Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 17 April 2014
Baca: Ayub 1:1-22
"Ada seorang laki-laki di tanah Us bernama Ayub; orang itu saleh dan jujur; ia takut akan Allah dan menjauhi kejahatan." Ayub 1:1
Ayub beroleh pujian dari Tuhan karena hidupnya berkenan di hati Tuhan. Jika Tuhan sendiri yang mengatakan bahwa Ayub adalah orang yang saleh, jujur dan menjauhi kejahatan, berarti ia benar-benar tidak tercela, baik dalam perkataan dan perbuatan. Ayub memiliki kehidupan yang benar luar-dalam, tidak ada kepura-puraan atau kemunafikan. Tuhan sendirilah yang menilainya. Luar biasa!
Kita bisa saja berlagak suci dan benar di hadapan manusia seperti yang dilakukan oleh ahli-ahli Taurat dan orang-orang Saduki, tapi di pemandangan Tuhan tidak, karena tidak ada yang tersembunyi di hadapanNya. "Dan tidak ada suatu makhlukpun yang tersembunyi di hadapan-Nya, sebab
segala sesuatu telanjang dan terbuka di depan mata Dia, yang kepada-Nya
kita harus memberikan pertanggungan jawab." (Ibrani 4:13). Inilah penilaian Tuhan terhadap ahli Taurat dan orang Saduki: "Demikian jugalah kamu, di sebelah luar kamu tampaknya benar di mata
orang, tetapi di sebelah dalam kamu penuh kemunafikan dan kedurjanaan." (Matius 23:28).
Meski masalah mendera hidupnya secara bertubi-tubi Ayub tetap memelihara hidupnya dalam kebenaran. Terbukti ketika harta bendanya ludes dan anak-anaknya meninggal ia tetap mampu menjaga sikap hatinya, tidak bereaksi negatif, bahkan dalam perkataan sekali pun. "Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga
aku akan kembali ke dalamnya. TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil,
terpujilah nama TUHAN! Dalam kesemuanya itu Ayub tidak berbuat dosa dan tidak menuduh Allah berbuat yang kurang patut." (Ayub 1:21-22). Bahkan ketika isterinya marah dan menyuruhnya menghujat Tuhan, Ayub tidak menuruti, malah ia sangat marah: "'Engkau berbicara seperti perempuan gila! Apakah kita mau menerima yang
baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?' Dalam kesemuanya
itu Ayub tidak berbuat dosa dengan bibirnya." (Ayub 2:10). Kesalehan hidup Ayub ini patut diteladani oleh setiap orang percaya yang hidup di akhir zaman ini.
Hidup yang saleh adalah sebuah persembahan hidup yang sangat berharga di mata Tuhan dan menyenangkan hatiNya!
Thursday, April 17, 2014
Wednesday, April 16, 2014
HIDUP BERCAHAYA: Pelayanan Pendamaian
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 16 April 2014
Baca: Yesaya 62:1-12
"Maka bangsa-bangsa akan melihat kebenaranmu, dan semua raja akan melihat kemuliaanmu," Yesaya 62:2
Sebagai anak-anak terang sudah seharusnya kehidupan kita bercahaya di tengah-tengah dunia yang diliputi kegelapan ini. Bagaimana bisa bercahaya? Yaitu apabila kita tidak lagi hidup "...menuruti keinginan daging. Sebab keinginan daging berlawanan dengan keinginan Roh dan keinginan Roh berlawanan dengan keinginan daging--karena keduanya bertentangan--sehingga kamu setiap kali tidak melakukan apa yang kamu kehendaki." (Galatia 5:16-17). Hanya karena jamahan Roh Kuduslah kita dimungkinkan menerima firman Tuhan dengan hati terbuka, lemah lembut dan antusias. Saat tanah hati kita sudah bersih dari kerikil atau bebatuan, benih firman yang ditabur itu akan bertunas, tumbuh subur dan kemudian berbuah lebat. Maka dari kehidupan kita akan ke luar buah Roh yaitu "...kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri." (Galatia 5:22-23).
Hidup yang becahaya tidak bergantung musim yang ada, tapi di segala situasi dan keadaan. Masalah, penderitaan atau kesesakan takkan mempengaruhi sikap hati kita bahwa "Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku." (Filipi 4:13), sehingga apa pun yang terjadi kita tetap bisa bersukacita dan mengucap syukur. Yusuf adalah contoh orang yang hidupnya bercahaya. Meski berada dalam tekanan dan penderitaan ia tetap tampil sebagai pemenang dan menjadi berkat bagi orang lain. Apa kuncinya? Hidup melekat kepada Tuhan sehingga Roh Tuhan senantiasa memenuhi hidup Yusuf. Penuh dengan Roh Kudus bukan sekedar berkata-kata dalam bahasa lidah, namun hidup yang sepenuhnya dikendalikan Roh Kudus.
Semakin kita bercahaya semakin besar kerinduan kita melayani Tuhan dan bersaksi kepada orang lain. "Janganlah hendaknya kerajinanmu kendor, biarlah rohmu menyala-nyala dan layanilah Tuhan." (Roma 12:11). Mengapa kita harus bersaksi? Karena kita ini adalah utusan-utusan Kristus, sebagaimana "...Allah, yang dengan perantaraan Kristus telah mendamaikan kita dengan diri-Nya..." (2 Korintus 5:18)
...maka Tuhan pun mengutus kita untuk mengerjakan pelayanan pendamaian sebagai saksi-saksiNya.
Baca: Yesaya 62:1-12
"Maka bangsa-bangsa akan melihat kebenaranmu, dan semua raja akan melihat kemuliaanmu," Yesaya 62:2
Sebagai anak-anak terang sudah seharusnya kehidupan kita bercahaya di tengah-tengah dunia yang diliputi kegelapan ini. Bagaimana bisa bercahaya? Yaitu apabila kita tidak lagi hidup "...menuruti keinginan daging. Sebab keinginan daging berlawanan dengan keinginan Roh dan keinginan Roh berlawanan dengan keinginan daging--karena keduanya bertentangan--sehingga kamu setiap kali tidak melakukan apa yang kamu kehendaki." (Galatia 5:16-17). Hanya karena jamahan Roh Kuduslah kita dimungkinkan menerima firman Tuhan dengan hati terbuka, lemah lembut dan antusias. Saat tanah hati kita sudah bersih dari kerikil atau bebatuan, benih firman yang ditabur itu akan bertunas, tumbuh subur dan kemudian berbuah lebat. Maka dari kehidupan kita akan ke luar buah Roh yaitu "...kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri." (Galatia 5:22-23).
Hidup yang becahaya tidak bergantung musim yang ada, tapi di segala situasi dan keadaan. Masalah, penderitaan atau kesesakan takkan mempengaruhi sikap hati kita bahwa "Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku." (Filipi 4:13), sehingga apa pun yang terjadi kita tetap bisa bersukacita dan mengucap syukur. Yusuf adalah contoh orang yang hidupnya bercahaya. Meski berada dalam tekanan dan penderitaan ia tetap tampil sebagai pemenang dan menjadi berkat bagi orang lain. Apa kuncinya? Hidup melekat kepada Tuhan sehingga Roh Tuhan senantiasa memenuhi hidup Yusuf. Penuh dengan Roh Kudus bukan sekedar berkata-kata dalam bahasa lidah, namun hidup yang sepenuhnya dikendalikan Roh Kudus.
Semakin kita bercahaya semakin besar kerinduan kita melayani Tuhan dan bersaksi kepada orang lain. "Janganlah hendaknya kerajinanmu kendor, biarlah rohmu menyala-nyala dan layanilah Tuhan." (Roma 12:11). Mengapa kita harus bersaksi? Karena kita ini adalah utusan-utusan Kristus, sebagaimana "...Allah, yang dengan perantaraan Kristus telah mendamaikan kita dengan diri-Nya..." (2 Korintus 5:18)
...maka Tuhan pun mengutus kita untuk mengerjakan pelayanan pendamaian sebagai saksi-saksiNya.
Subscribe to:
Posts (Atom)