Monday, September 1, 2014

MEREMEHKAN HAK KESULUNGAN (1)

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 1 September 2014

Baca:  Kejadian 25:1-19-34

"Sebentar lagi aku akan mati; apakah gunanya bagiku hak kesulungan itu?"  Kejadian 25:32

Pada zaman Israel kuno setiap anak laki-laki sulung memiliki hak kesulungan, yaitu hak yang dimiliki oleh anak sulung yang terdiri atas:  hak kepemimpinan dalam ibadah dan keluarga, bagian ganda dalam harta warisan, hak memperoleh berkat perjanjian yang dijanjikan Allah kepada Abraham.

     Dalam pembacaan Alkitab hari ini dikisahkan bahwa Esau, yang adalah anak sulung Ishak, memilih untuk menjual hak kesulungannya demi semangkuk sup kacang merah.  Menjual hak kesulungan menunjukkan bahwa Esau memandang rendah berkat-berkat Allah dan janji-janji perjanjian-Nya.  Bahkan Alkitab menyatakan bahwa Esau mempunyai nafsu yang sangat rendah karena menjual hak kesulungannya dengan makanan.  Tindakan Esau ini merupakan sebuah tindakan yang sangat bodoh.  Berbeda dengan sikap Yakub yang justru sangat menghargai dan menghormati hak kesulungan, karena ia tahu bahwa ada berkat-berkat yang luar biasa di balik hak kesulungan tersebut;  karena itu Yakub mengejarnya begitu rupa supaya ia memperoleh berkat dari ayahnya, Ishak, sehingga Esau pun benar-benar kehilangan hak kesulungannya itu.  Alkitab pun menyatakan bahwa karena sikapnya inilah maka Tuhan lebih mengasihi Yakub dan membenci Esau  (baca  Maleakhi 1:2-3).  Mengapa?  Karena Esau tidak menghargai berkat yang datang dari Tuhan.  Akhirnya dari Yakublah lahir kedua belas suku Israel. 

     Tindakan Esau meremehkan hak kesulungan adalah gambaran kehidupan banyak orang Kristen di akhir zaman ini, yang meremehkan anugerah keselamatan demi kenikmatan duniawi atau hal-hal yang fana.  Mereka meninggalkan Yesus dan memilih mencintai dunia ini, padahal Alkitab menyatakan bahwa setiap orang yang percaya kepada Tuhan Yesus dan lahir baru berhak menerima hak kesulungan, yaitu sebagai ahli waris Kerajaan Sorga, karena telah diangkat sebagai anak-anak Allah.  Tertulis:  "Dan jika kita adalah anak, maka kita juga adalah ahli waris, maksudnya orang-orang yang berhak menerima janji-janji Allah,"  (Roma 8:17).  Jadi,  "...jikalau kamu anak, maka kamu juga adalah ahli-ahli waris, oleh Allah."  (Galatia 4:7).

Meremehkan hak kesulungan berarti meremehkan kasih karunia Tuhan!

Sunday, August 31, 2014

KEDATANGAN TUHAN: Siapakah Kita?

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 31 Agustus 2014

Baca:  Matius 24:37-44

"Sebab itu, hendaklah kamu juga siap sedia, karena Anak Manusia datang pada saat yang tidak kamu duga."  Matius 24:44

Hari demi hari berlalu begitu cepatnya, semakin bertambahnya bulan dan tahun yang kita jalani sesungguhnya semakin mendekatkan kita kepada waktu kedatangan Tuhan yang kedua kalinya.  Seharusnya ini memacu kita lebih bersungguh-sungguh mengerjakan keselamatan kita, dan semakin mengejar perkara-perkara rohani lebih dari apa pun.

     Dalam kenyataannya masih banyak orang Kristen yang kurang peka akan hari kedatangan Tuhan, mereka menanggapinya dengan biasa-biasa saja seperti tidak terjadi apa-apa, bahkan cenderung apatis.  Berhati-hatilah!  "Sebab sebagaimana halnya pada zaman Nuh, demikian pula halnya kelak pada kedatangan Anak Manusia. Sebab sebagaimana mereka pada zaman sebelum air bah itu makan dan minum, kawin dan mengawinkan, sampai kepada hari Nuh masuk ke dalam bahtera, dan mereka tidak tahu akan sesuatu, sebelum air bah itu datang dan melenyapkan mereka semua, demikian pulalah halnya kelak pada kedatangan Anak Manusia."  (Matius 24:37-39).  Pada waktu itu orang-orang di zaman Nuh sudah diperingatkan agar mereka segera bertobat dan siap sedia karena akan terjadi air bah, namun mereka menanggapinya dengan dingin, mengabaikan dan tidak percaya.  Malahan perbuatan jahat mereka semakin menjadi-jadi.  Akhirnya ketika air bah itu benar-benar datang dan pintu bahtera itu ditutup semua orang baru menunjukkan penyesalan, tapi semua sudah terlambat, dan akhirnya mereka harus mengalami kebinasaan, kecuali Nuh dan keluarganya yang selamat karena mereka merespons panggilan Tuhan dan memiliki kehidupan yang berbeda dari orang-orang sezamannya.  "Nuh adalah seorang yang benar dan tidak bercela di antara orang-orang sezamannya; dan Nuh itu hidup bergaul dengan Allah."  (Kejadian 6:9).

     Akankah kita tetap mengeraskan hati seperti orang-orang yang hidup di zaman Nuh, meski kita tahu bahwa tanda-tanda kedatangan Tuhan sudah di ambang pintu?  Hari ini kita diperingatkan:  "...berjaga-jagalah, sebab kamu tidak tahu pada hari mana Tuhanmu datang."  (Matius 24:42).

Maukah kita bernasib sama seperti orang-orang di zaman Nuh yang binasa karena air bah?