Monday, August 17, 2015

KEMERDEKAAN INDONESIA KE-70

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 17 Agustus 2015

Baca:  Mazmur 138:1-8

"Jika aku berada dalam kesesakan, Engkau mempertahankan hidupku; terhadap amarah musuhku Engkau mengulurkan tangan-Mu, dan tangan kanan-Mu menyelamatkan aku."  Mazmur 138:7

Bulan Agustus sangat bersejarah bagi bangsa Indonesia, karena di bulan ini tepatnya tanggal 17 kita merayakan hari kemerdekaan bangsa kita tercinta.  Kita memasuki 70 tahun, artinya sudah 70 tahun kita terbebas dari penindasan dan penjajahan bangsa lain.

     Berdasarkan sejarah, ada beberapa negara yang pernah menjajah dan menindas bangsa Indonesia, di antaranya:  Spanyol, Portugis, Inggris, Belanda dan juga Jepang.  Tetapi kini bangsa Indonesia telah merdeka.  Secara harafiah kata merdeka memiliki pengertian: bebas dari perhambaan, penindasan dan penjajahan, berdiri sendiri, terlepas dari tuntutan, tidak terikat, dan tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu.  Itulah sebabnya setiap tanggal 17 Agustus seluruh rakyat Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, larut dalam euforia kemeriahan hari besar bangsa ini.

     Penjajahan terhadap suatu bangsa, sesungguhnya sudah ada sejak zaman dahulu.  Contohnya adalah yang dialami oleh umat Israel yang mengalami penindasan bangsa Mesir.  "Ketahuilah dengan sesungguhnya bahwa keturunanmu akan menjadi orang asing dalam suatu negeri, yang bukan kepunyaan mereka, dan bahwa mereka akan diperbudak dan dianiaya, empat ratus tahun lamanya."  (Kejadian 15:13).  Karena penindasan di Mesir umat Israel menjadi tidak berkutik, terampas kebebasannya, tidak dapat bergerak secara leluasa dan harus mengalami penderitaan hidup yang luar biasa,  "Sebab itu pengawas-pengawas rodi ditempatkan atas mereka untuk menindas mereka dengan kerja paksa: mereka harus mendirikan bagi Firaun kota-kota perbekalan, yakni Pitom dan Raamses."  (Keluaran 1:11).  Bangsa Mesir menindas dan menekan umat Israel dengan kerja paksa.  Mereka harus bekerja keras, sedangkan seluruh hasil dinikmati oleh bangsa Mesir.  "Lalu dengan kejam orang Mesir memaksa orang Israel bekerja, dan memahitkan hidup mereka dengan pekerjaan yang berat, yaitu mengerjakan tanah liat dan batu bata, dan berbagai-bagai pekerjaan di padang, ya segala pekerjaan yang dengan kejam dipaksakan orang Mesir kepada mereka itu."  (Keluaran 1:13-14).

Penjajahan selalu mengakibatkan penderitaan bagi negara yang dijajahnya!

Sunday, August 16, 2015

MENGALAMI SUKACITA ILAHI

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 16 Agustus 2015

Baca:  Mazmur 16:1-11

"di hadapan-Mu ada sukacita berlimpah-limpah, di tangan kanan-Mu ada nikmat senantiasa."  Mazmur 16:11

Sukacita adalah salah satu dari sembilan buah Roh  (baca  Galatia 5:22-23)  atau bagian paket buah Roh yang harus dimiliki orang percaya.  Sukacita, dalam bahasa Yunani khara, memiliki makna:  kegembiraan yang meluap-luap, sukacita yang timbul sebagai akibat hubungan karib dengan Tuhan.  Sukacita ini adalah sukacita yang dianugerahkan Tuhan kepada orang percaya melalui keterlibatan Roh Kudus di dalam diri orang percaya.  Seperti semua buah Roh lain, sukacita ini bukan sesuatu yang dapat kita hasilkan sendiri, melainkan sebagai hasil ketika kita melekat kepada Tuhan selaku Pokok Anggur.  Dan sukacita yang diberikan Tuhan ini jelas berbeda dari sukacita yang ditawarkan oleh dunia.

     Umumnya orang akan bersukacita apabila mengalami hal-hal menyenangkan:  memperoleh hadiah, naik pangkat, lulus ujian, punya rumah baru dan mobil baru, uang banyak dan sebagainya.  Namun sukacita yang demikian tidak dapat bertahan lama alias bersifat sementara.  Ketika situasi berubah menjadi tidak menyenangkan karena terbentur suatu masalah, sukacita itu pun luntur dalam seketika.  Secara manusia sulit bagi seseorang untuk tetap bersukacita dalam keadaan yang demikian.  Sebaliknya mereka akan dengan mudahnya bermuram durja, sedih, kecewa, stres, putus asa dan bersungut-sungut.  Sukacita mereka  'terampas'  oleh situasi atau keadaan yang ada.  Sebagai orang percaya, haruskah kita merasakan sukacita yang sifatnya hanya musiman, yang sangat bergantung pada situasi dan keadaan?  Rasul Paulus menasihati,  "Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah!"  (Filipi 4:4).  Rasul Paulus tidak asal bicara, sebab saat menulis surat kepada jemaat di Filipi ini ia tidak dalam keadaan yang baik, sebab saat itu ia berada di balik terali besi  (penjara).  Namun situasi sulit itu tidak membuatnya kehilangan sukacita.

     Apa pun keadaannya janganlah menjadi alasan bagi orang percaya untuk tidak bersukacita, karena sukacita orang percaya tidak bergantung kepada apa pun yang bersumber dari dunia ini.

"Orang benar akan bersukacita karena TUHAN dan berlindung pada-Nya;"  Mazmur 64:11