Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 15 November 2015
Baca: Markus 6:1-6a
"Bukankah Ia ini tukang kayu, anak Maria, saudara Yakobus, Yoses, Yudas dan Simon?...Lalu mereka kecewa dan menolak Dia." Markus 6:3
Adalah sifat manusia selalu memandang dan menilai segala sesuatu dari sisi luarnya saja, karena itu mereka menghormati dan menghargai sesamanya berdasarkan status sosial. Sementara orang yang tampak biasa cenderung diremehkan dan disepelekan.
Hal ini juga dialami Yesus, Putera Allah yang datang dari sorga ke dunia dalam wujud sebagai manusia biasa dan menjadi saudara dari orang biasa, Ia pun dipandang rendah. Yesus dinilai tak lebih dari anak tukang kayu, suatu profesi yang tidak terpandang di mata manusia. Janganlah sekali-kali kita meremehkan atau memandang rendah orang lain yang secara kasat mata tampak sederhana dan tak punya keistimewaan apa-apa seperti yang diperbuat orang-orang Nazaret yang menghina Yesus, "Dari mana diperoleh-Nya semuanya itu? Hikmat apa pulakah yang diberikan
kepada-Nya? Dan mujizat-mujizat yang demikian bagaimanakah dapat
diadakan oleh tangan-Nya?" (ayat 2). Bukankah banyak orang Kristen berlaku demikian? Memilih-milih pembicara saat datang beribadah. Bila yang berkotbah hamba Tuhan terkenal dan tampak perlente kita begitu menghormati, mengagumi dan mengidolakannya. Tetapi ketika yang berkotbah hamba Tuhan sederhana, kurang terkenal, biasa dan tidak ada istimewanya menurut pemandangan kita, kita pun kurang menghargai dan menyepelekan dia. Bila yang kita cari dan kagumi adalah manusia suatu saat kita pasti kecewa, karena manusia bisa bisa saja menipu dan mengenakan 'topeng'. Manusia yang dari luar tampak hebat dan luar biasa belum tentu hidupnya dikenan oleh Tuhan.
Samuel pun memiliki penilaian yang salah ketika diutus Tuhan untuk memilih salah satu anak Isai untuk diurapi menjadi raja. Begitu melihat Eliab, yang fisiknya gagah perkasa, ia pun berpikir, "Sungguh, di hadapan TUHAN sekarang berdiri yang diurapi-Nya." (1 Samuel 16:6). Namun justru Daudlah, anak bungsu Isai yang pekerjaannya sebagai penggembala domba dan sangat sederhana, yang dipilih Tuhan menjadi raja, karena Daud memiliki kehidupan yang berkenan di hati Tuhan.
"Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati." 1 Samuel 16:7b
Sunday, November 15, 2015
Saturday, November 14, 2015
BERPALING DARI INJIL YANG SEJATI (2)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 14 November 2015
Baca: Galatia 1:11-24
"Di hadapan Allah kutegaskan: apa yang kutuliskan kepadamu ini benar, aku tidak berdusta." Galatia 1:20
Injil lain yang diajarkan guru-guru palsu telah terkontaminasi dengan tradisi, yang menyatakan bahwa jalan menuju keselamatan adalah iman, melakukan hukum Taurat dan tradisi. Mereka menyatakan bahwa anugerah keselamatan Tuhan Yesus harus ditambah dengan sesuatu yang lain lagi. Tradisi dalam konteks jemaat di Galatia adalah perihal sunat. Inilah yang membuat Paulus terheran-heran, mengapa jemaat Galatia begitu mudahnya percaya dan berpaling kepada Injil lain yang diajarkan guru-guru palsu. Padahal jemaat Galatia telah mendapatkan hak istimewa diajar langsung oleh guru terbesar gereja mula-mula yaitu rasul Paulus, yang telah mengajarkan Injil Kristus dengan setia dan tanpa pamrih.
Kondisi seperti inilah yang mungkin sedang terjadi dan masih dilakukan banyak orang Kristen sampai hari ini. Ada bentuk-bentuk tradisi yang masih saja mengikat hidup mereka dan enggan sekali dilepaskan. Kamus Besar Bahasa Indonesia menulis bahwa tradisi adalah adat kebiasaan turun-temurun dari nenek moyang yang masih dijalankan dalam kehidupan masyarakat. Sering dijumpai ketika hendak pindahan rumah mereka masih mencari hari 'baik' dengan bertanya kepada dukun atau orang pintar; ketika mau menikahkan anaknya para orangtua masih mencocokkan 'weton', melihat peruntungan ke suhu-suhu, percaya kepada primbon-primbon, hongsui/feng shui, ramalan bintang dan sebagainya, sementara mereka masih juga menjalankan ibadah sebagaimana biasanya.
Apa yang dilakukan ini sama artinya masih enggan meninggalkan 'Mesir', lambang dari cara hidup dunia, dan tetap saja 'menjamah apa yang najis'. Menjamah yang najis bukan semata-mata berbicara tentang dosa perzinahan secara fisik tapi juga perzinahan secara rohani, atau tidak sepenuhnya percaya kepada kuasa Tuhan dan memberhalakan sesuatu. Ini berbahaya sekali! Apa pun alsannya, tindakan kompromi terhadap cara hidup dunia adalah bertentangan dengan kebenaran Injil.
Kita telah ditebus oleh darah Kristus, berarti telah menerima kasih karunia Allah; karena itu Tuhan menuntut adanya pemisahan dari perkara-perkara duniawi supaya kita tidak terkontaminasi.
Baca: Galatia 1:11-24
"Di hadapan Allah kutegaskan: apa yang kutuliskan kepadamu ini benar, aku tidak berdusta." Galatia 1:20
Injil lain yang diajarkan guru-guru palsu telah terkontaminasi dengan tradisi, yang menyatakan bahwa jalan menuju keselamatan adalah iman, melakukan hukum Taurat dan tradisi. Mereka menyatakan bahwa anugerah keselamatan Tuhan Yesus harus ditambah dengan sesuatu yang lain lagi. Tradisi dalam konteks jemaat di Galatia adalah perihal sunat. Inilah yang membuat Paulus terheran-heran, mengapa jemaat Galatia begitu mudahnya percaya dan berpaling kepada Injil lain yang diajarkan guru-guru palsu. Padahal jemaat Galatia telah mendapatkan hak istimewa diajar langsung oleh guru terbesar gereja mula-mula yaitu rasul Paulus, yang telah mengajarkan Injil Kristus dengan setia dan tanpa pamrih.
Kondisi seperti inilah yang mungkin sedang terjadi dan masih dilakukan banyak orang Kristen sampai hari ini. Ada bentuk-bentuk tradisi yang masih saja mengikat hidup mereka dan enggan sekali dilepaskan. Kamus Besar Bahasa Indonesia menulis bahwa tradisi adalah adat kebiasaan turun-temurun dari nenek moyang yang masih dijalankan dalam kehidupan masyarakat. Sering dijumpai ketika hendak pindahan rumah mereka masih mencari hari 'baik' dengan bertanya kepada dukun atau orang pintar; ketika mau menikahkan anaknya para orangtua masih mencocokkan 'weton', melihat peruntungan ke suhu-suhu, percaya kepada primbon-primbon, hongsui/feng shui, ramalan bintang dan sebagainya, sementara mereka masih juga menjalankan ibadah sebagaimana biasanya.
Apa yang dilakukan ini sama artinya masih enggan meninggalkan 'Mesir', lambang dari cara hidup dunia, dan tetap saja 'menjamah apa yang najis'. Menjamah yang najis bukan semata-mata berbicara tentang dosa perzinahan secara fisik tapi juga perzinahan secara rohani, atau tidak sepenuhnya percaya kepada kuasa Tuhan dan memberhalakan sesuatu. Ini berbahaya sekali! Apa pun alsannya, tindakan kompromi terhadap cara hidup dunia adalah bertentangan dengan kebenaran Injil.
Kita telah ditebus oleh darah Kristus, berarti telah menerima kasih karunia Allah; karena itu Tuhan menuntut adanya pemisahan dari perkara-perkara duniawi supaya kita tidak terkontaminasi.
Subscribe to:
Posts (Atom)