Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 15 Maret 2015
Baca: Mazmur 52:1-11
"Lihatlah orang itu yang tidak menjadikan Allah tempat pengungsiannya, yang percaya akan kekayaannya yang melimpah," Mazmur 52:9
Kehausan terhadap kekayaan membuat orang rela mengorbankan segala hal, termasuk mengorbankan harga diri, mengorbankan keluarga dan sahabat, bahkan rela mengorbankan iman dan meninggalkan Tuhan. Sigmund Freud, seorang ahli kejiwaan ternama Austria, menulis: "Kita tidak bisa mengingkari kesan bahwa manusia umumnya menggunakan standar yang keliru, dimana mereka mencari kekuatan, kesuksesan dan kekayaan untuk mereka sendiri, dan memuji diri mereka di hadapan orang lain.
Karena yang dipikirkan kekayaan semata akhirnya orang terperangkap ke dalam pemikiran serba duniawi dan memiliki sifat materialistis. Sehari 1x24 jam yang dipikirkan hanyalah bagaimana mengumpulkan harta kekayaan sebanyak-banyaknya. Mereka beranggapan bahwa memiliki kekayaan berlimpah adalah satu-satunya cara mendapatkan kebahagiaan, penghormatan, pengakuan. Memang di mata dunia bertambahnya kekayaan seseorang akan makin mengdongkrak status sosial dan gengsinya, makin dihargai, dihormati dan diprioritaskan, sebab "...manusia melihat apa yang di depan mata," (1 Samuel 16:7), sementara orang miskin keberadaannya pasti kurang dianggap. "Kekayaan menambah banyak sahabat, tetapi orang miskin ditinggalkan sahabatnya." (Amsal 19:4). Ketika seseorang menyerahkan diri dikuasai sifat serakah, saat itulah ia telah menjadikan harta kekayaan sebagai berhala, lalu "...menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka." (1 Timotius 6:10b).
Andrew Carneige, mantan pebisnis kenamaan Skotlandia berpendapat, "Milioner yang suka tertawa jarang dijumpai. Pengalamanku adalah kekayaan mudah membuat senyum hilang." Tuhan tidak pernah melarang kita untuk memiliki kekayaan yang berlimpah, tapi yang patut diwaspadai adalah bahaya dari sikap serakah, sehingga kita menempatkan harta kekayaan sebagai fokus utama hidup kita, lebih daripada Tuhan. Padahal Alkitab menyatakan: "...siapa mencintai kekayaan tidak akan puas dengan penghasilannya. Inipun sia-sia." (Pengkotbah 5:9).
Keserakahan terhadap harta kekayaan itu sama dengan dosa penyembahan berhala (baca Kolose 3:5).
Sunday, March 15, 2015
Saturday, March 14, 2015
BERHALA MODERN: Harta Kekayaan (1)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 14 Maret 2015
Baca: Pengkotbah 5:7-19
"Ada kemalangan yang menyedihkan kulihat di bawah matahari: kekayaan yang disimpan oleh pemiliknya menjadi kecelakaannya sendiri." Pengkotbah 5:12
Mungkin ada di antara kita berkata, "Aku tidak menyembah patung atau benda-benda lain, jadi tidak ada yang perlu dikuatirkan." Orang mengira penyembahan berhala itu hanya berkaitan dengan patung-patung atau benda-benda keramat dan segala jenisnya. Itu tidaklah salah, yang seperti itu adalah berhala-berhala kuno, tetapi ada bentuk-bentuk berhala lain di masa sekarang ini yang seringkali tidak kita sadari.
Patut diketahui bahwa segala sesuatu yang kita prioritaskan, kita nomor satukan, kita idolakan, kita hargai, kita hormati sampai-sampai menyita sebagian besar waktu, tenaga, pikiran, dan aktivitas hidup kita, di mana hati dan pikiran kita lebih fokus, condong dan berpaut kepadanya melebihi kasih kita kepada Tuhan, sehingga hal ini menggeser posisi Tuhan ke urutan kesekian dalam hidup kita itu sudah termasuk dalam kategori berhala. Karena itu rasul Yohanes memperingatkan, "Anak-anakku, waspadalah terhadap segala berhala." (1 Yohanes 5:21). Kata segala berhala berarti menunjuk adanya banyak ragam, bentuk dan ekspresi dari berhala. Rasul Paulus juga menasihati kita untuk menjauhkan diri dari segala bentuk penyembahan berhala itu (baca 1 Korintus 10:14). Adapun ragam bentuk berhala modern di antaranya adalah harta kekayaan. Banyak orang tanpa sadar telah menjadikan kekayaan sebagai yang terutama dalam hidupnya, bahkan mereka menjadikan kekayaan sebagai sandaran dan harapan. Mereka berpikir bahwa harta kekayaan dapat menjamin kebahagiaan hidupnya sehingga perkara-perkara rohani mereka kesampingkan.
Charles Spurgeon, pengkhotbah abad 19 menulis, "Bukan berapa banyak yang kita miliki, yang dapat membuat kita bahagia." Karena lebih mencintai uang dan kekayaan, orang rela mengorbankan iman dan meninggalkan Tuhan seperti seorang anak muda yang kaya. Ketika diperintahkan Tuhan Yesus untuk menjual segala miliknya dan membagikannya kepada orang miskin, seketika itu juga "...pergilah ia dengan sedih, sebab banyak hartanya." (Matius 19:22). Orang muda ini lebih mencintai harta kekayaannya daripada Tuhan, jadi kekayaan sudah menjadi berhala bagi dirinya.
"Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada." Matius 6:21
Baca: Pengkotbah 5:7-19
"Ada kemalangan yang menyedihkan kulihat di bawah matahari: kekayaan yang disimpan oleh pemiliknya menjadi kecelakaannya sendiri." Pengkotbah 5:12
Mungkin ada di antara kita berkata, "Aku tidak menyembah patung atau benda-benda lain, jadi tidak ada yang perlu dikuatirkan." Orang mengira penyembahan berhala itu hanya berkaitan dengan patung-patung atau benda-benda keramat dan segala jenisnya. Itu tidaklah salah, yang seperti itu adalah berhala-berhala kuno, tetapi ada bentuk-bentuk berhala lain di masa sekarang ini yang seringkali tidak kita sadari.
Patut diketahui bahwa segala sesuatu yang kita prioritaskan, kita nomor satukan, kita idolakan, kita hargai, kita hormati sampai-sampai menyita sebagian besar waktu, tenaga, pikiran, dan aktivitas hidup kita, di mana hati dan pikiran kita lebih fokus, condong dan berpaut kepadanya melebihi kasih kita kepada Tuhan, sehingga hal ini menggeser posisi Tuhan ke urutan kesekian dalam hidup kita itu sudah termasuk dalam kategori berhala. Karena itu rasul Yohanes memperingatkan, "Anak-anakku, waspadalah terhadap segala berhala." (1 Yohanes 5:21). Kata segala berhala berarti menunjuk adanya banyak ragam, bentuk dan ekspresi dari berhala. Rasul Paulus juga menasihati kita untuk menjauhkan diri dari segala bentuk penyembahan berhala itu (baca 1 Korintus 10:14). Adapun ragam bentuk berhala modern di antaranya adalah harta kekayaan. Banyak orang tanpa sadar telah menjadikan kekayaan sebagai yang terutama dalam hidupnya, bahkan mereka menjadikan kekayaan sebagai sandaran dan harapan. Mereka berpikir bahwa harta kekayaan dapat menjamin kebahagiaan hidupnya sehingga perkara-perkara rohani mereka kesampingkan.
Charles Spurgeon, pengkhotbah abad 19 menulis, "Bukan berapa banyak yang kita miliki, yang dapat membuat kita bahagia." Karena lebih mencintai uang dan kekayaan, orang rela mengorbankan iman dan meninggalkan Tuhan seperti seorang anak muda yang kaya. Ketika diperintahkan Tuhan Yesus untuk menjual segala miliknya dan membagikannya kepada orang miskin, seketika itu juga "...pergilah ia dengan sedih, sebab banyak hartanya." (Matius 19:22). Orang muda ini lebih mencintai harta kekayaannya daripada Tuhan, jadi kekayaan sudah menjadi berhala bagi dirinya.
"Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada." Matius 6:21
Subscribe to:
Posts (Atom)