Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 10 Januari 2016
Baca: Markus 9:33-37
"Jika seseorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya." Markus 9:35
Kapernaum adalah salah satu kota penting tidak asing bagi pelayanan Tuhan Yesus. Banyak perkara dikerjakan Tuhan Yesus di kota itu: menyembuhkan hamba seorang perwira, menyembuhkan orang lumpuh yang diturunkan dari atap rumah, mengajar dan juga memanggil murid-murid dan sebagainya. Karena itu Alkitab menyebut Kapernaum sebagai kota-Nya sendiri (baca Matius 9:1).
Ironisnya meski banyak mujizat dikerjakan oleh Tuhan Yesus di Kapernaum hanya sedikit orang yang mau percaya kepada-Nya. Di kota itu pula saat berkumpul dengan murid-murid-Nya Tuhan Yesus mendengar perdebatan mereka yang mempersoalkan tentang siapa di antara mereka yang layak menjadi murid Tuhan yang 'terbesar'. Jujur saja tidak ada seorang pun yang mau menjadi orang 'terkecil', dipandang sebelah mata atau diremehkan oleh sesamanya. Sebaliknya semua orang memiliki keinginan atau hasrat untuk menjadi yang terbesar. Bukan rahasia pula jika manusia seringkali mengukur 'kebesaran' seseorang berdasarkan apa yang mereka lihat secara kasat mata: memiliki banyak gelar, berpangkat dan memiliki harta kekayaan melimpah. Karena itu dunia berpandangan bahwa orang yang terbesar adalah orang yang selalu dilayani dan disebut boss, sedangkan orang yang melayani adalah orang kecil atau bawahan. Namun apalah artinya kita menjadi terbesar di hadapan manusia tetapi keberadaan kita ini terkecil' alias tidak dianggap oleh Tuhan?
Untuk menjadi yang terbesar Tuhan Yesus justru memiliki pola yang berbeda yaitu harus melayani, bukan dilayani, sama seperti Dia datang ke dunia bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani (baca Matius 20:28). Seorang hamba Tuhan yang tidak hanya memperhatikan jemaat kaya tetapi juga mau 'turun' untuk melayani jemaat miskin masuk kategori sebagai orang terbesar di mata Tuhan. Sayang sekali di zaman sekarang ini masih saja ada hamba-hamba Tuhan yang pilih-pilih tempat ketika melayani, bahkan ada yang memasang bandrol (tarif) dan meminta fasilitas yang serba 'wah' ketika diundang untuk berkhotbah, tidak jauh berbeda dengan selebriti dunia.
Yang terbesar di mata Tuhan adalah mereka yang mau melayani, bukan dilayani!
Sunday, January 10, 2016
Saturday, January 9, 2016
ABIGAIL: Wanita Idaman (2)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 9 Januari 2016
Baca: 1 Samuel 25:23-44
"Terpujilah TUHAN, Allah Israel, yang mengutus engkau menemui aku pada hari ini; terpujilah kebijakanmu dan terpujilah engkau sendiri, bahwa engkau pada hari ini menahan aku dari pada melakukan hutang darah dan dari pada bertindak sendiri dalam mencari keadilan." 1 Samuel 25:32-33
Waktu terjadi permusuhan antara Daud dengan suaminya yang jahat dan kikir, Abigail tampil sebagai penengah sekaligus penolong yang sepadan bagi suaminya. Dengan kerendahan hati ia memohon pengampunan kepada Daud: "Ia sujud pada kaki Daud serta berkata: 'Aku sajalah, ya tuanku, yang menanggung kesalahan itu. Izinkanlah hambamu ini berbicara kepadamu, dan dengarkanlah perkataan hambamu ini.'" (ayat 24).
Abigail mengingatkan Daud agar tidak mengotori tangannya dengan darah orang jahat seperti Nabal. Meski suaminya berlaku kasar dan jahat Abigail tidak meminta Tuhan menghukumnya, atau menggunakan jurus 'aji mumpung' dengan kemarahan Daud ini, tapi tetap menunjukkan sikap sebagai isteri yang baik dan mengasihi suami apapun keadaannya, dengan meminta keselamatan bagi suaminya. Nabal adalah pria yang sangat beruntung karena ia memiliki isteri yang cantik luar dalam. "...isteri yang berakal budi adalah karunia TUHAN." (Amsal 19:14). Sesuai dengan arti namanya, keberadaan Abigail benar-benar menghadirkan kebahagiaan di dalam keluarga Nabal.
Apa yang dilakukan Abigail ini juga menjadi sebuah teguran dan peringatan bagi Daud agar ia tidak mudah panas hati atau marah terhadap orang yang berbuat jahat. Karena pengalamannya ini Daud menulis: "Jangan marah karena orang yang berbuat jahat, jangan iri hati kepada orang yang berbuat curang; ...Berhentilah marah dan tinggalkanlah panas hati itu, jangan marah, itu hanya membawa kepada kejahatan." (Mazmur 37:1, 8). Alkitab menasihati, "Janganlah kamu kalah terhadap kejahatan, tetapi kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan!" (Roma 12:21), sebab "Pembalasan itu adalah hak-Ku. Akulah yang akan menuntut pembalasan, firman Tuhan." (Roma 12:19). Terbukti, Nabal harus menuai akibat dari kesombongan dan kejahatannya: "Dan kira-kira sepuluh hari sesudah itu TUHAN memukul Nabal, sehingga ia mati." (1 Samuel 25:38).
Dengan membatalkan niat melakukan balas dendam, Daud terhindar dari kemungkinan yang lebih buruk dan ia pun dibela Tuhan!
Baca: 1 Samuel 25:23-44
"Terpujilah TUHAN, Allah Israel, yang mengutus engkau menemui aku pada hari ini; terpujilah kebijakanmu dan terpujilah engkau sendiri, bahwa engkau pada hari ini menahan aku dari pada melakukan hutang darah dan dari pada bertindak sendiri dalam mencari keadilan." 1 Samuel 25:32-33
Waktu terjadi permusuhan antara Daud dengan suaminya yang jahat dan kikir, Abigail tampil sebagai penengah sekaligus penolong yang sepadan bagi suaminya. Dengan kerendahan hati ia memohon pengampunan kepada Daud: "Ia sujud pada kaki Daud serta berkata: 'Aku sajalah, ya tuanku, yang menanggung kesalahan itu. Izinkanlah hambamu ini berbicara kepadamu, dan dengarkanlah perkataan hambamu ini.'" (ayat 24).
Abigail mengingatkan Daud agar tidak mengotori tangannya dengan darah orang jahat seperti Nabal. Meski suaminya berlaku kasar dan jahat Abigail tidak meminta Tuhan menghukumnya, atau menggunakan jurus 'aji mumpung' dengan kemarahan Daud ini, tapi tetap menunjukkan sikap sebagai isteri yang baik dan mengasihi suami apapun keadaannya, dengan meminta keselamatan bagi suaminya. Nabal adalah pria yang sangat beruntung karena ia memiliki isteri yang cantik luar dalam. "...isteri yang berakal budi adalah karunia TUHAN." (Amsal 19:14). Sesuai dengan arti namanya, keberadaan Abigail benar-benar menghadirkan kebahagiaan di dalam keluarga Nabal.
Apa yang dilakukan Abigail ini juga menjadi sebuah teguran dan peringatan bagi Daud agar ia tidak mudah panas hati atau marah terhadap orang yang berbuat jahat. Karena pengalamannya ini Daud menulis: "Jangan marah karena orang yang berbuat jahat, jangan iri hati kepada orang yang berbuat curang; ...Berhentilah marah dan tinggalkanlah panas hati itu, jangan marah, itu hanya membawa kepada kejahatan." (Mazmur 37:1, 8). Alkitab menasihati, "Janganlah kamu kalah terhadap kejahatan, tetapi kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan!" (Roma 12:21), sebab "Pembalasan itu adalah hak-Ku. Akulah yang akan menuntut pembalasan, firman Tuhan." (Roma 12:19). Terbukti, Nabal harus menuai akibat dari kesombongan dan kejahatannya: "Dan kira-kira sepuluh hari sesudah itu TUHAN memukul Nabal, sehingga ia mati." (1 Samuel 25:38).
Dengan membatalkan niat melakukan balas dendam, Daud terhindar dari kemungkinan yang lebih buruk dan ia pun dibela Tuhan!
Subscribe to:
Posts (Atom)