Saturday, October 30, 2010

IRI HATI SEORANG SAUDARA

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 30 Oktober 2010 -

Baca: Lukas 15:11-32

"Tetapi baru saja datang anak bapa yang telah memboroskan harta kekayaan bapa bersama-sama dengan pelacur-pelacur, maka bapa menyembelih anak lembu tambun itu itu untuk dia."  Lukas 15:30

Dalam kitab Perjanjian Baru kita jumpai perasaan iri hati antara dua bersaudara:  anak sulung iri kepada adiknya yang baru pulang dari pengembaraannya setelah menghabiskan uangnya untuk berfoya-foya.  Setelah anak terhilang itu menyesal atas perbuatan dosanya, ia kembali ke rumah bapanya.  Tentu saja bapa bersukacita karena mendapatkan anaknya yang terhilang kembali ke rumahnya sehingga bapa membuat suatu pesta dan menyembelih anak lembu tambun.  Hal ini menimbulkan kemarahan dan iri hati dalam hati si anak sulung.

     Sebagaimana Bapa Sorgawi bersukacita atas pertobatan seorang berdosa, maka seharusnya kita juga bersukacita bila ada saudara kita yang terjatuh kembali bertobat.  Jangan kita memusuhi atau mengungkit kembali dosa lamanya karena dia sudah bertobat, apalagi menghakimi, itu bukan wewenang kita.  Maksud anak sulung itu mungkin agar bapanya memberi hajaran kepada adinya, dengan demikian adiknya dapat merasakan derita akibat perbuatannya yang salah itu.  Dalam hal ini Tuhan Yesus berkata, "Demikian juga akan ada sukacita di sorga karena satu orang berdosa yang bertobat, lebih dari pada sukacita karena sembilan puluh sembilan orang benar yang tidak memerlukan pertobatan."  (Lukas 15:7).  Perkataan Tuhan Yesus ini sungguh mengena sasaran, karena bukankah di masa kita banyak orang yang merasa dirinya benar sehingga tidak perlu bertobat dan tak lagi memerlukan Tuhan Yesus?  Bila melihat ada saudara seiman yang terjatuh ke dalam dosa, lalu bertobat dan kembali duduk di gereja, seringkali kita malah bergosip dan menjadi panas hati, lalu berkata."Mengapa Tuhan tidak memberikan hukuman atau hajaran ke dia ya?"

     Itu adalah sikap yang tidak benar!  Dari pada kita menghakimi mereka, lebih baik kita bersikap seperti Yesus.  Dengan kasihNya Ia menerima orang berdosa yang telah bertobat kembali.  Tuhan Yesus berkata,  "...barangsiapa yang datang kepadaKu, ia tidak akan Kubuang."  (Yohanes 6:37).

Jika Tuhan Yesus saja tanganNya terbuka, menerima serta mengasihi orang berdosa yang telah bertobat, mengapa kita justru menolak dan memandang sinis keberadaan mereka?  Bukankah kita dulu juga orang yang penuh dosa?

Friday, October 29, 2010

SAAT MENUAI TAK SAMA

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 29 Oktober 2010 -

Baca: Galatia 6:1-10

"Karena apa yang ditabur orang itu, itu juga yang akan dituainya."  Galatia 6:7b

Banyak orang yang melakukan kejahatan atau ketidakadilan sama sekali tak memikirkan akibatnya di kemudian hari.  Mereka tak mengerti bahwa apa pun yang ditabur itulah yang akan dituainya.  Tapi saat menuai bagi setiap orang itu berbeda waktunya.  Sama halnya bila kita menabur benih padi atau jagung, bertumbuhnya dan waktu memanennya pasti berbeda waktunya, meski benih itu kita tabur dalam waktu bersamaan.  Seseorang yang menabur kejahatan atau berlaku keji terhadap orang lain mungkin belum mengalami perubahan apa-apa dalam hidupnya untuk sekian lama.  Mereka masih dapat menikmati hidup dengan santai, tetapi mungkin setelah menginjak masa tua, tanpa disadarinya, semua perbuatan yang ditaburnya itu ia tuai.  Mereka panen, tapi panen hal-hal buruk yang sama sekali tak diharapkan terjadi.  Mungkin sakit-penyakit mulai menggerogoti atau juga ekonomi mulai guncang.  Mungkin juga apa yang didambakan dari anak-anaknya sebagai harapannya di masa tua tak terwujud.

     Alkitab menyatakan, "Sebab barangsiapa menabur dalam dagingnya, ia akan menuai kebinasaan dari dagingnya, tetapi barangsiapa menabur dalam Roh, ia akan menai hidup yang kekal dari Roh itu."  (ayat 8).  Sebab itu perhatikanlah hal ini:  "Janganlah kita jemu-jemu berbuat baik, karena apabila sudah datang waktunya, kita akan menuai jika kita tidak menjadi lemah."  (ayat 9).  Mungkin kita mereasa jemu berbuat baik, karena sepertinya perbuatan baik kita itu tidak menampakkan hasil apa-apa bagi kita.  Tapi jangan lupa, saat menuai itu belum tentu sekarang, mungkin 5 atau 10 tahun kemudian, mungkin juga anak-cucu kita yang akan menuainya.  Yang dituai itu pastilah hal-hal yang baik sesuai dengan apa yang kita tabur.  Coba bayangkan!  Jika orangtua menabur kejahatan dan yang menuai bukan dirinya sendiri, melainkan anak cucunya, kasihan sekali anak cucunya, bukan?

     Alkitab menegaskan bahwa perbuatan orang benar akan juga belaku sampai ke anak-cucunya; demikian juga perbuatan jahat, tuaiannya juga berlaku sampai ke anak-cucu.  Inilah pengalaman Daud:  "Dahulu aku muda, sekarang telah menjadi tua, tetapi tidak pernah kulihat orang benar ditinggalkan, atau anak cucunya meminta-minta roti;"  (Mazmur 37:25).

Karena itu, selama masih ada kesempatan, marilah kita menabur kebaikan; pada saatnya kita pasti akan menuai! Amin