Sunday, February 1, 2015

PAULUS: Hidup Yang Diubahkan

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 1 Februari 2015

Baca:  Kisah 9:1-9a

"Sementara itu berkobar-kobar hati Saulus untuk mengancam dan membunuh murid-murid Tuhan."  Kisah 9:1

Kisah perjalanan hidup rasul Paulus adalah sangat menarik untuk kita pelajari.  Rasul Paulus adalah seorang tokoh besar dalam kitab Perjanjian Baru.  Dari 27 kitab dalam Perjanjian Baru Paulus menulis kurang lebih separuhnya.

     Paulus, yang awalnya bernama Saulus, berasal dari Tarsus.  Pada usia muda Paulus hidup sebagai seorang Farisi di bawah didikan Gamaliel,  "...seorang ahli Taurat yang sangat dihormati seluruh orang banyak,"  (Kisah 5:34).  Sebelum dipakai Tuhan untuk menjadi rasul-Nya ia adalah orang yang sangat fanatik dengan agama, bahkan  "...mentaati hukum Taurat aku tidak bercacat."  (Filipi 3:6).  Artinya dalam hal hukum Taurat kemampuan Paulus tak disangsikan lagi.  Tapi banyak orang mengenal Paulus sebagai pribadi yang bengis, jahat dan suka menganiaya jemaat.  Bagaimana reaksi orang-orang yang telah dianiaya Paulus?  Apakah mereka melakukn pembalasan seperti yang dilakukan oleh orang dunia pada umumnya yang berprinsip bahwa pembalasan lebih kejam dari perbuatan?  Tidak sama sekali!  Tuhan Yesus mengajarkan,  "Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu."  (Matius 5:44).  Stefanus, salah satu korban kebengisan Paulus, melakukan apa yang diajarkan Tuhan Yesus ini.  Sebelum mati ia pun berseru,  "Tuhan, janganlah tanggungkan dosa ini kepada mereka!"  (Kisah 7:60).  Karena doa orang-orang yang teraniaya itulah akhirnya Paulus mengalami perjumpaan secara pribadi dengan Tuhan dalam perjalanannya ke Damsyik.  Seketika itu Paulus mengalami jamahan Tuhan.  Bukan hanya itu, Tuhan juga menyingkapkan perkara-perkara adikodrati kepada Paulus:  "...tiba-tiba cahaya memancar dari langit mengelilingi dia."  (Kisah 9:3), sehingga ia pun terjatuh dan mengalami kebutaan selama tiga hari.

     Pengalaman rohani inilah yang akhirnya menjadi titik balik dalam kehidupan Paulus.  Ia bertobat, memberi diri untuk dibaptis, artinya manusia lama ditanggalkan dan kini ia menjadi  'ciptaan baru'  di dalam Kristus.

Tuhan berkata,  "...orang ini adalah alat pilihan bagi-Ku untuk memberitakan nama-Ku kepada bangsa-bangsa lain serta raja-raja dan orang-orang Israel."  Kisah 9:15

Saturday, January 31, 2015

UCAPAN SYUKUR SEBAGAI KORBAN

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 31 Januari 2015

Baca:  Mazmur 116:1-19

"Aku akan mempersembahkan korban syukur kepada-Mu, dan akan menyerukan nama TUHAN,"  Mazmur 116:17

Apa yang Saudara rasakan dan alami di hari terakhir bulan Januari ini?  Masih sulitkah bibir kita mengucap syukur dan memuji-muji Tuhan, oleh karena hari-hari yang kita alami terasa berat?  Ketika seseorang mengalami hidup berkelimpahan, memiliki tubuh sehat, bisnis berjalan lancar, toko semakin laris, mendapat bonus, beroleh kenaikan pangkat atau promosi, tanpa harus dikomando dan didorong-dorong pun mulut dan bibir kita akan dipenuhi ucapan syukur, bahkan di sepanjang jalan saat berkendara pun kita akan terus bersenandung, memuji dan memuliakan Tuhan.

     Bersyukur kepada Tuhan ketika menikmati masa-masa indah, menyenangkan dan penuh kemenangan adalah perkara yang sangat mudah.  Bagaimana jika kita mengalami masa-masa sulit seperti yang dialami nabi Habakuk?  "...pohon ara tidak berbunga, pohon anggur tidak berbuah, hasil pohon zaitun mengecewakan,...ladang-ladang tidak menghasilkan bahan makanan, kambing domba terhalau dari kurungan, dan tidak ada lembu sapi dalam kandang,"  (Habakuk 3:17).  Keadaan kontradiktif pun akan terlihat:  "Aku kelu, aku diam, aku membisu, aku jauh dari hal yang baik; Hatiku bergejolak dalam diriku, menyala seperti api, ketika aku berkeluh kesah;"  (Mazmur 39:3-4).  Mulut terasa terkunci dan sulit untuk mengucap syukur kepada Tuhan.  Berbeda dengan Habakuk, dalam keadaan yang tidak mendukung sekalipun ia tetap  "...bersorak-sorak di dalam TUHAN, beria-ria di dalam Allah..."  (Habakuk 3:18).  Inilah yang disebut korban syukur!

     Kata  'korban'  selalu identik dengan penderitaan.  Prinsip korban selalu berarti mengalami suatu kerugian atau kehilangan sesuatu.  Mempersembahkan korban syukuran kepada Tuhan berarti dengan sukarela mempersembahkan puji-pujian dan memuliakan nama Tuhan meski berada di situasi yang tidak mendukung:  kehilangan, tertekan, menderita, dirundung malang, bersukacita, sakit, krisis atau berkekurangan, yang secara manusia menjadikan alasan kuat untuk bersedih dan merintih;  jadi dengan kata lain kita memaksa hati dan bibir kita untuk memuji Tuhan meski sambil mencucurkan air mata.

Korban syukur inilah yang menggerakkan hati Tuhan untuk bertindak!