Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 8 Oktober 2011 -
Baca: Amsal 17
"Hati yang gembira adalah obat yang manjur, tetapi semangat yang patah mengeringkan tulang." Amsal 17:22
Dalam versi The Amplified Bible ayat nas di atas berbunyi demikian: "Hati yang gembira adalah obat yang manjur dan pikiran yang ceria memberikan kesembuhan." Ternyata hati yang gembira dan pikiran yang ceria (positif) bisa menjadi obat yang mujarab dan menyembuhkan. Karena itulah rasul Paulus juga menasihati jemaat di Filipi, "Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah!" (Filipi 4:4).
Mengapa kita harus bersukacita senantiasa? Karena dengan bersukacita hati kita akan tetap terjaga dalam kondisi yang baik sehingga pikiran dan perkataan kita pun akan positif, "karena yang diucapkan mulut meluap dari hati." (Matius 12:34b). Kapan Saudara memiliki hati yang gembira? Ketika hutang-hutangku sudah terbayar lunas, hati jadi gembira; hatiku bergembira kala melihat anak-anak tumbuh dengan sehat dan pintar; hatiku bergembira karena aku lulus dengan nilai memuaskan dan diterima di sekolah favorit. Bergembira saat kita mengalami dan merasakan hal-hal yang menyenangkan, itu wajar. Bagaimana jika kita sedang menghadapi masalah, terbaring lemah karena sakit, dapatkah hati kita bergembira?
Banyak cara dilakukan orang untuk menjaga hatinya agar bergembira, salah satunya adalah dengan mendengarkan musik. Ketika kita mendengarkan musik kita turut bersenandung dan hati pun terhibur. Jika kita memiliki hati yang gembira tugas yag berat pun terasa ringan untuk dikerjakan, sepertinya ada energi baru yang mengalir. Sebaliknya jika hati kita suntuk, sedih dan stres, seringan apa pun pekerjaan, terasa berat untuk dikerjakan. Kita menjadi lemah dan tak berdaya. Mana yang Saudara pilih: terus menggerutu dengan muka masam selama menghadapi masalah, atau menghadapi masalah dengan hati tetap gembira? Jika hati kita semakin gembira kita akan menjadi semakin sehat. Bahkan di dalam Amsal 15:13 dikatakan: "Hati yang gembira membuat muka berseri-seri, tetapi kepedihan hati mematahkan semangat." Ternyata selain menjadi obat yang manjur, hati yang gembira membuat muka kita menjadi berseri-seri, dan orang lain pun akan senang melihatnya.
Mari belajar tetap bergembira di segala keadaan sehingga orang di sekeliling kita juga terkena dampak positifnya. Belajarlah menikmati apa pun yang sedang kita kerjakan dan alami.
Yakinlah bahwa kita tidak sendirian, ada Yesus yang selalu peduli.
Saturday, October 8, 2011
Friday, October 7, 2011
MEMILIKI HATI HAMBA: Mau Merendahkan Hati dan Melayani
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 7 Oktober 2011 -
Baca: Markus 9:33-37
"Kata-Nya kepada mereka (para murid): 'Jika seseorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya.'" Markus 9:35
Ada suatu tradisi atau adat bangsa Yahudi yang dapat kita jadikan pelajaran yang baik dan berharga, di mana biasanya seorang hamba dalam keluarga harus membasuh kaki para tamu tuannya.
Membasuh kaki adalah tugas dan pekerjaan seorang hamba. Pantaskah jika tugas ini dilakukan oleh seorang raja atau tuan? Seorang raja biasanya hanya duduk di atas singgasana, memerintah rakyatnya dan dilayani para hamba. Adalah mustahil raja mau turun melakukan pekerjaan yang layak dilakukan oleh seorang hamba (budak), apalagi sampai membasuh kaki seseorang. Tetapi inilah yang dilakukan oleh Yesus, Raja di atas segala raja, Putera Tunggal Allah, yang "...telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia." (Filipi 2:7). Yesus rela turun ke bumi mengambil rupa seorang hamba dengan membasuh kaki murid-muridNya. "Lalu bangunlah Yesus dan menanggalkan jubah-Nya. Ia mengambil sehelai kain lenan dan mengikatkannya pada pinggang-Nya, kemudian Ia menuangkan air ke dalam sebuah basi, dan mulai membasuh kaki murid-muridNya lalu menyekanya dengan kain yang terikat pada pinggang-Nya." (Yohanes 13:4-5). Dalam hal ini Yesus memberikan satu teladan hidup supaya setiap orang percaya memiliki kerendahan hati dan mau melayani satu sama lain. Apa yang dilakukan Yesus ini menjadi suatu peringatan bagi kita agar mau melakukan pekerjaan yang diangap paling hina oleh orang lain, tetapi di hadapan Tuhan pekerjaan itu sangat berarti. Tuhan Yesus berkata, "Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu;" (Matius 20:26b-27).
Jadi kita ini adalah hamba yang bertugas melayani, bukan dilayani. Saat ini banyak orang yang sudah dipakai Tuhan sebagai alatNya dan berhasil di dalam pelayanannya justru tidak lagi memiliki 'hati hamba', sebaliknya justru menjadi sombong dan semakin tinggi hati. Mereka lebih mempertahankan harga dirinya dan menganggap diri lebih dari orang lain. Inikah yang diajarkan Yesus? Ia mengajar kita untuk selalu ingat siapa sebenarnya diri kita di hadapanNya.
Jika sampai saat ini kita dipercaya melayani Tuhan, bahkan dengan karunia atau talenta yang luar biasa, itu semata-mata karena anugerahNya, bukan karena kuat dan gagah kita!
Baca: Markus 9:33-37
"Kata-Nya kepada mereka (para murid): 'Jika seseorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya.'" Markus 9:35
Ada suatu tradisi atau adat bangsa Yahudi yang dapat kita jadikan pelajaran yang baik dan berharga, di mana biasanya seorang hamba dalam keluarga harus membasuh kaki para tamu tuannya.
Membasuh kaki adalah tugas dan pekerjaan seorang hamba. Pantaskah jika tugas ini dilakukan oleh seorang raja atau tuan? Seorang raja biasanya hanya duduk di atas singgasana, memerintah rakyatnya dan dilayani para hamba. Adalah mustahil raja mau turun melakukan pekerjaan yang layak dilakukan oleh seorang hamba (budak), apalagi sampai membasuh kaki seseorang. Tetapi inilah yang dilakukan oleh Yesus, Raja di atas segala raja, Putera Tunggal Allah, yang "...telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia." (Filipi 2:7). Yesus rela turun ke bumi mengambil rupa seorang hamba dengan membasuh kaki murid-muridNya. "Lalu bangunlah Yesus dan menanggalkan jubah-Nya. Ia mengambil sehelai kain lenan dan mengikatkannya pada pinggang-Nya, kemudian Ia menuangkan air ke dalam sebuah basi, dan mulai membasuh kaki murid-muridNya lalu menyekanya dengan kain yang terikat pada pinggang-Nya." (Yohanes 13:4-5). Dalam hal ini Yesus memberikan satu teladan hidup supaya setiap orang percaya memiliki kerendahan hati dan mau melayani satu sama lain. Apa yang dilakukan Yesus ini menjadi suatu peringatan bagi kita agar mau melakukan pekerjaan yang diangap paling hina oleh orang lain, tetapi di hadapan Tuhan pekerjaan itu sangat berarti. Tuhan Yesus berkata, "Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu;" (Matius 20:26b-27).
Jadi kita ini adalah hamba yang bertugas melayani, bukan dilayani. Saat ini banyak orang yang sudah dipakai Tuhan sebagai alatNya dan berhasil di dalam pelayanannya justru tidak lagi memiliki 'hati hamba', sebaliknya justru menjadi sombong dan semakin tinggi hati. Mereka lebih mempertahankan harga dirinya dan menganggap diri lebih dari orang lain. Inikah yang diajarkan Yesus? Ia mengajar kita untuk selalu ingat siapa sebenarnya diri kita di hadapanNya.
Jika sampai saat ini kita dipercaya melayani Tuhan, bahkan dengan karunia atau talenta yang luar biasa, itu semata-mata karena anugerahNya, bukan karena kuat dan gagah kita!
Subscribe to:
Posts (Atom)