Monday, October 6, 2014

KEPUTUSAN MUSA: Melepas Kehormatan Dunia

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 6 Oktober 2014

Baca:  Ibrani 11:23-29

"Karena iman maka ia telah meninggalkan Mesir dengan tidak takut akan murka raja. Ia bertahan sama seperti ia melihat apa yang tidak kelihatan."  Ibrani 11:27

Setiap saat dalam hidup ini kita selalu dihadapkan pada banyak hal di mana kita harus membuat pilihan atau keputusan:  mulai dari keputusan-keputusan kecil yang tampaknya sepele, sampai kepada keputusan-keputusan besar yang sifatnya sangat penting yang berdampak besar dalam kehidupan kita di kemudian hari.  Semisal saat dihadapkan pada kesempatan, entah kesempatan berdoa, membaca Alkitab atau melayani Tuhan, akankah kita gunakan kesempatan itu sebaik mungkin, ataukah kita membuang kesempatan tersebut?  Kita lebih memilih nonton televisi daripada berdoa dan baca Alkitab;  kita lebih suka hang out dan menyalurkan hobi daripada mendedikasikan waktu dan tenaga untuk terlibat pelayanan di gereja.  Semua sangat bergantung pada keputusan kita.  "Sebab seperti orang yang membuat perhitungan dalam dirinya sendiri demikianlah ia."  (Amsal 23:7a).

     Mari belajar dari kehidupan Musa.  Kita tahu sejarah Musa hingga ia bisa sampai ke Mesir.  "Ketika anak itu telah besar, dibawanyalah kepada puteri Firaun, yang mengangkatnya menjadi anaknya,"  (Keluaran 2:10).  Alkitab pun mencatat,  "Musa dididik dalam segala hikmat orang Mesir, dan ia berkuasa dalam perkataan dan perbuatannya."  (Kisah 7:22).  Selama 40 tahun Musa hidup di istana Mesir, suatu negeri yang kaya dan maju.  Karena itu tidaklah mengherankan bila Musa mendapatkan pendidikan tinggi dan juga keahlian.  Musa benar-benar menjadi orang yang sangat beruntung.  Namun kesemuanya itu tidak membuatnya lupa terhadap bangsa Israel, justru panggilan Tuhan terhadap dirinya terus berkobar-kobar.

     Usia 40 tahun menjadi titik balik dalam hidup Musa di mana ia membuat sebuah keputusan yang sangat penting yang sangat menentukan masa depannya dan juga bangsanya.  "Karena iman maka Musa, setelah dewasa, menolak disebut anak puteri Firaun,"  (Ibrani 11:24).  Menolak disebut anak puteri Firaun berarti Musa harus siap menanggung resiko yaitu kehilangan harta, kehormatan dan kedudukan.  Secara manusia keputusan yang diambil Musa dengan mengorbankan semuanya adalah sebuah kerugian besar.

Musa rela melepas kehormatan, kekuasaan dan statusnya sebagi anak puteri Firaun demi merespons panggilan Tuhan!

Sunday, October 5, 2014

MENJADI SAHABAT TUHAN: Berdoa dan Merenungkan Firman-Nya

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 5 Oktober 2014

Baca:  Mazmur 119:145-152

"Aku berseru dengan segenap hati; jawablah aku, ya TUHAN! Ketetapan-ketetapan-Mu hendak kupegang."  Mazmur 119:145

Setelah tahu bahwa Tuhan Yesus tidak lagi menyebut kita sebagai hamba, melainkan menjadikan kita sahabat-Nya, maka kita pun harus berusaha supaya kita benar-benar layak disebut sebagai sahabat Tuhan.  Langkah awal adalah membangun persekutuan yang karib dengan Tuhan.  Dapatkah kita dikatakan bersahabat dengan seseorang bila kita tidak pernah menghabiskan waktu bersama orang tersebut?  Untuk menjadi sahabat Tuhan Yesus kita pun harus memiliki banyak waktu bersama-Nya.  Tekun dalam doa adalah cara untuk kita karib dengan Tuhan dan mengenal pribadi-Nya.  Jika kita bersekutu dengan Tuhan hanya sekali dalam seminggu saat ibadah saja, inikah yang disebut karib?

     Persahabatan dengan Tuhan harus dibangun setiap waktu.  Belajarlah seperti Daniel:  "Dalam kamar atasnya ada tingkap-tingkap yang terbuka ke arah Yerusalem; tiga kali sehari ia berlutut, berdoa serta memuji Allahnya, seperti yang biasa dilakukannya."  (Daniel 6:11b).  Berdoa yang dimaksudkan bukan sekedar berdoa saat makan, setelah bangun tidur dan saat mau tidur, tapi kita menyediakan waktu secara khusus dan konsisten untuk Tuhan:  bercakap-cakap dengan Dia, mencurahkan isi hati kita, memuji, menyembah dan juga mendengar suara-Nya.  Sebagai sahabat, Tuhan rindu kita senantiasa melibatkan Dia di segala aspek kehidupan kita, karena itu Ia pun menghendaki kita berdoa dengan tiada berkeputusan dan tidak jemu-jemu.  Jadi,  "Tetaplah berdoa."  (1 Tesalonika 5:17), artinya tiada waktu yang terlewatkan tanpa kita berkomunikasi dengan Tuhan.  Selanjutnya adalah merenungkan firman Tuhan siang dan malam.  Mustahil seseorang menjadi sahabat Tuhan tanpa mengetahui kehendak dan rencana-Nya yang tertulis dalam Alkitab.

     Mari kita belajar dan meneladani hidup Daud yang sangat menghormati dan menghargai firman Tuhan sehingga ia berkata,  "Betapa kucintai Taurat-Mu! Aku merenungkannya sepanjang hari. Peringatan-peringatan-Mu ajaib, itulah sebabnya jiwaku memegangnya."  (Mazmur 119:97, 129).