Thursday, June 26, 2014

Seri Yefta: MENGALAMI PENOLAKAN

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 26 Juni 2014

Baca:  Hakim-Hakim 11:1-11

"Adapun Yefta, orang Gilead itu, adalah seorang pahlawan yang gagah perkasa, tetapi ia anak seorang perempuan sundal; ayah Yefta ialah Gilead."  Hakim-Hakim 1:1

Yefta adalah hakim ke-8 di Israel, setelah Otniel, Ehud, Samgar, Debora, Gideon, Tola dan Yair.  Ia memerintah atas Israel selama 6 tahun.  Awalnya sama sekali tak terpikirkan kalau dikemudian hari Yefta akan menjadi seorang hakim di Israel dan dihormati oleh semua orang.  Itu semata-mata karena kasih karunia Tuhan sehingga hidup Yefta diubahkan menjadi seorang pahlawan yang gagah perkasa.

     Ditinjau dari latar belakang, Yefta memiliki kehidupan yang tampak kelam.  Ia adalah anak perempuan sundal yang dianggap sampah masyarakat.  Bukan hanya itu, ia pun diusir keluar dari rumah, bahkan terusir dari tanah Israel.  "Engkau tidak mendapat milik pusaka dalam keluarga kami, sebab engkau anak dari perempuan lain."  (ayat 2).  Nasib Yefta bisa dikatakan  'sudah jatuh tertimpa tangga'  pula.  Yefta benar-benar mengalami suatu penolakan, baik dari keluarga maupun dari bangsanya sendiri.  Karena tertolak dan tidak tahan dengan penghinaan yang ditujukan kepadanya, larilah Yefta dari saudara-saudaranya dan tinggal di tanah Tob, suatu tempat di mana para penjahat dan penyamun berkumpul.  Pelarian itu pun mengubah hidup Yefta:  ia menjadi bagian dari para penyamun itu, bahkan ia diangkat menjadi pemimpin atas mereka sehingga namanya makin terkenal.  Ironis sekali!  Yefta yang keberadaannya tidak diinginkan oleh keluarga dan juga bangsanya justru dihormati dan dihargai di antara orang-orang  'bermasalah'.  Di satu sisi ia begitu disegani sebagai pemimpin para penjahat/perampok, namun di sisi lain itu semakin memperburuk citranya di mata orang-orang Israel.

     Namun tak selamanya orang buangan yang dipandang sebelah mata akan mengalami nasib malang, sebab tak seorang pun tahu jalan hidup seseorang di kemudian hari.  "Tetapi apa yang bodoh bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan orang-orang yang berhikmat, dan apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan apa yang kuat, dan apa yang tidak terpandang dan yang hina bagi dunia, dipilih Allah, bahkan apa yang tidak berarti, dipilih Allah untuk meniadakan apa yang berarti, supaya jangan ada seorang manusiapun yang memegahkan diri di hadapan Allah."  (1 Korintus 1:27-29).  Karena tertolak, Yefta harus mengalami pergumulan hidup yang berat!  (Bersambung)

Wednesday, June 25, 2014

Teguh Terhadap Janji Tuhan

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 25 Juni 2014

Baca:  Roma 4:18-25

"dengan penuh keyakinan, bahwa Allah berkuasa untuk melaksanakan apa yang telah Ia janjikan."  Roma 4:21

Berbicara tentang keteguhan hati menantikan janji Tuhan, rasul Paulus mengajak kta untuk belajar dan meneladani hidup Abraham,  "Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Abraham berharap juga dan percaya, bahwa ia akan menjadi bapa banyak bangsa,"  (Roma 4:18).  Pada waktu itu Abraham telah berumur 100 tahun, Sara juga sudah tidak mungkin lagi mengandung karena rahimnya telah tertutup.  Jadi untuk memiliki keturunan, secara manusia hal itu adalah mustahil.

     Namun Tuhan telah berjanji kepada Abraham bahwa ia akan memiliki keturunan yang banyaknya seperti bintang di langit.  "Demikianlah banyaknya nanti keturunanmu."  (Kejadian 15:5).  Dalam situasi demikian Abraham dan Sara memiliki alasan kuat untuk meragukan janji Tuhan dan imannya memudar.  Tetapi Alkitab menyatakan:  "...terhadap janji Allah ia tidak bimbang karena ketidakpercayaan, malah ia diperkuat dalam imannya dan ia memuliakan Allah,"  (Roma 4:20), maka  "...TUHAN memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran."  (Kejadian 15:6).  Seringkali apa yang dijanjikan Tuhan itu apabila kita ukur dan bandingkan dengan kenyataan yang ada sangat bertolak-belakang.  Adalah manusiawi sekali jika Sara sempat tertawa mendengar janji Tuhan itu karena ia sadar bahwa usianya sudah tua.  Ditinjau dari sudut ilmiah dan akal sehat tidaklah mungkin seorang wanita yang telah mati haid dapat mengandung.  "Allah telah membuat aku tertawa; setiap orang yang mendengarnya akan tertawa karena aku."  (Kejadian 21:6).  Kalau janji tersebut disampaikan kepada kita saat ini pastilah kita juga akan tertawa dan sulit untuk percaya.

     Intinya, kepercayaan Abraham terhadap janji Tuhan tidak terpengaruh sedikit pun oleh situasi dan keadaan yang ada.  Mata imannya terus tertuju kepada Tuhan.  Sikap inilah yang harus kita praktekkan dalam kehidupan ini.  Bagaimana dengan kita?  Iman percaya kita seringkali bergantung pada situasi dan keadaan yang ada dan akhirnya kita pun tidak mengalami penggenapan janji Tuhan secara penuh, karena sikap kita yang mudah berubah.

Mari kita  "...hidup karena percaya, bukan karena melihat."  2 Korintus 5:7