Monday, October 21, 2013

MENOLAK UNDANGAN TUHAN (1)

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 21 Oktober 2013 -

Baca:  Lukas 14:15-24

"Tetapi mereka bersama-sama meminta maaf."  Lukas 14:18a

Perikop dari pembacaan firman hari ini adalah perumpamaan tentang orang-orang yang berdalih.  Dalam perumpamaan ini Tuhan Yesus menggambarkan hal Kerajaan Sorga seperti seorang Tuan yang sedang mengadakan jamuan yang besar dan mengundang banyak orang untuk datang di pestanya.  Biasanya orang akan antuasias ketika diundang ke sebuah pesta.  Pesta atau jamuan besar itu identik dengan makanan enak dan acara meriah.  Namun dalam kisah ini respons orang-orang yang diundang justru sangat mengejutkan, sekaligus mengecewakan.  Mereka malah menolak undangan itu dengan berbagai dalih atau alasan, padahal si Tuan yang empunya acara ini berkata,  "...rumahku harus penuh."  (ayat 23).  Menolak undangan berarti kehilangan kesempatan untuk menikmati perjamuan.

     Inilah gambaran dari orang-orang yang menganggap remeh berita salib!  Memang,  "...pemberitaan tentang salib memang adalah kebodohan bagi mereka yang akan binasa, tetapi bagi kita yang diselamatkan pemberitaan itu adalah kekuatan Allah."  (1 Korintus 1:18).  Mereka secara terang-terangan menolak anugerah keselamatan yang ditawarkan Allah melalui PuteraNya Yesus Kristus.  Padahal  "...begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal. Sebab Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia. Barangsiapa percaya kepada-Nya, ia tidak akan dihukum; barangsiapa tidak percaya, ia telah berada di bawah hukuman, sebab ia tidak percaya dalam nama Anak Tunggal Allah."  (Yohanes 3:16-19).  Tidak sedikit pula orang yang dengan sengaja melecehkan dan mempermainkan nama Yesus Kristus.  Padahal hanya oleh iman di dalam Yesus Kristus kita diselematkan.

     Kita yang sudah menerima anugerah keselamatan dari Tuhan pun acapkali menyia-nyiakannya dengan tidak mengerjakan keselematan itu dengan hati yang takut dan gentar  (baca  Filipi 2:12-13).  Kita tidak lagi merespons dengan benar keselamatan yang telah kita terima dengan cuma-cuma itu dengan cara melakukan perbuatan-perbuatan yang menyimpang dari kebenaran firman Tuhan, dan menganggapnya sebagai hal yang biasa!  (Bersambung)

Sunday, October 20, 2013

BATU HIDUP atau BATU MATI

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 20 Oktober 2013 -

Baca:  1 Petrus 2:1-10

"Mereka tersandung padanya, karena mereka tidak taat kepada Firman Allah; dan untuk itu mereka juga telah disediakan."  1 Petrus 2:8

Keberadaan orang percaya digambarkan sebagai batu-batu hidup yang dipergunakan untuk pembangunan rumah rohani.  Dengan demikian setiap kita memiliki peran dan fungsi.  Tertulis:  "...kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib; kamu, yang dahulu bukan umat Allah, tetapi yang sekarang telah menjadi umat-Nya, yang dahulu tidak dikasihani tetapi yang sekarang telah beroleh belas kasihan."  (1 Petrus 2:9-10).

     Menjadi batu yang hidup berarti memiliki kehidupan yang berpadanan dengan panggilan Tuhan.  "Allah memanggil kita bukan untuk melakukan apa yang cemar, melainkan apa yang kudus."  (1 Tesalonika 4:7).  Jadi,  "...hendaklah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu sama seperti Dia yang kudus, yang telah memanggil kamu, sebab ada tertulis: Kuduslah kamu, sebab Aku kudus."  (1 Petrus 1:15-16).  Hidup di dalam kekudusan berarti tidak  "...menyerahkan anggota-anggota tubuhmu kepada dosa untuk dipakai sebagai senjata kelaliman, tetapi serahkanlah dirimu kepada Allah sebagai orang-orang, yang dahulu mati, tetapi yang sekarang hidup. Dan serahkanlah anggota-anggota tubuhmu kepada Allah untuk menjadi senjata-senjata kebenaran."  (Roma 6:13).

    Sebaliknya jika kita tetap hidup dalam ketidaktaatan dan ketidaksetiaan dalam melakukan kehendak Tuhan dan memiliki gaya hidup yang duniawi, maka keberadaan kita sama seperti batu-batu yang mati.  Artinya kita telah gagal dalam menjalankan peran dan fungsi kita sebagai anak-anak Tuhan.  Kita tidak lagi mencerminkan umat tebusan Tuhan dan imamat yang rajani, melainkan telah menjadi batu sandungan bagi orang lain, apalagi jika saat dalam masalah dan penderitaan kita mengeluh, bersungut-sungut, mengumpat, ikut-ikutan mencari pertolongan kepada dunia, mata rohani tidak lagi tertuju kepada Tuhan Yesus, selaku Batu Penjuru kita, sehingga orang-orang dunia pun tidak melihat Kristus ada di dalam kita.

Kita menjadi batu-batu yang mati!