Friday, July 8, 2016

MEMUJI TUHAN: Sikap Hati Benar (1)

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 8 Juli 2016 

Baca:  Mazmur 149:1-9

"Haleluya! Nyanyikanlah bagi TUHAN nyanyian baru! Pujilah Dia dalam jemaah orang-orang saleh."  Mazmur 149:1

Ada banyak orang, tak terkecuali orang Kristen, tidak mengerti bahwa sesungguhnya semua manusia yang ada di dunia ini diciptakan untuk memuji Tuhan, sebab ada tertulis:  "Biarlah segala yang bernafas memuji TUHAN! Haleluya!"  (Mazmur 150:6).  Oleh karenanya memuji dan meninggikan nama Tuhan seharusnya menjadi bagian hidup sehari-hari.

     Dalam kekristenan memuji Tuhan adalah unsur penting dalam setiap peribadatan dan mendapatkan porsi lebih, namun sering terlihat ada jemaat yang menganggap remeh arti puji-pujian bagi Tuhan.  Terbukti dari sikap dan reaksi mereka dalam memuji Tuhan saat ibadah berlangsung:  ada yang memuji Tuhan dengan asal-asalan, setengah hati, tanpa semangat, ala kadarnya, bahkan ada yang memuji Tuhan sambil cekikikan, bersenda gurau, atau sambil memainkan handphone.  Jika ditegur mereka akan berdalih,  "Menyanyi itu bukan bidangku.  Aku tidak nyaman dengan lagu yang dibawakan worship leader, sangat membosankan.  Aku tidak suka memuji Tuhan dengan suara yang keras, cukup di dalam hati saja."  Selama nafas masih berhembus tidak ada alasan tidak memuji Tuhan, sebab memuji Tuhan bukan berbicara tentang bakat, suara bagus atau jelek, suka atau tidak suka lagunya, namun berbicara tentang pengakuan seseorang kepada Tuhan dan persetujuan mengenai keberadaan-Nya sebagai Pribadi yang layak menerima pujian dari umat ciptaan-Nya.  Perlu digarisbawahi pula bahwa memuji Tuhan tidak cukup hanya di dalam hati, tapi kita perlu memiliki pujian di mulut, harus diucapkan dan disuarakan, yang keluar dari lubuk hati terdalam, bukan sebatas ucapan atau lips service.

     Inilah yang dilakukan pemazmur:  "Aku hendak memuji TUHAN pada segala waktu; puji-pujian kepada-Nya tetap di dalam mulutku."  (Mazmur 34:2).  Kata memuji berasal dari kata dasar puji yang berarti pengakuan dan penghargaan yang tulus terhadap kebaikan, keunggulan sesuatu.  Memuji berarti menyatakan kekaguman dan penghargaan kepada sesuatu/seseorang dengan kata-kata yang tentunya dianggap sangat positif, semisal memuji seseorang karena ia memiliki kemampuan, keahlian, prestasi, keunggulan atau kualitas di atas rata-rata orang pada umumnya.  (Bersambung)

Thursday, July 7, 2016

PENTINGNYA PENGUASAAN DIRI (2)

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 7 Juli 2016 

Baca:  Kolose 3:5-17

"Karena itu matikanlah dalam dirimu segala sesuatu yang duniawi,"  Kolose 3:5

Dalam hal apa orang percaya harus bisa menguasai diri?  Salah satunya adalah dalam hal kesenangan duniawi,  "Sebab semua yang ada di dalam dunia, yaitu keinginan daging dan keinginan mata serta keangkuhan hidup, bukanlah berasal dari Bapa, melainkan dari dunia. Dan dunia ini sedang lenyap dengan keinginannya, tetapi orang yang melakukan kehendak Allah tetap hidup selama-lamanya."  (1 Yohanes 2:16-17).

     Berbagai kesenangan dan kenikmatan yang memanjakan daging sedang dunia tawarkan kepada pancaindera dan tidak sedikit orang terjebak dan tenggelam di dalamnya, ditunjang perkembangan teknologi yang semakin mutakhir, dimana informasi apa saja dapat dengan mudah diakses, mulai dari yang positif sampai kepada yang negatif.  Orang juga dapat melakukan apa saja melalui media online:  berbisnis, berteman atau melakukan perbuatan yang menyimpang dari kebenaran seperti judi online, bahkan prostitusi online yang sedang marak akhir-akhir ini.  Karena terpesona indahnya dunia ini orang tidak segan-segan mengeluarkan banyak uang demi memuaskan hasratnya.  "Mengapakah kamu belanjakan uang untuk sesuatu yang bukan roti, dan upah jerih payahmu untuk sesuatu yang tidak mengenyangkan?"  (Yesaya 55:2).  Firman Tuhan memperingatkan,  "Karena itu harus lebih teliti kita memperhatikan apa yang telah kita dengar, supaya kita jangan hanyut dibawa arus."  (Ibrani 2:1).  Ingatlah, status kita bukanlah milik dunia ini melainkan milik Tuhan  (baca  Yohanes 17:9-10), karena itu kita harus berusaha menjadi pribadi yang  'berbeda'  dari dunia ini.  Jangan sampai kesenangan dunia ini semakin menjauhkan kita dari Tuhan sehingga Tuhan bukan lagi yang utama dalam hidup ini.  Namun  "Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya? Dan apakah yang dapat diberikannya sebagai ganti nyawanya?"  (Matius 16:26).

     Musa mampu menguasai diri terhadap kesenangan duniawi sehingga rela meninggalkan segala kenyamanan di Mesir dan lebih memilih untuk menderita sengsara bersama umat Tuhan di padang gurun  (baca  Ibrani 11:24-26), sebab pandangannya ia arahkan kepada upah yang kekal.

"Sebab, jika kamu hidup menurut daging, kamu akan mati; tetapi jika oleh Roh kamu mematikan perbuatan-perbuatan tubuhmu, kamu akan hidup."  Roma 8:13