Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 26 Mei 2013 -
Baca: Mazmur 131:1-3
"Sesungguhnya, aku telah menenangkan dan mendiamkan jiwaku; seperti anak
yang disapih berbaring dekat ibunya, ya, seperti anak yang disapih
jiwaku dalam diriku." Mazmur 131:2
Karena pemberontakan anaknya (Absalom), Daud harus melarikan diri dan hidup dalam ketidaktenangan. Manusiawi sekali jika Daud memerintahkan pegawai-pegawainya untuk menyelamatkan diri, "Bersiaplah, marilah kita melarikan diri, sebab jangan-jangan kita tidak
akan luput dari pada Absalom. Pergilah dengan segera, supaya ia jangan
dapat lekas menyusul kita, dan mendatangkan celaka atas kita dan memukul
kota ini dengan mata pedang!" (2 Samuel 15:14). Dalam ketakutan inilah Daud menyadari bahwa segala yang dimilikinya ternyata tak sanggup memberikan jaminan keselamatan, perlindungan dan juga ketenangan hidup. Bukan hanya musuh, bahkan orang-orang terdekatnya bisa saja berkhianat, mengecewakan, berubah sikap dan berpaling darinya.
Dalam keadaan terjepit inilah Daud makin memahami betapa tak berartinya kekuatan sendiri dan segala yang dimilikinya jika tanpa Tuhan. Ketika orang-orang terdekat justru berpihak pada musuh, ketika manusia mengecewakan dan tidak dapat diharapkan, Daud menemukan jawaban bahwa hanya Tuhan sajalah sumber ketenangan hidup. Tidak ada jalan lain untuk mendapatkan ketenangan selain harus mendekat kepada Tuhan. Sungguh, "Hanya pada Allah saja kiranya aku tenang, sebab dari pada-Nyalah harapanku. Percayalah kepada-Nya setiap waktu, hai umat, curahkanlah isi hatimu di hadapan-Nya; Allah ialah tempat perlindungan kita." (Mazmur 62:6, 9).
Memiliki uang atau kekayaan yang melimpah tidak dapat menolong seseorang untuk bisa hidup tenang, sebaliknya malah membuat tidak tenang, was-was, apalagi jika kekayaan itu merupakan hasil korupsi atau penyalahgunaan jabatan dan sebagainya. Itulah sebabnya Daud lebih memilih untuk meninggalkan segala yang dimilikinya dan melarikan diri dari Absalom, namun ia tidak lari dari hadapan Tuhan sebab "Pertolonganku ialah dari TUHAN, yang menjadikan langit dan bumi." (Mazmur 121:2).
"...lebih baik satu hari di pelataran-Mu dari pada seribu hari di tempat
lain; lebih baik berdiri di ambang pintu rumah Allahku dari pada diam di
kemah-kemah orang fasik." Mazmur 84:11
Sunday, May 26, 2013
Saturday, May 25, 2013
TIDAK ADA KETENANGAN (1)
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 25 Mei 2013 -
Baca: Mazmur 55:1-24
"Pikirku: 'Sekiranya aku diberi sayap seperti merpati, aku akan terbang dan mencari tempat yang tenang,'" Mazmur 55:7
Kita sering menyaksikan di layar televisi bahwa setiap long weekend kawasan Puncak (Bogor) selalu dipenuhi oleh para pelancong, akibatnya jalan menuju daerah tersebut padat merayap dan menimbulkan kemacetan. Mereka datang dari berbagai kota terutama Jakarta. Mengapa mereka pergi ke Puncak? Untuk mendapatkan ketenangan, melepas penat dan juga menghilangkan stres karena udara di kawasan Puncak begitu menyejukkan, pemandangan alamnya pun sangat mempesona dan jauh dari kebisingan. Berbeda dengan Jakarta yang penuh dengan polusi dan keruwetan hidup.
Hidup tenang adalah dambaan setiap insan di dunia ini. Banyak orang berpikir bahwa dengan bepergian ke tempat-tempat wisata, memiliki rumah di kawasan elite, punya uang banyak dan mempunyai jabatan tertentu adalah jaminan untuk mendapatkan ketenangan dalam hidup ini. Benarkah? Ketenangan yang ditawarkan oleh dunia ini sifatnya hanya sementara alias semu. Kita masih ingat bagaimana banjir melanda Jakarta? Orang kaya/miskin yang tinggal di kawasan elite/kumuh, orang berpangkat/orang biasa dibuat tidak tenang dan tak berdaya menghadapi bencana ini. Tidaklah salah memiliki harta kekayaan, jabatan dan sebagainya asalkan kita tidak menyandarkan hidup sepenuhnya kepada apa yang kita miliki itu.
Bersandar dan berharap pada dunia ini adalah sia-sia belaka. Kita bisa belajar dari pengalaman hidup Daud. Sekalipun ia adalah seorang raja, punya segala-galanya (harta, istana, tentara sebagai penjaga), tidak menjamin hidupnya akan tenang. Bahkan ia mengalami ketidaktenangan karena hidupnya selalu berada dalam ancaman. Absalom, yang adalah anaknya sendiri, justru menjadi musuh dalam selimut. Ia berusaha untuk mengkudeta Daud dan berniat untuk membunuhnya, sampai-sampai Daud harus melarikan diri dari kejaran anaknya, "Kalau musuhku yang mencela aku, aku masih dapat menanggungnya; kalau pembenciku yang membesarkan diri terhadap aku, aku masih dapat menyembunyikan diri terhadap dia." (Mazmur 55:13-15). (Bersambung)
Baca: Mazmur 55:1-24
"Pikirku: 'Sekiranya aku diberi sayap seperti merpati, aku akan terbang dan mencari tempat yang tenang,'" Mazmur 55:7
Kita sering menyaksikan di layar televisi bahwa setiap long weekend kawasan Puncak (Bogor) selalu dipenuhi oleh para pelancong, akibatnya jalan menuju daerah tersebut padat merayap dan menimbulkan kemacetan. Mereka datang dari berbagai kota terutama Jakarta. Mengapa mereka pergi ke Puncak? Untuk mendapatkan ketenangan, melepas penat dan juga menghilangkan stres karena udara di kawasan Puncak begitu menyejukkan, pemandangan alamnya pun sangat mempesona dan jauh dari kebisingan. Berbeda dengan Jakarta yang penuh dengan polusi dan keruwetan hidup.
Hidup tenang adalah dambaan setiap insan di dunia ini. Banyak orang berpikir bahwa dengan bepergian ke tempat-tempat wisata, memiliki rumah di kawasan elite, punya uang banyak dan mempunyai jabatan tertentu adalah jaminan untuk mendapatkan ketenangan dalam hidup ini. Benarkah? Ketenangan yang ditawarkan oleh dunia ini sifatnya hanya sementara alias semu. Kita masih ingat bagaimana banjir melanda Jakarta? Orang kaya/miskin yang tinggal di kawasan elite/kumuh, orang berpangkat/orang biasa dibuat tidak tenang dan tak berdaya menghadapi bencana ini. Tidaklah salah memiliki harta kekayaan, jabatan dan sebagainya asalkan kita tidak menyandarkan hidup sepenuhnya kepada apa yang kita miliki itu.
Bersandar dan berharap pada dunia ini adalah sia-sia belaka. Kita bisa belajar dari pengalaman hidup Daud. Sekalipun ia adalah seorang raja, punya segala-galanya (harta, istana, tentara sebagai penjaga), tidak menjamin hidupnya akan tenang. Bahkan ia mengalami ketidaktenangan karena hidupnya selalu berada dalam ancaman. Absalom, yang adalah anaknya sendiri, justru menjadi musuh dalam selimut. Ia berusaha untuk mengkudeta Daud dan berniat untuk membunuhnya, sampai-sampai Daud harus melarikan diri dari kejaran anaknya, "Kalau musuhku yang mencela aku, aku masih dapat menanggungnya; kalau pembenciku yang membesarkan diri terhadap aku, aku masih dapat menyembunyikan diri terhadap dia." (Mazmur 55:13-15). (Bersambung)
Subscribe to:
Posts (Atom)