Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 18 April 2014
Baca: Ibrani 10:1-18
"Sebab oleh satu korban saja Ia telah menyempurnakan untuk selama-lamanya mereka yang Ia kuduskan." Ibrani 10:14
Bagi manusia kematian dianggap sebagai suatu kejadian yang sangat mengerikan dan menjadi akhir dari segala-galanya. Namun kematian Yesus adalah bagian dari rencana Bapa untuk menyelamatkan manusia, meskipun cara kematian Yesus itu tampak memalukan, hina dan sangat menyakitkan seperti tertulis: "Terkutuklah orang yang digantung pada kayu salib!" (Galatia 3:13).
Ada rencana Bapa di balik kematian Yesus yang sangat tragis ini. "...Yesus telah menderita di luar pintu gerbang untuk menguduskan umat-Nya dengan darah-Nya sendiri." (Ibrani 13:12). Yesus harus menanggung penderitaan begitu hebat, supaya kita yang percaya kepadaNya diselamatkan; kematianNya adalah untuk menyelamatkan orang berdosa. Sekalipun harus menghadapi maut Yesus tetap taat kepada Bapa, bahkan dengan tegas Ia menyatakan, "Untuk itulah Aku lahir dan untuk itulah Aku datang ke dalam dunia ini,
supaya Aku memberi kesaksian tentang kebenaran;" (Yohanes 18:37). Saat tergantung di kayu salib "... seorang dari antara prajurit itu menikam lambung-Nya dengan tombak, dan segera mengalir keluar darah dan air." (Yohanes 19:34). Darah dan air adalah tanda anugerah pembersihan dan kuasa pengampunan yang tersedia untuk setiap orang yang percaya kepadaNya; dan saat Yesus berkata, "Sudah selesai." (Yohanes 19:30), maka keselamatan bagi manusia sudah digenapiNya.
Melalui pengorbanan Yesus perseteruan antara Allah dan manusia oleh karena dosa sudah dihapuskan dan diperdamaikan. "Sebab jikalau kita, ketika masih seteru, diperdamaikan dengan Allah oleh
kematian Anak-Nya, lebih-lebih kita, yang sekarang telah diperdamaikan,
pasti akan diselamatkan oleh hidup-Nya!" (Roma 5:10). Jadi Yesus adalah korban pendamaian antara manusia dengan Allah. Dengan demikian hutang dosa kita telah dibayar lunas "...bukan dengan barang yang fana, bukan pula dengan perak atau emas, melainkan dengan darah yang mahal, yaitu darah Kristus yang sama seperti darah anak domba yang tak bernoda dan tak bercacat." (1 Petrus 1:18-19).
"...kita telah dikuduskan satu kali untuk selama-lamanya oleh persembahan tubuh Yesus Kristus." Ibrani 10:10
Friday, April 18, 2014
Thursday, April 17, 2014
AYUB: Hidup yang Saleh
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 17 April 2014
Baca: Ayub 1:1-22
"Ada seorang laki-laki di tanah Us bernama Ayub; orang itu saleh dan jujur; ia takut akan Allah dan menjauhi kejahatan." Ayub 1:1
Ayub beroleh pujian dari Tuhan karena hidupnya berkenan di hati Tuhan. Jika Tuhan sendiri yang mengatakan bahwa Ayub adalah orang yang saleh, jujur dan menjauhi kejahatan, berarti ia benar-benar tidak tercela, baik dalam perkataan dan perbuatan. Ayub memiliki kehidupan yang benar luar-dalam, tidak ada kepura-puraan atau kemunafikan. Tuhan sendirilah yang menilainya. Luar biasa!
Kita bisa saja berlagak suci dan benar di hadapan manusia seperti yang dilakukan oleh ahli-ahli Taurat dan orang-orang Saduki, tapi di pemandangan Tuhan tidak, karena tidak ada yang tersembunyi di hadapanNya. "Dan tidak ada suatu makhlukpun yang tersembunyi di hadapan-Nya, sebab segala sesuatu telanjang dan terbuka di depan mata Dia, yang kepada-Nya kita harus memberikan pertanggungan jawab." (Ibrani 4:13). Inilah penilaian Tuhan terhadap ahli Taurat dan orang Saduki: "Demikian jugalah kamu, di sebelah luar kamu tampaknya benar di mata orang, tetapi di sebelah dalam kamu penuh kemunafikan dan kedurjanaan." (Matius 23:28).
Meski masalah mendera hidupnya secara bertubi-tubi Ayub tetap memelihara hidupnya dalam kebenaran. Terbukti ketika harta bendanya ludes dan anak-anaknya meninggal ia tetap mampu menjaga sikap hatinya, tidak bereaksi negatif, bahkan dalam perkataan sekali pun. "Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN! Dalam kesemuanya itu Ayub tidak berbuat dosa dan tidak menuduh Allah berbuat yang kurang patut." (Ayub 1:21-22). Bahkan ketika isterinya marah dan menyuruhnya menghujat Tuhan, Ayub tidak menuruti, malah ia sangat marah: "'Engkau berbicara seperti perempuan gila! Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?' Dalam kesemuanya itu Ayub tidak berbuat dosa dengan bibirnya." (Ayub 2:10). Kesalehan hidup Ayub ini patut diteladani oleh setiap orang percaya yang hidup di akhir zaman ini.
Hidup yang saleh adalah sebuah persembahan hidup yang sangat berharga di mata Tuhan dan menyenangkan hatiNya!
Baca: Ayub 1:1-22
"Ada seorang laki-laki di tanah Us bernama Ayub; orang itu saleh dan jujur; ia takut akan Allah dan menjauhi kejahatan." Ayub 1:1
Ayub beroleh pujian dari Tuhan karena hidupnya berkenan di hati Tuhan. Jika Tuhan sendiri yang mengatakan bahwa Ayub adalah orang yang saleh, jujur dan menjauhi kejahatan, berarti ia benar-benar tidak tercela, baik dalam perkataan dan perbuatan. Ayub memiliki kehidupan yang benar luar-dalam, tidak ada kepura-puraan atau kemunafikan. Tuhan sendirilah yang menilainya. Luar biasa!
Kita bisa saja berlagak suci dan benar di hadapan manusia seperti yang dilakukan oleh ahli-ahli Taurat dan orang-orang Saduki, tapi di pemandangan Tuhan tidak, karena tidak ada yang tersembunyi di hadapanNya. "Dan tidak ada suatu makhlukpun yang tersembunyi di hadapan-Nya, sebab segala sesuatu telanjang dan terbuka di depan mata Dia, yang kepada-Nya kita harus memberikan pertanggungan jawab." (Ibrani 4:13). Inilah penilaian Tuhan terhadap ahli Taurat dan orang Saduki: "Demikian jugalah kamu, di sebelah luar kamu tampaknya benar di mata orang, tetapi di sebelah dalam kamu penuh kemunafikan dan kedurjanaan." (Matius 23:28).
Meski masalah mendera hidupnya secara bertubi-tubi Ayub tetap memelihara hidupnya dalam kebenaran. Terbukti ketika harta bendanya ludes dan anak-anaknya meninggal ia tetap mampu menjaga sikap hatinya, tidak bereaksi negatif, bahkan dalam perkataan sekali pun. "Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN! Dalam kesemuanya itu Ayub tidak berbuat dosa dan tidak menuduh Allah berbuat yang kurang patut." (Ayub 1:21-22). Bahkan ketika isterinya marah dan menyuruhnya menghujat Tuhan, Ayub tidak menuruti, malah ia sangat marah: "'Engkau berbicara seperti perempuan gila! Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?' Dalam kesemuanya itu Ayub tidak berbuat dosa dengan bibirnya." (Ayub 2:10). Kesalehan hidup Ayub ini patut diteladani oleh setiap orang percaya yang hidup di akhir zaman ini.
Hidup yang saleh adalah sebuah persembahan hidup yang sangat berharga di mata Tuhan dan menyenangkan hatiNya!
Subscribe to:
Posts (Atom)