Thursday, February 14, 2013

HATI YANG HANCUR: Berharga Di Hadapan Tuhan!

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 14 Februari 2013 -

Baca:  Mazmur 51:1-21

"Korban sembelihan kepada Allah ialah jiwa yang hancur; hati yang patah dan remuk tidak akan Kaupandang hina, ya Allah."  Mazmur 51:19

Sebelum menjadi bejana yang indah dan berharga, tanah liat harus mengalami proses pembentukan yang dikerjakan oleh seorang penjunan (tukang gerabah).  Tanah liat itu terlebih dahulu harus dihancurkan, dibuang kerikil-kerikilnya, lalu diolah dan harus melewati proses pembakaran.  Begitu juga dengan sebidang tanah.  Sebelum benih dapat disemaikan, seorang petani harus terlebih dahulu mengolah tanahnya dengan cangkul dan bajak, kemudian mengairinya dan barulah tanah tersebut siap untuk ditanami.

     Setiap anak Tuhan yang rindu dipakai sebagai alat kemuliaan Tuhan tak luput dari proses pembentukan.  "Kamilah tanah liat dan Engkaulah yang membentuk kami, dan kami sekalian adalah buatan tangan-Mu."  (Yesaya 64:8).  Jadi,  "Adakah tanah liat berkata kepada pembentuknya: 'Apakah yang kaubuat?' atau yang telah dibuatnya: 'Engkau tidak punya tangan!'"  (Yesaya 45:9b).  Tidak!  Kita harus memiliki penyerahan diri penuh kepada Tuhan.  Hati yang remuk dan hancur di hadapan Tuhan, serta memiliki rasa haus dan lapar akan Dia adalah modal menggerakan hati Tuhan, bukan hati yang dipenuhi kesombongan atau kecongkakan, sebab  "Allah menentang orang yang congkak,"  (1 Petrus 5:5), dan Dia  "...akan mematahkan kecongkakkan mereka dengan segala daya upaya mereka."  (Yesaya 25:11b).

     Daud saat menulis mazmur ini dalam keadaan hati remuk redam dan hancur berkeping-keping, menyesali dosanya terhadap isteri Uria;  lalu ia pun datang kepada Tuhan.  "Kasihanilah aku, ya Allah, menurut kasih setia-Mu, hapuskanlah pelanggaranku menurut rahmat-Mu yang besar!"  (Mazmur 51:3).  Inilah korban yang berkenan kepada Tuhan.  Tak ada yang lebih berharga di mata Tuhan kecuali hati yang hancur dan pertobatan,  "Sebab Engkau tidak berkenan kepada korban sembelihan; sekiranya kupersembahkan korban bakaran, Engkau tidak menyukainya."  (Mazmur 51:18).

     Masih banyak orang Kristen yang datang kepada Tuhan (berdoa) tanpa pernah merasakan hati hancur, doa yang dinaikkan tidak lahir dari lubuk hatinya yang terdalam

Hidup menyimpang dari jalan Tuhan dianggap biasa sehingga penyesalan diri pun tiada;  janganlah kita demikian.

Wednesday, February 13, 2013

SERASA DALAM JURANG

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 13 Februari 2013 -

Baca:  Mazmur 130:1-8

"Dari jurang yang dalam aku berseru kepada-Mu, ya TUHAN!"  Mazmur 130:1

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti kata jurang adalah lembah yang dalam dan sempit, serta curam dindingnya;  suatu tempat yang sangat gelap dan mengerikan.  Ketika seseorang sedang melewati jalan yang disisinya ada jurang, pastilah ada rambu supaya kita hati-hati.  Jika tidak berhati-hati bisa fatal akibatnya.  Jika sudah terperosok/jatuh ke dalam jurang curam, sulit rasanya untuk tetap hidup.  Jika hidup pun sulit menyelamatkan diri sendiri, kita pasti membutuhkan pertolongan orang lain.  Tak bisa dibayangkan betapa ngeri dan menderitanya bila seseorang jatuh ke dalam jurang.

     Terkadang kita juga mengalami keadaan yang demikian, di mana masalah dan kesesakan datang melanda hidup kita.  Kita pun merasa tak berdaya, sedih, perih, sakit, putus asa, seperti berada di dalam 'jurang' yang sepertinya tidak ada harapan dan kita tidak tahu harus berbuat apa.  Keadaan demikian juga pernah di alami Daud, namun dia tidak menyerah begitu saja atau menyalahkan keadaan, orang lain, diri sendiri atau bahkan Tuhan yang justru akan makin menenggelamkannya dalam ratap;  Daud tahu kepada siapa ia berharap dan meratap:  "Tuhan, dengarkanlah suaraku! Biarlah telinga-Mu menaruh perhatian kepada suara permohonanku."  (ayat 2).  Ia datang kepada Tuhan dengan penuh kerendahan hati dan memohon belas kasihNya dengan berkata,  "Jika Engkau, ya Tuhan, mengingat-ingat kesalahan-kesalahan, Tuhan, siapakah yang dapat tahan?"  (ayat 3).  Daud sadar bahwa dirinya penuh kesalahan, dan mungkin saja penderitaan yang dialaminya sebagai akibat kesalahan dan pelanggarannya.  Itulah sebabnya ia memohon ampun kepada Tuhan, dan ia berkata,  "...pada-Mu ada pengampunan,"  (ayat 4).

     Asal bertobat dengan sungguh Tuhan pasti akan mendengar teriak kita minta tolong.  Karena itu Daud menanti-nantikan Tuhan!  Bahkan pengharapannya kepada Tuhan  "...lebih dari pada pengawal mengharapkan pagi,"  (ayat 6).  Hal itu menunjukkan betapa ia sangat mengharapkan Tuhan.  Daud sangat yakin bahwa pengharapan di dalam Tuhan  "...adalah sauh yang kuat dan aman bagi jiwa kita,"  (Ibrani 6:19) dan "...tidak mengecewakan,"  (Roma 5:5).

Tetap berharap kepada Tuhan dan nantikan Dia;  pada saat yang tepat Dia pasti akan mengangkat kita dari jurang terdalam sekali pun!