiringi nyanyian, kecapi, gambus, rebana, kelentung dan ceracap." (ayat 3, 5). Tabut adalah tanda kehadiran Tuhan di tengah umat-Nya dan menjadi pusat dari kehidupan bangsa Israel.
Karena terlalu bersemangat sampai-sampai mereka mengabaikan aturan-aturan yang telah ditetapkan. Dalam aturan tersebut dijelaskan bahwa tak seorang pun diperbolehkan menyentuh tabut perjanjian, lambang kehadiran Tuhan itu. "...janganlah mereka kena kepada barang-barang kudus itu, nanti mereka mati." (Bilangan 4:15). Namun Uza telah melanggar ketetapan Tuhan itu, yaitu "...mengulurkan tangannya kepada tabut Allah itu," (ayat nas). Karena keteledorannya ini Uza harus menuai akibatnya, "...ia mati di sana dekat tabut Allah itu." (2 Samuel 6:7). Ternyata, bermodalkan semangat saja dalam melayani Tuhan tidaklah cukup tanpa disertai pengenalan yang benar akan Tuhan dan taat melakukan kehendak-Nya. "Sebab Aku menyukai kasih setia, dan bukan korban sembelihan, dan menyukai pengenalan akan Allah, lebih dari pada korban-korban bakaran." (Hosea 6:6). Dalam penilaian Tuhan ketaatan itu jauh lebih berharga daripada sekedar semangat dalam melayani, bahkan jauh bernilai dibandingkan dengan korban persembahan kita.
Mungkin kita cakap berkhotbah, menjadi worship leader hebat, atau memiliki jam terbang pelayanan mumpuni, tapi jika kita tidak menjadi pelaku firman, maka apa yang kita lakukan tak lebih seremonial belaka. Memang kita hidup di bawah kasih karunia, namun setiap pelanggaran atau ketidaktaatan tetaplah memiliki konsekuensi.
Mempersembahkan tubuh sebagai persembahan yang hidup, kudus dan yang berkenan (taat) adalah tanda kita menghargai hadirat Tuhan!
Baca: 2 Samuel 6:1-23
"Ketika mereka sampai ke tempat pengirikan Nakhon, maka Uza mengulurkan tangannya kepada tabut Allah itu, lalu memegangnya, karena lembu-lembu itu tergelincir." 2 Samuel 6:6
Dari pembacaan firman ini kita melihat betapa bersemangatnya bangsa Israel saat membawa tabut Tuhan kembali ke Yerusalem. "Mereka menaikkan tabut Allah itu ke dalam kereta yang baru setelah mengangkatnya dari rumah Abinadab yang di atas bukit. Lalu Uza dan Ahyo, anak-anak Abinadab, mengantarkan kereta itu. Daud dan seluruh kaum Israel menari-nari di hadapan TUHAN dengan sekuat tenaga, diiringi nyanyian, kecapi, gambus, rebana, kelentung dan ceracap." (ayat 3, 5). Tabut adalah tanda kehadiran Tuhan di tengah umat-Nya dan menjadi pusat dari kehidupan bangsa Israel.
Karena terlalu bersemangat sampai-sampai mereka mengabaikan aturan-aturan yang telah ditetapkan. Dalam aturan tersebut dijelaskan bahwa tak seorang pun diperbolehkan menyentuh tabut perjanjian, lambang kehadiran Tuhan itu. "...janganlah mereka kena kepada barang-barang kudus itu, nanti mereka mati." (Bilangan 4:15). Namun Uza telah melanggar ketetapan Tuhan itu, yaitu "...mengulurkan tangannya kepada tabut Allah itu," (ayat nas). Karena keteledorannya ini Uza harus menuai akibatnya, "...ia mati di sana dekat tabut Allah itu." (2 Samuel 6:7). Ternyata, bermodalkan semangat saja dalam melayani Tuhan tidaklah cukup tanpa disertai pengenalan yang benar akan Tuhan dan taat melakukan kehendak-Nya. "Sebab Aku menyukai kasih setia, dan bukan korban sembelihan, dan menyukai pengenalan akan Allah, lebih dari pada korban-korban bakaran." (Hosea 6:6). Dalam penilaian Tuhan ketaatan itu jauh lebih berharga daripada sekedar semangat dalam melayani, bahkan jauh bernilai dibandingkan dengan korban persembahan kita.
Mungkin kita cakap berkhotbah, menjadi worship leader hebat, atau memiliki jam terbang pelayanan mumpuni, tapi jika kita tidak menjadi pelaku firman, maka apa yang kita lakukan tak lebih seremonial belaka. Memang kita hidup di bawah kasih karunia, namun setiap pelanggaran atau ketidaktaatan tetaplah memiliki konsekuensi.
Mempersembahkan tubuh sebagai persembahan yang hidup, kudus dan yang berkenan (taat) adalah tanda kita menghargai hadirat Tuhan!
Subscribe to:
Posts (Atom)