Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 6 Maret 2015
Baca: 1 Korintus 1:4-9
"Allah, yang memanggil kamu kepada persekutuan dengan Anak-Nya Yesus Kristus, Tuhan kita, adalah setia." 1 Korintus 1:9
Selain dipanggil Tuhan untuk hidup dalam kekudusan, kita juga dipanggil untuk memiliki persekutuan dengan Tuhan, sebab kekristenan sesungguhnya bukanlah suatu agama, melainkan menunjuk kepada suatu hubungan karib antara Allah dan umat pilihan-Nya.
Hubungan karib yang sempat terputus dan terhalang oleh dosa dan pelanggaran manusia kini telah pulih kembali melalui karya pengorbanan Kristus di Golgota, dan ditandai dengan "...tabir Bait Suci terbelah dua dari atas sampai ke bawah..." (Matius 27:51); artinya sudah tidak ada lagi yang menghalangi kita untuk bisa memandang dan masuk serta melihat kemuliaan Tuhan dan bersekutu denganNya. "...Dialah damai sejahtera kita, yang telah mempersatukan kedua pihak dan yang telah merubuhkan tembok pemisah, yaitu perseteruan," (Efesus 2:14); Kita yang dahulu terpisah dari Allah, "...sekarang di dalam Kristus Yesus kamu, yang dahulu 'jauh', sudah menjadi 'dekat' oleh darah Kristus." (Efesus 2:13).
Adalah suatu keharusan setiap orang percaya hidup dalam persekutuan yang karib dengan Tuhan karena merupakan syarat mutlak agar kita mengalami pertumbuhan rohani. Daud berkata, "Hatiku mengikuti firman-Mu: 'Carilah wajah-Ku'; maka wajah-Mu kucari, ya TUHAN." (Mazmur 27:8). Dengan kata lain, tanpa persekutuan yang karib dengan Tuhan cepat atau lambat kita pasti akan mengalami kemunduran dan bahkan kematian rohani. "Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal di dalam Aku. Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya. Barangsiapa tinggal
di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku
kamu tidak dapat berbuat apa-apa." (Yohanes 15:4b-5).
Hidup dalam persekutuan dengan Tuhan berarti senantiasa bertekun dalam doa dan tidak menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah yang ada, melainkan semakin giat melakukannya menjelang hari Tuhan yang semakin dekat (baca Ibrani 10:25).
"Sebab lebih baik satu hari di pelataran-Mu dari pada seribu hari di
tempat lain; lebih baik berdiri di ambang pintu rumah Allahku dari pada
diam di kemah-kemah orang fasik." Mazmur 84:11
Friday, March 6, 2015
Thursday, March 5, 2015
JANGAN MEMENTINGKAN DIRI SENDIRI
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 5 Maret 2015
Baca: Yakobus 3:13-18
"Sebab di mana ada iri hati dan mementingkan diri sendiri di situ ada kekacauan dan segala macam perbuatan jahat." Yakobus 3:16
Salah satu faktor penyebab terjadinya perpecahan dalam kehidupan keluarga, jemaat, persekutuan, pelayanan dan bermasyarakat adalah sikap mementingkan diri sendiri. Mementingkan diri sendiri disebut pula selfish atau juga egois, yang dalam kamus 'Webster' didefinisikan: memerhatikan diri sendiri secara tidak pantas atau secara berlebih-lebihan, mendahulukan kenyamanan dan keuntungan diri sendiri tanpa memperhatikan, atau dengan mengorbankan kenyamanan dan keuntungan orang lain.
Ketika seseorang mementingkan diri sendiri ia akan menjadikan dirinya sebagai pusat dan tidak lagi mempedulikan kepentingan dan perasaan orang lain. Inilah yang menjadi sumber dari banyak kekacauan dan kejahatan (ayat nas). Mengapa? Karena orang yang mementingkan diri sendiri pasti sulit menjalin kerjasama dengan orang lain sebagai anggota tim di dalam menyelesaikan sebuah tugas; Orang yang mementingkan diri sendiri juga cenderung mudah marah, tersinggung serta tidak bisa menguasai diri. "Berhentilah marah dan tinggalkanlah panas hati itu, jangan marah, itu hanya membawa kepada kejahatan." (Mazmur 37:8). Orang yang egois memiliki kecenderungan menghakimi dan mencela orang lain karena menganggap diri sendiri paling benar dan tidak pernah salah. Rasul Paulus mengingatkan, "Baiklah tiap-tiap orang menguji pekerjaannya sendiri; maka ia boleh bermegah melihat keadaannya sendiri dan bukan melihat keadaan orang lain." (Galatia 6:4). Sebagai orang percaya kita harus membuang jauh sifat mementingkan diri sendiri agar kita tidak menjadi batu sandungan bagi orang lain.
Dalam segala perkara marilah senantiasa meneladani Kristus, "...Jadi karena dalam Kristus ada nasihat, ada penghiburan kasih, ada persekutuan Roh, ada kasih mesra dan belas kasihan,...dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri; dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga." (Filipi 2:1, 3, 4).
"Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka." Matius 7:12
Baca: Yakobus 3:13-18
"Sebab di mana ada iri hati dan mementingkan diri sendiri di situ ada kekacauan dan segala macam perbuatan jahat." Yakobus 3:16
Salah satu faktor penyebab terjadinya perpecahan dalam kehidupan keluarga, jemaat, persekutuan, pelayanan dan bermasyarakat adalah sikap mementingkan diri sendiri. Mementingkan diri sendiri disebut pula selfish atau juga egois, yang dalam kamus 'Webster' didefinisikan: memerhatikan diri sendiri secara tidak pantas atau secara berlebih-lebihan, mendahulukan kenyamanan dan keuntungan diri sendiri tanpa memperhatikan, atau dengan mengorbankan kenyamanan dan keuntungan orang lain.
Ketika seseorang mementingkan diri sendiri ia akan menjadikan dirinya sebagai pusat dan tidak lagi mempedulikan kepentingan dan perasaan orang lain. Inilah yang menjadi sumber dari banyak kekacauan dan kejahatan (ayat nas). Mengapa? Karena orang yang mementingkan diri sendiri pasti sulit menjalin kerjasama dengan orang lain sebagai anggota tim di dalam menyelesaikan sebuah tugas; Orang yang mementingkan diri sendiri juga cenderung mudah marah, tersinggung serta tidak bisa menguasai diri. "Berhentilah marah dan tinggalkanlah panas hati itu, jangan marah, itu hanya membawa kepada kejahatan." (Mazmur 37:8). Orang yang egois memiliki kecenderungan menghakimi dan mencela orang lain karena menganggap diri sendiri paling benar dan tidak pernah salah. Rasul Paulus mengingatkan, "Baiklah tiap-tiap orang menguji pekerjaannya sendiri; maka ia boleh bermegah melihat keadaannya sendiri dan bukan melihat keadaan orang lain." (Galatia 6:4). Sebagai orang percaya kita harus membuang jauh sifat mementingkan diri sendiri agar kita tidak menjadi batu sandungan bagi orang lain.
Dalam segala perkara marilah senantiasa meneladani Kristus, "...Jadi karena dalam Kristus ada nasihat, ada penghiburan kasih, ada persekutuan Roh, ada kasih mesra dan belas kasihan,...dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri; dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga." (Filipi 2:1, 3, 4).
"Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka." Matius 7:12
Subscribe to:
Posts (Atom)